makalah askep sle kel.10

49
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit yang penyebabnya tidak diketahui, dengan terjadinya kerusakan pada jaringan atau sel akibat autoantibodi atau imun kompleks langsung terhadap satu atau lebih komponen inti. Kejadinnya 90% pada wanita, sekitar 500 pada masa subur. Masa hidup akibat penyakit ini dengan lam 10 tahun sebesar 75% dan dengan lama 20 tahun sebesar 50%. Penyebab kematiannya adalah infeksi samapi sepsis, lupusflares (serangan mendadak), kegagalan organ vital, atau penyakit jantung. Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi 1

Upload: khairani-latifa

Post on 26-Dec-2015

139 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Askep Sle Kel.10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit yang

penyebabnya tidak diketahui, dengan terjadinya kerusakan

pada jaringan atau sel akibat autoantibodi atau imun

kompleks langsung terhadap satu atau lebih komponen inti.

Kejadinnya 90% pada wanita, sekitar 500 pada masa subur.

Masa hidup akibat penyakit ini dengan lam 10 tahun sebesar

75% dan dengan lama 20 tahun sebesar 50%. Penyebab

kematiannya adalah infeksi samapi sepsis, lupusflares

(serangan mendadak), kegagalan organ vital, atau penyakit

jantung.

Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit

yang ditandai dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh

sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk melawan

bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik

merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel

darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh

yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan

lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda, misalnya

akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan

perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat

rendah (Sukmana, 2004).

Faktor pencetusnya adalah faktor keturunan, akibat

pengaruh lingkungan, atau keadaan abnormal hormone

seksual. Bukti faktor keturunannya adalah kejadiannya lebih

besar pada monozigot dibandingkan dizigot. Sekitar 10%

dapat terjadi pada lingkungan keluarga.

1

Page 2: Makalah Askep Sle Kel.10

Setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 penderita

baru. Hal ini disebabkan oleh manifestasi penyakit yang

sering terlambat diketahui sehingga berakibat pada

pemberian terapi yang inadekuat, penurunan kualitas

pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh

penderita SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum

terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan keluarganya

tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait

dengan SLE. Oleh karena itu penting sekali meningkatkan

kewaspadaan masyarakat tentang dampak buruk penyakit

SLE terhadap kesehatan serta dampak psikologi dan sosialnya

yang cukup berat untuk penderita maupun keluarganya.

Kurangnya prioritas di bidang penelitian medik untuk

menemukan obat-obat penyakit SLE yang baru, aman dan

efektif, dibandingkan dengan penyakit lain juga merupakan

masalah tersendiri (Yayasan Lupus Indonesia).

1.2 Rumusan Masalah

Adapun beberapa masalah yang dirumuskan dari penulisan

makalah ini antara lain :

1. Apa itu sistemik lupus eritematosus ?

2. Bagaimana anatomi dan fisiologi dari sistem imun ?

3. Apa saja etiologi dari sistemik lupus eritematosus ?

4. Bagaimana patofisiologi dari sistemik lupus eritematosus ?

5. Bagaiamana WOC pada penyakit sistemik lupus

eritematosus ?

6. Apa saja manifestasi klinis dari sistemik lupus eritematosus

?

7. Apa saja komplikasi yang terjadi pada penyakit sistemik

lupus eritematosus ?

8. Bagaimana penatalaksanaan yang dilakukan pada klien

sistemik lupus eritematosus?

2

Page 3: Makalah Askep Sle Kel.10

9. Apa saja pemeriksaan penunjang pada sistemik lupus

eritematosus ?

10. Bagaimana asuhan keperawatan teoritis pada pasien

SLE dan aplikasi NANDA, NOC, dan NIC?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini antara lain :

1. Untuk mengetahui pengertian dari sistemik lupus

eritematosus.

2. Untuk mengetahui Anatomi dan fisiologi dari sistem imun.

3. Untuk mengetahui Untuk mengetahui Etiologi dari sistemik

lupus eritematosus.

4. Untuk mengetahui patofisiologi dari sistemik lupus

eritematosus.

5. Untuk mengetahui WOC pada penyakit sistemik lupus

eritematosus

6. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari sistemik lupus

eritematosus

7. Untuk mengetahui komplikasi yang terjadi pada penyakit

sistemik lupus eritematosus

8. Untuk mengetahui penatalaksanaan yang dilakukan pada

klien sistemik lupus eritematosus

9. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang pada sistemik

lupus eritematosus

10. Untuk mengetahui asuhan keperawatan teoritis pada

pasien SLE dan aplikasi NANDA, NOC, dan NIC

1.4 Manfaat Penulisan

Penulisan makalah ini diharapkan memberi manfaat yang

luas, baik bagi penulis sendiri maupun pembaca umumnya :

1. Bagi penulis, sebagai pemenuhan tugas keperawatan

sistem imun dan hematologi, penulisan makalah ini banyak

3

Page 4: Makalah Askep Sle Kel.10

memberi manfaat baik langsung maupun tidak langsung,

diantaranya penulis mendapatkan pengetahuan mengenai

penyakit sistemik lupus eritematosus yang biasa disebut

dengan lupus saja. Disamping itu penulis merasa dilatih

untuk menulis dan menjadikannya sebagai bahan referensi

serta kajian untuk meningkatkan wawasan dan

pengetahuan.

2. Bagi pembaca, tidak jauh beda dengan yang penulis

sampaikan diatas, diharapkan melalui tulisan ini dapat

memberikan pengetahuan yang lebih banyak tentang

penyakit sistemik lupus eritematosus yang biasa disebut

dengan lupus ini.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi

mulitisistem yang disebabkan oleh banyaka faktor (Isenberg

and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan

disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan

produksi aotoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003).

Terbentuknya autoantibodi terhadap DNA, berbagai

macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan

4

Page 5: Makalah Askep Sle Kel.10

fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar,

2003) melalui mekanisme pengaktivan komplemen (Epstein,

1998).

2.2 Anatomi dan Fisiologi Sistem Imun dan Hematologi

2.2.1 Sistem Imun

1. Pengertian

Imunologi adalah suatu ilmu yang mempelajari

antigen, antibodi, dan fungsi pertahanan tubuh penjamu

yang diperantarai oleh sel, terutama berhubungan imunitas

terhadap penyakit, reaksi biologis hipersensitif, alergi dan

penolakan jaringan.

Sistem imun adalah sistem pertahanan manusia

sebagai perlindungan terhadap infeksi dari makromolekul

asing atau serangan organisme, termasuk virus, bakteri,

protozoa dan parasit. Sistem kekebalan juga berperan

dalam perlawanan terhadap protein tubuh dan molekul lain

seperti yg terjadi pd autoimunitas dan melawan sel yang

teraberasi mjd tumor.

2. Letak Sistem Imun

5

Page 6: Makalah Askep Sle Kel.10

3. Fungsi Sistem Imun

a. Sumsum

Semua sel sistem kekebalan tubuh berasal dari sel-sel

induk dalam sumsum tulang. Sumsum tulang adalah

tempat asal sel darah merah, sel darah putih, (termasuk

limfosit dan makrofag) dan platelet. Sel-sel dari sistem

kekebalan tubuh juga terdapat di tempat lain.

b. Thymus

Glandula thymus memproduksi dan

mematurasi/mematangkan T limfosit yang kemudian

bergerak ke jaringan limfatik yang lain,dimana T

limfosit dapat berespon terhadap benda asing. Thymus

mensekresi 2 hormon thymopoetin dan thymosin yang

menstimulasi perkembangan dan aktivitas T limfosit.

1) Limfosit T sitotoksik

limfosit yang berperan dan imunitas yang

diperantarai sel. Sel T sitotoksik memonitor sel di

dalam tubuh dan menjadi aktif bila menjumpai sel

dengan antigen permukaan yang abnormal. Bila

telah aktif sel T sitotoksik menghancurkan sel

abnormal.

6

Page 7: Makalah Askep Sle Kel.10

2) Limfosit T helper

Limfosit yang dapat meningkatkan respon

sistem imun normal. Ketika distimulasi oleh antigen

presenting sel sepeti makrofag, T helper melepas

faktor yang yang menstimulasi proliferasi sel B

limfosit.

3) Limfosit B

Tipe sel darah putih ,atau leukosit penting untuk

imunitas yang diperantarai antibodi/humoral. Ketika

di stimulasi oleh antigen spesifik limfosit B akan

berubah menjadi sel memori dan sel plasma yang

memproduksi antibodi.

4) Sel plasma

Klon limfosit dari sel B yang terstimulasi. Plasma

sel berbeda dari limfosit lain ,memiliki retikulum

endoplamik kasar dalam jumlah yang banyak ,aktif

memproduksi antibodi

c. Getah Bening

Kelenjar getah bening berbentuk kacang kecil terbaring

di sepanjang perjalanan limfatik. Terkumpul dalam situs

tertentu seperti leher, axillae, selangkangan, dan para-

aorta daerah.

d. Nodus limfatikus

Nodus limfatikus (limfonodi) terletak sepanjang sistem

limfatik. Nodus limfatikus mengandung limfosit dalam

jumlah banyak dan makrofag yang berperan melawan

mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh. Limfe

bergerak melalui sinus,sel fagosit menghilangkan benda

asing. Pusat germinal merupakan produksi limfosit.

e. Tonsil

Tonsil adalah sekumpulan besar limfonodi terletak

pada rongga mulut dan nasofaring. Tiga kelompok

7

Page 8: Makalah Askep Sle Kel.10

tonsil adalah tonsil palatine, tonsil lingual dan tonsil

pharyngeal.

f. Limpa/ Spleen

Limpa mendeteksi dan merespon terhadap benda

asing dalam darah ,merusak eritrosit tua dan sebagai

penyimpan darah. Parenkim limpa terdiri dari 2 tipe

jaringan: pulpa merah dan pulpa putih

1) Pulpa merah terdiri dari sinus dan di dalamnya terisi

eritrosit

2) Pulpa putih terdiri limfosit dan makrofag

Benda asing di dalam darah yang melalui pulpa

putih dapat menstimulasi limfosit .

4. Mekanisme Pertahanan

a. Mekanisme Pertahanan Non Spesifik

Dilihat dari caranya diperoleh, mekanisme

pertahanan non spesifik disebut juga respons imun

alamiah. Terdiri dari kulit dan kelenjarnya, lapisan

mukosa dan enzimnya, serta kelenjar lain beserta

enzimnya, contoh kelenjar air mata. Kulit dan silia

merupakan system pertahan tubuh terluar.

Demikian pula sel fagosit (sel makrofag, monosit,

polimorfonuklear) dan komplemen merupakan

komponen mekanisme pertahanan non spesifik.

b. Mekanisme Pertahanan Spesifik

8

Page 9: Makalah Askep Sle Kel.10

Bila pertahanan non spesifik belum dapat

mengatasi invasi mikroorganisme, maka imunitas

spesifik akan terangsang. Mekanisme pertahanan

spesifik adalah mekanisme pertahanan yg diperankan

oleh limfosit, dengan atau tanpa bantuan komponen

sistem imun lainnya seperti sel makrofag dan

komplemen. Dilihat dari cara diperolehnya, mekanisme

pertahanan spesifik disebut juga sebagai respons imun

didapat.

1) Imunitas humoral adalah imunitas yg diperankan

oleh limfosit B dengan atau tanpa bantuan dari

imunokompeten lainnya. Tugas sel B akan

dilaksanakan oleh imunoglobulin yg disekresi oleh

plasma. Terdapat 5 kelas imunoglobulin yg kita

kenal, yaitu IgG, IgM, IgA, IgD, dan IgE.

Antibodi (antibody,  gamma globulin) adalah

glikoprotein dengan struktur tertentu yang disekresi

dari pencerap limfosit-B yang telah teraktivasi

menjadi sel plasma, sebagai respon dari antigen

tertentu dan reaktif terhadap antigen tersebut.

Pembagian Immunglobulin.

a) Antibodi A (Immunoglobulin A, IgA) adalah

antibodi yang memainkan peran penting dalam

imunitas mukosis.

b) Antibodi D (Immunoglobulin D, IgD) adalah sebuah

monomer dengan fragmen yang dapat mengikat 2

epitop.

c) Antibodi E (antibody E, immunoglobulin E, IgE)

adalah jenis antibodi yang hanya dapat ditemukan

pada mamalia.

d) Antibodi G (Immunoglobulin G, IgG) adalah

antibodi monomeris yang terbentuk dari dua

9

Page 10: Makalah Askep Sle Kel.10

rantai berat dan rantai ringan, yang saling

mengikat dengan ikatan disulfida, dan mempunyai

dua fragmen antigen-binding.

e) Antibodi M (Immunoglobulin M,

IgM,  macroglobulin) adalah antibodi dasar yang

berada pada plasma B.

2) Imunitas seluler didefinisikan sbg suatu respon imun

terhadap suatu antigen yg diperankan oleh limfosit T

dg atau tanpa bantuan komponen sistem imun

lainnya.

2.2.2 Sistem Hematologi

1. Pengertian

Hematologi adalah cabang ilmu kesehatan yg

mempelajari darah, organ pembentuk darah dan

penyakitnya.

Hematologi berasal dari bahasa Yunani “haima” yang

artinya darah. Darah manusia adalah cairan jaringan

tubuh. Fungsi utamanya adalah mengangkut oksigen yg

diperlukan oleh se-sel di seluruh tubuh. Darah juga

menyuplai tubuh dengan nutrisi, mengangkut zat-zat sisa

metabolisme, dan mengandung berbagai bahan penyusun

sistem imun yg bertujuan mempertahankan tubuh dari

berbagai penyakit. Hormon-hormon dari sistem endokrin

juga diedarkan melalui darah.

Hematopoisis adalah proses pembentukan darah dan

system imun, menghasilkan semua sel darah tubuh,

termasuk sel darah unutk pertahanan imunologis. Terjadi

di sumsum tulang, dimana sel batang multipotensial

memunculkan 5 jenis sel yang berbeda yang dikenal

sebagai sel batang unipotensial.

2. Macam - Macam Darah

10

Page 11: Makalah Askep Sle Kel.10

a. Sel darah merah

b. Sel darah putih

1) Granulosit

a) Neutrofil. Merupakan granulosit terbanyak. Fagosit

kuat menangkap, mencerna, membuang benda

asing.

b) Eosinofil merupakan sejenis fagositik yang

mengatur respon alergi dan bertahan melawan

parasit.

c) Basofil normalnya bukanlah fagositik tetapi dapat

melepaskan histamine dan amin vasoaktif lain

pada reaksi alergi akut.

2) Agranulosit

a) Limfosit meliputi sel T yang matang di dalam

thymus, dan sel B yang mungkin matang di

sumsum tulang. Keduanya bertahan melawan

antigen.

b) Monosit. Monosit dibedakan kedalam macrofag

yang sangat fagositik. Monosit merupakan sel

terbesar dari kelima sel darah putih.

c. Trombosit (keping darah)

Trombosit melindungi permukaan vascular dan agregasi

untuk meningkatkan koagulasi, yang menghentikan

kehilangan darah.

2.3 Etiologi

Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE

yaitu sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang

terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di

daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel

keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu

khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA

11

Page 12: Makalah Askep Sle Kel.10

DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat

banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan

kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh.  Hal

ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh

membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk

menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).

Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung

asam amino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel

limfosit T dan B sehingga dapat menyebabkan SLE

(Delafuente, 2002). Selain itu infeksi virus dan bakteri juga

menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan

mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral

sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang akan

memicu terjadinya SLE   (Herfindal et al., 2000).

Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat

penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar

10% – 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree

relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada

saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada

saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir

menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan antara lain

haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen

komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan

komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gen-

gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin

(Albar, 2003) .

2.4 Patofisiologi

Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang

menyebabkan aktivasi sel B, peningkatan jumlah sel yang

menghasilkan antibodi, hipergamaglobulinemia, produksi

12

Page 13: Makalah Askep Sle Kel.10

autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun (Mok dan Lau,

2003). Aktivasi sel T dan sel B disebabkan karena adanya

stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar seperti

bahan-bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid

dinding sel atau yang berasal dari dalam yaitu protein DNA

dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells

(APCs) atau berikatan dengan antibodi pada permukaan sel B.

Kemudian diproses oleh sel B dan APCs menjadi peptida dan

dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan.

Sel T akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat

merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi yang

patogen. Interaksi antara sel B dan sel T serta APCs dan sel T

terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4 

(Epstein, 1998).

Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu

Th1 dan Th2. sel Th1 berfungsi mendukung cell-mediated

immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut dan

membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien

SLE ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang diproduksi oleh

sel Th2 yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga

mengganggu    cell-mediated immunity.

Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa

berkurangnya  produksi IL-2 dan hilangnya respon terhadap

rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat membantu

meningkatkan ekspresi sel T  (Mok dan Lau, 2003).

Abnormalitas dan disregulasi sistem imun pada tingkat

seluler dapat berupa gangguan fungsi limfosit T dan B, NKC,

dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi seiring dengan

limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T.

Peningkatan sel B yang teraktivasi menyebabkan terjadinya

hipergamaglobulinemia yang berhubungan dengan reaktivitas

self-antigen. Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami

13

Page 14: Makalah Askep Sle Kel.10

peningkatan sedangkan CR1 menurun (Silvia and Isenberg,

2001). Hal ini juga meningkatkan heat shock protein 90  (hsp

90) pada sel B dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi

pada permukaan sel limfosit dan akan menyebabkan

terjadinya respon imun. Sel T mempunyai 2 subset yaitu

CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+ (inducer/helper). SLE

ditandai dengan peningkatan sel B terutama berhubungan

dengan  subset CD4+ dan CD45R+. CD4+ membantu

menginduksi terjadinya  supresi  dengan menyediakan signal

bagi CD8+ (Isenberg and Horsfall, 1998). Berkurang jumlah

total sel T juga menyebabkan berkurangnya subset tersebut

sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan

menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B yang

hiperaktif. Berkurangnya kedua subset sel T ini yang umum

disebut double negative (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis

dan sekresi autoantibodi (Mok and Lau, 2003). Ciri khas

autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik pada satu

jaringan tertentu dan merupakan komponen integral dari

semua jenis sel sehingga menyebabkan inflamasi dan

kerusakan organ secara luas (Albar, 2003) melalui 3

mekanisme yaitu pertama kompleks imun (misalnya DNA-anti

DNA) terjebak dalam membran jaringan dan mengaktifkan

komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan. Kedua,

autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau

antigen yang terjebak di dalam jaringan, komplemen akan

teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme yang

terakhir adalah autoantibodi menempel pada membran dan

menyebabkan aktivasi komplemen yang berperan dalan

kematian sel atau autoantibodi masuk ke dalam sel dan

berikatan dengan inti sel dan menyebabkan menurunnya

fungsi sel tetapi belum diketahui mekanismenya terhadap

kerusakan jaringan (Epstein, 1998).

14

Page 15: Makalah Askep Sle Kel.10

Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa

gangguan klirens kompleks imun, gangguan pemrosesan

kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take kompleks

imun pada limpa (Albar, 2003). Gangguan klirens kompleks

imun dapat disebabkan berkurangnya CR1 dan juga

fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karena 

lemahnya ikatan reseptor FcγRIIA dan FcγRIIIA. Hal ini juga

berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen C1,

C2, C4. Adanya gangguan tersebut menyebabkan

meningkatnya paparan antigen terhadap sistem imun dan

terjadinya deposisi kompleks imun  (Mok dan Lau, 2003) pada

berbagai macam organ sehingga terjadi fiksasi komplemen

pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi

komplemen yang menghasilkan  mediator-mediator inflamasi

yang menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang inilah yang

menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ atau

tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura,

pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya (Albar, 2003).

Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang

dapat menginduksi apoptosis sel keratonosit) atau beberapa

obat  (seperti klorpromazin yang menginduksi apoptosis sel

limfoblas) dapat meningkatkan jumlah apoptosis sel yang

dilakukan oleh makrofag. Sel dapat mengalami apoptosis

melalui kondensasi dan fragmentasi inti serta kontraksi

sitoplasma. Phosphatidylserine (PS) yang secara normal

berada di dalam membran sel, pada saat apoptosis berada di

bagian luar membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan dengan

CRP, TSP, SAP, dan  komponen komplemen yang akan

berinteraksi dengan sel fagosit melalui reseptor membran

seperti transporter ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4),

reseptor αVβ3, CD36, CD14, lektin, dan mannose receptor

(MR) yang menghasilkan  sitokin  antiinflamasi.  Sedangkan 

15

Page 16: Makalah Askep Sle Kel.10

pada  SLE  yang  terjadi  adalah ikatan dengan autoantibodi 

yang kemudian akan berinteraksi dengan reseptor FcγR yang

akan menghasilkan sitokin proinflamasi. Selain gangguan

apoptosis yang dilakukan oleh makrofag, pada pasien SLE

juga terjadi gangguan apoptosis yang disebabkan oleh

gangguan Fas dan bcl-2 (Bijl et al., 2001).

2.5 WOC (terlampir)

2.6 Manifestasi Klinis

SLE adalah salah satu dari beberapa penyakit yang

dikenal sebagai " peniru hebat "karena sering meniru atau

keliru untuk penyakit lainnya. SLE adalah barang klasik

dalam diagnosis diferensial, karena gejala lupus sangat

bervariasi dan datang dan pergi tak terduga. Diagnosis

demikian dapat sulit dipahami, dengan beberapa orang yang

menderita gejala yang tidak jelas dari SLE yang tidak diobati

selama bertahun-tahun.

Keluhan awal dan kronis umum termasuk demam,

malaise, nyeri sendi, mialgia, kelelahan, dan hilangnya

kemampuan kognitif sementara. Karena mereka begitu

sering terlihat dengan penyakit lain, tanda-tanda dan gejala

bukan merupakan bagian dari kriteria diagnostik untuk SLE.

Ketika terjadi dalam hubungannya dengan tanda-tanda lain

dan gejala (lihat di bawah), namun, mereka dianggap

sugestif.

1. Dermatologis manifestasi

Sebanyak 30% dari penderita memiliki beberapa

gejala dermatologi (dan 65% menderita gejala seperti di

beberapa titik), dengan 30% sampai 50% menderita dari

16

Page 17: Makalah Askep Sle Kel.10

klasik ruam malar (atau ruam kupu-kupu ) yang

berhubungan dengan penyakit. Beberapa mungkin

menunjukkan tebal, bersisik bercak merah di kulit

(disebut sebagai lupus diskoid). Alopecia , mulut ,

hidung, saluran kemih dan vagina bisul, dan lesi pada

kulit juga manifestasi mungkin. Air mata kecil dalam

jaringan halus di sekitar mata bisa terjadi setelah

menggosok bahkan minim.

2. Musculoskeletal

Perhatian medis yang paling sering dicari adalah

untuk nyeri sendi, dengan sendi-sendi kecil dari tangan

dan pergelangan tangan biasanya terpengaruh,

meskipun semua sendi beresiko. The Lupus Foundation

of America memperkirakan lebih dari 90 persen dari

mereka yang terkena akan mengalami nyeri sendi dan /

atau otot pada beberapa waktu selama perjalanan

penyakit mereka. Tidak seperti rheumatoid arthritis ,

arthritis lupus kurang mematikan dan biasanya tidak

menyebabkan kerusakan parah sendi. Kurang dari

sepuluh persen orang dengan arthritis lupus akan

mengembangkan kelainan bentuk tangan dan kaki. SLE

pasien berada pada risiko tertentu mengembangkan

osteoarticular tuberkulosis.

Sebuah hubungan yang mungkin antara rheumatoid

arthritis dan lupus telah menyarankan, dan SLE mungkin

berhubungan dengan peningkatan risiko patah tulang

pada wanita yang relatif muda.

3. Hematologi

17

Page 18: Makalah Askep Sle Kel.10

Anemia dapat berkembang pada sampai dengan 50%

kasus. Rendah trombosit dan sel darah putih jumlah

mungkin karena penyakit atau efek samping pengobatan

farmakologi. Orang dengan SLE mungkin memiliki

hubungan dengan sindrom antifosfolipid antibodi

(gangguan trombotik), dimana autoantibodi untuk

fosfolipid yang hadir dalam serum mereka. Kelainan

yang berhubungan dengan sindrom antifosfolipid

antibodi termasuk berkepanjangan paradoks waktu

tromboplastin parsial (yang biasanya terjadi dalam

gangguan hemoragik) dan tes positif untuk antibodi

antifosfolipid, kombinasi dari temuan tersebut telah

mendapatkan "istilah lupus antikoagulan positif ".

Temuan lain autoantibody pada SLE adalah antibodi

anticardiolipin , yang dapat menyebabkan tes positif

palsu untuk sifilis .

4. Jantung

Seseorang dengan SLE mungkin memiliki

peradangan berbagai bagian jantung , seperti

perikarditis , miokarditis , dan endokarditis . Para

endokarditis dari SLE adalah bersifat noninfective (

Libman-Sacks endokarditis ), dan melibatkan baik katup

mitral atau katup trikuspid . Aterosklerosis juga

cenderung terjadi lebih sering dan kemajuan lebih cepat

dibandingkan pada populasi umum. [13] [14] [15 ]

5. Paru

Paru-paru dan radang pleura dapat menyebabkan

pleuritis , efusi pleura , pneumonitis lupus, penyakit paru

18

Page 19: Makalah Askep Sle Kel.10

kronis interstisial difus, hipertensi pulmonal , emboli paru

, perdarahan paru , dan sindrom paru-paru menyusut.

6. Ginjal

Painless hematuria atau proteinuria mungkin sering

menjadi gejala ginjal hanya presentasi. Gangguan ginjal

akut atau kronis dapat berkembang dengan nefritis lupus

, yang mengarah ke akut atau stadium akhir gagal

ginjal . Karena pengenalan dini dan manajemen dari SLE,

stadium akhir gagal ginjal terjadi dalam waktu kurang

dari 5% kasus.

Sebuah tanda histologis membran SLE adalah

glomerulonefritis dengan "loop kawat" kelainan. Temuan

ini karena endapan komplek imun di sepanjang

membran basal glomerulus, yang mengarah ke

penampilan granular khas di immunofluorescence

pengujian.

7. Neuropsikiatri

Neuropsikiatri sindrom bisa terjadi ketika lupus

mempengaruhi pusat atau sistem saraf perifer . The

American College of Rheumatology mendefinisikan

sindrom neuropsikiatri 19 dalam lupus eritematosus

sistemik. Diagnosis sindrom neuropsikiatri bersamaan

dengan SLE adalah salah satu tantangan paling sulit

dalam pengobatan, karena dapat melibatkan pola yang

berbeda begitu banyak gejala, beberapa di antaranya

mungkin keliru untuk tanda-tanda penyakit menular atau

stroke.

19

Page 20: Makalah Askep Sle Kel.10

Gangguan neuropsikiatri paling umum orang dengan

SLE miliki adalah sakit kepala, meskipun keberadaan

tertentu sakit kepala lupus dan pendekatan optimal

untuk sakit kepala dalam kasus lupus masih

controversial, manifestasi neuropsikiatri umum lainnya

dari SLE termasuk disfungsi kognitif, gangguan mood,

penyakit serebrovaskular, kejang, polineuropati,

gangguan kecemasan, dan psikosis . Jarang sekali bisa

hadir dengan sindrom hipertensi intrakranial, ditandai

dengan peningkatan tekanan intrakranial, papiledema,

dan sakit kepala dengan sesekali abducens saraf paresis,

adanya lesi menempati ruang-atau pembesaran

ventrikel, dan normal cairan serebrospinal kimia dan

hematologi konstituen.

Manifestasi lebih jarang adalah negara confusional

akut , sindrom Guillain-Barré, meningitis aseptik,

gangguan otonom, sindrom demielinasi, mononeuropati

(yang mungkin bermanifestasi sebagai multipleks

mononeuritis), gangguan gerakan (lebih spesifik,

chorea), myasthenia gravis, myelopathy, tengkorak

neuropati dan plexopathy.

8. Neurologis

Gejala saraf berkontribusi pada persentase yang

signifikan dari morbiditas dan mortalitas pada pasien

dengan lupus. Sebagai hasilnya, sisi saraf lupus sedang

dipelajari dengan harapan mengurangi angka morbiditas

dan mortalitas. Para manifestasi saraf lupus dikenal

sebagai lupus erythematosus neuropsikiatri yang

sistematis (NPSLE). Salah satu aspek dari penyakit ini

20

Page 21: Makalah Askep Sle Kel.10

adalah kerusakan parah pada sel-sel epitel dari

penghalang darah-otak .

Lupus memiliki berbagai gejala yang rentang tubuh.

Gejala-gejala neurologis termasuk sakit kepala, depresi,

kejang, disfungsi kognitif, gangguan mood, penyakit

serebrovaskular, polineuropati, gangguan kecemasan,

psikosis, dan dalam beberapa kasus yang ekstrim,

gangguan kepribadian. Di daerah tertentu, depresi

dilaporkan mempengaruhi hingga 60% dari wanita yang

menderita lupus.

9. Reproduksi

SLE menyebabkan tingkat peningkatan kematian

janin dalam rahim dan aborsi spontan (keguguran).

Tingkat kelahiran hidup-keseluruhan pada pasien SLE

telah diperkirakan 72%. hasil Kehamilan tampaknya

lebih buruk pada pasien SLE yang penyakit flare up

selama kehamilan.

Neonatal lupus adalah terjadinya gejala-gejala lupus

di bayi lahir dari seorang ibu dengan SLE, paling sering

menyajikan dengan ruam yang menyerupai lupus

eritematosus diskoid, dan kadang-kadang dengan

kelainan sistemik seperti blok jantung atau

hepatosplenomegali. Lupus neonatal biasanya jinak dan

diri terbatas.

10. Sistemik

Kelelahan pada SLE mungkin multifaktorial dan telah

terkait dengan aktivitas penyakit tidak hanya atau

komplikasi seperti anemia atau hipotiroidisme, tetapi

21

Page 22: Makalah Askep Sle Kel.10

juga untuk rasa sakit, depresi, miskin tidur yang

berkualitas, miskin kebugaran fisik dan dirasakan

kurangnya dukungan sosial

2.7 Komplikasi

Yang menjadi komplikasi dari SLE adalh sebagai berikut.

1. Vaskulitis (radang pembuluh)

2. Perikarditis

3. Myokarditis

4. Anemia hemolitik

5. Intravascular thrombosis

2.8 Penatalaksanaan pada Pasien SLE

Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi

gejala penyakit, mencegah terjadinya inflamasi dan

kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien,

memperpanjang ketahanan pasien, memonitor manifestasi

penyakit, menghindari penyebaran penyakit, serta

memberikan edukasi kepada pasien tentang manifestasi dan

efek samping dari terapi obat yang diberikan. Karena

banyaknya variasi dalam manifestasi klinik setiap individu

maka pengobatan yang dilakukan juga sangat individual

tergantung dari manifestasi klinik yang muncul. Pengobatan

SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi

(Herfindal et al., 2000).

1. Terapi farmakologi

Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan

sistem imun dan mengatasi inflamasi. Umumnya

22

Page 23: Makalah Askep Sle Kel.10

pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan

lamanya  pasien menderita SLE serta manifestasi yang

timbul pada setiap pasien.

2. Terapi nonfarmakologi

Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah

lemah sehingga diperlukan keseimbangan antara istirahat

dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan.

Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok karena

hidrasin dalam tembakau diduga juga merupakan faktor

lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE. Tidak ada

diet yang spesifik untuk penderita SLE (Delafuente, 2002).

Tetapi penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang

mengandung vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat

menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6,

TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA

(Venkatraman et al., 1999). Penggunaan sunblock (SPF 15)

dan menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE 

sangat disarankan untuk mengurangi paparan sinar UV

yang terdapat pada sinar matahari ketika akan beraktivitas

di luar rumah (Delafuente, 2002).

3. NSAID

Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE

yang ringan  termasuk salisilat dan NSAID yang lain

(Delafuente, 2002).  NSAID memiliki efek antipiretik,

antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat

dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif

COX-2 inhibitor. Nonselektif COX inhibitor menghambat

enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam

arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan

23

Page 24: Makalah Askep Sle Kel.10

dari mediator inflamasi termasuk interleukin, interferon,

serta tumor necrosing factor sedangkan  COX-1

merupakan enzim yang berperan pada fungsi

homeostasis tubuh seperti produksi prostaglandin untuk

melindungi lambung serta keseimbangan hemodinamik

dari ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa lambung, sel

endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal

(Katzung, 2002). Efek samping penggunaan NSAID

adalah perdarahan saluran cerna, ulser,  nefrotoksik, 

kulit  kemerahan,  dan  alergi lainnya. Celecoxib

merupakan inhibitor selektif COX-2 yang memiliki

efektivitas seperti inhibitor COX non selektif, tapi

kejadian perforasi lambung dan perdarahan menurun

hingga 50% (Neal, 2002).

Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat,

toleransi pasien terhadap efek samping yang timbul,

frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada

pasien SLE dilakukan selama 1 sampai 2 minggu untuk

mengevaluasi efikasi NSAID. Jika NSAID yang digunakan

tidak efektif dan menimbulkan efek samping maka dipilih

NSAID yang lain dengan periode 1 sampai 2 minggu.

Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan

efikasi tetapi malah meningkatkan efek samping

toksisitasnya sehingga tidak direkomendasikan. Apabila

terapi NSAID gagal maka dapat digunakan

imunosupresan seperti kortikosteroid atau antimalaria 

tergantung dari manifestasi yang muncul (Herfindal et

al., 2000).

Efek antiinflamasi dan analgesik aspirin dapat

digunakan untuk pengobatan demam, artritis, pleuritis,

24

Page 25: Makalah Askep Sle Kel.10

dan perikarditis. Dosis yang digunakan adalah 1,5 g

sehari. Selain itu dosis rendah aspirin (60–80 mg sehari

selama kehamilan minggu ke-13–26) yang

dikombinasikan dengan heparin dapat digunakan pada

pasien SLE yang mengalami kehamilan dengan sindrom

antifosfolipid antibodi melalui hambatan pembentukan

tromboksan-A2 Pemberian aspirin dapat dilakukan

bersama dengan makanan, air dalam jumlah besar, atau

susu untuk mengurangi efek samping pada saluran

cerna. Aspirin diabsorpsi di dalam saluran cerna sebesar

80-100% dari dosis oral. Di dalam tubuh, aspirin

mengalami hidrolisis menjadi metabolitnya yaitu salisilat.

Obat ini didistribusikan secara cepat dan luas ke dalam

jaringan dan cairan tubuh dan mempunyai ikatan yang

lemah dengan protein plasma. t1/2 aspirin 15 – 20 menit.

Apirin diekskresi di dalam urin dalam bentuk metabolit

salisilat, hanya 1% dari dosis oral yang diekskresikan

sebagai aspirin tidak terhidrolisis melalui urin

(McEvoy,2002).

Efek samping nefrotoksik karena NSAID dapat

menghambat prostaglandin PGE2 dan prostasiklin PGI2

yang merupakan vasodilator kuat yang disintesa di

dalam medulla dan glomerolus ginjal berfungsi

mengontrol aliran darah ginjal serta ekskresi garam dan

air. Adanya hambatan dalam sintesis prostaglandin di

ginjal menyebabkan retensi natrium, penurunan aliran

darah ginjal dan kegagalan ginjal. NSAID juga dapat

menyebabkan interstitial nefritis dan hiperkalemia (Neal,

2002). Oleh karena itu penggunaan NSAID sebaiknya

dihentikan pada pasien yang diduga lupus nefritis. Selain

itu NSAID dapat merusak mukosa gastrointestinal,

25

Page 26: Makalah Askep Sle Kel.10

kerusakan ini lebih disebabkan oleh hambatan sintesa

prostaglandin oleh NSAID daripada mekanisme lokal

secara langsung.  Dengan menghambat prostaglandin,

NSAID merusak barier perlindungan mukus sehingga

mukosa terpapar oleh asam lambung dan menyebabkan

ulserasi. (Neal, 2002). Karena efek samping tersebut di

atas maka pemberian NSAID sebaiknya dikombinasi

dengan obat gastroprotektif (Rahman, 2001).

4. Antimalaria

Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi

ringan atau sedang (demam, atralgia, lemas atau

serositis) yang tidak menyebabkan kerusakan organ-

organ penting. Beberapa mekanisme aksi dari obat

antimalaria adalah stabilisasi membran lisosom sehingga

menghambat pelepasan enzim lisosom, mengikat DNA,

mengganggu serangan antibodi DNA, penurunan

produksi prostaglandin dan leukotrien, penurunan

aktivitas sel T, serta pelepasan IL-1 dan tumor necrosing

factor α (TNF- α).

Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2

minggu awal terapi dan kebanyakan pasien mengalami

regresi eritema lesi kulit pada 2 minggu pertama. Jika

pasien memberikan respon yang baik maka dosis

diturunkan menjadi 50%  selama beberapa   bulan    

sampai     manifestasi     SLE      teratasi. Sebelum

pengobatan dihentikan sebaiknya dilakukan tapering

dosis dengan memberikan obat malaria dosis rendah dua

atau tiga kali per minggu. Sekitar 90% pasien kambuh

setelah 3 tahun penghentian obat. (Herfindal et al.,

2000).

26

Page 27: Makalah Askep Sle Kel.10

Obat malaria yang sering digunakan adalah :

a. Klorokuin

b. Hidroksiklorokuin

5. Kortikosteroid

Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan

tidak memberikan respon terhadap penggunaan obat

lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan terapi

kortikosteroid. Beberapa pasien yang mengalami  lupus

eritematosus pada kulit baik kronik atau subakut lebih

menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal atau

intralesional. Kortikosteroid mempunyai mekanisme

kerja sebagai antiinflamasi melalui hambatan enzim

fosfolipase yang mengubah fosfolipid menjadi asam

arakidonat sehingga tidak terbentuk mediator – mediator

inflamasi seperti leukotrien, prostasiklin, prostaglandin,

dan tromboksan-A2 serta menghambat melekatnya sel

pada endotelial terjadinya inflamasi dan meningkatkan

influks neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang

bermigrasi ke tempat terjadinya inflamasi.

6. Siklofosfamid

Digunakan untuk pengobatan penyakit yang  berat

dan merupakan obat sitotoksik bahan pengalkilasi. Obat

ini bekerja dengan mengganggu proliferasi sel, aktivitas

mitotik, diferensiasi dan fungsi sel. Mereka juga

menghambat pembentukan DNA yang menyebabkan

kematian sel B, sel T, dan neutrofil yang berperan dalam

inflamasi. Menekan sel limfosit B dan menyebabkan

penekanan secara langsung pembentukan antibodi (Ig G)

27

Page 28: Makalah Askep Sle Kel.10

sehingga mengurangi reaksi inflamasi. Terapi dosis

tinggi dapat berfungsi sebagai imunosupresan yang

meningkatkan resiko terjadinya neutropenia dan infeksi.

7. Obat lain

8. Obat-obat lain yang digunakan pada terapi penyakit SLE

antara lain adalah azatioprin, intravena gamma globulin,

monoklonal antibodi, terapi hormon, mikofenolat mofetil

dan pemberian antiinfeksi.

Selain dari pengobatan dengan terapi yang dilakukan

diatas, ada beberapa penatalaksanaan medis dalam

pengobatang penyakit lupus ini, yaitu sebagai berikut.

1. Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor

dan dipakai bersama kortikosteroid, secara topikal untuk

kutaneus.

2. Obat antimalaria untuk gejala kutaneus, muskuloskeletal

dan sistemik ringan SLE.

3. Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion)

untuk fungsi imun.

2.9 Pemeriksaan Penunjang

Ada beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat me

mbantu dokter untuk membuat diagnosaSLE, antara lain :

1. Pemeriksaan anti-nuclear antibodi (ANA)

yaitu : pemeriksaan untuk menentukan apakah autoantibo

di terhadap inti sel sering muncul di dalam darah.

2. Pemeriksaan anti ds DNA ( Anti double stranded DNA ).

yaitu : untuk menentukan apakah pasien memiliki antibodi 

terhadap materi genetik di  dalam sel.

3. Pemeriksaan anti-Sm antibody

28

Page 29: Makalah Askep Sle Kel.10

yaitu : untuk menentukan apakah ada antibodi terhadap S

m (protein yang ditemukandalam sel protein inti).

4.    Pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan immune

complexes (kekebalan) di dalam darah

5.    Pemeriksaan untuk menguji tingkat total dari serum comp

lement  (kelompok proteinyang dapat terjadi pada reaksi k

ekebalan) 

6.    Pemeriksaan sel LE (LE cell prep)

yaitu : pemeriksaan darah untuk mencari keberadaan jenis 

sel tertentu yang dipengaruhi

membesarnya antibodi terhadap lapisan inti sel lain

pemeriksaan ini jarang digunakanjika dibandingkan denga

n pemeriksaan ANA, karena pemeriksaan ANA lebih peka u

ntukmendeteksi penyakit Lupus dibandingkan dengan LE

cell prep.

7. Pemeriksaan darah lengkap, leukosit, thrombosit

8.    Urine Rutin

9.    Antibodi Antiphospholipid 

10.  Biopsy Kulit

11.  Biopsy Ginjal

29

Page 30: Makalah Askep Sle Kel.10

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

3.1 Pengkajian

3.1.1 Identitas Klien

Meliputi nama lengkap, tempat tanggal lahir, umur,

alamat, asal suku bangsa, pekerjaan, status.

3.1.2 Riwayat Kesehatan

a. Keluhan utama : penyebab utama klien dibawa ke

rumah sakit.

Mengeluhkan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku,

demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut

terhadap gaya hidup serta citra diri pasien

30

Page 31: Makalah Askep Sle Kel.10

b. Riwayat kesehatan saat ini : adanya tanda dan gejala

klinis berupa demam, malaise, nyeri sendi, mialgia,

kelelahan, dan hilangnya kemampuan kognitif

sementara.

c. Riwayat penyakit dahulu : mengidentifikasi adanya

faktor-faktor penyulit atau faktor yang membuat

kondisi pasien menjadi lebih parah.

d. Riwayat penyakit keluarga : adakah penyakit yang

diderita oleh anggota keluarga yang mungkin ada

hubungannya dengan penyakit klien sekarang.

Adanya anggota keluarga yang menderita penyakit

lupus.

e. Kondisi lingkungan tempat tinggal : apakah tempat

tinggal klien langsung terpapar dengan sinar UV atau

matahari.

3.1.3 Pola Fungsional Gordon

a. Pola persepsi dan penanganan kesehatan

Keluhan utama demam, adanya sesak nafas,

pembengkakan sendi, inspeksi adanya ruam kupu-

kupu di bagian pipi dan hidung

b. Pola nutrisi dan metabolik

Adanya kehilangan berat badan sampai beberapa kg,

adanya rasa mual dan muntah sehingga

mengakibatkan nafsu makan menurun

c. Pola eliminasi

Ada perubahan pola eliminasi (adanya diare), dan

juga sebagian penderita SLE ini juga mengalami

nefritis proliferative mesangial

d. Pola aktivitas dan latihan

31

Page 32: Makalah Askep Sle Kel.10

Sering mengeluhkan kelelahan yang luar biasa dan

sering mengalami nyeri pada persendiannya, sering

merasa lelah dan lemah sehingga aktivitas

terganggu

e. Pola istirahat dan tidur

Keluhan mengalami gangguan dalam tidur karena

nyeri yang dirasakan

f. Pola kognitif dan persepsi

Adanya perubahan pada daya perabaan yang mana

pada jari-jari tangannya terdapat lesi vaskultik. Pada

sistem neurologis, penderita bisa mengalami depresi,

psychosis, neuropathies

g. Pola persepsi diri dan konsep diri

Karena terjadinya lesi pada kulit yang bersifat

irreversible yang menimbulkan bekas seperti luka

dan warna yang buruk pada kulit penderita SLE akan

membuat penderita merasa malu dengan adanya lesi

kulit yang ada, seperti timbulnya kemerahan pada

pipi dan kulit

h. Pola peran hubungan

Penderita tidak dapat melakukan pekerjaan yang

biasa dilakukan selama sakit. Namun masih dapat

berkomunikasi. Selama sakit, tidak dapat melakukan

perannya dengan baik

i. Pola reproduksi dan seksualitas

Tidak ada gangggua dalam pola seksualitas dan

reproduksi

j. Pola koping dan toleransi stress

Timbulnya rasa depresi karena penyakitnya dan juga

stress karena nyeri yang dihadapi. Untuk itu,

dukungan dari keluarga dan tetangga sangat

32

Page 33: Makalah Askep Sle Kel.10

diperlukan sehingga penderita semanagat untuk

smebuh.

k. Pola nilai dan kepercayaan

Biasanya aktivitas ibadah penderita terganggu

karena keterbatasan aktivitas akibat kelemahan dan

nyeri sendi yang dirasakan

3.1.4 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan tanda-tanda vital :

Terlebih dahulu perlunya pemeriksaan tanda-tanda vital

yang meliputi tekanan darah (TD), nadi, respiratory rate

(RR) dan suhu. Ini sangat penting untuk dilakukan

untuk mengetahui tanda awal ketidakstabilan

hemodinamik tubuh, gambaran dari tanda bital yang

tidak stabil merupakan indikasi dari peningkatan atau

penurunan kondisi perfusi jaringan.

Adapun pemeriksaan fisik selanjutunya adalah sebagai

berikut.

Sistem Integumen

Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk

kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta

pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau

palatum durum.

Sistem Kardiovaskuler

Friction rub pericardium yang menyertai miokarditis

dan efusi pleura. Lesi eritematosus papuler dan

purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan

gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku,

33

Page 34: Makalah Askep Sle Kel.10

jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah

atau sisi lateral tangan.

Sistem Muskoloskeletal

Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa

nyeriketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.

Sistem Paru

Pleuritis atau efusi pleura

Sistem Vaskuler

Inflamasi pada arteriole terminalis yang

menimbulkan lesi papuler, eritematosus dan purpura

di ujung jari kaki, tangan, siku sreta permukaan

ekstensor bawah.

Sistem Renal

Edema dan hematuria.

Sistem Saraf

Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan

kejang-kejang, korea ataupun manifestasi SSP

lainnya.

34

Page 35: Makalah Askep Sle Kel.10

35

Page 36: Makalah Askep Sle Kel.10

3.2. Aplikasi NANDA, NOC, dan NIC

36

Page 37: Makalah Askep Sle Kel.10

37

No

Diagnosa keperawatan

NOC NIC

1 Nyeri akut b.d inflamasi

kontrol nyeri indicator :

Mengenali faktor penyebab

Mengenali onset (lamanya sakit)

Menggunakan metode pencegahan

Menggunakan metode nonanalgetik untuk mengurangi nyeri

Menggunakan analgetik sesuai kebutuhan

Mencari bantuan tenaga kesehatan

Melaporkan gejala pada tenaga kesehatan

Menggunakan sumber-sumber yang tersedia

Mengenali gejala-gejala nyeri

Mencatat pengalaman nyeri sebelumnya

Melaporkan nyeri sudah terkontrol

Manajemen nyeri

lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi

observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan

gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien

kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri

evaluasi pengalaman nyeri masa lampau

evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau

bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan

kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan

kurangi faktor presipitasi pilih dan lakukan penanganan

nyeri (farmakologi, non farmakologi dan inter personal)

kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi

ajarkan tentang teknik non farmakologi

berikan analgetik untuk mengurangi nyeri

evaluasi keefektifan kontrol nyeri tingkatkan istirahat

Page 38: Makalah Askep Sle Kel.10

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang

disebabkan oleh banyak faktor .dan karaktersasi oleh adanya gangguan

disregulasi sistem imun berupa peningkatan imun dan produksi autoantibody

yang berlebihan.

Manifestasi yang ditimbulkan berupa demam, malaise,

nyeri sendi, mialgia, kelelahan, dan hilangnya kemampuan

kognitif sementara. Karena mereka begitu sering terlihat

dengan penyakit lain, tanda-tanda dan gejala bukan

merupakan bagian dari kriteria diagnostik untuk SLE.

SLE lebih banyak terjadi pada wanita dari pada pria,manifestasi klinik

secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasalelah,

malaise,demam,penurunan napsu makan,dan penurunan BB.Tidak ada satu

testlaboratorium tunggal yang dapat memastikan diagnostik SLE.pengobatan

yangdigunakan pada SLE adalah nonsteroidal anti-inflammatory

drugs(NSAIDs),corticosteroids dan lain lain yang dapat mendukung

pengobatan penyakit SLE.

4.2 Saran

Dalam menerapkan Asuhan Keperawatan pada klien dengan SLE

diperlukan pengkajian,konsep dan teori oleh seorang perawat. Sehingga tidak

terjadi kesalahan dalam pemberian asuhan keperawatan. Karena dengan

memberikan asuhan keperawatan yang tepat kesehatan baik fisik maupun

psikologis pasien dapat membaik dengan cepat.

38