askep sle kelompok 3

Upload: ryzka-erlita

Post on 17-Oct-2015

357 views

Category:

Documents


18 download

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangBeberapa kelainan pada sistem integument memiliki keterkaitan dengan baik tidaknya system pertahanan tubuh atau imunitas. Salah satu penyakit yang akan kami bahas pada makalah ini mengenai penyakit LUPUS ERIMATOSUS SISTEMIK ( LES ).Penting untuk diketahui bahwa LES memiliki manifestasi ke berbagai organ didalam tubuh. Sebagai profesi perawat sudah sepatutnya kita mengetahui tentang apa itu LES dan yang terpenting adalah Asuhan Keperawatan seperti apa yang dapat kita tegakkan berkenaan dengan penyakit ini.Sebagai gambaran prevalensi LES di Amerika Serikat adalah 15-50 per 100.000 populasi. Setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 penyandang LES baru di seluruh dunia. Dapat mengenai semua ras, adapun wanita Afrika-Amerika mempunyai insidensi tiga kali lebih tinggi dibandingkan kulit putih serta memiliki kecenderungan perkembangan penyakit pada usia muda dan dengan komplikasi yang lebih serius. LES juga umum mengenai wanita hispanik, asia. Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari pasien rawat inap di rumah sakit. Data antara tahun 1988-1990, insidensi rata-rata penyandang LES adalah sebesar 37,7 per 10.000 perawatan dan cenderung meningkat dalam dua dekade terakhir.Tidak menutup kemungkinan prevalensi LES akan terus bertambah dari waktu ke waktu, oleh karenanya asuhan keperawatan yang kompetibel dan komprehensif wajib diketahui dan sedapat mungkin dilaksanakan pada pasien dengan LES.

B. Maksud dan tujuan1. MaksudMakalah ini dibuat agar pembaca mengetahui tentang apa yang dimaksud dengan LES ( Lupus Eritematosus Sistemik ) dan asuhan keperawatan yang dapat dilakukan.2. TujuanSetelah membaca makalah ini, mahasiswa dapat :a. Mengetahui tentang Patomekanisme Lupus Eritematosus Sistemik.b. Mengetahui bagaimana penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemikc. Mengetahui pencegahan dan komplikasi Lupus Eritematosus Sistemikd. Mengetahui Asuhan Keperawatan pada Lupus Eritematosus Sistemik

BAB IIKONSEP MEDIS

A. DefinisiLupus Eritematosus Sistemik ( LES ) adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan.( Lamont, David E, DO ;2006 )Menurut Prof.DR.Dr. Marwali Harahap, Sp.KK tahun 2000, Lupus Eritematosus Sistemik adalah penyakit sistemik yang mengenai berbagai organ sistemik, karateristik dengan adanya AAN ( Antibody Antinuclear ).Prevalensinya terjadi antara 50,8 per 100.000 orang diatas usia 17 tahun. Dan lebih sering mengenai wanita dengan perbandingan 7 : 1. Pada wanita kulit putih terjadi pada usia 18 65 tahun ( 1 / 1000 ) dan pada wanita kulit hitam 1/1250.

B. ETIOLOGIEtiologi dari LES masih belum diketahui secara jelas, dimana terdapat banyak bukti bahwa patogenesis LES bersifat multifaktoral seperti faktor genetik, faktor lingkungan dan faktor hormonal terhadap respons imun.Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan reaksi imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibodi ini juga berperan dalam pembentukan kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakan multiorgan.

a. Faktor genetikBerpengaruh sekitar 10% terhadap penyebab LES, resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Diduga berhubungan dengan gen respons imun spesifik pada kompleks histokompabilitas mayor kelas II, diantaranya kelainan pada gen HCA, B8, DR2, DRW52, DQ101, DQWL dan DQW2. Sedangkan untuk kelainan pada gen NULL-C4 banyak ditemui pada pasien dan keluarganya. Gen-gen lain yang mulai ikut berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin.b. Faktor lingkunganFaktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun dan memegang peranan dalam fase induksi yang secara langsung mengubah sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Faktor lingkungan lainnya yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa perokok memiliki resiko tinggi terkena lupus, berhubungan dengan zat yang terkandung dalam tembakau yaitu amino lipogenik aromatik. Karena dapat meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lainnya yaitu peranan agen infeksius terutama virus dapat ditemukan pada penderita lupus. Virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis.c. Faktor hormonalDiketahui terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormonestrogen dengan sistem imun. Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal sehingga mengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan pada pasien LES. Autoantibodi kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear ( ANA dan anti-DNA). Selain itu, terdapat antibodi terhadap struktur sel lainnya seperti eritrosit, trombosit dan fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal.

C. PATOFISIOLOGI Stimulasi antigen spesifik yang dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) dapat berasal dari luar seperti bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, dan dapat berasal dari dalam yaitu protein DNA atau RNA. Stimulus ini menyebabkan terjadinya aktifasi sel B dan sel T. Karena terdapat antibodi antilimfosit T, menyebabkan terjadinya limfositopenia sel T dan terjadi hiperaktifitas sel B. peningkatan sel B yang teraktifasi menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia.Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+ (helper). CD4+ membantu menginduksi terjadinya supresi dengan menyediakan signal bagi CD8+ (Isenberg and Horsfalli, 1998). Berkurangnya jumlah sel T juga menyebabkan berkurangnya subset tersebut sehingga signal yang sampai pada CD8+ juga berkurang dan menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua subset sel T yang disebut double negatif (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis dan sekresi autoantibodi (Mok and Lau, 2003). Proses autoantibodi terjadi melalui 3 mekanisme yaitu :1) Kompleks imun terjebak dalam membran jaringan dan mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan.2) Autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang terjebak dalam jaringan, komplemen akan teraktifasi dan terjadi kerusakan jaringan.3) Autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktifasi komplemen yang berperan dalam kematian sel (Epstein, 1998).Pada sel B, terjadi peningkatan reseptor sitokin, IL-2, sehingga dapat meningkatkan heat shock protein 90 (hsp 90) dan CD4+ pada sel B. Namun terjadi penurunan terhadap CR 1 ( complement reseptor 1) dan juga fagositosis yang inadekuat pada igG2 dan igG3 karena lemahnya ikatan reseptor FcRIIA dan FcRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen C1, C2, C4. Adanya gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan antigen terhadap sistem imun dan terjadinya deposisi kompleks imun pada berbagai macam organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktifasi komplemen yang menghasilkan mediator-mediator inflamasi yang menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan atau gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, kulit dan sebagainya (Albar, 2003).Secara ringkas, proses perjalanan penyakit lupus eritematosus sistemik adalah sebagai berikut :Stimulasi antigen spesifik yang dibawa oleh antigen presenting cells (APCs)yang berasal dari luar (bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus) dan dari dalam (protein DNA/RNA)Terdapatnya antibodi antilimfosit T

Limfositopenia sel T, Hiperaktivitas sel B, fungsi sel T supresor abnormal

Double negatif (CD4-CD8-), hipergamaglobulinemia, penimbunan kompleks ag-ab (igG/igM) dalam jaringan/pembuluh darah

Mengaktifkan komplemen

Komplemen melepaskan MCF (Macrophage chemotactic factor)

Makrofag dikerahkan ke tempat tersebut

Melepaskan enzim protease dan bahan toksik yang berasal dari metabolisme oksigen dan arginin (oksigen radikal bebas)

Merusak jaringan sekitarnya (autoimun)

Lupus Eritematosus SistemikD. KLASIFIKASI LES1. Discoid Lupus, yang juga dikenal sebagai Cutaneus Lupus, yaitu penyakit Lupus yang menyerang kulit.2. Systemics Lupus, penyakit Lupus yang menyerang kebanyakan system di dalam tubuh, seperti kulit, sendi, darah, paru-paru, ginjal, hati, otak, dansistem saraf. Selanjutnya kita singkat dengan SLE (Systemics Lupus Erythematosus).3. Drug-Induced,penyakit Lupus yang timbul setelah penggunaan obat tertentu. Gejala-gejalanya biasanya menghilang setelah pemakaian obat dihentikan

E. MANIFESTASI LES1. Manifestasi secara umuma. Kelelahan : moderate sampai berat sekitar 76%b. Demam (83%) dicurigai karena terpapar infeksic. Penurunan berat badan ( 63%)d. Lesi kulit ( 85% ) berupa ruam kemerahan, dan 52% diantaranya berupa ruam kemerahan seperti kupu-kupu pada pipi dan hidung.e. Fotosensivitas 2. Manifestasi pada persendianTerjadi pada 95% penderita LES, diantaranya :a. Artritis ; nyeri pada pergerakan, nyeri tekan dan efusi. Artritis dengan kelainan bentuk terjadi pada 15% LES yang mempunyai bentuk leher seperti angsa.b. Artralgia ; terjdi pada bagian antar falang, lutut, pergelangan tangan dan persendian metacarpal.c. Mialgia dan miositis. Ditemukan pada 1/3 LES. Kelemahan otot bagian pangkal mungkin terjadi karena pengobatan dengan kortikosteroid.3. Manifestasi pada ginjala. Proteinuria, hematuria dan nefritis sindromb. Gagal ginjal ( 20% ) tanpa dialysis dapat bertahan hidup sekitar 5 tahun dengan pengobatan agresif.c. Pada nefritis lupus, tanda adanya hipertensi merupakan prognosis yang jelek dan harus diobati secara agresif.4. Manifestasi pada jantung a. Nyeri dada ( 40% )b. Perikarditis ( 25% )c. Radang pada arteri korona, terutama pada LES lanjut dengan pengobatan kortikosteroid.d. Disfungsi katup jantung dan endokarditis bacterial ( 5% )e. Angina pektorisf. Infark miokard dan gagal jantung kongestif5. Manifestasi pada paru-parua. Radang interstisial parenkim paru (pneumonitis)b. Emboli paruc. Hipertensi pulmonald. Perdarahan paru6. Manifestasi pada sistem saraf.a. Neuropati perifer berupa campuran sensorik motorik seperti mono neurotis multipleks ( 14% )b. Kadang ditemukan Guillain Barre syndrome c. Disorientasid. Gangguan persepsi sensori dan fungsi intelektuale. Nyeri kepala karena adanya infark otak.f. Kejangg. Meningitis aseptik7. Manifestasi pada organ pencernaana. Mual, muntah dan anoreksiab. Nyeri perut, berupa kramc. Perforasi usus besar karena radang pada arteri mesenterikad. Hepatomegali 8. Manifestasi hemik dan limfatika. Anemia tanpa diperantarai proses imun, anemia defisiensi besi, sel sabitb. Anemia yang diperantarai proses imun : anemia aplastik, anemia hemolitik, anemia pernisiosa.c. Leucopeniad. Trombositopeniae. Peningkatan Laju Endap darahf. Limpadenopati g. Splenomegali

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSIS DAN PENUNJANG1. DiagnostikPada tahun 1982, American Rheumatism Association (ARA) menetapkan kriteria baru untuk klasifikasi SLE yang diperbarui pada tahun 1997. Kriteria SLE ini mempunyai selektivitas 96%. Diagnosa SLE dapat ditegakkan jika pada suatu periode pengamatan ditemukan 4 atau lebih kriteria dari 11 kriteria yaitu :a. Ruam malar : eritema persisten, datar atau meninggi, pada daerah hidung dan pipi.b. Ruam diskoid : bercak eritematosa yang meninggi dengan sisik keratinyang melekat dan sumbatan folikel, dapat terjadi jaringan parut.c. Fotosensitivitas : terjadi lesi kulit akibat abnormalitas terhadapcahaya matahari.d. Ulserasi mulut : ulserasi di mulut atau nasofaring.e. Artritis : artritis nonerosif yang mengenai 2 sendi perifer ditandai oleh nyeri, bengkak, atau efusi.f. Serositis1. Pleuritis : adanya riwayat nyeri pleural atau terdengarnya bunyi gesekan pleura atau adanya efusi pleura.2. Perikarditis : diperoleh dari gambaran EKG atau terdengarnya bunyi gesekan perikard atau efusi perikard.g. Kelainan ginjal1. Proteinuria yang lebih besar 0,5 g/dL atau lebih dari 3+2. Ditemukan eritrosit, hemoglobin granular, tubular, atau campuran.h. Kelainan neurologis : kejang atau psikosis.i. Kelainan hematologik : anemia hemolitik atau leukopenia(kurang dari 4000/mm3) atau limfopenia (kurang dari 1500/mm3),atau trombositopenia (kurang dari 100.000/mm3) tanpa ada obat penginduksi gejala tersebut.j. Kelainan imunologik : anti ds-DNA atau anti-Sm positif atau adanya antibodi antifosfolipidk. Antibodi antinukleus : jumlah ANA yang abnormal pada pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan yang ekuivalen pada setiap saatdan tidak ada obat yang menginduksi sindroma lupus (Delafuente, 2002).

2. Pemeriksaan penunjang a. ANA (antibodi antinuklear) Antinuklear antibodi (ANA) merupakan suatu kelompok autoantibodi yang spesifik terhadap asam nukleat dan nukleoprotein, ditemukan pada connective tissue disease seperti SLE, sklerosis sistemik, Mixed Connective Tissue Disease (MCTD) dan sindrom sjogrens primer. ANA dapat diperiksa dengan menggunakan metode imunofluoresensi. ANA digunakan sebagai pemeriksaan penyaring pada connective tissue disease. Dengan pemeriksaan yang baik, 99% penderita LES menunjukkan pemeriksaan yang positif

b. Anti dsDNA (double stranded)Anti ds-DNA positif dengan kadar yang tinggi dijumpai pada 73% SLE dan mempunyai arti diagnostik dan prognostic. Peningkatan kadar anti ds-DNA 20 menunjukkan peningkatan aktifitas penyakit. Pada LES, anti ds-DNA mempunyai korelasi yang kuat dengan nefritis lupus dan aktifitas penyakit SLE. Pemeriksaan anti ds-DNA dilakukan dengan metode radioimmunoassay, ELISA dan C.luciliae immunofluoresens.c. Antibodi anti-S (smith)Antibodi spesifik terdapat pada 20-30 % pasien.d. Anti-RNP (ribonukleoprotein), anti-ro/anti-SS-A, anti-La (antikoagulan lupus)/anti-SSB, dan antibodi antikardiolipin. Titernya tidak terkait dengan kambuhnya LES.e. Pemeriksaan komplemenKomplemen merupakan salah satu sistem enzim yang terdiri dari 20 protein plasma dan bekerja secara berantai (self amplifying) seperti model kaskade pembekuan darah dan fibrinolisis. Pada LES, kadar C1,C4,C2 dan C3 biasanya rendah, tetapi pada lupus kutaneus normal. Penurunan kadar kompemen berhubungan dengan derajat beratnya SLE terutama adanya komplikasi ginjalf. CBC (Complete Blood Cell Count)Mengukur jumlah sel darah, maka terdapat anemia, leukopenia,trombositopenia.g. ESR(Erithrocyte Sedimen Rate), laju endap darah pada lupus akan ESR akan lebih cepat daripada normal.h. Fungsi hati dan ginjal (biopsi)i. Urinalysis Pengukuran urin untuk mengetahui kadar protein dan sel darah merah dalam urin.j. X-ray dadak. ECG (Echocardiogram)l. Faktor rheumatoid

Pemerikasaan laboratorium : darah dan urina. Darah rutin : anemia, LED, trombositopenia, limfopenia, atau leucopeniab. Urin lengkap : proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme granular atau sel darah merah pada urin.Pemeriksaan autoantibodyPembentukan autoantibodi cukup kompleks dan belum ada satu kajian yang mampu menjelaskan secara utuh mekanisme patofisiologiknya. Demikian pula halnya dengan masalah otoimunitas. Pada masalah yang terakhir, dikatakan terdapat kekacauan dalam sistim toleransi imun dengan sentralnya pada T-helper dan melahirkan banyak hipotesis, antara lain modifikasi autoantigen, kemiripan molekuler antigenik terhadap epitop sel-T, cross reactive peptide terhadap epitop sel-B, mekanisme bypass idiotipik, aktivasi poliklonal dan sebagainya. Mekanisme lain juga dapat dilihat dari sudut adanya gangguan mekanisme regulasi sel baik dari tingkat thymus sampai ke peripher

G. PENATALAKSANAAN 1. Secara UmumPenyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam penatalaksanaan penderita LES, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis. Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu apakah penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif yang agresif. Bila penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan lainnya. Tidak ada pengobatan yang permanen untuk SLE. Tujuan dari terapi adalah mengurangi gejala dan melindungi organ dengan mengurangi peradangan dan atau tingkat aktifitas autoimun di tubuh. Bentuk penanganan umum pasien dengan SLE antara lain (Sukmana,2004):a. KelelahanHampir setengah penderita SLE mengeluh kelelahan. Sebelumnya kita harus mengklarifikasi apakah kelelahan ini bagian dari derajat sakitnya atau karena penyakit lain yaitu: anemia, demam, infeksi, gangguan hormonal atau komplikasi pengobatan dan emotional stress. Upaya mengurangi kelelahan di samping pemberian obat ialah: cukup istirahat, batasi aktivitas, dan mampu mengubah gaya hidup.b. Hindari merokokWalaupun prevalensi SLE lebih banyak pada wanita, cukup banyak wanita perokok. Kebiasaan merokok akan mengurangi oksigenisasi, memperberat fenomena Raynaud yang disebabkan penyempitan pembuluh darah akibat bahan yang terkandung pada sigaret/rokok.c. CuacaWalaupun di Indonesia tidak ditemukan cuaca yang sangat berbeda dan hanya ada dua musim, akan tetapi pada sebagian penderita SLE khususnya dengan keluhan artritis sebaiknya menghindari perubahan cuaca karena akan mempengaruhi proses inflamasi.d. Stres dan trauma fisikBeberapa penelitian mengemukakan bahwa perubahan emosi dan trauma fisik dapat mempengaruhi sistem imun melalui: penurunan respons mitogen limfosit, menurunkan fungsi sitotoksik limfosit dan menaikkan aktivitas sel NK (Natural Killer). Keadan stress tidak selalu mempengaruhi aktivasi penyakit, sedangkan trauma fisik dilaporkan tidak berhubungan dengan aktivasi SLE-nya. Umumnya beberapa peneliti sependapat bahwa stress dan trauma fisik sebaiknya dikurangi atau dihindari karena keadaan yang prima akan memperbaiki penyakitnya.e. DietTidak ada diet khusus yang diperlukan pasien LES, makanan yang berimbang dapat memperbaiki kondisi tubuh. Beberapa penelitian melaporkan bahwa minyak ikan (fish oil) yang mengandung eicosapentanoic acid dan docosahexanoic acid dapat menghambat agregasi trombosit, leukotrien dan 5-lipoxygenase di sel monosit dan polimorfonuklear. Sedangkan pada penderita dengan hiperkolesterol perlu pembatasan makanan agar kadar lipid kembali normal.f. Sinar matahari (sinar ultra violet)Seperti diketahui bahwa sinar ultra violet mempunyai tiga gelombang, dua dari tiga gelombang tersebut (320 dan 400 nm) berperan dalam proses fototoksik. Gelombang ini terpapar terutama pada pukul 10 pagi s/d pukul 3 sore, sehingga semua pasien SLE dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari pada waktu-waktu tersebut.g. Kontrasepsi oralSecara teoritis semua obat yang mengandung estrogen tinggi akan memperberat LES, akan tetapi bila kadarnya rendah tidak akan membahayakan penyakitnya. Pada penderita SLE yang mengeluh sakit kepala atau tromboflebitis jangan menggunakan obat yang mengandung estrogen.2. Terapi konservatifDiberikan tergantung pada keluhan atau manifestasi yang muncul. Pada keluhan yang ringan dapat diberikan analgetik sederhana atau obat antiinflamasi nonsteroid namun tidak memperberat keadaan umum penderita. Efek samping terhadap sistem gastrointestinal, hepar dan ginjal harus diperhatikan, dengan pemeriksaan kreatinin serum secara berkala. Pemberian kortikosteroid dosis rendah 15 mg, setiap pagi. Sunscreen digunakan pada pasien dengan fotosensivitas. Sebagian besar sunscreen topikal berupa krem, minyak, lotion atau gel yang mengandung PABA dan esternya, benzofenon, salisilat dan sinamat yang dapat menyerap sinar ultraviolet A dan B atau steroid topikal berkekuatan sedang, misalnya betametason valerat dan triamsinolon asetonid.3. Terapi agresifPemberian oral pada manifestasi minor seperti prednison 0,5 mg/kgBB/hari, sedangkan pada manifestasi mayor dan serius dapat diberikan prednison 1-1,5 mg/kgBB/hari. Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mg/kgBB selama 3 hari dapat dipertimbangkan sebagai pengganti glukokortikoid oral dosis tinggi, kemudian dilanjutkan dengan prednison oral 1-1,5 mg/kgBB/ hari.Secara ringkas penatalaksanaan LES adalah sebagai berikut :b. Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai bersama kortikosteroid, secara topical untuk kutaneus.c. Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan SLEd. Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi imun.e. Pemberian obat anti inflamasi nonsteroid termasuk aspirin untuk mengendalikan gejala artritis.f. Krim topikal kortikosteroid, seperti hidrokortison, buteprat ( acticort ) atau triamsinalon (aristocort) untuk lesi kulit yang akut.g. Penyuntikan kortikosteroid intralesiatau pemberian obat anti malaria, seperti hidroksikolorokuinsulfat ( plaquinil ), mengatasi lesi kulit yang membandel.h. Kortikosteroid sistemik untuk mengurangi gejala sistemik SLE dan mencegah eksaserbasi akut yang menyeluruh ataupun penyakit serius yang berhubungan dengan sistem organ yang penting, seperti pleuritis, perikarditis, nefritis lupus, faskulitis dan gangguan pada SSP. (Kowa lak, Welsh, Mayer . 2002).

BAB IIIASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN1. Identitasa. Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik bisa terjadi pada wanita maupun pria, namun penyakit ini sering diderita oleh wanita, dengan perbandingan wanita dan pria 8 : 1.b. Biasa ditemukan pada ras-ras tertentu seperti Negro, Cina, dan Filiphina.c. Lebih sering pada usia 20-40 tahun, yaitu pada usia produktif.d. Faktor ekonomi dan geografis tidak mempengaruhi distribusi penyakit ini.2. Keluhan UtamaPada umumnya pasien mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.3. Riwayat Penyakit DahuluPerlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu, apakah pernah menderita penyakit ginjal atau manifestasi SLE yang serius, atau penyakit autoimun yang lain.4. Riwayat Penyakit Sekaranga. Perlu dikaji yaitu gejala apa yang pernah dialami pasien (misalnya ruam malar-fotosensitif, ruam diskoid-bintik-bintik eritematosa menimbul, Artralgia/arthritis, demam, kelelahan, nyeri dada pleuritik, perikarditis, bengkak pada pergelangan kaki, kejang, ulkus dimulut.b. Mulai kapan keluhan dirasakan.c. Faktor yang memperberat atau memperingan serangan.d. keluhan-keluhan lain yang menyertai.5. Riwayat PengobatanKaji apakah pasien mendapat terapi dengan Klorpromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid, dilantin, penisilamin, dan kuinidin.6. Riwayat Penyakit KeluargaPerlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami penyakit yang sama atau penyakit autoimun yang lain.7. Pemeriksaan FisikDikaji secara sistematisB1 ( Breath )Irama dan kecepatan nafas, kesimetrisan pergerakan nafas, penggunaan otot nafas tambahan, sesak, suara nafas tambahan (rales, ronchii), nyeri saat inspirasi, produksi sputum, reaksi alergi . Patut dicurigai terjadi pleuritis atau efusi pleura..B2 ( Blood )Tanda-tanda vital, apakah ada nyeri dada, suara jantung ( S1,S2,S3), bunyi systolic click ( ejeksi click pulmonal dan aorta ), bunyi mur-mur. Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanganB3 ( Brain )Mengukur tingkat kesadaran ( efek dari hipoksia ) Glasgow Coma Scale secara kuantitatif dan respon otak ; compos mentis sampai coma (kualitatif), orientasi klien. Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejangB4 ( Bladder )Pengukuran urine tampung ( menilai fungsi ginjal ), warna urine (menilai filtrasi glomelorus),B5 ( Bowel )Pola makan, nafsu makan, muntah, diare, berat badan dan tinggi badan., turgor kulit. Nyeri perut, nyeri tekan, apakah ada hepatomegali, pembesaran limpa.

B6 ( Bone )Nyeri persendian, rentang gerak, oedema persendian, nyeri tekan, kesimetrisan skeletal.Selain pemeriksaan fisik diatas, dapat pula dilakukan pemeriksaan system integument yang meliputi : Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru, nyeri, hiperventilasi2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perikarditis, penurunan fungsi ventrikel, gangguan volume sekuncup3. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan aliran darah, gangguan aliran arteri, hipovolemia4. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan, agenn penyebab cedera ; kimia5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kehilangan nafsu makan akibat luka di mulut, mual, muntah, anoreksia, nyeri abdomen.6. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urin akibat retensi natrium / glomerulonefritis.7. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.8. Intoleransi aktivitas fisik berhubungan dengan kelemahan atau keletihan akibat anemia.9. Kerusakan integritas kulit; ruam, lesi berhubungan dengan perubahan sirkulasi, fotosensitivitas, dan edema.10. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan ruam, ulkus, lesi, purpura, kebotakan.11. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit, leukopenia, penurunan hemoglobin12. Resiko perdarahan berhubungan dengan penurunan faktor pembekuan darah13. Defisit perawatan diri : berpakaian, makan, berdandan berhubungan dengan keletihan, gangguan muskuloskeletal, nyeri, kelemahan, intoleransi terhadap aktifitas14. Kurang pengetahuan tentang kondisi prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi

C. INTERVENSI KEPERAWATAN1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru, nyeri, hiperventilasi

Tujuan : Menunjukkan pola pernafasan efektifKriteria Hasil :a. Respirasi rate normal (16-24 x/menit)b. Klien tidak mengalami sesak nafasc. bunyi nafas bersihd. kepatenan jalan nafase. TTV dalam batas normal

No Intervensi Rasional

1.Auskultasi bunyi nafas, tandai daerah paru yang mengalami penurunan / kehilangan ventilasi, dan munculnya bunyi adventisius misalnya, krekels, mengi, ronchimemperkirakan adanya perkembangan komplikasi atau infeksi pernafasan.

2.Catat kecepatan / kedalaman pernafasan, sianosis, peggunakan otot aksesori/peningkatan kerja pernafasan dan munculnya dipsnea, ansietas.

Takipnea, sianosis, tak dapat beristirahat, dan peningkatan nafas menunjukkan kesulitan pernafasan dan adanya kebutuhan untuk meningkatkan pengawasan / intervensi medis.

3.Tinggikan kepala tempat tidur. Meningkatkan fungsi pernafasan yang optimal.

4.Berikan periode istirahat yang cukup diantara waktu aktivitas perawatan. Pertahankan lingkungan yang tenang.Menurunkan konsumsi O2

5.Ajarkan pasien teknik nafas dalam

Nafas dalam dapat meningkatkan ventilasi.

6.Berikan tambahan oksigen yang dilembabkan melalui cara yang sesuai misalnya melalui kanula, masker, intubasi / ventilasi mekanis.mempertahankan ventilasi / oksigenasi efektif untuk mencegah / memperbaiki krisis pernafasan

2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perikarditis, penurunan fungsi ventrikel, gangguan volume sekuncupTujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan,menunjukkan curah jantung yang memuaskan

Kriteria hasil: Menunjukkan tanda-tanda vital dalam batas yang dapat diterima (disritmia terkontrol atau hilang) dan bebas gejala gagal jantung (mis : parameter hemodinamik dalam batas normal, haluaran urine adekuat). Melaporkan penurunan episode dispnea,angina. Ikut serta dalam aktivitas yang mengurangi beban kerja jantung.NO.Intervensi Rasional

1.Kaji frekuensi nadi, RR, TD secara teratur setiap 4 jam.Memonitor adanya perubahan sirkulasi jantung sedini mungkin.

2.Catat bunyi jantung.Mengetahui adanya perubahan irama jantung.

3.Kaji perubahan warna kulit terhadap sianosis dan pucat.Pucat menunjukkan adanya penurunan perfusi perifer terhadap tidak adekuatnya curah jantung. Sianosis terjadi sebagai akibat adanya obstruksi aliran darah pada ventrikel.

4.Pantau intake dan output setiap 24 jam.Ginjal berespon untuk menurunkna curah jantung dengan menahan produksi cairan dan natrium.

5.Batasi aktifitas secara adekuat.Istirahat memadai diperlukan untuk memperbaiki efisiensi kontraksi jantung dan menurunkan komsumsi O2 dan kerja berlebihan.

6.Berikan kondisi psikologis lingkungan yang tenang.Stres emosi menghasilkan vasokontriksi yang meningkatkan TD dan meningkatkan kerja jantung.

3. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan aliran darah, gangguan aliran arteri, hipovolemiaTujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan, menunjukkan perfusi jaringan adekuat.Kriteria hasil: warna kulit normal, integritas kulit baik, vital sign dalam batas yang dapat diterima, intake output seimbang, akral teraba hangat, sianosis (-), nadi perifer kuat, pasien sadar/terorientasi, tidak ada udema, bebas nyeri/ketidaknyamanan.NO.Intervensi Rasional

1.1.Pantau pembedaan ketajaman atau ketumpulan atau panas atau dinginDapat membedakan sensasi menandakan perfusi jaringan adekuat

2.observasi adanya pucat, sianosis, belang, kulit dingin/lembab, catat kekuatan nadi perifer.

Vasokonstriksi sistemik diakibatkan oleh penurunan curah jantung mungkin dibuktikan oleh penurunan perfusi kulit dan penurunan nadi

3.Pantau pernafasanPompa jantung gagal dapat mencetuskan distres pernafasan. Namun dispnea tiba-tiba/berlanjut menunjukkan komplikasi tromboemboli paru.

4.. Dorong latihan kaki aktif/pasif.

Menurunkan stasis vena, meningkatkan aliran balik vena dan menurunkan resiko tromboplebitis

5.. Kaji fungsi GI, catat anoreksia, penurunan bising usus, mual/muntah, distensi abdomen, konstipasi.Penurunan aliran darah ke mesentrika dapat mengakibatkan disfungsi GI, contoh kehilangan peristaltik.

6.. Pantau masukan dan perubahan keluaran urine.

Penurunan pemasukan/mual terus-menerus dapat mengakibatkan penurunan volume sirkulasi, yang berdampak negatif pada perfusi dan organ.

7.Kaji tanda Homan (nyeri pada betis dengan posisi dorsofleksi), eritema, edema.Indikator adanya trombosis vena dalam

8.Anjurkan pasien atau keluarga untuk memeriksa kulit setiap hari Untuk mengetahui perubahan integritas kulit

4. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan, agen penyebab cedera ; kimia

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan, pasien dapat memperlihatkan pengendalian nyeriKriteria Hasil : 1) Pasien menunjukkan teknik relaksasi secara individual yang efektif untuk mencapai kenyamanan.2) Mempertahankan skala nyeri atau dapat berkurang.3) RR normal (16-24 x/menit), Nadi normal (60-100 x/menit)4) Melaporkan kesejahteraan fisik dan psikologis5) Mengenali faktor penyebab dan menggunakan tindakan untuk mencegah nyeri.6) Menggunakan tindakan mengurangi nyeri dengan analgetik dan nonanalgetik secara tepat.7) Wajah klien nampak rileks.No Intervensi Rasional

1.Observasi tanda-tanda vitalPada pasien yang nyeri akan terjadi peningkatan RR dan nadi

2.Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada rasa nyeri.Penjelasan seseorang mengenai nyeri yang dirasakannya merupakan indikator yang dapat diandalkan dari pada hasil pengukuran yang objektif, seperti perubahan TTV, gerakan tubuh, dan ekspresi wajah.

3.Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta sifat kronik penyakitnya.Pengungkapan dengan kata-kata merupakan tahap yang penting dalam koping

4.Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan (kompres panas /dingin; masase, perubahan posisi, istirahat; kasur busa, bantal penyangga, bidai; teknik relaksasi, aktivitas yang mengalihkan perhatian)Rasa nyeri dapat responsive terhadap intervensi bukan obat-obatan, seperti perlindungan sendi, teknik relaksasi, dan bentuk-bentuk terapi suhu.

5.Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang membawa pasien untuk memakai metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.Dampak nyeri pada kehidupan individu sering menimbulkan kesalapahaman tentang nyeri dan teknik-teknik penanganannya.

6.Berikan preparat antiinflamasi,analgetik seperti yang dianjurkan.Nyeri terhadap penyakit LES responsif terhadap pemberian obat satu macam saja atau kombinasi.

7.Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap penatalaksanaan nyeri.Pengalaman nyeri sebelumnya dan strategi pentalaksanaan dapat berbeda dengan yang dibutuhkan untuk nyeri persisten

8.Jelaskan patofisiologik nyeri, membantu pasien sadar bahwa nyeri membawanya pada terapi yang belum terbukti manfaatnya.Pengetahuan tentang nyeri terapi yang tepat dapat membantu pasien untuk menghindari bentuk-bentuk terapi yang tidak aman dan tidak efektif

5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kehilangan nafsu makan akibat luka di mulut, mual, muntah, anoreksia, nyeri abdomen.Tujuan : Kebutuhan nutrisi klien kembali adekuat, setelah dilakukan tindakan.Kriteria Hasil :1) Mempertahankan BB atau memperlihatkan peningkatan BB2) Mempertahankan LILA 3) Hb normal : Pria (13-16 g/dl), wanita (12-14 g/dl)4) Albumin normal : 4 g/dl5) Konjungtiva tidak anemis6) Tak ada mual/muntah7) Anoreksia (-)8) Menunjukkan perbaikan tingkat energi9) Porsi makanan dapat dihabiskan

No Intervensi Rasional

1.Kaji kemampuan untuk mengunyah, merasakan, dan menelan.Lesi mulut, tenggorok, dan esophagus dapat menyebabkan disfagia, penurunan kemampuan pasien untuk mengolah makanan dan mengurangi keinginan untuk makan.

2.Auskultasi bising ususHipermotalitas saluran interstinal umum terjadi dan dihubungkan dengan muntah dan diar, yang dapat mempengaruhi pilihan diet /cara makan.

3.Berikan perawatan mulut yang terus menerus. Hindari obat kumur yang mengandung alkohol.Mengurangi ketidaknyamanan yang berhubungan dengan mual/muntah, lesi oral. Mulut yang bersih akan meningkatkan nafsu makan.

4.Batasi makanan yang menyebabkan mual dan muntah mungkin kurang ditoleransi oleh pasien karena luka pada mulut. Hindari menghidangkan makanan / cairan yang sangat panas. Sajikan makanan yang mudah untuk ditelan.Rasa sakit pada mulut atau ketakutan akan mengiritasi lesi mulut mungkin akan menyebabkan pasien enggan untuk makan. Tindakan ini mungkin akan berguna dalam meningkatkan pemasukan makanan.

5.Konsultasikan dengan tim pendukung ahli diet / giziMenyediakan diet berdasarkan kebutuhan individu dengan rute yang tepat.

6.Berikan obat-obatan sesuai petunjuk :Antiemetik,misalnya metokloropramid.Suplemen vitaminMengurangi insiden muntah, meningkatkan fungsi gaster.

Kekurangan vitamin terjadi akibat penurunan masukan makanan dan/atau kegagalan mengunyah dan absorbs dalam sistem gastrointestinal.

7.Berikan informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi dan bagaimana memenuhinyaMeningkatkan kepedulian pasien mengenai nutrisi yang adekuat

8.Ajarkan metode untuk perencanaan makanMerangsang minat pasien untuk makan sedikit tapi sering

6. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urin akibat retensi natrium / glomerulonefritis.Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan, Kelebihan volume cairan dapat dikurangi Kriteria hasil : Nadi perifer terabakuat Berat jenis urine dalam batas normal Intake-output / 24 jam seimbang Tidak ada acites, edema anasarka