tugas ilmu kesehatan anak
DESCRIPTION
DemamTRANSCRIPT
TUGAS ILMU KESEHATAN ANAK
GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE (GERD)
DISUSUN OLEH :
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux
Disease/GERD) didefinisikan sebagai suatu keadaan patologis sebagai akibat
refluks kandungan lambung ke dalam esofagus yang menimbulkan berbagai
gejala di esofagus maupun ekstra-esofagus, bahkan dapat menyebabkan
komplikasi yang berat seperti Barret’s esophagus, striktur, adenokarsinoma di
kardia dan esofagus (Vakil dkk, 2006; Makmum, 2009). Sudah sejak lama
prevalensi GERD di Asia dilaporkan lebih rendah dibandingkan dengan di
negara-negara Barat. Namun, banyak penelitian pada populasi umum yang
baru-baru ini dipublikasikan menunjukkan kecenderungan peningkatan
prevalensi GERD di Asia. Prevalensi di Asia Timur 5,2 %-8,5 % (tahun 2005-
2010), sementara sebelum 2005 2,5%-4,8%; Asia Tengah dan Asia Selatan
6,3%-18,3%, Asia Barat yang diwakili Turki menempati posisi puncak di
seluruh Asia dengan 20%. Asia Tenggara juga mengalami fenomena yang
sama; di Singapura prevalensinya adalah 10,5%, di Malaysia insiden GERD
meningkat dari 2,7% (1991-1992) menjadi 9% (2000-2001), sementara belum
ada data epidemiologi di Indonesia (Jung, 2009; Goh dan Wong, 2006).
Refluks gastroesofagus adalah peristiwa masuknya isi lambung ke dalam
esofagus yang terjadi secara intermiten pada setiap orang, terutama setelah
makan (Mariana, 2001; Mariana,2000 ; Putnam,1996). Refluks yang terjadi
tanpa menimbulkan gejala dan perubahan histologic mukosa esofagus, disebut
refluks gastroesofagus fisiologik .(Mariana, 2001; Mariana,2000;
Putnam,1996). Bila refluks terjadi berulang-ulang, sehingga timbul gejala dan
komplikasi, disebut refluks gastroesofagus patologik atau penyakit refluks
gastroesofagus, suatu istilah yang meliputi refluks esofagitis dan refluks
simtomatis.(Mariana, 2001; Mariana,2000). Pada refluks esofagitis terjadi
perubahan histologik, sedangkan refluks simtomatis menimbulkan gejala
tanpa perubahan histologik dinding esofagus.( Mariana, 2001; Mariana,2000)
Manifestasi klinis penyakit refluks gastroesofagus sangat bervariasi
dan gejala yang timbul kadang-kadang sukar dibedakan dengan kelainan
fungsional lain dari traktus gastrointestinal (Mariana, 2001). Sedangkan
penatalaksanaan penyakit refluks gastroesofagus tergantung dari berat
ringannya penyakit dan terdiri dari beberapa tahap / fase (Mariana, 2001)
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan maka rumusan
masalah dari penelitian ini adalah :
1. Bagaimana cara menegakkan diagnosis Gastroesophageal
Reflux Disease?
2. Apa saja prinsip tindakan medis Gastroesophageal Reflux
Disease ?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui mengenai Gastroesophageal Reflux Disease.
2. Tujuan Khusus
1) Untuk mengetahui cara menegakkan diagnosis Gastroesophageal
Reflux Disease.
2) Untuk mengetahui prinsip tindakan medis Gastroesophageal Reflux
Disease.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux Disease/
GERD) adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan
lambung ke dalam esofagus dengan berbagai gejala yang timbul akibat
keterlibatan esofagus, faring, laring, dan saluran nafas. Telah diketahui
bahwa refluks kandungan lambung ke esofagus dapat menimbulkan
berbagai gejala di esofagus maupun ekstra esofagus. Banyak ahli yang
menggunakan istilah esofagitis refluks, yang merupakan keadaan
terbanyak dari penyakit refluks gastroesofageal.
B. Epidemiologi
Penyakit ini banyak ditemukan pada populasi di negara-negara Barat,
namun dilaporkan rekatif rendah insidennya di negara-negara Asia-Afrika.
Di Amerika dilaporkan bahwa satu dari lima orang dewasa mengalami
gejala refluks (heartburn/ regurgitasi) sekali dalam seminggu serta lebih
dari 40% mengalami gejala tersebut sekali dalam sebulan. Prevalensi
esofagitis di Amerika Serikat mendekati 7%, sementara di negara-negara
non-western prevalensinya lebih rendah (1,5% di China dan 2,7% di
Korea).
Di Indonesia belum ada data epidemiologi mengenai penyakit ini,
namun Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-
RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta didapatkan kasus esofagitis
sebanyak 22,8% dari semua pasien yang menjalani pemeriksaan
endoskopi atau indikasi dispepsia (Syarifuddin, 1998).
C. Etiologi dan Patogenesis
Penyakit refluks gastroesofageal memiliki banyak faktor yang
menjadi penyebabnya. Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat refluks
esofageal apabila :
1. Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat
dengan mukosa esofagus.
2. Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus.
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi
(high pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal
sphincter (LES). Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan
kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat
menelan, atau aliran retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau
muntah. Aliran balik dari gaster ke esofagus melalui LES hanya terjadi
apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3 mmHg)
(Makmun,2009).
Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3
mekanisme :
1. Refleks spontan pada saat relaksasi LES tidak adekuat.
2. Aliran retrograd yang mendahului kembalinya tonus LES setelah
menelan
3. Meningkatnya tekanan intra abdomen.
Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya
GERD menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus
dan faktor ofensif dari bahan refluksat. Yang termasuk faktor defensif
esofagus :
1. Pemisah Antirefluks.
Pemeran terbesarnya adalah tonus LES. Menurunnya tonus
LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograd pada saat
terjadinya peningkatan tekanan intra abdomen. Faktor-faktor yang
menyebabkan menurunnya tonus LES antara lain :
a. Adanya hiatus hernia
b. Panjang LES ( makin pendek LES, makin rendah tonusnya)
c. Obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergik, theofilin,
opiat dsn lain-lain.
d. Faktor hormonal ( saat hamil, terjadi peningkatan kadar
progesteron dapat menurunkan tonus LES).
Namun dengan berkembangnya teknik pemeriksaan
manometri, tampak bahwa pada kasus-kasus GERD dengan tonus
LES normal yang berperan dalam terjadinya proses refluks ini
adalah transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi LES yang
bersifat spontan dan berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa
didahului proses menelan.
2. Bersihan Asam dari lumen esofagus
Faktor-faktor yang berperan pada bersihan asam dari
esofagus adalah gravitasi, peristaltik, ekresi air liur dan bikarbonat.
Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan
kembali ke lambung dengan dorongan peristaltik yang dirangsang
oleh proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang
disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esofagus. Mekanisme
bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak antara bahan
refluksat dengan esofagus (waktu transit esofagus) makin besar
kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian besar pasien
GERD ternyata memiliki waktu transit esofagus yang normal
sehingga kelainan yang timbul disebabkan karena peristaltik
esofagus yang minimal. Refluks malam hari (nocturnal reflux)
lebih besar berpotensi menimbulkan kerusakan esofagus karena
selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esofagus tidak
aktif.
3. Ketahanan epitelial esofagus
Mekanisme ketahanan epiteliat esofagus terdiri dari :
a. Membran sel
b. Batas intraselular (intracellular junction) yang membatasi difus
H+ ke jaringan esofagus
c. Aliran darah esofagus yang mensuplai nutrien, oksigen dan
bikarbonat, serta mengeluarkan ion H+ dan CO2
d. Sel-sel esofagus mempunyai kemampuan untuk mentransport
ion H+ dan Cl- intraseluler dengan Na- dari bikarbonat
ekstraseluler.
Yang dimaksud faktor ofensif adalah potensi daya rusak refluksat.
Kandungan lambung yang menambah potensi daya rusak refluksat
terdiri dari HCl, pepsin, garam empedu, enzim pankreas. Faktor ofensif
dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang dikandungnya.
Derajat kerusakan mukosa esofagus makin meningkat pada pH <2, atau
adanya pepsin atau garam empedu. Namun yang paling berpotensi
merusak adalah asam.
Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam timbulnya gejala
GERD adalah kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya
refluks fisiologis, antara lain : dilatasi lambung atau obstruksi gastric
outlet dan delayed gastric emptying.
Peranan infeksi Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD
relatif kecil dan kurang didukung oleh data yang ada. Pengaruh dari
infeksi H. pylori terhadap GERD merupakan konsekuensi logis dari
gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung (Makmun,
2009). Tingginya angka infeksi H. pylori di Asia dengan rendahnya
sekresi asam sebagai konsekuensinya telah dipostulasikan sebagai salah
satu alasan mengapa prevalensi GERD di Asia lebih rendah
dibandingkan dengan negara-negara Barat. Hal tersebut sesuai dengan
yang ditunjukkan pada satu studi di Jepang yang dilakukan oleh Shirota
dkk. Studi yang lain juga membuktikan adanya hubungan terbalik
antara derajat keparahan esofagitis refluks dengan infeksi H. pylori.
Hamada dkk menunjukkan insiden esofagitis refluks yang tinggi
setelah eradikasi H.pylori, khususnya pada pasien gastritis korpus dan
mempunyai predisposisi terhadap refluks hiatus hernia (Goh dan
Wong, 2006).
Dalam keadaan di mana bahan refluksat bukan bersifat asam atau
gas (non acid reflux), timbulnya gejala GERD diduga karena
hipersensitivitas viseral (Makmun,2009).
D. Manifestasi Klinis
Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di
epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri dideskripsikan
sebagai rasa terbakar (heartburn), kadang-kadang bercampur dengan
gejala disfagia (kesulitan menelan makanan), mual atau regurgitasi dan
rasa pahit di lidah. Walau demikian derajat berat ringannya keluhan
heartburn ternyata tidak selalu berkorelasi dengan temuan endoskopik.
Kadang-kadang timbul rasa tidak enak retrosternal yang mirip dengan
angina pektoris. Disfagia yang timbul saat makan makanan yang padat
mungkin terjadi karena striktur atau keganasan yang berkembang dari
Barret’s esophagus. Odinofagia bisa muncul jika sudah terjadi ulserasi
esofagus yang berat (Makmun,2009).
Walaupun gejala khas/tipikal dari GERD adalah heartburn atau
regurgitasi, gejala tidak khas ataupun gejala ekstra esofagus juga bisa
timbul yang meliputi nyeri dada non kardiak (non cardiac chest
pain/NCCP), suara serak, laringitis, batuk, asma, bronkiektasis,
gangguan tidur, dan lain-lain (Makmun 2009), (Jung, 2009).
Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor
predisposisi untuk timbulnya GERD karena terjadi perubahan anatomis
di daerah gastroesophageal high pressure zone akibat penggunaan
obat-obatan yang menurunkan tonus LES (Makmun,2009). Asma dan
GERD adalah dua keadaan yang sering dijumpai secara bersaman.
Selain itu, terdapat beberapa studi yang menunjukkan hubungan antara
gangguan tidur dan GERD (Jung, 2009).
Walaupun telah disampaikan bahwa heartburn merupakan gejala
klasik dan utama dari GERD, namun situasinya sedikit berbeda di Asia.
Di dunia Barat, kata ”heartburn” mudah dimengerti oleh pasien,
sementara tidak ada padanan kata yang sesuai untuk heartburn dalam
mayoritas bahasa-bahasa di Asia, termasuk bahasa Cina, Jepang,
Melayu. Dokter lebih baik menjelaskan dalam susunan kata-kata
tentang apa yang mereka maksud dengan heartburn dan regurgitasi
daripada mengasumsikan bahwa pasien memahami arti kata tersebut.
Sebagai contoh, di Malaysia, banyak pasien etnis Cina dan Melayu
mengeluhkan ”angin” yang merujuk pada dispepsia dan gejala refluks.
Sebagai akibatnya, seperti yang terjadi di Cina, banyak pasien GERD
yang salah didiagnosis sebagai penderita non cardiac chest pain atau
dispepsia (Goh dan Wong, 2006). Walaupun belum ada survei yang
dilakukan, berdasarkan pengalaman klinis sehari-hari, kejadian yang
sama juga sering ditemui di Indonesia.
GERD memberikan dampak negatif pada kualitas hidup pasien,
karena gejala-gejalanya sebagaimana dijelaskan di atas menyebabkan
gangguan tidur, penurunan produktivitas di tempat kerja dan di rumah,
gangguan aktivitas sosial.
Short-Form-36-Item (SF-36) Health Survey, menunjukkan bahwa
dibandingkan dengan populasi umum, pasien GERD memiliki kualitas
hidup yang menurun, serta dampak pada aktivitas sehari-hari yang
sebanding dengan pasien penyakit kronik lainnya seperti penyakit
jantung kongestif dan artritis kronik (Hongo dkk, 2007).
Tanda dan Gejala PRGE pada Bayi dan Anak
Bayi Anak dan Remaja
Tidak mau makan /minum/menetek Nyeri perut
Muntah berulang Rasa terbakar di dada/ulu hati (heart
burn)
Gagal tumbuh (failure to thrive) Muntah berulang
Rewel terus-menerus Kesulitan menelan (disfagia)
Tersedak/apnea (henti nafas sesaat)
berulang
Batuk kronik/mengi
Posisi opistotonus Suara serak
E. Diagnosis
Secara klinis, diagnosis GERD dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan klinis yang seksama. Beberapa
pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis
GERD adalah :
1. Endoskopi saluran cerna bagian atas
Pemeriksaan ini merupakan standar baku untuk mendiagnosis
GERD dengan ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis
refluks). Dengan pemeriksaan endoskopi dapat diniliai perubahan
makroskopik dari mukosa esofagus,serta dapat menyingkirkan keadaan
patologis lain yang menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan
mucosal break pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas
pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut sebagai
non-erosive reflux disease (NERD).
Tabel Klasifikasi Los Angeles :
Derajat Kerusakan Gambaran Endoskopi
A Erosi kecil-kecil pada mukosa
esofagus dengan diameter <5 mm
B Erosi pada mukosa/lipatan
mukosa dengan diameter >5 mm
tanpa saling berhubungan
C Lesi yang konfluen tetapi tidak
mengenai/ mengelilingi seluruh
lumen
D Lesi mukosa esofagus yang
bersifat sirkumferensial
(mengelilingi seluruh lumen
esofagus)
2. Esofagografi dengan Barium
Pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak menunjukkan
kelainan terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan yang
lebih berat, gambar radiologi berupa penebalan dinding dan lipatan
mukosa, ulkus atau penyempitan lumen.
3. Pemantauan pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian
distal esofagus. Episode ini dapat di monitor dan di rekam dengan
menempatkan mikroelektroda pH pada bagian distal esofagus, pH di
bawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES di anggap diagnostik untuk
refluks gastroesofageal.
4. Tes Bernstein
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang
transnasal dan melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl
0,1 M dalam waktu kurang dari satu jam. Tes ini berperan sebagai
pelengkap terhadap monitoring pH 24 jam pada pasien dengan gejala
tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti
biasanya dialami pasien, sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan
raa nyeri, maka tes ini dianggap positif. Tes Bernstein yang negatif
tidak menyingkirkan adanya nyeri yang berasal dari esofagus.
5. Manometri esofagus
Tes manometri akan memberi manfaat yang berarti jika pada
pasien-pasien dengan gejala nyeri epigastrium dan regurgitasi yang
nyata didapatkan esofagigrafi barium dan endoskopi yang normal.
6. Sintigrafi gastroesofageal
Pemeriksaan ini menggunakan cairan atau campuran makanan cair
dan padat yang dilabel dengan radioisotop yang tidak di absorpsi,
biasanya technetium. Selanjutnya sebuah penghitung gamma eksternal
akan memonitor transit dari cairan / makanan yang dilabel tersebut.
7. Tes penghambat pompa proton (tes supresi asam)
Pada dasarnya tes ini merupakan terapi empirik untuk menilai
gejala dari GERD dengan memberikan PPI dosis tinggi selama 1-2
minggu sambil melihat respon yang terjadi. Tes ini dianggap positif
jika terdapat perbaikan dari 50%-75% gejala yang terjadi.
American College of Gastroenterology (ACG) di tahun 2005 telah
mempublikasikan Updated Guidelines for the Diagnosis and Treatment of
Gastroesophageal Reflux Disease, di mana empat di antara tujuh poin yang ada,
merupakan poin untuk diagnosis, yaitu : (Hongo dkk, 2007)
a. Jika gejala pasien khas untuk GERD tanpa komplikasi, maka terapi empiris
(termasuk modifikasi gaya hidup) adalah hal yang tepat. Endoskopi saat
pasien masuk dilakukan jika pasien menunjukkan gejala-gejala komplikasi,
atau berisiko untuk Barret’s esophagus, atau pasien dan dokter merasa
endoskopi dini diperlukan. (Level of Evidence : IV)
b. Endoskopi adalah teknik pilihan yang digunakan untuk mengidentifikasi
dugaan Barret’s esophagus dan untuk mendiagnosis komplikasi GERD.
Biopsi harus dilakukan untuk mengkonfirmasi adanya epitel Barret dan
untuk mengevaluasi displasia. (Level of Evidence : III)
c. Pemantauan ambulatoar (ambulatory monitoring) esofagus membantu
untuk konfirmasi reluks gastroesofageal pada pasien dengan gejala
menetap ( baik khas maupun tidak khas) tanpa adanya kerusakan mukosa;
juga dapat digunakan untuk memantau pengendalian refluks pada pasien
tersebut di atas yang sedang menjalani terapi. (Level of Evidence : III)
d. Manometri esofagus dapat digunakan untuk memastikan lokasi
penempatan probe ambulatory monitoring dan dapat membantu sebelum
dilakukannya pembedahan anti refluks. (Level of Evidence : III)
Sementara itu, pada tahun 2008, American Gastroenterological
Association
(AGA) menerbitkan American Gastroenterological Association Medical
Position Statement on the Management of Gastroesophageal Reflux
Disease yang berisi 12 pernyataan, di mana pada poin ke-4 dijelaskan
tentang peran dan urutan prioritas uji diagnostik GERD pada dalam
mengevaluasi pasien dengan sangkaan GERD sebagai berikut : (Hiltz dkk,
2008)
a. Endoskopi dengan biopsi dilakukan untuk pasien yang mengalami
gejala esofagus dari GERD dengan disfagia yang mengganggu. Biopsi
harus mencakup area yang diduga mengalami metaplasia, displasia, atau
dalam hal tidak dijumpainya kelainan secara visual, mukosa yang normal
(minimal 5 sampel untuk esofagitis eosinofilik.)
b. Endoskopi dilakukan untuk mengevaluasi pasien yang mengalami
gejala esofagus dari GERD yang tidak berespon terhadap terapi empiris
berupa PPI 2 kali sehari. Biopsi harus mencakup area yang diduga
mengalami metaplasia, displasia, atau malignansi.
c. Manometri dilakukan untuk mengevaluasi pasien dengan dugaan
gejala GERD yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa PPI 2
kali sehari dan gambaran endoskopinya normal.
F. Diagnosis Banding
G. Komplikasi
1. Striktur Esofagus
2. Esofagus Barrett
H. Penatalaksanaan
Walaupun penyakit ini jarang sebagai penyebab kematian, mengingat
kemungkinan timbulnya komplikasi jangka panjang berupa ulserasi,
striktur esofagus ataupun esofagus Barrett yang merupakan keadaan
permaligna, maka sebaiknya penyakit ini mendapatkan penatalaksanaan
yang adekuat. Pada prinsipnya penatalaksanaan GERD terdiri dari :
1. Modifikasi gaya hidup
Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari
penatalaksanaan GERD, namun bukan merupakan pengobatan primer.
Hal-hal yang perlu dilakukan adalah :
a. Meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari
makan sebelum tidur dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan
asam selama tidur serta mencegah refluks asam dari lambung ke
esofagus.
b. Mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi jumlah makanan
yang dimakan karena keduanya dapat menimbulkan distensi
lambung.
c. Menurunkan berat badan pada pasien kegemukan serta
menghindari pakaian ketat sehingga dapat mengurangi tekanan
intra abdomen.
d. Menghindari obat-obatan yang dapat menurunkan tonus LES
seperti anti kolinergik, teofilin, diazepam, opiat, antagonis
kalsium, agonis beta adrenergik, progesteron.
2. Terapi Medikamentosa
Terdapat dua alur pendekatan terapin medikamentosa, yaitu
step up dan step down. Pada pendekatan step up pengobatan di mulai
dengan obat-obatan yang tergolong kurang kuat dalam menekan
sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik, bila
gagal diberikan obat golongan penekanan sekresi asam yang lebih kuat
dengan masa terapi lebih lama (penghambat pompa proton/PPI).
Sedangkan pada pendekatan step down pengobatan yang dimulai
dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi
pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau
antagonis reseptor H2 atau prokinetik atau bahan antasid.
Berikut adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi
medikamentosa :
a. Antasid
Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam
menghilangkan gejala GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi
esofagitis. Selain sebagai buffer terhadap HCl, obat ini dapat
memperkuat tekanan sfingter esofagus bagian bawah.
b. Antagonis Reseptor H2
Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis
derajat ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi. Yang
termassuk golongan obat ini adalah :
1) Simetidin : 2x800 mg atau 4x400 mg
2) Ranitidin : 4x150 mg
3) Famotidin : 2x20 mg
4) Nizatidin : 2x150 mg
c. Obat-Obatan Prokinetik
Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD
karena penyakit ini dianggap lebih condong ke arah gangguan
motalitas.
1) Metoklopramid
2) Domperidon
3) Cisapride
d. Sukralfat
Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa
esofagus, sebagai buffer terhadap HCl di esofagus serta dapat
mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini cukup
aman diberikan karena bekerja secara topikal (sitoproteksi).
e. Penghambat Pompa Protein (Proton Pump Inhibitor/PPI)
Golongan obat ini merupakan drug of choice dalam
pengobatan GERD, yang termasuk golongan obat ini adalah :
1) Omeprazole : 2x20 mg
2) Lansoprazole : 2x30 mg
3) Pantoprazole : 2x40 mg
4) Rabeprazole : 2x10 mg
5) Esomeprazole : 2x40 mg
3. Terapi Bedah
Terapi bedah merupakan terapi alternatif yang penting jika
terapi medikamentosa gagal, atau pada pasien GERD dengan striktur
berulang.
I. Prognosis
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux
Disease/ GERD) adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks
kandungan lambung ke dalam esofagus dengan berbagai gejala yang
timbul akibat keterlibatan esofagus, faring, laring, dan saluran nafas.
Telah diketahui bahwa refluks kandungan lambung ke esofagus dapat
menimbulkan berbagai gejala di esofagus. Dengan gejala klinis berupa :
Bayi Anak dan Remaja
Tidak mau makan /minum/menetek Nyeri perut
Muntah berulang Rasa terbakar di dada/ulu hati (heart burn)
Gagal tumbuh (failure to thrive) Muntah berulang
Rewel terus-menerus Kesulitan menelan (disfagia)
Tersedak/apnea (henti nafas sesaat) berulang
Batuk kronik/mengi
Posisi opistotonus Suara serak
Diagnosis dapat ditegakan melalui anamnesis dan pemeriksaan
fisik, juga beberapa pemeriksaan penunjang yang penting yaitu :
1. Endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas
2. Esofagografi dengan Barium
3. Pemantauan pH 24 jam
4. Tes Bernstein
5. Manometri esofagus
6. Sintigrafi Gastroesofagal
7. PPI
Penatalaksanaan GERD meliputi :
1. Modifikasi gaya hidup
2. Terapi medikamentosa
3. Terapi bedah
Prognosisnya…………
DAFTAR PUSTAKA
Jung HK. Epidemiology of gastroesophageal reflux disease in Asia : A
systematic review. J Neurogastroenterol Motil 2011; 17: 14-27. Kelompok
Studi GERD Indonesia. Konsensus nasional penatalaksanaan
Makmun D. Penyakit refluks gastroesofageal. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2009.hal.481-95.
Mariana Y. Penyakit Refluks Gastroesofagus. Dalam : Efiaty AS, Nurbaiti I.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok Kepala Leher. Edisi
kelima, Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 2001. 252-5.
Mariana Y.Penyakit Refluks Gastroesofagus. Dalam: Efiaty AS,dkk.
Penatalaksanaan Penyakit dan Kelainan Telinga-Hidung-Tenggorok, Edisi 2,
Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2000. 348-54.
Putnam PE. Gastroesophageal Reflux. In : Bluestone CD, et al. Pediatric
Otolaryngology, Vol.2, 3rd ed., Philadelphia : WB Saunders Co, 1996. 1144-
56
Vakil N, van Zanten SV, Kahrilas P, Dent J, Jones R; Global Consensus
Group. The Montreal definition and classification of gastroesophageal reflux
disease: a global evidence-based consensus. Am J Gastroenterol
2006;101:1900-1920.
Goh KL, Wong CH. Gastrooesophageal reflux disease: An Emerging Disease
in Asia. J Gastroenterol Hepatol 2006; 2:118-23