3. isi presus

48
BAB I LAPORAN KASUS I.1. IDENTITAS PASIEN Nama : Ny. RS/ 47 tahun Alamat :Jl. Rawamangun Muka, Pulogadung, Jakarta Timur Jenis Kelamin : Perempuan Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Agama : Islam Status Pernikahan : Sudah Menikah No CM : 33-15-66 Tanggal Masuk : 20 Februari 2015 Tanggal Pemeriksaan : 25 Februari 2015 II.2. ANAMNESA Pasien merupakan pasien konsultasi dari bagian penyakit dalam RSPAD Gatot Soebroto pada tanggal 24 Februari 2015. Dilakukan auto-anamnesa pada tanggal 25 Februari 2015. Keluhan Utama Pasien mengaku sulit membuka mata secara mendadak dan semakin berat bila menjelang sore hari sejak 1 bulan yang lalu. 1

Upload: pramita-ines-parmawati

Post on 07-Dec-2015

239 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

aa

TRANSCRIPT

Page 1: 3. Isi Presus

BAB I

LAPORAN KASUS

I.1. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. RS/ 47 tahun

Alamat :Jl. Rawamangun Muka, Pulogadung, Jakarta Timur

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Agama : Islam

Status Pernikahan : Sudah Menikah

No CM : 33-15-66

Tanggal Masuk : 20 Februari 2015

Tanggal Pemeriksaan : 25 Februari 2015

II.2. ANAMNESA

Pasien merupakan pasien konsultasi dari bagian penyakit dalam RSPAD

Gatot Soebroto pada tanggal 24 Februari 2015. Dilakukan auto-anamnesa pada

tanggal 25 Februari 2015.

Keluhan Utama

Pasien mengaku sulit membuka mata secara mendadak dan semakin berat

bila menjelang sore hari sejak 1 bulan yang lalu.

Keluhan Tambahan

Pasien mengeluhkan lemah pada kedua ekstramitas dan lelah bila bicara

terlalu lama.

1

Page 2: 3. Isi Presus

Riwayat Penyakit Sekarang

Sejak 2 bulan yang lalu pasien mengeluhkan lemah pada kedua

ekstramitas. Sejak 1 bulan yang lalu pasien merasa lelah bila bicara terlalu

lama dan kesulitan membuka mata. Pasien sulit membuka mata ketika bangun

tidur dan dirasa semakin memberat pada sore dan malam hari. Keluhan pasien

dirasakan setelah beraktifitas, dan keluhan cenderung berkurang setelah pasien

beristirahat.

Keluhan ini diakui sangat mengganggu aktivitas pasien. Nyeri kepala,

mual, muntah, demam disangkal oleh pasien. BAB dan BAK tidak ada

keluhan.

Pasien menyangkal adanya penyakit hipertensi, diabetes mellitus, penyakit

jantung. Dari riwayat keluarga tidak ditemukan keluhan serupa dengan pasien,

penyakit hipertensi, diabetes melitus, stroke ataupun gangguan jantung.

Keluhan seperti ini baru pertama kali dirasakan oleh pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu

Hipertensi : Disangkal

Diabetes Mellitus : Disangkal

Sakit jantung : Disangkal

Trauma kepala : Disangkal

Sakit kepala sebelumnya : Disangkal

Kegemukan : Disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada riwayat serupa dengan pasien, hipertensi, diabetes melitus,

stroke ataupun gangguan jantung pada keluarga

Riwayat Kelahiran/Pertumbuhan/Perkembangan

Pasien dilahirkan normal. Pertumbuhan dan perkembangan selama masa

kanak-kanak dalam batas normal.

2

Page 3: 3. Isi Presus

I.3. PEMERIKSAAN FISIK

A. STATUS INTERNUS

1. Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang

2. Gizi : BMI 17,7 (underweight)

3. Tanda Vital :

Tekanan Darah Kanan: 100/70 Mmhg

Tekanan Darah Kiri : 110/70 Mmhg

Nadi Kanan : 80 X/Menit

Nadi Kiri : 76 X/Menitt

Pernafasan : 20 X/Menit

Suhu : 36oc

4. Limfonodi : Tidak Teraba Pembesaran Kelenjar Getah Bening

5. Jantung : Bunyi Jantung I-II Regular, Murmur (-), Gallop (-)

6. Paru :Bunyi Nafas Vesikuler (+/+), Ronki (-/-),

Wheezing (-/-)

7. Hepar : Tidak Teraba Pembesaran Hepar

8. Lien : Tidak Teraba Pembesaran Lien

9. Ekstremitas : Akral hangat, Capillary Refill Time kurang dari 2

detik Edema (-), Sianosis (-)

B. STATUS PSIKIATRIS

a. Tingkah Laku : Wajar

b. Perasaan Hati : Tidak Ada Kelainan

c. Orientasi : Baik

d. Jalan Fikiran : Tidak Ada Kelainan

e. Daya Ingat : Baik

C. STATUS NEUROLOGIS

a. Kesadaran : Compos Mentis, GCS 15 (E4M6V5)

b. Sikap Tubuh : Berbaring

c. Cara Berjalan : Tidak Dilakukan

d. Gerakan Abnormal : Tidak Ditemukan

e. Kepala :

Bentuk : Normocephal

3

Page 4: 3. Isi Presus

Simetris : Simetris

Pulsasi A.Temporalis : Teraba

Nyeri Tekan : Tidak Ada

f. Leher :

Sikap : Normal

Gerakan : Bebas

Vertebrae : Dalam Batas Normal

Nyeri Tekan : Tidak Ada

D. GEJALA RANGSANG MENINGEAL

NO GRM KANAN KIRI

1 Kaku Kuduk (-)

2 Lasegue > 70° > 70°

3 Kernig > 135° > 135°

4 Brudzinsky I (-) (-)

5 Brudzinsky II (-) (-)

E. NERVI CRANIALES

a. Nervus I (N. Olfactorius)

Daya Penghidu : Normosmia/Normosmia

b. Nervus II (N. Opticus)

Ketajaman Penglihatan: Minus 2.00/2.00

Pengenalan Warna : Baik/ Baik

Lapang Pandang : Baik/ Baik

Funduskopi : Tidak Dilakukan

c. Nervus III (N. Occulomotorius/ Trochlearis/ Abdusens)

Ptosis : (+/+)

Strabismus : (-/-)

Nistagmus : (-/-)

Eksoftalmus : (-/-)

Enoptalmus : (-/-)

Gerakan Bola Mata:

- Lateral : (+/+)

4

Page 5: 3. Isi Presus

- Medial : (+/+)

- Atas Lateral : (+/+)

- Atas Medial : (+/+)

- Bawah Lateral : (+/+)

- Bawah Medial : (+/+)

- Atas : (+/+)

- Bawah : (+/+)

- Gaze : (-/-)

Pupil:

- Ukuran Pupil : 3 Mm/ 3mm

- Bentuk Pupil : Bulat/ Bulat

- Isokor/ Anisokor : Isokor

- Posisi : Di Tengah/ Di Tengah

- Refleks Cahaya Langsung : (+/+)

- Refleks Cahaya Tidak Langsung : (+/+)

- Refleks Akomodasi/ Konvergensi: (+/+)

d. Nervus V (N. Trigeminus)

- Menggigit : (+/+)

- Membuka Mulut : (+/+)

- Sensibilitas Atas : (+/+)

- Sensibilitas Tengah : (+/+)

- Sensibilitas Bawah : (+/+)

- Refleks Masseter : (+/+)

- Refleks Zigomatikus : (+/+)

- Refleks Kornea : Tidak Dilakukan

- Refleks Bersin : Tidak Dilakukan

e. Nervus VII (N. Fasialis)

- Pasif

- Kerutan Kulit Dahi : Simetris kanan dan kiri

- Kedipan Mata : Simetris kanan dan kiri

- Lipatan Nasolabial : Simetris kanan dan kiri

- Sudut Mulut : Simetris kanan dan kiri

5

Page 6: 3. Isi Presus

- Aktif

- Mengerutkan Dahi : Simetris kanan dan kiri

- Mengerutkan Alis : Simetris kanan dan kiri

- Menutup Mata : Simetris kanan dan kiri

- Meringis : Simetris kanan dan kiri

- Menggembungkan Pipi : Simetris kanan dan kiri

- Gerakan Bersiul : Simetris kanan dan kiri

- Daya Pengecapan Lidah 2/3 Depan: Tidak Dilakukan

- Hiperlakrimasi : Tidak Ditemukan

- Lidah Kering : Tidak Ditemukan

f. Nervus VIII (N. Vestibulocochlearis)

Suara Gesekan Jari Tangan : (+/+)

Mendengarkan Detik Jam Arloji : (+/+)

Tes Rinne : Tidak Dilakukan

Tes Weber : Tidak Dilakukan

Tes Swabach : Tidak Dilakukan

g. Nervus IX (N. Glossopharyngeus)

Arkus Faring : Simetris

Posisi Uvula : Di tengah

Daya Pengecap Lidah 1/3 Belakang : Tidak Dilakukan

Refleks Muntah : Tidak Dilakukan

h. Nervus X (N. Vagus)

Denyut Nadi : Teraba, Reguler

Arkus Faring : Simetris kanan kiri

Bersuara : Lemah bila terlalu lama bicara

Menelan : Tidak ada kelainan

i. Nervus XI (N. Assesorius)

Memalingkan Kepala : Baik

Sikap Bahu : Simetris kanan dan kiri

Mengangkat Bahu : Simetris kanan dan kiri

j. Nervus XII (N. Hipoglosus)

6

Page 7: 3. Isi Presus

Menjulurkan Lidah : Tidak ada deviasi

Kekuatan Lidah : Baik

Atrofi Lidah : Tidak ditemukan

Artikulasi : Jelas

Tremor Lidah : Tidak ditemukan

F. MOTORIK

Gerakan : terbatas terbatas

terbatas terbatas

Kekuatan : 4444 4444

4444 4444

Tonus otot : Normotonus Normotonus

Normotonus Normotonus

Trofi : Eutrofi Eutrofi

Eutrofi Eutrofi

Reflek Fisiologis

Refleks tendon :

Refleks biseps : (+/+)

Refleks triseps : (+/+)

Refleks patella : (+/+)

Refleks archilles : (+/+)

Refleks periosteum : tidak dilakukan

Refleks permukaan:

Dinding perut : tidak dilakukan

Cremaster : tidak dilakukan

Spincter ani : tidak dilakukan

Reflek Patologis

Hoffman trimmer : (-/-)

Babinski : (-/-)

Chaddock : (-/-)

Oppenheim : (-/-)

Gordon : (-/-)

Schaefer : (-/-)

7

Page 8: 3. Isi Presus

Rosolimo : (-/-)

Mendel bechterew : (-/-)

Klonus paha : (-/-)

Klonus kaki : (-/-)

G. SENSIBILITAS

Eksteroseptif:

Nyeri : (Normal/Normal)

Suhu : Tidak Dilakukan

Taktil : (Normal/Normal)

Propioseptif:

Posisi : (Normal/Normal)

Vibrasi : Tidak Dilakukan

Tekanan Dalam : (Normal/Normal)

H. KOORDINASI DAN KESEIMBANGAN

a. Tes Romberg : Tidak dilakukan

b. Tes Tandem : Tidak dilakukan

c. Tes Fukuda : Tidak dilakukan

d. Disdiadokinesis : Normal

e. Rebound Phenomen : Normal

f. Dismetri : Normal

g. Tes Telunjuk Hidung : Normal

h. Tes Telunjuk Telunjuk : Normal

i. Tes Tumit Lutut : Tidak dilakukan

I. FUNGSI OTONOM

a. Miksi

Inkontinensia : Tidak Ada

Retensi Urin : Tidak Ada

Anuria : Tidak Ada

b. Defekasi

Inkontinensia : Tidak Ada

Retensi : Tidak Ada

J. FUNGSI LUHUR

8

Page 9: 3. Isi Presus

a. Fungsi Bahasa : Baik

b. Fungsi Orientasi : Baik

c. Fungsi Memori : Baik

d. Fungsi Emosi : Baik

e. Fungsi Kognisi : Baik

I.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 20 Februari 2015 menunjukkan

adanya penurunan Hb, Ht, eritrosit, leukosit, ureum, kalium. Pemeriksaan

laboratorium pada tanggal 22 Februari 2015 menunjukkan turunnya kadar

Hb, Ht, eritrosit darah dan peningkatan leukosit pada urin.

Foto Thorax

Foto rontgen thorax yang diambil pada tanggal 20 Februari 2015

menunjukkan cor dalam batas normal dan adanya infiltrat di lapangan

tengah bawah paru kanan DD/ Penumonia.

EMG (Harvey Masland Test)

Pada pemeriksaan repetitif stimulation pada M.Trapezius bilateral

didapatkan Decrement >10%

Pemeriksaan khusus:

Pemeriksaan ice pack test (+)

Pemeriksaan Wartenberg (+)

Pemeriksaan pita suara (+)

I.5. RESUME

1. Anamnesa

Pasien perempuan usia 47 tahun merupakan pasien neurologi yang

sebelumnya dikonsultasikan dari bagian penyakit dalam RSPAD Gatot

Soebroto. Anamnesa melalui Autoanamnesa. Sejak 2 bulan yang lalu

pasien mengeluhkan lemah pada kedua tungkai. Sejak 1 bulan yang

lalu pasien merasa lelah bila bicara terlalu lama dan kesulitan

membuka mata. Pasien sulit membuka mata ketika bangun tidur dan

dirasa semakin memberat pada sore dan malam hari. Keluhan pasien

9

Page 10: 3. Isi Presus

dirasakan setelah beraktifitas, dan keluhan cenderung berkurang

setelah pasien beristirahat.

2. Pemeriksaan

Status Internus

a. Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang

b. Gizi : BMI 17,7 (underweight)

c. Kesadaran : Compos Mentis

d. Tanda Vital :

Tekanan Darah Kanan: 100/70 Mmhg

Tekanan Darah Kiri : 110/70 Mmhg

Nadi Kanan : 80 X/Menit

Nadi Kiri : 76 X/Menitt

Pernafasan : 20 X/Menit

Suhu : 36oC

Status Psikiatri : Tidak ada kelainan

Status Neurologis : Tidak ada kelainan

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 20 Februari 2015 menunjukkan

adanya penurunan Hb, Ht, eritrosit, leukosit, ureum, kalium. Pemeriksaan

laboratorium pada tanggal 22 Februari 2015 menunjukkan turunnya kadar

Hb, Ht, eritrosit darah dan peningkatan leukosit pada urin.

Foto Thorax

Foto rontgen thorax yang diambil pada tanggal 20 Februari 2015

menunjukkancor dalam batas normal dan adanya infiltrat di lapangan tengah

bawah paru kanan DD/ Penumonia.

10

Page 11: 3. Isi Presus

Rontgen thorax

EMG (Harvey Masland Test)

Pada pemeriksaan repetitif stimulation pada M.Trapezius bilateral

didapatkan Decrement >10%

Pemeriksaan khusus:

Pemeriksaan ice pack test (+)

Pemeriksaan Wartenberg (+)

Pemeriksaan pita suara (+)

11

Page 12: 3. Isi Presus

I.6. DIAGNOSIS

Diagnosa Klinis : Tetraparase, Ptosis bilateral

Diagnosa Topis : Neuromuscular junction

Dignosa Etiologis : Miastenia Gravis Grade IIA

Diagnosa Sekunder : Pneumonia, ISK, Dispepsia

I.7. TERAPI

Non Farmakologis

a. Edukasi pasien dan keluarganya dalam kaitannya dengan meminimalisir

faktor risiko

b. Periode istirahat yang sering selama siang hari untuk menghemat

kekuatan

Farmakologis

a. IVFD Nacl 0,9% 20tpm

b. Mestinon 3x1 60 mg PO

c. Mecobalamin 3x1 500 mg PO

d. Ceftriaxon 1x 2 gr IV

e. Ranitidin 2x1 150 mg PO

f. Ondansentron 3x1 8 mg PO

PEMERIKSAAN ANJURAN

a. Pemeriksaan Laboratorium darah lengkap dan elektrolit

b. Pemeriksaan laboratorium kadar anti-asetilkolin reseptor antibodi

I.8. PROGNOSIS

a. Ad Vitam : Bonam

b. Ad Fungsionam : Dubia ad bonam

c. Ad Sanam : Dubia ad bonam

d. Ad Cosmeticum : Dubia ad bonam

12

Page 13: 3. Isi Presus

BAB II

ANALISA KASUS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan umum,

pemeriksaan neurologis, dan pemeriksaan penunjang.

II.1. ANAMNESA

Pada kasus diatas berdasarkan anamnesis yang telah dilakukan,

penderita mengalami gejala klinis berupa kesulitan membuka mata dan

kelemahan ekstremitas pada kedua sisi. Pada perjalanan penyakitnya, pasien

sudah merasakan keluhan ini sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit.

Keluhan lain yang ada pada pasien yaitu kedua kelopak mata secara tiba-tiba

menutup dan semakin sulit untuk diangkat, disertai perasaan lelah bila

berbicara terlalu lama sejak 1 bulan yang lalu. Keluhan semakin memberat

bila pasien sedang beraktifitas, dan keluhan hilang bila pasien beristirahat.

Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh

suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan

secara terus menerus dan disertai dengan kelelahan saat melakukan aktivitas.

Karakteristik miastenia gravis terutama ditunjukkan dengan adanya

kelemahan yang berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini cenderung

meningkat apabila penderita sedang melakukan aktivitas. Penderita akan

merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan

berkurang apabila penderita beristirahat9. Penyakit ini timbul karena adanya

gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction10.

II.2. PEMERIKSAAN

Status Internus

Dari keadaan umum pasien didapatkan pasien dalam keadaan sakit

sedang. Pasien masih mampu menjawab pertanyaan yang diajukan sehingga

disimpulkan bahwa kesadaran pasien dalam keadaan compos mentis GCS

E4M6V5.

13

Page 14: 3. Isi Presus

Dari pemeriksaan tanda vital didapatkan bahwa hasil pemeriksaan

dalam batas normal. Tidak diketemukan adanya hipertensi pada pasien saat

dilakukannya pemeriksaan.

Pada pemeriksaan kedua kelopak mata pasien dalam keadaan

ptosis atau sulit diangkat. Pada pemeriksaan motorik didapatkan kekuatan

kedua ekstremitas menurun yaitu bernilai 4. Reflek fisiologis dalam batas

normal dan tidak ditemukan adanya reflek patologis pada pasien.

Sensibilitas pada pasien dalam keadaan normal, simetris antara kanan dan

kiri. Fungsi luhur tidak ditemukan adanya kelainan. Fungsi vegetatif tidak

ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan neurologis didapatkan bahwa tidak

ditemukan adanya gejala rangsang meningeal. Tidak terdapat gerakan yang

abnormal. Pemeriksaan koordinasi dan keseimbangan dalam batas normal.

Pemeriksaan Penunjang 8

Hasil pada EMG (+), pemeriksaan dilakukan dengan metode

Harvey Masland Test dimana dilakukan stimulasi repetitive dan didapatkan

gambaran hasil pemeriksaan yang ditandai dengan penurunan (decrement)

amplitude gelombang respon lebih dari 10% yang menandakan bahwa letak

kelainan berada pada post sinaps (gangguan pada reseptor asetilkolin).

Sensitifitas EMG kurang lebih 50-60%.

Pada pemeriksaan ice pack test, pemeriksaan bertujuan untuk

membedakan antara ptosis miastenia gravis dan non miastenia gravis,

didapatkan hasilnya (+) : terdapat celah pada palpebral fissure (kelopak

mata) dalam mm. Cara pemeriksaan dengan menempatkan ice pack pada

kelopak mata selama 2 menit, kemudian ukur kembali celah pada kelopak

mata. Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas enzim

asetilkolinesterase (AChE) dengan dirangsangnya penurunan suhu lokal

dengan menggunakan es akan meningkatkan efek depolarisasi AcH,

sehingga terjadi peningkatan efisiensi transmisi neuromuscular. Sensitivitas

test ini 95%, spesifisitas 100%. Berakibat positif pada pasien dengan ocular

MG dan hasil negatif pada tensilon test atau ketika tensilon

dikontraindikasikan.

14

Page 15: 3. Isi Presus

Pemeriksaan test wartenberg (+), dengan cara pemeriksaan yaitu

pasien memandang objek diatas bidang antara kedua bola mata selama > 30

detik, lama kelamaan akan terjadi ptosis.

Pemeriksaan test pita suara (+), dengan cara penderita disuruh

menghitung 1 – 100, kemudian suara akan menghilang secara bertahap.

Pemeriksaan Anjuran

Pemeriksaan anjuran yang dianjurkan untuk pasien ini ialah pemeriksaan

laboratorium.

1. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah lengkap dan kimia darah dilakukan untuk

mencari faktor risiko. Elektrolit untuk mencari apakah terjadi

kekurangan atau kelebihan dari masing-masing unsur.

2. Pemeriksaan kadar anti-asetilkolin reseptor antibodi

Pemeriksaan ini untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis,

dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien, 80% dari

penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan

miastenia okular murni menunjukkan hasil test anti-asetilkolin

reseptor antibodi yang positif.

II.3. TERAPI

Non-Farmakologis:

a. Edukasi pasien dan keluarganya dalam kaitannya dengan meminimalisir

faktor risiko

b. Periode istirahat yang sering selama siang hari untuk menghemat

kekuatan

Farmakologis

a. IVFD Nacl 0,9% 20tpm

b. Mestinon

15

Page 16: 3. Isi Presus

Sediaan: injeksi 5 mg/ml, tablet 60 mg & 180 mg, syrup 60 mg/5ml

Dosis dewasa: dosis awal 30-60 mg (1/2-1 tab) setiap 4-6 jam dan

ditingkatkan sampai 60-180 mg bila diperlukan. Dosis harian 300-12 mg

(5 tab-20 tab)

Indikasi: MG, ileus paralitik, retensi urin pasca operasi

- Absorpsi: bioavailabilitas pada PO sekitar 14%

- Distribusi: onset aksi sekitar 15-20 menit, konsentrasi puncak sekitar

1,5-2 jam setelah pemberian.

- Metabolisme: dimetabolisme menjadi 3-hidroksi-N-metilpiridin dan

metanolit lainnya yang tidak teridentifikasi

- Eliminasi: waktu paruh sekitar 3 jam setelah pemberian oral, 75&-81%

dieliminasi melalui ginjal

c. Mecobalamin

Sediaan: ampul 500 ug, tablet 500 ug

Dosis: Tablet 500-15 mcg/hari

Indikasi: neuropati perifer

d. Ceftriaxon

Sediaan: vial 1 gr

Dosis dewasa dan anak >12 tahun: 1-2 gram satu kali sehari, dosis dapat

dinaikkan sampai 4 gram satu kali

Indikasi: Infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, infeksi

intraabdominal, dll.

e. Ranitidin

Sediaan: injeksi 25 mg/ml, tablet 150 mg

Dosis: injeksi 50 mg(tanpa pengenceran) tiap 6-8 jam IM, 150 mg 2x1

(pagi dan malam) selama 4-8 minggu

Indikasi: pengobatan jangka pendek tukak usus 12 jari aktif, tukak

lambung aktif, mengurangi gejala refluks esofagitis

f. Ondansentron

Sediaan: tablet salut selaput 4 mg dan 8 mg, ampul 4 mg/2ml dan 8

mg/4ml

16

Page 17: 3. Isi Presus

Dosis dewasa: dosis tunggal 4 mg secara IM/IV lambat kurang dari 30

detik (sebaiknya antara 2-5 menit), tablet 3x1 8 mg PO

Indikasi: mual dan muntah yang disebabkan oleh kemoterapi, radioterapi,

dan pascaoperasi.

II.4. FOLLOW UP

25 – 2 - 2015 26 – 2 - 2015 27 – 2 - 2015

S: Sulit membuka mata,

tungkai merasa lemah

keluhan memberat saat

siang dan sore hari, pasien

tidak dapat berjalan sendiri,

lelah bila bicara terlalu

lama, mual sehingga tidak

nafsu makan, bila batuk

dada terasa sakit

O: E4M6V5 GCS15

TD: 110/70 mmhg

N: 80x/menit

RR:16x/menit

S: 36° C

Mata menutup adanya

ptosis, kekuatan motorik

4/4, tidak ada kelainan

GRM

A: Miastenia Gravis,

dispepsia, pneumonia, isk

P: Mestinon 3x1 30 mg PO

Mecobalamin 3x1 500 mg

PO

Ceftriaxon 1x 2 gr IV

S: masih sulit membuka mata,

tungkai merasa lemah

keluhan memberat saat siang

dan sore hari, pasien masih

belum dapat berjalan sendiri,

lelah bila bicara terlalu lama

O: E4M6V5 GCS15

TD: 90/60 mmhg

N: 80x/menit

RR:19x/menit

S: 36° C

kekuatan motorik 4/4, tidak

ada kelainan GRM

A: Miastenia Gravis,

dispepsia, pneumonia, isk

P: Mestinon 3x1 60 mg PO

Mecobalamin 3x1 500 mg PO

Ceftriaxon 1x 2 gr IV

Ranitidin 2x1 150 mg PO

S: Sudah lebih sering

membuka mata, tungkai

masih lemah, pasien masih

belum dapat berjalan

sendiri, lelah bila bicara

terlalu lama

O: E4M6V5 GCS15

TD: 100/70 mmhg

N: 76x/menit

RR:10x/menit

S: 36° C

Mata sudah dapat sedikit

membuka, kekuatan

motorik 4/4, tidak ada

kelainan GRM

A: Miastenia Gravis,

dispepsia, pneumonia, isk

P: Mestinon 3x1 60 mg

PO

Mecobalamin 3x1 500 mg

PO

Ceftriaxon 1x 2 gr IV

Ranitidin 2x1 150 mg PO

Ondansentron 3x1 8 mg PO

17

Page 18: 3. Isi Presus

Prognosis

Untuk prognosis ad vitam adalah bonam karena pemeriksaan

tanda vital, keadaan umum dan kesadaran pasien dalam keadaan

stabil dan baik tekanan darah masih terkontrol.

Prognosis ad fungsionam dubia ad bonam karena pada pasien ini

tidak ditemukan adanya penurunan secara fungsional.

Untuk ad sanam dubia ad bonam karena jika benar pada pasien

ini terdiagnosa sebagai miastenia gravis sekalipun, keluhannya

dapat dikontrol dengan pengobatan yang teratur.

Prognosis ad cosmeticum dubia ad bonam karena apabila ptosis

sudah terobati mata dapat terbuka kembali.

18

Page 19: 3. Isi Presus

BAB III

LANDASAN TEORI

III.1. PENDAHULUAN

Miastenia Gravis (MG) adalah suatu gangguan neuromuskular yang

ditandai dengan kelemahan dan kelelahan dari otot skelet. Kelainan ini disebabkan

oleh berkurangnya jumlah reseptor asetilkolin pada sambungan neuromuskular

akibat adanya antibodi autoimun.1

Foto mata ptosis

Prevalensi MG bervariasi diseluruh dunia, sekitar 50/1.000.000 populasi di

Hongkong sedangkan di USA mencapai 200/1.000.000.2 Pada tahun 2000, di

USA, diperkirakan jumlah penderita MG sekitar 280 juta.3 Di Indonesia,

dilaporkan oleh Yayasan Miastenia Gravis Indonesia, bahwa penderita MG pada

tahun 2010 sejumlah 226 pasien diseluruh Indonesia.4 Angka mortilitas MG ini

sangat rendah yaitu sekitar 1/1.000.000.2

III.2. KLASIFIKASI

1. MG onset cepat: onset <40 tahun, hiperplasia timus, biasanya wanita.

2. MG onset lambat: onset >40 tahun, atrofi timus, biasanya pria.

3. Thymoma-associated MG (10%–15%).

4. MG dengan antibodi terhadap muscle-specific tyrosine kinase (MuSK).

5. MG okular (oMG): gejala hanya mengenai otot ekstraokuler.

6. MG seronegatif (tanpa antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AchR) dan MuSK).

19

Page 20: 3. Isi Presus

Selain klasifikasi diatas ada pula yang membagi MG berdasarkan MG tipe umum

(seluruh tubuh) dan MG okular.1

Disamping klasifikasi tersebut di atas, dikenal pula adanya beberpa bentuk varian

miastenia gravis11, ialah:

1. Kelompok I: Miastenia okular

Hanya menyeran otot-otot ocular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat ringan,

tidak ada kasus kematian.

2. Kelompok II A: Miastenia umum ringan

Awitan lambat, biasanya pada mata, lambat laun menyebar ke otot-otot rangka

dan bulbar. Sistem pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat baik.

Angka kematian rendah.

3. Kelompok II B: Miastenia umum sedang

Awitan bertahap dan sering disertai gejala-gejala ocular, lalu berlanjut semakin

berat dengan terserangnya seluruh otot rangka dan bulbar. Disartria, disfagia, dan

sukar mengunyah lebih nyata dibandingkan dengan miastenia gravis umum

ringan. Otot-otot pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat kurang

memuaskan dan aktifitas pasien terbatas, tetapi angka kematian rendah.

4. Kelompok III: Miastenia berat akut

Awitan yang cepat dengan kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang berat

disertai mulai terserangnya otot pernapasan. Biasanya penyakit berkembang

maksimal dalam waktu 6 bulan. Insiden krisis miastenik, kolinergik, maupun

krisis gabungan keduanya tinggi. Tingkat kematian tinggi.

5. Kelompok IV: Miastenia berat lanjut

Miastenia berat lanjut timbul paling sedikit 2 tahun sesudah awitan gejala-gejala

kelompok I atau II. Miastenua gravis berkembang secara perlahan-lahan atau

secara tiba-tiba. Respon terhadap obat dan prognosis buruk.

III.3. PATOFISIOLOGI

Asetilkolin (ACh) disintesis pada ujung saraf motorik dan disimpan di vesikel.

Ketika potensial aksi menyebar hingga mencapai nervus terminal, asetilkolin dari 150-

200 vesikel dilepaskan dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChR). Struktur

asetilkolin terdiri atas 5 subunit (2α,1β,1δ, dan 1 γ/ε). Ketika asetilkolin berikatan dengan

subunit α, maka kanal reseptor akan terbuka dan menyebabkan masuknya kation terutama 20

Page 21: 3. Isi Presus

Na+, yang menyebabkan depolarisasi pada daerah end-plate serat otot. Jika depolarisasi

yang terjadi cukup kuat, maka akan menginisiasi potensial aksi disepanjang serat otot dan

terjadi kontraksi otot. Proses ini diterminasi dengan cepat melalui hidrolisis oleh enzim

asetilkolinesterase dan melalui difusi asetilkolin menjauhi reseptor.1

Gambar 1. Neuromuscular junction pada keadaan normal (A) dan

miastenik (B).1

Pada miastenia gravis, terjadi defek pada jumlah reseptor asetilkolin yang

tersedia pada membran otot postsinap. Selain itu juga lipatan postsinap mengalami

pendataran (gambar 1). Perubahan ini menyebabkan menurunnya transmisi

neuromuskular. Meskipun asetilkolin yang dilepaskan normal, namun tidak mampu

mencetuskan potensial aksi pada otot. Gagalnya transmisi pada sambungan

neuromuskular menyebabkan kelemahan pada kontraksi otot.1

Jumlah asetilkolin yang dilepaskan disetiap impuls secara normal menurun pada

aktivitas yang berulang (presynaptic rundown). Pada pasien miastenia, terjadi penurunan

efisiensi transmisi meuromuskular dikombinasi dengan presynaptic rundown

menyebabkan aktivasi serat otot yang terus berkurang akibat impuls yang terus menerus

dan mengakibatkan kelemahan yang bertambah atau myasthenic fatigue. Mekanisme ini

dapat diukur melalui pemeriksaan elektrodignostik yang menunjukkan penurunan respon

pada stimulasi saraf yang berulang.1

Respon autoimun yang mendasari terjadinya miastenia gravis adalah adanya

antibodi terhadap protein pada sambungan neuromuskular (gambar 2), diantaranya yaitu

antibodi terhadap reseptor asetilkolin, muscle-specific kinase (MuSK), dan low density

lipoprotein receptor related protein 4 (Lrp4). 3

21

Page 22: 3. Isi Presus

Gambar 2. Elemen pada sambungan neuromuskular, dan struktur membran yang terkait.4

a. Antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AChR-MG)

Abnormalitas neuromuskular pada MG yang terjadi akibat respon autoimun oleh

antibodi yang spesifik terhadap reseptor asetilkolin ditemukan pada 85% pasien. Antibodi

antiAChR mengurangi jumlah reseptor ACh pada sambungan neuromuskular melalui tiga

mekanisme:1

1. Mempercepat turnover dari AChR melalui mekanisme cross-linking dan

endositosis reseptor asetilkolin dengan cepat.

2. Memblok active site AChR, tempat asetilkolin berikatan secara normal.

3. Merusak membran otot postsinaps akibat antibodi dan komplemen.

AChR-MG dapat dikategorikan berdasarkan gejala klinis dan patogenesisnya

menjadi onset cepat atau onset lambat MG dan MG dengan timoma. AchR-MG biasanya

berhubungan dengan abnormalitas timus, seperti hyperplasia dan timoma.3

AChR-MG onset cepat terjadi pada usia kurang dari 40 tahun. Gejala paling

sering diawali dengan kelemahan otot ocular dan kemudian berlanjut menjadi kelemahan

otot seluruh tubuh. Pasien juga biasanya memiliki hyperplasia timus. Presentase

terbanyak untuk MG tipe ini adalah dari jenis kelamin perempuan yang berhubungan

dengan ditemukannya HLA-B8DR3. Pada AChR-MG onset lambat terjadi pada usia

diatas 60 tahun, dan pasien biasanya memiliki kelenjar timus yang normal. Biasanya pada

22

Page 23: 3. Isi Presus

jenis kelamin laki-laki dan berhubungan dengam HLA DRB1*15:01. Sekitar 10% pasien

MG timoma, dengan onset timbulnya penyakit yang bervariasi namun lebih sering pada

usia lanjut.3

b. Antibodi terhadap muscle-specific kinase (MuSK)

Antibodi terhadap MuSK ditemukan pada tahun 2001 pada 70% serum pasien

yang awalnya dianggap “seronegatif” MG. Antibodi patogenik tersebut adalah IgG dan

bersifat T cell dependent. Dengan demikian, strategi imunoterapi terhadap sel T akan

efektif pada penyakit yang diperantarai oleh antibodi ini.1,5

Sekarang diketahui bahwa terdapat perbedaan antara MusK-MG dengan AChR-

MG pada beberapa aspek penting yaitu:

1. Pada gejala klinisnya, terdapat perbedaan distribusi kelemahan otot yang

dibiasanya dominan pada leher dan otot pernafasan, sering disertai dengan krisis

pernafasan, dan sering ditemukan atrofi lidah. Insiden puncaknya pada usia

dekade keempat, dibandingkan pada AChR-MG didekade ketiga. Selain itu,

MuSK-MG sangat jarang terjadi pada usia diatas 60 tahun. Pasien MuSK-MG

juga lebih jarang mengalami kelemahan okular murni pada saat onset, namun

lebih sering mengenai okulobulbar. 6

2. Penggunaan obat antikolinesterase tidak selalu bermanfaat pada pasien MuSK-

MG. Hanya 57% pasien yang menunjukkan efek yang diharapkan. Malahan disisi

lain, efek samping antikolinesterase sering dilaporkan, termasuk fasikulasi yang

nyata, kram otot dan perburukan gejala. Mayoritas pasien ini tidak merasakan

manfaat jangka panjang dari obat ini, sebaiknya dihentikan penggunaannya pada

pasien ini. Disamping itu, hal yang menarik terlihat pada pemberian rituximab,

suatu antibodi monoklonal yang mendeplesi sel B, yaitu terjadi perbaikan jangka

panjang dan lebih efektif untuk pasien MuSK-MG daripada pasien AChR-MG.6,7

c. Antibodi terhadap low-density lipoprotein receptor related protein 4 (Lrp4)

Berbeda dengan antibodi AChR dan MuSK, antibodi terhadap Lrp4 dapat

ditemukan pada lebih dari satu bentuk miastenia, termasuk MuSK-MG, neuromielitis

optika dan Lambert Eaton myasthenic syndrome, dan pada ‘seronegatif ’ MG tanpa

antibodi AChR dan MuSK.3

23

Page 24: 3. Isi Presus

Peran timus pada miastenia gravis

Kelenjar timus nampaknya memiliki peran yang cukup penting dalam proses penyakit ini.

Sebanyak 75% pasien MG memiliki timus yang abnormal, 65% memiliki timus yang

hiperplastik, dan 10% pasien memiliki tumor timus.1

III.4. GAMBARAN KLINIK

Gejala umum MG adalah kelemahan dan kelelahan otot. Kelemahan meningkat

selama penggunaan otot berulang dan dapat membaik ketika beristirahat atau tidur.

Perjalanan penyakit MG sering bervariasi. Pada satu tahun pertama sejak onset penyakit,

dapat terjadi beberapa kali eksarsebasi dan remisi. Jarang terjadi remisi yang komplit atau

permanen. Infeksi, penyakit sistemik lain, panas dan stres, dapat memicu peningkatan

kelemahan miastenia dan memicu krisis miastenik.1,5

Distribusi kelemahan otot memilki pola yang khas, biasanya otot okular, bulbar,

ekstrimitas proksimal, leher, dan pada sedikit pasien juga terkena otot pernafasannya.

Otot didaerah kranial, khususnya kelopak mata dan otot ekstraokular sering terlibat pada

awal onset MG, dan keluhan awalnya adalah diplopia dan ptosis. Kesulitan menelan

muncul akibat kelemahan palatum, lidah atau faring, yang menyebabkan terjadinya

regurgitasi atau aspirasi cairan dan makanan ke saluran nafas.1,5

Kelemahan bulbar menonjol pada MuSK-MG. Pada 85% pasien, kelemahan

berlanjut menjadi kelemahan umum akibat terkenanya otot ekstrimitas. Jika kelemahan

otot terbatas pada otot ekstraokuler selama 3 tahun, maka kelemahannya tidak akan

berlanjut menjadi kelemahan umum, dan pasien ini dikatakan hanya menderita MG

okular. Dan jika terjadi kelemahan pada otot respirasi, maka dapat berkembang semakin

berat dan pasien jatuh pada kondisi krisis miastenik yang membutuhkan alat bantu

pernafasan.1

Penegakan diagnosis

Anamnesis1

Riwayat diplopia, ptosis, kelemahan

Distribusi kelemahan yang khas

Fluktuasi kelemahan: memburuk saat aktivitas berulang dan membaik saat

istirahat.

Efek dari pengobatan sebelumnya.

Pemeriksaan fisik10

24

Page 25: 3. Isi Presus

Ptosis, diplopia

Pemeriksaan kekuatan otot

Waktu abduksi lengan (5 menit)

Kapasitas vital pernafasan

Tidak terdapat kelainan neurologi lain.

Pemeriksaan laboratorium 1,9

Radioimmunoesai Anti-AChR: positif pada +85% pasien MG umum; 50% pada

pasien MG okular; hasil positif memastikan diagnosis, namum hasil negatif tidak

menyingkirkan MG, karena sekitar 40% pasien dengan antibodi AChR negatif

memiliki antibodi antiMuSK.1

Single-fiber electromyography (SFEMG) merupakan alat diagnostik yang sensitif

untuk MG. Dengan menggunakan jarum elektroda khusus yang dapat

mengidentifikasi mutensial aksi dari suatu serat otot. Namun pemeriksaan ini

tidak spesifik untuk MG, karena hasil yang positif juga bisa terjadi pada

polimiositis, neuropati perifer, Lambert-Eaton myasthenic syndrome (LEMS),

dan penyakit meuromuskular lainnya.5,6

Stimulasi saraf berulang: jika terdapat penurunan >15% pada 3 Hz: highly

probable.1

Edrofonium klorida (Tensilon test) 2 mg + 8 mg IV: highly probable jika hasil

positif. Edrofonium klorida merupakan inhibitor asetilkolinesterasi kerja singkat

yang dapat memperpanjang masa kerja asetilkolin pada NMJ. Edrofonium

diberikan secara IV pada pasien, lalu dilihat perbaikan kekuatan ototnya, seperti

berkurangnya ptosis. Tekanan darah dan jantung pasien harus dimonitor karena

dapat menyebabkan hipotensi dan aritmia. Atropin harus disiaapkan untuk

mengatasi efek samping obat ini. Tes ini memiliki sensitivitas 71,5 - 95% untuk

diagnosis MG.1,5

Pada MG okular atau kranial: singkirkan lesi intrakranial dengan CT scan / MRI.1

III.5. DIAGNOSIS

1. Pemeriksaan laboratorium

Anti-asetilkolin reseptor antibodi

Osserman Class Mean antibody Percent positive

25

Page 26: 3. Isi Presus

Titer

R 0,79 24

I 2,17 55

II A 49,8 80

II B 57,9 100

III 78,5 100

IV 205,3 89

Klasifikasi : R = remission, I = ocular only, II A = mid generalized, II B =

moderate generalized, III = acute severe, IV = chronic severe

Pada tabel ini menunjukkan bahwa titer antibodi lebih tinggi pada

penderita miastenia gravis dalam kondisi yang parah, walaupun titer

tersebut tidak dapat digunakan untuk memprediksikan derajat penyakit

miastenia gravis.

Antistriated muscle (anti-SM) antibody

Merupakan salah satu test yang penting pada penderita miastenia gravis.

Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita

thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma

dengan usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil

positif.

Anti muscle-specific kinase (MuSK) antibodies

Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti

AchR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif) , menunjukkan hasil yang

positif untuk anti-MuSK Ab.

2. Imaging

Foto rontgen thorax

MRI pada otak dan orbita

3. Pendekatan elektrodiagnostik

Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi

neuromuscular melalui 2 teknik:

Repetitive Nerve Stimulation (RNS)

Pada penderita MG terdapat penuruna jumlah reseptor asetilkolin,

sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.

26

Page 27: 3. Isi Presus

Single Fiber Electromyography (SFEMG)

Menggunakan jarum single fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk

merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu filter

(variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot

tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah

potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum

perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada

neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density yang

normal.

III.6. DIAGNOSIS BANDING

1. Sindroma Eaton Lambert

Sering terjadi bersamaan dengan small cell ca dari paru, lesi terjadi di membran

presinaptik dimana release Ach tidak berlangsung baik, EMG defek pada

transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi (2Hz) tetapi akan terjadi hambatan

stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40Hz)

2. Botulism

Penyebab : neurotoksin dari Clostridium botulinum, yang dapat masuk melalui

makanan yang terkontaminasi dengan cara menghambat atau menghalangi

pelepasan Ach dari ujung terminal akson presinaptik.

III.7. KOMPLIKASI

1. Gagal nafas

2. Disfagia

3. Krisis miastenik

4. Krisis cholinergik

27

Page 28: 3. Isi Presus

5. Komplikasi sekunder dari terapi obat penggunaan steroid yang lama:

osteoporosis, katarak, gastritis, pneumocytis cranii

III.8. PENATALAKSANAAN

1. Non-Farmakologis:

a. Edukasi pasien dan keluarganya dalam kaitannya dengan meminimalisir

faktor risiko

b. Periode istirahat yang sering selama siang hari untuk menghemat

kekuatan

2. Farmakologis :

Pemilihan obat didasarkan pada pertimbangan risiko dan manfaatnya pada

individual pasien dan tujuan pengobatan. Sebaiknya direncanakan

pengobatan berdasarkan tujuan jangka pendek, menengah atau jangka

panjang.1 Prinsip penatalaksanaan MG:5

Terapi simtomatis dengan antikolinesterase.

Terapi imunomodulator jangka pendek: plasmaferesis dan IVIg.

Terapi imunomodulator jangka menengah-panjang: glukokortikoid dan

obat imunosupresan lain.

1. Antikolinesterase

Pilihan terapi simptomatik lini pertama pada MG adalah inhibitor

asetilkolinesterase. Piridostigmin merupakan antikolinesterase yang paling

banyak digunakan. Pemberian antikholinesterase memberikan perbaikan

yang parsial pada sebagian besar pasien MG, dan sedikit pasien yang

mengalami perbaikan yang komplit. Sebagian besar pasien tidak

memberikan respon yang adekuat, sehingga harus dikombinasi dengan

imunosupresan. Pada pasien MuSK-MG, 71% tidak berespon,

dibandingkan dengan pasien AChR-MG dan seronegatif yang hanya 18%

yang tidak berespon dengan pemberian antikolinesterase. 5,3

Piridostigmin (Mestinon®)

28

Page 29: 3. Isi Presus

Piridostigmin merupakan antikolinesterase yang paling banyak

digunakan pada miastenia gravis. Absorpsi piridostigmin peroral buruk,

sehingga butuh dosis yang jauh lebih besar daripada pemberian

parenteral. Kerja piridostigmin oral terjadi mulai 15-30 menit hingga 3-

4 jam. Obat ini dirusak oleh esterase diplasma, waktu paruhnya 1-2 jam

dan eksresinya diginjal. Terapi dimulai dengan dosis sedang 30-60 mg,

3-4 x sehari. Dosis maksimal 120 mg tiap 3-6 jam pada siang hari.

Overdosis antikolinesterase dapat menyebabkan peningkatan

kelemahan dan efek samping lain. Pada beberapa pasien, timbulnya

efek samping muskarinik yaitu diare, kram perut, salivasi dan mual,

merupakan batas dosis yang dapat ditoleransi pasien. Pemberian

atropin/difenoksilat atau loperamid bermanfaat untuk terapi gejala

gastrointestinal. 5,27

2. Plasmaferesis. Tindakan ini dapat memperbaiki kondisi pasien MG dengan

cepat melalui pengeluaran antibodi antiACH dari sirkulasi secara masif.14

Biasanya pertukaran plasma dilakukan setiap hari sebanyak 4-6 kali. Efek

samping plasmaferesis diantaranya adalah hipotensi, parestesia, infeksi,

trombosis abikat akses vena, dan risiko perdarahan akibat berkurangnya

faktor koagulasi.5

3. Intravenous Immunoglobulin Therapy (IVIg). Terapi ini melibatkan

immunoglobulin yang telah diisolasi dari plasma manusia dan diberikan

selama 5 hari dengan dosis 0,4g/kgBB/hari. Mekanisme kerja IVIg ini

cukup kompleks. Diantaranya yaitu terjadinya hambatan terhadap deposisi

komplemen, hambatan kompetisi sitokin dengan autoantibodi, berikatan

dengan reseptor Fc pada makrofag, berikatan pada reseptor Ig pada sel B,

dan mengganggu pengenalan antigen oleh sel T. Saat ini telah

dikembangkan teknik yang lebih spesifik untuk mengatasi antibodi

antiAChR melalui imunoadsorpsi.5

IVIg termasuk tindakan yang cukup aman, karena komplikasi yang serius

sangat jarang terjadi kecuali pada pasien dengan penyakit jantung,atau

gagal ginjal.5

29

Page 30: 3. Isi Presus

Suatu uji klinik pada 40 pasien MG late-onset untuk melihat efektifitas

dan penurunan titer titin antibodies (Titin-ab), acetylcholine receptor

antibodies (AChR-ab), presynaptic membrane antibody (Prsm-ab),

menunjukkan plasmaferesis dan imunoadsorpsi menunjukkan efektivitas

klinis yang lebih baik pada daripada IVIg (P < 0.05), dan secara cepat

membersihkan antibodi patogenik pada pasien MG late-onset, khususnya

pada Titin-ab.6

4. Immunosupresan

Penggunaan imunosupresan misalnya glukokortikoid, atau azatioprin,

efektif pada hampir semua pasien MG. Pada terapi jangka menengah,

glukokortikoid dan siklosporin / takrolimus secara umum dapat

memberikan perbaikan klinis dalam 1-3 bulan. Sedangkan untuk manfaat

jangka panjang dapat dicapai dengan pemberian azatioprin dan

mikofenolat. Tujuan terapi jangka panjang adalah menginduksi remisi

gejala MG dan menjaganya.1,5

Kortikosteroid. Kortikosteroid merupakan imunosupresan yang

paling sering digunakan pada MG. Prednison biasanya digunakan

ketika gejala MG tidak dapat diatasi dengan antikolinesterase,

sehingga pemberiannya dikombinasi. Respon baik dapat dicapai

setelah dosis awal dan di-tapering hingga mencapai dosis terendah

untuk maintainance.5

Obat imunosupresan nonsteroid.

o Azatioprin merupakan analog purin yang dapat menurunkan

sintesis asam nukleat sehingga mengganggu proliferasi sel T

dan sel B. obat ini telah digunakan sejak tahun 1970 dan

efektivitasnya pada terapi MG sekitar 70-90%. Efektivitasnya

terlihat setelah 15 bulan penggunaan, dan jika dikombinasi

dengan prednison lebih efektif. Azatioprin peroral absorpsinya

baik, dan mencapai kadar puncak dalam 1-2 jam. Waktu

paruhnya sekitar 10 menit, namun metabolitnys 6-

merkaptopurin memiliki t ½ 1 jam. Efek sampingnya adalah

hepatotoksisitas dan leukopenia.5,7

30

Page 31: 3. Isi Presus

o Mikofenolat mofetil merupakan suatu prodrug yang secara

cepat dihidrolisis menjadi bentuk aktifnya, yaitu mycophenolic

acid (MPA), yang dapat menghambat proliferasi sel T dengan

menghambat sintesis purin. Suatu uji klinik menunjukkan 59%

dari 32 pasien yang sebelumnya tidak responsif dengan

azatioprin, kortikosteroid dan siklosporin atau timektomi

menunjukkan perbaikan setelah terapi dengan obat ini selama

11 bulan. 5,7, 8

o Siklofosfamid diberikan secara intravena atau oral cukup

efektif untuk MG. Lebih dari setengah pasien MG menjadi

asimtomatis dalam 1 tahun terapi. Namun efek samping yang

tidak diinginkan adalah rambut rontok, mual, muntah, dan

perubahan warna kulit, sehingga penggunaan dibatasi pada

pasien yang tidak berespon terhadap imunosupresan lain.5

o Metotreksat

Metotreksat merupakan inhibitor selektif enzim

dihidrofolat reduktase dan proliferasi limfosit yang efektif

sebagai pengobatan pada penyakit autoimun. Suatu uji klinik

yang membandingkan penggunaan azatioprin (AZA)

dibanding metotreksat (MTX) untuk melihat steroid-sparring

effect pada 31 pasien MG. Pemberian MTX 17,5 mg tiap

minggu, dibandingkan dengan AZA 2,5 mg/kgBB/hari

terhadap rata-rata dosis harian prednison, dan skor kuantitatif

MG yang diukur pada bulan ke-10 dan ke-12, didapatkan hasil

bahwa MTX dan AZA sama efektifnya sebagai steroid-

sparring, bahkan pasien yang mendapatkan MTX

membutuhkan prednison dengan dosis yang lebih rendah

dibandingkan AZA (0,15 mg/kgBB vs 0,31mg/kgBB) pada 10

bulan (p = 0.047) dan 12 bulan (p = 0.039).3,6

Obat-obatan yang dapat menyebabkan eksasebasi miastenia gravis7

31

Page 32: 3. Isi Presus

Dalam pemberian obat-obatan pada pasien miastenia gravis harus berhati-

hati. Hindari pemberian obat yang dapat mencetuskan eksarsebasi gejala

miastenia pada tabel.

Tabel obat-obatan yang dapat menyebabkan eksaserbasi MG7

Nama obat Keterangan

D-penisilamin Dapat menginduksi mistenia gravis

Toksin botulinum Hambatan penglepasan asetilkolin

Magnesium Hambatan penglepasan asetilkolin

Aminoglikosida (gentamisin,

kanamisin, neomisin,

streptomisin, tobramisin)

Mengganggu transmisi neuromuskular

Makrolida Mempengaruhi neuron presinaps

Fluorokuinolon Mengganggu transmisi neuromuskular

Kuinin, kuinidin, prokainamid Hambatan pembentukan dan penglepasan

asetilkolin

Glukokortikoid dosis besar Mempengaruhi transmisi neuromuskular

melalui penurunan penglepasan asetilkolin,

hambatan transpor kolin, hambatan MEPP.

Litium Terakumulasi pada nervus terminal presinaps

dan berkompetisi dengan kation (kalsium).

Amitriptilin, haloperidol,

imipramin, amfetamin

Mengganggu transmisi neuromuskular

III.9. PROGNOSIS

- Tanpa pengobata angka kematian MG 25 – 31%

- MG yang mendapat pengobatan, angka kematian 4%32

Page 33: 3. Isi Presus

- 40% hanya gejala okuler

DAFTAR PUSTAKA

1. Drachman DB. Myasthenia Gravis. In Hauser SL, ed. Harrison’s Neurology in Clinical Medicine. 2nd edition.New York: McGraw-Hill;2010:p.559-66.

2. Pekmezović T, Lavrnić D, Jarebinski M, Apostolski S. Epidemiology of myasthenia gravis. Srp Arh Celok Lek. 2006 Sep-Oct;134(9-10):453-6

3. Verschuuren JJ, et al. Pathophysiology of myasthenia gravis with antibodies to the acetylcholine receptor, muscle-specific kinase and low-density lipoprotein receptor-related protein 4. Autoimmun Rev. 2013 Jul;12(9):918-23.

4. Lewis RA. Myasthenia gravis: new therapeutic approaches based on pathophysiology. J Neurol Sci. 2013 Oct 15;333(1-2):93-8.

5. Hoch W, McConville J, Helms S, Newsom-Davis J, Melms A, Vincent A. Auto-antibodies to the receptor tyrosine kinase MuSK in patients with myasthenia gravis without acetylcholine receptor antibodies. Nat Med. 2001 Mar;7(3):365-8.

6. Guptill JT, Sanders DB, Evoli A. Anti-MuSK antibody myasthenia gravis: clinical findings and response to treatment in two large cohorts. Muscle Nerve 2011;44:36 –40 .

7. Diaz-Mane ra J, Martinez-Hernand ez E, Querol L, Klooster R, Rojas-Garcia R, Suarez-Ca lvet X, et al. Long-lasting treatment effect of rituximab in MuSK myasthenia. Neurology 2012;78:189–93

8. Pengenalan dan Penatalaksanaan Kasus-Kasus Neurologi. Buku ke-2. Departemen Saraf RSPAD Gatot Soebroto. Jakarta. 2009

9. Harsono. Kapita Selekta Neurologi. Edisi ke-2. Gadjah Mada University press. Yogyakarta. 2003.

10. Lumbantobing, S.M. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. FK UI. Jakarta.2008.

11. Lombardo,M.C., 1995, Penyakit degeneratif dan Gangguan Lain Pada Sistem Saraf, dalam S.A. Price, L.M. Wilson, (eds), Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit 4th ed., EGC, Jakarta

33