presus saraf 3
DESCRIPTION
mataTRANSCRIPT
BAB III
LANDASAN TEORI
MYASTHENIA GRAVIS
III.1 DEFINISI
Istilah myasthenia gravis berarti kelemahan otot yang parah. Myasthenia gravis
merupakan satu-satunya penyakit neuromuskular yang merupakan gabungan antara cepatnya
terjadi kelemahan otot-otot voluntar dan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10 hingga
20 kali lebih lama dari normal). Myasthenia gravis adalah gangguan autoimun yang
menyebabkan otot skelet menjadi lemah dan lekas lelah.1 Myasthenia gravis adalah suatu
penyakit yang bermanifestasi sebagai kelemahan dan kelelahan otot-otot rangka akibat defisiensi
reseptor asetilkolin pada taut neuromuskular.3
III.2 EPIDEMIOLOGI
Myasthenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui.Angka kejadiannya 20 dalam
100.000 populasi.Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada umurdiatas 50 tahun.Wanita
lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria dan dapat terjadi pada berbagai usia. Pada
wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun, sedangkan pada
pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 60 tahun.
III.3 PATOFISIOLOGI 3,4,5
Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular, maka
membran akson terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin akan dilepaskan
dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung dengan reseptor
asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas
terhadap natrium dan kalium secara tiba-tiba menyebabkan depolarisasi lempeng akhir dikenal
sebagai potensial lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial
aksi dalam membran otot yang tidak berhubungan dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang
sarkolema. Potensial aksi ini memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut
otot. Sesudah transmisi melewati hubungan neuromuscular terjadi, astilkolin akan dihancurkan
oleh enzim asetilkolinesterase.
1
Pada myasthenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas dalam
penyakit myasthenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada membran presinaps.
Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi. Karena kerusakan itu maka jarak antara
membran presinaps dan postsinaps menjadi besar sehingga lebih banyak asetilkolin dalam
perjalanannya ke arah motor endplate dapat dipecahkan oleh kolinesterase. Selain itu jumlah
asetilkolin yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan membran postsinaps motor end plate
menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut maka kontraksi otot tidak dapat berlangsung
lama.
2
Kelainan kelenjar timus terjadi pada myasthenia gravis. Meskipun secara radiologis
kelainan belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara histologik kelenjar timus pada
kebanyakan pasien menunjukkan adanya kelainan. Wanita muda cenderung menderita
hiperplasia timus, sedangkan pria yang lebih tua dengan neoplasma timus. Elektromiografi
menunjukkan penurunan amplitudo potensial unit motorik apabila otot dipergunakan terus-
menerus3.
Pembuktian etiologi oto-imunologiknya diberikan oleh kenyataan bahwa kelenjar timus
mempunyai hubungan erat. Pada 80% penderita myasthenia didapati kelenjar timus yang
abnormal. Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan struktur timoma dan pada penderita-
penderita lainnya terdapat infiltrat limfositer pada pusat germinativa kelenjar timus tanpa
perubahan di jaringan limfoster lainnya.5
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, myasthenia gravis diduga merupakan
gangguan otoimun yang merusak fungsi reseptor asetilkolin dan mengurangi efisiensi hubungan
neuromuskular. Keadaan ini sering bermanifestasi sebagai penyakit yang berkembang progresif
lambat. Tetapi penyakit ini dapat tetap terlokalisir pada sekelompok otot tertentu saja.
III.4 GEJALA KLINIS
Gambaran klinis myasthenia gravis sangat jelas yaitu dari kelemahan local yang ringan
sampai pada kelemahan tubuh menyeluruh yang fatal. Kira-kira 33% hanya terdapat gejala
kelainan okular disertai kelemahan otot-otot lainnya. Kelemahan ekstremitas tanpa disertai gejala
kelainan okular jarang ditemukan dan terdapat kira-kira 20% penderita didapati kesulitan
mengunyah dan menelan.
Pada 90% penderita, gejala awal berupa gangguan otot-otot okular yang menimbulkan
ptosis dan diplopia. Mula timbul dengan ptosis unilateral atau bilateral. Setelah beberapa minggu
sampai bulan, ptosis dapat dilengkapi dengan diplopia (paralysis ocular). Kelumpuhan-
kelumpuhan bulbar itu timbul setiap hari menjelang sore atau malam. Pada pagi hari orang sakit
tidak diganggu oleh kelumpuhan apapun. Tetapi lama kelamaan kelumpuhan bulbar dapat
bangkit juga pada pagi hari sehingga boleh dikatakan sepanjang hari orang sakit tidak terbebas
dari kesulitan penglihatan. Pada pemeriksaan dapat ditemukan ptosis unilateral atau bilateral,
salah satu otot okular paretik, paresis N III interna (reaksi pupil).Diagnosis dapat ditegakkan
dengan memperhatikan otot-otot levator palpebra kelopak mata. Walaupun otot levator palpebra
3
jelas lumpuh pada myasthenia gravis, namun adakalanya masih bisa bergerak normal. Tetapi
pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis myasthenia
gravis. Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata saja, maka perjalanan penyakitnya
sangat ringan dan tidak akan menyebabkan kematian.
Myasthenia gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring. Pada pemeriksaan
dapat ditemukan paresis N VII bilateral atau unilateral yang bersifat LMN, kelemahan otot
pengunyah, paresis palatum mol/arkus faringeus/uvula/otot-otot farings dan lidah. Keadaan ini
dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan, menimbulkan
suara yang abnormal, atau suara nasal, dan pasien tidak mampu menutup mulut yang dinamakan
sebagai tanda rahang yang menggantung.
Kelemahan otot non-bulbar umumnya dijumpai pada tahap yang lanjut sekali. Yang
pertama terkena adalah otot-otot leher, sehingga kepala harus ditegakkan dengan tangan.
Kemudian otot-otot anggota gerak berikut otot-otot interkostal. Atrofi otot ringan dapat
ditemukan pada permulaan, tetapi selanjutnya tidak lebih memburuk lagi8.
Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah, dan akhirnya
dapat berupa serangan dispnea dan pasien tidak mampu lagi membersihkan lendir.
Biasanya gejala-gejala myasthenia gravis dapat diredakan dengan beristirahat dan dengan
memberikan obat antikolinesterase. Gejala-gejala dapat menjadi lebih atau mengalami
eksaserbasi oleh sebab:
1. Perubahan keseimbangan hormonal, misalnya selama kehamilan, fluktuasi selama
siklus haid atau gangguan fungsi tiroid.
2. Adanya penyakit penyerta terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas dan infeksi
yang disertai diare dan demam.
3. Gangguan emosi, kebanyakan pasien mengalami kelemahan otot apabila mereka
berada dalam keadaan tegang.
4. Alkohol, terutama bila dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin, suatu obat
yang mempermudah terjadinya kelemahan otot, dan obat-obat lainnya3.
4
III.5 KLASIFIKASI
Klasifikasi klinis myasthenia gravis dapat dibagi menjadi3:
1. Kelompok I: Myasthenia okular
Hanya menyerang otot-otot ocular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat ringan, tidak ada
kasus kematian.
2. Kelompok IIA: Myasthenia umum ringan
Awitan lambat, biasanya pada mata, lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan
bulbar. Sistem pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat baik. Angka
kematian rendah.
3. Kelompok IIB: Myasthenia umum sedang
Awitan bertahap dan sering disertai gejala-gejala ocular, lalu berlanjut semakin berat
dengan terserangnya seluruh otot-otot rangka dan bulbar. Disartria, disfagia, dan sukar
mengunyah lebih nyata dibandingkan dengan myasthenia gravis umum ringan. Otot-otot
pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktifitas
pasien terbatas, tetapi angka kematian rendah.
4. Kelompok III: Myasthenia berat akut
Awitan yang cepat dengan kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai
mulai terserangnya otot-otot pernapasan. Biasanya penyakit berkembang maksimal
dalam waktu 6 bulan. Respons terhadap obat buruk. Insiden krisis miastenik, kolinergik,
maupun krisis gabungan keduanya tinggi. Tingkat kematian tinggi.
5. Kelompok IV: Myasthenia berat lanjut
Myasthenia gravis berat lanjut timbul paling sedikit 2 tahun sesudah awitan gejala-
gejala kelompok I atau II. Myasthenia gravis berkembang secara perlahan-lahan atau
secara tiba-tiba. Respons terhadap obat dan prognosis buruk.
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), myasthenia gravis dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
1) Klas I, adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan
kekuatan otot-otot lain normal.
2) Klas II, terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan
ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
5
3) Klas IIa, mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat
kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.
4) Klas IIb, mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya.
Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan
klas IIa.
5) Klas III, terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain
selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.
6) Klas IIIa, mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.
7) Klas IIIb, mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya dalam derajat ringan.
8) Klas IV, otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang
berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.
9) Klas Iva, secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot
aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.
10) Klas Ivb, mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara
predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot
aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding tube tanpa
dilakukan intubasi.
11) Klas V, penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik. Biasanya gejala-
gejala myasthenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan tampak pada waktu
pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-gejala itu akan tampak
lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak menurun3.
Krisis Pada Myasthenia Gravis
Pada myasthenia gravis dikatakan berada dalam krisis jika ia tidak dapat menelan,
membersihkan sekret, atau bernapas secara adekuat tanpa bantuan alat-alat. Ada dua jenis
krisis, yaitu:
6
1. Krisis miastenik
Krisis miastenik yaitu keadaan dimana dibutuhkan antikolinesterase yang lebih
banyak. Keadaan ini dapat terjadi pada kasus yang tidak memperoleh obat secara
cukup dan dapat dicetuskan oleh infeksi.
2. Krisis kolinergik
Krisis kolinergik yaitu keadaan yang diakibatkan kelebihan obat-obat
antikolinesterase. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien tidak sengaja telah
minum obat berlebihan, atau mungkin juga dosis menjadi berlebihan karena terjadi
remisi spontan. Golongan ini sulit dikontrol dengan obat-obatan dan batas terapeutik
antara dosis yang terlalu sedikit dan dosis yang berlebihan sempit sekali. Respons
mereka terhadap obat-obatan seringkali hanya parsial.
III.6 DIAGNOSA
Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan
diagnosis suatu myasthenia gravis.Kelemahan otot dapat muncul menghinggapi bagian
proksimal dari tubuh serta simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Walaupun dalam
berbagai derajat yang berbeda, biasanya refleks tendon masih ada dalam batas normal.
Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya myasthenic sneer dengan adanya
ptosis dan senyum yang horizontal dan myasthenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya
kelemahan pada otot wajah.7.
Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan suara
penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta regurgitasi makanan terutama
yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu, penderita myasthenia gravis akan mengalami
kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang
menyebabkan penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otot bulbar juga sering
terjadi pada penderita dengan myasthenia gravis.Ditandai dengan kelemahan otot-otot rahang
pada myasthenia gravis yang menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga
dagu penderita harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan,
sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher2,7.
Hal yang paling membahayakan adalah kelemahan otot-otot pernapasan yang dapat
menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan
7
tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan
prolapsnya saluran napas atas dan kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat
menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi.
Diagnosis dapat dibantu dengan meminta pasien melakukan kegiatan berulang sampai
timbul tanda-tanda kelelahan. Untuk kepastian diagnosisnya, maka diperlukan tes diagnostik
sebagai berikut:
1. Antibodi anti-reseptor asetilkolin
Antibodi ini spesifik untuk myasthenia gravis, dengan demikian sangat berguna untuk
menegakkan diagnosis. Titer antibodi ini umumnya berkolerasi dengan beratnya penyakit.
2. Antibodi anti-otot skelet (anti-striated muscle antibodi)
Antibodi ini ditemukan pada lebih dari 90% penderita dengan timoma dan lebih kurang 30%
penderita myasthenia gravis. Penderita yang dalam serumnya tidak ada antibodi ini dan juga
tidak ada antibodi anti-reseptor asetilkolin, maka kemungkinan adanya timoma adalah sangat
kecil.
3. Tes tensilon (edrofonium klorida)
Tensilon adalah suatu penghambat kolinesterase. Tes ini sangat bermanfaat apabila
pemeriksaan antibodi anti-reseptor asetilkolin tidak dapat dikerjakan, atau hasil
pemeriksaannya negatif sementara secara klinis masih tetap diduga adanya myasthenia gravis.
Apabila tidak ada efek samping sesudah tes 1-2 mg intravena, maka disuntikkan lagi 5-8 mg
tensilon. Reaksi dianggap positif apabila ada perbaikan kekuatan otot yang jelas (misalnya
dalam waktu 1 menit), menghilangnya ptosis, lengan dapat dipertahankan dalam posisi
abduksi lebih lama, dan meningkatnya kapasitas vital. Reaksi ini tidak akan berlangsung lebih
lama dari 5 menit. Jika diperoleh hasil yang positif, maka perlu dibuat diagnosis banding
antara myasthenia gravis yang sesungguhnya dengan syndrome miastenik. Penderita
syndrome miastenik mempunyai gejala-gejala yang serupa dengan myasthenia gravis, tetapi
penyebabnya ada kaitannya dengan proses patologis lain seperti diabetes, kelainan tiroid, dan
keganasan yang telah meluas. Usia timbulnya kedua penyakit ini merupakan faktor pembeda
yang penting. Penderita myasthenia sejati biasanya muda, sedangkan syndrome miastenik
biasanya lebih tua. Gejala-gejala syndrome miastenik biasanya akan hilang kalau patologi
yang mendasari berhasil diatasi.Tes ini dapat dikombinasikan dengan pemeriksaan EMG.
8
4. Foto rontgen dada
Foto rontgen dada dalam posisi antero-posterior dan lateral perlu dikerjakan, untuk melihat
apakah ada timoma. Bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan dengan sken tomografik.
5. Tes Wartenberg
Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba tes Wartenberg. Penderita
diminta menatap tanpa kedip suatu benda yang terletak di atas bidang kedua mata beberapa
lamanya. Pada myasthenia gravis kelopak mata yang terkena menunjukkan ptosis.
6. Tes prostigmin (neostigmin)
Prostigmin 1,25 mg dicampur dengan 0,6 mg sulfas atropin disuntikkan intramuskular atau
subkutan. Tes dianggap positif apabila gejala-gejala menghilang dan tenaga membaik.
7. Elektrodiagnostik
Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi neuromuscular
melalui 2 teknik:
a. Single-fiber Electromyography (SFEMG)
SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa
peningkatan titer dan fiber density yang normal. Karena menggunakan jarum single-fiber,
yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita. Sehingga SFEMG
dapat mendeteksi suatu titer(variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih
serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial
aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam).
b. Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Pada penderita myasthenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin,
sehingga pada RNS terdapat adanya penurunan suatu potensial aksi
III. 7 DIAGNOSA BANDING
Lanbert-Eaton Syndrome : ptosis, sulit menelan, kelemahan otot, mulut terasa
kering, nyeri pada lengan atas dan kaki. Pemeriksaan EMG menunjukka peningkatan
amplitudo terhadap stimulasi saraf berulang.
Botulism: diplopia, dilatasi pupil, perut menggembung, riwayat keracunan makanan
atau luka.
9
Guillain barre syndrome: kelumpuhan biasanya bersifat bilateral dan ascending, dan
disertai adanya gangguan sensibilitas, adanya riwayat infeksi dan ada pemeriksaan
LCS dijumpai disosiasi sitoalbumin.
Miller Fisher Syndrome kelumpuhan dari bagian tubuh atas kemudian ke arah
bawah. Mula-mula menyerang mata sehingga didapatkan ophtalmoplegia, ataksia,
dan arefleksia, dapat di jumpai anti-GQ1b
III.8 PENATALAKSANAAN 7,9,10,11
1. Antikolinesterase
Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin bromida
15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara lambat. Terapi
kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok. Apabila diperlukan, neostigmin
metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau intramuskularis (15 mg per oral setara
dengan 1 mg subkutan/intramuskularis), didahului dengan pemberian atropin 0,5-1,0 mg. cara
kerja dengan menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin tidak
segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati normal, sedikitnya
80-90% dari kekuatan dan daya tahan semula. Pemberian antikolinesterase akan sangat
bermanfaat pada myasthenia gravis golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian
antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi parasimpatis,termasuk konstriksi pupil, kolik,
diare, salivasi berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek
samping gastro intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi
dengan pemberian propantelin bromida atau atropin. Penting sekali bagi pasien-pasien untuk
menyadari bahwa gejala-gejala ini merupakan tanda terlalu banyak obat yang diminum,
sehingga dosis berikutnya harus dikurangi untuk menghindari krisis kolinergik. Karena
neostigmin cenderung paling mudah menimbulkan efek muskarinik, maka obat ini dapat
diberikan lebih dulu agar pasien mengerti bagaimana sesungguhnya efek smping tersebut.
2. Steroid
Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk myasthenia gravis, dan
diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk menghindari efek samping.
Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10 mg/minggu) untuk
menghindari eksaserbasi sebagaimana halnya apabila obat dimulai dengan dosis tinggi.
10
Peningkatan dosis sampai gejala-gejala terkontrol atau dosis mencapai 120 mg secara selang-
seling. Pada kasus yang berat, prednisolon dapat diberikan dengan dosis awal yang tinggi,
setiap hari, dengan memperhatikan efek samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat
segera memperoleh perbaikan klinis. Disarankan agar diberi tambahan preparat kalium.
Apabila sudah ada perbaikan klinis maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan)
dengan tujuan memperoleh dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian prednisolon
secara mendadak harus dihindari.
3. Azathioprin
Azathioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang baik, efek
sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa gangguan saluran
cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan dengan dosis 1-3 mg/kg BB
selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan
fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian
prednisolon bersama-sama dengan azathioprin sangat dianjurkan.
4. Timektomi
Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi dan
kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita beberapa hari
pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase sering kali merupakan
tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera diatasi dengan fisioterapi dan antibiotik.
5. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-activating
aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara intravena. Mekanisme kerja dari IVIG
belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan mampu memodulasi respon imun.
Reduksi dari titer antibody tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar
pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi. Efek dari terapi dengan IVIG dapat
muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi. IVIG diindikasikan pada pasien yang juga
menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi
yang hanya beberapa minggu. Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari
pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan
klinis berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari
sejak dilakukan pemasangan infus. Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG
11
adalah nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga tetesan
infus menjadi lebih lambat. Flulike symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit
kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama.
6. Plasmaferesis
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 5 kali per 2 minggu dengan dosis
200-250 ml/kg BB/hari. Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu singkat.
Plasmaferesis bila dikombinasikan dengan pemberian obat imusupresan akan sangat
bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun demikian belum ada bukti yang jelas bahwa terapi
demikian ini dapat memberi hasil yang baik sehingga penderita mampu hidup atau tinggal di
rumah. Plasmaferesis mungkin efektif padakrisi miastenik karena kemampuannya untuk
membuang antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada penanganan kasus
kronik.
III.9 PROGNOSIS
Tipe okuler: 80-85% dapat berkembang menjadi tipe general
Dengan terapi yang adekuat, penderita dengan tipe general dapat membaik keadaannya
Penderita dengan timoma mempunyai perjalanan penyakit yang lebih progresif
12
DAFTAR PUSTAKA
1. Harsono, 1996, Buku Ajar Neurologi klinis 2nded., Gajah Mada University Press,
Yogyakarta
2. Howard, J.F., 1997, Department of Neurology, The University of North Carolina at
Chapol Hill. http://www.myasthenia.org/information/summary.htm
3. Lombardo,M.C., 1995, Penyakit Degeneratif dan Gangguan Lain Pada Sistem Saraf,
dalam S.A. Price, L.M. Wilson, (eds), Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit 4th ed., EGC, Jakarta
4. Mardjono, M., 2003, Neurologi Klinis Dasar 9th ed., hal 55,149,348, Dian Rakyat,
Jakarta
5. Murray, R.K., 1997, Dasar Biokimiawi Beberapa Kelainan Neuropsikiatri, dalam R.K.
Murray, D.K. Granner, P.A. Mayes, V.W. Rodwell, (eds),Biokimiawi Harper 24th ed.,
EGC, Jakarta
6. NINDS Myasthenia Gravis Fact Sheet,
2003. http://www.ninds.nih.gov/health_and_medical/pubs/myastheniagravis.htm
7. Sidharta, P., 1999, Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum, hal 129,142, 167, 174, 421,
Dian Rakyat, Jakarta
8. Sidharta, P., 1999, Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi, hal 139, 280, 317, 366,
390, 421, 576, Dian Rakyat, Jakarta
9. Walshe III, T.M., 1995, Disease of Nerve And Muscle, dalam M.A. Samuels,
(eds), Manual Of Neurologic Therapeutics 5th ed., Little brown And Company, London
13