jurnal tugas toksik1

33
Universitas Sumatera Utara

Upload: desty-dwi-anggraini

Post on 24-Jul-2015

211 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: jurnal tugas toksik1

10

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Rhodamin B

2.1.1. Karakteristik Kimia Rhodamin B

Rhodamin merupakan senyawa kimia murni yang berbahaya (harmful),

terbagi atas rhodamin B, rhodamin 6 G dan rhodamin 123. Struktur kimia

rhodamin B dapat ditunjukkan pada Gambar 2.1 berikut.

Gambar 2.1. Struktur Kimia Rhodamin B ( Brantom, 2005)

Rhodamin B memiliki nama kimia N-[9-(2-Carboxyphenyl)-6-(diethylamino)-

3H-xanthen-3-ethyethanaminium chlorida. Sinonimnya adalah tetra

ethylrhodamine, D & C Red No.19, Rhodamine B Chloride, C.l. Basic Violet

10, C. l. 45170 dengan rumus molekul : C28H31N2O3Cl. Bobot Molekul

(BM) : 479,02 dan Titik Lebur : 165 °C. Nomor CAS:81-88-9. Nomor IMIS:

Universitas Sumatera Utara

Page 2: jurnal tugas toksik1

11

0848. Kelarutan: sangat larut dalam air dan alkohol, sedikit larut dalam asam

hidroklorida dan natrium hidroksida (Merck Index, 2006).

Di Indonesia, berdasarkan Peraturan Menkes RI No.722/Menkes/Per/

IX/1988 dan Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan (POM) No.00366/C/

II/1990 menyatakan bahwa rhodamin B termasuk dalam 30 zat pewarna bahan

berbahaya yang tidak boleh terdapat di dalam obat, makanan dan kosmetik

(Menkes RI, 1985; Ditjend POM Depkes RI, 1990).

Rhodamin B merupakan zat pewarna sintetis berbentuk serbuk kristal

berwarna kehijauan, dalam bentuk larutan pada konsentrasi tinggi berwarna

merah keunguan dan konsentrasi rendah berwarna merah terang (Trestiati,

2003; Merck Index, 2006). Termasuk golongan pewarna xanthenes basa, dan

terbuat dari meta-dietilaminofenol dan ftalik anhidrid, suatu bahan yang tidak

bisa dimakan (Nainggolan dan Sihombing, 1984) serta sangat berfluoresensi

(Merck Index, 2006).

Rhodamin B digunakan sebagai pewarna kertas, kapas, wool, serat kulit

kayu, nilon, sabun dan industri tekstil sebagai pewarna bahan kain atau

pakaian (Merck Index, 2006) dan dalam laboratorium digunakan sebagai

pereaksi (reagensia) untuk identifikasi plumbum, bismuth, kobalt, merkuri

(Cu), mangan (Mg), thalium (Th) dan sebagai bahan uji pencemaran air

(CTFA, 1991).

Universitas Sumatera Utara

Page 3: jurnal tugas toksik1

12

2.1.2. Dampak Rhodamin B

Rhodamin B merupakan zat warna yang berbahaya yang sampai

sekarang masih banyak disalahgunakan dalam mewarnai berbagai makanan

dan minuman. Analisis yang menggunakan metode destruksi yang dilanjutkan

dengan metode spektrofometri, telah diketahui bahwa sifat racun rhodamin B

tidak hanya disebabkan senyawa organik, tetapi oleh karena kontaminasi

senyawa anorganik terutama timbal dan arsen (Subandi, 1999). Dengan

terkontaminasinya rhodamin B dengan kedua unsur tersebut, menyebabkan

rhodamin B berbahaya jika digunakan sebagai pewarna pada makanan, obat

maupun kosmetik. Hal ini didukung oleh Winarno (2004) yang menyatakan

bahwa timbal memang banyak digunakan sebagai pigmen atau zat pewarna

dalam industri kosmetik dan kontaminasi dalam makanan dapat terjadi akibat

penggunaan zat pewarna tekstil tersebut.

Di dalam struktur rhodamin B terdapat ikatan dengan senyawa klorin

(Cl) dimana atom klorin tergolong sebagai senyawa halogen dan sifat halogen

yang berada di dalam senyawa organik sangat berbahaya dan memiliki

reaktivitas yang tinggi untuk mencapai kestabilan dalam tubuh dengan cara

berikatan terhadap senyawa-senyawa di dalam tubuh yang menimbulkan efek

toksik dan memicu kanker pada manusia (Kusmayadi dan Sukandar 2009).

Juga senyawa Alkilating (CH3-CH3 ) dan bentuk struktur kimia yang poli

Universitas Sumatera Utara

Page 4: jurnal tugas toksik1

13

aromatik hidrokarbon (PAH) dimana bentuk senyawa tersebut bersifat sangat

radikal, menjadi bentuk metabolit yang reaktif setelah mengalami aktivasi

dengan enzim sitokrom P-450. Bentuk radikal ini akan berikatan dengan

protein, lemak dan DNA (Levi,1987 ; Zakaria et al., 1996).

Beberapa dari hasil penelitian uji toksisitas menunjukkan rhodamin B

memiliki LD50 lebih dari 2000mg/kg, dan dapat menimbulkan iritasi kuat pada

membran mukosa (Otterstätter, 1999 dalam Wirasto, 2008) sedangkan pada

hewan percobaan tikus ditemukan bahwa dosis lethal LD50 per-oral sebesar

887mg/kg, dan dosis terendah sebesar 500mg/kg (RTECS, 2005). Menurut

Parodi et al., (1982), LD50 per-oral pada tikus 90mg/kgBB. Sedangkan

menurut Singh et al., (1987) LD50 per-oral pada tikus yaitu lebih besar dari

10,56mg/kgBB dan secara intra vena pada tikus LD50 sebesar 89,5 mg/kgBB

(Merck Index, 2006). Rhodamin B bersifat karsinogenik dan genotoksik

(Brantom, 2005).

Dampak mengkonsumsi rhodamin B dalam jumlah besar dan berulang-

ulang akan terjadi penumpukan dalam tubuh yang dapat menimbulkan iritasi

pada mukosa saluran pencernaan, dan bila terhirup dapat mengiritasi saluran

pernafasan, iritasi pada kulit, mata tampak kemerahan dan udem (Yulianti,

2007), serta menimbulkan kerusakan pada organ hepar, ginjal maupun limpa

(Trestiati, 2003; Lee et al., 2005). Pemberian rhodamin B secara subkutan

pada hewan mencit dan tikus dapat menimbulkan sarkoma, pembesaran organ

Universitas Sumatera Utara

Page 5: jurnal tugas toksik1

14

hati, ginjal dan limfa yang diikuti perubahan anatomi berupa pembesaran

organ (Merck Index, 2006). Nainggolan dan Sihombing (1984) menyatakan

bahwa pemberian rhodamin B dan metanil yellow per-oral pada mencit selama

16 minggu menunjukkan perubahan gizi yang buruk, semua simpanan lemak

di dalam tubuh habis, hepatoma, perubahan ginjal di bagian pielum dan

bagian korteks yang menipis.

Menurut International Agency for Research on Cancer (IARC) tahun

1978, pemberian rhodamin B per-oral dalam kosentrasi 0, 0.1, 0.25, 0.5, 1.0%

setelah 18 minggu terlihat pertumbuhan berat badan yang lambat pada tikus

sedangkan dalam konsentrasi 2,0% mengakibatkan semua hewan tikus mati

pada hari ke 42 (minggu ke-6) akibat kerusakan multiorgan.

Dengan mengetahui bahaya akibat zat pewarna rhodamin B, hal-hal

yang harus dilakukan untuk menghindari produk makanan yang menggunakan

zat perwarna bahaya harus diperhatikan bahwa : (1) setiap pembelian produk

makanan baca jenis dan jumlah pewarna yang digunakan dalam produk

tersebut; (2) perhatikan label pada setiap kemasan produk dan pastikan di

label tercantum izin dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) yang

tertulis “POM dan nomor izin pendaftaran” dan bila produk tersebut hasil

industri rumah tangga harus ada nomor pendaftaran yang tertulis : “P-IRT dan

nomor izin pendaftaran”; (3) produk makanan yang tidak dikemas secara

khusus, sebaiknya pilih makanan atau minuman yang warnanya tidak terlalu

Universitas Sumatera Utara

Page 6: jurnal tugas toksik1

15

mencolok, karena kemungkinan warna tersebut berasal dari bahan pewarna

bukan makanan (non food grade) seperti pewarna tekstil.

Perbedaan warna makanan yang menggunakan zat perwarna makanan

dan bukan pewarna makanan (rhodamin B) akan terlihat dari karakteristik

warnanya antara lain : (1) Warna makanan kelihatan cerah beraneka warna

sehingga tampak menarik, dalam bentuk larutan/minuman warna merah

berpendar atau, (2) Banyak memberikan titik-titik warna karena tidak

homogen (seperti pada kerupuk dan es putar), (3) Ada sedikit rasa pahit

(terutama pada sirup, limun), (4) Tenggorokan terasa gatal setelah

mengkonsumsi makanan tersebut, (5) Berbau tidak alami sesuai makanannya,

(6) Saat diolah, tahan terhadap pemanasan (direbus/goreng warna tidak

pudar), (7) Harganya murah, contohnya: harga saus yang hanya dijual dengan

harga 800 rupiah per botol (Winarno, 2004; Syah, 2005).

Alasan penambahan zat pewarna pada makanan biasanya adalah untuk

memberi kesan menarik bagi konsumen; menutupi kualitas yang rendah dari

suatu produk yang sebenarnya tidak layak digunakan; untuk menutupi

perubahan warna akibat proses pengolahan dan selama penyimpanan; serta

untuk menjaga rasa dan vitamin yang mungkin akan terpengaruh sinar

matahari selama produk disimpan (Syah, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Page 7: jurnal tugas toksik1

16

Terlepas dari semua keterbatasan yang ada pada zat pewarna alami, dari

segi kesehatan jelas pewarna sintetik rhodamin B tidak diperkenankan

dikonsumsi karena bukan pewarna makanan dan sangat berbahaya bagi

kesehatan oleh karena itu pewarna alami merupakan pilihan yang terbaik.

2.2. Ginjal

2.2.1. Anatomi dan Histologi Ginjal

Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen di daerah lumbal, di

sebelah kanan dan kiri tulang belakang dibungkus lapisan lemak, dibelakang

peritonium (Price dan Wilson, 2006). Ginjal merupakan sepasang organ yang

besar, berbentuk seperti kacang dengan warna kemerahan. Posisi hati

menyebabkan ginjal kanan terletak 1-2cm lebih rendah dibandingkan ginjal

kiri. Masing-masing ginjal memiliki berat 130-150gram dengan ukuran

panjang 11cm, lebar 4-5cm, dan tebal 3cm (Gartner dan Hiatt, 2007).

Permukaan ginjal licin dan terdapat di dalam suatu kapsul yang dikelilingi

lemak perinefrik dan fasia Gerota (Chandrasoma dan Clive, 2005). Bila massa

ginjal membesar, ini ditandai pergeseran lemak di sekitar ginjal (Effendi dan

Markum, 2007). Sisi medial ginjal berbentuk cekung dan sisi lateralnya

cembung. Sisi cekung medial (hilum) ginjal merupakan tempat masuknya

saraf, keluar masuknya pembuluh darah dan pembuluh limfa, serta keluarnya

ureter (Junqueira dan Carneiro, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Page 8: jurnal tugas toksik1

17

Ginjal diliputi oleh kapsula ginjal yang terdiri atas jaringan penyambung

padat. Bagian luar ginjal disebut korteks dan bagian dalam medula. Pada

bagian medula banyak terdapat nefron (unit fungsional ginjal) yang terdiri dari

korpus renal, tubulus kontortus proksimal, ansa henle dan tubulus kontortus

distalis. Setiap korpus renal berdiameter 200μm dan terdiri atas seberkas

kapiler glomerulus yang dikelilingi oleh kapsula bowman (Junqueira dan

Carneiro, 2007). Berikut gambar struktur mikroanatomi ginjal.

Gambar 2.2. Struktur Umum Histologis Ginjal (Focosi, 2009)

Universitas Sumatera Utara

Page 9: jurnal tugas toksik1

18

Gambar 2.3. Kortek Ginjal : Aparatus Jukstaglomerular (Eroschenko, 2003)

Glomerulus adalah organ epitelio-vaskuler yang berfungsi untuk filtrasi

ultra dari plasma. Kecuali infundibulum yang mengandung arteriol aferen dan

eferen, glomerulus secara keseluruhan tertutup oleh kapsula bowman yang

berbentuk mangkok dan dilapisi sel epitel parietal. Kapiler glomerulus dilapisi

oleh lapisan endotelium, berlubang pori-pori dengan diameter kurang lebih

100nm dan terletak pada membrana basalis. Di bagian luar membrana basalis

adalah sel epitel viseral atau podosit (Robbins et al., 2007).

Pada kutub urinarius dari korpuskulus renal, epitel gepeng dari lapisan

parietal kapsula Bowman berhubungan langsung dengan epitel silindris dari

tubulus kontortus proksimal. Tubulus kontortus proksimal lebih panjang dari

tubulus kontortus distal dan karenanya tampak lebih banyak dekat

korpuskulus renal dalam labirin korteks. Tubulus proksimalis dilapisi oleh

epitel selapis kuboid atau silindris dan sel-sel epitel ini memiliki sitoplasma

Universitas Sumatera Utara

Page 10: jurnal tugas toksik1

19

asidofilik yang disebabkan oleh adanya mitokondria panjang dalam jumlah

besar. Apek sel memiliki banyak mikrovili dengan panjang kira-kira 1μm,

membentuk suatu brushborder yang menambah luas permukaan penyerapan

(Guyton dan Hall, 2007; Junqueira dan Carneiro, 2007). Karena selnya besar,

setiap potongan melintang tubulus proksimal hanya mengandung 3-5 inti

bulat, biasanya terletak pada pusat sel. Pada hewan hidup, tubulus proksimalis

memiliki lumen lebar dan dikelilingi oleh kapiler peritubular. Tubulus

kontortus proksimal berfungsi dalam mengabsorbsi kembali zat-zat yang

tersaring misalnya albumin, protein kecil dan non protein seperti karbohidrat

(Leeson et al., 1996). Pada sajian histologi brushborder tampak tidak teratur

dan lumen kapiler peritubular sangat mengecil atau kolaps (Junqueira dan

Carneiro, 2007; Leeson et al., 1996).

Gambar 2.4. Potongan Korteks Renal (PCT=Proximal Convoluted TubulesDCT=Distal Convoluted Tubules) (Robbins et al., 2007).

Universitas Sumatera Utara

Page 11: jurnal tugas toksik1

20

Sel epitel tubulus proksimal sangat peka terhadap anoksia dan rentan

terhadap toksik. Banyak faktor yang memudahkan tubulus mengalami toksik,

seperti permukaan bermuatan listrik yang luas untuk reabsorbsi tubulus,

sistem transport aktif untuk ion dan asam organik, kemampuan melakukan

pemekatan secara efektif, selain itu kadar sitokrom P450 yang tinggi untuk

mendetoksifikasi atau mengaktifkan toksikan (Cotran et al., 2003).

Tubulus kontortus proksimalis berlanjut sebagai ansa henle. Ansa henle

adalah struktur berbentuk ‘U’ terdiri atas ruas tebal desenden, dengan struktur

yang sangat mirip tubulus kontortus proksimalis, sedangkan ruas tipis

desenden, ruas tipis asenden, dan ruas tebal asenden, yang strukturnya sangat

mirip tubulus kontortus distal. Di medula bagian luar, ruas tebal desenden

dengan garis tengah luar sekitar 60μm, secara mendadak menipis sampai

sekitar 12μm dan berlanjut sebagai ruas tipis desenden. Lumen ruas nefron ini

lebar karena dindingnya terdiri atas sel epitel gepeng yang intinya hanya

sedikit menonjol ke dalam (Junqueira dan Carneiro, 2007).

Tubulus kontortus distalis merupakan bagian akhir dari nefron, dilapisi

epitel sel kuboid. Disinilah tempat mekanisme yang mengendalikan jumlah

total garam dan air tubuh. Tubulus distal mensekresi ion hidrogen dan

amonium kedalam urin tubulus dan aktifitas ini penting untuk

mempertahankan keseimbangan asam-basa dalam darah (Junqueira dan

Carneiro, 2007). Fungsi dari tubulus distal meliputi reabsorpsi bikarbonat dan

Universitas Sumatera Utara

Page 12: jurnal tugas toksik1

21

air, transport atau sekresi ion-ion yang berupa hidrogen, natrium, klorida,

amonia, kalsium dan magnesium (Leeson et al., 1996). Pada sajian histologi

perbedaan antara tubulus proksimal dan tubulus distal yang keduanya sama-

sama terdapat di korteks didasarkan pada ciri tertentu. Sel-sel tubulus

proksimal memiliki brushborder sedangkan tubulus distal tidak terdapat

brushborder, lebih asidofilik dan lumen tubulus distal lebih besar, dan karena

sel tubulus distal lebih gepeng dan lebih kecil dari tubulus proksimal, maka

tampak lebih banyak sel dan inti pada dinding tubulus distal daripada di

dinding tubulus proksimal. Kanalikuli dan vesikel apikal yang menandai

tubulus proksimal, tidak terdapat dalam sel-sel tubulus distal. Sel tubulus

distal memiliki banyak invaginasi membran basal dan mitokondria yang

menunjukkan fungsi tranpor-ionnya (Junqueira dan Carneiro, 2007). Berikut

gambar histologi tubulus proksimal dan tubulus distal ginjal.

Gambar 2.5. Pewarnaan H-E pada bagian Kortek Renal (Robbins et al., 2007)

Universitas Sumatera Utara

Page 13: jurnal tugas toksik1

22

Price dan Wilson (1995) menyatakan kematian sel yang disebabkan oleh

nekrosis tubulus dapat ditandai dengan menyusutnya inti sel atau

ketidakaktifan inti sel tubulus. Inti sel tubulus yang tidak aktif dengan

pewarnaan Hematoksilin Eosin akan terlihat lebih padat dan gelap bila

dibandingkan dengan inti sel tubulus yang normal.

Gambar 2.6. Sel tubulus ginjal normal dan nekrosis (Robbins et al., 2007)

Keterangan : A=sel epitel tubulus ginjal normal; B=kerusakan awal iskemik(reversibel); C=Nekrotik sel epitel (irreversibel)

Vaskularisasi ginjal berasal dari arteri renalis yang merupakan cabang

dari aorta abdominalis. Masing-masing arteri renalis biasanya membelah

menjadi arteri segmentalis yang masuk ke hilus renalis, empat di depan pelvis

dan satu di belakang pelvis renalis, tersebar ke berbagai segmen ginjal. Arteri

segmentalis akan bercabang menjadi arteri lobaris, satu untuk setiap piramid

ginjal. Sebelum masuk substansia ginjal, arteri lobaris mempercabangkan dua

atau tiga arteri interlobaris. Pada perbatasan korteks dan medula, arteri

interlobaris mempercabangkan arteri arcuata yang melengkung sekitar basis

Universitas Sumatera Utara

Page 14: jurnal tugas toksik1

23

piramid. Arteri arcuata mempercabangkan sejumlah arteri interlobularis yang

berjalan ke atas dalam korteks. Arteriol aferen glomerulus merupakan cabang-

cabang arteri interlobularis. Sedangkan pembuluh darah baliknya adalah vena

renalis yang bermuara ke vena cava inferior.

Persarafan ginjal berasal dari pleksus simpatikus renalis dan tersebar

sepanjang cabang-cabang arteri vena renalis. Serabut aferen yang berjalan

melalui plexus renalis masuk ke medula spinalis melalui nervus torakalis X,

XI, dan XII. Sifat inervasinya adalah vasomotor untuk pembuluh-pembuluh

darah (Junqueira dan Carneiro, 2007).

2.2.2. Fisiologi Ginjal

Ginjal mengatur komposisi kimia dari lingkungan dalam melalui suatu

proses majemuk yang melibatkan filtrasi, absorpsi aktif, absorpsi pasif dan

sekresi. Filtrasi terjadi dalam glomerulus, tempat ultrafiltrat dari plasma darah

terbentuk. Tubulus nefron terutama tubulus proksimalis mengabsorbsi zat-zat

dalam substrat yang berguna bagi metabolisme tubuh, sehingga memelihara

homeostatis lingkungan dalam (Junqueira dan Carneiro, 2007). Filtrasi

memindahkan produk sisa tertentu dari darah ke dalam lumen tubulus, yang

dikeluarkan bersama urin. Dalam keadaan tertentu, dinding duktus koligens

dapat ditembus air, sehingga membantu memekatkan urin, yang umumnya

Universitas Sumatera Utara

Page 15: jurnal tugas toksik1

24

hipertonik terhadap plasma darah. Dengan cara ini, organisme mengatur air,

cairan interselular dan keseimbangan osmotik (Junqueira dan Carneiro, 2007).

Ginjal merupakan alat tubuh yang strukturnya amat rumit, berperan penting

dalam pengelolaan berbagai faal utama tubuh. Beberapa fungsi ginjal :

1. Regulasi volume dan osmolalitas cairan tubuh

Bila tubuh kelebihan cairan maka terdapat rangsangan melalui arteri karotis

interna ke osmoreseptor di hipotalamus anterior. Rangsangan tersebut

diteruskan ke kelenjar hipotalamus posterior sehingga produksi hormon

anti diuretik (ADH) dikurangi dan akibatnya diuresis banyak.

2. Regulasi keseimbangan elektrolit

Untuk mempertahankan homeostasis, ekskresi air dan elektrolit seharusnya

sesuai dengan asupan. Jika asupan melebihi ekskresi, jumlah zat dalam

tubuh meningkat. Jika asupan kurang dari ekskresi, jumlah zat dalam tubuh

berkurang.

3. Regulasi keseimbangan asam basa

Ginjal turut mengatur asam-basa, bersama dengan sistem dapar paru dan

cairan tubuh, dengan mengekskresi asam dan mengatur penyimpanan dapar

cairan tubuh.

4. Ekskresi produk metabolit dan substansi asing

Ginjal merupakan organ utama untuk membuang produk sisa metabolisme

yang tidak diperlukan lagi oleh tubuh, seperti urea (dari metabolisme asam

Universitas Sumatera Utara

Page 16: jurnal tugas toksik1

25

amino), kreatinin (dari kreatin otot), asam urat (dari asam nukleat), produk

akhir pemecahan hemoglobin (seperti bilirubin), dan metabolit dari

berbagai hormon. Ginjal membuang banyak toksin dan zat asing lainnya

yang diproduksi oleh tubuh atau pencernaan, seperti pestisida, obat-obatan

dan makanan tambahan.

5. Fungsi endokrin

a. Partisipasi dalam eritropoiesis ; Ginjal mengsekresi eritropoietin, yang

merangsang pembentukan sel darah merah. Salah satu rangsangan yang

penting untuk sekresi eritropoietin oleh ginjal ialah hipoksia.

b. Pengatur tekanan arteri; Ginjal berperan dalam mengatur tekanan arteri

jangka panjang dengan mengekskresi sejumlah natrium dan air. Ginjal

juga mengatur tekanan arteri jangka pendek dengan mengsekresi faktor

atau zat vasoaktif, seperti renin yang menyebabkan pembentukan

produk vasoaktif (misalnya angiotensin II).

6. Pengaturan produksi 1,25-dihidroksi vitamin D3

Ginjal menghasilkan bentuk aktif dari vitamin D, yaitu 1,25-dihidroksi

vitamin D3.

7. Sintesa glukosa

Ginjal menerima sekitar 20% hingga 25% dari curah jantung atau sekitar

1000 hingga 1200 ml/menit untuk difiltrasi. Semua elemen akan mengalami

filtrasi, termasuk air, elektrolit, dan nonelektrolit, kecuali untuk sel darah

Universitas Sumatera Utara

Page 17: jurnal tugas toksik1

26

merah dan sebagian besar protein. Transport ion dan molekul melalui

peristiwa reabsorbsi dan sekresi di sepanjang tubulus melalui mekanisme

transport aktif atau pasif. Molekul-molekul air bergerak secara osmosis jika

terdapat gradien konsentrasi ion-ion atau molekul yang melewati membran

semipermeabel. Sejumlah dua pertiga dari hasil filtrasi glomerulus diabsorbsi

kembali oleh tubulus proksimal, hanya sekitar 1% yang diekskresikan ke urin.

Gangguan pada fungsi ginjal dapat diketahui melalui pengukuran

beberapa bahan-bahan hasil metabolisme diantaranya adalah ureum (BUN,

Blood Urea Nitrogen) dan kreatinin (Guyton dan Hall, 2007).

Ureum atau urea nitrogen darah (Blood Urea Nitrogen/BUN) merupakan hasil

metabolisme protein normal. Tahapan pembentukan ureum dimulai dengan

derivat asam amino ornitin yang bergabung dengan satu molekul karbon-

dioksida dan satu molekul amonia untuk membentuk zat kedua yaitu sitrulin.

Sitrulin kemudian bergabung dengan molekul amonia lain untuk membentuk

arginin, yang kemudian dipecah menjadi ortinin dan ureum. Ureum berdifusi

dari sel hati ke cairan tubuh dan dikeluarkan melalui ginjal berupa urin

(Guyton dan Hall, 2007). Kadar ureum yang tinggi dalam tubuh akan bersifat

toksik karena sifatnya mendenaturasi protein (Doxey, 1983).

Sedangkan kreatinin disintesis di dalam hati dari metionin, glisin dan arginin.

Dalam otot rangka, kreatin disfosforilasi membentuk fosforil kreatin,

merupakan simpanan tenaga penting bagi sintesis ATP. Kretinin

Universitas Sumatera Utara

Page 18: jurnal tugas toksik1

27

diekskresikan seluruhnya dalam urin melalui filtrasi glomerulus dan

meningkatnya kadar kreatinin dalam darah merupakan indikasi rusaknya

fungsi ginjal. Pada hewan mencit kadar normal BUN antara 13,9 – 28,3 mg/dl

dan kreatinin antara 0,30 – 1,0 mg/dl (Malole dan Pramono, 1989).

2.2.3. Nekrosis Tubular Akut (NTA)

Proses Degenerasi dan Nekrosis Sel

Sel adalah unit terkecil yang menunjukkan semua sifat dari kehidupan.

Aktifitasnya memerlukan energi dari luar untuk proses pertumbuhan,

perbaikan dan reproduksi. Ketika mengalami stres fisiologis atau rangsang

patologis, sel bisa beradaptasi mencapai kondisi baru dan mempertahankan

kelangsungan hidupnya. Namun bila kemampuan adaptif berlebihan sel

mengalami jejas. Dalam batas tertentu bersifat reversibel dan sel kembali ke

kondisi semula. Stres yang berat atau menetap menyebabkan cedera

ireversibel dan sel yang terkena mati (Cotran et al., 2003).

Penyebab cedera sel : deprivasi oksigen, infeksi, reaksi imun, defek

genetik, ketidakseimbangan nutrisi, obat-obatan dan bahan kimia (Robbins et

al., 2007). Rhodamin B termasuk sebagai bahan kimia dapat menyebabkan

jejas sel. Bahan tersebut dapat menyebabkan kerusakan pada tingkat seluler

Universitas Sumatera Utara

Page 19: jurnal tugas toksik1

28

dengan mengubah permeabilitas membran, homeostasis osmotik, keutuhan

enzim atau kofaktor dan dapat berakhir dengan kematian seluruh organ.

Zat kimia menginduksi cedera sel melalui cara langsung bergabung

dengan komponen molekuler atau organel seluler. Pada kondisi ini kerusakan

terbesar tertahan oleh sel yang menggunakan, mengabsorpsi, mengekskresi,

atau mengonsentrasikan senyawa. Banyak zat kimia lain yang tidak aktif

secara intrinsik biologis, tetapi pertama kali harus dikonversi menjadi

metabolit toksik reaktif yang kemudian bekerja pada sel target. Bahan kimia

misalnya rhodamin B menerima atau mendonor elektron bebas selama reaksi

intrasel sehingga mengkatalisis pembentukan radikal bebas. Terdapat 3 reaksi

jejas sel yang diperantarai radikal bebas yaitu peroksidase membran lipid,

fragmentasi DNA dan ikatan silang protein. Interaksi radikal lemak

menghasilkan peroksida yang tidak stabil dan reaktif dan terjadi reaksi

autokatalitik. Reaksi radikal bebas dengan timin pada DNA mitokondria dan

nuklear menimbulkan rusaknya untai tunggal.

Kerusakan DNA memberikan implikasi pada pembunuhan sel dan

perubahan sel menjadi ganas. Radikal bebas mencetuskan ikatan silang

protein yang diperantarai sulfhidril, menyebabkan peningkatan kecepatan

degradasi atau hilangnya aktifitas enzimatis. Reaksi radikal bebas juga secara

langsung menyebabkan fragmentasi polipeptida. Empat sistem sel yang paling

mudah terkena jejas atau cedera yaitu integritas membran sel, pembentukan

Universitas Sumatera Utara

Page 20: jurnal tugas toksik1

29

ATP, sintesis protein dan integritas apparatus genetik. Dalam keterbatasan sel

dapat mengompensasi gangguan tersebut, namun bila cedera persisten atau

berlebihan menyebabkan sel melewati ambang batas dan masuk kepada

kondisi ireversibel. Keadaan tersebut disertai kerusakan luas pada semua

membran, pembengkakan lisosom, vakuolisasi mitokondria, sehingga terjadi

penurunan kapasitas untuk membentuk ATP. (Cotran et al., 2003).

Gambar 2.7. Jejas sel akibat radikal bebas (Cotran et al., 2003)

Degenerasi sel merupakan peristiwa perubahan morfologi sel akibat

cedera, bisa bersifat reversibel dan ireversibel. Cedera sel reversibel meliputi

perubahan membran plasma, perubahan mitokondrial, dilatasi retikulum

endoplasma dan perubahan nuklear. Perubahan morfologik tersebut dapat

dikenali dengan mikroskop cahaya yaitu adanya pembengkakan sel dan

degenerasi lemak. Morfologi cedera sel ireversibel-nekrosis menunjukkan

sekuens perubahan morfologik yang diikuti kematian sel pada jaringan hidup

(Cotran et al., 2003). Perubahan morfologi sel dapat terlihat pada Gambar 2.8.

Universitas Sumatera Utara

Page 21: jurnal tugas toksik1

30

Gambar 2.8. Jejas sel reversibel dan ireversibel (Cotran et al ., 2003)

Nekrosis merupakan korelasi makroskopik dan histologik pada kematian

sel yang terjadi di lingkungan cedera eksogen ireversibel. Manifestasi yang

paling sering terjadi ditandai dengan pembengkakan sel, denaturasi protein

sitoplasma dan pemecahan organel sel. Selain itu nekrosis juga memiliki ciri

adanya penonjolan membran disertai kehilangan integritas membran, sel

membengkak kemudian lisis, kebocoran lisosom, inti menggerombol dan

terjadi agregasi, seperti yang terlihat pada gambar berikut.

Gambar 2.9. Gambaran sel nekrosis (Cotran et al., 2003)

Universitas Sumatera Utara

Page 22: jurnal tugas toksik1

31

Patogenesis

Seperti halnya hati, ginjal juga rawan terhadap zat-zat kimia. Oleh

karena itu, zat kimia yang terlalu banyak berada di dalam ginjal diduga akan

mengakibatkan kerusakan sel, seperti piknosis dan kongesti. Piknosis atau

pengerutan inti merupakan homogenisasi sitoplasma dan peningkatan

eosinofil. Piknosis merupakan tahap awal kematian sel (nekrosis). Tahap

berikutnya yaitu inti pecah (karioreksis) dan inti menghilang (kariolisis).

Piknosis dapat terjadi karena adanya kerusakan di dalam sel antara lain

kerusakan membran yang diikuti oleh kerusakan mitokondria dan aparatus

golgi sehingga sel tidak mampu mengeliminasi air dan trigliserida sehingga

tertimbun dalam sitoplasma sel. Pada ginjal, piknosis paling banyak terjadi

pada tubulus proksimalis karena di tubulus inilah terjadi proses reabsorbsi

sehingga peluang terjadinya kerusakan akibat dari toksikan paling tinggi.

Nekrosis merupakan kematian sel jaringan akibat jejas saat individu masih

hidup. Secara mikroskopik terjadi perubahan inti (nukleus) yaitu inti menjadi

keriput, tidak vasikuler lagi dan tampak lebih padat, warnanya gelap hitam

(karyopiknosis), inti pucat tidak nyata (kariolisis), dan inti terpecah-pecah

menjadi beberapa gumpalan (karioreksis) (Himawan, 1992).

Nekrosis dapat disebabkan oleh bermacam-macam agen etiologi dan

dapat menyebabkan kematian dalam beberapa hari seperti zat toksik dan

logam berat, gangguan metabolik dan infeksi virus (Thomas, 1988). Nekrosis

Universitas Sumatera Utara

Page 23: jurnal tugas toksik1

32

tubulus adalah lesi ginjal yang reversibel dan timbul pada suatu sebaran

kejadian klinik. Menurut Cotran (1995), kerusakan ginjal berupa nekrosis

tubulus disebabkan oleh sejumlah racun organik. Hal ini terjadi karena pada

sel epitel tubulus terjadi kontak langsung dengan bahan yang direabsorbsi,

sehingga sel epitel tubulus ginjal dapat mengalami kerusakan berupa

degenerasi lemak ataupun nekrosis pada inti sel ginjal.

Nekrosis Tubular Akut (NTA)

Nekrotik Tubular Akut (NTA) adalah kesatuan klinikopatologik yang

ditandai secara morfologik oleh destruksi sel epitel tubulus dan secara klinik

oleh supresi akut fungsi ginjal (Alpers dan Fogo, 2007), dibedakan atas NTA

iskemik dan NTA nefrotoksik. NTA nefrotoksik disebabkan oleh berbagai

bahan seperti toksin, obat obatan, atau konsentrasi tinggi zat yang potensial

merusak dan berbahaya seperti zat kimia dan logam berat (Underwood, 2000;

Alpers dan Fogo, 2007). Kerusakan tubulus proksimal ginjal akibat zat

nefrotoksis terlihat adanya penyempitan tubulus proksimal, nekrosis sel epitel

tubulus proksimal dan adanya hialin cast di tubulus distal (Manggarwati dan

Susilaningsih, 2010). Tampak juga degenerasi tubulus proksimal yang

mengandung debris, tetapi membrana basalis utuh (Underwood, 2004 ; Alpers

dan Fogo, 2007).

Patogenesis Nekrotik Tubular Akut (NTA) dapat terjadi karena

berkurangnya aliran darah ke ginjal sebagai akibat suatu penurunan tekanan

Universitas Sumatera Utara

Page 24: jurnal tugas toksik1

33

darah. Karena epitel tubulus-tubulus ginjal terutama tubulus proksimal sangat

peka terhadap suatu iskemia, maka jaringan ini dalam batas–batas tertentu

akan mengalami kerusakan, walaupun sisa jaringan ginjal lainnya tampak

seperti tidak mengalami kelainan. NTA dapat juga disebabkan karena

keracunan, misalnya zat kimia, air raksa atau karbon tetraklorida. Efeknya

terhadap epitel tubulus langsung akibat kontak antara racun yang kemudian

diekskresi dalam urin dengan epitel ini (Alpers dan Fogo, 2007).

NTA merupakan penyebab terpenting dari gagal ginjal akut. Dengan

gejala klinis oliguria yang dilanjutkan diuresis. Adanya kerusakan tubulus

menyebabkan retensi cairan, sehingga terjadi uremia, hiperkalemia,

peningkatan blood urea nitrogen (BUN) sekitar 25-30mg/dl per-hari, dan

kreatinin kira-kira 2,5mg/dl per-hari (Price dan Wilson, 1995; Underwood,

2000). Setelah penyembuhan, epitel tubulus diganti dengan sel yang belum

memiliki kemampuan selektif, sehingga urin mudah lewat tanpa absorbsi yang

mengakibatkan dehidrasi dan hilangnya elektrolit tertentu (Price dan Wilson,

1995; Alpers dan Fugo, 2007). Tampak pula peningkatan ketidakkebalan

terhadap infeksi sehingga kurang lebih 25% kematian akibat NTA terjadi

selama fase diuretik (Underwood, 2000).

Nekrosis terjadi setelah suplai darah hilang atau setelah terpajan toksin

dan ditandai dengan pembengkakan sel, denaturasi protein, serta kerusakan

organel sel. Perubahan inti sel nekrosis berupa piknosis, ditandai melisutnya

Universitas Sumatera Utara

Page 25: jurnal tugas toksik1

34

inti sel dan peningkatan basofil, kariolisis inti sel pucat dan terlarut dan

karioreksis, fragmen inti sel yang piknotik dan selanjutnya dalam 1-2 hari inti

dalam sel yang mati benar-benar menghilang (Mitchell dan Cotran, 2007).

Nefrotoksisitas akibat zat toksik dapat menyatukan beberapa jalur

molekuler apoptosis, termasuk menghilangkan molekul protektif intraseluler

dan aktivasi kaspase. Zat kimia seperti rhodamin B sebagai zat toksik juga

menginduksi stres retikulum endoplasma pada glomerulus ginjal, yang

menyebabkan stres oksidatif dan inflamasi pada sel-sel podosit serta

mesangial glomerulus (Inagi, 2009). Senyawa Radical Oxygen Species (ROS),

yang merupakan hasil metabolisme rhodamin B, juga dapat menyebabkan

kerusakan glomerulus (Singh et al, 2006).

Menurut Huxtable (1988) ginjal yang terkena bahan nefrotoksik akan

melakukan perbaikan pada 1 sampai 2 minggu fase penyembuhan dan

perbaikan dapat terus berlangsung hingga 12 bulan atau sampai fungsi ginjal

normal kembali.

2.3 Madu

2.3.1 Gambaran umum Madu

Madu adalah cairan alami memiliki rasa manis, dihasilkan oleh lebah

madu, dari sari bunga tanaman (floral nectar) atau bagian lain dari tanaman

Universitas Sumatera Utara

Page 26: jurnal tugas toksik1

35

(extra floral nectar) atau ekskresi serangga yang berkhasiat dan bergizi tinggi

(Suranto, 2007). Madu dapat dikelompokkan berdasarkan bentuk maupun

sumber nektarnya. Berdasarkan bentuknya, madu dibagi menjadi 3 jenis : (1)

Madu sisir yaitu madu yang masih terkandung dalam sisir sarang madu; (2)

Madu ekstraksi yaitu madu yang telah dipisahkan tanpa penghancuran sisir

sarang madu melainkan dengan cara memusingkan atau memberikan gaya

gravitasi; dan (3) Madu paksa yaitu madu yang diperoleh dengan

penghancuran sisir sarang madu dengan pengepresan atau dengan cara lain

yang semacam. Sedangkan menurut sumber nektarnya madu dibagi menjadi 3

macam : (1) Madu flora yaitu madu yang dihasilkan dari nektar bunga. Bila

nektar tersebut berasal dari satu jenis tanaman disebut madu monoflora dan

bila berasal dari beraneka ragam bunga disebut madu poliflora; (2) Madu

ekstra flora yaitu madu yang dihasilkan dari nektar yang terdapat diluar bunga

yaitu berasal dari bagian tanaman yang lain seperti daun, cabang atau batang

tanaman; (3) Madu embun yaitu madu yang dihasilkan dari cairan suksesi

serangga yang kemudian eksudatnya diletakkan pada bagian-bagian tanaman,

cairan ini kemudian dihisap dan dikumpulkan oleh lebah madu. Madu jenis ini

berwarna gelap dengan aroma merangsang. Madu juga dapat diklasifikasi

berdasarkan letak geografis produksi madu. Di Indonesia jenis madu yang

dipasarkan sering diberi nama menurut daerah asalnya, misalnya Madu

Sumbawa, Madu Kalimantan dan Madu Sulawesi (Suranto, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Page 27: jurnal tugas toksik1

36

2.3.2 Kualitas madu

Kualitas madu ditentukan oleh waktu pemanenan madu, kadar air,

warna madu, rasa dan aroma madu. Waktu pemanenan madu harus dilakukan

pada saat yang tepat, yaitu ketika madu telah matang dan sel-sel madu mulai

ditutup oleh lebah dan madu yang baik mengandung kadar air sekitar 17-21%

(Sihombing, 1987), dan adanya kandungan enzim diastase sebagai salah satu

acuan yang digunakan SNI menentukan madu itu asli atau tidak, karena enzim

ini hanya bisa dihasilkan dari kelenjar ludah lebah.

Warna merupakan salah satu kriteria mutu madu. Biasanya warna madu

cenderung akan mengikuti tanaman penghasil nektarnya, misalnya madu dari

tanaman lobak akan berwarna putih seperti air, madu dari tanaman akasia dan

apel akan berwarna kuning terang, sedangkan madu dari tanaman lime akan

berwarna hijau terang. Madu yang disimpan dalam jangka waktu yang relatif

lama maka warnanya akan cenderung menjadi lebih tua (Hammad, 2009). Cita

rasa madu ditentukan oleh zat yang terdapat dalam madu diantaranya glukosa,

alkaloid, gula, asam glukonat dan prolin. Rasa dan aroma madu yang paling

enak adalah ketika madu baru dipanen dari sarangnya. Sesudah itu, senyawa-

senyawa yang terdapat dalam madu sedikit demi sedikit akan menguap. Hal

ini disebabkan senyawa yang terdapat dalam madu bersifat volatil (mudah

menguap). Untuk menjaga kualitas madu cara memanen dan menyimpan

madu perlu diperhatikan (Suranto, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Page 28: jurnal tugas toksik1

37

Di Indonesia, kualitas madu ditentukan oleh Standar Nasional Indonesia

(SNI) nomor 01-3545-2004 tahun 2004. Standar tersebut merupakan kriteria

mutu madu yang ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) dan

merupakan revisi dari SNI nomor 01-3545-1994.

Tabel 2.1. Syarat Mutu Madu (BSN)

2.3.3 Kandungan Madu

Zat-zat yang terkandung dalam madu sangat kompleks dan telah

diketahui tidak kurang dari 181 macam zat yang terkandung dalam madu.

Jumlah karbohidrat merupakan komponen terbesar yang terkandung dalam

madu, berkisar lebih dari 75%. Jenis karbohidrat yang paling dominan

golongan monosakarida yang terdiri fruktosa dan dekstrosa. Fruktosa dan

NO JENIS UJI SATUAN PERSYARATAN

1. Aktifitas enzim diastase,Minimal

DN(Diastase Number)

3

2. Hidroksimetifurfural,Maksimal

mg/kg 50

3. Air, maksimal % b/b 224. Gula pereduksi (dihitung seba-

gai glukosa), maksimal% b/b 65

5. Sukrosa, maksimal % b/b 56. Keasaman, maksimal ml NaOH

1 N/kg50

7. Padatan yang tidak larut dalamAir, maksimal

% b/b 0,5

8. Abu, maksimal % b/b 0,59. Cemaran logam :

Timbal (Pb), maksimal Tembaga (Cu), maksimal

mg/kgmg/kg

1,05,0

10 Cemaran Arsen (As),maksimal mg/kg 0,5

Universitas Sumatera Utara

Page 29: jurnal tugas toksik1

38

dekstrosa mencakup 85% - 90% dari total karbohidrat yang terdapat dalam

madu, sisanya terdiri dari disakarida dan oligosakarida (Sihombing, 1987).

Komposisi terbesar kedua adalah air. Jumlahnya berkisar 15% - 25%.

Bervariasinya kadar air dalam madu disebabkan karena kelembapan udara,

jenis nektar, proses produksi dan penyimpanan (Suranto, 2007). Madu juga

mengandung banyak mineral yang bersifat esensial maupun non esensial.

Kandungan mineral dan vitamin dalam madu dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.2. Kandungan vitamin dan mineral dalam madu (Suranto, 2007)

38

dekstrosa mencakup 85% - 90% dari total karbohidrat yang terdapat dalam

madu, sisanya terdiri dari disakarida dan oligosakarida (Sihombing, 1987).

Komposisi terbesar kedua adalah air. Jumlahnya berkisar 15% - 25%.

Bervariasinya kadar air dalam madu disebabkan karena kelembapan udara,

jenis nektar, proses produksi dan penyimpanan (Suranto, 2007). Madu juga

mengandung banyak mineral yang bersifat esensial maupun non esensial.

Kandungan mineral dan vitamin dalam madu dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.2. Kandungan vitamin dan mineral dalam madu (Suranto, 2007)

38

dekstrosa mencakup 85% - 90% dari total karbohidrat yang terdapat dalam

madu, sisanya terdiri dari disakarida dan oligosakarida (Sihombing, 1987).

Komposisi terbesar kedua adalah air. Jumlahnya berkisar 15% - 25%.

Bervariasinya kadar air dalam madu disebabkan karena kelembapan udara,

jenis nektar, proses produksi dan penyimpanan (Suranto, 2007). Madu juga

mengandung banyak mineral yang bersifat esensial maupun non esensial.

Kandungan mineral dan vitamin dalam madu dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.2. Kandungan vitamin dan mineral dalam madu (Suranto, 2007)

Universitas Sumatera Utara

Page 30: jurnal tugas toksik1

39

Tabel 2.3. Kandungan Mineral dalam Madu (Sihombing, 1987)

Esensial Non esensialNama Satuan (ppm) Nama Satuan (ppm)Besi (Fe)Fosfor (P)Kalium (K)Kalsium (Ca)Khlorin (Cl)Magnesium (Mg)Natrium (Na)Silikon (Si)Sulfur (S)Zink (Zn)

2,4035

20549521918

958

1,6

Aluminium (Al)Antimony (Sb)Boron (B)Titanium (Ti)

59,51 – 23,51,36

Asam utama yang terdapat dalam madu adalah asam glutamat. Sedangkan

asam organik yang terdapat dalam madu : asam asetat, asam butirat, format,

suksinat, glikolat, malat, proglutamat, sitrat dan piruvat (Suranto, 2004).

2.2.4. Mekanisme proteksi madu dalam melindungi sel tubulus proksimal ginjal

akibat pemberian rhodamin B

Secara umum, radikal bebas merusak struktur seluler dan subseluler

melalui tahap inisiasi, tahap propagasi dan tahap terminasi. Untuk melawan

radikal bebas diperlukan pencegahan dan menghambat terbentuknya radikal

bebas, menginaktivasi dan memutus propagasi (chain breaking) dan

memperbaiki kerusakan akibat radikal bebas (Agustina dan Ahmad, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Page 31: jurnal tugas toksik1

40

Tubuh manusia menghasilkan senyawa antioksidan, tapi tidak cukup

kuat untuk berkompetisi dengan radikal bebas, sehingga diperlukan

antioksidan dari luar yang dapat membantu melindungi tubuh dari berbagai

serangan radikal bebas. Antioksidan merupakan senyawa yang dapat meredam

dampak negatif suatu oksidan dengan cara memberikan elektronnya pada

oksidan (Bagiada, 1995). Antioksidan mampu mengubah oksidan menjadi

molekul yang tidak berbahaya dan mencegah pembentukan radikal bebas serta

memperbaiki kerusakan yang ditimbulkannya (Widjaja, 1997). Antioksidan

bermanfaat mengurangi kerusakan asam deoksiribonukleat, menurunkan

peroksidasi lipid, atau terhambatnya transformasi keganasan invitro (Agustina

dan Ahmad, 2003).

Madu sebagai salah satu makanan yang kaya akan antioksidan (Al-

Mamary et al., 2002; Estevinho et al., 2008) telah digunakan sebagai sumber

makanan alami sejak zaman dahulu. Madu sebagai cairan alami memiliki rasa

manis yang dihasilkan oleh lebah madu, dari sari bunga tanaman (floral

nectar) atau bagian lain dari tanaman (extra floral nectar) (Suranto, 2007).

Madu tersusun atas beberapa senyawa gula seperti glukosa dan fruktosa

serta sejumlah mineral seperti magnesium, kalium, kalsium, natrium, klor,

belerang, besi dan fosfat. Madu mengandung vitamin thiamin (B1), riboflavin

(B2), Pantotenat (B5) piridoksin (B6), asam askorbat (C), beta-karoten, asam

Universitas Sumatera Utara

Page 32: jurnal tugas toksik1

41

nikotinat, asam fenolik, asam urat, albumin, bilirubin dan vitamin E (Gheldof

et al., 2002; Suranto, 2007; Bogdanov et al., 2007). Vitamin E dan beta

karoten merupakan pertahanan utama melawan oksigen perusak, khususnya

radikal bebas dan peroksidasi lipid dalam jaringan (Maslachah et al., 2001).

Juga sejumlah kecil tembaga, yodium, dan seng serta beberapa jenis hormon

(Suranto, 2007). Enzim penting yang terdapat dalam madu adalah diastase,

invertase, glukosa oksidase, peroksidase dan lipase. Enzim diastase mengubah

karbohidrat komplek (polisakarida) menjadi karbohidrat yang sederhana

(monosakarida). Enzim invertase yang memecah molekul sukrosa menjadi

glukosa dan fruktosa. Sedangkan enzim oksidase adalah enzim yang

membantu oksidasi glukosa menjadi asam peroksida. Enzim peroksidase

melakukan proses oksidasi metabolisme. Semua zat tersebut berguna untuk

proses metabolism tubuh (Suranto, 2004).

Madu memiliki unsur bahan pengawet dan telah digunakan sebagai

bahan antiseptik dan antibiotik (Walji, 2001) dan sebagai bahan pemanis.

Madu mengandung senyawa biologis aktif asam kafeat, asam ester phenethyl

kafeat dan glikones flavonoid (Chinthalapally et al., 1993) yang dapat

menghambat proliferasi sel tumor dan transformasi oleh downregulasi jalur

enzimatik selular, termasuk tirosin protein kinase, siklooksigenase dan jalur

dekarboksilase ornithine (Chinthalapally et al., 1993). Madu mengandung

senyawa flavonoid yang dapat berperan sebagai penangkap radikal bebas

Universitas Sumatera Utara

Page 33: jurnal tugas toksik1

42

hidroksi (OH.) sehingga tidak terjadi oksidasi lemak, protein, dan DNA dalam

sel. Kemampuan flavonoid dalam menangkap radikal bebas 100 kali lebih

efektif dibandingkan vitamin C dan 25 kali lebih efektif dibandingkan vitamin

E (Harbone, 1987; Salamah dkk., 2008).

Madu mampu meningkatkan kadar Nitrit Oxide (NO) dalam tubuh (Al-

Wali et al., 2006), kaya akan kandungan poliphenol yang dapat menghambat

proliferasi sel-sel kanker (Jaganatha and Mandal, 2009), mengandung

selenium, mangan, seng dan tembaga (Bogdanov et al., 2008). Madu memiliki

efek antitumor (Gribel dan Pashiniski, 1990) dan antimetastatik dan antitumor

akibat obat kemoterapi (Wattenberg, 1986), antibakteri (Dustmann, 1979),

anti jamur, anti inflamasi dan mempercepat penyembuhan luka (Jeddar et al.,

1985). Madu dapat menginduksi apoptosis sel kanker kandung kemih dan

menghambat pertumbuhan tumor (Swellam et al., 2003) serta menghambat

proliferasi sel adenokarsinoma ginjal (Samarghandian et al., 2011). Madu

memiliki efek proteksi dan memperbaiki kerusakan sel ginjal mencit secara

signifikan pada dosis 0,08ml/20g BB (setara 30 ml)(Ratnasari, 2009).

Universitas Sumatera Utara