tugas jurnal pesek

67
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada masa lanjut usia secara bertahap seseorang mengalami berbagai kemunduran, baik kemunduran fisik, mental, dan social (Azizah, 2011). Perubahan fisik yang terjadi pada setiap lanjut usia sangat bervariasi, perubahan ini terjadi dalam berbagai sistem, yaitu system integumen, sistem kardiovaskuler, sistem gastrointestinal, system reproduksi, sistem muskuloskeletal, sistem neurologis, dan system perkemihan. Semua perubahan fisiologis ini bukan merupakan proses patologis, tetapi perubahan fisiologis umum yang perlu diantisipasi (Potter & Perry, 2005). Pada lanjut usia sering terjadi masalah “empat besar” yang memerlukan perawatan segera, yaitu: imobilisasi, ketidakstabilan, gangguan mental, dan inkontinensia. Pada wanita usia lanjut banyak yang mengeluhkan kesulitan dalam mengontrol buang air kecil. Sekitar 30-50% wanita lanjut usia menderita inkontinensia urin. Inkontinensia urin atau yang lebih dikenal dengan beser sebagai bahasa awam merupakan gangguan pada sistem perkemihan berupa keluarnya urin yang tidak terkendali dalam waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya yang akan membuat penderitanya akan merasa terganggu, 1 | Page

Upload: annisa-wahyuningsih

Post on 15-Sep-2015

39 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangPada masa lanjut usia secara bertahap seseorang mengalami berbagai kemunduran, baik kemunduran fisik, mental, dan social (Azizah, 2011). Perubahan fisik yang terjadi pada setiap lanjut usia sangat bervariasi, perubahan ini terjadi dalam berbagai sistem, yaitu system integumen, sistem kardiovaskuler, sistem gastrointestinal, system reproduksi, sistem muskuloskeletal, sistem neurologis, dan system perkemihan. Semua perubahan fisiologis ini bukan merupakan proses patologis, tetapi perubahan fisiologis umum yang perlu diantisipasi (Potter & Perry, 2005).Pada lanjut usia sering terjadi masalah empat besar yang memerlukan perawatan segera, yaitu: imobilisasi, ketidakstabilan, gangguan mental, dan inkontinensia. Pada wanita usia lanjut banyak yang mengeluhkan kesulitan dalam mengontrol buang air kecil. Sekitar 30-50% wanita lanjut usia menderita inkontinensia urin. Inkontinensia urin atau yang lebih dikenal dengan beser sebagai bahasa awam merupakan gangguan pada sistem perkemihan berupa keluarnya urin yang tidak terkendali dalam waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya yang akan membuat penderitanya akan merasa terganggu, tidak menyenangkan dan tidak nyaman, menyebabkan masalah sosial dan higienis penderitanya. Faktor resiko terjadinya inkontinensia urin antara lain jenis kelamin wanita, usia lanjut / menopause, paritas tinggi, gangguan neurologis, kelebihan berat badan, perokok, minum alkohol, intake cairan berlebihan atau kurangnya aktifitas. Faktor risiko lain yang dapat mempengaruhi terjadinya inkontinensia, antara lain adalah kasus persalinan per vaginam, BMI, riwayat histerektomi, infeksi saluran kemih, dan trauma perineum.Prevalensi inkontinensia urin cukup tinggi, yakni pada wanita kurang lebih 10-40% dan 4-8% sudah dalam keadaan cukup parah pada saat datang berobat. Pada pria prevalensinya lebih rendah daripada wanita yaitu kurang lebih separuhnya. Survai yang dilakukan diberbagai negara Asia didapat bahwa prevalensi pada beberapa negara Asia adalah rata-rata 21,6% (14,8% pada wanita dan 6,8% pada pria). Sedangkan prevalensi pada wanita Indonesia 5,8%. Dibandingkan pada usia produksi, pada usia lanjut prevalensi inkontinensia lebih tinggi. Prevalensi inkontinensia urin pada manula wanita sebesar 38% dan Pria 19% (Purnomo, 2008). Sekitar 50% usia lanjut di instalasi perawatan kronis dan 11-30% di masyarakat mengalami inkontinensia urin. Prevalensinya meningkat seiring dengan peningkatan umur. Perempuan lebih sering mengalami inkontinensia urin dibandingkan lakilaki dengan perbandingan 1,5 : 1 (Setiati, dkk, 2007). Tahun 2006 jumlah usila di Indonesia sudah lebih dari 19 juta jiwa atau 8,90% dari jumlah penduduk di Indonesia. Jumlah ini diperkirakan akan teru smeningkat sampai lebih dari 23,9 juta jiwa pada tahun 2010 dan 28,8 juta jiwa pada tahun 2020 (Deputi I Menkokesra, 2005).Tingginya angka kejadian inkotinensia urin menyebabkan perlunya penatalaksanaan tersendiri yang sesuai. Adapun penatalaksanaan inkontinensia urin terdiri atas tiga kategori utama, yaitu terapi farmakologis, nonfarmakologis dan pembedahan. Terapi farmakologis dan pembedahan dapat dilakukan namun keuntungan serta resikonya tidak selalu dapat diterima (Robert & Ross, 2006). Terapi nonfarmakologis lebih disukai karena tidak punya efek samping, sedangkan pembedahan dilakukan sebagai alternatif terakhir. Sehingga terapi yang sebaiknya pertama kali dipilih adalah terapi nonfarmakologis sebelum menetapkan menggunakan terapi farmakologis atau terapi pembedahan. Terapi utama dalam kelompok terapi non farmakologis dikenal sebagai Behavioral therapies, yaitu berbagai intervensi yang diajarkan kepada pasien untuk memodifikasi perilaku kesehariannya terhadap kontrol kandung kemih. Terapi behavioral dapat dilakukan dengan cara pengaturan frekuensi (penjadwalan) miksi, pengaturan diet, latihan otot dasar panggul atau Kegel exercise, bladder training, program kateterisasi intermitten, dan lain-lain (Elhan, 2008; FallonCommunity Health Pain, 2003).

1.2 Rumusan Masalah1. Bagaimanakah konsep inkontinensia urin?2. Bagaimanakah gambaran tentang inkontinensia urin dalam kasus pada lansia?

1.3 Tujuan1. Untuk memberikan wawasan serta pengetahuan yang luas tentang inkontinensia urin kepada pembaca, khususnya kepada para perawat ataupun mahasiswa.2. Untuk memberikan gambaran tentang inkontinensia urin dalam kasus pada lansia yang terjadi di kalangan masyarakat

1.4 Manfaat1. Mahasiswa mengetahui dan mengerti tentang inkontinensia urin secara lebih luas2. Mahasiswa mengetahui kasus atau masalah yang berhubungan dengan inkontinensia urin pada lansia

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 DefinisiInkontinensia Urine (IU) atau yang lebih dikenal dengan beser sebagai bahasa awam merupakan salah satu keluhan utama pada penderita lanjut usia. Inkontinensia urine adalah pengeluaran urin tanpa disadari dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan sosial. Variasi dari inkontinensia urin meliputi keluar hanya beberapa tetes urin saja, sampai benar-benar banyak, bahkan terkadang juga disertai inkontinensia alvi (disertai pengeluaran feses) (brunner, 2011).Menurut International Continence Society, inkontinensia urin adalah keluarnya urin tanpa sadar yang menimbulkan masalah social dan hygiene, serta secara objektif tampak nyata. Inkontinensia urin kiranya suatu masalah kesehatan yang umum di kalangan wanita, sekalipun di usia muda (Hagglund et al., 1999).Sedangkan menurut Setiati dan Pramantara (2007) penggambaran definisi Inkontinensia Urin yang lainnya adalah sebagai berikut:1) Menurut keluarnya urin:a. Kesulitan menahan berkemih sampai mencapai toiletb. Keluarnya air kencing yang tidak diharapkanc. Hilangnya pengendaliaan berkemih2) Menurut frekuensi:a. Selalu terjadib. Terjadi satu tahun yang laluc. Terjadi satu bulan yang lalud. Terjadi satu minggu yang lalue. Terjadi setiap hari

2.2 EtiologiSecara umum penyebab inkontinensia urin adalah kelainan urologis, neurologis, atau fungsional. Kelainan urologis pada inkontinensia urin dapat disebabkan karena adanya batu, tumor, atau radang. Kelainan neurologis seperti kerusakan pada pusat miksi di pons, antara pons dan sakral medula spinalis, serta radiks S2-S4 akan menimbulkan gangguan dari fungsi kandung kemih dan hilangnya sensibilitas kandung kemih, seperti pada pasien stroke, Parkinson, pasien dengan trauma medula spinalis, maupun pasien dengan lesi pasca operasi. Kelainan fungsional disebabkan oleh karena hambatan mobilitas pada pasien (Hendra dan Moeloek, 2002; Japardi, 2002; Resnick and Yalla, 1998; Setiati dan Pramantara, 2007).Inkontinensia urin pada wanita dapat terjadi akibat melemahnya otot dasar panggul yang dapat disebabkan karena usia lanjut, menopause, kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), kurang aktivitas, atau adanya infeksi saluran kemih. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause, akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urin. Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan konsepsi dapat menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul dan saraf perifer pelvis rusak akibat regangan otot serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine. Pada infeksi traktus urinarius dapat menyebabkan iritasi kandung kemih sehingga timbul frekuensi, disuria dan urgensi (Vitriana, 2002; Setiati dan Pramantara, 2007)Baik secara langsung maupun tidak langsung, merokok juga akan berakibat pada terjadinya inkontinensia urin. Hal ini disebabkan karena pada perokok memiliki resiko penyakit paru obstruktif kronis dan timbul batuk kronis yang dapat mengakibatkan peningkatan tekanan intraabdomen. Sehingga merokok dapat menjadi penyebab inkontinensia urin (Luber, 2004).

2.3 Manifestasi KlinisTanda dan gejala yag ditemukan pada pasien dengan retensi urin menurut Uliyah (2008) yaitu:1. Ketidaknyamanan daerah pubis2. Distensi vesika urinaria3. Ketidak sanggupan untuk berkemih4. Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urine. (25-50 ml)a. Ketidakseimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan asupannyab. Meningkatkan keresahan dan keinginan berkemihc. Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.

2.4 PatofisiologiPada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan fisiologis juga dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan lingkungan. Pada tingkat yang paling dasar, proses berkemih diatur oleh reflek yang berpusat di pusat berkemih disacrum. Jalur aferen membawa informasi mengenai volume kandung kemih di medulla spinalis (Darmojo, 2000)Pengisian kandung kemih dilakukan dengan cara relaksasi kandung kemih melalui penghambatan kerja syaraf parasimpatis dan kontraksi leher kandung kemih yang dipersarafi oleh saraf simpatis serta saraf somatic yang mempersyarafi otot dasar panggul (Guyton, 1995).Pengosongan kandung kemih melalui persarafan kolinergik parasimpatis yang menyebabkan kontraksi kandung kemih sedangkan efek simpatis kandung kemih berkurang. Jika kortek serebri menekan pusat penghambatan, akan merangsang timbulnya berkemih. Hilangnya penghambatan pusat kortikal ini dapat disebabkan karena usia sehingga lansia sering mengalami inkontinensia urin. Karena dengan kerusakan dapat mengganggu kondisi antara kontraksi kandung kemih dan relaksasi uretra yang mana gangguan kontraksi kandung kemih akan menimbulkan inkontinensia (Setiati, 2001).

2.5 KlasifikasiInkontinensia urin dapat diklasifikasikan berdasarkan durasinya yaitu Transient Incontinence (sementara) dan Established / True Incontinence (menetap):1) Transient IncontinenceBersifat sementara dan biasanya hanya berdurasi singkat, sampai faktor yang menimbulkan dihilangkan. Dialami oleh hampir separuh pasien di rumah sakit dan pada sepertiga orang tua. Secara umum dihubungkan dengan masalah medis, faktor lingkungan, dan terapi obat. Evaluasi pada pasien terhadap faktor yang berhubungan dengan inkontinensia urin transien mampu mengembalikan kemampuan pasien menahan kencing. Penyebab umum dari Inkontinensia Urin Transien ini sering disingkat DIAPPERS, yaitu:a) D Delirium atau kebingungan - pada kondisi berkurangnya kesadaran baik karena pengaruh obat atau operasi, kejadian inkontinensia akan dapat dihilangkan dengan mengidentifikasi dan menterapi penyebab delirium.b) I Infection infeksi saluran kemih seperti cystitis dan urethritis dapat menyebabkan iritasi kandung kemih, sehingga timbul frekuensi, disuria dan urgensi yang menyebabkan seseorang tidak mampu mencapai toilet untuk berkemih.c) A Atrophic Uretritis atau Vaginitis jaringan yang teriritasi dapat menyebabkan timbulnya urgensi dan sangat berespon terhadap pemberian terapi estrogen.d) P Pharmaceuticals karena obat-obatan, seperti terapi diuretik akan meningkatkan pembebanan urin di kandung kemih.e) P Psychological Disorder seperti stres, anxietas, dan depresi.f) E Excessive Urin Output dapat karena intake cairan, diuretik, alkoholisme, pengaruh kafein. g) R Restricted Mobility penurunan kondisi fisik lain yang mengganggu mobilitas untuk mencapai toilet.h) S Stool Impaction pengaruh tekanan feses pada kondisi konstipasi akan mengubah posisi kandung kemih dan menekan saraf.

2) Established / True IncontinenceEstablished / True Incontinence merupakan inkontinensia urin yang bersifat menetap dan dapat diklasifikasikan berdasarkan gejalanya menjadi:a) Inkontinensia Tipe UrgensiTipe ini ditandai dengan pengeluaran urin di luar pengaturan berkemih yang normal. Biasanya dalam jumlah yang banyak, karena ketidakmampuan menunda berkemih setelah sensasi penuhnya kandung kemih diterima oleh pusat yang mengatur proses berkemih. Terdapat gangguan pengaturan rangsang dan otot-otot detrusor kandung kemih. Istilah lain inkontinensia tipe ini adalah over aktivitas detrusor. Gejala klinis yang timbul adalah keinginan berkemih yang mendadak dan terburu-buru.

b) Inkontinensia Tipe StresKeluarnya urin di luar pengaturan berkemih, biasanya dalam jumlah sedikit, akibat peningkatan tekanan intra abdominal seperti saat bersin, tertawa, atau olahraga, jarang terdapat pada pria dan biasanya tidak mengeluhkan adanya nokturia.

c) Inkontinensia Tipe LuapanTipe ini ditandai dengan keluarnya urin dalam jumlah sedikit, sering berkemih dan nokturia. Tipe ini banyak dijumpai pada pria. Penyebab umum dari inkontinensia urin tipe ini antara lain sumbatan akibat kelenjar prostat yang membesar dan penyempitan jalan keluar urin.

d) Inkontinensia Tipe FungsionalKebocoran urin secara dini akibat ketidakmampuan subjek mencapai toilet pada waktunya karena gangguan fisik, kognitif atau hambatan situasi dan lingkungan. Misalnya pada orang dengan kursi roda, menderita Alzheimer, atau arthritis membutuhkan cukup banyak waktu untuk mencapai toilet. Namun inkontinensia tipe ini sebenarnya memiliki fungsi saluran kemih yang normal.

e) Inkontinensia Tipe CampuranTipe-tipe inkontinensia dapat terjadi bersamaan. Apabila terjadi secara bersamaan maka kondisi ini sering disebut inkontinensia urin kompleks / campuran (Hendra dan Moeloek, 2002; Merkelj, 2002; Moore, 2003; Resnick and Yalla, 1998; Shimp and Peggs, 2000).

2.6 Pemeriksaan Diagnostik1. UrinalisisDigunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa dalam urine.2. UroflowmeterDigunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien berkemih.

3. CysometryDigunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih dengan mengukur efisiensi refleks otot destrusor, tekana dan kapasitas intravesikal, dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan panas.

4. Urografi ekskretorikDisebut juga pielografi intravena, digunakan untuk mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal, ureter dan kandung kemih.

5. Kateterisasi residu pascakemihDigunakan untuk menentukan luasnya pengosongan kandung kemih dan jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien berkemih.2.7 Penatalaksanaan1. Inkontinensia Urgensi Latihan mengenal sensasi berkemih dan penyesuaiany Obat-obatan untuk merelaksasi kandung kemih dan estrogen Tindakan pembedahan untuk mengambil sumbatan dan lain-lain keadaan patologik yang menyebabkan iritasi pada saluran kemih bagian bawah Kateterisasi, bila mungkin secara intermiten, dan kalau tidak mungkin secara menetap Tindakan pembedahan untuk mengangkat penyebab sumbatan

2. Inkontensia overflow Kateterisasi, bila mungkin secara intermiten, dan kalau tidak mungkin secara menetap Tindakan pembedahan untuk mengangkat penyebab sumbatan

3. Inkontinensia tipe fungsional Penyesuaian sikap berkemih antara lain dengan jadwal dan kebiasaan berkemih Pekaian dalam dan kain penyerap khusus lainnya Penyesuaian/modifikasi lingkungan tempat berkemih Kalau perlu digaunakan obat-obatan yang merelaksasi kandung kemih

2.8 Komplikasi1. Meningkatkan efek samping dari penggunaan obat-obatan2. Meningkatkan peluang infeksi karena pajanan urin terus-menerus3. Komplikasi bedah seperti perdarahan, kerusakan sekitar pembuluh darah dan nervus.

1. Deteksi Inkontinensia Urin pada Usia Post Menopause dengan Menggunakan Kuesioner IIQ-7 dan UDI-6 Urinary Incontinence Detection In Post-Menopause Age Using IIQ-7 And UDI-6

Salah satu masalah dalam berkemih adalah inkontinensia urin. Pada wanita usia lanjut banyak yang mengeluhkan kesulitan dalam mengontrol buang air kecil. Pada penelitian Buchsbaum dkk didapatkan angka kejadian terbanyak inkontinensia urin terbanyak pada kelompok postmenopause. Berbagai faktor risiko dapat mempengaruhi terjadinya inkontinensia ini, antara lain persalinan per vaginam, BMI, riwayat histerektomi, infeksi saluran kemih, dan trauma perineum. Gangguan ini sering kali berdampak terhadap kualitas hidup individu yang bersangkutan. Namun demikian sebagian besar individu dengan gangguan ini tidak berupaya datang untuk berobat. Oleh karena itu, agak sulit untuk mengetahui prevalensi dan dampak sosial inkontinensia ini secara pasti. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka kejadian inkontinensia urin pada usia postmenopause berdasarkan kuesioner Incontinence Impact Questionnaire (IIQ-7) dan Urinary Distress Inventory (UDI-6) di Bagian Obstetri & Ginekologi, FK Unsrat/RSU Prof. Dr. R.D. Kandou, Manado. Penelitian menggunakan metode deskriptif observasional dengan cara wanita usia postmenopause diminta kesediaannya mengisi kuesioner. Subjek penelitian ini adalah 75 wanita postmenopause dengan umur rerata 56 tahun. Berdasarkan Indeks Massa Tubuh didapatkan 61,3% wanita dengan postur tubuh normal; 5,3% kurus; 29,3% gemuk dan 4,0% obesitas. Sebesar 6,7% responden dengan riwayat histerektomi dan 5.3% dengan riwayat stroke. Dari keseluruhan responden 92% mengeluhkan inkontinensia urin dan 90,7% terganggu aktifitas hidupnya. Terbanyak pada kelompok umur 50-54 tahun. Keluhan inkontinensia ditemukan pada kelompok dengan berat badan normal (57,3%). Terdapat 3 wanita dengan obesitas, semuanya mengalami inkontinensia urin. Pada kelompok kawin lebih sering (88,0%) ditemukan keluhan inkontinensia urin. Pada penelitian ini didapatkan semua wanita dengan 3 anak atau lebih mengeluh inkontinensia urin. Simpulan penelitian ini adalah keluhan inkontinensia urin terbanyak ditemukan pada kelompok umur 50-54 tahun. Berdasarkan indeks massa tubuh didapatkan wanita dengan postur tubuh normal, riwayat histerektomi, dan riwayat stroke tidak bermakna mengalami keluhan inkontinensia urin. Ibu dengan 3 anak atau lebih pada penelitian ini didapatkan angka kejadian inkontinensia yang tinggi.

2. Hubungan Kelebihan Berat Badan Dengan Inkontinensia Urin Pada Wanita Di Wilayah Surakarta

Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya yang mengakibatkan masalah sosial dan higienis penderitanya (Setiati dan Pramantara, 2007).. Dalam masyarakat masalah ini sangat jarang dikeluhkan, namun inkontinensia urin ini merupakan salah satu masalah penting dalam hal kesehatan. Inkontinensia urin meningkat seiring dengan bertambahnya usia, namun dapat terjadi di segala rentang usia. Kejadian ini lebih sering dijumpai pada wanita, karena secara anatomi uretra wanita lebih pendek dibanding pria. Adanya peningkatan status ekonomi di negara-negara berkembang, terjadi pula peningkatan prevalensi orang-orang dengan berat badan berlebih/IMT (Indeks Massa Tubuh) yang tinggi. Peningkatan IMT ini akan meningkatkan resiko terjadinya inkontinensia urin, dimana akan terjadi peningkatan tekanan intraabdominal dan kelemahan otot dasar panggul.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan kelebihan berat badan dengan inkontinensia urin pada wanita di wilayah Surakarta. Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan pendekatan cross sectional dimana teknik sampling yang digunakan adalah purposive cluster random sampling. Besar sampel sebanyak 100 wanita dengan rentang usia 25-45 tahun, yang terdiri dari 50 wanita dengan berat badan normal dan 50 wanita dengan berat badan berlebih (overweight dan obesitas). Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan uji korelasi Lambda.Didapatkan bahwa wanita dengan berat badan normal cenderung tidak mengalami inkontinensia urin yakni sejumlah 38 orang (65.5%) daripada wanita dengan berat badan berlebih, dengan kata lain inkontinensia urin lebih banyak dialami oleh wanita dengan berat badan berlebih yakni sejumlah 30 orang (71,4%). Hal ini sesuai dengan teori bahwa wanita dengan berat badan berlebih memiliki resiko lebih besar untuk mengalami inkontinensia urin. IMT yang tinggi akan memudahkan terjadinya inkontinensia urin, dan suatu hubungan yang positif antara IMT dengan inkontinensia urin. Berdasarkan hasil penghitungan dengan menggunakan uji Lambda tampak nilai p < 0.05 dan kekuatan hubungan antara kelebihan berat badan dengan inkontinensia urin dengan nilai sebesar 0.238. Berarti kedua variabel yang diuji memiliki suatu hubungan yang signifikan dimana variabel bebas memiliki pengaruh terhadap variabel tergantung, yakni kelebihan berat badan mampu menjadi faktor terjadinya inkontinensia urin. Kekuatan hubungan keduanya adalah lemah, dimana orang dengan kelebihan berat badan akan memiliki resiko tinggi mengalami inkontinensia urin, namun tidak semua orang dengan berat badan berlebih akan mengalami inkontinensia urin (Dahlan, 2008).

3. Pengalaman Lansia Dalam Penanganan Inkontinensia Urine Di Wilayah Kerja Puskesmas Kamonji

Proses menua merupakan proses yang unik dan terjadi pada semua orang yang dipengaruhi oleh factor biologis, psikologis, social, fungsional dan spiritual. Proses menua yang dialami oleh individu akan menyebabkan gangguan atau penurunan fungsi organ tubuh yang dapat mempengaruhi status kesehatan seseorang. Salah satu masalah kesehatan yang terjadi pada lansia adalah gangguan pada system urinarius yaitu inkontinensia urine. Inkontinensia urine adalah pengeluaran urine dari kandung kemih yang tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan (Smeltzer & Bare, 2000). Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin. Penanganan inkontinensia urin sebagian besar tergantung pada penyebabnya. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mendalam tentang pengalaman lansia terkait penanganan inkontinensia urine di Wilayah Kerja Puskesmas Kamonji. Rancangan penelitian ini menggunakan desain riset kualitatif dengan model pendekatan fenomenologi deskriptif. Tahapan penelitan fenomenologi deskriptif terdiri dari: intuiting, analyzing dan describing. Peneliti pada tahap intuiting memahami pengalaman lansia berdasarkan kerangka berpikir peneliti sendiri dengan melakukan literature review. Data diolah dengan menggunakan teknik Collaizi (1978) yang terdiri dari 7 (tujuh) langkah. Jumlah partisipan yang ikut serta dalam penelitian ini adalah 2 orang dengan usia > 90 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanda dan gejala inkontinensia urine yaitu buang air kecil di sembarang tempat. Tidak ada pencegahan khusus untuk menangani inkontinensia urine. Tidak ada penanganan secara medis dan konservatif yang dilakukan dan petugas kesehatan tidak pernah memberi tahu tentang perawatan inkontinensia urine. Kesimpulannya didapatkan 3 (tiga) tema pengalaman lansia terhadap penanganan inkontinensia urine yaitu buang air kecil dimana saja, tidak ada pencegahan khusus untuk mengatasi ngompol, dan petugas kesehatan tidak pernah memberi tahu tentang perawatan. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan bagi puskesmas berupa tambahan pengetahuan dan wawasan dalam praktik keperawatan sehingga dalam pelaksanaan Panti Sosial Tresna Werda agar lebih memperhatikan masalah-masalah yang dihadapi lansia terutama mengenai masalah inkontinensia urine.

4. Efektivitas Terapi Behavioral Terhadap Inkontinensia Urin Pada Usila Di PSTW Budi Luhur Yogyakarta

Inkontinensia urin merupakan gangguan pada sistem perkemihan berupa kehilangan kemampuan kontrol berkemih yang dapat bersifat sementara maupun menetap. Inkontinensia urin lebih sering terjadi pada kelompok usia tua atau lanjut usia (usila). Diperkirakan 1 dari 10 orang yang berusia 65 tahun atau lebih menderita gangguan ini. Kejadian inkontinensia urin dapat ditemukan pada 50% usila yang ada di nursing homes atau panti sosial tresna werdha (PSTW). Terapi utama dalam kelompok terapi non farmakologis dikenal sebagai Behavioral therapies, yaitu berbagai intervensi yang diajarkan kepada pasien untuk memodifikasi perilaku kesehariannya terhadap kontrol kandung kemih. Terapi behavioral dilakukan dengan cara pengaturan frekuensi (penjadwalan) berkemih. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas terapi behavioral berupa penurunan frekuensi keluhan inkontinensia urin pada usila. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan desain Pre-Post Test Eksperimen. Sampel penelitian adalah usila inkontinensia urin di PSTW Budi Luhur Yogyakarta. Teknik pengambilan sampel dengan Purposive Sampling, didapat 15 responden. Analisa data yang digunakan adalah uji Wilcoxon untuk mengetahui perbandingan hasil pretest dan posttest setelah perlakuan terapi behavioral. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terapi behavioral tidak mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap inkontinensia urin pada usila di PSTW Budi Luhur, dengan nilai Z sebesar -1,694 dan p sebesar 0,090 pada level p 5, lama menopause > 10 tahun, dan cara persalinan menunjukkan hubungan yang bermakna (p 5, lama menopause > 10 tahun dan cara persalinan, inkontinensia urin mengganggu perasaan dan perilaku, tetapi masih banyak yang belum berusaha untuk mengatasinya.

10. Pelatihan Terpadu (Kegel dan Core Stability) Meningkatkan Kekuatan Otot Dasar Panggul Wanita MultiparaKekuatan otot dasar panggul (ODP) menurun setelah hamil dan melahirkan pervaginam terutama pada wanita multipara. Kelemahan ODP bisa meng-akibatkan gangguan berkemih, prolap organ pelvis, dan disfungsi seksual. Kelemahan ODP bisa dikuatkan kembali dengan pelatihan penguatan ODP dan sudah teruji manfaatnya bila dilakukan secara benar tanpa menggunakan otot-otot penunjang lain-nya. Pelatihan terpadu (Kegel dan core stability) lebih selektif untuk meningkatkan kekuatan ODP. Otot dasar panggul dan otot transversus abdominus merupakan grup otot core yang telah diketahui merupakan bagian dari sistem stabilitas lumbo-pelvis. Komponen yang lain adalah diafragma thorak dan otot multividus. Meningkatnya aktifitas otot transversus abdominus sinergis dengan meningkatnya aktivitas otot dasar panggul. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pelatihan terpadu (Kegel dan core stability) meningkatkan kekuatan ODP. Metode penelitian ini adalah penelitian true experimental, randomized pre and post test group design. Dari 24 wanita multipara usia 28-49 tahun karyawan R.S Setia Mitra yang memenuhi kriteria inklusi dibagi dua kelompok perlakuan secara random sama banyak. Kelompok perlakuan I diberi pelatihan ODP (metode Kegel) dan kelompok perlakuan II diberi pelatihan terpadu (Kegel dan Core stability). Pelatihan dilakukan 3x per minggu selama 8 minggu. Semua sampel diwajibkan pula melakukan pelatihan penguatan ODP sendiri sambil melakukan aktivitas sehari-harinya. Sebelum dan setelah 8 minggu pelatihan semua sampel diukur kekuatan ODP dengan pelvixiser perineumeter. Hasil penelitian ini menunjukkan kekuatan ODP kelompok perlakuan I sebelum pelatihan didapat nilai rerata 11 (2,86) dan sesudah pelatihan 15,33 (3,025) berbeda secara bermakna (p 10 tahun dan cara persalinan, inkontinensia urin mengganggu perasaan dan perilaku, tetapi masih banyak yang belum berusaha untuk mengatasinya.

10.Sri Kustini, Pelatihan Terpadu (Kegel dan Core Stability) Meningkatkan Kekuatan Otot Dasar Panggul Wanita Multipara, 2010, Jakarta.Untuk mengetahui pelatihan terpadu (Kegel dan core stability) meningkatkan kekuatan ODP.Metode penelitian ini adalah penelitian true experimental, randomized pre and post test group design. Kemudian semua sampel diukur kekuatan ODP dengan pelvixiser perineumeter.Sampel: 24 wanita multipara usia 28-49 tahun karyawan R.S Setia Mitra yang memenuhi kriteria inklusi dibagi dua kelompok perlakuan secara random sama banyak. Lama Penelitian 8 minggu (Juli-September 2010).Hasil penelitian ini menunjukkan kekuatan ODP kelompok perlakuan I sebelum pelatihan didapat nilai rerata 11 (2,86) dan sesudah pelatihan 15,33 (3,025) berbeda secara bermakna (p