tonsilitis
TRANSCRIPT
Referat
TONSILITIS
Oleh :
Rizka AgandaFajrum 0910312084
Novi Irayanti 0910312135
Preseptor :
dr. Ade Asyari, SpTHT-KL
BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M DJAMIL PADANG
2015
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan referrat yang berjudul
“Tonsilitis”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Ade Asyari, SpTHT-KL selaku
pembimbing dan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan
referat ini.
Penulisan referat ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran sebagai masukan untuk perbaikan demi kesempurnaan
referat ini. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Padang, Maret 2015
Penulis
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .......................................................................................................... i
Daftar Isi ................................................................................................................... ii
Daftar Gambar .......................................................................................................... iv
BAB I Pendahuluan ............................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan ........................................................................................ 1
1.3 Manfaat Penulisan ...................................................................................... 1
1.4 Metode Penulisan ....................................................................................... 1
BAB II Tinjauan Pustaka ....................................................................................... 2
2.1. Embriologi, Anatomi, dan Fisiologi ........................................................... 2
2.1.1. Embriologi ...................................................................................... 2
2.1.2. Anatomi ........................................................................................... 2
2.1.3. Perdarahan dan Persarafan .............................................................. 3
2.1.4. Fungsi Tonsil .................................................................................. 4
2.2. Tonsilitis ....................................................................................................... 4
2.2.1. Definisi ............................................................................................ 4
2.2.2. Epidemiologi ................................................................................... 4
2.2.3. Etiologi dan Faktor Predisposisi ..................................................... 5
2.2.4. Klasifikasi Tonsilitis ....................................................................... 5
2.2.5. Patogenesis ...................................................................................... 7
2.2.6. Manifestasi Klinis ........................................................................... 7
2.2.7. Diagnosa ......................................................................................... 8
2.2.8. Diagnosa Banding ........................................................................... 11
ii
2.2.9. Tatalaksana ..................................................................................... 13
2.2.10. Tonsilektomi ................................................................................... 13
2.2.11. Komplikasi Tonsilitis ..................................................................... 19
2.2.12. Prognosis ......................................................................................... 21
BAB III Kesimpulan ................................................................................................ 22
Daftar Pustaka ........................................................................................................... 23
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Anatomi tonsil
Gambar 2.2 Arteri tonsil
Gambar 2.3 Hipertrofi tonsil
Gambar 2.4 Ukuran tonsil
Gambar 2.5 Tonsillitis kronik
Gambar 2.6 Rasio Perbandingan Tonsil Dengan Orofaring
Gambar 2.7 (A) Tonsillar hypertrophy grade-I tonsils. (B) Grade-II tonsils. (C) Grade-IIItonsils. (D) Grade-IV tonsils (“kissing tonsils”)
Gambar 2.8 Tonsilektomi Diseksi
Gambar 2.9 Tonsilektomi Elektrokauter
Gambar 2.10 Abses peritonsil
Gambar 2.11 Abses Parafaring
Gambar 2.12 Tonsilolith
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tonsilitis akut dan kronik merupakan salah satu penyakit infeksi terbanyak di
dunia.1 Tonsillitis merupakan peradangan tonsil palatina yang dapat bersifat akut dan
kronik.2 Penyakit ini banyak terjadi pada anak-anak. Tonsillitis virus sering diderita oleh
anak dengan usia yang lebih muda, sedangkan tonsillitis karena bakteri lebih banyak
pada anak usia 5 – 15 tahun. Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT pada 7
provinsi (Indonesia) pada tahun 1994-1996, prevalensi tonsillitis kronik sebesar 3,8%
tertinggi kedua setelah nasofaringitis akut (4,6%). 2,3
Terapi tonsillitis dapat berupa medikamentosa. Tonsilektomi atau pembedahan
dilakukan bila gagal dengan terapi konservatif.2,4 Komplikasi yang dapat timbul dari
penyakit ini adalah perdarahan saat dilakukannya pembedahan. Selain itu juga terdapat
risiko terjadinya rhinitis kronis, sinusitis, otitis media, abses peritonsil, abses parafaring,
abses intratonsilar, dan kista tonsilar.4,5
Tonsilitis mempunyai prognosis yang baik bila dilakukan lebih awal sehingga
tidak terjadi komplikasi.2 Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui lebih
dalam mengenai tonsillitis.
1.2 Batasan Masalah
Batasan penulisan referat ini membahas embriologi, anatomi, fisiologi, dan
fungsi dari tonsil. Membahas juga mengenai definisi, etiologi, epidemiologi, klasifikasi,
patogenesis, gambaran klinis, diagnosis, penatalaksanaan, tonsilektomi, komplikasi dan
prognosis dari tonsillitis.
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan tentang tonsilitis.
1.4 Metode Penulisan
Penulisan referat ini menggunakan tinjauan kepustakaan yang merujuk pada
berbagai literatur.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Embriologi, Anatomi, dan Fisiologi
2.1.1. Embriologi
Bakal tonsil timbul pada awal kehidupan fetus. Tonsil terletak dalam sinus
tonsilaris di antara kedua pilar fausium dan berasal dari invaginasi hipoblas di tempat
ini. Selanjutnya cekungan yang terbentuk dibagi menjadi beberapa bagian, yang akan
menjadi kripta permanen pada tonsil. Permukaan dalam, atau permukaan yang terpapar,
termasuk cekungan pada kripta dilapisi oleh mukosa, sedangkan permukaan luar atau
permukaan yang tertutup dilapisi oleh selubung fibrosa yang disebut kapsul.2
2.1.2. Anatomi
Tonsil merupakan massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. Terdapat 3 macam tonsil, yaitu tonsil
faringeal (adenoid), tonsil palatine, dan tonsil lingual. Ketiga tonsil membentuk
lingkaran yang disebut dengan cincin Waldeyer.2
Tonsil mempunya dua permukaan dan dua kutub. Permukaan medial tonsil
dilapisi epitel squamosa dan terdapat celah yang disebut kriptus. Terdapat 12 – 15
kriptus, satu diantaranya berukuran lebih besar sehingga disebut Crypta magna. Kriptus
berisi material yang terdiri dari sel epitel, bakteri, sisa makanan. Permukaan lateral
berupa kapsul fibrosa, terdapat otot palatoglossus dan palatofaringeus. Kutub atas tonsil
melekat pada palatum mole. Kutub bawah tonsil melekat pada lidah. Tonsil dipisahkan
olleh sulkus tonsilalingua dari lidah. Lokasi ini merupakan predileksi karsinoma.6
2
Gambar 2.1 Anatomi tonsil
2.1.3. Perdarahan dan Persarafan
Perdarahan tonsil berasal dari lima arteri, yaitu a. palatine descenden, a.
faringeal ascenden, a. tonsilaris, a. palatine ascenden, a. lingualis dorsal.6
Gambar 2.2 Arteri Tonsil
Fungsi sensori dipersarafi oleh n. glossofaringeal dan cabang dari ganglion
spenopalatina.6
3
2.1.4. Fungsi Tonsil
Tonsila palatine, seperti tonsil lain yang menyusun cincin Waldayer berfungsi
sebagai proteksi. Kriptus pada tonsil berfungsi untuk meningkatkan luas permukaan
untuk berkontak dengan benda asing.6
2.2 Tonsilitis
2.2.1. Definisi
Tonsilitis merupakan peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer.2 Tonsilitis kronik merupakan peradangan kronik pada tonsil yang
biasanya merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari
tonsil.2,7
Tonsilitis kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi pada
tonsila palatina yang menetap. Tonsilitis kronis disebabkan oleh serangan ulangan dari
tonsilitis akut yang mengakibatkan kerusakan yang permanen pada tonsil. Organisme
patogen dapat menetap untuk sementara waktu ataupun untuk waktu yang lama dan
mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan tubuh penderita mengalami
penurunan.8
Tonsilitis Kronis adalah peradangan kronis Tonsil setelah serangan akut yang
terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis. Tonsilitis berulang terutama terjadi pada
anak-anak dan diantara serangan tidak jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang
keadaan tonsil diluar serangan terlihat membesar disertai dengan hiperemi ringan yang
mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan keluar detritus.4
2.2.2. Epidemiologi
Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT pada 7 provinsi (Indonesia) pada
tahun 1994-1996, prevalensi tonsillitis kronik sebesar 3,8% tertinggi kedua setelah
nasofaringitis akut (4,6%). Di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar jumlah
kunjungan baru dengan tonsillitis kronik mulai Juni 2008–Mei 2009 sebanyak 63 orang.
Apabila dibandingkan dengan jumlah kunjungan baru pada periode yang sama, maka
angka ini merupakan 4,7% dari seluruh jumlah kunjungan baru.9
Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, namun jarang terjadi pada anak
dengan usia lebih dari 2 tahun. Tonsilitis yang disebabkan oleh spesies Streptococcus
biasanya terjadi pada anak usia 5-15 tahun, sedangkan tonsilitis virus lebih sering terjadi
4
pada anak-anak muda.2,3 Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit tonsilitis
kronis merupakan penyakit yang sering terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa muda
usia 15-25 tahun. Dalam suatu penelitian prevalensi karier Group A Streptokokus yang
asimptomatis yaitu: 10,9% pada usia kurang dari 14 tahun, 2,3% usia 15-44 tahun, dan
0,6 % usia 45 tahun keatas. Menurut penelitian yang dilakukan di Skotlandia, usia
tersering penderita Tonsilitis Kronis adalah kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar
50 % . Sedangkan Kisve pada penelitiannya memperoleh data penderita Tonsilitis
Kronis terbanyak sebesar 294 (62 %) pada kelompok usia 5-14 tahun. Suku terbanyak
pada penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan penelitian yang dilakukan di poliklinik
rawat jalan di rumah sakit Serawak Malaysia adalah suku Bidayuh 38%, Malay 25%,
Iban 20%, dan Chinese 14%.4
2.2.3. Etiologi dan Faktor Predisposisi
Bakteri penyebab tonsilitis baik akut dan kronik yaitu bakteri Streptokokus beta
hemolitikus grup A, Pneumokokus, Streptokokus viridian dan Streptokokus piogenes,
Stafilokokus, Hemophilus influenza, dan sangat jarang ditemukan bakteri golongan gram
negatif.7
Beberapa faktor predisposisi timbulnya kejadian tonsilitis kronik, yaitu : 7
- Rangsangan kronik (rokok, makanan)
- Higiene mulut yang buruk
- Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah-ubah)
- Alergi (iritasi kronik dari alergen)
- Keadaan umum (kurang gizi, kelelahan fisik)
- Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat
2.2.4. Klasifikasi Tonsilitis
Klasifikasi tonsillitis berdasarkan etiologi: 2
1. Tonsillitis Akut
a. Tonsilitis viral
Penyebab tonsillitis viral paling banyak infeksi virus Epstein Barr. Virus
ini mengakibatkan tonsillitis akut supuratif. Jika infeksi coxschakie, terdapat
luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri. Gejalanya menyerupai
common cold.2
5
b. Tonsillitis bacterial
Penyebab terbanyak adalah kuman grup A streptokokus β hemolitikus.
Infiltrate pada lapisan epitel akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya
sel polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Bentuk tonsillitis akut dengan
detritus yang jelas disebut tonsillitis folikularis. Bila bercak detritus menjadi satu
membentuk alur yang disebut tonsillitis lakunaris.2
Masa inkubasi 2 – 4 hari dengan terdapat gejala nyeri di telinga (otalgia)
yang merupakan nyeri alih melalui n.IX (n. gloggofaringeus).2
2. Tonsillitis Membranosa
a. Tonsilitis difteri
Tonsillitis ini disebabkan oleh kuman Coryne bacterium difteri, gram
positif. Sering ditemui pada anak-anak kurang dari 10 tahun. Gejala khas dari
tonsillitis difteri adalah terdapatnya bercak putih kotor yang makin lama makin
meluar membentuk membrane semu. Dapat meluas sampai palatum mole, uvula,
nasofaring, laring, trakea, bronkus dan akhirnya menyumbat pernapasan.2
Tatalaksana diberikan antidifteri serum (ADS) segera tanpa menunggu
kultur dengan dosis 20.000 – 100.000 unit. Antibiotic penisilin atau eritromisin
25 – 50 mg/kgBB dibagi dalam 3 dosis selama 14 hari. Kortikosteroid 1,2
mg/kgBB per hari. Bedrest dan isolasi.2
b. Tonsilitis septik
Penyebabnya adalah streptokokus yang terdapat dalam susu sapi. Di
Indonesia, susu sapi dimasak terlebih dahulu dengan cara pasteurisasi sebelum
diminum sehingga penyakit ini jarang ditemukan.2
c. Angina Plaut Vincent (stomatitis ulseromembranosa)
Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema yang
didapatkan pada penderita dengan hygiene mulut yang kurang dan defisiensi
vitamin c. tatalaksana pada pasien adalah antibiotic spectrum luas selama 1
mingguu dan memperbaiki hygiene mulut. Diberikan vitamin C dan vitamin B
kompleks.2
d. Penyakit kelainan darah
Terdapat kelainan darah seperti leukemia akut, angina agranulositosis
dan infeksi monoonukleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup membrane
6
semu. Kadang terdapat perdarahan pada selaput lender mulut dan laring serta
pembesaran kelenjar submandibula.2
3. Tonsillitis Kronis
Tonsilitis kronis merupakan peradangan berulang yang mengakibatkan
penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut sehingga mengalami
pengerutan dan mengakibatkan kripti melebar.2
2.2.5. Patogenesis
Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripti tonsil. Karena
proses radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis,
sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan jaringan
parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga kripti akan melebar, ruang antara
kelompok melebar yang akan diisi oleh detritus (akumulasi epitel yang mati, sel
leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripte berupa eksudat berwarna
kekuning-kuningan). Proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya
timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak-anak proses
ini disertai dengan pembesaran kelenjar submandibula.7
Gambar 2.3 Hipertrofi tonsil
2.2.6. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik sangat bervariasi. Tanda-tanda bermakna adalah nyeri
tenggorokan yang berulang atau menetap dan obstruksi pada saluran cerna dan
saluran napas. Gejala-gejala konstitusi dapat ditemukan seperti demam, namun
tidak mencolok.10 Terasa ada yang mengganjal di tenggorokan, tenggorokan
terasa kering dan napas yang berbau.2 Selain itu terdapat gejala susah menelan.6
Pada anak, tonsil yang hipertrofi dapat terjadi obstruksi saluran nafas
atas yang dapat mengakibatkan hipoventilasi alveoli dan selanjutnya terjadi
7
hiperkapnia sehingga dapat menyebabkan kor polmunale. Obstruksi yang berat
menyebabkan apnea waktu tidur, gejala yang paling umum adalah mendengkur
yang dapat diketahui dalam anamnesis.
2.2.7. Diagnosa
A. Anamnesa
Pada anamnesis, penderita biasanya datang dengan keluhan tonsillitis berulang
berupa nyeri tenggorokan berulang atau menetap, rasa ada yang mengganjal
ditenggorok, ada rasa kering di tenggorok, napas berbau, iritasi pada tenggorokan, dan
obstruksi pada saluran cerna dan saluran napas, yang paling sering disebabkan oleh
adenoid yang hipertofi. Gejala-gejala konstitusi dapat ditemukan seperti demam, namun
tidak mencolok. Pada anak dapat ditemukan adanya pembesaran kelanjar limfa
submandibular.2,10
B. Pemeriksaan Fisik
Ukuran tonsil dibagi menjadi: 10
T0 : Post tonsilektomi
T1 : Tonsil masih terbatas dalam fossa tonsilaris
T2 : Sudah melewati pilar anterior, tapi belum melewati garis paramedian (pilar
posterior)
T3 : Sudah melewati garis paramedian, belum melewati garis median
T4 : Sudah melewati garis median
Gambar 2.4 Ukuran tonsil10
8
Pada pemeriksaan fisik, tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak
rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Pada umumnya terdapat
dua gambaran tonsil yang secara menyeluruh dimasukkan kedalam kategori tonsillitis
kronik. Pada pemeriksaan fisik tonsil dapat ditemukan: 2
- Tonsil dapat membesar (hipertrofi) bervariasi terutama pada anak atau dapat juga
mengecil (atrofi) terutama pada dewasa
- Pilar anterior hiperemis
- Dapat terlihat butiran pus kekuningan pada permukaan medial tonsil
- Bila dilakukan penekanan pada plika anterior dapat keluar pus atau material
menyerupai keju
- Warna kemerahan pada plika anterior bila dibanding dengan mukosa faring, tanda
ini merupakan tanda penting untuk menegakkan diagnosa infeksi kronis pada tonsil
- Kripte melebar detritus (+) bila tonsil ditekan dan pembesaran kelenjar limfe
angulus mandibula.
Pada umumnya terdapat dua gambaran tonsil yang secara menyeluruh
dimasukkan kedalam kategori tonsillitis kronik berupa:8
a) Pembesaran tonsil karena hipertrofi disertai perlekatan ke jaringan sekitarnya, kripta
melebar di atasnya tertutup oleh eksudat yang purulent
b) Tonsil tetap kecil, bisanya mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam dalam
“tonsil bed” dengan bagian tepinya hiperemis, kripta melebar dan diatasnya tampak
eksudat yang purulent.
Gambar 2.5 Tonsillitis kronikBerdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan
mengukur jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak
9
permukaan medial kedua tonsil, di dapatkan gradasi pembesaran tonsil sebagai
berikut:11,12,13
T0 : Tonsil masuk di dalam fossa
T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
Gambar 2.6 Rasio Perbandingan Tonsil Dengan Orofaring
Gambar 2.7 (A) Tonsillar hypertrophy grade-I tonsils. (B) Grade-II tonsils. (C) Grade-IIItonsils. (D) Grade-IV tonsils (“kissing tonsils”)
C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu secara
mikrobiologi.14,15 Pada biakan tonsil dengan penyakit kronis biasanya
menunjukkan beberapa organisme yang virulensinya relatif rendah dan pada
10
kenyataannya jarang menunjukkan streptokokus beta hemolitikus.8 Pemeriksaan
ini dapat diambil dari swab permukaan tonsil maupun jaringan inti tonsil.
Daerah tenggorok banyak mengandung flora normal. Permukaan tonsil
mengalami kontaminasi dengan flora normal di saluran nafas atas. Patogen yang
didapatkan dari daerah ini bisa jadi bukan merupakan bakteri yang menginfeksi
tonsil. Pemeriksaan kultur dari permukaan tonsil saja tidak selalu menunjukkan
bakteri patogen yang sebenarnya. Pemeriksaan kultur dari inti tonsil dapat
memberikan gambaran penyebab tonsilitis yang lebih akurat. Bakteri yang
menginfeksi tonsil adalah bakteri yang masuk ke parenkim tonsil. Bakteri ini
sering menumpuk di dalam kripta tersumbat.16
2.2.8. Diagnosis Banding
Terdapat beberapa diagnosis banding dari tonsilitis kronik, di antaranya:7
1. Penyakit – penyakit dengan pseudomembran atau adanya membrane semu yang
menutupi tonsil (Tonsilitis Pseudomembran).
a. Tonsilitis Difteri
Disebabkan oleh kuman corynebacterium diphteriae. Tidak semua orang yang
terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung pada titer antitoksin
dalam darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc darah dapat dianggap cukup
memberikan dasar imunitas. Gejalanya terbagi menjadi 3 golongan besar,
umum, lokal dan gejala akibat eksotoksin:
- Gejala umum sama seperti gejala infeksi lain, yaitu demam subfebris, nyeri
kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat dan keluhan nyeri
menelan.
- Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih
kotor yang makin lama makin meluas dan membentuk pseudomembran yang
melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah.
- Gejala akibat eksotoksin dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh,
misalnya pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai dekompensasi
kordis, pada saraf kranial dapat menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan
otot pernafasan dan pada ginjal dapat menimbulkan albuminuria.
11
b. Angina Plaut Vincent (Stomatitis Ulseromembranosa)
Gejala yang timbul adalah demam tinggi (39°C), nyeri di mulut, gigi dan kepala,
sakit tenggorok, badan lemah, gusi mudah berdarah dan hipersalivasi. Pada
pemeriksaan tampak membran putih keabuan di tonsil, uvula, dinding faring,
gusi dan prosesus alveolaris. Mukosa mulut dan faring hiperemis. Mulut berbau
(foetor ex ore) dan kelenjar submandibula membesar.2
c. Mononukleosis Infeksiosa
Terjadi tonsilofaringitis ulseromembranosa bilateral. Membran semu yang
menutup ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan, terdapat pembesaran
kelenjar limfe leher, ketiak dan regio inguinal. Gambaran darah khas, yaitu
terdapat leukosit mononukleosis dalam jumlah besar. Tanda khas yang lain
adalah kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi terhadap sel darah merah
domba (Reaksi Paul Bunnel).
2. Penyakit Kronik Faring Granulomatosa
a. Faringitis Tuberkulosa
Merupakan proses sekunder dari TBC paru. Keadaan umum pasien buruk karena
anoreksi dan odinofagi. Pasien mengeluh nyeri hebat di tenggorok, nyeri di
telinga (otalgia) dan pembesaran kelenjar limfa leher.
b. Faringitis Luetika
Gambaran klinis tergantung dari stadium penyakit primer, sekunder atau tersier.
Pada penyakit ini dapat terjadi ulserasi superfisial yang sembuh disertai
pembentukan jaringan ikat. Sekuele dari gumma bisa mengakibatkan perforasi
palatum mole dan pilar tonsil.
c. Lepra (Lues)
Penyakit ini dapat menimbulkan nodul atau ulserasi pada faring kemudian
menyembuh dan disertai dengan kehilangan jaringan yang luas dan timbulnya
jaringan ikat.
d. Aktinomikosis Faring
Terjadi akibat pembengkakan mukosa yang tidak luas, tidak nyeri, bisa
mengalami ulseasi dan proses supuratif. Blastomikosis dapat mengakibatkan
ulserasi faring yang ireguler, superfisial, dengan dasar jaringan granulasi yang
lunak.
12
3. Tumor tonsil
Penyakit-penyakit diatas, keluhan umumnya berhubungan dengan nyeri
tenggorok dan kesulitan menelan. Diagnosa pasti berdasarkan pada pemeriksaan
serologi, hapusan jaringan/kultur, X ray dan biopsi.
2.2.9. Tatalaksana
Penatalaksanaan untuk tonsillitis kronik terdiri atas terapi medikamentosa dan
operatif.
1. Medikamentosa
Terapi ini ditujukan pada hygiene mulut dengan cara berkumur atau obat isap,
pemberian antibiotik, pembersihan kripta tonsil dengan alat irigasi gigi atau oral.2,8
Pemberian antibiotika sesuai kultur.4
2. Operatif
Untuk terapi pembedahan dilakukan dengan mengangkat tonsil (tonsilektomi).
Tonsilektomi dilakukan bila terapi konservatif gagal. Dengan tindakan
tonsilektomi.4
2.2.10. Tonsilektomi
A. Indikasi Tonsilektomi
Dalam keadaan emergency seperti adanya obstruksi saluran napas, indikasi
tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut). Namun, indikasi relatif
tonsilektomi pada keadaan non emergency dan perlunya batasan usia pada keadaan ini
masih menjadi perdebatan. Sebuah kepustakaan menyebutkan bahwa usia tidak
menentukan boleh tidaknya dilakukan tonsilektomi. indikasi absolut.4,8,11
Adapun indikasi absolut dilakukannya tonsilektomi antara lain: 4,8,11
a) Hiperplasia tonsil yang menyebabkan gangguan tidur (sleep apneu) yang terkait
dengan cor pulmonal
b) Curiga keganasan (hipertropi tonsil yang unilateral)
c) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam (yang memerlukan tonsilektomi
Quincy)
d) Perdarahan tonsil yang persisten dan rekuren.
13
Indikasi relatif dilakukan tonsilektomi antara lain: 4,8,11
a) Tonsillitis akut yang berulang (terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun)
b) Abses peritonsilar.
c) Tonsillitis kronik dengan sakit tenggorkan yang persisten, halitosis, atau adenitis
cervical.
d) Sulit menelan.
e) Tonsillolithiasis.
f) Gangguan pada orofacial atau gigi (mengakibatkan saluran bagian atas sempit).
g) Carrier streptococcus tidak berespon terhadap terapi).
h) Otitis media recuren atau kronik.
Adapun indikasi tonsilektomi menurut The American of Otolaryngology-head
and Neck Surgery Clinical Indicators Compendium 1995 adalah: 2
a. Serangan tonsillitis lebih dari 3x pertahun walaupun telah mendapat terapi yang
adekuat
b. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan
pertumbuhan orofacial
c. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan napas,
sleepapneu, gangguan menelan, gangguan berbicara dan cor pulmonale.
d. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak berhasil
hilang dengam pengobatan
e. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan
f. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Streptokokus beta
hemolitikus
g. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
h. Otitis media efusa/otitis media supuratif
B. Kontraindikasi Tonsilektomi
Terdapat beberapa keadaan yang disebut sebagai kontraindikasi, namun bila
sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan
imbang manfaat dan risiko. Keadaan tersebut yakni: gangguan perdarahan, risiko
anestesi yang besar atau penyakit berat, anemia, dan infeksi akut yang berat. 4,12
14
C. Teknik Operasi Tonsilektomi
Pengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan medis telah dilakukan pada abad
1 Masehi oleh Cornelius Celsus di Roma dengan menggunakan jari tangan. Teknik
operasi yang optimal dengan morbiditas yang rendah sampai sekarang masih menjadi
kontroversi, masing-masing teknik memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyembuhan
luka pada tonsilektomi terjadi per sekundam. Pemilihan jenis teknik operasi difokuskan
pada morbiditas seperti nyeri, perdarahan perioperatif dan pasca operatif serta durasi
operasi. Beberapa teknik tonsilektomi dan peralatan baru ditemukan disamping teknik
tonsilektomi standar. Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat
ini adalah teknik Guillotine dan diseksi.4,17
1. Diseksi: Dikerjakan dengan menggunakan Boyle-Davis mouth gag. Metode
pengangkatan tonsil dengan menggunakan skapel dan dilakukan dalam anestesi.
Tonsil digenggam dengan menggunakan klem tonsil dan ditarik kearah medial,
sehingga menyebabkan tonsil menjadi tegang. Dengan menggunakan sickle knife
dilakukan pemotongan mukosa dari pilar tersebut. Kebanyakan tonsilektomi saat ini
dilakukan dengan metode diseksi.
Gambar 2.8 Tonsilektomi Diseksi
15
2. Guilotin: Tonsilektomi guillotine dipakai untuk mengangkat tonsil secara cepat dan
praktis. Tonsil dijepit kemudian pisau guillotine digunakan untuk melepas tonsil
beserta kapsul tonsil dari fosa tonsil. Sering terdapat sisa dari tonsil karena tidak
seluruhnya terangkat atau timbul perdarahan yang hebat. Tehnik ini sudah banyak
ditinggalkan. Hanya dapat dilakukan bila tonsil dapat digerakkan dan bed tonsil
tidak cedera oleh infeksi berulang.
3. Elektrokauter: Kedua elektrokauter unipolar dan bipolar dapat digunakan pada
tehnik ini. Prosedur ini mengurangi hilangnya perdarahan namun dapat
menyebabkan terjadinya luka bakar. Teknik ini memakai metode membakar seluruh
jaringan tonsil disertai kauterisasi untuk mengontrol perdarahan. Pada bedah listrik
transfer energi berupa radiasi elektromagnetik untuk menghasilkan efek pada
jaringan. Frekuensi radio yang digunakan dalam spektrum elektromagnetik berkisar
pada 0,1 hingga 4 Mhz. Penggunaan gelombang pada frekuensi ini mencegah
terjadinya gangguan konduksi saraf atau jantung.
Gambar 2.9 Tonsilektomi Elektrokauter
4. Laser tonsilektomi: diindikasikan pada penderita gangguan koagulasi. Laser KTP-
512 dan CO2 dapat digunakan namun laser CO2 lebih disukai. Tehnik yag
dilakukan sama dengan yang dilakukan pada tehik diseksi. Laser tonsil ablation
(LTA) menggunakan CO2 atau KTP (Potassium Titanyl Phosphat) untuk
menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil. Teknik ini mengurangi volume tonsil
dan menghilangkan reses pada tonsil yang menyebabkan infeksi kronik dan rekuren.
5. Radiofrekuensi. Pada teknik ini radiofrekuensi elektrode disisipkan langsung
kejaringan. Densitas baru disekitar ujung elektroda cukup tinggi untuk membuka
kerusakan bagian jaringan melalui pembentukan panas. Selama periode 4-6 minggu,
daerah jaringan yang rusak mengecil dan total volume jaringan berkurang.
16
6. Skapel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong dan
mengkoagulasi jaringan dengan kerusakan jaringan minimal.
7. Teknik coblation atau cold ablation merupakan suatu modalitas yang untuk karena
dapat memanfaatkan plasma atau molekul sodium yang terionisasi untuk mengikis
jaringan. Mekanisme kerja dari coblation ini adalah menggunakan energi dari
radiofrekuensi bipolar untuk mengubah sodium sebagai media perantara yang akan
membentuk kelompok plasma dan terkumpul disekitar elektroda. Kelompok plasma
tersebut akan mengandung suatu partikel yang terionisasi dan kandungan plasma
dengan partikel yang terionisasi yang akan memecah ikatan molekul jaringan tonsil.
Selain memecah ikatan molekuler pada jaringan juga menyebabkan disintegrasi
molekul pada suhu rendah yaitu 40-70%, sehingga dapat meminimalkan kerusakan
jaringan sekitar.
8. Intracapsular partial tonsillectomy merupakan tonsilektomi parsial yang
dilakukan dengan menggunakan
microdebrider endoskopi. Microdebrider endoskopi bukan merupakan
peralatan ideal untuk tindakan tonsilektomi, namun tidak ada alat lain yang dapat
menyamai ketepatan dan ketelitian alat ini dalam membersihkan jaringan tonsil
tanpa melukai kapsulnya.
D. Komplikasi Tonsilektomi
Komplikasi saat pembedahan dapat berupa perdarahan dan trauma akibat alat.
Jumlah perdarahan selama pembedahan tergantung pada keadaan pasien dan faktor
operatornya sendiri. Perdarahan mungkin lebih banyak bila terdapat jaringan parut yang
berlebihan atau adanya infeksi akut seperti tonsilitis akut atau abses peritonsil. Pada
operator yang lebih berpengalaman dan terampil, kemungkinan terjadi manipulasi
trauma dan kerusakan jaringan lebih sedikit sehingga perdarahan juga akan sedikit.
Perdarahan yang terjadi karena pembuluh darah kapiler atau vena kecil yang robek
umumnya berhenti spontan atau dibantu dengan tampon tekan. Pendarahan yang tidak
berhenti spontan atau berasal dari pembuluh darah yang lebih besar, dihentikan dengan
pengikatan atau dengan kauterisasi. Bila dengan cara di atas tidak menolong, maka pada
fosa tonsil diletakkan tampon atau gelfoam kemudian pilar anterior dan pilar posterior
dijahit. Bila masih juga gagal, dapat dilakukan ligasi arteri karotis eksterna.17
17
Dari laporan berbagai kepustakaan, umumnya perdarahan yang terjadi pada cara
guillotine lebih sedikit dari cara diseksi. Trauma akibat alat umumnya berupa kerusakan
jaringan di sekitarnya seperti kerusakan jaringan dinding belakang faring, bibir terjepit,
gigi patah atau dislokasi sendi temporomandibula saat pemasangan alat pembuka mulut.
Komplikasi pasca bedah dapat digolongkan berdasarkan waktu terjadinya yaitu
immediate, intermediate dan late complication. 17
1. Komplikasi segera (immediate complication) pasca bedah dapat berupa perdarahan
dan komplikasi yang berhubungan dengan anestesi. Perdarahan segera atau disebut
juga perdarahan primer adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama pasca
bedah. Keadaan ini cukup berbahaya karena pasien masih dipengaruhi obat bius dan
refleks batuk belum sempurna sehingga darah dapat menyumbat jalan napas
menyebabkan asfiksi. Penyebabnya diduga karena hemostasis yang tidak cermat
atau terlepasnya ikatan.17 perdarahan dan iritasi mukosa dapat dicegah dengan
meletakkan ice collar dan mengkonsumsi makanan lunak dan minuman dingin. 18
2. Pasca bedah, komplikasi yang terjadi kemudian (interme diate complication) dapat
berupa perdarahan sekunder, hematom dan edem uvula, infeksi, komplikasi paru
dan otalgia Perdarahan sekunder adalah perdarahan yang terjadi setelah 24 jam
pasca bedah. Umumnya terjadi pada hari ke 5-10. Jarang terjadi dan penyebab
tersering adalah infeksi serta trauma akibat makanan; dapat juga oleh karena ikatan
jahitan yang terlepas, jaringan granulasi yang menutupi fosa tonsil terlalu cepat
terlepas sebelum luka sembuh sehingga pembuluh darah di bawahnya terbuka dan
terjadi perdarahan. Perdarahan hebat jarang terjadi karena umumnya berasal dari
pembuluh darah permukaan. Cara penanganannya sama dengan perdarahan primer.17
Pada pengamatan pasca tonsilektomi, pada hari ke dua uvula mengalami edem.
Nekrosis uvula jarang terjadi, dan bila dijumpai biasanya akibat kerusakan bilateral
pembuluh darah yang mendarahi uvula. Meskipun jarang terjadi, komplikasi infeksi
melalui bakteremia dapat mengenai organ-organ lain seperti ginjal dan sendi atau
mungkin dapat terjadi endokarditis. Gejala otalgia biasanya merupakan nyeri alih
dari fosa tonsil, tetapi kadang-kadang merupakan gejala otitis media akut karena
penjalaran infeksi melalui tuba Eustachius. Abses parafaring akibat tonsilektomi
mungkin terjadi, karena secara anatomik fosa tonsil berhubungan dengan ruang
18
parafaring. Dengan kemajuan teknik anestesi, komplikasi paru jarang terjadi dan ini
biasanya akibat aspirasi darah atau potongan jaringan tonsil. 17
3. Late complication pasca tonsilektomi dapat berupa jaringan parut di palatum mole.
Bila berat, gerakan palatum terbatas dan menimbulkan rinolalia. Komplikasi lain
adalah adanya sisa jaringan tonsil. Bila sedikit umumnya tidak menimbulkan gejala,
tetapi bila cukup banyak dapat mengakibatkan tonsilitis akut atau abses peritonsil. 17
Komplikasi tonsilektomi dapat berupa : 11,12
- Immediate and Delayed Hemorrhage
- Postoperative Airway Compromise :Jarang terjadi, biasanya disebabkan oleh
terlepasnya bekuan-bekuan, terlepasnya jaringan adenotonsillar, post operasi edema
oropharingeal, atau hematom retropharyngeal.
- Dehidrasi
- Pulmonary Edema : Disebabkan oleh pembebasan secara tiba-tiba jalan napas yang
obstruksi karena hipertropi adenotonsillar yang lama, mengakibatkan penurunan
mendadak tekanan intratoracal, peningkatan volume darah paru, dan peningkatan
tekanan hidrostatik yang dapat terjadi segera atau beberapa jam setelah pembebasan
jalan napas.
- Nasopharyngeal Stenosis : komplikasi yang jarang dari jaringan parut
- Eustachian Tube Dysfunction
- Aspiration Pneumonia : jarang terjadi, biasanya akibat aspirasi dari bekuan darah
2.2.11. Komplikasi Tonsilitis
Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya
berupa rhinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara percontinuitatum. Komplikasi
jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul endocarditis, artritis,
myositis, nefritis, uvetis iridosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria, dan furunkulosis.2
Beberapa literature menyebutkan komplikasi tonsillitis kronis antara lain:4,5
a) Abses peritonsil.
Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan sekitarnya. Abses
biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan otot-otot yang mengelilingi
faringeal bed. Hal ini paling sering terjadi pada penderita dengan serangan berulang.
19
Gejala penderita adalah malaise yang bermakna, odinofagi yang berat dan trismus.
Diagnosa dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi abses.
Gambar. 2.10 Abses peritonsilb) Abses parafaring
Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus
mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring sehingga
menonjol kearah medial. Abses dapat dievakuasi melalui insisi servikal.
Gambar 2.11 Abses Parafaringc) Abses intratonsilar.
Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil. Biasanya diikuti
dengan penutupan kripta pada tonsilitis folikular akut. Dijumpai nyeri lokal dan
disfagia yang bermakna. Tonsil terlihat membesar dan merah. Penatalaksanaan yaitu
dengan pemberian antibiotika dan drainase abses jika diperlukan; selanjutnya
dilakukan tonsilektomi.
d) Tonsilolith (kalkulus tonsil).
Tonsililith dapat ditemukan pada tonsilitis kronis bila kripta diblokade oleh sisa-sisa
dari debris. Garam inorganik kalsium dan magnesium kemudian tersimpan yang
memicu terbentuknya batu. Batu tersebut dapat membesar secara bertahap dan
kemudian dapat terjadi ulserasi dari tonsil. Tonsilolith lebih sering terjadi pada
dewasa dan menambah rasa tidak nyaman lokal atau foreign body sensation. Hal ini
didiagnosa dengan mudah dengan melakukan palpasi atau ditemukannya permukaan
yang tidak rata pada perabaan.
20
Gambar 2.12 Tonsilolith
e) Kista tonsilar.
Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai pembesaran kekuningan
diatas tonsil. Sangat sering terjadi tanpa disertai gejala. Dapat dengan mudah
didrainasi.
2.2.12. Prognosis Tonsilitis
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan
pengobatan suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat penderita
Tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika
tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan
bila penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala-gejala yang
tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran nafas
lainnya, infeksi yang sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada kasus-
kasus yang jarang, Tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti demam
rematik atau pneumonia.
21
BAB III
KESIMPULAN
Tonsillitis merupakan peradangan tonsila palatine yang dapat berlangsung akut
ataupun kronik. Penyakit ini banyak terjadi pada anak-anak dengan prevalensi penyebab
virus lebih banyak pada anak yang lebih muda, sedangkan bakteri mengenai anak yang
berusia 5 – 15 tahun.
Tonsilitis dapat diakibatkan oleh virus ataupun bakteri. Beberapa faktor
predisposisi dapat mengakibatkan tonsillitis seperti rangsangan kronik dari rokok dan
makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, dan alergi.
Manifestasi klinis tonsillitis adala nyeri tenggorok yang berulang, obstruksi pada
saluran cerna, rasa mengganjal di tenggorok, susah menelan. Penegakan diagnosis
tonsillitis diperoleh dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang bila
diperlukan.
Tatalaksana dari tonsillitis dapat berupa medika mentosa dengan tujuan
meningkatkan hygiene mulut, pemberian antibiotik dan dapat dilakukan dengan terapi
operatif dengan tonsilektomi bila terapi konservatif gagal. Terapi yang adekuat sangat
diperlukan untuk mencegah terjadinya komplikasi dari tonsillitis seperti abses peritonsil,
abses parafaring, abses intratonsilar, tonsilolith dan tonsillitis.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Rakhmanova SS, Nuraliyev NA. Immune Reactivity Under Polygnic Chronic
Tronsillitis. European Journal of Natural History (3); 23 – 25. 2011
2. Rusmarjono & Kartosoediro, S. Odinofagi, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher, FKUI, Jakarta. 2007
3. Udayan KS. Tonsillitis and peritonsillar Abscess. http://emedicine.medscape.com/.
2012
4. Richard SS. Pharinx. In: Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6.
Jakarta: ECG, 2006.
5. Hatmansjah. Tonsilektomi. In: Cermin Dunia Kedokteran vol 89. http://www.
cerminduniakedokteran .com. 2012
6. PL Dhingra. Disease of Ear, Nose and Throat. 4th ed. Philadelphia: Elsevier.
7. Brodsy L. Poje C. Tonsilitis, Tonsilectomy and Adeneidectomy. In: Bailey BJ.
Johnson JT. Head and Neck Surgery. Otolaryngology. 4rd Edition. Philadelphia:
Lippinscott Williams Wilkins Publishers. 2006.
8. Soepardi AE. Dr, Iskandar N.D, Prof. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. FKUI, Jakarta. 2001.
9. Amalia, Nina. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis D RSUP H. Adam Malik
Medan Tahun 2009. 2011.
10. Gross CW, Harrison SE. Tonsils and Adenoid. In: Pediatrics In Review.
http://www.pediatricsinrewiew.com. 2000.
11. Boies AH. Rongga Mulut dan Faring. In: Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta:
ECG, 1997
12. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Tonsil dan Adenoid. In: Ilmu
Kesehatan Anak Edisi 15 Volum 2. Jakarta: ECG,2000.
13. Hassan R, Alatas H. Penyakit Tenggorokan. In: Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak
jilid 2. Jakarta :FKUI, 2007.
14. John PC, William CS. Tonsillitis and Adenoid Infection.
http://www.medicinenet.com. 2012
15. Adnan D, Ionita E. Contributions To The Clinical, Histological, Histochimical and
Microbiological Study Of Chronic Tonsillitis.
23
16. John PC, William CS. Tonsillitis and Adenoid Infection.
http://www.medicinenet.com. 2012
17. Andrews BT, Hoffman HT, Trask DK. Pharyngitis/Tonsillitis. In: Head and Neck
Manifestations of Systemic Disease. USA:2007
18. Uğraş, Serdar & Kutluhan, Ahmet. Chronic Tonsillitis Can Be Diagnosed With
Histopathologic Findings. In: European Journal of General Medicine, Vol. 5, No. 2.
http://www. Bioline International .com. 2012
24