tugas jurnal
TRANSCRIPT
DUKUNGAN NORWEGIA TERHADAP PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTASI
DAN DEGRADASI HUTAN (REDD+) DI INDONESIA (2010-2012)
Tugas Jurnal Politik Internasional
( Environmental issue )
Eko Novrialdi
1101120425
JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS RIAU
2011
Abstract
Both Norway and Indonesia recognize that climate change is one of the
greatest challenges facing the world today. Indonesia is committed to reducing
CO2 emissions by 26% through business-as-usual scenario in 2020. This is the
largest commitment made any of the developing countries. Indonesia has set
bold targets and the Government of Norway would like to support the efforts of
the government of Indonesia to realize this commitment. This paper Attempts
to explain how the Norwegian Support Indonesia through the Indonesia-Norway
Letter of Intent (LoI)1 on Cooperation on reducing greenhouse gas emissions
from deforestation and forest degradation (REDD+).
Keywords: Climate change, Indonesia-norway Letter of intent (LoI), REDD+.
Pendahuluan
Dalam abad ke-21 ini sedang terjadi perubahan-perubahan yang besar terhadap
sumber daya alam dan lingkungan hidup yaitu semakin menipisnya sumber daya alam,
berkurangnya luas ekosistem alam dan terjadinya pemanasan global yang makin
meningkat. Meskipun suatu ekosistem mempunyai daya tekan yang besar sekali
terhadap perubahan, tetapi biasanya batas mekanisme homeostatis (kemampuan
ekosistem untuk menahan berbagai perubahan), dengan mudah dapat diterobos oleh
kegiatan manusia.2
Merunut dari argumen kaum “ekoradikal” sebagai kaum ekstrimis dalam green
politics yang mengkritisi pendapat dari kaum “modernis”, menurut mereka negara lebih
merupakan masalah daripada sebagai solusi bagi problem lingkungan hidup. Karena
negara adalah bagian dari masyarakat modern yang notabene adalah sebab dari krisis
lingkungan hidup.3 Usaha untuk mengantisipasi meluasnya dampak yang ditimbulkan
oleh pemanasan global oleh negara-negara dalam suatu forum internasional salah
satunya telah tergagas melalui pencanangan Protokol Kyoto tahun 1997 yang telah
1 Nota kesepahaman antara pemerintah Kerajaan Norwegia dan Pemerintah Republik Indonesia mengenai “Kerjasama
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi dan Degradasi Hutan”, 26 Mei 2010, http://www.norway.or.id/
PageFiles/404362/Letter_of_Intent_Norway_Indonesia_26_May_2010.pdf
2 R. Soedjiran dkk., (1985), Pengantar Ekologi, Fakultas Pasca Sarjana IKIP Jakarta bekerjasama dengan BKKBN, Jakarta. hlm.
14.
3 Carter, A. 1993. “Towards A Green Political Theory”, dalam A. Dobson dan P. Lucardie (eds.). The Politics of Nature:
Explorations in Green Political Theory. London: Routledge. Hal 23
diratifikasi negara-negara yang hadir kecuali Amerika Serikat, yang ironisnya justru
sebagai salah satu negara penyumbang emisi terbesar di dunia sejumlah 5,8 miliar ton
per tahun.4
Payung terpenting dalam perundingan perubahan iklim ada dibawah UNFCCC
yang telah diadakan sejak tahun 1990. Berbagai tonggak penting dalam perjanjian
perubahan iklim dicapai melalui skemai ini, termasik Bali Action Plan yang disetujui di
Bali pada tahun 2007 yang menghasilkan Bali Road Map sebagai program untuk
mendanai penangkalan perubahan iklim dan disetujuinya program Reducing Emission
form Deforestation and Degradation (REDD+) dengan bantuan Pemerintah Norwegia.
Norwegia telah memimpin dukungan perlindungan hutan bagi negara-negara
berkembang sejak tahun 2007, dengan memberikan komitmen dana mencapai NOK 3
miliar (US$500 juta) per tahun untuk skema REDD+. Komitmen finansial Norwegia yaitu
penting bagi negara-negara pemilik hutan untuk memobilisasi dan mempertahankan
kemauan politik dan kapasitas negara supaya kegiatan-kegiatan REDD+ dapat berada
di atas prioritas nasional lainnya,. Dan juga merekomendasikan negara-negara maju
untuk berkomitmen menyediakan dukungan finansial yang signifikan dan berkelanjutan
kepada negara-negara pemilik hutan yang telah bergerak cepat.5 Hutan Indonesia
merupakan hutan tropis yang terluas ketiga di dunia setelah Brazil dan Republik
Demokrasi Kongo. Dengan luas 1.860.359,67 km2 daratan, 5,8 juta km2 wilayah
perairan dan 81.000 kmgaris pantai, Indonesia ditempatkan pada urutan kedua setelah
Brazil dalam hal tingkat keanekaragaman hayati (Ministry of Environment, 2009).
Oleh karena itu pada Oktober 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
berkomitmen untuk mengurangi emisi CO2 sebesar 26% melalui skenario bisnis seperti
biasa (business as usual) pada 2020. Komitmen ini merupakan yang terbesar yang
dibuat dari antara negara berkembang manapun. Baik Norwegia maupun Indonesia
menyadari bahwa perubahan iklim merupakan salah satu tantangan terbesar yang
dihadapi dunia dewasa ini. Indonesia telah menentukan target yang berani dan
Pemerintah Norwegia ingin mendukung upaya yang dilakukan Pemerintah Indonesia
4 Anonim. 2011. China Penyumbang Emisi CO2 Terbesar Dunia. Harian Suara Merdeka.
5 REDD+ adalah sukses terbesar perundingan perubahan iklim ungkap Norwegia, http://blog.cifor.org/6291/redd-meraih-sukses-
terbesar-dalam-perundingan-perubahan-iklim-ungkap-norwegia/#.Ubct4ZwW4fQ , Diakses tanggal 7 juni 2013
untuk merealisasikan komitmen tersebut.6 Berkenaan dengan hal tersebut pasal 9
Undang-undang No.4 Tahun 1982 tentang ketentuan ketentuan pokok pengolahan
lingkungan, menegaskan bahwa pemerintah berkewajiban menumbuhkan dan
mengembangkan kesadaran masyarakat akan tanggung jawabnya dalam pengelolaan
lingkungan hidup melalui pengolahan, bimbingan, dan penelitian lingkungan hidup.7
Hasil dan Pembahasan
Awal mula Terbentuknya REDD+ di Indonesia
Topik tentang lingkungan hidup memang menjadi semakin sering muncul dalam
agenda internasional lebih dari tiga dekade terakhir. Sedangkan jumlah masyarakat
seiring waktu pun semakin meningkat. Populasi global yang sangat cepat meningkat
mengejar standar kehidupan yang lebih tinggi merupakan ancaman potensial terhadap
lingkungan hidup.8 Hutan muncul sebagai sumber daya alam yang dapat memberikan
manfaat berlipat ganda, baik manfaat yang secara langsung maupun manfaat secara
tidak langsung. Manfaat hutan secara langsung adalah sebagai sumber berbagai jenis
barang, seperti kayu, getah, kulit kayu, daun, akar, buah, bunga dan lainlain yang dapat
dimanfaatkan secara langsung oleh manusia atau menjadi bahan baku berbagai
industri manfaat tidak langsung nya adalah sebagai bank lingkungan regional dan
global yang tidak ternilai, baik sebagai pengatur iklim, penyerap CO2 serta penghasil
oksigen.9
Permasalahan lingkungan yang terjadi di Indonesia adalah Risiko lingkungan
yang timbul dari kegiatan, perilaku, sikap dan kebiasaan masyarakat tradisional dan
juga risiko ‘modern’ yang timbul dari kebiasaan dan cara hidup yang datang bersama
modernisasi.10 Salah satu resiko modern tersebut adalah deforestasi (konversi hutan
6Tanya-Jawab tentang Kerjasama REDD+ Indonesia dengan Norwegia, http://www.satgasreddplus.org/satgas-
redd/kemitraan/perjanjian-kerjasama diakses tanggal 7 juni 2013
7 Undang-undang No.4 Pasal 9 Tahun 1982 tentang ketentuan ketentuan pokok pengolahan lingkungan
8 Jack son, Robert dan Georg Sorensen. 2005. “Lingkungan Hidup” dalam Pengantar Studi Hubungan Internasional. Pustaka
Pelajar. Hal. 176
9 Jayapercunda, Sadikin. 2002. Hutan dan Kehutanan Indonesia: Dari Masa Ke Masa. Bogor: IPB Press.
10 Ganjar, Achmad dan Anisyah Arief, (1997), Pedoman Pembinaan Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup di Sekolah,
Depdikbud, Depdiknas, Jakarta. hlm. 15.
untuk penggunaan lain seperti pertanian, perkebunan, pemukiman, pertambangan,
prasarana wilayah) dan degradasi (penurunan kualitas hutan akibat illegal logging,
kebakaran, over cutting, perladangan berpindah (slash and burn),menurut FAO
Indonesia merupakan negara penyumbang emisi terbesar ke-3 di dunia -yang berasal
dari penebangan hutan secara berlebihan- setelah Cina dan Amerika Serikat. Yang
berasal dari penebangan hutan yang berlebihan. Laju deforestasi mencapai 2 juta ha
per tahun, khususnya yang berada di hutan lahan gambut .11
Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+)
merupakan langkah-langkah yang didesain menggunakan insentif keuangan untuk
mengurangi emisi dari gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan. REDD+
tidak hanya mencakup pengurangan gas rumah kaca tetapi juga mencantumkan peran
dari konservasi, manajemen hutan yang berkepanjangan, dan peningkatan stok hutan
karbon. Skema ini akan membantu menurunkan tingkat kemiskinan dan mencapai
pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
REDD+ adalah suatu mekanisme global untuk menciptakan suatu insentif bagi
negara-negara berkembang untuk melindungi dan mengelola sumber daya hutannya
dengan lebih baik dan bijaksana, dan memberikan kontribusi terhadap perjuangan
global melawan perubahan iklim. Strategi-strategi REDD bertujuan untuk membuat
hutan lebih bernilai dari pada ketika hutan tersebut ditebang, dengan menciptakan
suatu nilai finansial terhadap karbon yang tersimpan di dalam pepohonan. Jika karbon
ini dinilai dan dihitung, tahap terakhir dari REDD adalah negara-negara maju
membayarkan carbon offset kepada negara berkembang, atas tegakan hutan yang
mereka miliki. Presiden Yudhoyono mendirikan Satuan Tugas REDD+ untuk
memastikan bahwa implementasi REDD+ berjalan dengan baik melalui Keputusan
Presiden No.19/2010 dan mengangkat Dr. Kuntoro Mangkusubroto sebagai Ketua dari
satuan tugas lintas sektoral ini.12
REDD+ tidak hanya terbatas pada pengurangan gas rumah kaca, namun juga
memperhitungkan peranan konservasi, manajemen hutan berkelanjutan dan
11 Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2005. Global Forest Resources Assessment 2005, Progress Towards
Sustainable Forest Management. Rome: Food and Agriculture Organization of United Nations
12 Tanya Jawab Mengenai REDD+, http://www.satgasreddplus.org/tentang-redd/tanya-jawab , diakses tanggal 7 juni 2013
peningkatan stok karbon. Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan
(REDD+) merupakan suatu mekanisme global yang memberikan suatu kesempatan
unik bagi negara berkembang seperti Indonesia, yang memiliki wilayah hutan yang luas
dan sedang menghadapi ancaman deforestasi.13
REDD+ di Indonesia bertujuan untuk mengatur sumber daya alam secara
berkelanjutan sebagai asset nasional demi kesejahteraan bangsa. Tujuan tersebut
dapat tercapai melalui implementasi di lima area fungsional pembangunan institusi dan
proses yang menjamin peningkatan tata kelola hutan dan lahan gambut, pengkajian
ulang dan peningkatan kerangka peraturan, meluncurkan program strategis untuk
manajemen lansekap, merubah paradigma lama dan melibatkan pemangku
kepentingan utama secara bersamaan.
Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menjalankan suspensi dua tahun bagi
pelepasan ijin baru bagi hutan primer dan lahan gambut, yang dikenal juga sebagai
moratorium. Jeda dua tahun ini diatur oleh Presiden dalam Instruksi Presiden No
10/2011, dan akan memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk mengkaji
pertumbuhan ekonomi dan implikasinya terhadap sumber daya alam. Selama jeda ini,
Indonesia akan mengupayakan agar implikasi tersebut semakin berkurang dan turut
mencari jalan keluar, terlepas dari skema bisnis seperti biasa, menuju jejak langkah
pembangunan yang baru.14
Kerjasama Indonesia-Norwegia Dalam Mendukung REDD+
Baik Norwegia maupun Indonesia menyadari bahwa perubahan iklim merupakan
salah satu tantangan terbesar yang dihadapi dunia dewasa ini. Indonesia berkomitmen
untuk mengurangi emisi CO2 sebesar 26% melalui skenario bisnis seperti biasa
(business as usual) pada 2020. Komitmen ini merupakan yang terbesar yang dibuat
dari antara negara berkembang manapun. Indonesia telah menentukan target yang
berani dan Pemerintah Norwegia ingin mendukung upaya yang dilakukan Pemerintah
Indonesia untuk merealisasikan komitmen tersebut. Kerjasama ini bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan bersama. Karena hubungan kerjasama antar negara
13 Ibid
14 Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 http://www.kemendagri.go.id/media/documents/2011/09/19/i/n/inpres_no.10-2011.pdf,
Diakses 7 Juni 2013
dapat mempercepat proses peningkatan kesejahteraan dan penyelesaian masalah
diantara dua atau lebih negara tersebut. Menurut K.J Holsti, Proses kerjasama atau
kolaborasi terbentuk dari perpaduan keanekaragaman masalah nasional, regional, atau
global yang muncul dan memerlukan perhatian dari lebih satu negara.15 Masalah emisi
gas dari deforestasi dan degradasi hutan sudah menjadi maslah internasional karena
pengaruh nya yang sangat besar terhadap perubahan iklim.
Norwegia dan Indonesia telah memasuki babak baru kerja sama dalam rangka
mendukung upaya Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari deforestasi
dan degradasi hutan dan lahan gambut. Norwegia akan mendukung upaya ini dengan
bantuan dana sebesar 1 miliar dolar AS berdasarkan atas kinerja yang diraih Indonesia
dalam kurun 7-8 tahun ke depan. Kerja sama tersebut dijalankan dalam tiga tahap.
Pada tahap pertama, dana akan diberikan untuk menyelesaikan strategi kehutanan dan
iklim di Indonesia dengan meletakkan kebijakan-kebijakan dan reformasi kelembagaan
sesuai pada tempatnya. Tahap kedua tujuannya adalah untuk mempersiapkan
Indonesia untuk pengurangan emisi berdasarkan kontribusi yang diverifikasi.
Sementara itu, pada saat yang sama berlangsung aksi mitigasi dalam skala yang lebih
besar dimulai di proyek propinsi percontohan. Pada tahap ketiga yang dimulai pada
2014, mekanisme pengurangan emisi berdasarkan kontribusi yang telah diverifikasi
akan dilaksanakan secara nasional.
Pada 2010 dana akan diberikan untuk menyelesaikan strategi nasional REDD+
di Indonesia. Tetapi, dana tersebut akan didistribusikan dalam kurun 7-8 tahun dan
sebagian besar dana tersebut harus didasarkan pada pengurangan emisi yang
diverifikasi di Indonesia. Pendanaan akan dialokasikan berdasarkan atas kinerja yang
disalurkan melalui sebuah mekanisme keuangan yang telah disepakati.
Semua upaya yang dilakukan dalam Gerakan Kehutanan dan Iklim Norwegia
(Norwegian Climat and Forest Initiative) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca
merupakan komitmen tambahan Norwegia sesuai Kyoto Protocol. Ini bukan merupakan
komitmen Norwegia dalam sebuah perjanjian iklim yang baru. Kerja sama akan tetap
berjalan dan kontribusi Norwegia akan menjadi sebuah kontribusi pendanaan publik.
15 K.J Holsti, Politik Internasional, Kerangka Untuk Analisis, Jilid II, Terjemahan M. Tahrir Azhari. Jakarta: Erlangga, 1988, hal. 652-653
Hasil Yang Ingin Dicapai Dari Program Ini
Kerja sama REDD+ antara Norwegia dan Indonesia dilandasi atas prinsip bahwa
para pemangku kepentingan yang relevan, termasuk masyarakat adat, masyarakat
setempat, dan masyarakat sipil di Indonesia dilibatkan penuh dalam perencanaan dan
pelaksanaan. Hal ini berarti bahwa mekanisme pembagian keuntungan yang transparan
antara pemerintah nasional dan pemerintah daerah akan dibangun sejalan dengan
peraturan baru di bidang ini yang ada di Indonesia. Pendanaan juga akan bergantung
pada program yang sedang dilaksanakan menurut prinisip-prinsip yang disepakati ini,
dan akan dinilai setiap tahun oleh kelompok pengkaji dari pihak ketiga yang
independen.
Program ini diharapkan akan memberi pengurangan emisi gas rumah kaca di
Indonesia secara signifikan sekaligus mengembangkan pengelolaan hutan dan
penegakan hukum. Hampir 80 persen emisi gas rumah kaca di Indonesia dewasa ini
bersumber dari deforestasi, perubahan dan pengeringan tata guna lahan, pembusukan
dan pembakaran lahan gambut. Ini berarti bahwa Indonesia dapat mengurangi emisi
CO2 lebih besar lagi dan bahkan melakukannya dengan lebih cepat daripada sebagian
besar negara-negara lain. Hal ini merupakan kesempatan unik yang akan didukung
oleh Kerja sama REDD+ antara Norwegia dan Indonesia. Sebagai bagian dari program
ini, Indonesia akan melaksanakan penundaan pemberian ijin konsesi baru untuk
konversi hutan alam dan gambut selama dua tahun.
Kemudian kerjasama internasional ini bukan saja dilakukan antar negara secara
individual, tetapi juga dilakukan antar negara yang bernaung dalam organisasi atau
lembaga internasional seperti GreenPeace yang merupakan lembaga internasional
yang menanggapi permasalahan lingkungan dunia. Mengenai kerjasama internasional,
Koesnadi Kartasasmita mengatakan bahwa: “Kerjasama Internasional merupakan suatu
keharusan sebagai akibat adanya hubungan interdependensi dan bertambah
kompleksitas kehidupan manusia dalam masyarakat internasional.16Kerjasama ini
diukur berdasarkan kinerja (performance) baik dalam artian pengurangan emisi aktual
dan dalam kaitannya dengan perubahan kebijakan dan reformasi kelembagaan yang
diperlukan. Hal ini merupakan insentif yang kuat untuk meraih hasil. Setiap tahun,
16 Koesnadi Kartasasmita, Administrasi Internasional, Lembaga Penerbitan Sekolah Tinggi llmu Administrasi Bandung,1977, hal. 19
kelompok pengkaji dari pihak ketiga yang independen akan melakukan verifikasi hasil-
hasil tersebut dan melaporkannya pada Komite Konsultasi Bersama (Joint Consultation
Committe). Porsi dana terbesar akan didasarkan pada prinsip pengurangan emisi yang
diverifikasi. Program ini dimulai dengan membangun mekanisme yang akan
memungkinkan Indonesia untuk memonitor, melaporkan, dan memverifikasi
pengurangan emisi menurut standar Panel Internasional Perubahan Iklim. Hal ini akan
memastikan akuntabilitas dan bahwa pengurangan emisi dapat diyakini sebagai
sesuatu yang nyata, tambahan dan permanen, dan tidak digantikan dengan emisi-emisi
di bagian manapun di negara ini.
Lahan gambut di Indonesia menyimpan 132 gigaton CO2. Jika dbandingkan,
hutan terbesar di dunia, Amazon, dapat mengikat 168 gigaton CO2. Kalau Indonesia
dapat mengurangi 1,20 gigaton emisi gas rumah kaca (pengurangan 41 persen) pada
2020 akan setara dengan sekitar 8 persen dari total pengurangan secara global. Hal ini
diperlukan untuk mencapai tingkat emisi yang direkomendasikan oleh Badan Dunia
Panel antarpemerintah urusan Perubahan Iklim. Hal ini diyakini oleh para ilmuwan
sebagai satu langkah yang penting untuk mengatasi suhu global agar tidak naik
melebihi 2 derajat.
Pembukaan satu hektar hutan dapat mengakibatkan lepastnya 250 ton karbon,
dan bahkan lebih besar lagi apabila dilakukan di lahan gambut. Sementara itu,
penanaman hutan seluas satu hektar hanya dapat mengikat 5-10 ton karbon tiap tahun.
Melalui kerja sama REDD+ antara Norwegia dan Indonesia, dana akan didasarkan
pada pengurangan emisi yang terverifikasi dari deforestasi, degradasi hutan atau
konversi/penghancuran lahan gambut. Kerja sama ini akan dilaksanakan secara
bertahap yang dimulai dengan membentuk mekanisme-mekanisme yang yang
memungkinkan Indonesia untuk melakukan pengawasan, pelaporan, dan verifikasi
pengurangan emisi menurut standar yang ditetapkan Panel Internasional untuk
Perubahan Iklim. Deforestasi, degradasi hutan dan konversi hutan gambut yang
merepresentasikan sampai hampir 80 persen emisi gas rumah kaca di Indonesia, dan
mencegah kegiatan-kegiatan yang menimbulkan emisi di daerah-daerah yang berhutan
di Indonesia ini menggambarkan sebuah kesempatan terpadu pengurangan emisi lebih
dari 570 juta ton CO2 tiap tahunnya.
Kalimantan Tengah Sebagai Provinsi Proyek Percontohan implementasi REDD+
Dalam upaya untuk mendukung komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi
gas rumah kaca (GRK) sebesar 26 persen, pemerintah Republik Indonesia
menandatangani letter of intent (LoI) dengan pemerintah Norwegia. Setelah itu presiden
membentuk Satuan Tugas Kelembagaan REDD+. Dalam sidang kabinet pada tanggal
23 Desember 2010 kemudian diputuskan untuk menetapkan Provinsi Kalimantan
Tengah sebagai provinsi contoh implementasi strategi mitigasi perubahaan iklim dalam
konteks implementasi REDD+. Kemitraan sendiri aktif terlibat dalam kerja Satgas
REDD+ ini. Perkembangan yang terjadi di tingkat nasional ini memberikan implikasi
yang luas pada kerja Kemitraan di Kalimantan Tengah.
Terpilihnya provinsi Kalimantan Tengah sebagai provinsi proyek percontohan
implementasi REDD+ nasional di satu sisi berarti menguatkan dukungan bagi
keberlanjutan berbagai upaya yang sebelumnya telah dirintis oleh Kemintraan di
provinsi ini. Sejumlah kegiatan yang sebelumnya telah dirintis Kemitraan di Kalimantan
Tengah jauh sebelum provinsi ini ditetapkan oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono
sebagai provinsi contoh implementasi REDD+ nasional di tahun 2011 antara lain:
memfasilitasi penyusunan naskah akademis rencana peraturan daerah perubahan
iklim, peningkatan kapasitas untuk para pihak di Kalimantan Tengah (pemerintah dan
organisasi masyarakat sipil) dalam isu perubahan iklim pada umumnya dan REDD pada
khususnya, sertamemfasilitasi organisasi masyarakat sipil untuk melakukan
serangkaian pertemuan dan kajian terkait dengan strategi penanganan dampak dari
perubahan iklim. Dengan demikian, upaya yang dirintis ini memberikan peluang bagi
mitra-mitra Kemitraan di Kalimantan Tengah dan Kemitraan sendiri untuk berkontribusi
nyata pada upaya mengurangan emisi GRK di Indonesia.
Namun di sisi lain, dengan terpilihnya provinsi ini sebagai pilot proyek nasional
implementasi REDD + juga menimbulkan tantangan baru bagi Kemitraan karena
beragam respon para pihak di Kalimantan Tengah terhadap berbagai kegiatan dan
kebijakan nasional yang kemudian dikeluarkan pemerintah terkait dengan REDD + ini.
Kalau sebelumnya tidak banyak lembaga di luar Kalimantan Tengah yang memiliki
programprogram terkait dengan perubahan iklim, kondisi ini berbeda jauh pada saat ini.
Misalnya, Presiden Susilo Bambang Yudono menugaskan Satuan Tugas (SATGAS)
REDD+untuk mengawal kegiatan implementasi ini. Satgas REDD+ kemudian difasilitasi
oleh UN-REDD+ di mana dananya berasal dari pemerintah Norwegia kemudian
membuka kantor “Pendukung REDD+ di Kalimantan Tengah” yang berkedudukan di ibu
kota provinsi, Palangkaraya. Para perwakilan masyarakat adat dan masyarakat
setempat akan ikut ambil bagian dalam perencanaan dan pelaksanaan strategi REDD+
Indonesia maupun juga dalam lembaga yang akan mengelola dana. Saat ini,
kepemilikian tanah yang belum jelas hanya memberikan insentif yang kecil kepada
masyarakat setempat dan masyarakat adat dalam kontribusinya atas pengelolaan
hutan lestari.
Bapak Kuntoro Mangkusubroto, selaku ketua Satuan Tugas Kelembagaan
REDD+, menandatangani nota kesepemahaman dengan Gubernur Provinsi Kalimantan
Tengah. Di samping itu, di internal pemerintah provinsi sendiri telah terjadi mutasi
pejabat setelah terpilihnya Bapak Agustin Teras Narang untuk kedua kalinya sebagai
gubernur Kalimantan Tengah pada tahun 2010. Berbagai perubahan ini berdampak
pula pada peran dan target program Kemitraan di provinsi ini. Kajian para pihak
dibutuhkan untuk membantu semua mereka yang berkepentingan termasuk Kemitraan
untuk memahami sejumlah informasi yang terkait dengan karakteristik pihak-pihak yang
relevan dengan pencapaian upaya untuk menurunkan emisi dari deforestasi dan
degradasi hutan serta strategi pelibatannya.17
Tanggapan GreenPeace Terhadap Realisasi LoI Norwegia-Indonesia
Greenpeace menyampaikan dukungan kepada delegasi tingkat tinggi dari
Norwegia untuk melanjutkan dan meningkatkan bantuan penting mereka dalam
melindungi hutan Indonesia. Delegasi yang dipimpin oleh Putra Mahkota Kerajaan
Norwegia Pangeran Haakon Magnus dan Putri Mahkota Mette-Marit, juga terdiri dari
Menteri Lingkungan Hidup Bård Vegar Solhjell berserta beberapa menteri lain dan
pelaku usaha.
Indonesia dan Norwegia menandatangani kerja sama atau Letter of Intent (LoI)
Pengurangan emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan” (REDD +)
17Kajian Para Pihak Terkait dengan Upaya Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan di KalimantanTengah
http://forestclimatecenter.org/redd/2011-11%20Kajian%20Para%20Pihak%20Terkait%20--%20REDD%20di%20Kalteng.pdf, Diakses tanggal 7 juni 2013
bulan Mei 2010. Sebagai bagian dari perjanjian tersebut, Norwegia menjanjikan dana 1
miliar dolar AS untuk mendukung upaya Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca
dari deforestasi.Rekomendasi Greenpeace untuk memperkuat moratorium adalah
dengan meninjau semua izin penebangan hutan yang ada, serta memperluas
moratorium untuk melindungi semua lahan gambut dan hutan sekunder. Dibutuhkan
pula moratorium juga yang lebih berorientasi kepada hasil, bukan waktu.
Greenpeace juga menyerahkan rapor tentang kemajuan perjanjian Indonesia-
Norwegia dalam perlindungan hutan kepada Menteri Solhjell. Kemajuan dinilai lambat,
dan masih ada pertanyaan apakah perjanjian dapat dicapai sesuai jadwal sebelum
pencairan dana untuk pengurangan emisi pada tahun 2014. Memang sudah ada
beberapa kemajuan dalam hal menyokong gerakan anti-korupsi, meningkatkan
kesadaran, pembuatan satu peta sebagai rujukan, prinsip-prinsip kepemilikan nasional,
rancangan dan rencana kelembagaan, ada hal terpenting yang belum terpenuhi, yakni
pelaksanaan penghentian sementara selama dua tahun atas semua konsesi baru untuk
konversi gambut dan hutan alam, dan data yang dapat dipercaya mengenai lahan
rusak.
Greenpeace Indonesia menilai terdapat empat masalah yang menghambat
kemajuan kerjasama Indonesia-Norwegia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca di
antaranya adalah tata kelola pemerintah yang lemah serta minimnya perlindungan
sosial serta lingkungan. Kedua negara tersebut menandatangani Letter of Intent pada
Mei 2010 dan Indonesia menerima dana US$1 miliar untuk pengurangan emisi dari
deforestasi dan degradasi hutan. Dalam situs resmi Norwegia dinyatakan, Indonesia
juga diharapkan dapat memajukan pengelolaan hutan dan penegakan hukum di sektor
tersebut.
Greenpeace menyatakan terdapat sejumlah hal yang menghambat dan perlu
diperbaiki dalam kerjasama kedua negara tersebut. Masalah itu adalah tata kelola
pemerintahan yang lemah, peta dan data yang usang, perlindungan sosial dan
lingkungan serta definisi lahan terdegradasi. Terkait dengan tata kelola, Greenpeace
menyatakan lemahnya tata kelola Kementerian Kehutanan menyebabkan timbulnya
interpretasi beragam terhadap hukum dan menyebabkan konflik. Banyak konsesi hutan
juga tidak memenuhi perijinan yang dari Kementerian Kehutanan. Inkonsistensi serta
ketidakpastian,hanya menyuburkan korupsi, dan memunculkan pemilik konsesi pencari
rente .Sedangkan soal peta dan data yang usang, Greenpeace menyatakan tiga kali
revisi resmi peta moratorium justru mengurangi kawasan hutan dan lahan gambut.
Organisasi itu memaparkan moratorium izin baru masih tak melindungi hutan sekuder,
dan memberikan izin untuk konservasi hutan bagi bahan pangan dan energi serta
kebun kelapa sawit. Greenpeace juga menuturkan data laju perusakan hutan di
Indonesia yang dikeluarkan Kementerian Kehutanan kontradiktif atau justru tak bisa
diverifikasi.
Greenpeace pun menyoroti perlindungan sosial dan lingkungan yang masih
lemah dalam proses kerjasama kedua negara tersebut. LoI telah menuai kritik dari
banyak pihak karena mempunyai tujuan-tujuan perlindungan sosial dan lingkungan
yang lemah. Masalah hak tanah dari masyarakat adat masih menjadi ganjalan besar
bagi Indonesia.Sedangkan yang terakhir, organisasi pemantau masalah lingkungan itu
mempersoalkan tentang definisi lahan terdegradasi. Greenpeace mengungkapkan
kritera lahan terdegradasi harus memperhitungkan stok karbon dan nilai konservasi
tinggi (HCV) untuk memastikan lahan itu memiliki kandungan karbon serta
keanekaragaman hayati yang rendah.18
Kepentingan Norwegia dari program REDD+
Norwegia yang menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan Indonesia
memunyai kepentingan yang sama dengan Indonesia, yaitu negara yang turut
mengelola hasil hutan. Indonesia harus mulai waspada terhadap kepentingan-
kepentingan yang terselubung di balik Moratorium Oslo yang dinilai hanya akan
membawa kerugian bagi negara. Masalah ini dapat juga dipahami dengan menganalisa
Teori Kepentingan Nasional (National Interesta) Daniel S. Papp yang mengatakan
bahwa dalam kepentingan nasional terdapat beberapa aspek, seperti ekonomi, ideologi,
kekuatan dan keamanan militer, moralitas dan legalitas. Dalam hal ini, yang mana
faktor ekonomi pada setiap kebijakan yang diambil oleh suatu Negara selalu berusaha
untuk meningkatkan perekonomian Negara yang dinilai sebagai suatu kepentingan
nasional. Suatu kepentingan nasional dalam aspek ekonomi diantaranya adalah untuk
18 Green Peace terhadap LOI Indonesia-Norwegia http://www.greenpeace.org/seasia/id/System-templates/Search-results/?all=NORWEGIA%20dan%20indonesia, Diakses tanggal 7 juni 2013
meningkatkan keseimbangan kerjasama perdagangan suatu Negara dalam
memperkuat sektor industri, dan sebagainya.19
Pengamat ekonomi Indef Aviliani mengatakan bahwa Indonesia harus
mewaspadai moratorium, karena Norwegia pun memunyai kepentingan yang sama
dengan Indonesia. LoI akan membatasi gerak Indonesia dalam pengelolaan hasil hutan
yang dihubungi penegakan hukum pengelola hutan seharusnya tidak dimasukkan ke
dalam LoI karena terkesan Indonesia sedang diawasi Norwegia. Pemerintah
seharusnya mempercayakan kepada para pemengang hak pengelolaan hutan (HPH).
Dana US$1 miliar yang diberikan Norwegia pun dinilai sebagai alat untuk membatasi
gerak Indonesia dalam mengelola hutannya sendiri. Disamping itu, Indonesia pun
sebenarnya belum siap umelakukan kebijakan moratorium tersebut. Karena seharusnya
sebelum LoI terlebih dahulu dilakukan konsolidasi atau pembahasan tata ruang dengan
mengikutsertakan pemerintah daerah, sehingga informasi kebijakan moratorium biasa
tersampaikan secara jelas dan seimbang kepada para stakeholder kebijakan
moratorium tersebut akan membawa dampak ekonomi yang besar. Terutama industri
ekspor kehutanan, di mana terdapat banyak tenaga kerja yang bergantung pada sektor
tersebut. Jangan sampai pembatasan tersebut memberikan dampak terhadap tenaga
kerja. 20
Pemerintah harus lebih memperhatikan sektor hulu dan hilirnya dibanding
mengikuti kemauan Negara pemberi dana. Sebab belum lagi program moratorium
tersebut diperkirakan memakan dana yang besar dan tidak sebanding dengan dana
yang akan diberikan Norwegia. Dana monitoring akan lebih besar dibanding dana
perbaikannya. Indonesia harusnya mewaspadai moratorium itu , karena Norwegia pun
memunyai kepentingan yang sama dengan Indonesia. dimana tujuan utamanya adalah
membatasi gerak Indonesia dalam pengelolaan hasil hutan.penegakan hukum
pengelola hutan seharusnya tidak dimasukkan ke dalam LoI karena terkesan Indonesia
sedang diawasi Norwegia.
Konsep tersebut dapat diorientasikan pada ideologi suatu negara ataupun pada
sistem nilai sebagai pedoman prilaku negara tersebut. Artinya bahwa keputusan dan
19 Daniel S. Papp, “Contemporary International Relation”: A Framework for Understanding, Second Editions (New York: MacMillan
Publishing Company, 1988), hal 29
20 Media Indonesia, Selasa 29 Juni 2011
tindakan politik luar negeri bisa didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan ideologis
ataupun dapat terjadi atas dasar pertimbangan kepentingan yang tidak menutup
kemungkinan terciptanya formulasi kebijaksanaan politik luar negeri yang lain atau
baru.21 Oleh karena itu seharus nya pemerintah terlebih dahulu mempercayakan
kepada para pemengang hak pengelolaan hutan (HPH). Dana US$1 miliar yang
diberikan Norwegia pun dinilai sebagai alat untuk membatasi gerak Indonesia dalam
mengelola hutannya sendiri. Tidak ada hibah yang gratis.
Menurut pandangan realis yang menyatakan bahwa tujuan utama dari bantuan
luar negeri adalah bukan untuk menunjukkan idealisme abstrak aspirasi kemanusiaan
tetapi untuk proyeksi power nasional.22 Oleh karena itu sepertinya Norwegia berharap
bahwa bantuan keuangannya atas proyek penghentian deforestasi kelak akan sangat
berguna bagi dia apabila bantuan ini dapat diakui sebagai salah satu kegiatan yang
termasuk REDD+. Persoalannya, saat ini REDD+ sendiri masih belum diakui sebagai
mekanisme penurunan gas rumah kaca (GRK) menurut rezim Protokol Kyoto. Namun
trennya, negosiasi-negosiasi yang ada cenderung menyetujui REDD+, setidaknya
secara prinsip. Persoalannya biasanya pada isu pengukuran, metodologi, dan
monitoring. Jadi, isu-isu teknis. Tapi, hampir semuanya setuju bahwa pencegahan
deforestasi harus pula dianggap sebagai kegiatan mitigasi GRK.
Apabila suatu saat REDD+ diakui secara resmi, maka Norwegia bisa
memperoleh kredit karbon atas bantuannya ini. Tentu saja Indonesia juga berhak atas
kredit ini. Dengan kredit ini, maka Norwegia akan dianggap telah menurunkan emisi
GRK, atau di sisi lain, berhak pula menjual kredit ini kepada negara lain. Tentu saja
nanti akan ada kesepakatan teknis tentang penjualan dan transfer kredit ini. Untuk
Indonesia, sepertinya 1 miliar dolar AS itulah yang menjadi dorongan utama. Di hampir
semua negosiasi perubahan iklim, delegasi kita cukup senang jika ada tren positif ke
arah pengakuan REDD+. Kalau pemerintah memang peduli dengan isu kehutanan,
seharusnya dari dulu moratorium dilakukan. Dari dulu dilarang ada kegiatan alih fungsi
hutan.Faktanya, hukum kita malah membenarkan adanya alih fungsi hutan untuk
kegiatan non-kehutanan. Perspektifnya tidak berubah. Negara ini memandang hutan
21 Sumpena Prawira Saputra, “Politik Luar Negeri Indonesia”, Remaja Karya Offset, Jakarta, 1985, hal. 24
22 Banyu Perwita, Anak Agung dan Yanyan Moch. Yani,2005, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, PT. Remaja Rosdakarya,
Bandung. Hal. 81
bukan sebagai sebuah sistem penyangga kehidupan, tapi sebagai tumpukan uang yang
belum tereksploitasi.
Kesimpulan
Isu perubahan iklim merupakan tantangan yang saat ini membutuhkan perhatian
penuh dari masyarakat internasional. Pergeseran isu juga terjadi karena isu perubahan
iklim saat ini bukan sekedar isu dalam ranah ilmu pengetahuan saja, tetapi sudah
memasuki ranah ekonomi dan politik dikarenakan besarnya dampak yang diakibatkan
oleh bertambah buruknya perubahan iklim yang terjadi. Hutan muncul sebagai sumber
daya alam yang dapat memberikan manfaat berlipat ganda, baik manfaat yang secara
langsung maupun manfaat secara tidak langsung. Namun manfaat hutan di Indonesia
sepertinya semakin berkurang dari segi pengatur iklim, penyerap CO2 serta penghasil
oksigen karena ada nya deforestasi dan degradasi hutan.
REDD+ di Indonesia adalah ide mulia yang masih mencari bentuk dan harus
didukung dan diterima sepenuhnya oleh pemerintah Indonesia, institusi-institusi
pemerintah dan lobi bisnis yang punya pengaruh besar. Dukungan dan upaya lebih kuat
lagi sangat dibutuhkan untuk memastikan REDD+ menghasilkan perubahan-
perubahan, sebagaimana telah tercantum dalam LoI Indonesia – Norwegia, terus bisa
berlangsung tanpa hambatan berarti sehingga dampak positif yang dicita-citakan bisa
terwujud. Namun tentu saja Indonesia harus terus mewaspadai moratorium, karena
Norwegia pun memunyai kepentingan yang sama dengan Indonesia. LoI akan
membatasi gerak Indonesia dalam pengelolaan hasil hutan. Harapan nya tentu saja
agar negara ini memandang hutan bukan hanya sebagai tumpukan uang yang belum
tereksploitasi tapi merupakan suatu sistem penyangga kehidupan yang sangat
berpengaruh bagi kehidupan di Indonesia bahkan di dunia.
Daftar Pustaka
Buku
Banyu Perwita, Anak Agung dan Yanyan Moch. Yani,2005, Pengantar Ilmu Hubungan
Internasional, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Carter, A. 1993. “Towards A Green Political Theory”, dalam A. Dobson dan P. Lucardie
(eds.). The Politics of Nature: Explorations in Green Political Theor Ganjar, Achmad
dan Anisyah Arief, (1997), Pedoman Pembinaan Pendidikan Kependudukan dan
Lingkungan Hidup di Sekolah, Depdikbud, Depdiknas, Jakarta.
Daniel S. Papp, “Contemporary International Relation”: A Framework for Understanding,
Second Editions (New York: MacMillan Publishing Company, 1988).
Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2005. Global Forest
Resources Assessment 2005, Progress Towards Sustainable Forest Management.
Rome: Food and Agriculture Organization of United Nations
Jackson, Robert dan Georg Sorensen. 2005. “Lingkungan Hidup” dalam Pengantar
Studi Hubungan Internasional. Pustaka Pelajar.
Jayapercunda, Sadikin. 2002. Hutan dan Kehutanan Indonesia: Dari Masa Ke Masa.
Bogor: IPB Press.
K.J Holsti, Politik Internasional, 1988 Kerangka Untuk Analisis, Jilid II, Terjemahan M.
Tahrir Azhari. Jakarta: Erlangga.
Koesnadi Kartasasmita, Administrasi Internasional, Lembaga Penerbitan Sekolah
Tinggi llmu Administrasi Bandung,1977.
Porter, G., dan Brown, J. W. 1996. Global Environmental Politics.Boulder: Westview
Press.
R. Soedjiran dkk., (1985), Pengantar Ekologi, Fakultas Pasca Sarjana IKIP Jakarta
bekerjasama dengan BKKBN, Jakarta.
Sumpena Prawira Saputra, “Politik Luar Negeri Indonesia”, Remaja Karya Offset,
Jakarta, 1985.
Undang-undang No.4 Pasal 9 Tahun 1982 tentang ketentuan ketentuan pokok
pengolahan lingkungan
Media Massa
Anonim. 2011. China Penyumbang Emisi CO2 Terbesar Dunia. Harian Suara Merdeka.
Media Indonesia, Selasa 29 Juni 2011
Internet
Nota kesepahaman antara pemerintah Kerajaan Norwegia dan Pemerintah Republik
Indonesia mengenai “Kerjasama Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari
Deforestasi dan Degradasi Hutan”, 26 Mei 2010.
http://www.norway.or.id/PageFiles/404362/
Letter_of_Intent_Norway_Indonesia_26_May_2010.pdf . Diakses tanggal 8 Juni
2013.
REDD+ adalah sukses terbesar perundingan perubahan iklim ungkap Norwegia,
http://blog.cifor.org/6291/redd-meraih-sukses-terbesar-dalam-perundingan-
perubahan-iklim-ungkap-norwegia/#.Ubct4ZwW4fQ , Diakses tanggal 7 juni 2013.
Tanya-Jawab tentang Kerjasama REDD+ Indonesia dengan Norwegia,
http://www.satgasreddplus.org/satgas-redd/kemitraan/perjanjian-kerjasama diakses
tanggal 7 juni 2013.
Tanya Jawab Mengenai REDD+, http://www.satgasreddplus.org/tentang-redd/tanya-
jawab , diakses tanggal 7 juni 2013.
Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011
http://www.kemendagri.go.id/media/documents/2011/09/19/i/n/inpres_no.10-
2011.pdf, Diakses tanggal 7 Juni 2013.
Kajian Para Pihak Terkait dengan Upaya Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan
Degradasi Hutan di KalimantanTengah
http://forestclimatecenter.org/redd/2011-11%20Kajian%20Para%20Pihak%20Terkait
%20--%20REDD%20di%20Kalteng.pdf, Diakses tanggal 7 juni 2013
Green Peace terhadap LOI Indonesia-Norwegia
http://www.greenpeace.org/seasia/id/System-templates/Search-results/?
all=NORWEGIA%20dan%20indonesia, Diakses tanggal 7 juni 2013