asfiksia hiperbilirubin new

Upload: al-azhar

Post on 09-Jul-2015

368 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB II PEMBAHASAN

A. Defenisi Asfiksia berasal dari bahasa Yunani, yaitu terdiri dari a yang berarti tidak, dan sphinx yang artinya nadi. Jadi secara harfiah, asfiksia diartikan sebagai tidak ada nadi atau tidak berdenyut. Pengertian ini sering salah dalam penggunaannya. Akibatnya sering menimbulkan kebingungan untuk membedakan dengan status anoksia lainnya. Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernapas secara spontan dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin sebelum lahir, umumnya akan mengalami asfiksia pada saat dilahirkan. Masalah ini erat hubungannya dengan gangguan kesehatan ibu hamil, kelainan tali pusat, atau masalah yang mempengaruhi kesejahteraan bayi selama atau sesudah persalinan. Jadi,Asfiksia atau mati lemas adalah suatu keadaan berupa berkurangnya kadar oksigen (O2) dan berlebihnya kadar karbon dioksida (CO2) secara bersamaan dalam darah dan jaringan tubuh akibat gangguan pertukaran antara oksigen atau udara dalam alveoli paru-paru dengan karbondioksida dalam darah kapiler paru-paru. Kekurangan oksigen disebut hipoksia dan kelebihan karbon dioksida disebut hiperkapnia.

B. Patofisiologi Pernafasan spontan Bayi Baru Lahir tergantung pada kondisi janin pada masa kehamilan dan persalinan. Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen selama kehamilan atau persalinan akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini akan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan kematian asfiksia yang terjadi dimulai suatu periode apneu disertai dengan penurunan frekuensi. Pada penderita asfiksia berat, usaha bernafas tidak tampak dan bayi selanjutnya berada dalam periode apnue kedua. Pada tingkat ini terjadi bradikardi dan penurunan Tekanan darah. Pada asfiksia terjadi pula gangguan metabolisme dan perubahan keseimbangan asam-basa pada tubuh bayi. Pada tingkat pertama hanya terjadi asidosis respioratorik. Bila berlanjut dalam tubuh bayi

akan terjadi proses metabolisme an aerobic yang berupa glikolisis glikogen tubuh, sehingga glikogen tubuh terutama pada jantung dan hati akan berkurang. Pada tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskular yang disebabkan oleh beberapa keadaan diantaranya : 1. Hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung. 2. Terjadinya asidosis metabolik yang akan menimbulkan kelemahan otot jantung. 3. Pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan mengakibatkan tetap tingginya resistensi pembuluh darah paru sehingga sirkulasi darah ke paru dan ke sistem sirkulasi tubuh lain akan mengalami gangguan.(Rustam, 1998) C. Etiologi Ada terdapat beberapa penyebab pada asfiksia ini, yaitu; 1. Asfiksia dalam kehamilan,yaitu : Penyakit infeksi akut Penyakit infeksi kronik Keracunan oleh obat-obat bius Uraemia dan toksemia gravidarum Anemia berat Cacat bawaan Trauma 2. Asfiksia dalam persalinan Kekurangan nya Oksigen yang di sebabkan oleh : Partus yang lama (CPD, rigid serviks dan atonia/ insersi uteri) Ruptur uteri yang memberat, kontraksi uterus yang terus-menerus mengganggu sirkulasi darah ke uri. Tekanan terlalu kuat dari kepala anak pada plasenta. Prolaps fenikuli tali pusat akan tertekan antara kepaladan panggul. Pemberian obat bius terlalu banyak dan tidak tepat pada waktunya.

D. Tanda dan Gejala Terdapat 4 stadium tanda dan gejala pada asfiksia, yaitu di antara nya : 1. Fase dispneu / sianosis Pada fase dispneu / sianosis asfiksia ini berlangsung kira-kira 4 menit. Fase ini terjadi akibat rendahnya kadar oksigen dan tingginya kadar karbon dioksida.Tingginya kadar karbondioksida akan merangsang medulla oblongata sehingga terjadi perubahan pada pernapasan, nadi dan tekanan darah.Sehingga seseorang akan menunjukkan tanda-tanda seperti ; Pernapasan terlihat cepat, berat, dan sukar. Nadi teraba cepat. Tekanan darah terukur meningkat. 2. Fase konvulsi Fase konvulsi asfiksia ini terjadi kira-kira 2 menit. Awalnya berupa kejang klonik lalu kejang tonik kemudian opistotonik.Seseorang menjuk kan tanda-tanda seperti ; Kesadaran mulai hilang pupil dilatasi denyut jantung lambat dan tekanan darah turun 3. Fase apneu Fase apneu asfiksia berlangsung kira-kira 1 menit. Fase ini dapat kita amati berupa adanya :

depresi pusat pernapasan (napas melemah) kesadaran menurun sampai hilang dan relaksasi spingter. 4. Fase akhir / terminal Fase akhir atau terminal pada asfiksia ini ditandai oleh adanya paralisis pusat pernapasan lengkap. Denyut jantung beberapa saat masih ada, lalu kemudian napas akan terhenti kemudian mati.

E. Klasifikasi asfiksia Klasifikasi asfiksia berdasarkan nilai APGAR a. Asfiksia berat dengan nilai APGAR 0-3 b. Asfiksia ringan sedang dengan nilai APGAR 4-6 c. Bayi normal atau sedikit asfiksia dengan nilai APGAR 7-9 d. Bayi normal dengan nilai APGAR 10 F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK 1. Pemeriksaan analisa gas darah 2.Penilaian APGAR score 3.Pengkajian spesifik 4.Pemeriksaan elektrolit darah 5.Pemeriksaan EGC dan CT-scan

6.Pemeriksaan gula darah 7.Baby gram 8.USG (kepala)

G. Komplikasi pada Asfiksia Komplikasi yang muncul pada asfiksia bayi antara lain : 1. Edema otak & Perdarahan otak Pada penderita asfiksia dengan gangguan fungsi jantung yang telah berlarut sehingga terjadi renjatan neonatus, sehingga aliran darah ke otak pun akan menurun, keadaaan ini akan menyebabkan hipoksia dan iskemik otak yang berakibat terjadinya edema otak, hal ini juga dapat menimbulkan perdarahan otak. 2. Anuria atau oliguria Disfungsi ventrikel jantung dapat pula terjadi pada penderita asfiksia, keadaan ini dikenal istilah disfungsi miokardium pada saat terjadinya, yang disertai dengan perubahan sirkulasi. Pada keadaan ini curah jantung akan lebih banyak mengalir ke organ seperti mesentrium dan ginjal. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya hipoksemia pada pembuluh darah mesentrium dan ginjal yang menyebabkan pengeluaran urine sedikit. 3. Kejang Pada bayi yang mengalami asfiksia akan mengalami gangguan pertukaran gas dan transport oksigen sehingga penderita kekurangan persediaan oksigen dan kesulitan pengeluaran karbondioksida, hal ini dapat menyebabkan kejang pada anak tersebut karena perfusi jaringan tak efektif.

4. Koma Apabila pada pasien asfiksia berat segera tidak ditangani akan menyebabkan koma karena beberapa hal diantaranya hipoksemia dan perdarahan pada otak. ASUHAN KEPERAWATAN A.Pengkajian. 1. Sirkulasi Nadi apikal dapat berfluktuasi dari 110 sampai 180 x/mnt. Tekanan darah 60 sampai 80 mmHg (sistolik), 40 sampai 45 mmHg (diastolik). Bunyi jantung, lokasi di mediasternum dengan titik intensitas maksimal tepat di kiri dari mediastinum pada ruang intercosta III/ IV. Murmur biasa terjadi di selama beberapa jam pertama kehidupan. Tali pusat putih dan bergelatin, mengandung 2 arteri dan 1 vena.

2. Eliminasi Dapat berkemih saat lahir

3.Makanan / cairan Berat badan : 2500-4000 gram Panjang badan : 44-45 cm Turgor kulit elastis

4. Neurosensori Tonus otot : fleksi hipertonik dari semua ekstremitas. Sadar dan aktif mendemonstrasikan refleks menghisap selama 30 menit pertama setelah kelahiran (periode pertama reaktivitas). Penampilan asimetris(molding, edema,hematoma). Menangis kuat, sehat, nada sedang (nada menangis tinggi menunjukkan abnormalitas genetik, hipoglikemi atau efek narkotik yang memanjang)

5. Pernafasan Skor APGAR : 1 menit.5 menit.skor optimal harus antara 7-10. Rentang dari 30-60 permenit, pola periodik dapat terlihat. Bunyi nafas bilateral, kadang-kadang krekels umum pada awalnya silindrik thorak : kartilago xifoid menonjol, umum terjadi.

6. Keamanan Suhu rentang dari 36,5 C sampai 37,5 C. Ada verniks (jumlah dan distribusi tergantung pada usia gestasi). Kulit : lembut, fleksibel, pengelupasan tangan/ kaki dapat terlihat, warna merah muda atau kemerahan, mungkin belang-belang menunjukkan memar minor (misal : kelahiran dengan forseps), atau perubahan warna herlequin, petekie pada kepala atau wajah (dapat menunjukkan peningkatan tekanan berkenaan dengan kelahiran atau tanda nukhal), bercak portwine, nevi

telengiektasis (kelopak mata, antara alis mata, atau pada nukhal) atau bercak mongolia (terutama punggung bawah dan bokong) dapat terlihat.Abrasi kulit kepala mungkin ada (penempatan elektroda internal) B. Diagnosa Keperawatan 1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d produksi mukus banyak. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan jalan nafas lancar. Kriteria hasil ; 1. Mudah dalam bernafas. 2. Tidak menunjukkan kegelisahan. 3. Tidak adanya sianosis. 4. Keseimbangan perfusi ventilas Intervensi ; 1) Tentukan kebutuhan oral/ suction tracheal. 2) Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suction 3) Beritahu keluarga tentang suction. 4)Bersihkan daerah bagian tracheal setelah suction selesai dilakukan. 5) Monitor status oksigen pasien, status hemodinamik segera sebelum, selama dan sesudah suction. 2. Pola nafas tidak efektif b/d hipoventilasi atau hiperventilasi. Tujuan ; Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan pola nafas menjadi efektif. Kriteria hasil;

1. Pasien menunjukkan pola nafas yang efektif. 2. Ekspansi dada simetris. 3. Tidak ada bunyi nafas tambahan. 4. Kecepatan dan irama respirasi dalam batas normal.

Intervensi ; 1) 2) 3) 5) Pertahankan Pantau Auskultasi Siapkan kepatenan jalan nafas jalan nafas dan untuk untuk dengan oksigenasi mengetahui ventilasi melakukan sesuai adanya pengisapan dengan penurunan bila lender. ventilasi. perlu.

status

pernafasan

kebutuhan.

4) Kolaborasi dengan dokter untuk pemeriksaan AGD dan pemakaian alan bantu nafas pasien mekanik 6) Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan. 3. Kerusakan pertukaran gas b/d ketidakseimbangan perfusi ventilasi. Tujuan ; Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan pertukaran gas teratasi. Kriteria hasil; 1.Tidak sesak nafas 2. Fungsi paru dalam batas normal Intervensi ; 1) Kaji bunyi paru, frekuensi nafas, kedalaman nafas dan produksi sputum. 2) Pantau saturasi Oksigen dengan oksimetri 3) Pantau hasil Analisa Gas Darah 4. Risiko ketidakseimbangan suhu tubuh b/d kurangnya suplai O2 dalam darah.

Tujuan; Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan suhu tubuh normal. Kriteria hasil ; 1. Temperatur badan dalam batas normal. 2. Tidak terjadi distress pernafasan. 3. Tidak gelisah. 4. Perubahan warna kulit. 5. Bilirubin dalam batas normal. Intervensi ; 1. Hindarkan pasien dari kedinginan dan tempatkan pada lingkungan yang hangat. 2. Monitor gejala yang berhubungan dengan hipotermi, misal fatigue, apatis, perubahan warna kulit dll. 3. Monitor temperatur dan warna kulit. 4. Monitor TTV. 5. Monitor adanya bradikardi. 6. Monitor status pernafasan

BAB III PEMBAHASAN

A.

Definisi Hiperbilirubin Hiperlirubin adalah akumulasi berlebihan dari bilirubin didalam darah ( Wong, hal 432 ).

Peningkatan kadar serum bilirubin disebabkan oleh deposisi pigmen bilirubin yang terjadi waktu pemecahan sel darah merah. Hiperbilirubin adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah >13 mg/dL.2 Hiperbilirubin (hiperbilirubinemia), secara umum adalah peningkatan bilirubin dalam darah, melebihi 4-5 mg/dL (4-5 mg%). Hiperbilirubin BUKAN PENYAKIT, tetapi merupakan tanda laboratoris dari berbagai penyakit (banyak). Untuk mengetahui penyakit-penyakit yang ditandai dengan hiperbilirubin pada pemeriksaan laboratorium, diperlukan pemeriksaan fisik oleh seorang dokter. Tanpa pemeriksaan oleh dokter, kita hanya akan melihat sederet nama penyakit yang berhubungan dengan hiperbilirubun. Itupun tidak semua yang mengalami hiperbilirubin menderitia penyakit. Hiperbilirubin, dapat juga dialami oleh orang sehat karena kelelahan fisik, dimana hiperbilirubin yang dialaminya bersifat temporer, yang akan menjadi normal kembali manakala kondisi fisik sudah pulih. Sekitar 60-80 % hiperbilirubin dialami oleh bayi premature (bayi kuning). Selebihnya dapat dijumpai pada banyak penyakit. Macam-Macam ikterus 1. Ikterus Fisiologis a. Timbul pada hari ke dua dan ketiga.

b. Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan dan 12,5 mg% untuk neonatus lebih bulan. c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% perhari. d. Ikterus menghilang pada 10 hari pertama. e. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologik.

2. Ikterus Patologik a. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama. b. Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau melebihi 12,5 mg% pada neonatus kurang bulan. c. Peningkatan bilirubin lebih dari 5 mg% perhari. d. Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama. e. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%. f. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik. B. Jenis-Jenis Hiperbilirubin

1. Bilirubin tidak terkonjugasi atau bilirubin indirek atau bilirubin bebas yaitu bilirubin tidak larut dalam air, berikatan dengan albumin untuk transport dan komponen bebas larut dalam lemak serta bersifat toksik untuk otak karena bisa melewati sawar darah otak. Bilirubin ini terikat oleh albumin dan diangkut ke dalam hati. Di dalam hati, bilirubin dikonjugasi oleh enzim glukoronid transferase menjadi bilirubin direk yang larut dalam air, yang kemudian disalurkan melalui saluran empedu ke usus. 2. Bilirubin terkonjugasi atau bilirubin direk atau bilirubin terikat yaitu bilirubin larut dalam air dan tidak toksik untuk otak. Di dalam usus, biliribin direk ini akan terikat oleh makanan dan dikeluarkan sebagai sterkobilin bersama tinja. Jika di dalam usus tidak terdapat makanan, bilirubin direk ini akan diubah oleh

enzim di dalam usus yang juga terdapat di dalam ASI menjadi bilirubin indirek yang akan diserap kembali dari dalam usus dan masuk ke aliran darah. Faktor Hiperbilirubin Perhatian utama pada hiperbilirubin adalah potensinya dalam menimbulkan kerusakan sel-sel saraf, meskipun kerusakan sel-sel tubuh lainnya juga dapat terjadi. Bilirubin dapat menghambat enzim-enzim mitokondria serta mengganggu sintesis DNA. Bilirubin juga dapat menghambat sinyal neuroeksitatori dan konduksi saraf (terutama pada nervus auditorius) sehingga menimbulkan gejala sisa berupa tuli saraf. Kerusakan jaringan otak yang terjadi seringkali tidak sebanding dengan konsentrasi bilirubin serum. Hal ini disebabkan kerusakan jaringan otak yang terjadi ditentukan oleh konsentrasi dan lama paparan bilirubin terhadap jaringan.

Faktor risiko hiperbilirubin Mayor Minor Hasil pemeriksaan TSB atau TcB pada zone risiko sedang Usia gestasi 37-38 minggu Ikterus muncul sebelum dipulangkan. Saudara kandung mengalami ikterus neonatorum Makrosomia dengan ibu diabetes Usia ibu > 25 tahun Hasil pemeriksaan TSB atau TcB pada zone risiko tinggi Ikterus muncul pada 24 jam pertama kehidupan Inkompatibilitas golongan darah Usia gestasi 35-36 minggu Riwayat saudara kandung menerima terapi sinar Hematoma sefal atau memar luas ASI eksklusif, terutama jika ASI tidak lancar, dan kehilangan berat badan. Ras Asia timur

-

Bayi laki-laki TSB atau TcB pada zone risiko rendah Usia gestasi > 41 minggu Susu botol eksklusif Kulit hitam (ditentukan warna kulit ibu)

Risiko rendah

Pulang dari RS setelah 72 jam

C.

Penyebab Hiperbilirubin dapat disebabkan oleh :

1. Produksi yang berlebihan. Hal ini melebihi kemampuannya bayi untuk mengeluarkannya, misal pada hemolisis yang meningkat pada inkompabilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim G-6PADA, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.

2. Gangguan proses uptake dan konjugasi hepar. Gangguan ini dapat disebabkan oleh immturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom Criggler-Najjar) penyebab lain atau defisiensi protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar. 3. Gangguan transportasi. Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, dan sulfaforazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapat bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak. 4. Gangguan dalam ekskresi.

Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi/kerusakan hepar oleh penyebab lain. D. Metabolisme Bilirubin Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degredasi hemoglobin darah dan sebagian lagi dari hem bebas atau eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain. Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas atau bilirubin IX alfa. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak, karenanya mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui membran biologik seperti plasenta dan sawar darah otak. Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar. Di dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat oleh reseptor membran sel hati dan masuk ke dalam sel hati. Segera setelah ada dalam sel hati, terjadi persnyawaan dengan ligandin (protein-Y) protein Z dan glutation hati lain yang membawanya ke retikulum endoplasma hati, tempat terjadinya proses konjugasi. Prosedur ini timbul berkat adanya enzim glukotonil transferase yang kemudian menghasilkan bentuk bilirubin indirek. Jenis bilirubin ini dapat larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresikan melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini dikeskresi melalui duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi urobilinogen dan keluar dengan tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus sebagian diabsorbsi kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses absorbsi enterohepatik. Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada hari-hari pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologik tertentu pada neonatus. Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar. Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke 2-3 dan mencapai puncaknya pada hari ke 5-7, kemudian akan menurun kembali pada hari ke 10-14 kadar bilirubin pun biasanya tidak melebihi 10 mg/dl pada bayi

cukup bulan dan kurang dari 12 mg/dl pada bayi kurang bulan. Pada keadaan ini peninggian bilirubin masih dianggap normal dan karenanya disebut ikterus fisiologik. Masalah akan timbul apabila produksi bilirubin ini terlalu berlebihan atau konjugasi hati menurun sehingga kumulasi di dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan kerusakan sel tubuh t3, misal kerusakan sel otak yang akan mengakibatkan gejala sisa dihari kemudian.

E.

Patofisiologi Hemoglobin dipecah menjadi heme dan globin , globin menjadi eritrosit heme

untuk menjadi bileferdin memerlukan enzim heme oksigenase, kemudian diubah menjadi bilirubin memerlukan enzim biliferdin resiktase (terjadi di dalam limfa) Bilirubin tak terkonjugasi keluar gari limfa, berikat dengan albumin mempunyai ikatan yang lemah , mengikat dengan protein Y dan Z untuk memulai proses konjugai bilirubin. Ikatan Y dan Z dangan bilirubin disebut dengan bilirubin ligadin, hati memiliki sel petikulum endoplasma (RE) oleh enzim glikoronin transpalase diubah menjadi bilirubin glikoronit. Bilirubin yang sudah di konjugasi (larut di dalam air) di simpan di dalam kantong empedu, sehingga empedu yang terbentuk menjadi lebih pekat karena di kantong empedu terdapat resobsi air, disekresikan yaitu zat bilirubin / zat empedu/ garam empedu. Kerja usus bakteri di ususu memecah bilirubin menjadi sterobilin dan urinobilogen , untuk memberi warna pada urine dan fases, sterobilin diekskresikan ke ginjal melalui urine. Bilirubin yang terkonjugasi larut di dalam air dan yang tidak terkonjugasi larut di dalam lemak, hioerbilirubin terjadi Jika terjadi kegagalan mengikat protein Y dan Z di dalam hati dan kegagalan penyerapan di dalam hati. 75% dari total Bilirubin di dalam tubuh diproduksi oleh sel darah yang hancur, sisanya oleh dihasilkan dari katabolisme protein heme, dan juga oleh inaktivasi eritropoeisis sumsum tulang. Bilirubin yang tidak terkonjugasi Bersama dengan Albumin ditranspor

ke sirkulasi sebagai suatu kompleks dengan albumin, walaupun sejumlah kecil dialirkan kedalam sirkulasi secara terpisah. Bilirubin diubah dari larut lemak menjadi larut air di hati. Kemudian masuk ke sistem pencernaan dalam bentuk empedu ke duodenum dan dieksresikan menjadi stereobilin. Melalui sirkulasi menuju ke Ginjal dan diekresikan dalam bentuk urobilin. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan bebab bilirubin pada streptucocus hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik. Gangguan ambilan bilirubin plasma terjadi apabila kadar protein-Z dan protein-Y terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan anoksia/hipoksia, ditentukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukuronii transferase) atau bayi menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatika. Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusakan jaringan otak. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek. Sifat indirek ini yang memungkinkan efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas. Berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia dan kelainan susunan saraf pusat yang karena trauma atau infeksi. Hiperbilirubin ini berpengaruh pada hati yang merupakan organ penentu cairan bilirubin. F. Anatomi Hati Hati adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2-1,8 kg atau lebih 25% berat badan orang dewasa dan merupakan pusat metabolisme tubuh dengan fungsi sangat kompleks yang menempati sebagian besar kuadran kanan atas abdomen. Batas atas hati berada sejajar

dengan ruangan interkostal V kanan dan batas bawah menyerong ke atas dari iga IX kanan ke iga VIII kiri. Permukaan posterior hati berbentuk cekung dan terdapat celah transversal sepanjang 5 cm dari system porta hepatis. Omentum minor terdapat mulai dari system porta yang mengandung arteri hepatica, vena porta dan duktus koledokus. System porta terletak didepan vena kava dan dibalik kandung empedu. Permukaan anterior yang cembung dibagi menjadi 2 lobus oleh adanya perlekatan ligamentum falsiform yaitu lobus kiri dan lobus kanan yang berukuran kira-kira 2 kali lobus kiri. Hati terbagi 8 segmen dengan fungsi yang berbeda. Pada dasarnya, garis cantlie yang terdapat mulai dari vena kava sampai kandung empedu telah membagi hati menjadi 2 lobus fungsional, dan dengan adanya daerah dengan vaskularisasi relative sedikit, kadang-kadang dijadikan batas reseksi. Secara mikroskopis didalam hati manusia terdapat 50.000-100.000 lobuli, setiap lobulus berbentuk heksagonal yang terdiri atas sel hati berbentuk kubus yang tersusun radial mengelilingi vena sentralis. G. Tanda dan Gejala

Kulit tampak berwarna kuning terang sampai jingga (pada bayi dengan bilirubin indirek). Anemia Perbesaran lien dan hepar Perdarahan tertutup Gangguan nafas Gangguan sirkulasi Gangguan saraf

G.

Penatalaksanaan

Tujuan utama adalah untuk mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menimbulkan kernikterus/ensefalopati biliaris, serta mengobati penyebab langsung ikterus. Konjugasi bilirubin dapat lebih cepat berlangsung ini dapat dilakukan dengan merangsang terbentuknya glukuronil transferase dengan pemberian obat seperti luminal atau agar. Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma atau albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi sinar atau transfusi hikan, merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan kenaikan kadar bilirubin. Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila ditemukan efek samping terapi sinar, antara lain: enteritis, hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit (ruam gigitan kutu), gangguan minum, letargi dan iritabilitas. Efek samping bersifat sementara dan kadang-kadang penyinaran dapat diteruskan smentara keadaan yang menyertainya diperbaiki. ASUHAN KEPERAWATAN A.Pengkajian. 1. Sirkulasi Nadi apikal dapat berfluktuasi dari 110 sampai 180 x/mnt. Tekanan darah 60 sampai 80 mmHg (sistolik), 40 sampai 45 mmHg (diastolik). Bunyi jantung, lokasi di mediasternum dengan titik intensitas maksimal tepat di kiri dari mediastinum pada ruang intercosta III/ IV. Murmur biasa terjadi di selama beberapa jam pertama kehidupan. Tali pusat putih dan bergelatin, mengandung 2 arteri dan 1 vena.

2. Eliminasi Dapat berkemih saat lahir 3.Makanan / cairan Berat badan : 2500-4000 gram Panjang badan : 44-45 cm Turgor kulit elastis 4. Neurosensori Tonus otot : fleksi hipertonik dari semua ekstremitas. Sadar dan aktif mendemonstrasikan refleks menghisap selama 30 menit pertama setelah kelahiran (periode pertama reaktivitas). Penampilan asimetris(molding, edema,hematoma). Menangis kuat, sehat, nada sedang (nada menangis tinggi menunjukkan abnormalitas genetik, hipoglikemi atau efek narkotik yang memanjang) 5. Pernafasan Skor APGAR : 1 menit.5 menit.skor optimal harus antara 7-10. Rentang dari 30-60 permenit, pola periodik dapat terlihat. Bunyi nafas bilateral, kadang-kadang krekels umum pada awalnya silindrik thorak : kartilago xifoid menonjol, umum terjadi. 6. Keamanan Suhu rentang dari 36,5 C sampai 37,5 C. Ada verniks (jumlah dan distribusi tergantung pada usia gestasi).

Kulit : lembut, fleksibel, pengelupasan tangan/ kaki dapat terlihat, warna merah muda atau kemerahan, mungkin belang-belang menunjukkan memar minor (misal : kelahiran dengan forseps), atau perubahan warna herlequin, petekie pada kepala atau wajah (dapat menunjukkan peningkatan tekanan berkenaan dengan kelahiran atau tanda nukhal), bercak portwine, nevi telengiektasis (kelopak mata, antara alis mata, atau pada nukhal) atau bercak mongolia (terutama punggung bawah dan bokong) dapat terlihat.Abrasi kulit kepala mungkin ada (penempatan elektroda internal) B. Diagnosa Keperawatan 1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d produksi mukus banyak. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan jalan nafas lancar. Kriteria hasil ; 1. Mudah dalam bernafas. 2. Tidak menunjukkan kegelisahan. 3. Tidak adanya sianosis. 4. Keseimbangan perfusi ventilas Intervensi ; 1) Tentukan kebutuhan oral/ suction tracheal. 2) Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suction 3) Beritahu keluarga tentang suction. 4)Bersihkan daerah bagian tracheal setelah suction selesai dilakukan. 5) Monitor status oksigen pasien, status hemodinamik segera sebelum, selama dan sesudah suction. 2. Pola nafas tidak efektif b/d hipoventilasi atau hiperventilasi.

Tujuan ; Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan pola nafas menjadi efektif. Kriteria hasil; 1. Pasien menunjukkan pola nafas yang efektif. 2. Ekspansi dada simetris. 3. Tidak ada bunyi nafas tambahan. 4. Kecepatan dan irama respirasi dalam batas normal. Intervensi ; 1) Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan melakukan pengisapan lender. 2) Pantau status pernafasan dan oksigenasi sesuai dengan kebutuhan. 3) Auskultasi jalan nafas untuk mengetahui adanya penurunan ventilasi. 4) Kolaborasi dengan dokter untuk pemeriksaan AGD dan pemakaian alan bantu nafas 5) Siapkan pasien untuk ventilasi mekanik bila perlu. 6) Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan. 3. Kerusakan pertukaran gas b/d ketidakseimbangan perfusi ventilasi. Tujuan ; Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan pertukaran gas teratasi. Kriteria hasil; 1.Tidak sesak nafas 2. Fungsi paru dalam batas normal Intervensi ; 1) Kaji bunyi paru, frekuensi nafas, kedalaman nafas dan produksi sputum. 2) Pantau saturasi Oksigen dengan oksimetri 3) Pantau hasil Analisa Gas Darah

4. Risiko ketidakseimbangan suhu tubuh b/d kurangnya suplai O2 dalam darah. Tujuan; Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan suhu tubuh normal. Kriteria hasil ; 1. Temperatur badan dalam batas normal. 2. Tidak terjadi distress pernafasan. 3. Tidak gelisah. 4. Perubahan warna kulit. 5. Bilirubin dalam batas normal. Intervensi ; 1. Hindarkan pasien dari kedinginan dan tempatkan pada lingkungan yang hangat. 2. Monitor gejala yang berhubungan dengan hipotermi, misal fatigue, apatis, perubahan warna kulit dll. 3. Monitor temperatur dan warna kulit. 4. Monitor TTV. 5. Monitor adanya bradikardi. 6. Monitor status pernafasan.

ASUHAN KEPERAATAN HIPERBILIRUBIN A. PENGKAJIAN o Keadaan umum lemah, TTV tidak stabil terutama suhu tubuh (hipertermi). Reflek hisap pada bayi menurun, BB turun, pemeriksaan tonus otot (kejang/tremor). Hidrasi bayi mengalami penurunan. Kulit tampak kuning dan mengelupas (skin resh), sclera mata kuning (kadang-kadang terjadi kerusakan pada retina) perubahan warna urine dan feses. Pemeriksaan fisik o Riwayat penyakit Terdapat gangguan hemolisis darah (ketidaksesuaian golongan Rh atau golongan darah A,B,O).

Infeksi, hematoma, gangguan metabolisme hepar obstruksi saluran pencernaan, ibu menderita DM. o Pemeriksaan bilirubin menunjukkan adanya peningkatan. o Pengkajian psikososial Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah orang tua merasa bersalah, perpisahan dengan anak. o Hasil Laboratorium : - Kadar bilirubin 12mg/dl pada cukup bulan. - Pada bayi premature, kadar bilirubin mencapai 15mg/dl. B. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan jaundice atau radiasi. 2) Gangguan temperature tubuh (Hipertermia) berhubungan dengan terpapar lingkungan panas. 3) Resiko terjadi cidera berhubungan dengan fototerapi atau peningkatan kadar bilirubin. 4) Cemas berhubungan dengan perubahan status kesehatan. 5) Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan paparan

C. INTERVENSI Dx I : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan jaundice atau radiasi. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan integritas kulit kembali baik / normal. NOC : Tissue Integrity : Skin and Mucous Membranes Kriteria Hasil : o Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan o Tidak ada luka / lesi pada kulit o Perfusi jaringan baik o Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya cedera berulang o Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami

Indicator Skala : 1 : Tidak pernah menunjukkan. 2 : Jarang menunjukkan 3 : Kadang menunjukkan 4 : Sering menunjukkan 5 : Selalu menunjukkan NIC : Pressure Management Intervensi : o Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar o Hindari kerutan pada tempat tidur o Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering o Mobilisasi pasien setiap 2 jam sekali o Monitor kulit akan adanya kemerahan. o Oleskan lotion / minyak / baby oil pada daerah yang tertekan o Mandikan pasien dengan sabun dan air hangat

DX II : Gangguan temperature tubuh (Hipertermia) berhubungan dengan terpapar lingkungan panas. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawtan selama proses keperawatan diharapkan suhu dalam rentang normal. NOC : Termoregulation Kriteria hasil : o Suhu tubuh dalam rentang normal o Nadi dan respirasi dalam batas normal o Tidak ada perubahan warna kulit o Pusing berkurang/hilang. Indicator skala : 1. Selalu terjadi 2. Sering terjadi 3. Kadang terjadi

4. Jarang terjadi 5. Tidak pernah terjadi NIC : Fever treatment o Monitor suhu sesering mingkin o Monitor warna dan suhu kulit o Monitor tekanan darah, nadi, dan respirasi o Monitor intake dan output DX III : Resiko terjadi cidera berhubungan dengan fototerapi atau peningkatan kadar bilirubin. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawtan selama proses keperawatan diharapkan tidak ada resiko cidera. NOC : risk control Kriteria hasil : o Klien terbebas dari cidera o Klien mampu menjelaskan metode untuk mencegah injuri/ cidera o Klien mampu memodifikasi gaya hidup untuk mencegah injuri. Indicator Skala : 1. tidak pernah menujukan 2. jarang menunjukan 3. kadang menunjukan 4. sering menunjukan 5.selalu menunjukan NIC : Pencegahan jatuh o Kaji status neurologis o Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang tujuan dari metode pengamanan o Jaga keamanan lingkungan keamanan pasien o Libatkan keluiarga untuk mencegah bahaya jatuh o Observasi tingkat kesadaran dan TTV o Dampingi pasien Dx IV : Cemas berhubungan dengan perubahan dalam status kesehatan.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan kepeerawatan selama proses keperawatan diharapkan keluarga dan pasien tidak cemas. NOC I : Control Cemas Kriteria Hasil : o Monitor intensitas kecemasan. o Menyingkirkan tanda kecemasan. o Menggunakan teknik relaksasi untuk mengurangi kecemasan. NOC II : Koping Kriteria Hasil : o Keluarga menunjukkan fleksibilitas peran para anggotanya. o Nilai keluarga dalam mengatur masalah-masalah. o Melibatkan anggota keluarga untuk membuat keputusan. Indicator Skala : 1 : Tidak pernah dilakukan 2 : Jarang dilakukan 3 : Kadang dilakukan 4 : Sering dilakukan 5 : Selalu dilakukan NIC : Penurunan Kecemasan Intervensi : o Tenangkan klien. o Jelaskan seluruh prosedur pada klien/keluarga dan perasaan yang mungkin muncul pada saat melakukan tindakan. o Kaji tingkat kecemasan dan reaksi fisik pada tingkat kecemasan. o Sediakan aktivitas untuk mengurangi kecemasan. NIC II : Peningkatan Koping. o Hargai pemahaman pasien tentang proses penyakit. o Sediakan informasi actual tentang diagnosa, penanganan. o Dukung keterlibatan keluarga dengan cara tepat. Dx V : Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan paparan

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan keluarga dapat mendapat pengetahuan mengenai penyakit yang diderita anaknya. NOC : Knowledge : Disease Process Kriteria Hasil : o Pasien dan keluarga mengatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis dan program pengobatan o Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar o Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat / tim kesehatan lainnya Indicator Skala : 1 : Tidak pernah dilakukan 2 : Jarang dilakukan 3 : Kadang dilakukan 4 : Sering dilakukan 5 : Selalu dilakukan NIC : Teaching : Disease Process Intervensi : o Jelaskan patofisiolagi dari penyakit o Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit dengan cara yang benar o Gambarkan proses penyakit dengan cara yang tepat o Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi dengan cara yang tepat o Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah komplikasi dimasa yang akan datang dan proses pengontrolan penyakit. D. EVALUASI Dx I : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan jaundice atau radiasi. Kriteria Hasil : o Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (skala 5) o Tidak ada luka / lesi pada kulit (skala 5) o Perfusi jaringan baik (skala 5) o Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya cedera

berulang (skala 5) o Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami (skala 5)

Dx II : Gangguan temperature tubuh (Hipertermia) berhubungan dengan terpapar lingkungan panas. Kriteria Hasil : o Suhu tubuh dalam rentang normal (skala 1) o Nadi dan respirasi dalam batas normal (skala 1) o Tidak ada perubahan warna kulit (skala 1) o Pusing berkurang/hilang (skala 1)

Dx III : Resiko terjadi cidera berhubungan dengan fototerapi atau peningkatan kadar bilirubin. Kriteria Hasil : o Klien terbebas dari cidera (skala 5) o Klien mampu menjelaskan metode untuk mencegah injuri/ cidera (skala 5) o Klien mampu memodifikasi gaya hidup untuk mencegah injuri. (skala 5) Dx IV : Cemas berhubungan dengan perubahan dalam status kesehatan. NOC I : Control Cemas Kriteria Hasil : o Monitor intensitas kecemasan. (skala 5) o Menyingkirkan tanda kecemasan. (skala 5) o Menggunakan teknik relaksasi untuk mengurangi kecemasan. (skala 5) NOC II : Koping Kriteria Hasil : o Keluarga menunjukkan fleksibilitas peran para anggotanya. (skala 5) o Nilai keluarga dalam mengatur masalah-masalah. (skala 5) o Melibatkan anggota keluarga untuk membuat keputusan. (skala 5)

Dx V : Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan paparan Kriteria Hasil : o Pasien dan keluarga mengatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis dan program pengobatan (skala 5) o Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar (skala 5) o Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat / tim kesehatan lainnya (skala 5)

BAB IV PENUTUPAN

A. Kesimpulan Asfiksia atau mati lemas adalah suatu keadaan berupa berkurangnya kadar oksigen (O2) dan berlebihnya kadar karbon dioksida (CO2) secara bersamaan dalam darah dan jaringan tubuh akibat gangguan pertukaran antara oksigen atau udara dalam alveoli paru-paru dengan karbondioksida dalam darah kapiler paru-paru. Kekurangan oksigen disebut hipoksia dan kelebihan karbon dioksida disebut hiperkapnia. Sedangkan hiperbilirubin yaitu akumulasi berlebihan dari bilirubin didalam darah ( Wong, hal 432 ). Peningkatan kadar serum bilirubin disebabkan oleh deposisi pigmen bilirubin yang terjadi waktu pemecahan sel darah merah. Hiperbilirubin adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah >13 mg/dL.2 B. Saran Diharapkan dengan adanya makalah ini pembaca dapat mengetahui pengertian atau maksud dari asfiksia dan hiperbilirubin tersebut, mengetahui tanda gejala nya dan serta penyebab dari penyakit tersebut.Mudah-mudahan dengan adanya makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

DAFTAR PUSTAKA

Akper

Pemkot

Tegal.

2009.

Askep

Anak

Ikterus

(Hiperbilirubin).

(http://perawattegal.wordpress.com. Diakses pada tanggal 05 juni 2011) Mubarak, Husnul. 2006. Anatomi Hati. (http://www.google.com. Diakses pada tanggal 2011) Carpenito. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC Hassan, R dkk. 1985. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jilid 3. Jakarta : Informedika Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jilid II. Jakarta : Media Aesculapius. Santosa, B. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda. Definisi dan Klasifikasi. Jakarta : Prima Medika. 05 juni