isi presus kulit huda.docx
TRANSCRIPT
1
BAB ILAPORAN KASUS
A. Identitas
Nama : Ny. N
Usia : 65 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Karang tengah RT 6 RW VI
No. Rekam Medik : 742439
Tanggal Periksa : 21 Maret 2012
B. Anamnesis
Keluhan Utama : gatal di wajah, leher, dan kedua tangan
Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Onset : sekitar 1 minggu yang lalu
Lokasi : daerah wajah, leher, dan kedua tangan
Kronologis : awalnya berupa kemerahan dan gatal di tangan kiri, pasien
mengaku sering menggaruk sehingga daerah gatalnya bertambah
lebar
Kualitas : pasien merasa gatal sekali hingga cukup mengganggu aktivitas dan
sulit untuk tidur di malam hari.
Kuantitas : keluhan gatal dirasakan sepanjang hari
Faktor memperberat : aktivitas di luar rumah dibawah terik matahari
Faktor memperingan : minum obat dan diberi salep
Gejala penyerta : keluhan gatal disertai dengan rasa pegal.
Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
Keluhan gatal yang sama sebelumnya (-)
Asma (-)
Kencing manis / gula (-)
Riwayat alergi (-)
Riwayat Hipertensi (-)
Riwayat sakit jantung (-)
2
Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)
Keluhan yang sama dengan pasien (+) cucu
Asma (-)
Riwayat alergi (-)
Riwayat Sosial Ekonomi (RSosek)
Pasien tinggal bersama suami, dan 2 orang cucu dalam 1 rumah. Dalam
kesehariannya, pasien berada dirumah sebagai ibu rumah tangga dan terkadang
membantu suaminya bekerja di sawah.
C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum / kesadaran : sedang / komposmentis
Tanda vital : TD = 120/80 mmHg; N = 80x/menit; RR = 20x/mnt S = 36,5oC
Berat Badan = 46 kg; Tinggi Badan = 155 cm
Status Generalis
Kepala : bentuk mesochepal
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Hidung : napas cuping hidung (-/-), discharge (-/-)
Telinga : simetris, discharge (-/-)
Mulut : bibir sianosis (-), faring hiperemis (-)
Thoraks : bentuk normal, simetris, retraksi (-), ketinggalan gerak (-)
Cor/Pulmo: dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
Status Lokalis (Dermatologis)
Secara umum, kondisi kulit pasien tampak kulit merah, kering (xerosis), dan
mengelupas pada daerah wajah, leher, dan kedua tangan.
I. Regio coli
Efloresensi : eritema, skuama, hiperpigmentasi, dan likenifikasi.
Sifat : ukurannya plakat, penyebarannya regional
3
Gambar 1.1. Regio coli
II. Regio ekstrimitas superior
Efloresensi : eritema, erosi, skuama tebal, hiperpigmentasi, likenifikasi-fissura.
Sifat : ukuran plakat, penyebaran multipel.
Gambar 1.2. Ekstrimitas superior (a)
4
Gambar 1.3. Regio superior (b)
III. Regio manus dextra et sinistra
Efloresensi : eritema, erosi, skuama tebal, hiperpigmentasi, likenifikasi-fissura.
Sifat : ukuran plakat, penyebaran multipel.
Gambar 1.4 Regio manus dextra et sinistra
5
D. Resume
Pasien perempuan berusia 65 tahun datang ke poli kulit-kelamin RSMS dengan
keluhan gatal di daerah wajah, leher, dan kedua tangan kurang lebih 1 minggu yang lalu.
Gatal dirasakan sepanjang hari hingga menggangu aktivitas dan tidurnya. Gatal
bertambah berat bila aktivitas di luar rumah dibawah terik matahari. Gatal berkurang bila
minum obat dan diberi salep. Keluhan gatal disertai dengan rasa pegal. Pasien mengaku
belum pernah menderita sakit yang serupa sebelumnya, pasien juga mengaku tidak
memiliki alergi baik makanan dan obat.. Cucu pasien mengalami sakit yang sama dengan
pasien. Pada pemeriksaan status dermatologis, didapatkan plak eritema dengan skuama
tebal, likenifikasi, dan fissure pada daerah wajah, leher, dan kedua tangan.
E. Diagnosis Kerja
Fotosensitivitas reaksi fotoalergik
F. Diagnosis Banding
1. Dermatitis kontak alergik
2. Eritema multiforme
3. Psoriasis
4. Dermatitis seboroik
G. Pemeriksaan Anjuran
Tidak dilakukan
H. Penatalaksanaan
1. Non farmakologis
a. Memberitahu pasien tentang perkembangan atau perjalanan penyakitnya.
b. Member saran kepada pasien untuk menghindari pajanan sinar matahari.
c. Sebaiknya pasien menggunakan pakaian yang melindungi seluruh tubuh dan
berkaca mata jika hendak keluar rumah di siang hari.
d. Pasien juga sebaiknya menggunakan sunscreen yang memiliki SPF (factor
proteksi matahari) sekurang-kurangnya 15 atau lebih untuk badan dan SPF 20 atau
lebih untuk bibir dengan spectrum proteksi yang luas terhadap sinar ultraviolet A
dan B.
6
e. Pasien juga dianjurkan untuk tidak keluar rumah ketika matahari sedang mencapai
puncak terpanas, biasanya antara jam 10 pagi sampai jam 3 sore.
2. Farmakologis
a. Injeksi metilprednisolon 125 mg + difenhidramin 1 ampul (iv)
b. Metilprednisolon 4 mg tab No. XX diberikan 2x1sehari
c. Loratadine10 mg tab No. XX diberikan 2x1 sehari
d. Inerson + Asam Salisilat 3% + LCD 5% + Vas Album
I. Prognosis
1. Ad vitam : Ad bonam
2. Ad fungsionam : Ad bonam
3. Ad sanationam : Dubia ad bonam
7
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
REAKSI FOTOALERGIK
A. Definisi
Reaksi fotoalergik adalah perubahan reaktivitas kulit untuk bereaksi dengan
energi sinar saja atau dengan adanya photosensotizer, dalam hal ini disebut fotoalergen,
melalui mekanisme respon imun humoral atau respon imun selular. Penyakit kulit ini
berupa proses peradangan pada epidermis dan dermis yang timbul akibat pajanan sinar
matahari.
B. Etiologi dan Epidemiologi
Reaksi fotoalergik merupakan kelainan yang jarang ditemui, kemungkinan karena
mekanisme yang mendasarinya belum diketahui jelas dan kelainan tersebut hanya terjadi pada individu
tertentu. Pajanan pertama dengan fotoalergen tidak akan segera menimbulkan reaksi
karena dibutuhkan fase induksi yang berkisar antar 1-2 minggu. Reaksi baru akan terlihat
pada pajanan berikutnya atau setelah fase induksi terlampaui. Berbeda dengan reaksi
fototoksik, fotoalergik tidak memerlukan dosis tinggi, baik dalam fotoalergen maupun
energi yang dibutuhkan untuk memacu reaksi.
Sinar matahari dengan panjang gelombang antara 297-317 nm dapat
menimbulkan reaksi fotoalergik ini. Pada umumnya penyakit ini diderita oleh orang
dewasa, laki-laki mempunyai factor resiko yang lebih tinggi untuk terkena reaksi
fotoalergi daripada perempuan..
C. Patogenesis
Photosensitizer eksogen dapat mengenal tubuh melalui olesan secara topical pada
kulit atau masuk ke tubuh secara sistemik. Dasar dari timbulnya reaksi fotoalergik ini
adalah hipersensitifitas tipe lambat (delay). Mekanismenya meliputi absorpsi sinar oleh
photosensitizer, kemudian terjadi perubahan sehingga terbentuk hapten yang akan
bergabung dengan protein karier dan memacu terjadinya proses respon imun.
Berikut dijelaskan beberapa teori terbentuknya hapten, yaitu :
1. Terbentuk hapten yang stabil akibat pajanan bahan kimia dengan sinar radiasi yang
sesuai dan pajanan ulang dengan hapten pada individu tersensitisasi akan
mengakibatkan reaksi alergi. Misalnya reaksi fototoksik terhadap salisilanilid dan
metoksalen.
8
2. Terbentuk hapten yang tidak stabil, yang terjadi dalam waktu singkat dan harus
terletak berdekatan dengan protein kariernya pada saat pajanan sinar radiasi. Hal
tersebut dapat menerangkan terjadinya hasil negative pada uji temple atau tes
intradermal.
3. Perubahan pada protein karier sehingga dapat bergabung, baik dengan bahan kimia
yang telah berubah, maupun yang belum untuk membentuk antigen. Dapat pula terjadi
perubahan pada organ target sehingga terbentuk autoantibody yang akan memacu
terjadinya reaksi hipersensitifitas. Teori ini membutuhkan pembuktian lebih lanjut.
D. Patofisiologi
Fotoalergi adalah respons hipersensitifitas tertunda tipe IV yang memerlukan
keberadaan fotoalergen dan panjang gelombang radiasi pengaktivasi, yang bagi
kebanyakan agen adalah panjang gelombang dalam rentang UVA. Setelah absorpsi
energi UV, sebuah fotoalergen bisa dikonversi menjadi molekul tereksitasi, yang
selanjutnya kembali ke keadaan normal dengan melepaskan energi. Dalam proses ini,
molekul bisa berkonjugasi dengan sebuah protein karier untuk membentuk sebuah
antigen lengkap. Ini dianggap sebagai mekanisme fotoalergi yang ditimbulkan oleh
salisilanilida terhalogenasi, klorpromazin, dan asam paraaminobenzoat (PABA). Atau,
sebuah fotoalergen bisa membentuk sebuah fotoproduk stabil pada saat terpapar terhadap
radiasi, yang selanjutnya bisa berkonyugasi dengan sebuah protein karier membentuk
antigen lengkap. Sulfanilamida dan klorpramazine telah terbukti berpartisipasi dalam
reaksi ini.
Ketika antigen utuh terbentuk, mekanisme fotoalergi identik dengan mekanisme
pada alergi kontak. Antigen ditangkap dan diproses oleh sel-sel Langerhans, yang
kemudian bermigrasi ke kelenjar getah bening regional untuk menampakkan antigen ke
limfosit-limfosit T. Lesi-lesi kutaneous terjadi ketika limfosit-limfosit T teraktivasi
bersirkulasi ke tempat yang terpapar untuk memulai respon inflammatory.
E. Gambaran Klinis
Secara umum gambaran klinis berkisar antara urtikaria akut sampai lesi popular
atau eksematosa. Kelainan dapat terjadi lebih luas daripada daerah terpajan dan apabila
terjadi eksaserbasi dapat berlokasi jauh dari daerah pajanan.
Kelainan klinis bersifat polimorfi terutama eksematosa dan disertai dengan
keluhan gatal. Pada stadium akut terlihat vesikel disertai dengan efloresensi berupa
skuama, krusta, dan ekskoriasi. Pada stadium kronik dijumpai kelainan dengan cirri
9
efloresensi berupa likenifikasi, meski demikian dapat pula dijumpai bentuk-bentuk lain,
seperti urtika dan papul. Hiperpigmentasi hanya kadang-kadang ditemukan.
Gambar 2.1 Reaksi fotoalergi (a)
Gambar 2.2 Reaksi fotoalergi (b)
F. Klasifikasi
Reaksi fotoalergik dibagi menjadi 2, yaitu :
1. Yang dipicu oleh photosensitizer
a. Photosensitizer kontak
b. Photosensitizer Sistemik
2. Yang tidak berhubungan dengan photosensitizer
a. Tipe cepat : urtikaria solaris
b. Tipe lambat : polymorphous light eruption
10
Berikut penjabarannya :
1. Reaksi fotoalergik yang dipacu oleh photosensitizer eksogen
a. Photosensitizer kontak
Reaksi fotoalergik dapat terjadi akibat pemakaian berbagai macam bahan
secara topical, antara lain aftershave lotion, tabir matahari psoralen dan
salisilalanid halogen serta zat turunannya yang terkandung didalam bahan anti
bakteri atau anti mikotik. Sedangkan penggunaan trichosalicylanilide (TCSA)
dalam sabun, deodoran, dan bahan lain untuk membunuh bakteri merupakan
penyebab terbanyak reaksi fototoksik.
Gambaran klinis
Secara klinis erupsi berbentuk popular, likenoid, dan ekzematosa. Dasar
reaksi tersebut adalah reaksi hipersensitivitas tipe lambat, sehingga lesi akan
timbul dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari setelah pajanan dengan
spectrum sinar ultraviolet gelombang panjang.
Gambaran histopatologik
Terdapat adanya perubahan pada epidermis berupa akantosis, spongiosis,
dan pembentukan vesikel disertai infiltrate padat sel radang bulat di sekitar
pembuluh darah. Gambaran klinis dan histologist reaksi fotoalergik sangat mirip
dengan dermatitis kontak alergik.
Penegakan diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan memperhatikan distribusi dan sifat erupsi,
dan untuk penyebabnya perlu dilakukan uji tempel dengan sinar (photopatch test).
Cara melakukan uji tempel dengan sinar hamper sama dengan uji tempel biasa,
bedanya deretan allergen ditempelkan secara ganda. Dalam waktu 24-48 jam
setelah penempelan dilakukan penyinaran pada salah satu deretan dengan sinar
UV gelombang panjang. Setelah 24 jam, kedua deretan diperiksa dan dilakukan
perbandingan antara deretan yang disinari dengan yang tidak disinari. Hasil yang
positif akan menimbulkan kelainan klinis yang sama, baik secara morfologis
maupun histologis.
Penanggulangan penyakit ini dapat diharapkan member hasil baik apabila
diketahui photosensitizer penyebabnya, serta dapat menghindari baik
photosensitizer penyebab, maupun zat yang bereaksi silang dengannya. Meskipun
demikian 25% penderita dapat mengalami reaksi persisten (persistent light
reactors). Mekanisme fotosensitivitas kronik ini belum diketahui. Adanya reaksi
11
silang dan retensi photosensitizer di kulit mungkin dapat menerangkan mekanisme
terjadinya reaksi kronik tersebut.
b. Photosensitizer sistemik
Reaksi fotoalergi terhadap photosensitizer sistemik lebih jarang ditemukan
daripada photosensitizer kontak, mekanismenya juga belum dimengerti secara
tuntas. Umumnya bahan-bahan seperti griseofulvin, beberapa antihistamin,
pemanis artificial kalsium siklamat, sulfonamide, klorotiazid, dan sulfonil urea
dapat menimbulkan reaksi fotoalergik.
Gambaran klinis
Waktu reaksi berlangsung lambat dengan erupsi klinis bervariasi berupa
papul likenoid sampai perubahan ekzematosa. Kelainan biasanya cepat
menghilang, tetapi ditemukan juga keadaan yang persisten (persistent light
reactivity).
Gambaran histopatologis
Terdapat kelainan likenoid mirip liken planus, yaitu adanya sebukan padat
sel radang bulat berbentuk pita didaerah subepidermal disertai sebukan sel radang
bulat disekitar pembuluh darah dermis bagian bawah. Pada erupsi ekzematosa
akan terlihat edema di epidermis dan sebukan sel radang bulat di dermis.
Penegakan diagnosis
Diagnosis ditegakkan atas dasar anamnesis, gambaran morfologik, dan
histologik. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan tes provokasi dengan pemberian
obat yang dicurigai sebagai penyebabnya, secara sistemik diikuti penyinaran.
2. Reaksi fotoalergik yang tidak berhubungan dengan photosensitizer
a. Tipe cepat : urtikaria solaris
Urtikaria solaris dapat dipacu oleh spectrum berbagai varietas panjang
gelombang, tetapi umumnya reaksi terhadap sinar UV dengan panjang gelombang
kurang dari 370 nm.
Gambaran klinis
Lesi karakteristik pada urtikaria solaris berupa urtika dikelilingi daerah
eritematosa, meskipun kadang-kadang terlihat urtika multiple disertai pseudopodi.
Lokalisasi lesi biasanya didaerah terpajan, tetapi dapat timbul diseluruh tubuh,
meskipun daerah yang sering terpajan sinar matahari bersifat lebih toleran. Waktu
reaksi berkisar antara beberapa detik sampai beberapa menit dan urtikaria yang
timbul sesuai dengan daerah terpajan. Lesi dapat menetap untuk beberapa menit
12
sampai beberapa jam bergantung pada intensitas pajanan. Untuk menunjang
hipotesis bahwa mekanisme yang mendasarinya merupakan reaksi
hipersensitivitas perlu dilakukan evaluasi, baik terhadap spectrum aksi dengan
manometer, maupun antibody yang bersirkulasi secara transfer pasif dengan
serum penderita. Pemeriksaan ini menunjang teori mekanisme alergi yang
mendasari reaksi hipersensitivitas tersebut, meskipun tidak menutup kemungkinan
jika reaksi non imunologik dapat memicu urtikaria solaris.
Penyelidikan yang dilakukan untuk mengetahui antibody yang berperan
pada urtikaria solaris menemukan bahwa antibody tersebut bersifat tidak tahan
panas, merupakan molekul protein yang tidak dapat didialisis, dan mungkin
termasuk golongan IgE. Urtikaria solaris merupakan reaksi fotoalergik yang tidak
berhubungan dengan photosensitizer namun kemungkinan bahwa sensitizer
tersebut tidak dapat dilacak secara endogen dan eksogen tidak dapat disingkirkan.
Hal ini juga ditunjang dengan adanya hubungan antara urtikaria solaris dan
protoporfiria eritropoetika.
Gambaran histopatologis
Gambaran ini kurang dapat menyokong diagnosis. Terdapat pemisahan
jaringan kolagen di dermis dengan sedikit edema disertai sebukan sel radang
perivaskular.
Penegakan diagnosis
Fototes dapat membantu menegakkan diagnosis dan dipakai untuk
pedoman pengobatan. Pengobatan spesifik tidak ada kecuali mengkindarkan
pajanan sinar matahari. Antihistamin golongan H1 kadang-kadang dapat
menghilangkan gejala. Desensitisasi dengan sinar merupakan pengobatan yang
sekarang banyak dipakai.
b. Tipe lambat : polymorphous light eruption (PMLE)
PMLE, yang biasanya tampak sebagai ruam gatal pada kulit yang terpapar
matahari, merupakan masalah kulit terkait matahari kedua paling umum yang
diamati oleh dokter, setelah lecur-surya (sunburn) yang umum. Ini terjadi pada
sekitar 10% sampai 15% populasi Amerika Serikat, dengan mengenai semua ras
dan etnis. Wanita lebih sering terkena PMLE dibanding pria, dan gejala-gejalanya
biasanya dimulai pada awal masa dewasa. Pada iklim sedang, PMLE biasanya
jarang terjadi di musim dingin, tetapi umum selama bulan-bulan musim semi dan
musim panas. Pada banyak kasus, ruam PMLE terjadi setiap musim semi,
13
beberapa saat setelah orang yang bersangkutan mulai menghabiskan lebih banyak
waktu di luar rumah. Pada saat musim semi berganti menjadi musim panas,
keterpaparan matahari yang berulang bisa menyebabkan seseorang menjadi
kurang sensitif terhadap sinar matahari, dan ruam PMLE bisa hilang total atau
secara perlahan menjadi kurang parah. Walaupun efek proses desensitisasi ini,
yang disebut “pengerasan”, biasanya berlangsung sampai akhir musim panas,
namun ruam PMLE sering kembali dengan intensitas penuh pada musim semi
yang akan datang selanjutnya.
Gambaran klinis
Secara klinis gambaran lesi bervariasi, dapat menyerupai prurigo atau
kadang-kadang menyerupai eritema multiforme. Beberapa lesi dapat bersatu
membentuk plakat, dengan lokalisasi di daerah muka. Biasanya terdapat satu
bentuk lesi yang menonjol dan umumnya adalah lesi ekzematosa, lesi akan
tersusun secara tidak beraturan. Kelainan klinis tersebut akan selalu berulang
setiap kali pajanan dengan sinar matahari, meskipun pada keadaan tertentu reaksi
yang terjadi akan semakin ringan. Terdapat dugaan bahwa 30-50% penderita
PMLE akan mengalami kelainan klinis berat pada pajanan pertama, sedangkan
pada pajanan selanjutnya kelainan tersebut akan semakin ringan sehingga
menimbulkan keadaan yang disebut sebagai fenomena hardening.
Melanogenensis dan penebalan stratum korneum akibat pajanan sinar UV
mungkin memegang peranan dalam pathogenesis fenomena tersebut. Lesi PMLE
biasanya timbul antara 30 menit sampai 72 jam setelah pajanan dengan sinar
matahari.
Patogenesis
Patogenesis PMLE masih belum jelas diketahui. Adanya sel-sel radang
bulat perivaskular di dermis menyokong pendapat bahwa hipersensitivitas tipe
lambat memegang peran dalam pathogenesis PMLE. Spektrum aksi terdapat
diantara panjang gelombang 290-320 nm, meskipun panjang yang lain dapat pula
memacu reaksi klinis, sehingga terjadinya PMLE tidak bergantung pada panjang
gelombang.
Gambaran histopatologis
Gambaran histologik epidermis hampir tidak mengalami perubahan pada
lesi popular, akan terlihat edema, spongiosis, dan pembentukan vesikel pada lesi
ekzematosa. Kelainan primer akan tampak di dermis berupa sebukan sel radang
14
bulat di sekitar pembuluh darah seperti ditemukan pada dermatitis kontak alergik.
Meskipun tanda tersebut khas pada kedua keadaan diatas, tetapi tidak mempunyai
nilai diagnostik. Hasil pemeriksaan histopatologik juga dipengaruhi oleh waktu
dan lokalisasi daerah yang dibiopsi.
Penegakkan diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dari hasil anamnesis, ujud kelainan kulit, dan
beberapa pemeriksaan tambahan seperti pemeriksaan darah rutin, biopsi kulit,
foto-testing, dan foto-patch. Pemeriksaan darah dapat digunakan untuk
menyingkirkan adanya lupus eritematosus sistemik (SLE atau lupus). Foto-testing
hanya berguna untuk membedakan PMLE dengan kelainan klinis yang serupa,
karena perubahan klinis PMLE bersifat nonspesifik.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Uji tempel tertutup (Pacth test)
Cara melakukan uji tempel adalah :
1) Bahan alergen yang digunakan adalah The European Standart Patch Test
Allergens, produksi Trolab Hermal Jerman.
2) Lembaran uji tempel di nomori,dan Finn chamber diisi bahan alergen.
3) Lembaran uji tempel dilekatkan di daerah punggung, secara vertikal di antara
scapula kiri dan kanan terkecuali kulit di atas vetebra.
4) Lama penempelan adalah 48 jam.
5) Pelepasan lembaran uji tempel dilakukan setelah 48 jam.
6) Pembacaan hasil uji tempel dilakukan 2 jam setelah pelepasan lembaran uji
tempel, dan pembacaan dilakukan kembali setelah 72 jam.
7) Alat Bantu yang dipakai adalah :
a. Tempat duduk penderita.
b. Kapas pembersih dan alkohol 70%
c. Plester micropore untuk fiksasi unit uji tempel
d. Spidol.
e. Kaca pembesar
Pembacaan hasil uji tempel berdasarkan skor menurut The International Contact
Dermatitis Research Group (ICDRG) yaitu :
? Reaksi meragukan, hanya macula eritema
+ Reaksi lemah (non vesikuler), eritema, infiltrasi, mungkin papula
++ Reaksi kuat (vesikuler),eritema, infiltrasi, papula, edematous atau vesikula
15
+++ Reaksi sangat kuat, ulseratif atau bulla
- Reaksi negatif
IR Reaksi iritan
NT Tidak di uji
Meskipun jarang, dapat terjadi reaksi alergi lambat yang timbul 6 hari atau
lebih setelah dilakukan uji tempel yang menunjukkan sensitisasi uji tempel. Reaksi ini
dapat timbul sampai 3 minggu setelah dilakukan uji tempel, sehingga pasien harus
beritahu untuk melaporkan bila timbul reaksi ini.
2. Uji tempel dengan sinar (photopatch test)
Digunakan untuk bahan yang bersufat fotosensif. Pelaksanaan uji ini sama
dengan uji tempel tertutup hanya dilaksanakan secara duplo (menggunakan dua set
tes, satu set sebagai kontrol). Sebagai sumber sinar ultra violet yang ideal adalah
sinar matahari. Namun bisa juga digunakan lampu xenon, merkuri dan Kromayer
yang disaring dengan kaca jendela sehingga menghasilkan sinar ultra violet A
dengan panjang gelombang > 320 nm. Dapat juga digunakan lampu Woods,
Westinghouse dan Philips dengan panjang gelombang 280-320 nm atau 320-420 nm.
3. Tes provokasi
Provokasi – Netralisasi adalah suatu prosedur yang bertujuan untuk tes alergi
terhadap makanan, hirup, dan bahan kimia lingkungan dengan memaparkan pasien
melalui tes dosis pada bahan-bahan tersebut secara intradermal, subkutan, atau
sublingual, yang bertujuan memicu atau menghalangi gejala-gejala subyektif.
Tes provokasi intrakutan sama dengan titrasi nilai akhir kulit. Tes memakai
dilusi alergen lima kali secara serial atau ekstrak kimia. Protokol berbeda, misalnya
volume suntikan dapat 0,01, 0,02, atau 0,05 ml. Suntikan biasanya diberikan di
lengan atas, dan pasien dicatat semua sensasi subyektif apapun yang terjadi dalam
periode lebih dari 10 menit setelah disuntik. Jenis atau intensitas gejala yang
menyatakan tes positif adalah tidak baku dan tidak selalu sama seperti yang
dilaporkan oleh pasien untuk penyakit yang dites. Jika tidak ada gejala yang
dilaporkan dalam 10 menit, dosis yang lebih tinggi diberikan dengan cara serial
sampai gejala timbul. Sekali tes dinyatakan positif, suatu seri progresif konsentrasi
lebih rendah diberikan sampai mencapai dosis dimana pasien melaporkan tidak ada
sensasi. Sejumlah zat tes ini dianggap `dosis netralisasi`, yang kemudian digunakan
untuk pengobatan kedepan.
16
4. Biopsi kulit
Alat dan Bahan
1) Lidokain 2%
2) Spuit
3) Pisau insisi (skapel)
4) Pinset sirurgis
5) Gunting jaringan
6) Klem jaringan
7) Needle holder
8) Jarum dan benang
Teknik Biopsi Insisi
a. Tentukan daerah yang akan dibiopsi.
b. Rancang garis eksisi dengan memperhatikan segi kosmetik.
c. Buat insisi bentuk elips dengan skalpel nomor 15.
d. Angkat tepi kulit normal dengan pengait atau pinset bergerigi halus.
e. Teruskan insisi sampai diperoleh contoh jaringan. Sebaiknya contoh jaringan ini
jangan sampai tersentuh.
f. Tutup dengan jahitan sederhana memakai benang yang tidak dapat diserap.
Teknik Biopsi Eksisi
Rancang garis eksisi, bila perlu dengan zat pewarna, agar terletak pada RSTL
dan sebaiknya panjang elips empat kali lebarnya. Lebar maksimum ditentukan oleh
elastisitas, mobilitas, serta banyaknya kulit yang tersedia di kedua tepi sayatan.
Banyaknya jaringan sehat yang ikut dibuang tergantung pada sifat lesi, yaitu:
a. Lesi jinak, seluruh tebal kulit diangkat berikut 1-2 mm kulit sehat di tepi lesi
dengan sedikit lemak mungkin perlu dibuang agar luka mudah dijahit.
b. Karsinoma sel basal, angkat seluruh tumor beserta paling kurang 3 mm kulit
sehat.
c. Karsinoma sel skuamosa, angkat seluruh tumor beserta paling kurang 5 mm kulit
sehat.
Kedalaman eksisi tergantung pada ekstensivitas lesi, tapi paling kurang harus
menyertakan seluruh lapisan lemak superfisial.
a. Insisi dengan skalpel nomor 15 hingga menyayat seluruh tebal kulit.
b. Beri jahitan pada salah satu ujung jaringan agar dapat dijadikan patokan oleh ahli
patologi.
17
c. Inspeksi luka dan atasi perdarahan.
d. Lakukan jahitan subkutis dengan benang 3/0 yang dapat diserap untuk
merapatkan lapisan lemak dan menghentikan perdarahan.
e. Bila perlu buat sayatan horisontal di bawah kulit untuk mengurangi tegangan
daerah luka.
f. Tutup dengan jahitan sederhana menggunakan benang yang tidak dapat diserap
H. Diagnosis Banding
1. Dermatitis kontak alergik
Penderita umumnya mengeluh gatal. Pada stadium akut, efloresensi berupa
bercak eritematosa berbatas tegas kemudian diikuti dengan edema, papulovesikel,
vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi
(basah). Pada stadium kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan
mungkin fisur, batasnya tidak jelas. DKA dapat meluas ke tempat lain, misalnya
dengan cara autosensitisasi. Scalp, telapak tangan dan kaki relative resisten terhahap
DKA.
Faktor individu yang berpengaruh dalam timbulnya DKA, yaitu keadaan kulit
pada lokasi konrak (keadaan stratum korneum, ketebalan epidermis), status
imunologik (sedang menderita sakit, terpajan sinar matahari).
2. Eritema multiforme
Faktor-faktor penyebabnya selain alergi terhadap obat sistemik, juga karena
peradangan oleh bakteri dan virus tertentu, rangsangan fisik, misalnya sinar
matahari, hawa dingin, faktor endokrin seperti hamil dan haid, juga bisa karena
keganasan.
Gejala klinisnya berupa erupsi yang timbul mendadak, simetrik dengan tempat
predileksi di punggung tangan, telapak tangan, bagian ekstensor ekstrimitas, dan
selaput lender. Dapat pula berupa macula, papul, dan urtika yang kemudian timbul
lesi vesikobulosa di tengahnya. Gejala khasnya adalah bentuk iris yang terdiri dari 3
bagian, yaitu bagian tengahnya vesikel atau eritema keunguan, dan dikelilingi
lingkaran konsentris pucat, kemudian lingkaran merah.
3. Psoriasis
Faktor genetik berperan dalm timbulnya psoriasis. Bila salah satu orangtuanya
menderita psoriasis, maka risiko menderita mencapai 34-39%. Berbagai faktor
pencetus psoriasis, diantaranya : stress psikis, infeksi fokal oleh streptococcus sp,
trauma (fenomena tetesan lilin, auspitz, dan kobner), endokrin (saat pubertas dan
18
menopause), gangguan metabolic (hipokalsemia, dialysis), obat (betaadrenergic
blocking agents, lithium, antimalaria, penghentian mendadak kortikosterois
sistemik), alcohol, dan merokok.
Tempat prdileksi pada scalp, perbatasan daerah tersebut dengan muka,
ekstrimitas bagian ekstensor terutama siku dan lutut, dan daerah lumbosakral.
Efloresensi berupa bercak eritema yang meninggi (plak) dengan skuama diatasnya.
Skuama berlapis-lapis, kasar, dan berwarna putih seperti mika, serta transparan.
4. Dermatitis seboroik
Faktor predisposisinya berhubungan erat dengan keaktivan glandula sebacea
sehingga merangsang peningkatan proliferasi epidermis, juga karena adanya aktivitas
yang berlebihan Pityrosporum ovale sehingga menyebabkan reaksi inflamasi.
Efloresensinya terdiri atas eritema dan skuama yang berminyak dan agak
kekuningan, dengan batas yang kurang tegas, dapat berupa eritema dan krusta yang
tebal. Biasanya terdapat pada daerah kulit kepala, dan meyebar ke dahi, glabella,
telinga, dan leher.
I. Penatalaksanaan
1. Non Farmakologis
Pasien perlu untuk diberitahukan tentang perkembangan atau
perjalanan penyakit dari PMLE. Pengobatan yang paling efektif adalah dengan
menghindari pajanan sinar matahari. Sebaiknya pasien menggunakan pakaian yang
melindungi seluruh tubuh, seperti menggunakan kaos dengan lengan panjang, celana
panjang atau rok panjang, dan topi berpinggir lebar atau sejenisnya jika hendak
keluar rumah. Pasien juga sebaiknya menggunakan sunscreen yang memiliki SPF
(factor proteksi matahari) sekurang-kurangnya 15 atau lebih dengan spectrum
proteksi yang luas terhadap sinar ultraviolet A dan B. Untuk bibir, pasien sebaiknya
menggunakan sunblock dengan SPF 20 atau lebih. Pasien juga dianjurkan
menggunakan kaca mata hitam dengan proteksi sinar ultraviolet dan batasi waktu
diluar rumah ketika matahari sedang mencapai puncak terpanas, biasanya antara jam
10 pagi sampai jam 3 sore.
2. Farmakologis
a. Emolien
Emolien merupakan pelembab. Digunakan untuk mengurangi kekeringan pada
kulit. Contoh emolien yang sering digunakan antara lain : aqueouscream,
gliserine dan cetomacrogol cream, wool fat lotions.
19
b. Steroid topikal
Untuk menghilangkan peradangan pada kulit dan mengurangi iritasi kulit.
Misalnya dengan pemberian triamcinolone 0,025-0,1%. Bila lesi masih eksudatif,
sebaiknya dikompres terlebih dahulu, misalnya dengan menggunakan larutan
permanganas kalikus 1 : 10.000.
c. Antihistamin oral
Antihistamin digunakan sebagai sedatif dan untuk mengurangi gatal.
Contohnya hidroksizin dengan dosis 3-4 x 25 mg sehari.
d. Antibiotik oral
Antibiotik dapat digunakan untuk mencegah infeksi sekunder atau bila
ditemukan infeksi bacterial. Antibiotik yang dapat diberikan seperti eritromisis,
tetrasiklin 20-40 mg/kgBB selama 7-14 hari, atau amoksilin 4 x 500mg/hari
selama 7-10 hari.
e. Steroid injeksi
Injeksi steroid digunakan pada kondisi kasus yang sangat berat. Contoh injeksi
steroid yang dapat diberikan yaitu triamsinolon asetonida 0,1 mg/ml (0,1 ml /
suntikan) secara intralesi, prednisone 30 mg/hari.
J. Prognosis
Seperti yang diketahui bahwa perkembangan atau perjalanan penyakit ini bersifat
kronik dan cenderung sering berulang (residif). Mencegah atau menghindari dari faktor-
faktor yang memperburuk atau meningkatkan frekuensi untuk cenderung berulang dengan
menggunakan pelembab pada kulit akan sangat membantu mencegah penyakit ini.
Adapun prognosis bervariasi dalam setiap individu. Fotosensitivitas reaksi fotoalergik
cenderung residif pada sebagian besar kasus. Umumnya prognosis dari penyakit kulit ini
adalah baik.
20
BAB IIIPEMBAHASAN
A. Penegakkan Diagnosis
Penyakit kulit yang terdapat pada pasien dalam kasus adalah fotosensitivitas
reaksi fotoalergik. Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik status dermatologis yang
mendukung ke arah diagnosis kerja fotosensitivitas reaksi fotoalergik adalah sebagai
berikut :
Hasil anamnesis :
1. Keluhan utama gatal yang dirasakan di wajah, leher, dan kedua tangan. Hal ini sesuai
predileksi dari fotosensitivitas reaksi fotoalergik, yaitu pada daerah-daerah yang
sering terpajan sinar matahari dan dapat meluas dari daerah terpajan.
2. Keluhan mulai dirasakan sejak sekitar 1 minggu yang lalu. Hal ini sesuai dengan sifat
fotosensitivitas reaksi fotoalergik, yaitu minimal membutuhkan waktu 30 menit
sampai 3 hari setelah pajanan dengan sinar matahari.
Hasil pemeriksaan fisik status dermatologis :
1. Lokasi : region fasialis, coli, dan ekstremitas superior dekstra et sinistra. Hal ini
sesuai predileksi dari fotosensitivitas reaksi fotoalergik.
2. Efloresensi : Plak eritema berbatas tegas, edem, skuama tebal, hiperpigmentasi dan
likenifikasi-fissura; dengan penyebaran simetris di kedua belah tangan. Hal ini
sesuai dengan efloresensi fotosensitivitas reaksi fotoalergik.
3. Secara umum, kondisi kulit pasien tampak kering (xerosis), terutama terlihat pada
kedua tangan pasien.
B. Menyingkirkan Diagnosis Banding
1. Dermatitis kontak alergik
Disingkirkan karena walaupun dari hasil anamnesis terdapat keluhan gatal pada daerah
tubuh yang mudah kontak (wajah, ekstrimitas superior), ada riwayat terpajan sinar
matahari, namun dari gambaran klinis dijumpai hal yang berbeda, yaitu efloresensi
berupa eksudasi (basah) pada stadium akut, dan papul pada stadium kronik.
2. Eritema multiforme
Disingkirkan karena walaupun dari hasil anamnesis terdapat keluhan gatal, dan ada
riwayat terpajan sinar matahari, namun tempat predileksi biasanya juga di telapak
tangan dan selaput lendir. Selain itu juga gambaran khasnya adalah bentuk iris.
21
3. Psoriasis
Disingkirkan karena walaupun dari hasil anamnesis terdapat riwayat keluarga dengan
keluhan yang sama, juga dari efloresensi mempunyai kuama yang tebal, namun pada
psoriasis biasanya tidak disertai dengan keluhan gatal, dan tidak terpengaruh dengan
riwayat pajanan sinar matahari.
4. Dermatitis seboroik
Disingkirkan karena walaupun dari hasil anamnesis terdapat keluhan gatal, dan
efloresensi yang berupa eritema, skuama, dan krusta namun berminyak dan dengan
predileksi yang banyak terdapat di biasanya terdapat pada daerah kulit kepala, dan
meyebar ke dahi, glabella, telinga, dan leher serta tidak dipengaruhi dengan riwayat
pajanan sinar matahari.
C. Penatalaksanaan
1. Non Farmakologis
Pengobatan yang paling efektif adalah dengan menghindari pajanan sinar
matahari. Sebaiknya pasien menggunakan pakaian yang melindungi seluruh tubuh,
seperti menggunakan kaos dengan lengan panjang, celana panjang atau rok panjang,
dan topi berpinggir lebar atau sejenisnya jika hendak keluar rumah. Pasien juga
sebaiknya menggunakan sunscreen yang memiliki SPF (factor proteksi matahari)
sekurang-kurangnya 15 atau lebih dengan spectrum proteksi yang luas terhadap sinar
ultraviolet A dan B. Untuk bibir, pasien sebaiknya menggunakan sunblock dengan
SPF 20 atau lebih. Pasien juga dianjurkan menggunakan kaca mata hitam dengan
proteksi sinar ultraviolet dan batasi waktu diluar rumah ketika matahari sedang
mencapai puncak terpanas, biasanya antara jam 10 pagi sampai jam 3 sore.
2. Farmakologis
a. Injeksi metilprednisolon 125 mg + difenhidramin 1 ampul (iv)
Metilprednisolon merupakan kortikosteroid dengan kerja intermediate yang
termasuk kategori adrenokortikoid, anti-inflamasi dan imunosupresan.
Difenhidramin adalah antihistamin yang menghambat pelepasan histamin (H1)
dan asetilkolin. Dalam kasus ini, dengan keadaan lesi kulit yang sudah
berlangsung kronis dan kondisi gatal pasien yang cukup mengganggu aktivitas
dan tidur, maka diperlukan kortikosteroid dan antihistamin sistemik, sehingga
diberikan injeksi metilprednisolon 125 mg + difenhidramin 1 ampul secara
intravena.
22
b. Metilprednisolon 4 mg tab 2x1 sehari
Metilprednisolon ini diberikan secara oral, dengan dosis awal 4-48 mg/hari,
dengan indikasi untuk beberapa jenis dermatitis dan reaksi alergi.
c. Loratadine 10 mg tab 2x1 sehari
Loratadine adalah suatu derivat azatadin. Absorbsinya cepat. Kadar puncak
dicapai setelah 1 jam pemberian. Waktu paruh 8-11 jam, mula kerja sangat cepat
dan lama kerja adalah panjang. Waktu paruh descarboethoxy-loratadin 18-24
jam.. Matabolitnya yaitu descarboetboxy-loratadin (DCL) bersifat aktif secara
farmakologi clan juga tidak ada kumulasi. Loratadin dibiotransformasi dengan
cepat di dalam hati dan di ekskresi 40% di dalam urine dan 40% melalui empedu.
Pada waktu ada gangguan fiungsi hati waktu paruh memanjang. Dosis yang
dianjurkan adalah 10 mg 1 X sehari.
d. Inerson + Asam Salisilat 3% + LCD 5% + Vas Album
Inerson mengandung Desoximetasone, suatu kortikosteroid yang
mempunyai khasiat sebagai antiflogistik, antipruritik. Digunakan untuk berbagai
macam eksema, dermatitis dan psoriasis. Tiap gram salep mengandung
Desoximetasone 2,5 mg. Pada pengobatan jangka panjang dengan preparat yang
mengandung kartikosteroid, dapat timbul gejala-gejala hipopigmentasi, atropi
kulit dan stria. Kadang kala juga terjadi iritasi kulit seperti rasa gatal dan rasa
panas.
Sebagai antiseptic, asam salisilat merupakan zat yang mengiritasi kulit
dan selaput lendir. Asam salisilat tidak diserap oleh kulit, tetapi membunuh sel
epidermis dengan sangat cepat tanpa memberikan efek langsung pada sel dermis.
Setelah pemakaian beberapa hari akan menyebabkan terbentuknya lapisan-lapisan
kulit yang baru.
Campuran asidum salisilikum dan tar (LCD5%) mempunyai efek
antipruritus dan anti inflamasi pada kulit. Dipakai pada lesi kronis, jangan pada
lesi akut. Sediaan dalam bentuk salep hidrofilik, misalnya yang mengandung
likuor karbonis detergen 5% sampai 10%, atau crude coal tar 1% sampai 5%.
Vas album adalah contoh salep dengan dasar senyawa hidrokarbon atau
dasar salep berlemak dengan sifat fisikanya, yaitu tidak mengandung air, tidak
tercuci oleh air. Fungsinya adalah sebagai emolien (pendingin) dan sebagai
protektan.
.
23
D. Prognosis
Seperti yang diketahui bahwa penyakit fotosensitivitas reaksi fotoalergik ini
memiliki perkembangan atau perjalanan penyakit yang cenderung kronis dan residif,
sehingga untuk prognosis ad sanationam adalah dubia ad bonam. Selama pasien dapat
menghindari hal-hal yang menjadi faktor predisposisi dari penyakit ini, maka munculnya
kekambuhan keluhan atau gejala dapat diminimalisasi.
24
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Dermatology. 2012. Solaris Dermatitis. Availble from URL :
http://www.aad.org/skin-conditions/dermatology-a-to-z/nummular-dermatitis.
Diakses pada tanggal 25 Maret 2012.
Djuanda, Adhi. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Jakarta : FKUI.
Gapar, R. Soetiono. Farmakologi obat-obat antihistamin non sedatif pada penyakit Alergi.
Diakses pada tanggal 25 maret 2012. Available from URL :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3491/1/farmakologi-soetiono.pdf.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid II. Edisi 3. Jakarta : FKUI.
Siregar, R.S. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : EGC.
Trihapsoro, Iwan. 2003. Dermatitis kontak alergik pada pasien rawat jalan Di RSUP Haji
Adam Malik Medan. Diakses pada tanggal 25 maret 2012. Available from URL :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6372/1/kulit-iwan.pdf.