bab 1.docx

30
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sindroma Guillain-Barre (SGB) adalah suatu sindroma klinis dari kelemahan akut ekstremitas tubuh, yang disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan bukan oleh penyakit sistemis. Penyakit ini merupakan suatu kelainan sistem kekebalan tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri dengan karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang sifatnya progresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris, otonom, maupun susunan saraf pusat. Sindroma Guillain Barre mengambil nama dari dua Ilmuwan Perancis, Guillain (baca Gilan) dan Barré (baca Barre), yang menemukan dua orang prajurit perang di tahun 1916 yang mengidap kelumpuhan kemudian sembuh setelah menerima perawatan medis. Penyakit ini menjangkiti satu dari 40,000 orang tiap tahunnya 2 . Penyakit ini terjadi setelah prosedur infeksi akut. Sindroma Guillain Barre mulanya mempengaruhi sistem saraf perifer. Biasanya penyakit ini adalah bentuk kelumpuhan akut di daerah tubuh bagian bawah yang bergerak ke arah ekstremitas atas dan 1

Upload: mohammad-adriansyah

Post on 18-Dec-2015

224 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

BAB 1

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Sindroma Guillain-Barre (SGB) adalah suatu sindroma klinis dari kelemahan akut ekstremitas tubuh, yang disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan bukan oleh penyakit sistemis. Penyakit ini merupakan suatu kelainan sistem kekebalan tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri dengan karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang sifatnya progresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris, otonom, maupun susunan saraf pusat.Sindroma GuillainBarre mengambil nama dari dua Ilmuwan Perancis, Guillain (baca Gilan) dan Barr (baca Barre), yang menemukan dua orang prajurit perang di tahun 1916 yang mengidap kelumpuhan kemudian sembuh setelah menerima perawatan medis. Penyakit ini menjangkiti satu dari 40,000 orang tiap tahunnya2.Penyakit initerjadi setelahprosedurinfeksi akut.Sindroma Guillain Barre mulanyamempengaruhi sistem sarafperifer.Biasanyapenyakit iniadalah bentuk kelumpuhan akutdi daerahtubuhbagian bawah yangbergerak ke arah ekstremitas atasdan wajah.Secara bertahappasienkehilangan semuareflekslalu mengalami kelumpuhantubuh lengkap.Sindroma Guillain-Barre (SGB) ini seringkali mencemaskan penderita dan keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang baik.Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim, menyerang semua umur. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik. Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun.1 Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Teori yang dianut sekarang adalah suatu kelainan imunobiologik, baik secara primary immune response maupun immune mediated process. Pada umumnya sindrom ini didahului oleh penyakit influenza atau infeksi saluran pernafasan atas atau saluran pencernaaan. Penyebab infeksi pada umumnya adalah kelompok virus dari kelompok herpes. Guillain-Barre Syndrome berhubungan dengan respon system imun terhadap benda asing (seperti agen infeksius atau vaksin) tetapi targetnya yaitu pada jaringan saraf inang. Target yang diserang sistem imun menjadi gangliosida, yaitu komplek glikosfingolipid yang ada dalam jumlah yang banyak pada jaringan saraf manusia, terutama nodus ranvier. 2Salah satu terapi yang sering digunakan pada SGB adalah plasmaferesis. Plasmaferesis ini dapat digunakan baik untuk SGB maupun miastenia gravis untuk menyingkirkan antibodi yang membahayakan dari plasma. Plasma pasien dipisahkan secara selektif dari darah lengkap, dan bahan-bahan abnormal dibersihkan atau plasma diganti dengan yang normal atau dengan pengganti koloidal. Banyak pusat pelayanan kesehatan mulai melakukan penggantian plasma ini jika didapati keadaan pasien memburuk dan akan kemungkinan tidak akan dapat pulang kerumah dalam 2 minggu.1Meskipun penyebabnya belum diktahui, namun diagnosanya dapat ditegakkan sedini mungkin. Setidaknya hal ini dapat mencegah akibat yang sangat fatal.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI SGB merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flaksid yang terjadi secara akut yang berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks dan nervus kraniales3. Secara klasik gambaran klinis SGB adalah berupa ascending paralysis dengan gejala yang dimulai dari ekstremitas bawah yang akan berkembang naik ke atas hingga kelumpuhan bulbar dan otot-otot pernafasan1,2.

2.2. EPIDEMIOLOGIAngka kejadian SGB dilaporkan berkisar antara 1,1-1,8/100.000/tahun untuk orang dewasa dan 0,4-1,4/100.000/tahun untuk anak-anak (150% batas atas normal jika amplitudo 120% batas atas normal jika amplitudo >80% batas bawah normal ATAU >150% batas atas normal jika amplitudo 20%, atau perubahan durasi antara proksimal dan distal >25%) pada 1 atau lebih saraf motorikPada pungsi lumbal dan analisa likuor serebrospinal akan didapatkan peningkatan protein tanpa diikuti peningkatan jumlah sel (disosiasi sitoalbumin). Pada 10% penderita, protein cairan serebrospinal normal dari awal hingga akhir penyakit. Peningkatan protein likuor mungkin tidak ditemukan sampai 1-2 minggu setelah timbulnya kelemahan dan mencapai normalnya pada 4-6minggu. Peningkatan yang tinggi tidak memiliki kepentingan klinis ataupun prognostik.

2.8 DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding yang dapat dipikirkan untuk SGB antara lain :1. Myelopati akut ( myelitis transversa, kompresi spinal, infark spinal)Pada myelopati akut dapat dijumpai hiperrefleksia, respon plantar ekstensor, riwayat trauma, tidak didapatnya riwayat infeksi sebelumnya. Temuan elektrofisiologis yang normal.2. Miastenia gravis Pada penyakit miastenia gravis ditemukan kelemahan yang miastenik artinya kontraksi otot pertama-tama normal, tetapi kontraksi berikutnya semakin lemah dan berakhir dengan kelumpuhan. Setelah istirahat, kontraksi otot pulih kembali untuk kemudian melemah dan lumpuh lagi. Tidak dijumpai kelainan sensorik. Tidak dijumpai riwayat infeksi sebelumnya. Kelemahan bersifat desenden. Likuor serebrospinalis yang normal. Terdapat penurunan CMAP yang abnormal pada studi stimulasi saraf repetitif yang lambat.3. HipokalemiaGejala klinis hipokalemi berupa kelumpuhan keempat ekstremitas yang bersifat flaksid, umunya bersamaan (tidak ditemukan ascending paralysis). Tidak terdapat gangguan sensorik serta timbul berkala. Likuor serebrospinalis normal.4. Botulismus Lebih sering ditemukan pada bayi daripada dewasa. Biasanya transmisi melalui makanan, luka, atau jarum suntik. Gejala yang muncul berupa diplopia, optalmoplegia, ptosis, pandangan kabur, disfagia, disartria, retensio urin, serta konstipasi. Kelemahan terjadi secara desenden. Likuor serebrospinalis normal. Terdapat penurunan CMAP yang abnormal pada studi stimulasi saraf repetitif yang lambat dan fasilitasi CMAP abnormal pada studi stimulasi saraf repetitif yang cepat.5. PoliomyelitisTerjadi pada daerah endemis. Gejala dimulai dengan demam, nyeri tenggorok, mual, muntah, nyeri kepala, kelemahan flaksid yang terjadi secara akut, disertai myalgia dan fasikulasi21. Pada likuor serebrospinalis ditemukan pleositosis. Pada elektrodiagnostik ditemukan lower motor neuronopathy.

2.9 TATALAKSANABahkan di negara maju sekalipun, sebanyak 5% dari total pasien SGB mengalami sepsis, emboli paru atau henti jantung yang sulit dijelaskan (kemungkinan berhubungan dengan disfungsi otonom) yang berujung pada kematian23. Oleh karena itu, penanganan pada SGB ini memerlukan deteksi dini akan timbulnya komplikasi tersebut. Idealnya, seluruh pasien harus dirawat inap di rumah sakit sampai tidak ditemukannya lagi progresifitas gejala klinis yang ada7,8.Tatalaksana pada SGB meliputi dua hal yaitu terapi suportif dan terapi spesifik. Terapi suportif dinilai merupakan yang terpenting dari penatalaksanaan terhadap SGB. Adapaun terapi tersebut adalah7,8 :

1. Terapi Suportifa. Manajemen ancaman gagal nafas dan terganggunya jalan nafas 20-30% pasien SGB akan mengalami gagal nafas yang memerlukan ventilasi mekanik. Gejala-gejala dari onset hingga minggu pertama yang merupakan prediktor terjadinya gagal nafas yang memerlukan penggunaan ventilator mekanik adalah : kelemahan otot-otot wajah, ketidakmampuan untuk batuk, ketidakmampuan untuk mengangkat kepala dari bantal dan gambaran atelektasis pada rontgen dada. Kapasitas vital 20mL/kgBB, tekanan inspirasi maksimal 30 cmH2O atau tekanan ekspirasi maksimal 40 cmH2O adalah tanda-tanda objektif ancaman gagal nafas. Komplikasi penggunaan ventilator yang harus diawasi dengan ketat adalah pneumoni, trakeo-bronkitis, emboli paru atau bakteremia. Durasi rerata penggunaan ventilasi mekanik pada pasien SGB adalah 2-6 minggu. Trakeostomi bisa dipertimbangkan setelah pemakaian ventilator mekanik lebih dari 2 minggu yang tidak menunjukkan perbaikan signifikan pada tes fungsi pulmo dan kekuatan. Percutaneous dilatational tracheostomy lebih dianjurkan karena mengurangi resiko ekstubasi yang tidak disengaja dan alasan kosmetik yang lebih baik. Jika didapatkan perbaikan pada tes fungsi pulmo dan kekuatan, dianjurkan untuk menunggu 1 minggu lagi sebelum pasien dilepaskan dari ventilator mekanik. b. Manajemen disfungsi sistem saraf otonom Disfungsi otonom akut hampir selalu dijumpai pada sebagian besar pasien SGB dan merupakan salah satu penyebab kematian tersering. Hiperaktifitas simpatis dan hipoaktifitas parasimpatis merupakan pola ketidaksembangan otonom yang paling sering ditemukan. Komplikasi yang sering muncul adalah gangguan jantung dan hemodinamik (manifestasi sebagai hipertensi, hipotensi postural dan takikardia) berikutnya adalah disotonomi fungsi defekasi dan miksi. Pemantauan gejala-gejala ini harus terus dilakukan sampai terdapat perbaikan secara klinis atau sudah mulai dilepaskan dari ventilator mekanik. Gangguan pada tekanan darah dan denyut jantung jangan selalu dipikirkan sebagai gangguan sekunder akibat disfungsi sistem saraf otonom bila gangguan tersebut menetap dalam waktu yang lama atau pada pasien SGB ringan. Takikardia yang terjadi biasanya dalam rentang 100-120 denyut per menit dan tidak memiliki makna klinis yang berarti. Tapi hal ini merupakan pertanda disritmia jantung yang sewaktu-waktu bisa menjadi bradikardia berat, blok jantung dan asistol. Penanganan keadaan ini adalah resusitasi dan penempatan alat pacu jantung bila perlu. Hipertensi muncul pada sepertiga pasien SGB secara paroksismal, hanya sesekali menetap. Perubahan tekanan derah bisa sedemikian ekstrim sehingga bisa terjadi hipotensi bahkan kematian mendadak. Jika hipertensi yang dialami berat dan menetap, maka gunakanlah anti-hipertensi yang dapat dititrasi. Untuk mencegah hipotensi postural ataupun episodik, volume intravaskular harus dipertahankan serta awasi pemakaian obat-obatan yang dapat menurunkan tekanan darah (diuretik, antihipertensi) Retensio urin muncul pada sepertiga pasien SGB. Gangguan ini muncul akibat disfungsi nervus parasimpatis sakrum dan saraf motorik pudendal dan ditangani dengan pemasangan kateter urin yang steril. Gangguan motilitas gastrointestinal terjadi pada 15% pasien dengan SGB berat. Ileus saluran cerna atas yang terjadi bisa memberikan gejala distensi abdomen, nyeri dan kram. Ileus saluran cerna bawah bisa memberikan gejala konstipasi. Ileus ini bersifat sementara tapi kadang-kadang dapat bertahan hingga beberapa minggu. Gangguan motilitas ini ditangani dengan pemberian nutrisi parenteral sebagai pengganti nutrisi enteral, suction berkala pada selang nasogastric, pemberian eritromisin atau neostigmin. Hindari penggunaan opioid untuk mengurangi beratnya gangguan motilitas ini. Rehabilitasi diperlukan untuk mencegah komplikasi sekunder oleh kelemahan dan imobilisasi (contohnya DVT, ulkus dekubitus, hipotensi postural), gangguan sensoris (kompresi, neuropati), disotonomi (distensi kandung kemih yang berlebihan), gangguan fungsi paru (pneumoni, hipoksia), penurunan berat badan (ulkus dekubitus, neuropati kompresi).2. Terapi Spesifik2.1 Terapi ImunoglobulinMeskipun terapi imunoglobulin telah dikenal penggunaannya selama lebih dari 25 tahun pada penyakit-penyakit autoimun, mekanisme kerjanya dalam menimbulkan perbaikan-perbaikan klinis tetap belum diketahui secara pasti. Tidak terdapat rekomendasi untuk pemberian IgIV pada pasien SGB dengan gejala minimal (skor kecacatan SGB 2) atau MFS.

Skor Kecacatan Sindroma Guillain-Barre

0Sehat

1Gejala minimal dan mampu berlari

2Mampu berjalan 10 meter tanpa bantuan, tidak mampu berlari

3Mampu berjalan 10 meter dengan bantuan

4Hanya dapat berbaring atau menggunakan kursi roda

5Memerlukan ventilasi bantuan beberapa jam dalam setiap hari

6Meninggal

2.2 Plasmafaresis (PE)Plasmafaresis (PE) adalah terapi yang paling pertama ditemukan yang efektif dalam mempercepat penyembuhan pasien SGB13. PE masih memiliki efektifitas yang baik jika diberikan 4 minggu setelah onset, tetapi paling baik jika diberikan dalam 2 minggu setelah onset. Rejimen yang biasa diberikan adalah 5 kali pergantian plasma yang dilakukan dalam rentang waktu 2 minggu. PE memiliki efektifitas yang sama dengan IVIg.7,8Mekanisme kerja PE adalah menghilangkan autoantibodi, alloantibodi, kompleks imun, protein monoklonal dan toksin. Mekanisme ini diyakini mengurangi kerusakan pada saraf dan mempercepat pemulihan secara klinis. Prosedur PE dimulai dengan mengeluarkan darah vena ke dalam kantung yang berisi antikoagulan. Setelah kantung penuh atau sudah tercapai jumlah yang diinginkan, aliran darah diputuskan dan penderita diberi larutan NaCl 0,9% agar aliran pada vena tetap terbuka. Darah dalam kantung disentrifugasi lalu plasmanya dibuang dan komponen lain dikembalikan ke pasien. Cairan yang digunakan untuk pengganti plasma dapat berupa fresh frozen plasma, albumin, koloid, ataupun derivat plasma lain. Kerugian dari prosedur PE adalah komplikasi yang berupa sepsis, yang diyakini terjadi akibat menurunnya kadar imunoglobulin. Jika pengganti plasma yang digunakan adalah fresh frozen plasma (FFP), maka terdapat resiko penularan penyakit infeksi seperti hepatitis dan HIV. 2.3 Terapi steroidKortikosteroid pernah diyakini merupakan suatu terapi yang efektif terhadap pasien SGB akibat mekanisme kerjanya terhadap inflamasi yang diperantarai imun. Tetapi dalam kenyataannya, kortikosteroid (metilprednisolon 500mg/hari selama 5 hari) baik diberikan secara tunggal ataupun kombinasi tidak menunjukkan perbedaaan keluaran klinis. Oleh karena itu, kortikosteroid tidak lagi memiliki tempat pada penatalaksanaan kasus SGB.7,8

3.10 PROGNOSISErasmus GBS Outcome Score (EGOS) adalah suatu sistem penilaian yang valid dan sederhana yang sering digunakan untuk menentukan prognosis pasien SGB. Scoring ini menilai 3 hal dari pasien SGB yaitu umur, riwayat diare dan nilai kecacatan SGB yang diambil saat 2 minggu sejak onset.1,4KategoriNilai

Usia saat onset (tahun)> 601

41-600.5

400

Diare ( 4 minggu)Ada1

Tidak ada0

Skor kecacatan SGB0 atau 11

22

33

44

55

EGOS1-7

Penilaian ini digunakan untuk menentukan kemampuan pasien untuk berjalan tanpa bantuan dalam waktu 6 bulan. Dari suatu studi didapatkan persentase seperti di bawah ini :Skor EGOSPersentase pasien tidak mampu berjalan dalam waktu 6 bulan

1-30.5%

3.5-4.57%

527%

5.5-752%

BAB IIIKESIMPULAN

Guillain Barre syndrome ( GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri dengan karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang sifatnya progresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris, otonom, maupun susunan saraf pusat. SGB merupakan Polineuropati akut, bersifat simetris dan ascenden, yang,biasanya terjadi 1 3 minggu dan kadang sampai 8 minggu setelah suatu infeksi akut. Pada Sindrom ini sering dijumpai adanya kelemahan yang cepat atau bisa terjadi paralysis dari tungkai atas, tungkai bawah, otot-otot pernafasan dan wajah. Sindrom ini dapat terjadi pada segala umur dan tidak bersifat herediter dan dikenal sebagai Landrys Paralisis ascending. Pertama dideskripsikan oleh Landry, 1859 menyebutnya sebagai suatu penyakit akut, ascending dan paralysis motorik dengan gagal napas.Gejala klinis SGB berupa kelemahan, gangguan saraf kranial, perubahan sensorik, nyeri, perubahan otonom, gangguan pernafasan. Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB, pengobatan terutama secara simptomatis. Tujuan utama penatalaksanaan adalah mengurangi gejala, mengobati komplikasi, mempercepat penyembuhan dan memperbaiki prognosisnya Pemeriksaan penunjang untuk Sindroma Guillain-Barre adalah pemeriksaan LCS, EMG dan MRI. Penyakit ini memiliki prognosis yang baik. Komplikasi yang dapat menyebabkan kematian adalah gagal nafas dan aritmia.Plasmaferesis telah dibuktikan dapat memperpendek lamanya paralisa dan mepercepat terjadinya penyembuhan. Waktu yang paling efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala. Sebanyak 95 % pasien dengan SGB dapat bertahan hidup dengan 75 % diantaranya sembuh total.

1