isi refreshing jamur kulit 1 (2).doc

Upload: darari-genadita

Post on 30-Oct-2015

121 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

word

TRANSCRIPT

REFRESHING PENYAKIT KULIT OLEH JAMUR

MIKOSISI. Definisi

Mikosis ialah penyakit yang disebabkan oleh jamur.

II. Klasifikasi

Mikosis dibagi menjadi 2 klasifikasi besar, yaiu Mikosis Profunda & Mikosis Superfisialis.

A. Mikosis Profunda

Mikosis profunda terdiri atas beberapa penyakit yang disebabkan jamur, dengan gejala klinis tertentu yang menyerang alat di bawah kulit, mislnya traktus intestinalis, traktus respiratorius, traktus urogenitalis, traktus kardiovaskular, susunan saraf sentral, otot, tulang, dan kadang-kadang kulit. Kelainan kulit pada mikosis profunda dapat berupa afek primer, maupun akibat proses dari jaringan di bawahnya (per kontinuitatum).

Mikosis profunda biasanya terlihat dalam klinis morfologik dapat berupa tumor, infiltrasi peradangan vegetatif, fistel, ulkusm atau sinus, tersendiri maupun bersamaan. 1. Misetoma

Misetoma adalah penyakit kronik, suspuratif dan granulomatosa yang dapat disebabkan bakteri Actinomyces dan Nocardia, yang termasuk Schizomycetes dan Eumycetes atau jamur berfilamen.

Gejala klinis biasana terdiri atas pembengkakan, abses, sinus, dan fistel multipel. Di dalam sinus ditemukan butir-butir (granules) yang berpigmen yang kemudian dikeluarkan melalui eksudat.

Berhubungan dengan penyebabnya, misetoma yang disebabkan Actinomyces disebut actinomycotic mycetoma, yang disebabkan bakteri disebut botryomycosis dan yang disebabkan jamur berfilamen maduromycosis.

Gejala klinis biasanya merupakan lesi kulit yang sirkumsrip dengan pembengkakan seperti tumor jinak dan harus disertai butir-butir. Inflamasi dapat menjalar dari permukaan sampai ke bagaian dalam dan dapat menyerang subkutis, fasia, otot, dan tulang. Sering terbentuk fistel, yang mengeluarkan eksudat. Butir-butir sering bersama-sama eksudat mengalir ke luar dari jaringan.

Diagnosis dibuat berdasarkan klinis morfologik sesuai dengan uraian di atas. Namun bila disokong dengan gambaran histologik dan hasil biakan, diagnosis akan lebih mantap. Lagi pula penentuan spesies penyebab sangat penting artinya untuk terapi dan prognosis.

Pengobatan misetoma biasanya harus disertai reseksi radikal, bakan amputasi kadang-kadang perlu dipertimbangkan. Obat-obat, misalnya kombinasi kotrimoksazol dengan streptomisin dapat bermanfaat, bila penyakit yang dihadapi adalah misetoma aktinomikotik, tetapi pengobatan memerlukan waktu yang lama (9 bulan1 tahun) dan anti fungal, misalnya itrakonazol dapat dipertimbangkan untuk misetoma maduromikotik..

Prognosis quo ad vitam umumnya baik. Pada maduromikosis prognosis quo ad sationam tidak begitu baik bila dibandingkan dengan aktinomikosis/botriomikosis. Diseminasi limfogen atau hematogen dengan lesi pada alat-alat dalam merupakan kecualian.

2. Sporotrikosis

Sporotrikosis adalah infeksi kronis yang disebabkan Sporotrocium schenkii dan ditandai dengan pembesaran kelenjar getah bening. Kulit dan jaringan subkutis di atas nodus sering melunak dan pecah membentuk ulkus yang indolen.

Penyakit jamur ini mempunyai insiden yang cukup tinggi pada daerah tertentu. Diagnosis klinis umumnya mudah dibuat berdasarkan kelainan kulit yang multipel yang umumnya khas. Penyakit ini umumnya ditemukan pada pekerja di hutan maupun petani.

Bila tidak terjadi diseminasi melalui saluran getah bening diagnosis sukar dibuat. Selain gejala klinis, yang dapat menyokong diagnosis adalah pembiakan terutama pada mencit atau tikus, dan pemeriksaan histopatologik. Pernah dilaporkan beberapa bentuk di paru dan alat dalam lain. Pada kasus ini rupanya terjadi infeksi melalui inhalasi.

Pengobatan yang memuaskan biasanya dicapai dengan pemberian larutan kalium yodida jenuh oral. Dalam hal yang rekalsitran pengobatan dengan amfoterisin B dan itrakonazol dapat diberikan.

3. Kromomikosis

Kromomikosis atau kromoblastomikosis atau dermatitis verukosa adalah penyakit jamur yang disebabkan bermacam-macam jamur berwarna. Penyakit ini ditandai dengan pembentukan nodus verukosa kutan yang perlahan-lahan, sehingga akhirnya membentuk vegetasi papilomatosa yang besar. Pertumbuhan ini dapat menjadi ulkus atau tidak, biasanya ada di kaki dan tungkai, namun lokasi di tempat lain pernah ditemukan, misalnya pada tangan, muka, telinga, leher, dada, dan bokong. Penyakit ini kadang-kadang dilihat di Indonesia. Sumber penyakit biasanya dari alam dan terjadi infeksi melalui trauma.

Penyakit tidak ditularkan dari manusia ke manusia dan belum pernah dilaporkan terjadi pada binatang. Diseminasi dapat terjadi melalui autoinokulasi, ada juga kemungkinan penyebaran melalui saluran getah bening. Penyebaran melalui darah dengan terserangnya susunan saraf sentral pernah dilaporkan. Walaupun penyakit jamur ini biasanya terbatas pada kulit, bila lesinya luas dapat mengganggu kegiatan penderita sehari-hari.

Pengobatannya sulit. Terapi sinar X pernah dilakukan dengan hasil yang berbeda-beda. Kadang-kadang diperlukan amputasi. Pada kasus lain reseksi lesi mikotik disusul dengan skin graft memberi hasil yang memuaskan. Obat-obatan biasannya memberikan hasil yang kurang memuaskan dan harus diberikan dalam waktu yang lama.

Pada akhir-akhir ini hasil pengobatan yang memuaskan dicapai dengan kombinasi amfoterisin B dan 5-fluorositosin. Demikian pula pengobatan dengan kantong-kantong panas di Jepang. Prognosis, seperti diuraikan pada hasil terapi di atas, tidak begitu baik, kecuali pada hasil terapi yang baru. Itrakonazol pada akhir-akhir ini memberikan harapan baru pada penyakit ini, terutama bila penyebabnya adalah Cladosporium carrionii.

4. Zigomikosis, Fikomikosis, Mukormikosis

Penyakit jamur ini terdiri atas pelbagai infeksi jamur pula yang taksonomi dan peranannya masih didiskusikan, oleh karena itu di dalam buku-buku baru diberikan nama umum, yaitu zigomikosis.

Zygomycetes meliputi banyak generea, yaitu mucor, Rhizopus, Absidia, Mortierella, dan Cunning-hamella. Penyakit yang disebabkan oleh golongan jamur ini dapat disebabkan oleh golongan jamur ini dapat disebut sesuai dengan lokalisasi atau alat dalam yang terserang. Golongan penyakit jamur ini dapat dinamakan juga sesuai dengan jamur penyebabnya, misalnya mukomikosis dan sebagainya.

Fikomikosis subkutan adalah salah satu bentuk penyakit golongan ini yang kadang-kadang dilihat. Penyakit ini dilaporkan pertama kali di Indonesia tahun 1956. Setelah itu banyak kasus dilaporkan di Indonesia, Afrika, dan India. Kelainan timbul di jaringan subkutan antara lain di dada, perut, atau lengan atas sebagai nodus subkutan yang perlahan-lahan membesar setelah sekian waktu. Nodus tersebut konsistensinya keras dan kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder. Penderita pada umumnya tidak demam dan tidak disertai pembesaran kelenjar getah bening regional.

Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologik dan biakan. Jamur agak khas, hifa lebar 6-50 , seperti pita, tidak bersepta dan coenocytic.

Sebagai terapi fikomikosis subkutan dapat diberikan larutan jenuh kalium yodida. Mulai dari 10-15 tetes 3 kali sehari dan perlahan-lahan dinaikkan sampai terlihat gejala intoksikasi, penderita mual dan muntah. Kemudian dosis diturunkan 1-2 tetes dan dipertahankan terus sampai tumor menghilang. Itrakonazol berhasil mengatasi fikomikosis subkutan dengan baik. Dosis yang diberikan sebanyak 200 mg sehari selama 2-3 bulan. Prognosis bentuk klinis ini umumnya baik.

B. Mikosis Superfisialis

Mikosis Superfisialis terbagi atas 2, yaitu Dermatofitosis dan Non-Dermatofitosis

1. Dermatofitosis (tinea, ringworm, kurap, herpes sinata, teigne)

Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan golongan jamur dermatofita.

a. Etiologi

Dermatofita ialah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis, memiliki sifat mencernakan keratin. Dermatofitas terbagi atas 3 genus, yaitu Mikrosporum, Trichophyton, dan Epidermophyton.

b. Klasifikasi

Dermatofitosis dibagi menjadi dermatimikosis, trikomikosis, dan onikomikosis berdasarkan bagian tubuh manusia yang terserang. Pembagian yang lebih praktis dan dianut oleh para spesialis kulit adalah yang berdasarkan lokasi. Dengan demikian dikenal bentuk-bentuk :

Tinea kapitis, dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala

Tinea barbae, dermatofitosis pada dagu dan jenggot

Tinea kruris, dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar anus, bokong, dan kadang-kadang sampai perut bagian bawah

Tinea pedis et manum, dermatofitosis pada kaki dan tangan

Tinea unguium, dermatofitosis pada kuku jari tangan dan kaki

Tinea korporis, dermatofitosis pada bagianlain yang tidak termasuk bentuk 5 tinea di atasKeenam istilahtersebut dapat dianggap sebagai sinonim tinea korporis.Selain 6 bentuk tinea masih dikenal istilah yang mempunyai arti khusus, yaitu : Tinea imbrikata, dermatofitosis dengan susunan skuama yang konsentris dan disebabkan Trichophyton concentricum Tinea favosa atau favus, dermatofitosis yang terutama disebabkan Trichophyton schoenlini, yang secara klinis antara lain terbentuk skutula dan berbau seperti tikus (mousy odor) Tinea fasialis, tinea aksilaris, yang juga menunjukkan daerah morfologis.

Pada akhir-akhir ini dikenal nama tinea inkognito, yang berarti dermatofitosis dengan bentuk klinis tidak khas oleh karena telah diobati dengan steroid topikal kuat.

c. Gejala klinis

Tinea glabrosa atau dermatofisosis pada kulit tidak berambut mempunyai morfologi khas. Penderita merasa gatal dan kelainan berbatas tegas. Bagian tepi lesi lebih aktif (lebih jelas tanda-tanda peradangan) daripada bagian yang tengah. Eczema marginatum adalah istilah yang tepat untuk lesi dermatomikosis secara deskriptif.

Bergantung pada berat-ringannya reaksi radang dapat dilihat berbagai macam lesi kulit. Wujud lesi yang beraneka ragam ini dapat berupa sedikit hiperpigmentasi dan skuamasi, menahun oleh Trichophyton rubrum sampai kerion Celsi yang disebabkan Microsporum canis. Di antara 2 bentuk ekstrim ini, dapat dilihat macam-macam kelainan kulit dengan tingkat peradangan yang berbeda. Beberapa penulis berdasarkan berat ringannya perdangan lesi, menggunakan istilah dermatofitosis superfisialis, media, dan profunda.1) Tinea pedis (athletes foot, ringworm of the foot, kutu air)

Tinea pedis ialah dermatofitosis pada kaki, terutama pada sela-sela jari dan telapak.

a) Bentuk interdigitalis adalah bentuk tinea pedis yang tersering terlihat. Di antara jari IV dan V terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis. Kelainan ini dapat meluas ke bawah jari (subdigital) dan juga ke sela jari yang lain. Oleh karena daerah ini lembab, maka sering dilihat maserasi. Aspek klinis maserasi berupa kulit putih dan rapuh. Bila bagian kulit yang mati ini dibersihkan, maka akan terlihat kulit baru, yang umumnya juga terserang oleh jamur. Bentuk klinis ini dapat berlangsung bertahun-tahun dengan menimbulkan sedikit keluhan sama sekali. Pada suatu ketika kelainan ini dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri sehingga terjadi selulitis, limfangitis, limfadenitis, dan dapat pula terjadi erisipelas, yang disertai gejala-gejala umum.

b) Bentuk moccasin foot. Pada seluruh kaki, dari telapak, tepi sampai punggung kaki terlihat kulit menebal dan bersisik; eritema biasanya ringan dan terutama terlihat pada bagian tepi lesi. Di bagian tepi lesi dapat pula dilihat papul dan kadang-kadang vesikel.

c) Bentuk subakut terlihat vesikel, vesiko-pustul dan kadang-kadang bula. Kelainan ini dapat mulai pada daerah sela jari, kemudian meluas ke punggung kaki atau telapak kaki. Isi vesikl berupa cairan jernih yang kental. Setelah pecah, vesikel tersebut meninggalkan sisik yang berbantuk lingkaran yang disebut koleret. Infeksi sekunder dapat terjadi juga pada bentuk ini, sehingga dapat menyebabkan selulitis, limfangitis, dan kadang-kadang menyerupai erisipelas. Jamur terdapat pada bagian atap vesikel. Untuk menemkannya, sebaiknya diambil atap vesikel atau bula untuk diperiksa secara sediaan langsung atau untuk dibiak.

Tinea pedis banyak terlihat pada orang yang dalam kehidupan sehari-hari banyak bersepatu tertutup disertai perawatan kaki yang buruk dan para pekerja dengan kaki yang selalu atau sering basah. Penderita biasanya orang dewasa.

Tinea manum adalah dermatofitosis pada tangan. Semua bentuk yang dilihat di kaki dapat terjadi pula pada tangan.

2) Tinea unguium (dermatophytic onycomycosis, ringworm of the nail)

Tinea unguium adalah kelainan kuku yang disebabkan oleh jamur dermatofita.

a) Bentuk subungual distalis

Bentuk ini mulai dari tepi distal atau distolateral kuku. Proses ini menjalar ke proksimal kuku dan di bawah kuku terbentuk sisa kuku yang rapuh. Kalau proses berjalan terus, maka permukaan kuku bagian distal akan hancur dan yang terlihat hanya kuku rapuh yang menyerupai kapur.

b) Leukonikia trikofita atau leukonikia mikotika

Kelainan kuku pada bentuk ini merupakan leukonikia atau keputihan di permukaan kuku yang dapat dikerok untuk dibuktikan adanya elemen jamur. Kelainan ini dsebabkan oleh trichophyton mentagrophytes.

c) Bentuk subungual proksimalis

Bentuk ini mulai dari pangkal kuku bagian proksimal terutama menerang kuku dan membentuk gambaran klinis yang khas, yaitu terlihat kuku di bagian disal yang masih utuh, sedangkan bagian proksimal rusak. Biasanya penderita tinea unguium mempunyai dermatofitosis di tempat lain yang sudah sembuh atau yang belum. Kuku kaki lebih sering diserang daripada kuku tangan

Tinea unguium adalah dermatofitosis yang paling sukar disembuhkan daripada kuku tangan.

3) Tinea kruris (eczema marginatum, dhobie itch, jockey itch, ringworm of the groin)

Tinea kruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus. Kelainan ini dapat merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah genito-krural saja, atau meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah, atau bagian tubuh yang lain.

Kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi terbatas tegas. Peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah tengahnya. Efloresensi terdiri dari macam-macam bentuk yang primer dan sekumder (polimorfi). Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik. Erosi dan kelarnya cairan biasanya akibat garukan.

4) Tinea Korporis (tinea sirsinata, tinea glabrosa, Scherende Flechte, kurap, herpes sircine trichopytique)

Tinea korporis merupakan dermatofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin).

a) Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi blat atau lonjong, berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang. Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada umumnya merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain. Kelainan kulit dapat pula terlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir polikistik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu. Bentuk dengan tanda radang yang lebih sering dilihat pada anak-anak daripada orang dewasa karena umumnya mereka mendapat infeksi baru pertama kali

b) Pada tinea korporis yang menahun, tanda radang mendadak biasanya tidak terlihat lagi. Kelaianan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan bersama-sama dengan kelainan pada sela paha. Dalam hal ini disebut tinea corporis et cruris atau sebaliknya tinea cruris et corporis. Bentuk menahun yang disebabkan oleh trichophyton rubrum biasanya dilihat bersama-sama dengan tinea unguium.c) Bentuk khas tinea korporis yang disebabkan oleh trichophyton concentricum disebut tinea ombrikata. Penyakit ini terdapat di berbagai daerah tertentu, misalnya Kalimantan, Sulawesi, Irian Barat, Kepulauan Aru dan Kei dan pulau Jawa. Tinea imbrikata mulai dengan bentuk papul berwarna cokelat, yang perlahan-lahan menjadi besar. Stratum korneum bagian tengah ini terlepas dari dasarnya dan melebat. Proses ini, setelah beberapa waktu mulai lagi dari bagian tengah, sehingga membentuk lingkaran-lingkaran konsentris. Bila dengan jari tangan kita meraba dari bagian tengah keluar, akan terasa jelas skuama yang menghadap ke dalam. Lingkaran-lingkaran sukama konsentris bila menjadi besar dapat bertemu dengan lingkaran-lingkaran sebelahnya sehingga membentuk pinggir yang polikistik. Pada permulaan infeksi penderita dapat merasa sangat gatal, dakan tetapi kelainan yang menahun tidak menimbulkan keluhan pada penderita. Pada kasus menahun, lesi kulit kadang-kadang dapat menyerupai iktiosis. Kulit kepala penderita dapat terserang, akan tetapi rambut biasanya tidak. Tinea unguium sering menyertai penyakit ini.

d) Bentuk tinea favosa atau favus, adalah bentuk lain tine korporis yang disertai kelainan pada rambut. Penyakit ini biasanya dimulai di kepala sebagai titik kecil di bawah kulit yang berwarna merah kuning dan berkembang menjadi krusta berbentuk cawan (skutula) dengan berbagai ukuran. Krusta tersebut biasanya ditembus oleh satu atau dua rambut dan bila krusta diangkat terlihat dasar yang cekung merah dan membasah. Rambut kemudian tidak berkilat lagi dan akhirnya terlepas. Bila tidak diobati, penyakit ini meluas ke seluruh kepala dan meninggalkan part dan botak. Berlainan dengan tinea korporis, yang disebabkan oleh jamur lain, favus tidak menyembuh pada usia akil balik. Biasanya dapat tercium bau tikus (mousy odor) pada para penderita favus. Kadang-kadang penyakit ini menyerupai dermatitis seboroika. Tinea favosa pada kulit dapat terlihat sebagai kelainan kulit papulovesikel dan papuloskuamosa, disertai kelainan kulit berbentuk cawan yang khas, yang kemudian menjadi jaringan parut. Favus pada kuku tidak dapat dibedakan dengan tinea unguium pada umumnya, yang disebabkan oleh spesies dermatofita yang lain. Tiga spesies dermatofita dapat menyebabkan favus, yaitu Trichophyton violaceum, Trichophyton schoenleini, dan Microsporum gypseum. Berat ringan bentuk klinis yang tampak tidak bergantung pada spesies jamur penyebab, akan tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh tingkat kebersihan, umur, dan ketahanan penderita sendiri.

5) Tinea kapitis (ringworm of the scalp)

Tinea kapitis adalah kelainan pada kulit dan rambut kepala yang disebabkan oleh spesies dermatofita. Kelainan ini dapat ditandai dengan lesi bersisik, kemerah-merahan, alopesia, dan kadang-kadang terjadi gambaran klinis yang lebih berat, yang disebut dengan kerion.

Di dalam klinik tinea kapitis dapat dilihat sebagai 3 bentuk yang jelas, yakni :

a) Grey patch ringworm

Bentuk ini merupakan bentuk yang paling sering ditemukan pada anak-anak dan disebabkan oleh genus Microsporum. Penyakit mulai dengan papul merah yang kecil-kecil di sekitar rambut. Papul ini melebar dan membentuk bercak, yang menjadi pucat dan bersisik. Keluhan penderita adalah rasa gatal. Warana rambut menjadi abu-abu dan tidak berkilat lagi. Rambut mudah patah dan terlepas dari akarnya, sehingga mudah dicabut dengan pinset tanpa rasa nyeri. Semua rambut di daerah tersebut terserang oleh jamur, sehingga dapat terbentuk alopesia setempat.

Tempat-tempat ini terlihat sebagai grey patch. Grey patch yang dilihat di dalam klinik tidak menunjukkan batas-batas daerah sakit dengan pasti, Pada pemeriksaan lampu Wood dapat dilihat fluoresensi hijau kekuningan pada rambut yang sakit melampaui batas grey patch tersebut. Pada kasus tanpa kelihan, pemeriksaan dengan lampu Wood banyak membantu diagnosis.b) Kerion

Adalah reaksi peradangan yang berat pada tinea kapitis, berupa pembengkakan yang menyerupai sarang lebah dengan sebukan sel radang yang padat di sekitarnya. Bila penyebabnya Microsporum canis dan Microsporum gypseum, pembentukan kerion ini lebih sering dilihat, agak kurang bila penyebabnya Trichophyton tonsurans, dan sedikit bila penyebabnya Trichophyton violaceum. Kelainan ini dapat menimbulkan jaringan parut dan berakibat alopesia yang menetap. Jaringan parut yang menonjol kadang dapat terbentuk.

c) Black dot ringworm

Terutama disebabkan oleh Trichophyton tonsurans dan Trichophyton violaceum. Pada permulaan penyakit, gambaran klinisnya menyerupai kelainan yang disebabkan oleh genus Microsporum. Rambut yang terkena infeksi patah, tepat pada muara folikel, dan yang tertinggi asalah ujung rambut yang penuh spora. Ujung rambut yang hitam di dalam folikel rambut ini memberi gambaran black dot. Ujung rambut yang patah, kalau tumbuh kadang-kadang masuk ke bawah permukaan kulit. Dalam hal ini perlu dilakukan irisan kulit untuk mendapat bahan biakan jamur.III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegakkan diagnosis terdiri atas pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pemeriksaan untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan klinis, yang dapat berupa kerokan kulit, rambut, dan kuku. Bahan untuk pemeriksaan mikologik diambil dan dikumpulkan sebagai berikut :

Terlebih dahulu tempat kelainan diberihkan dengan spiritus 70 % kemudian untuk :

A. Kulit tidak berambut (glabrous skin) dari bagian tepi kelainan sampai dengan bagaian sediki dari luar kelainan sisik kulit dan kulit dikerok dengan pisau tumpul steril.

B. Kulit berambut dicabut pada bagian klit yang mengalami kelainan; kulit di daerah tersebut dikerok untuk mengumpulkan sisik kulit; pemeriksaan dengan lampu Wood dilakukan sebelum pengumpulan bahan untuk mengetahui lebih jelas daerah yang terkena infeksi dengan kemungkinan adanya fluoresensi pada kasus tinea kapitis tertentu.

C. Kuku diambil dari permukaan kuku yang sakit dan dipotong sedalam-dalamnya sehingga mengenai seluruh tebal kuku, bahan di bawah kuku diambil pula.

Pemeriksaan langsung sediaan basah dilakukan dengan mikroskop, mula-mula dengan pembesaran 10 x 10, kemudian dengan pembesaran 10 x 45. Pemeriksaan dengan pembesaran 10 x 100 biasanya tidak diperlukan.

Sediaan basah dibuat dengan meleteakan bahan di atas gelas alas, kemudian ditambah 1 2 tetes larutan KOH. Konsentrasi larutan KOH untuk sediaan rambut adalah 10 % dan untuk kulitdan kuku 20 %. Setelah sediaan dicampur dengan KOH, ditunggu 15 20 menit untuk melarutkan jaringan. Untuk mempercepat proses pelarutan dapat dilakukan pemanasan sediaan basah di atas api kecil. Pada saat mulai keluar uap dari sediaan tersebut, pemanasan sudah cukup. Bila terjadi penguapan, maka akan terbentuk kristal KOH, sehingga tujuan yang diinginkan tidak tercapai. Untuk melihat elemen jamur lebih nyata dapat ditambahkan zat warna pada sediaan KOH, misalnya tinta Parker superchroom bule dark.

Pada sediaan kulit dan kuku yang terlihat adalah hifa, sebagai 2 garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora berderet (artrospora) pada kelainan kulit lama dan atau sudah diobati. Pada sediaan rambut yang dilihat adalah spora kecil (mikrospora). SPora dapat tersusun di luar rambut (ektotriks) atau di dalam rambut (endotriks). Kadang dapat terlihat jiga hifa pada sediaan rambut.

Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamlan bahan klinis pada media buatan. Yang dianggap paling baik pada waktu ini adalah medium agar dekstrosa Saboraud. Pada agar Saboraud dapat ditambahkan antibiotik saja (kloramfenikol) atau ditambahkan kloheksimid. Kedua zat tersebut diperlukan untuk menghindari kontaminasi bakterial maupun jamur kontaminan.

IV. Diagnosis banding

Tinea pedis et manum harus dibedakan dengan dermatitis, yang batasnya tidak jelas, bagian tepi tidak lebih aktif daripada bagian tengah. Adanya vesikel-vesikel steril pada jari-jari kaki dan tangan (pomfoliks) dapat merupakan reaksi id, yaitu akibat setempat hasil reaksi antigen dengan zat anti pada tempat tersebut. Efek samping obat juga dapat memberi gambaran serupa yang menyerupai ekzem atau dermatitis, pertama-tama harus dipikirkan adanya dermatitis kontak.

Pada hiperhidrosis terlihat kulityang mengelupas (maserasi). Kalau hanya terlihat vesikel-vesikel, biasanya terletak sangat dalam, dan terbatas pada telapak tangan dan kaki. Kelainan tidak meluas sampai sela-sela jari.

Penyakit lain yang harus mendapat perhatian adalah Kandidosis (erosio interdigitalis blastomisetika) membedakannya dengan tinea pedis murni kadang-kadang agak sulit. Pemeriksaan sediaan langsung dengan larutan KOH dan pembiakan dapat menolong. Infeksi sekunder dengan spesies Candida atau bakteri lain sering menyertai tinea pedis, sehingga pada kasus-kasus demikian diperlukan interpretasi yang bijaksana terhadap hasil-hasil pemeriksaan labratorium.

Sifilis II dapat berupa kelainan kulit di telapak tangan dan kaki. Lesi yang merah dan basah dapat merupakan petunjuk. Dalam hal ini tanda-tanda lain sifilis akan terdapat. Tinea unguium yang disebabkan macam-macam dermatofita memberikan gambaran akhir yang sama.

Psoriasis yang menyerang kuku pun dapat berakhir dengan kelainan sama. Lekukan pada kuku (nail pits), yang terlihat pada psoriasis tidak didapat pada tinea unguium. Lesi-lesi psoriasis pada bagian lain badan dapat menolong membedakannya dengan tinea unguium. Banyak penyakit kulit yang menyerang bagian dorsal jari-jari tangan dan kaki dapat menyebabkan kelainan yang berakhir dengan distrofi kuku.

Tidak begitu sulit untuk menentukan diagnosis tinea korporis pada umumnya, namun ada beberapa penyakit yang dapat mericuhkan diagnosis, itu misalnya dermatitis seboroika, psoriasis, dan pitiriasis rosea. Kelainan kulit pada dermatti seboroik selain dapat menyerupai tinea korporis, biasanya selain dapat terlihat pada tempat-tempat predileksi, misalnya di kulit kepala, lipatan kulit, misalnya belakang telinga, daerah nasolabial, dsb.

Psoriasis dapt dikenali dari kelainan kulit pada tempat predileksi, yaitu daerah ekstensor, misalnya lutut, siku, dan punggung. Kulit kepala bermbut juga sering terkena pada penyakit ini. Adanya lekukan pada kuku dapat pula menolong untuk menentukan diagnosis.

Pitiriasis rosea, yang distribusi kelainan kulitnya simetris dan terbatas pada tubuh dan bagian promksimal anggota bada, sukar dibedakan dengan tinea korporis tanpa herald patch yang dapat membedakan penyakit ini dengan tinea korporis. Pemeriksaan laboratoriumlah yang dapat memastikan diagnosisnya. Tinea korporis kadang-kadang sukar dibedakan dengan dermatitis seboroik pada sela paha. Lesi di tempat predileksi sangat menolong menentukan diagnosis. Psoriasis pada sela paha dapat menyerupai tinea kruris. Lesi pada psoriasis biasanya lebi merah, skuama lebih banyak dan lamelar. Adanya lesi psoriasis pada tempat lain dapat membantu menentukan diagnosis. Kandidosis pada lipat paha mempunyai konfigurasi hen and chicken. Kelaianan ini biasanya basah dan berkusta. Pada wanita ada tidaknya fluor albus dapat membantu pengarahan diagnosis. Pada penderita-penderita diabete melitus, kandidosis merupakan penyakit yang sering dijumpai.

Eritrasma merupakan penyakit yang tersering berlokalisasi di sela paha. Efloresensi yang sama, yaitu eritema dan skuama, pada seluruh lesi merupakan tanda-tanda khas penyakit ini. Pemeriksaan dengan lampu Wood dapat menolong dengan adanya fluoresensi merah (coral red).

Tinea barbae kadang-kadang sukar dibedakan dengan sikosis barbe, yang disebabkan oleh piokokus. Pemeriksaan sediaan langsung dapat membedakan kedua penyakit ini.

Berbagai kelainan pada kulit kepala bermbut harus dibedakan dengan tinea kapitis. Pada umunya pemeriksaan dengan lampu Wood pada kasus tertentu dan pemeriksaan langsung bahan klinis dapat menentukan diagnosis.

Pada alopesia areata rambut di bagian pinggir kelainan mula-mula mudah dicabut dari folikel akan tetapi pangkal yang patah tidak pernah tampak. Pada kelainan ini juga tidak terdapat skuama. Bercak-bercak seboroik pada kulit kepala yang berambut kadang-kadang membingungkan. Biasanya lesi dermatitis seboroik pada kulit kepala lebih merata. Adanya lesi seboroik pada tempat-tempat predileksi lain dan blefaritis dapat membantu menentukan diagnosis. Dermatitis seboroik biasanya mempunyai lesi-lesi kuit yang simetris distribusinya. Psoriasis pada kulit kepala berambut biasanya disertai kelaianan di tempat lain yang memberi pengarahan diagnosis yang baik.

Impetigo yang menyertai pedikulosis kapitis menimbulkan kelainan yang kotor dan berkrusta, tanpa rambut yang putus. Kerion kadang-kadang sukar dibedakan dengan karbunkel, walaupun tidak begitu nyeri.

V. PENGOBATAN DAN PROGNOSIS

Pada masa sekarang, dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi dengan pemberian griseofulvin yang bersifat fungistatik. Secara umum, griseofulvin dalam bentuk fine particle dapat diberikan dengan dosis 0.5 1 g untuk dewasa dan 0.25 0.5 g untuk anak-anak sehari atau 10 -25 mg/kg BB. Lama pengobatan tergantung lokasi penyakit, penyebab, dan keadaan imunitas. Setelah sembuh, dilanjutkan 2 pekan agar tidak terjadi residif.

Pada pengobatan kerion stadium dini diberikan kortikosteroid sistemik sebagai anti-inflamasi, yakni prednison 3 x 5 mg atau prednisolon 3 x 4 mg sehari selama 2 pekan. Obat tersebut diberikan bersama-sama dengan griseofulvin. Griseofulvin diteruskan selama 2 pekan setelah sembuh klinis.

Efek samping griseofulvin jarang dijumpai, yang merupakan keluhan utama ialah sefalgia yang didapati pada 15 % penderita. Efek samping yang lain dapat berupa gangguan traktus digestivus ialah nausea, vomitus, dan diare. Obat tersebut juga bersifat fotosensitif dan dapat mengganggu fungsi hepar.

Obat per oral, yang juga efektif untuk dermatofitosis yaitu ketokonazol yang bersifat fungistatik. Pada kasus-kasus resisten terhadap griseofulvin dapat diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg per hari selama 10 hari 2 minggu pada pagi hari setelah makan. Ketokonazol merupakan kontraindikasi untuk penderita kelainan hepar.

Sebagai pengganti ketokonazol yang mempunyai sifat hepatotoksik terutama bila diberikan lebih dari 10 hari, dapat diberikan suatu obat tiazol yaitu itrakonazol yang merupakan pilihan yang baik. Pemberian obat tersebut untuk penyakit kulit dan selaput lendir oleh penyakit jamur biasanya cukup 2 x 100-200 mg sehari dalam kapsul selama 3 hari.

Khusus untuk onikomikosis dikenal dosis denyut selama 3 bulan. Cara pemberiannya, diberikan 3 tahap dengan interval 1 bulan. Setiap tahap selama 1 pekan dengan dosis 2 x 200 mg sehari dalam kapsul.

Hasil pemberian itrakonazol dengan dosis denyut untuk onikomikosis hampir sama dengan pemberian terbinafin 250 mg sehari selama 3 bulan. Kelebihan itrakonazol terhadap terbinafin adalah efektif terhadap onikomikosis.

Terbinafin bersifat fungisidal juga dapat diberikan sebagai pengganti griseofulvin selama 2-3 pekan, dosisnya 62.5 mg 250 mg sehari bergantung pada berat badan.

Pada masa kini selain obat-obat topikal konvensional, misalnya asam salisil 2-4 %, asam benzoat 6-12 %, sulfur 4-6 %, vioform 3 %, asam undesilenat 2-5 %, dan zat warna (hijau brilian 1 % dalam cat Castellani) dikenal banyak obat topikal baru. Obat-obat baru ini di antaranya tolnaftat 2 %, tolsiklat, halopropin, derivat imidazol, siklopiroksolamin, dan naftine masing-masing 1 %.

2. Non-Dermatofitosis

a. Pitiriasis Versikolor

(Tinea versiklor, kromofitosis, dermatomikosis, liver spots, tinea flava, pitiriasis versikolor flava, dan panu)Pitiriasis ini disebabkan oleh Malassezia furfur Robin yang ditemukan terutama di daerah tropis. Penyakit ini merupakan penyakit jamur superfisial yang kronik, biasanya tidak memberikan keluhan subyektif, berupa bercak berskuama halus yang berwarna putih sampai cokelat hitam, terutama meliputi badan dan kadang-kadang dapat menyerang ketiak, lipat paha, lengan, tungkai atas, leher, muka dan kulit kepala yang berambut.1) Patogenesis

Pada kulit terdapat flora normal yang berhubungan dengan timbulnya pitiriasis vresikolor ialah Pityrosporum orbiculare yang berbentuk bulat atau Pityrosporum ovale yang berbentuk oval. Keduanya merpakan organisme yang sama, dapat berubah sesuai dengan lingkungannya, misalnya suhu, media, dan kelembaban.

Malassezia furfur merupakan fase spora dan miselium. Faktor predisposisi menjadi patogen atau eksogen. Endogen dapat disebabkan di antaranya oleh defisiensi imun. Eksogen dapat karena faktor suhu, kelembaban udara, dan keringat.

2) Gejala klinis

Kelainan kulit sangat superfisial dan ditemukan di badan. Kelainan ini terlihat sebagai bercak-bercak berwarna-warni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus. Bercak-bercak tersebut berfluoresensi bila dilihat dengan lampu wood. Bentuk papulo-vesikular dapat terlihat walaupun jarang. Kelainan biasanya asimtomatik sehingga adakalanya penderita tidak mengetahui bahwa ia berpenyakit tersebut.

Kadang-kadang penderita dapat merasakan gatal ringan, yang merupakan alasan berobat. Pseodoakromia, akibat tidak terkena sinar matahari atau kemungkinan perngaruh toksis jamur terhadap pembentukan pigmen, sering dikeluhkan penderita.

Penyakit ini sering dilihat pada remaja, walaupun anak-anak dan orang dewasa tua tidak luput dari infeksi.

3) Diagnosis

Ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan fluoresensi, lesi kulit dengan lampu Wood, dan sediaan langsung.

Fluoresensi dengan lampu Wood berwarna kuning keemasan dan pada sediaan langsung kerokan kulit dengan larutan KOH 20 % terlihat campuran hifa pendek dan spora-spora bulat yang dapat berkelompok.

4) Diagnosis banding

Penyakit ini harus dibedakan dengan dermatitis seboroik, eritrasma, sifilis II, achromia parasitik dari Pardo-Castello, dan Dominiquez, Morbus Hansen, pitiriasis alba, serta Vitiligo.

5) Pengobatan

Pengobatan harus dilakukan menyeluruh, tekun, dan konsisten. Obat-obatan yang dapat dipakai misalnya : suspensi selenium sulfide (selsun) dapat dipakai debagai sampo 2-3 kali sepekan. Obat digosokkan pada lesi dan didiamkan 15-30 menit, sebelum mandi. Obat-obat lain yang berhasiat terhadap penyakit ini adalah : salisil spiritus 10 %; derivat-derivat azol, misalnya mikonazol, klotrimazol, isokonazol dan ekonazol; sulfur presipitatum dalm bedak kocok 4-20 %; tolsiklat; tolnaftat, dan haloprogin. Jika sulit disembuhkan ketokonazol dapat dipertimbangkan dengan dosis 1 x 200 mg sehari selama 10 hari.

6) Prognosis

Prognosis baik bila pengobatan dilakukan menyeluruh, tekun, dan konsisten. Pengobatan harus diteruskan 2 minggu setelah fluoresensi negatif dengan pemeriksaan lampu Wood dan sediaan langsung negatif.

b. Pitirosporum Folikulitis

(Malasezia Folikulitis)

Pitirosporum Folikulitis adalah penyakit kronis pada folikel pilosebasea yang disebabkan oleh spesies Pitirosporum, berupa papul dan pustul folikular, yang biasanya gatal dan terutama berlokasi di batang tubuh, leher, dan lengan bagian atas.

1) Etiologi

Jamur penyebabnya adalah spesies Pityrosporum yang identik dengan Malassezia furfur, penyebab pitiriasis versikolor.

2) Patogenesis

Spesies Malassezia merupakan penyebab pitirosporum folikulitis dengan sifat dimorfik, lipofilik, dan komensal. Bila pada hospes terdapat faktor predisposisi spesies Malssezia yang tumbuh berlebihan dalam folikel sehingga folikel dapat pecah. Dalam hal ini reaksi peradangan terhadap produk tercampur dengan lemak bebas yang dihasilkan melalui aktivitas lipase.

Faktor predisposisi antara lain adalah suhu dan kelembaban udara yang tinggi, penggunaan bahan-bahan berlemak untuk pelembab badan yang berlebihan, antibiotik kortikosteroid lokal/sistemik, sitostasik dan penyakit tertentu, misalnya : diabetes melitus, keganasan, keadaan imunokompromised dan AIDS.

3) Gejala klinis

Malassezia folikulitis memberikan keluhan gatal pada tempat predileksi. Klinis morfologi terlihat papul dan pustul perifolikular, berukuran 2-3 mm diameter, dengan peradangan minimal. Tempat predileksi adalah dada, punggung dan lengan atas. Kadang-kadang dapat di leher dan jarang di mka.

4) Diagnosis banding

Akne vulgaris, Folikulitis bakterial, Erupsi akneformis5) Pengobatan

Pengobatan penyakit ini dapat diberikan antimikotik oral misalnya, ketokonazol 200 mg selama 2-4 pekan, Itrakonazol 200 mg sehari selama 2 pekan, Flukonazol 150 mg sepekan selama 2-4 pekan. Antimikotik topikal biasanya kurang efektif, walaupun dapat menolong.

6) Prognosis

Prognosis penyakit ini umumnya baik dengan pengobatan teratur.

c. Piedra

(Black Piedra, White piedra, Tinea nodosa, piedra nostros, Trikomikosis nodularis, trikomikosis nodosa, chiqnon disease, Beigel Disease)

Piedra adalah infeksi jamur pada rambut, dtandai dengan benjolan (nodus) sepanjang rambut, dan disebabkan oleh Piedra hortai (black piedra) atau Trichosporon beigelii (white piedra). Di Indonesia hingga sekarang hanya dilihat piedra hitam.

1) Gejala klinis

Piedra hanya menyerang rambut kepala, janggut, dan kumis tanpa memberikan keluhan. Krusta melekat serat sekali pada rambut yang tersernag, dan dapat sangat kecil sehingga hanya dapat dilihat dengan mikroskop. Benjolan yang besar mudah dilihat, diraba, dan teraba kasar bila rambur diraba dengan jari-jari. Bila rambut disisir terdengar suara metal (klik).

a) Piedra hitam, yang hanya ditemukan di daerah tropis tertentu, merupakan penyakit endemis di tempat tertentu, terutama yang banyak hujan. Piedra hortai hanya menyerang rambut kepala. Jamur ini menyerang rambut di bawah kutikel, kemudian membengkak dan pecah untuk menyebar di sekitar rambut (shaft) dan membentuk benjolan tengguli dan hitam.

b) Piedra putih, yang lebih jarang ditemukan terdapat di daerah beriklim sedang, hanya sekali-sekali ditemukan di daerah tropis. Infeksi ini menyerang janggut dan kumis. Benjolan berwarna cokelat muda dan tidak begitu melekat pada rambut. Diperkirakan bahwa Trichosporon Beigelii hanya dapat menyerang rambut yang telah rusak.2) Diagnosis

Diagnosis penyakit ini berdasarkan atas gambaran klinis sesuai, pemeriksaan sediaan langsung, dan sediaan.

Pada sediaan langsung dengan larutan KOH 10 %, rambut yang sakit dan telah dipotong terlihat sebagai berikut : Benjolan rambut yang disebabkan P.hortai berukuran bermacam-macam dan terpisah satu dengan yang lain. Benjolan berwarna tengguli hitam ini terdiri atas hifa berseptum, teranyam padat dan di antaranya terdapat askus-askus. Di dalam askus terdapat 4-8 askospora.

Diagnosis piedra putih yang disebabkan Trichosporon beigelii juga dibuat berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan sedian langsung dan biakan. Benjolan-benjolan tidak begitu terpisah satudengan yang lain seperti pada piedra hitam. Anyaman hifa terlihat mengelilingi rambut sebagai selubung. Benjolan lebih mudah dilepas dari rambut dan berwarna kehijau-hijauan yang transparan. Rambut yang terserang mungkin terlihat sebagai kutikel yang terangkat, akan tetapai biasanya terlihat kerusakan yang lebih berat sampai menghasilkan trikoreksis atau trikoptilosis. Sekeliling rambut terlihat anyaman hifa.

3) Pengobatan

Memotong rambut yang terkena infeksi atau mencuci rambut dengan larutan sublimat 1/2000 setiap hari. Obat anti jamur konvensional dan yang baru pun berguna.

d. Tinea Nigra Palmaris

(Keratomikosis nigrikans palmanta, pitiriasis nigra, kladosporiosis epidemika, mikroporosis nigra, tinea nigra)Tinea nigra yang disebabkan Cladosporium wemeckii adalah infeksi jamur superfisial yang asimtomatik pada stratum korneum. Kelainan kulit berupa makula tengguli sampai hitam. Telapak tangan yang biasanya terserang, walaupun telapak kaki dan permukaan kulit lain dapat terkena.

1) Epidemiologi

Penyakit terutama terdapat di Amerika Selatan dan Tengah, kadang-kadang ditemukan di Amerika Serikat dan Eropa. Di Asia penyakit ini juga ditemukanl di Indonesia penyakit ini sangat jarang dilihat.

2) Etiologi

Penyebab penyakit adalah Cladosporium wermecki di Amerika Utara dan Selatan, sedangkan di Asia dan Afrika organisme ini disebut Clasodporium mansoni.3) Gejala klinis

Kelainan kulit telapak tangan berupa bercak-bercak tengguli hitam dan sekali-sekali bersisik. Penderita umumnya berusia muda di bawah 19 tahun dan penyakitnya berlangsung kronik sehingga dapat dilihat pada orang dewasa di atas usia 19 tahun. Perbandingan penderita wanita 8 x lebih banyak daripada pria. Faktor-faktor predisposisi penyakit belum diketahui kecuali hiperhidrosis. Kekurangan respon imun penderita rupanya tidak berpengaruh.

4) Diagnosis

Diagnosis dibuat berdasarkan pemeriksaan kerokan kulit dan biakan. Pada pemeriksaan sediaan langsung dalam larutan KOH 10 % jamur terlihat sebagai hifa bercabang, bersekat ukuran 1.5-3 , berwarna cokelat muda sampai hijau tua.Biakan pada agar Saboraud (suhu kamar) menghasilkan koloni yang tampak sebagai koloni menyerupai ragi dan koloni filamen berwarna hijau tua atau hitam.

5) Diagnosis Banding

Tinea nigra dapat menyerupai dermatitis kontak, tinea versikolor, hiperkromia, nevus pigmentosus, dan kulit yang terkena zat kimia, misalnya perak nitrat.

6) Pengobatan

Tinea nigra dapat diobati dengn obat-obat jamur konvensional, misalnya salap salisil sulfur, Whitfield, dan tinctura jodii. Obat anti jamur baru juga berkhasiat.

7) Prognosis

Tinea nigra oleh karena asimtomatik tidak memberi keluhan pada penderita kecuali keluhan estetik, kalu tidak diobati penyakit akan menjadi kronik.

e. Otomikosis

Adalah infeksi jamur kronik atau subakut pada liang telinga luar dan lubang telinga luar, yang ditandai dengan inflamasi eksudatif dan gatal. Dari kelainan tersebut dapat dibiak jamur dan bakteri.

1) Etiologi

Penyebab penyakit terutama ialah jamur-jamur kontaminan, misalnya Aspergilus, Penisilium, dan Mukor. Dermatofita kadang-kadang dapat merupakan hasil biakan bahan pemeriksaan dari tempat tersebut. Biasanya terdapat juga bakteri misalnya Pseudomonas aeruginosa, Proteus spp., Micrococcus aureus, Streptococcus hemolyticus, difteroid dan hasil-hasil koliformis.

2) Epidemiologi

Otomikosis merupakan penyebab kosmopolit yang terutama terdapat di daerah panas dan lembab, misalnya Indonesia. Infeksi terjadi secara kontak langsung.

3) Gejala klinis

Panas dan lembab yang berlebihan merupakan faktor predisposisi. Penderita mengeluh rasa penuh dan sangat gatal di dalam telinga. Liang telinga merah sembab dan banyak krusta. Inflamasi disertai eksfoliasi permukaan kulit atau pendengaran dapat terganggu oleh karena liang telinga tertutup oleh massa kotoran kulit dan jamur. Infeksi bakteri dan invasi pada jaringan di bawah kulit menyebabkan nyeri dan supurasi. Bila infeksi berlanjut eksema dan likenifikasi dapat jelas terlihat dan kelainan ini dapat meluas ke telinga bagian luar hingga bawah kuduk. Tulang rawan telinga dapat juga terserang. Hal yang menguntungkan ialah membrana timpani jarang terserang.

4) Diagnosis

Diagnosis dibuat dengan memeriksa kerokan kulit dan kotoran telinga. Pada sediaan langsung dengan larutan KOH 20 % akan terlihat hifa tanpa spora. Biakan pada agar Saboraud pada suhu kamar akan menghasilkan koloni jamur penyebab.

5) Pengobatan

Infeksi akut bila disertai edema memerlukan pengobatan konservatif untuk menghilangkan bengkak dan kemungkinan pembersihan liang telinga. Misalnya dengan memasukkan kapas yang telah dibasahi larutan permanganas kalikus 1/10.000. Tindakan ini dapat diulang dan kalu perlu dapat dilakukan irigasi untuk membersihkan serumen atau kotoran lain. Kemajuan atau kesembuhan akan terlihat akibat pembersihan yang dilakukan dan pengeringan liang telinga selama beberapa hari. Liang telinga yang menderita infeksi kronik harus dibersihkan untuk menghilangkan kotoran dan sisik yang mengandung jamur. Irigasi dengan larutan garam faal dilanjutkan dengan pemberian salisil spiritus 2 % selama beberapa menit, biasanya cukup membersihkan daerah tersbut. Sambil menjaga daerah tersebut supaya tetap kering dapat diberikan obat-obat antiseptika, antibiotika atau antifungal.

6) Prognosis

Infeksi kronik sangat resiten terhadap pengaobatan, akan tetapi prognosis cukup baik bila diagnosis dibuat tepat dan pengobatan dilakukan secara bijak.

f. Keratomikosis

(Keratitis mikotik)Adalah infeksi jamur pada kornea mata yang menyebabkan ulserasi dan inflamasi setelah trauma pada bagian tersbut diobati dengan obat-obat antibiotik dan kortikosteroid.

1) Etiologi

Penyebab penyakit ini adalah berbagai macam jamur yang menyerang kornea yang rusak dan menyebabkan ulkus kornea. Spesies-spesies yang pernah ditemukan adalah Aspergilus, Fusarium, Cephalosporum, Curvularia, dan Penicilium.2) Gejala klinis

Setelah mengalami trauma atau abrasi pada mata dapat terbentuk ulkus pada kornea. Melalui perkembangan yang lambat kelainan dapat membentuk hipopion. Lesi mulai dengan benjolan yang menonjol sedikit di atas permukaan, berwarna putih kelabu dan berambut halus. Pencairan lapisan teratas kornea di sekitarnya membentuk ulkus dangkal. Terbentuk halo lebar berbatas tegas berwarna putih kelabu mengelilingi titik pusatnya. Dalam halo tersebut dapat terlihat garis-garis radial. Terlihat pula, inflamasi pada kornea, Vaskluarisasi sering tidak tampak

Pada stadium ini sering digunakan antibiotik dan steroid yang bersifat anti-inflamasi sehingga dapat mencegah parut. Dengan pengobatan demikian ulkus dapat menjalar dan meluas sempai ruang depan mata.

Biakan dari bahan hapus dasar ulkus tidak menghasilkan bakteri, maupun jamur, akan tetapi bahan yang diambil dari kerokan dalam dasar atau pinggir ulkus menghasilkan jamur pada pemeriksaan.

Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan mikologik sediaan langsung dan biakan.

3) Diagnosis bandingKeratomikosis harus dibedakan dengan ulkus kornea yang disebabkan paralisis fasial, keratitis dendriti, dll.

4) Pengobatan

Larutan nistatin dan amfoterisin B yang diberikan tiap jam. Pemberian dapat dijarangkan, bila telah terjadi perbaikan. Larutan amfoterisin B mengandung 1.0 mg per ml larutan garam faal atau akua destilata. Pada tahun-tahun akir larutan derivat azol juga digunakan dengan hasil cukup baik.

5) Prognosis

Baik, bila dilakukan dini dan pengobatan cepat dan tepat.