analisis peta industri makanan dan minuman di · pdf file6 sebelum masuk ke gambaran peta...
TRANSCRIPT
1
Analisis Peta Industri Makanan dan Minuman di Indonesia Rekomendasi dari Rangkaian Seri Diskusi Terfokus Februari 2017
Disusun oleh
THE INDONESIAN INSTITUTE
2
Analisis Peta Industri Makanan dan Minuman di Indonesia Rekomendasi dari Rangkaian Seri Diskusi Terfokus Februari 2017
Disusun Oleh:
Gd. Pakarti Center Lt. 7 Jl. Tanah Abang 3 No. 23-27, Petojo Selatan, Jakarta Pusat, 10160, Indonesia Tel. 021 34832496 Fax. 021. 34833850 www.theindonesianinstitute.com Tim Penyusun
Lola Amelia Arfianto Purbolaksono Zihan Syahayani
Februari 2017
3
Pendahuluan
Kinerja perekonomian global yang kian anomali kembali berdampak pada aktivitas
ekonomi di tanah air. Sejak akhir tahun 2015, Indonesia kembali dihadang oleh ancaman
krisis akibat jatuhnya nilai tukar rupiah secara mendalam. Kepanikan masyarakat jelas
terlihat kala itu. Masyarakat meminta agar pemerintah segera melakukan tindakan
antisipatif agar efek yang ditimbulkan dari kondisi yang ada tidak semakin katastropik.
Untuk menjawab tantangan masyarakat dan demi terciptanya iklim ekonomi untuk
kembali kondusif, pemerintah sebagai otoritas fiskal dan Bank Indonesia selaku pemangku
kebijakan moneter akhirnya mengeluarkan serangkaian kebijakan stabilisasi. Kebijakan ini
kemudian dikenal luas sebagai Paket Kebijakan Ekonomi. Hingga November 2016, sudah
sebanyak 13 jilid paket kebijakan yang diluncurkan. Kebijakan tersebut tidak hanya
terfokus pada satu sektor saja, melainkan hampir seluruh sektor terdampak dari
dikeluarkannya paket kebijakan ini.
Sebagai tumpuan dalam menstimulus perekonomian, kehadiran 13 paket kebijakan
ekonomi ini diharapkan mampu memberikan dampak positif bagi kinerja perekonomian
nasional. Kini sudah lebih dari satu tahun paket kebijakan ekonomi dikeluarkan oleh
pemerintah. Akan tetapi, seperti layaknya kebijakan-kebijakan lainnya, implementasi dari
paket kebijakan ekonomi ternyata masih memerlukan banyak perbaikan.
Salah satu sektor dalam perekonomian yang terkena dampak dari diberlakukannya paket
kebijakan ekonomi adalah industri. Di tengah upaya pemerintah untuk meningkatkan
performa industri dalam negeri, kondisi global terlihat tidak terlalu banyak membantu
sejak tahun lalu. Dengan kondisi ini banyak yang kemudian berkesimpulan bahwa
Indonesia sedang dirudung oleh permasalahan deindustrilasasi.
Tahun 2016 sejatinya adalah tahun pemulihan ekonomi paska dinamika global yang
kurang menguntungkan di tahun sebelumnya. Kebangkitan industri kembali tentu bisa
menjadi salah satu kunci penting untuk membayar hutang tahun kemarin. Akan tetapi,
kondisi yang ada nampaknya masih tetap berlanjut dan industri dalam negeri harus sedikit
lebih bersabar agar pasar global kembali bergairah.
4
Khususnya terkait dengan industri makanan dan minuman, industri ini memiliki peranan
penting dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Oleh karena itu sektor tersebut
menjadi salah satu dari sejumlah sektor yang dijadikan prioritas Pemerintah dalam
mendorong industri sebagai penggerak ekonomi nasional. Menteri Perindustrian,
Airlangga Hartarto mengatakan, subsektor industri yang diperkirakan akan tumbuh paling
tinggi dan menjadi motor pertumbuhan salah satunya disumbang oleh industri makanan
dan minuman (Republika.co.id, 22/12/16).
Pada tahun 2015, pertumbuhan industri makanan dan minuman nasional mencapai 8,16%.
Angka tersebut lebih tinggi dari pertumbuhan industri non migas sebesar 5,21%
(www.kemenperin.go.id, 26/05/15). Selanjutnya pada tahun 2016 pertumbuhan industri
makanan dan minuman mencapai 8,2-8,5%. Sementara pada tahun 2017, Kementerian
Perindustrian menargetkan pertumbuhan 7,5% hingga 7,8%. Angka tersebut memang
lebih kecil dibandingkan dengan target proyeksi 2016. Namun menurut Menteri
Perindustrian angka ini dianggap lebih realistis dalam menghadapi perekonomia 2017.
Industri makanan dan minuman juga merupakan indsutri padat karya karena dapat
menyerap tenaga kerja. Jumlah tenaga kerja langsung menurut BPS di tahun 2013
sebanyak 4.267.275 pekerja. Selain tenaga kerja yang langsung bekerja di industri
makanan dan minuman, industri ini juga menciptakan tenaga kerja tidak langsung dalam
rantai distribusinya, termasuk industri bahan baku (pemasok), distributor, biro iklan, dan
pemasaran serta rantai pedagang (www.gapmmi.or.id, 10/07/15).
Namun demikian, Menurut Ketua Umun Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman
Seluruh Indonesia (GAPMMI), Adhi S. Lukman, saat ini industri makanan dan minuman
menghadapi kendala serius, antara lain masalah jaminan pasokan bahan baku, kepastian
hukum untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif, serta pemerataan kawasan
industri untuk meningkatkan daya saing industri dalam negeri (Tempo.co, 02/12/16).
5
Peta Industri Makanan dan Minuman di Indonesia
Menurut Badan Pusat Statistik, seperti yang disampaikan Tri Supriatin (Direktorat
Industri, BPS RI) dalam FGD yang diselenggarakan 20 Februari 2016, pengertian
perusahaan atau usaha industri manufaktur adalah suatu unit (kesatuan) produksi yang
terletak pada suatu tempat tertentu, yang melakukan kegiatan ekonomi. Tujuannya adalah
untuk mengubah suatu barang secara mekanis, kimia, atau dengan tangan, sehingga
menjadi benda/barang/produk baru yang nilainya lebih tinggi, dan sifatnya lebih dekat
kepada pemakai akhir. Termasuk dalam kegiatan ini adalah perusahaan yang melakukan
kegiatan jasa industri (makloon) dan pekerjaan perakitan (assembling).
Selanjutnya industri manufaktur dibagi ke dalam dua klasifikasi, yaitu industri manufaktur
mikro kecil dan industri manufaktur besar dan sedang. Industri manufaktur mikro kecil
dibagi dua yaitu industri mikro dengan jumlah tenaga kerja 1-4 orang dan industri kecil
dengan tenaga kerja 5-19 orang. Sedangkan industri manufaktur besar dan sedang dibagi
dua yaitu industri sedang dengan jumlah tenaga kerja 20-99 orang dan industri besar
dengan jumlah tenaga kerja 100 orang lebih. Saat ini jumlah perusahaan industri
manufaktur skala mikro, kecil, menengah, dan besar sebanyak 3.694.122 unit. Jumlah
tenaga kerja yang terserap 13.892.453 orang. Jumlah output sebesar 4.857 triliun rupiah.
Kontribusi sektor industri sejak tahun 2000 hingga saat ini menempati peringkat pertama
dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Khusus industri makanan dan
minuman, setiap tahunnya merupakan salah satu industri yang berkontribusi tinggi dalam
pembentukan PDB.
Tabel 1. Distribusi PDB Tahunan Atas Dasar Harga Berlaku (Persen)
6
Sebelum masuk ke gambaran peta industri makanan dan minuman di Indonesia saat ini,
penting untuk kita melihat terlebih dahulu kebijakan-kebijakan yang ada terkait industri
ini.
Paket Kebijakan Pemerintah di Sektor Industri Makanan dan Minuman. Selama ini pemerintah telah membuat beberapa kebijakan di bidang industri makanan dan minuman. Namun seringkali kebijakan yang dibuat tidak mampu meningkatkan daya saing. Misalnya kebijakan Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP). Dalam praktiknya, pemanfaatan program BMDTP pada tahun 2008, 2009, 2010, dan 2011, rata-rata, masing-masing, hanya 2,91%, 8,8%, 24,16%, dan 12,77%, dengan jumlah perusahaan masing-masing ada 20 perusahaan (2008), 61 perusahaan (2009), 90 perusahaan (2010) dan 39 perusahaan pada tahun 2011.
Ada 3 (tiga) kemungkinan penyebab mengapa Daya Saing Industri sebelum dan sesudah adanya program BMDTP cenderung stagnan (tidak meningkat), antara lain: (1) program BMDTP tidak berpengaruh terhadap daya saing; (2) program BMDTP berpengaruh terhadap daya saing produk, tetapi hanya terbatas pada perusahaan-perusahaan secara individual; (3) sebenarnya program BMDTP secara teoritis dan empiris berpengaruh meningkatkan daya saing industry, tetapi dalam kurun waktu 2007-2011 ada factor lainyang membuat daya saing menjadi lebih buruk.
Kebijakan lain yang pernah dikeluarkan oleh Pemerintah namun juga dilematis adalah kebijakan PMK No. 132 Tahun 2015 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor (PMK No. 132/2015) pada 23 Juli 2015. Berikut merupakan tarif yang dibebankan pada beberapa produk makanan dan minuman.
Tabel 3. Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor
No. Nama Barang Tarif Lama (%)
Tarif dalam PMK 132/2015 (%)
Kenaikan (5)
1. Kopi 5 20 15
2. Teh 5 20 15
3. Sosis/daging olahan 10 30 20
4. Daging/darah yang diawetkan
10 30 20
5. Ikan diolah/diawetkan
5 15 10
6. Permen Karet 10 20 10
7. Coklat 10 15 5
7
8. Makanan sereal 5 10 5
9. Ekstrak kopi/the 5 20 15
10. Es krim 10 15 5
11. Shrimp Powder 5 15 10
12. Malt Flavour Biscuit 10 20 10
13. Soy Souce 5 15 10
Sumber: Diolah dari PMK No. 132/2015 dan PMK No. 213/PMK.011/2011
Ada beberapa dampak dari kebijakan PMK No. 132/2015. Pertama, secara teoritis dan empiris, PMK No. 132/2015 yang menetapkan kenaikan tarif bea masuk bagi barang-barang konsumsi yang diimpor mempunyai dampak positif terhadap perkembangan dan pertumbuhan industri makanan dan minuman (industri agro) dalam negeri, karena dengan kenaikan tarif bea masuk, konsumen akan beralih menggunakan produk dalam negeri yang harganya lebih kompetitif.
Kedua, efek negatif PMK No. 132/2015 yang dialami oleh beberapa peruahaan yang bergerak pada industri makanan dan minuman disebabkan karena perusahaan tersebut menggunakan barang-barang impor yang termasuk dalam barang konsumsi sebagai bahan baku/bahan penolong bagi produknya. Subtitusi bahan baku/ bahan penolong impor tersebut dengan bahan baku domestic, sulit dilakukan karena beberapa alasan anatar lain alasan teknis, mutu, tidak tersedianya bahan baku domestik serta tidak pastinya pasokan bahan baku lokal.
Ketiga, karena adanya kenaikan tarif bea masuk dalam PMK No. 132/2015 untuk barang-barang konsumsi, maka terjadilah kenaikan biaya produksi perusahaan industri yang menggunakan barang-barang konsumsi impor sebagai bahan baku. Kenaikan biaya produksi diperkirakan tidak terlalu besar dengan kisaran rata-rata antara 0.2% hingga 2.3%.
Sebaran Industri Makanan dan Minuman. Tri Supriatin (Direktorat Industri, BPS RI)
dalam FGD yang diselenggarakan 20 Februari 2016, menambahkan bahwa industri
makanan dan minuman saat ini hampir merata di setiap provinsi di Indonesia terutama
UMKM (sangat dimungkinkan untuk tumbuh setiap tahunnya). Hal ini dikarenakan
penduduk Indonesia sebesar 238 juta orang (SP 2010) merupakan potensi yang besar
untuk berkembangnya industri makanan dan minuman. Ditambah lagi dengan Kekhasan
produk kuliner di berbagai daerah yang sangat diminati oleh masyarakat.
8
Pada industri Besar dan Sedang membutuhkan karyawan atau teknologi dalam
memproduksi hasil industri makanan dan minuman sebagai bahan baku industri lainnya;
seperti CPO (banyak bahan baku yang mudah didapat di perkebunan kelapa sawit di
berbagai provinsi seperti di Sumatera dan Kalimantan).
Pertumbuhan Industri Makanan dan Minuman di Indonesia. Berdasarkan data yang
dipaparkan Tri Supriatin (Direktorat Industri, BPS RI) dalam FGD yang diselenggarakan 20
Februari 2016, tentang perkembangan industri makanan dan minuman di Indonesia
sebagai berikut;
Tabel 2. Jumlah Usaha dan Tenaga Kerja Industri Makanan dan Minuman Perusahaan
Manufaktur Besar dan Sedang
Sumber : Data BPS, diolah
Pada tabel 2 diatas dapat terlihat bahwa terjadi penurunan jumlah usaha perusahaan
manufaktur besar dan sedang. Dimana tercatat di tahun 2014 terdapat 5974 perusahaan,
turun menjadi 5438 di tahun 2015. Begitupula untuk di sektor usaha minuman. Dimana di
tahun 2014 terdapat 374 perusahaan, turun menjadi 310 perusahaan di tahun 2015.
Di jumlah tenaga kerja juga terjadi penurunan. Dimana di tahun 2014 terdapat 877771
tenaga kerja di perusahaan makanan. Kemudian turun menjadi 719116 di tahun 2015.
Sama halnya di sektor minuman, dimana tenaga kerja di tahun 2014 sebanyak 52681,
kemudian turun menjadi 46379 tenaga kerja.
9
Grafik 1. Pertumbuhan Jumlah Usaha dan Tenaga Kerja Industri Makanan dan Minuman
Hal ini juga terkonfirmasi di dalam grafik 1 diatas. Dimana terlihat penurunan di tiap
tahunnya baik dari jumlah perusahaan maupun tenaga kerja.
Penurunan di perusahaan besar dan sedang berbanding terbalik dengan perusahaan mikro
dan kecil. Dimana terjadi kenaikan baik di jumlah perusahaan maupun tenaga kerjanya. Di
tahun 2014 jumlah perusahaan sebanyak 1198491, kemudian naik menjadi 1567019 di
tahun 2015 untuk di sektor makanan. Begitupula di sektor minuman dimana di tahun 2015
naik menjadi 47130 dibanding di tahun 2014 yang hanya 44694.
Hal ini berbanding lurus dengan jumlah tenaga kerja dimana di tahun 2015 di sektor
makanan terdapat 3700208 tenaga kerja, naik dibandingkan di tahun 2014 yang hanya
2827017. Di sektor minuman pun terjadi kenaikan dimana di tahun 2015 terdapat 85167
tenaga kerja, naik dibandingkan di tahun 2014 yang hanya 81017 tenaga kerja.
Tabel 3. Jumlah Usaha dan Tenaga Kerja Industri Makanan dan Minuman Perusahaan
Manufaktur Mikro Kecil
10
Perbandingan jumlah usaha dan tenaga kerja antara industri mikro dan kecil dengan besar
dan sedang dapat dilihat di grafik di bawah ini.
Grafik 2. Proporsi Perbandingan Jumlah Usaha Ind. Mamin antara Ind. Mikro Kecil dengan
Besar Sedang
Grafik 3. Proporsi Perbandingan Tenaga Kerja Ind. Mamin antara Ind. Mikro Kecil dengan
Besar Sedang
11
Jika dilihat secara total jumlah usaha dan tenaga kerja antara industri mikro dan kecil
dengan besar dan sedang dapat dilihat di tabel dibawah ini.
Tabel 4. Jumlah Usaha dan Tenaga Kerja Industri Makanan dan Minuman
Jika dilihat proporsi jumlah usaha industri makanan dan minuman terhadap industri
nasional dapat terlihat bahwa industri makanan 43% dan minuman 1% dibandingkan
industri lainnya. Berdasarkan grafik ini kita dapat melihat bahwa industri makanan dan
minuman merupakan salah satu industri besar di Indonesia.
Grafik 4. Proporsi Jumlah Usaha Ind. Mamin terhadap Industri Nasional
Begitupula dengan proporsi jumlah tenaga kerja di industri makanan terhadap industri
nasional. Dimana terdapat 32% tenaga kerja di Indonesia yang terserap di sektor industri
makanan dan 1 % di sektor minuman.
12
Grafik 5. Proporsi Jumlah Tenaga Kerja Ind. Mamin terhadap Industri Nasional
Berdasarkan perbandingan jumlah input dan output di industri besar dan sedang. Sektor
makanan terjadi kenaikan di bandingkan di sektor minuman.
Tabel 5. Jumlah Input dan output Industri Makanan dan Minuman Perusahaan Manufaktur
Besar dan Sedang
Grafik 6. Pertumbuhan Input dan Output Industri Makanan dan Minuman
13
Berbeda dengan di industri besar dan sedang, jumlah input dan output di industri mikro
dan kecil. Sektor makanan dan minuman terjadi kenaikan.
Tabel 6. Jumlah Input dan Output Industri Makanan dan Minuman Perusahaan Manufaktur
Mikro dan Kecil
Jika dibandingkan input antara industri mikro kecil dan besar sedang. Input industri besar
sebesar 83% dibandingkan industri mikro kecil yang hanya 17%.
Grafik 7. Proporsi Perbandingan Input Ind. Mamin antara Ind. Mikro Kecil dan Besar
Sedang
Jika dibandingkan output antara industri mikro kecil dan besar sedang. Input industri
besar sebesar 84% dibandingkan industri mikro kecil yang hanya 16%.
14
Grafik 8. Proporsi Perbandingan Output Ind. Mamin antara Ind. Mikro Kecil dan Besar
Sedang
Jika dilihat total input dan output industri makanan dan minuman terdapat kenaikan yang
besar di sektor makanan. Sedangkan di sektor minuman kenaikan nya relatif kecil.
Tabel 7. Jumlah Input dan Output Industri Makanan dan Minuman
Jika dilihat dari proporsi input industri makanan dan minuman terhadap industri nasional
maka terlihat bahwa industri makanan terutamanya, mendapatkan 38% proporsi terhadap
industri nasional.
15
Grafik 9. Proporsi Input Industri Mamin terhadap Industri Nasional
Tidak jauh berbeda dengan input, jika dilihat berdasarkan output industri makanan dan
minuman terhadap industri nasional. Industri makanan mendapatkan porsi 31% dan
minuman 1% di dalam industri nasional.
Grafik 10. Proporsi Output Industri Mamin terhadap Industri Nasional
Jika dilihat dari jumlah nilai tambah bruto (NTB) perusahaan besar dan sedang, maka di
kedua sektor, baik makanan dan minuman terjadi kenaikan.
16
Tabel 8. Jumlah Nilai Tambah Bruto (NTB) Industri Makanan dan Minuman Perusahaan
Manufaktur Besar dan Sedang
Namun jika dilihat dari pertumbuhan NTB sektor makanan dan minuman dalam
perusahaan besar dan sedang. Maka terlihat terjadi penurunan di sektor minuman di tahun
2015. Sedangkan di sektor makanan terlihat terjadi kenaikan.
Grafik 11. Pertumbuhan NTB Industri Makanan dan Minuman Besar dan Sedang
Jika dilihat dari jumlah nilai tambah bruto (NTB) perusahaan mikro dan kecil, maka di
kedua sektor, baik makanan dan minuman terjadi kenaikan.
Tabel 9. Jumlah Nilai Tambah Bruto (NTB) Industri Makanan dan Minuman Perusahaan
Manufaktur Mikro Kecil
17
Jika dilihat berdasarkan proporsi perbandingan NTB mikro kecil dan besar sedang maka
terlihat bahwa industri besar dan sedang mendapatkan 85% dibandingkan mikro kecil
yang hanya 15%.
Grafik 12. Proporsi Perbandingan NTB Ind. Mamin Mikro Kecil dan Besar Sedang
Jika dilihat total NTB antara industri mikro kecil dan besar sedang, maka terlihat di sektor
makanan terjadi kenaikan yang besar dibandingkan di sektor minuman.
Tabel 10. Jumlah Nilai Tambah Bruto (NTB) Industri Makanan dan Minuman
Jika dilihat berdasarkan proporsi NTB industri makanan dan minuman terhadap industri
nasional, maka terlihat bahwa industri makanan mendapatkan 23% dan minuman 1%
terhadap industri nasional.
18
Grafik 13. Proporsi NTB Industri Mamin terhadap Industri Nasional
Industri makanan dan minuman adalah salah satu sektor industri strategis dan memiliki
banyak sekali cakupan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) cakupan dan
klasifikasi industri makanan dan minuman di Indonesia sangat banyak, mulai dari produk
hewan, ikan, dan produk-produk nabati yang lain. Pada intinya produk makanana dan
minuman ini berinti pada satu hal yakni kebutuhan primer sehari-hari. Sehingga
pergerakan atau pertumbuhannya sangat cepat. Berbeda dengan pergerakan industri yang
lain seperti furnitur, elektronik, dan lain-lain yang relatif lama.
Pada tahun 2011 pertumbuhan industri makanan dan minuman di Indonesia mencapai 10,98%. Kemudian mencapai 19,33% di tahun 2012, 4,07% di tahun 2013, 9,49 ditahun 2014, 7,54% di tahun 2015 dan 8,46% di tahun 2016 (BPS, 2017). Angka pertumbuhan industri makanan dan minuman menurut data Badan Pusat Statitik 2017 lebih tinggi jika dibandingkan dengan angka pertumbuhan industri pengelolahan Non Migas yang rata-rata angkat pertumbuhannya hanya 5,83%. Pertumbuhan industri makanan dan minuman tersebut juga dialami oleh sektor UMKM.
19
Di dunia internasional, khususnya wilayah Asia dan Australia, Indonesia bersama Malaysia dan Singapura mendominasi pertumbuhan permintaan terhadap makanan dan minuman (demand food and bevarge). Berikut merupakan pertumbuhan permintaan atas industri makanan dan minuman serta tembakau di wilayah Asia dan Australia.
Tabel. 1 Makanan, Minuman, dan Tembakau: Pertumbuhan Permintaan Pasar (dalam %)
Wilayah 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
Asia dan Australia
2.5 2.3 2.0 1.6 2.0 2.0 1.9 1.9
Australia 3.5 3.1 2.5 2.5 3.6 3.4 3.2 3.4
China 3.9 1.4 1.2 1.2 1.1 1.0 0.9 1.1
Hong Kong 6.6 2.0 1.9 -0.3 1.4 -0.2 0.7 -0.5
India 3.2 3.2 3.6 3.8 4.2 3.6 3.2 3.2
Indonesia 3.5 4.3 4.3 4.3 4.8 4.7 4.8 5.0
Japan 0.4 2.1 1.9 0.4 0.1 0.4 0.5 0.5
Malaysia 4.5 5.7 6.4 4.9 4.2 4.3 4.7 5.1
New Zaelan
2.7 3.2 4.2 3.5 3.3 2.7 2.9 3.1
Pakistan -0.1 4.4 -1.0 -3.2 3.1 0.5 1.2 0.9
Philipines 3.3 4.2 3.3 3.2 3.4 3.3 3.4 3.3
Singapore 4.5 2.2 2.9 3.4 4.7 4.8 4.8 4.9
South Korea
1.3 0.4 0.7 2.3 2.0 2.2 1.8 1.8
Taiwan 2.3 0.8 1.2 1.7 1.8 1.5 1.2 1.5
Thailand -0.3 4.9 -1.3 -1.3 1.9 2.9 2.9 2.8
20
Vietnam -0.4 0.2 0.9 1.9 2.8 3.0 3.0 3.4
Sumber: Economist Intelligence Unit, 2014 (angka untuk tahun 2014 dan seterusnya merupakan ramalan. Sementara untuk tahun sebelumnya merupakan data aktual atau perkiraan).
Persebaran Industri Makanan dan Minuman di Indonesia. Sebaran Industri makanan dan minuman di Indonesia hingga kini masih terpusat di Pulau Jawa dan Bali. Pada tahun 1980, 84,58% industri makanan dan minuman ada di Jawa dan Bali. Sisanya 10, 43% di Sumatera, 2,10% di Sulawesi, 1,76% di NTB dan NTT, 0,79 di Kalimantan, dan 0,34% di Maluku. Sementara di Papua sama sekali tidak ada industri makanan dan minuman di tahun tersebut. Namun di tahun 2014, meskipun belum merata, pertumbuhan industri makanan dan minuman di luar Jawa meningkat dari tahun-tahun sebelumnya.
Tabel 1. Sebaran Perusahaan Industri Makanan dan Minuman
Menurut Pulau (%)
Wilayah 1980 1990 1998 2000 2010 2014
Sumatera 10.43 16.74 16.89 16.64 18.35 18.66
Jawa dan Bali
84.58 76.44 74.08 74.33 72.75 69.73
NTB+NTT 1.76 1.15 1.27 1.14 1.06 1.10
Kalimantan 0.79 1.45 1.82 1.98 2.58 3.94
Sulawesi 2.10 3.53 5.01 5.04 4.52 5.47
Maluku 0.34 0.27 0.44 0.28 0.27 0.60
Papua 0.33 0.44 0.58 0.47 0.50
Sumber: BPS, diolah.
Peranan Industri Makanan dan Minuman dalam Perekonomian. Industri makanan dan minuman di Indonesia merupakan salah satu industri yang memiliki peranan penting dalam perekonomian. Salah satunya di bidang penyerapan tenaga kerja. Pada tahun 2015, terdapat 4 juta tenaga kerja terlibat langsung dalam industri makanan dan minuman. Bahkan diperkirakan ada 16 juta sampai dengan 20 juta tenaga kerja yang terlibat langsung dan tak langsung dalam industri makanan minuman (BPS, 2015). Artinya industri makanan dan minuman merupakan industri yang padat karya. Selain itu industri ini memiliki keterkaitan dengan sektor ekonomi lainnya, terutama pertanian dan perdagangan.
21
Tabel 2. Sebaran Tenaga Kerja Industri Makanan dan Minuman
Menurut Pulau (%)
Wilayah 1980 1990 1998 2000 2010 2014
Sumatera 6.38 24.45 24.39 22.33 25.98 25.33
Jawa dan Bali
90.58 69.69 66.12 67.43 61.89 58.15
NTB+NTT 0.55 0.33 0.40 0.38 0.37 0.37
Kalimantan 0.21 1.35 1.58 2.28 6.07 6.74
Sulawesi 2.01 3.43 5.48 6.01 4.61 6.97
Maluku 0.27 0.11 0.46 0.41 0.18 0.44
Papua 0.58 1.49 1.16 0.90 2.00
Sumber: BPS, diolah.
Pada Semester I tahun 2015, sektor industri makanan dan minuman berkontribusi sebesar 31,20 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) industri pengolahan non migas. Sedangkan, industri non migas berkontribusi sebesar 86,89 persen terahdap industri pengolahan atau sebesar 21,02 persen terhadap PDB Nasional. Peranan tersebut dapat dilihat dari sumbangan nilai ekspor produk mamin pada Mei 2015 yang mencapai 2,26 miliar dolar AS. Angka ini mengalami kenaikan 4,05 persen dibandingkan nilai ekspor pada Mei 2014 sebesar 2,175 miliar dolar AS (www.kemenperin.go.id, 2015).
22
Tantangan Industri Makanan dan Minuman di Indonesia
Berdasarkan sektornya, data BPS menunjukan bahwa saat ini kontribusi industri terhadap
Produk Domestik Bruto (PDB) terlihat menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa
deindustrialisasi memang benar terjadi di Indonesia. Penurunannya terlihat jelas pada
triwulan I-2016 dimana share industri hanya sebesar 20,8%, padahal di triwulan IV-2015
nilainnya mencapai 21,18%.
Proses deindustrialisasi ini salah satunya disebabkan oleh penurunan skala produksi yang
banyak terjadi pada industri besar dan sedang. Selain itu, deindustrialisasi juga disebabkan
oleh pelemahan pada faktor-faktor pendukung industri, seperti pengerjaan infrastruktur
yang belum rampung, birokrasi perizinan yang berlarut-larut, biaya logistik yang masih
mahal, hingga ketersediaan pasokan energi bagi industri (INDEF, 2016).
Berdasarkan temuan dalam FGD yang diselenggarakan The Indonesian Institute, terungkap
bahwa tantangan industri makanan dan minuman saat ini adalah pertama, faktor regulasi.
Dimana menurut temuan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD),
masih banyak di beberapa daerah yang belum mendorong kebijakan kemudahan usaha.
Namun sebaliknya banyak peraturan daerah yang menciptakan kondisi usaha manjadi
tidak kondusif. Hal ini dikarenakan kebijakan pemerintah pusat yang tidak
tersosialisasikan dengan baik sehingga daerah belum dapat mengimplemntasikan
kebijakan yang mendorong kemudahan usaha.
Kedua, permasalahan standarisasi. Permasalahan ini terjadi pada Usaha Mikro Kecil dan
Menengah (UMKM), dimana masih banyak UMKM yang belum dapat melakukan
pengemasan yang sesuai standar. Sehingga kesulitan dalam mendapatkan pasarnya.
Ketiga, tenaga kerja. Terdapat beberapa daerah seperti di kerawang dan Bekasi, yang
membuat kebijakan membebankan pelaku usaha yang berdampak pada usaha. Misalnya
kewajiban menyerap tenaga kerja lokal 60%. Jika tidak mampu menyerap tenaga kerja
lokal sampai 60% maka mereka akan mendapatkan sanksi.
Keempat, berdasarkan paparan Doni Wibisono dari GAPMMI, tantangan lainnya dalam
industri makanan dan minuman yaitu aturan adat. Di Banten misalnya, susah sekali
industri makanan dan minuman hidup. Sebagai contoh Aqua coba mendirikan di
Pandeglang karena mata airnya disitu. Namu ternyata hari pembukaan sama juga dengan
hari penutupan. Hal ini dikarenakan terbentur dengan persoalan hukum adat. Begitupula di
daerah lain seperti Sumatera Barat. Kelima, persoalan karantina. Karena ada pemeriksaan
pre border dan post border. Inilah yag menjadi persoalan.
23
Keenam, sertifikat halal. Dimana masih banyak produk yang belum mendapatkan sertifikat
halal. Hal ini juga dikarenakan masih kurangnya sumber daya manusia yang melakukan
sertifikasi halal. Ketujuh, persoalan pemerataan infrastruktur. Karena hal ini
mempengaruhi biaya logistik dari industri. Kedelapan, ketersediaan bahan baku.
Kesembilan, era digital. Dimana saat ini pengaruh internet yang luar biasa. Jual beli saat ini
sudah dilakukan melalui online. Begitula di Industri makanan dan minuman.
Lebih jauh terkait hal ini juga dikemukakan oleh peneliti dari LPEM FEB UI, Berbicara
mengenai isu dalam sektor industri makanan dan minuman, isu pertama, adalah isu
keterbukaan pasar. Menurut Taufik Aryanto, Divisi Pencegahan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU), akan ada perdebatan bagaimana persaingan produk impor dan
bagaimana produ-produk lokal seperti dodol garut, jajanan lokal, bisa bersaing dengan
produk-produk impor yang sudah dalam kemasan. Isu kedua, hambatan perdagangan,
karena disini untuk produk-produk tertentu, kita harus tunduk pada kesepakatan di
tingkat regional ASEAN. Isu ketiga adalah persaingan, yakni tentang kartel, perjanjian
esklusif distributor, dan penguasaan pasar. Masalah yang diperhatikan adalah ketentuan
mengenai penggabungan atau peleburan perusahaan. Mengenai merger dan akuisisi di
tingkat regional sudah dilakukan konsolidasi, termasuk makanan dan minuman,
healthcare, farmasi. Hal ini tentu berdampak ke Indonesia. Kalau perusahaan asing
tersebut melakukan akuisisi produsen pangan di Indonesia, otomatis kita akan lebih
banyak menjumpai produk-produk tersebut di pasar. Aqua Danone, terakhir Kecap Bango
juga diakuisisi, itu yang harus diantisipasi dalam arti konsolidasi industri domestik di
Indonesia.
Isu keempat, menurut Taufik Aryanto adalah isu compliance atau kemitraan. Berbicara soal
complience, KPPU telah sedang mengembangkan guideline khusus untuk pengusaha.
Guideline tersebut akan menjadi panduan untuk mereka yang menggeluti dunia usaha
supaya tidak melanggar rambu-rambu Undang-Undang yang mengatur tentang persaingan.
Hal-hal yang perlu disingkronkan dalam panduan tersebut salah satunya adalah
pengaturan produsen dengan distributor. Sebab berdasarkan kasus yang pernah ditemui
oleh KPPU, terdapat salah satu produsen minuman siap saji telah membuat pengaturan
dengan distributor tentang pasal tidak boleh menjual produk pesaingnya. Apabila menjual
maka akan ditambah diskon untuk produk tersebut. Praktek-praktek tersebut berpotensi
melanggar rambu-rambu persaingan sehat. Melalui complience ini bisa dideteksi di awal
supaya lebih sinkron.
Lebih jauh dikatakan, Industri makanan dan minuman di Indonesia selama ini selalu dihadapkan pada berbagai permasalahan. Menurut Riyanto, Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) UI, beberapa permasalah yang dihadapi oleh industri makanan dan minuman antara lain: (1) bahan baku impor; (2) nilai tukar; (3) suku bunga;
24
(4) UMP; (5) harga dan pasokan energy (listrik dan gas, BBM?); (6) ekonomi biaya yang tinggi; (7) infrastruktur terbatas; (8) suku bunga perbankan yang tinggi; (9) teknologi pengolahan yang masih ketinggalan; (10) isu negative tentang bahan tambahan pangan; (11) peredaran produk impor illegal; (12) persyarata mutu dan teknis negara tujuan ekspor dan sebagainya.
Selain itu, berkaitan dengan industri makanan dan minuman skala kecil dan menengah yakni UMKM, juga memiliki permasalahan sendiri. Menurut Mustofa, Direktur Penilaian Keamanan Pangan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), sektor UMKM merupakan sektor usaha yang perlu dikembangkan agar dapat bersaing dan bersama-sama dalam meningkatkan perekonomian negara. Namun sayangnya ada banyak permasalahan yang harus dihadapi oleh usaha kecil dan menengah ini antara lain: (1) perijinan usaha kecil dari pemerintah daerah sulit diperoleh karena kendala pemenuhan persyaratan lokasi; (2) banyak UMKN belum dapat memenuhi persyaratan GMP; (3) fokus pembinaan terhadap produk unggulan belum optimal; (4) lambatnya pengembangan produk dan industri terkait pemanfaatan teknologi UMKM; (5) belum ada database yang terintegrasi dan komprehensif; (6) izin edar SP-IRT belum selesai dengan Perka BPOM.
Tantangan yang harus dihadapi oleh UMKM ini meliputi: (1) Regulatory system yang belum mendukung seperti simplifikasi persyaratan pendaftaran, izin usaha dan revisi PNBP; (3) Pengembangan sistem/fasilitas pendaftaran izin edar (MD); (3) Pembinaan pelaku UMKM yang efektif dan efisien untuk meningkatkan SDM, baik terkait dengan pemenuhan standar ASEAN & Internasional (misal CPPOB, termasuk label) maupun jiwa kewirausahaan; (4) Mempermudah akses dan transfer teknologi pelaku UMKM untuk dapat berinovasi dan menerapkan teknologi (termasuk kemasan); (5) Menjalin koordinasi yang sinergis, dinamis dan berkelanjutan baik antar instansi pemerintah, pelaku UMKM dan konsumen.
Selanjutnya di lihat dari sisi konsumen, menurut Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), memetakan beberapa tantangan yang harus diperhatikan oleh pelaku industri makanan dan minuman. Beberapa diantaranya adalah : (1) aspek keamanan pangan; (2) aspek kesehatan; (3) tren obesitas pada anak di Indonesia; (4) permenkes tentang gula, garam, dan lemak; (5) aspek kehalalan; (6) aspek digital economic.
Berbicara soal keamanan pangan, berdasarkan hasil monitoring YLKI, terdapat sekitar 10-12 persen makanan dan minuman yang beredar tidak aman, baik di Jakarta atau di Indonesia. BPOM dan Polisi sering melakukan penegakan hukum terhadap masalah ini, karena makanan dan minuman masih mengandung zat berbahaya, belum lagi isu formalin, kontaminasi dan lain-lain. Selain itu juga masih bererdar produk makanan dan minuman ilegal yang sering ditemukan di daerah pinggiran perbatasan, Singapura, Malaysia, Thailand. Produk-produk ilegal tersebut tidak berlabel badan POM atau tidak menggunakan bahasa Indonesia. Padahal mandat dari UU Perlindungan Konsumen, produk-produk yang beredar di Indonesia harus menggunakan bahasa Indonesia.
25
Seperti misalnya di Jakarta, pernah dilakukan survey makanan yang disajikan dalam acara hajatan. Pengecekan tersebut dilakukan untuk mengetahui apakah makanan yang disajikan dalam hajatan tersebut mengandung formalin atau tidak. Ternyata hasil survey menunjukkan 30% makanan yang disajikan di hajatan tidak layak konsumsi. Masalahnya, apabila makanan tersebut sudah siap disajikan dalam hajatan, maka makanan tersebut tidak mungkin serta merta ditarik, meskipun tidak aman, karena mengandung formalin, borax. Hal ini merupakan masalah dan tantangan yang harus dihadapi oleh industri makanan dan minuman, khususnya makanan dan minuman non kemasan dalam usaha katering rumah tangga.
Berdasarkan riset yang pernah dilakukan oleh YLKI, peredaran makanan non kemasan ini juga tidak aman karena sering dijemur di matahari terik. AMDK misalnya di kaki lima proses produksi aman, distribusinya yang tidak aman, akhirnya plastik yang kita minum larut dengan dengan plastik yang dijemur matahari. Hal ini menunjukkan bahwa produsen makanan dan minuman dirasa kurang bahkan tidak melakukan edukasi atau sosialisasi. YLKI pun pernah menerima pengaduan makanan di supermarket yang kadaluwarsa dan minimal tidak segar lagi, di Carrefour buah-buah atau sayur-sayur sudah tidak segar lagi, sudah layu tapi harga masih tetap sama. Ini harus menjadi perhatian kita karena ini yang dialami konsumen.
Selanjutnya berbicara aspek kesehatan, makanan dan minuman tinggi lemak gula garam tidak sehat bagi anak-anak dan orang tua. Campaign yang dilakukan oleh WHO adalah untuk mengurangi 3 produk itu. Data saat ini menunjukkan masyarakat Indonesia didominasi penyakit yang tidak menular, dan itu disebabkan oleh pola makan dan pola hidup, dipicu dari salah satunya konsumsi makanan yang tinggi lemak, gula dan garam. Tragisnya penyakit generatif, adalah kalangan menengah bawah, karena orang kaya tahu pola hidup sehat, mereka bisa hindari itu, tapi untuk kalangan bawah mereka menderita jantung stroke dan segala macam. Bahkan 12% anak Indonesia mengalami obesitas, dan pemicunya adalah makanan dan minuman yang dijual di pasaran.
Kemudian berbicara soal fenomena digital ekonomi. Ketika pertumbuhan ekonomi lesu, di era digital ekonomi ini industri makanan dan minuman digital malah cenderung meningkat yakni sebesar 40%. Namun di sisi lain tren pengaduan e-commerce meningkat tajam, 2 tahun yang lalu belum masuk 10 besar, sekarang 3 besar, mengenai pengaduan elektronik. Artinya ada ketidak siapan regulasi untuk mengatur perdagangan digital ini.
Saat ini pengguna internet mencapai 91 juta orang, pengguna smartphone. Banyak di FB, twitter, instagram, kita temui iklan makanan dan minuman. Masalahnya adalah apakah pengawasan terhadap hal itu sudah dilakukan secara optimal? Untuk melindungi konsumen dari produk-produk berbahaya. BPOM tidak cukup mengawasi pasar konvensional saja, tetapi pasar digital juga. Sebab potensi pelanggaran-pelanggaran makanan dan minuman di internet karena uncontrollable. Apalagi 90% portal online hanya untuk obat dan kosmetik. Walaupun selaman ini masyarakat telah direkomendasikan
26
untuk tidak membeli obat kosmetik lewat online. Sayangnya, meskipun tidak bisa dipertanggungjawabkan tapi di Indonesia vaksin atau obat dijual di internet.
Mengenai kemitraan, mengacu pada UU 20/2008 tentang UMKM, pasal kemitraan,
mengenai hubungan UMKM dengan skala-skala usaha besar. Berdasarkan uu tersebut,
pengawas KPPU dapat melakukan pendekatan terhadap perusahaan multinasional yang
memiliki mitra pemasok agar ada rambu-rambu hubungan kemitraan yang adil dan sehat,
pada peretail besar, seperti misalnya Carrefour, yang memajukan kemitraan dengan
pemasoknya.
27
Rekomendasi
Meskipun sudah terdapat beberapa hal yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk
meningkatkan gairah industri di tanah air, masih ada juga catatan yang perlu diberikan
agar industri domestik dapat terus berkembang. Kita pahami bersama bahwa infrastruktur
adalah komponen yang paling penting bagi kesuksesan sektor industri. Dengan
infrastruktur yang memadai tentu industri akan mampu tumbuh dengan maksimal.
Paket kebijakan ekonomi jilid pertama mengenai percepatan pembangunan infrastruktur
masih semata berupa instruksi presiden (Inpres) semata. Belum ada tekanan yang lebih
kuat bagi instansi terkait untuk mengakselerasi kinerja seperti halnya jika tertuang dalam
Undang-undang (UU). Oleh karena itu menjadikan Inpres menjadi UU sesegera mungkin
diharapkan akan dapat segera terwujud agar tidak menjadi disinsentif bagi para pelaku
industri yang sebelumnya sudah dijanjikan atas pengerjaan infrastruktur yang tepat waktu.
Biaya logistik juga penting untuk menjadi catatan bersama. Dwelling time yang ada pada
saat ini memang cukup baik terlihat di pelabuhan Tanjung Priok. Namun, hal tersebut
belum terlihat di pelabuhan besar lainnya di Indonesia. Ini bisa jadi menandakan bahwa
standar operasi yang berlaku belum rata antara satu daerah dengan lainnya. Dengan ini
pembenahan tentu wajib dilakukan agar jurang ketimpangan antar daerah tidak semakin
membesar.
Kebutuhan industri akan pasokan energi juga penting untuk turut dicermati. Harapan
penuh ambisi Presiden Joko Widodo untuk memiliki pembangkit listrik bertenaga 35.000
MW bukanlah hal yang main-main. Dalam paket kebijakan jilid ke-7 disebutkan bahwa
pemerintah ingin agar proses pembangunan kilang minyak dipermudah sehingga pasokan
energi tidak terus bergantung kepada impor. Padahal jika melihat konteks yang ada di
lapangan, masalah terbesarnya adalah pada pembebasan lahan. Pembebasan lahan
cenderung memakan waktu yang berlarut-larut dan tidak sedikit menimbulkan konflik di
akar rumput.
Penting untuk menjadi pertimbangan bersama kemudian bahwa melakukan redesain atas
paket kebijakan ekonomi yang ada merupakan hal yang cukup kritikal. Persoalan industri
tidak hanya semata permasalahan faktor eksternal semata. Masalah domestik juga penting
untuk diselesaikan bersama. Terlebih lagi terdapat tantangan baru dalam dunia industri,
yakni kehadiran revolusi industri keempat.
Selain itu, beberapa rekomendasi berikut patut mendapat perhatian pemerintah, yaitu
sebagai berikut: (1) mendorong usaha kecil dan menengah untuk dapat masuk dalam
28
persaingan pasar, baik nasional maupun internasional; (2) meningkatkan ketersediaan
bahan baku yang berasal dari lokal, dan bukan impor; (3) meningkatkan pengawasan
terhadap produk-produk makanan dan minuman, tidak hanya di dalam pasar
konvensional, tetapi juga terhadap pasar digital; (4) melakukan pembinaan terhadap
industri kecil dan menengah; (5) meningkatkan akses terhadap informasi meliputi
informasi kemitraan, teknologi, permodalan, pemasaran, dan manajemen usaha, khususnya
bagi UMKM; (6) meningkatkan daya saing produk-produk lokal, seperti misalnya
meningkatkan upaya promosi produk-produk unggulan daerah yang ada di seluruh
Indonesia.
29
Lampiran 1:
Peserta Focus Group Discussion
“Analisis Peta Industri Makanan dan Minuman di Indonesia”
No. Hari/Tanggal Nama Afiliasi
1.
Senin, 20 Februari
2017
Tities KPPOD
2. Said Ridwan Dir. Perencanaan Industri Manufaktur, BKPM
3. Tri Direktorat Statistik Industri, BPS
4. Doni Wibisono GAPMMI
5. Thomas Darmawan APINDO
6. Nur Alan Lasido Paramadina Public Policy Institute
7. Arfianto The Indonesian Institute
8. M. Yudha Prawika KPPOD
9. Purwanti Kasi, BKPM, Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur
10. Putri Yani TP BKPM
11. Hizkia Respatiadi Center for Indonesia Policy Studies / Fasilitator
12. Sri Kreesna Maharani Notulen
13
Selasa, 21 Februari
2017
Tulus Abadi Ketua YLKI
14. Taufik Aryanto Divisi Pencegahan KPPU
15. Riyanto LPEM FEB UI
16. Drs. Mustofa, Apt., M.Kes BPOM
17. Thomas Darmawan KADIN
18. Meinneke Karolin BPOM
19. Zihan Syahayani The Indonesian Institute
20. Muhammad Ikhsan Paramadina Public Policy Institute/ Fasilitator
21. Sri Kreesna Maharani Notulen
33
Profil Institusi
The Indonesian Institute (TII) adalah lembaga penelitian kebijakan publik (Center for Public Policy Research) yang resmi didirikan sejak 21 Oktober 2004 oleh sekelompok aktivis dan intelektual muda yang dinamis. TII merupakan lembaga yang independen, nonpartisan, dan nirlaba yang sumber dana utamanya berasal dari hibah dan sumbangan dari yayasan-yayasan, perusahaan-perusahaan, dan perorangan. TII bertujuan untuk menjadi pusat penelitian utama di Indonesia untuk masalah-masalah kebijakan publik dan berkomitmen untuk memberikan sumbangan kepada debat-debat kebijakan publik dan memperbaiki kualitas pembuatan dan hasil-hasil kebijakan publik dalam situasi demokrasi baru di Indonesia. Misi TII adalah untuk melaksanakan penelitian yang dapat diandalkan, independen, dan nonpartisan, serta menyalurkan hasil-hasil penelitian kepada para pembuat kebijakan, kalangan bisnis, dan masyarakat sipil dalam rangka memperbaiki kualitas kebijakan publik di Indonesia. TII juga mempunyai misi untuk mendidik masyarakat dalam masalah-masalah kebijakan yang mempengaruhi hajat hidup mereka. Dengan kata lain, TII memiliki posisi mendukung proses demokratisasi dan reformasi kebijakan publik, serta mengambil bagian penting dan aktif dalam proses itu. Ruang lingkup penelitian dan kajian kebijakan publik yang dilakukan oleh TII meliputi bidang ekonomi, sosial, dan politik. Kegiatan utama yang dilakukan dalam rangka mencapai visi dan misi TII antara lain adalah penelitian, survei, pelatihan, fasilitasi kelompok kerja (working group), diskusi publik, pendidikan publik, penulisan editorial (Wacana TII), penerbitan kajian bulanan (Update Indonesia, dalam bahasa Indonesia dan Inggris) serta kajian tahunan (Indonesia Report), serta forum diskusi (The Indonesian Forum).
Alamat kontak: Gd Pakarti Center Lantai 7
Jl. Tanah Abang 3 No. 23-27 Petojo Selatan Jakarta Pusat 10160
Tel. 021 3482496 Fax. 021 34833850 [email protected]
www.theindonesianinstitute.com