presus venenata

14
PRESENTASI KASUS DERMATITIS VENENATA Disusun Oleh : Ida Aisyah FK UPN Veteran Jakarta (0920221203) Eko Sandy Sinaga FK UPN Veteran Jakarta(0920221207 ) Dipresentasikan tanggal 28 Maret 2011 KEPANITERAAN DEPARTEMEN KULIT DAN KELAMIN RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO JAKARTA 2011

Upload: kartika-putri-reniastuti

Post on 21-Jul-2015

539 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

PRESENTASI KASUS

DERMATITIS VENENATA

Disusun Oleh : Ida Aisyah Eko Sandy Sinaga FK UPN Veteran Jakarta FK UPN Veteran Jakarta (0920221203) (0920221207 )

Dipresentasikan tanggal 28 Maret 2011

KEPANITERAAN DEPARTEMEN KULIT DAN KELAMIN RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO JAKARTA 2011

STATUS PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN DEPARTEMEN PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN RSPAD GATOT SOEBROTO

I.

IDENTITAS PASIEN Nama Jenis Kelamin Usia Alamat Pekerjaan Agama : Ny. E : Perempuan : 30 tahun : Asrama rindam : PNS : Islam

Tanggal pemeriksaan : 24 Maret 2011 II. ANAMNESIS Diambil dari Autoanamnesis tanggal 24 Maret 2011 Keluhan Utama: Bercak kemerahan yang disertai rasa gatal pada daerah bawah hidung sebelah kanan Keluhan Tambahan Bercak kemerahan disertai rasa gatal pada lengan bawah sebelah kiri disertai adanya gelembung kecil berisi cairan Riwayat Penyakit Sekarang: Satu hari yang lalu, saat bangun tidur pasien melihat timbul bercak kemerahan disertai rasa gatal di daerah bawah hidung sebelah kanan. Beberapa jam kemudian pasien merasakan adanya gelembung kecil berisi cairan yang kemudian bertambah banyak sampai membentuk susunan berbentuk garis lurus dengan dasar kemerahan. Kurang lebih 12 jam yang lalu pasien merasakan melenting disertai rasa panas dan nyeri. Pasien juga mengaku menggaruk daerah tersebut akibat rasa gatal yang dirasakan. Saat ini pasien juga mengeluhkan 2

adanya satu buah gelembung kecil berisi cairan di lengan bawah sebelah kiri dengan dasar kemerahan. Pasien menyangkal adanya riwayat alergi. Kurang lebih 6 bulan yang lalu pasien mengaku pernah mengalami hal yang sama di wajah, kemudian berobat dan sembuh setelah diberi salep sesuai resep dokter. Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat Penyakit Keluarga : III. STATUS GENERALIS Keadaaan umum Kesadaran Keadaan gizi Vital Sign : tampak sakit ringan : compos mentis : baik : Tekanan darah Nadi Pernafasan Suhu Kepala : 120/70 mmHg : 68 x/menit : 19 x/menit : afebris

: Normocephale, rambut hitam dan terdistribusi merat Mata : Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/Wajah : Terdapat bercak-bercak kemerahan tersusun linier di maxilla dextra THT : Tidak dilakukan pemeriksaan

Leher Toraks

: Pembesaran KGB (-) : Simetris dalam statis dan dinamis Jantung : Bunyi jantung I dan II normal, gallop (-), murmur (-) Paru : Vesikular +/+, ronki -/-, wheezing -/: Datar : Massa (-), hati dan limpa tidak membesar, nyeri tekan (-) Perkusi Auskultasi : Timpani, nyeri ketok (-) : Bising usus (+) normal

Abdomen

: Inspeksi Palpasi

Ektremitas

: Terdapat sebuah vesikel dengan dasar eritema di lengan bawah sebelah kiri

3

IV.

STATUS DERMATOLOGIKUS Lokasi I Effloresensi : Regio Maxilla dextra :Terdapat erosi dan krusta, dengan dasar eritematosa berbatas tidak tegas, dan tersusun linier.

Lokasi II Effloresensi

: Regio antebrachii sinistra : Terdapat sebuah vesikel dengan dasar eritematosa, berbatas tidak tegas dengan diameter 0,3cm

V.

PEMERIKSAAN PENUNJANG Tidak ada

4

VI.

RESUME Pasien Ny.E, usia 30 tahun datang dengan keluhan terdapat timbul bercak kemerahan disertai rasa gatal, panas dan nyeri di daerah bawah hidung sebelah kanan, saat bangun tidur, satu hari yang lalu sebelum berobat ke rumah sakit. Disertai rasa panas dan nyeri di daerah itu. Pasien juga mengeluhkan adanya satu buah gelembung kecil berisi cairan di lengan bawah sebelah kiri Pada pemeriksaan status generalis dalam batas normal. Pada pemeriksaan status dermatologikus ditemukan erosi dan krusta, dengan dasar eritematosa berbatas tidak tegas, dan tersusun linier pada regio maxilla dextra dan sebuah vesikel dengan dasar eritematosa, berbatas tidak tegas dengan diameter 0,3cm pada regio antebrachii sinistra.

VII.

DIAGNOSA KERJA Dermatitis venenata

VIII.

DIAGNOSIS BANDING 1. Dermatitis iritan IX. PEMERIKSAAN ANJURAN Uji tempel

X.

PENATALAKSANAAN a. Non farmakologis 1. 2. b. Pencucian sesegera mungkin area yang terpapar agen iritan Edukasi pada pasien cara mengurangi risiko terpapar, seperti

dengan menghindari agen iritan Farmakologis Kortikostreoid topikal; hidrokortison acetate, oleskan tipis pada tempat yang sakit 2-4 kali sehari XI. PROGNOSIS Quo ad vitam Quo ad functionam Quo ad sanationam : dubia ad bonam : dubia ad bonam : dubia ad bonam 5

TINJAUAN PUSTAKA DERMATITIS VENENATA Definisi Dermatitis venenata adalah peradangan kulit yang berasal dari eksternal. Iritasi eksternal tersebut yang dikenal dengan racun.1 Istilah lama "dermatitis venenata, "menandakan" sebuah iritasi kulit akibat racun", secara bertahap diganti dengan penunjukan lebih akurat, dermatitis kontak, atau erupsi akibat kontak dengan beberapa substansi, yang belum tentu racun. Hal ini harus dipahami dengan jelas di awal bahwa dermatitis kontak, sementara kadang-kadang disebut sebagai "alergi kontak", sama sekali tidak berhubungan dengan alergi atopik, yang merupakan suatu yang diwariskan, cenderung untuk menjadi tersensititasi terhadap protein asing.2 Etiologi Ratusan zat kimia, hewan, atau sayuran alam mampu menghasilkan erupsi tipe ini. Paparan yang terjadi menyebabkan erupsi apabila mengenai individu yang rentan terhadap iritasi tertentu. Bahan yang menyebabkan iritasi selain dari racun antara lain, adalah pewarna rambut, pewarna yang digunakan dalam bulu dan pakaian, dan bahan kimia seperti formaldehida, bichloride merkuri, lysol antiseptik dan lainnya, dan sabun yang kuat.1,2 Patofisiologi Seperti yang telah disebutkan, kerentanan individu merupakan faktor penting dalam menghasilkan suatu erupsi. Di mana seorang individu dapat menggunakan bahan-bahan itu tanpa menimbulkan erupsi, sedang pada individu lain menyebabkan erupsi walaupun hanya dengan sedikit paparan.1 Karena secara definisi dermatitis venenata merupakan dermatitis kontak alergi, maka patofisiologi disini kami mengikuti dermatitis kontak alergi. Ada dua fase untuk menimbulkan dermatitis kontak alergi:3 1. Fase primer ( induktiflafferen ), yaitu penetrasi bahan yang mempunyai berat molekul kecil ( hapten ) ke kulit. Yang kemudian berikatan dengan karier protein di epidermis. Komponen tersebut akan disajikan oleh sel langerhans ( LCs ) pada sel T. Dikelenjar limfe regional, komplek yang terbentuk akan merangsang sel limfosit T di daerah parakorteks untuk memperbanyak diri dan berdiferensiasi menjadi sel T 6

efektor dan sel memori. Terbentuklah sel T memori yang akan bermigrasi ke kulit,peredaran perifer, dll. 2. Fase sekunder ( eksitasileferen ), yaitu perjalanan hapten pada individu yang telah tersensitasi, sehingga antigen disajikan lagi oleh sel langerhans ke sel T memori dikulit dan limfe regional. Kemudian terjadi reaksi imun yang menghasilkan limfokin. Terjadi reaksi inflamasi dengan perantara sel T, karena lepasnya bahan-bahan limfokin dan sitokin. Terjadinya reaksi ini maksimum 24 - 48 jam. Setelah pemajanan alergen pada kulit, antigen tersebut secara imunologi ditangkap oleh sel langerhans ( sel penyaji antigen ), kemudian diproses dan disajikan kepada limfosit T dengan bantuan molekul MHC kelas 2. Sel langerhans dan keratinosit akan menghasilkan interleukin 1 ( limphocyte aktivating factor ) dan sel langerhans akan mengalami perubahan morfologis menjadi sel langerhans yang aktif sebagai penyaji sel ( APCs ). Sel ini akan bergerak kekulit di dermis, parakortikal, kelenjar limfe. Sel langerhans menyajikan dalam bentuk yang sesuai dengan HLA DR dengan reseptor HLA DR yang dimiliki oleh sel limfosit T. APCs lain seperti sel monosit dan makrofak hanya dapat merangsang sel T memori, tidak dapat mengaktifkan sel T yang belum disensitasi. Pada fase eferent ini sel TH1 terletak di sekitar pembuluh darah kapiler di dermis. Selain itu, sel limfosit T itu harus diaktifkan oleh interlukin I yang dihasilkan oleh sel langerhans dan sel keratinosit. Dan sel T ini akan meghasilkan interlukin II ( lymphocyte proliferating cell ) dan menyebabkan sel T berfloriferasi. Manifestasi Klinis Tanda dari dermatitis sering muncul dalam beberapa jam setelah paparan. Erupsi dapat berupa kemerahan, scaling, dan sedikit bengkak, disertai gatal dan sensasi terbakar. Juga dapat ditemukan vesikel, krusta, serta tersusun linear. Lokasi erupsi dipengaruhi bagian yang paling langsung terkena iritasi tersebut. Erupsi yang paling sering terjadi, diantaranya pada tangan, lengan, wajah, dan leher.1 Hal ini dimungkinkan karena daerah tersebut sering terpapar iritan eksternal.2 Seorang individu yang terkena tidak bisa menularkan penyakit melalui kontak langsung kepada orang lain. Dalam kasus poison ivy, atau sayuran seperti iritasi yang kuat, yang mungkin terjadi pada individu yang terkena yaitu dalam beberapa jam pertama, erupsi menyebar pada dirinya.1

7

Pemeriksaan Penunjang UJI TEMPEL3 Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya dipunggung. Untuk melakukan uji tempel diperlukan antigen, biasanya antigen standar buatan pabrik, misalnya finn chamber system kit dan T.R.U.E test, keduanya buatan Amerika Serikat. Terdapat juga antigen standar buatan pabrik di Eropa dan negara lain. Adakalanya test dilakukan dengan antigen yang bukan standar, dapat berupa bahan kimia murni, atau lebih sering bahan campuran yang berasal dari rumah, lingkungan kerja atau tempat rekreasi. Mungkin ada sebagian bahan ini yang bersifat sangat toksik terhadap kulit atau walaupun jarang dapat memberikan efek toksik secara sistemik. Oleh karena itu bila menggunakan bahan tidak standar, apalagi dengan bahan industri, harus berhati hati sekali, jangan melakukan uji tempel dengan bahan yang tidak diketahui. Bahan yang secara rutin dan dibiarkan menempel di kulit misalnya kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk uji tempel, dapat langsung di gunakan apa adanya (as is). Bila menggunakan bahan yang secara rutin dipakai dengan air untuk membilasnya misalnya sampoo, pasta gigi, harus diencerkan terlebih dahulu. Bahan yang tidak larut dalam air diencerkan atau dilarutkan dalam vaselin atau minyak mineral, produk yang diketahui bersifat iritan, misalnya detergen hanya boleh diuji bila diduga keras penyebab alergi. Apabila pakaian, sepatu, atau sarung tangan yang dicurigai penyebab alergi, maka uji tempel dilakukan dengan potongan kecil bahan tersebut yang direndam dalam air garam yang tidak dibubuhi bahan pengawet, atau air dan ditempelkan dikulit dengan memakai finn chamber, dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam. Perlu diingat bahwa hasil positif dengan alergen bukan standar perlu kontrol ( 510 orang ), untuk menyingkirkan kemungkinan karena iritasi. Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji tempel : 1. Dermatitis harus sudah tenang atau sembuh, bila masih dalam keadaan akut atau berat dapat terjadi angry back atau excited skin, reaksi positif palsu, dapat juga menyebabkan penyakit yang sedang dideritanya makin memburuk. 2. Tes dilakukan sekurang - kurangnya 1 minggu setelah pemakaian kortikosteroid sistemik dihentikan ( walaupun dikatakan bahwa uji tempel dapat dilakukan pada pemakaian prednison kurang dari 20 mg perhari atau dosis ekivalen kortikosteroid lain ), sebab dapat menghasilkan reaksi negatif palsu. Pemberian kortikosteroid topikal di punggung dihentikan sekurang - kurangnya 1 minggu sebelum tes dilaksanakan. Luka bakar sinar matahari ( sunburn ) yang terjadi 1 - 2 minggu 8

sebelum tes dilakukan juga dapat memberi hasil negatif palsu. Sedangkan antihistamin sistemik tidak mempengaruhi hasil tes kecuali diduga karena urtikaria kontak. 3. Uji tempel dibuka setelah 2 hari, kemudian dibaca, pembacan kedua dilakukan pada hari ketiga sampai ketujuh setelah aplikasi. 4. Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel menjadi longgar ( tidak menempel dengan baik ) karena memberi hasil negatif palsu. Penderita juga dilarang mandi sekurang-kurangnya dalam 48 jam dan menjaga agar punggung selalu kering setelah dibuka uji tempelnya sampai pembacaan terakhir selesai. 5. Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakuka terhadap penderita yang mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan atau immediate urtikaria type karena dapat menimbulkan urtikaria generalisata bahkan reaksi anafilaksis. Pada penderita semacam ini dilakukan tes dengan prosedur khusus. Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel dilepas. Pembacaan pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek tekanan bahan yang diuji telah menghilang atau minimal. Hasilnya dicatat sebagai berikut : 1 = reaksi lemah ( non vesikular ) : eritema, infiltrat, papul ( + ) 2 = reaksi kuat : edema atau vesikel ( ++ ) 3 = reaksi sangat kuat ( ekstrim ) : bula atau ulkus ( +++ ) 4 = meragukan : hanya makula eritematosa ( ? ) 5 = iritasi : seperti terbakar, pustul, atau purpura ( IR ) 6 = reaksi negatif ( - ) 7 = excited skin 8 = tidak di tes ( NT = not tested ) Reaksi excited skin atau angry back merupakan reaski positif palsu, suatu fenomena regional disebabkan oleh 1 atau beberapa reaksi positif kuat, yang dipicu oleh hipersensitivitas kulit, pinggir uji tempel yang lain menjadi reaktif. Fenomena ini pertama dikemukakan oleh Bruno Bloch pada abad ke 20, kemudin diteliti oleh Mitchell pada tahun 1975.

Pembacaan kedua perlu dilakukn sampai 1 minggu setelah aplikasi, biasanya 72 atau 96 jam setelah aplikasi. Pembacaan kedua ini penting untuk membantu membedakan antara respon alergi atau iritasi, dan juga mengidentifikasi 9

lebih banyak lagi respon positif alergen. Hasil positif dapat bertambah setelah 96 jam aplikasi, olek karena itu perlu dipesan kepada pasien untuk melapor, bila hal itu terjadi sampai 1 minggu setelah aplikasi. Untuk menginterpretasi hasil uji tempel tidak mudah. Interpretasi dilakukan setelah pembacaan kedua. Respon alergi biasanya menjadi lebih jelas antara pembacaan kesatu dan kedua, berawal dari +/- ke + atau ++ bahkan ke +++ ( reaksi tipe crescendo ), sedangkan respon iritan cenderung menurun ( reaksi tipe descrecendo ). Bila ditemukan respon positif terhadap suatu alergen, perlu ditemukan relevannya dengan keadaan klinik, riwayat penyakit dan sumber antigen di lingkungan penderita. Mungkin respon positif tersebut berhubungan dengan penyakit yang sekarang atau penyakit masa lalu yang pernah dialami, atau mungkin tidak ada hubungannya ( tidak diketahui ). Reaksi positif klasik terdiri atas eritem, edem, dan vesikel-vesikel kecil yang letaknya berdekatan. Reaski positif palsu dapat terjadi antara lain apabila konsentrasi terlalu tinggi, atau bahan tersebut bersifat iritan bila dalam keadaan tertutup ( oklusi ), efek pinggir uji tempel, umumnya karena iritasi, bagian tepi menunjukkan reaksi lebih kuat, sedang dibagian tengahnya reaksi ringan atau sama sekali tidak ada. Ini disebabkan karena meningkatnya konsentrasi iritasi cairan di bagian pinggir. Sebab lain karena efek tekan, terjadi bial menggunakan bahan padat. Reaksi negatif palsu dapat terjadi misalnya konsetrasi terlalu rendah, vehikulum tidak tepat, bahn uji tempel tidak melekat dengan baik atau longgar akibat pergerakan, kurang cukup waktu penghentian pemakaian kortikosteroid sistemik atau topikal poten yang lama dipakai pada uji tempel dilakukan. Diagnosis Banding Penyakit ini harus dibedakan dengan dermatitis iritan. Diagnosis Empat faktor yang harus dipertimbangkan ketika membuat diagnosis venenata dermatitis, yaitu;2 1. Morfologi erupsi 2. Lokasi dari erupsi 3. Anamnesa pasien 4. Hasil tes patch (uji tempel) 10

Penatalaksanaan4 1. Berbagai jenis dermatitis memang memerlukan upaya terapetik masing-masing, sesuai dengan jenis dermatitisnya. Tetapi, secara umum prinsip terapinya adalah serupa dan pengobatan utamanya adalah dengan preparat kortikosteroid. 2. Penanganan dimulai dengan pemastian adanya dermatitis. 3. Upayakan mencari, untuk kemudian sedapat mungkin menghindari faktor pencetus dan atau faktor pemberat kelainan. 4. Perhatikan kemungkinan diagnosis banding dermatofitosis atau dermatosis lain yang steroid nonresponsive. Dermatitis umumnya responsif terhadap steroid dan terapi pada dasarnya bersifat simptomatis. 5. Yang perlu diperhatikan adalah kondisi klinis lesi. Hal ini penting karena kita masih tetap memegang prinsip dasar dermatoterapi yang telah dikenal sejak lama, yakni lesi yang basah harus diterapi secara basah dan sebaliknya lesi kering diterapi secara kering. 6. Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah vehikulum selain bahan utama suatu obat yang pemilihan jenisnya juga ditentukan oleh kondisi klinis kelainan. 7. Upaya pertama adalah penggunaan emolien dan menghindari bahan-bahan yang bersifat iritan (misalnya deterjen dan sabun tertentu), karena cenderung mengakibatkan kulit menjadi lebih kering, yang menambah keluhan rasa gatal. 8. Upaya berikutnya adalah penggunaan kortikosteroid sebagai antiinflamasi. 9. Kadang-kadang diperlukan preparat kombinasi antara kortikosteroid dengan antibiotika ataupun kortikosteroid dengan antimikotik. 10. Pada beberapa kasus diperlukan kombinasi dengan pengobatan sistemik (steroid, antihistamin maupun antibiotika) sesuai dengan kebutuhan.

Kortikosteroid Topikal Kortikosteroid merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh korteks adrenal yang pembuatan bahan sintetik analognya telah berkembang dengan pesat. Efek utama penggunaan kortikosteroid secara topikal pada epidermis dan dermis ialah efek vasokonstriksi, efekantiinflamasi, dan efek antimitosis. Adanya efek 11

vasokonstriksi akan mengakibatkan berkurangnya eritema pada berbagai dermatoses. Adanya efek antiinflamasi yang terutama terhadap leukosit akan efektif terhadap berbagai dermatoses yang didasari oleh proses inflamasi seperti dermatitis. Bahkan kortikosteroid telah menjadi upaya utama dalam penanganan dermatitis. Sedangkan adanya efek antimitosis terjadi karena kortikosteroid bersifat menghambat sintesis DNA berbagai jenis sel. Oleh karena itu, kortikosteroid juga efektif untuk berbagai dermatosis yang ditandai dengan hiperproliferasi sel seperti pada psoriasis. Meskipun efek fisiologis, farmakologis dan klinis kortikosteroid telah terbukti, tetapi mekanisme pastinya belum sepenuhnya diketahui. Absorbsi perkutan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain jenis dan konsentrasi bahan aktif, vehikulum, integritas sawar epidermal dan oklusi. Oleh karena itu, dalam pemilihan steroid, penting diperhatikan potensi dan vehikulum. Kebanyakan preparat kortikosteroid topikal terdapat dalam berbagai bentuk sediaan, yakni salap, krim, gel, aerosol dan losio. Salap mengandung vaselin, parafin, propilen glikol, atau minyak mineral. Bahan-bahan tersebut akan membentuk sawar oklusif yang mencegah penguapan, sehingga membantu hidrasi stratum korneum yang akan meningkatkan penetrasi bahan aktif. Hampir 50% bahan dasar krim adalah air. Semakin tinggi kandungan air suatu vehikulum (misalnya bentuk losio dan gel), maka akan lebih cepat mengeringkan karena penguapan yang meningkat. Oleh karena itu, lebih cocok untuk lesi yang membasah. Secara umum, bentuk salep akan lebih efektif dibanding krim atau losio terhadap kelainan yang kering dan menebal. Tetapi, umumnya pasien lebih menyukai bentuk krim karena lebih nyaman dipakai, sehingga meningkatkan kepatuhan terapi. Risiko terberat (walaupun sangat jarang terjadi) penggunaan kortikosteroid adalah penekanan aksis adrenal -hipotalamus akibat absorbsi sistemik. Selain itu, dapat pula terjadi glaukoma.Yang lebih kerap terjadi adalah efek samping lokal pada kulit berupa atrofi, strie, purpura, telangiektasi, erupsi akneiformis dan perubahan warna kulit. Perlu diingat pula kemungkinan adanya topical steroid addiction. Efek samping ini secara langsung bergantung pada potensi kortikosteroid dan lama serta cara penggunaannya. Prognosis Prognosis baik bila paparan dihindari dan pengobatan dilakukan dengan rutin. 12

DAFTAR PUSTAKA

13

1.

Yusiko. Dermatitis venenata. Article (Jan 2011). Diunduh; 24 Maret 2011. Available from: http://www.indafahealth.com/basic-human-needs/dermatitisvenenata/#more-1847

2. Dermatitis venenata. Western Journal of Medicine. March; 46 (3) : 183186.

Diunduh3.

24

Maret

2011.

Available

from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/

pmc/articles/PMC1760531/ Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke enam. Fakultas Kedokteran Indonesia. Jakarta. 2010.4. Ari Muhandari Ardhie. Dermatitis dan peran steroid dalam penanganannya.

Artikel.

Diunduh;

24

Maret

2011.

Available

from:

http://www.unhas.ac.id/tahir/BAHAN-KULIAH/BIOMEDICAL/ BAHANUMUM/ECHOCARDIOGRAPHY%20%28 %2002%20050%20%29/REFERENSI/dermatitis.pdf. %20SALEH%20%20D411

14