presus saraf 3

21
BAB III LANDASAN TEORI MYASTHENIA GRAVIS III.1 DEFINISI Istilah myasthenia gravis berarti kelemahan otot yang parah. Myasthenia gravis merupakan satu-satunya penyakit neuromuskular yang merupakan gabungan antara cepatnya terjadi kelemahan otot- otot voluntar dan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari normal). Myasthenia gravis adalah gangguan autoimun yang menyebabkan otot skelet menjadi lemah dan lekas lelah. 1 Myasthenia gravis adalah suatu penyakit yang bermanifestasi sebagai kelemahan dan kelelahan otot-otot rangka akibat defisiensi reseptor asetilkolin pada taut neuromuskular. 3 III.2 EPIDEMIOLOGI Myasthenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui.Angka kejadiannya 20 dalam 100.000 populasi.Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada umurdiatas 50 tahun.Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria dan dapat terjadi pada berbagai usia. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 60 tahun. III.3 PATOFISIOLOGI 3,4,5 Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular, maka membran akson terminal presinaps mengalami 1

Upload: bungagobe

Post on 12-Jan-2016

217 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

mata

TRANSCRIPT

Page 1: Presus Saraf 3

BAB III

LANDASAN TEORI

MYASTHENIA GRAVIS

III.1 DEFINISI

Istilah myasthenia gravis berarti kelemahan otot yang parah. Myasthenia gravis

merupakan satu-satunya penyakit neuromuskular yang merupakan gabungan antara cepatnya

terjadi kelemahan otot-otot voluntar dan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10 hingga

20 kali lebih lama dari normal). Myasthenia gravis adalah gangguan autoimun yang

menyebabkan otot skelet menjadi lemah dan lekas lelah.1 Myasthenia gravis adalah suatu

penyakit yang bermanifestasi sebagai kelemahan dan kelelahan otot-otot rangka akibat defisiensi

reseptor asetilkolin pada taut neuromuskular.3

III.2 EPIDEMIOLOGI

Myasthenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui.Angka kejadiannya 20 dalam

100.000 populasi.Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada umurdiatas 50 tahun.Wanita

lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria dan dapat terjadi pada berbagai usia. Pada

wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun, sedangkan pada

pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 60 tahun.

III.3 PATOFISIOLOGI 3,4,5

Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular, maka

membran akson terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin akan dilepaskan

dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung dengan reseptor

asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas

terhadap natrium dan kalium secara tiba-tiba menyebabkan depolarisasi lempeng akhir dikenal

sebagai potensial lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial

aksi dalam membran otot yang tidak berhubungan dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang

sarkolema. Potensial aksi ini memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut

otot. Sesudah transmisi melewati hubungan neuromuscular terjadi, astilkolin akan dihancurkan

oleh enzim asetilkolinesterase.

1

Page 2: Presus Saraf 3

Pada myasthenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas dalam

penyakit myasthenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada membran presinaps.

Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi. Karena kerusakan itu maka jarak antara

membran presinaps dan postsinaps menjadi besar sehingga lebih banyak asetilkolin dalam

perjalanannya ke arah motor endplate dapat dipecahkan oleh kolinesterase. Selain itu jumlah

asetilkolin yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan membran postsinaps motor end plate

menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut maka kontraksi otot tidak dapat berlangsung

lama.

2

Page 3: Presus Saraf 3

Kelainan kelenjar timus terjadi pada myasthenia gravis. Meskipun secara radiologis

kelainan belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara histologik kelenjar timus pada

kebanyakan pasien menunjukkan adanya kelainan. Wanita muda cenderung menderita

hiperplasia timus, sedangkan pria yang lebih tua dengan neoplasma timus. Elektromiografi

menunjukkan penurunan amplitudo potensial unit motorik apabila otot dipergunakan terus-

menerus3.

Pembuktian etiologi oto-imunologiknya diberikan oleh kenyataan bahwa kelenjar timus

mempunyai hubungan erat. Pada 80% penderita myasthenia didapati kelenjar timus yang

abnormal. Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan struktur timoma dan pada penderita-

penderita lainnya terdapat infiltrat limfositer pada pusat germinativa kelenjar timus tanpa

perubahan di jaringan limfoster lainnya.5

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, myasthenia gravis diduga merupakan

gangguan otoimun yang merusak fungsi reseptor asetilkolin dan mengurangi efisiensi hubungan

neuromuskular. Keadaan ini sering bermanifestasi sebagai penyakit yang berkembang progresif

lambat. Tetapi penyakit ini dapat tetap terlokalisir pada sekelompok otot tertentu saja.

III.4 GEJALA KLINIS

Gambaran klinis myasthenia gravis sangat jelas yaitu dari kelemahan local yang ringan

sampai pada kelemahan tubuh menyeluruh yang fatal. Kira-kira 33% hanya terdapat gejala

kelainan okular disertai kelemahan otot-otot lainnya. Kelemahan ekstremitas tanpa disertai gejala

kelainan okular jarang ditemukan dan terdapat kira-kira 20% penderita didapati kesulitan

mengunyah dan menelan.

Pada 90% penderita, gejala awal berupa gangguan otot-otot okular yang menimbulkan

ptosis dan diplopia. Mula timbul dengan ptosis unilateral atau bilateral. Setelah beberapa minggu

sampai bulan, ptosis dapat dilengkapi dengan diplopia (paralysis ocular). Kelumpuhan-

kelumpuhan bulbar itu timbul setiap hari menjelang sore atau malam. Pada pagi hari orang sakit

tidak diganggu oleh kelumpuhan apapun. Tetapi lama kelamaan kelumpuhan bulbar dapat

bangkit juga pada pagi hari sehingga boleh dikatakan sepanjang hari orang sakit tidak terbebas

dari kesulitan penglihatan. Pada pemeriksaan dapat ditemukan ptosis unilateral atau bilateral,

salah satu otot okular paretik, paresis N III interna (reaksi pupil).Diagnosis dapat ditegakkan

dengan memperhatikan otot-otot levator palpebra kelopak mata. Walaupun otot levator palpebra

3

Page 4: Presus Saraf 3

jelas lumpuh pada myasthenia gravis, namun adakalanya masih bisa bergerak normal. Tetapi

pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis myasthenia

gravis. Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata saja, maka perjalanan penyakitnya

sangat ringan dan tidak akan menyebabkan kematian.

Myasthenia gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring. Pada pemeriksaan

dapat ditemukan paresis N VII bilateral atau unilateral yang bersifat LMN, kelemahan otot

pengunyah, paresis palatum mol/arkus faringeus/uvula/otot-otot farings dan lidah. Keadaan ini

dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan, menimbulkan

suara yang abnormal, atau suara nasal, dan pasien tidak mampu menutup mulut yang dinamakan

sebagai tanda rahang yang menggantung.

Kelemahan otot non-bulbar umumnya dijumpai pada tahap yang lanjut sekali. Yang

pertama terkena adalah otot-otot leher, sehingga kepala harus ditegakkan dengan tangan.

Kemudian otot-otot anggota gerak berikut otot-otot interkostal. Atrofi otot ringan dapat

ditemukan pada permulaan, tetapi selanjutnya tidak lebih memburuk lagi8.

Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah, dan akhirnya

dapat berupa serangan dispnea dan pasien tidak mampu lagi membersihkan lendir.

Biasanya gejala-gejala myasthenia gravis dapat diredakan dengan beristirahat dan dengan

memberikan obat antikolinesterase. Gejala-gejala dapat menjadi lebih atau mengalami

eksaserbasi oleh sebab:

1. Perubahan keseimbangan hormonal, misalnya selama kehamilan, fluktuasi selama

siklus haid atau gangguan fungsi tiroid.

2. Adanya penyakit penyerta terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas dan infeksi

yang disertai diare dan demam.

3. Gangguan emosi, kebanyakan pasien mengalami kelemahan otot apabila mereka

berada dalam keadaan tegang.

4. Alkohol, terutama bila dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin, suatu obat

yang mempermudah terjadinya kelemahan otot, dan obat-obat lainnya3.

4

Page 5: Presus Saraf 3

III.5 KLASIFIKASI

Klasifikasi klinis myasthenia gravis dapat dibagi menjadi3:

1. Kelompok I: Myasthenia okular

Hanya menyerang otot-otot ocular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat ringan, tidak ada

kasus kematian.

2. Kelompok IIA: Myasthenia umum ringan

Awitan lambat, biasanya pada mata, lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan

bulbar. Sistem pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat baik. Angka

kematian rendah.

3. Kelompok IIB: Myasthenia umum sedang

Awitan bertahap dan sering disertai gejala-gejala ocular, lalu berlanjut semakin berat

dengan terserangnya seluruh otot-otot rangka dan bulbar. Disartria, disfagia, dan sukar

mengunyah lebih nyata dibandingkan dengan myasthenia gravis umum ringan. Otot-otot

pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktifitas

pasien terbatas, tetapi angka kematian rendah.

4. Kelompok III: Myasthenia berat akut

Awitan yang cepat dengan kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai

mulai terserangnya otot-otot pernapasan. Biasanya penyakit berkembang maksimal

dalam waktu 6 bulan. Respons terhadap obat buruk. Insiden krisis miastenik, kolinergik,

maupun krisis gabungan keduanya tinggi. Tingkat kematian tinggi.

5. Kelompok IV: Myasthenia berat lanjut

Myasthenia gravis berat lanjut timbul paling sedikit 2 tahun sesudah awitan gejala-

gejala kelompok I atau II. Myasthenia gravis berkembang secara perlahan-lahan atau

secara tiba-tiba. Respons terhadap obat dan prognosis buruk.

Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), myasthenia gravis dapat

diklasifikasikan sebagai berikut :

1) Klas I, adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan

kekuatan otot-otot lain normal.

2) Klas II, terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan

ringan pada otot-otot lain selain otot okular.

5

Page 6: Presus Saraf 3

3) Klas IIa, mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat

kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.

4) Klas IIb, mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya.

Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan

klas IIa.

5) Klas III, terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain

selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.

6) Klas IIIa, mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara

predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.

7) Klas IIIb, mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara

predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau

keduanya dalam derajat ringan.

8) Klas IV, otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang

berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.

9) Klas Iva, secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot

aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.

10) Klas Ivb, mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara

predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot

aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding tube tanpa

dilakukan intubasi.

11) Klas V, penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik. Biasanya gejala-

gejala myasthenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan tampak pada waktu

pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-gejala itu akan tampak

lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak menurun3.

Krisis Pada Myasthenia Gravis

Pada myasthenia gravis dikatakan berada dalam krisis jika ia tidak dapat menelan,

membersihkan sekret, atau bernapas secara adekuat tanpa bantuan alat-alat. Ada dua jenis

krisis, yaitu:

6

Page 7: Presus Saraf 3

1. Krisis miastenik

Krisis miastenik yaitu keadaan dimana dibutuhkan antikolinesterase yang lebih

banyak. Keadaan ini dapat terjadi pada kasus yang tidak memperoleh obat secara

cukup dan dapat dicetuskan oleh infeksi.

2. Krisis kolinergik

Krisis kolinergik yaitu keadaan yang diakibatkan kelebihan obat-obat

antikolinesterase. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien tidak sengaja telah

minum obat berlebihan, atau mungkin juga dosis menjadi berlebihan karena terjadi

remisi spontan. Golongan ini sulit dikontrol dengan obat-obatan dan batas terapeutik

antara dosis yang terlalu sedikit dan dosis yang berlebihan sempit sekali. Respons

mereka terhadap obat-obatan seringkali hanya parsial.

III.6 DIAGNOSA

Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan

diagnosis suatu myasthenia gravis.Kelemahan otot dapat muncul menghinggapi bagian

proksimal dari tubuh serta simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Walaupun dalam

berbagai derajat yang berbeda, biasanya refleks tendon masih ada dalam batas normal.

Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya myasthenic sneer dengan adanya

ptosis dan senyum yang horizontal dan myasthenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya

kelemahan pada otot wajah.7.

Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan suara

penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta regurgitasi makanan terutama

yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu, penderita myasthenia gravis akan mengalami

kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang

menyebabkan penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otot bulbar juga sering

terjadi pada penderita dengan myasthenia gravis.Ditandai dengan kelemahan otot-otot rahang

pada myasthenia gravis yang menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga

dagu penderita harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan,

sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher2,7.

Hal yang paling membahayakan adalah kelemahan otot-otot pernapasan yang dapat

menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan

7

Page 8: Presus Saraf 3

tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan

prolapsnya saluran napas atas dan kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat

menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi.

Diagnosis dapat dibantu dengan meminta pasien melakukan kegiatan berulang sampai

timbul tanda-tanda kelelahan. Untuk kepastian diagnosisnya, maka diperlukan tes diagnostik

sebagai berikut:

1. Antibodi anti-reseptor asetilkolin

Antibodi ini spesifik untuk myasthenia gravis, dengan demikian sangat berguna untuk

menegakkan diagnosis. Titer antibodi ini umumnya berkolerasi dengan beratnya penyakit.

2. Antibodi anti-otot skelet (anti-striated muscle antibodi)

Antibodi ini ditemukan pada lebih dari 90% penderita dengan timoma dan lebih kurang 30%

penderita myasthenia gravis. Penderita yang dalam serumnya tidak ada antibodi ini dan juga

tidak ada antibodi anti-reseptor asetilkolin, maka kemungkinan adanya timoma adalah sangat

kecil.

3. Tes tensilon (edrofonium klorida)

Tensilon adalah suatu penghambat kolinesterase. Tes ini sangat bermanfaat apabila

pemeriksaan antibodi anti-reseptor asetilkolin tidak dapat dikerjakan, atau hasil

pemeriksaannya negatif sementara secara klinis masih tetap diduga adanya myasthenia gravis.

Apabila tidak ada efek samping sesudah tes 1-2 mg intravena, maka disuntikkan lagi 5-8 mg

tensilon. Reaksi dianggap positif apabila ada perbaikan kekuatan otot yang jelas (misalnya

dalam waktu 1 menit), menghilangnya ptosis, lengan dapat dipertahankan dalam posisi

abduksi lebih lama, dan meningkatnya kapasitas vital. Reaksi ini tidak akan berlangsung lebih

lama dari 5 menit. Jika diperoleh hasil yang positif, maka perlu dibuat diagnosis banding

antara myasthenia gravis yang sesungguhnya dengan syndrome miastenik. Penderita

syndrome miastenik mempunyai gejala-gejala yang serupa dengan myasthenia gravis, tetapi

penyebabnya ada kaitannya dengan proses patologis lain seperti diabetes, kelainan tiroid, dan

keganasan yang telah meluas. Usia timbulnya kedua penyakit ini merupakan faktor pembeda

yang penting. Penderita myasthenia sejati biasanya muda, sedangkan syndrome miastenik

biasanya lebih tua. Gejala-gejala syndrome miastenik biasanya akan hilang kalau patologi

yang mendasari berhasil diatasi.Tes ini dapat dikombinasikan dengan pemeriksaan EMG.

8

Page 9: Presus Saraf 3

4. Foto rontgen dada

Foto rontgen dada dalam posisi antero-posterior dan lateral perlu dikerjakan, untuk melihat

apakah ada timoma. Bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan dengan sken tomografik.

5. Tes Wartenberg

Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba tes Wartenberg. Penderita

diminta menatap tanpa kedip suatu benda yang terletak di atas bidang kedua mata beberapa

lamanya. Pada myasthenia gravis kelopak mata yang terkena menunjukkan ptosis.

6. Tes prostigmin (neostigmin)

Prostigmin 1,25 mg dicampur dengan 0,6 mg sulfas atropin disuntikkan intramuskular atau

subkutan. Tes dianggap positif apabila gejala-gejala menghilang dan tenaga membaik.

7. Elektrodiagnostik

Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi neuromuscular

melalui 2 teknik:

a. Single-fiber Electromyography (SFEMG)

SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa

peningkatan titer dan fiber density yang normal. Karena menggunakan jarum single-fiber,

yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita. Sehingga SFEMG

dapat mendeteksi suatu titer(variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih

serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial

aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam).

b. Repetitive Nerve Stimulation (RNS)

Pada penderita myasthenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin,

sehingga pada RNS terdapat adanya penurunan suatu potensial aksi

III. 7 DIAGNOSA BANDING

Lanbert-Eaton Syndrome : ptosis, sulit menelan, kelemahan otot, mulut terasa

kering, nyeri pada lengan atas dan kaki. Pemeriksaan EMG menunjukka peningkatan

amplitudo terhadap stimulasi saraf berulang.

Botulism: diplopia, dilatasi pupil, perut menggembung, riwayat keracunan makanan

atau luka.

9

Page 10: Presus Saraf 3

Guillain barre syndrome: kelumpuhan biasanya bersifat bilateral dan ascending, dan

disertai adanya gangguan sensibilitas, adanya riwayat infeksi dan ada pemeriksaan

LCS dijumpai disosiasi sitoalbumin.

Miller Fisher Syndrome kelumpuhan dari bagian tubuh atas kemudian ke arah

bawah. Mula-mula menyerang mata sehingga didapatkan ophtalmoplegia, ataksia,

dan arefleksia, dapat di jumpai anti-GQ1b

III.8 PENATALAKSANAAN 7,9,10,11

1. Antikolinesterase

Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin bromida

15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara lambat. Terapi

kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok. Apabila diperlukan, neostigmin

metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau intramuskularis (15 mg per oral setara

dengan 1 mg subkutan/intramuskularis), didahului dengan pemberian atropin 0,5-1,0 mg. cara

kerja dengan menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin tidak

segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati normal, sedikitnya

80-90% dari kekuatan dan daya tahan semula. Pemberian antikolinesterase akan sangat

bermanfaat pada myasthenia gravis golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian

antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi parasimpatis,termasuk konstriksi pupil, kolik,

diare, salivasi berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek

samping gastro intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi

dengan pemberian propantelin bromida atau atropin. Penting sekali bagi pasien-pasien untuk

menyadari bahwa gejala-gejala ini merupakan tanda terlalu banyak obat yang diminum,

sehingga dosis berikutnya harus dikurangi untuk menghindari krisis kolinergik. Karena

neostigmin cenderung paling mudah menimbulkan efek muskarinik, maka obat ini dapat

diberikan lebih dulu agar pasien mengerti bagaimana sesungguhnya efek smping tersebut.

2. Steroid

Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk myasthenia gravis, dan

diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk menghindari efek samping.

Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10 mg/minggu) untuk

menghindari eksaserbasi sebagaimana halnya apabila obat dimulai dengan dosis tinggi.

10

Page 11: Presus Saraf 3

Peningkatan dosis sampai gejala-gejala terkontrol atau dosis mencapai 120 mg secara selang-

seling. Pada kasus yang berat, prednisolon dapat diberikan dengan dosis awal yang tinggi,

setiap hari, dengan memperhatikan efek samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat

segera memperoleh perbaikan klinis. Disarankan agar diberi tambahan preparat kalium.

Apabila sudah ada perbaikan klinis maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan)

dengan tujuan memperoleh dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian prednisolon

secara mendadak harus dihindari.

3. Azathioprin

Azathioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang baik, efek

sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa gangguan saluran

cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan dengan dosis 1-3 mg/kg BB

selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan

fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian

prednisolon bersama-sama dengan azathioprin sangat dianjurkan.

4. Timektomi

Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi dan

kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita beberapa hari

pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase sering kali merupakan

tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera diatasi dengan fisioterapi dan antibiotik.

5. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)

Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-activating

aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara intravena. Mekanisme kerja dari IVIG

belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan mampu memodulasi respon imun.

Reduksi dari titer antibody tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar

pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi. Efek dari terapi dengan IVIG dapat

muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi. IVIG diindikasikan pada pasien yang juga

menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi

yang hanya beberapa minggu. Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari

pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan

klinis berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari

sejak dilakukan pemasangan infus. Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG

11

Page 12: Presus Saraf 3

adalah nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga tetesan

infus menjadi lebih lambat. Flulike symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit

kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama.

6. Plasmaferesis

Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 5 kali per 2 minggu dengan dosis

200-250 ml/kg BB/hari. Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu singkat.

Plasmaferesis bila dikombinasikan dengan pemberian obat imusupresan akan sangat

bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun demikian belum ada bukti yang jelas bahwa terapi

demikian ini dapat memberi hasil yang baik sehingga penderita mampu hidup atau tinggal di

rumah. Plasmaferesis mungkin efektif padakrisi miastenik karena kemampuannya untuk

membuang antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada penanganan kasus

kronik.

III.9 PROGNOSIS

Tipe okuler: 80-85% dapat berkembang menjadi tipe general

Dengan terapi yang adekuat, penderita dengan tipe general dapat membaik keadaannya

Penderita dengan timoma mempunyai perjalanan penyakit yang lebih progresif

12

Page 13: Presus Saraf 3

DAFTAR PUSTAKA

1. Harsono, 1996, Buku Ajar Neurologi klinis 2nded., Gajah Mada University Press,

Yogyakarta

2. Howard, J.F., 1997, Department of Neurology, The University of North Carolina at

Chapol Hill. http://www.myasthenia.org/information/summary.htm

3. Lombardo,M.C., 1995, Penyakit Degeneratif dan Gangguan Lain Pada Sistem Saraf,

dalam S.A. Price, L.M. Wilson, (eds), Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit 4th ed., EGC, Jakarta

4. Mardjono, M., 2003, Neurologi Klinis Dasar 9th ed., hal 55,149,348, Dian Rakyat,

Jakarta

5. Murray, R.K., 1997, Dasar Biokimiawi Beberapa Kelainan Neuropsikiatri, dalam R.K.

Murray, D.K. Granner, P.A. Mayes, V.W. Rodwell, (eds),Biokimiawi Harper 24th ed.,

EGC, Jakarta

6. NINDS Myasthenia Gravis Fact Sheet,

2003. http://www.ninds.nih.gov/health_and_medical/pubs/myastheniagravis.htm

7. Sidharta, P., 1999, Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum, hal 129,142, 167, 174, 421,

Dian Rakyat, Jakarta

8. Sidharta, P., 1999, Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi, hal 139, 280, 317, 366,

390, 421, 576, Dian Rakyat, Jakarta

9. Walshe III, T.M., 1995, Disease of Nerve And Muscle, dalam M.A. Samuels,

(eds), Manual Of Neurologic Therapeutics 5th ed., Little brown And Company, London

13