tonsilitis tht
DESCRIPTION
THTTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit pada tonsil palatina (tonsil) merupakan permasalahan yang
umum ditemukan pada anak. Penderita tonsilitis merupakan pasien yang
sering datang pada praktek dokter ahli bagian telinga hidung tenggorok-
bedah kepala dan leher (THT-KL), dokter anak, maupun tempat pelayanan
kesehatan lainnya. Tonsilitis juga merupakan salah satu penyebab
ketidakhadiran anak di sekolah. Ahli THT-KL memainkan peranan penting
dalam menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan tonsilitis.
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) di Indonesia masih merupakan
penyebab tersering morbiditas dan mortalitas pada anak. Tonsilitis kronis
pada anak dapat disebabkan karena anak seringmenderita ISPA atau
tonsilitis akut yang tidak diterapi adekuat.Berdasarkan data medical record
tahun 2010 di RSUP dr M. Djamil Padang bagian THT-KL subbagian laring
faring ditemukan tonsilitis sebanyak 465 dari 1.110 kunjungan di Poliklinik
subbagian laring-faring dan yang menjalani tonsilektomi sebanyak 163
kasus.
Tonsilitis atau yang lebih sering dikenal dengan amandel adalah
peradagan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer.
Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam
rongga mulut yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial),
tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil Tuba Eustachius (lateral band
dinding faring/Gerlach’s tonsil).
Tonsilitis disebabkan peradangan pada tonsil oleh karena infeksi bakteri
atau virus, kegagalan atau ketidaksesuaian pemberian antibiotik pada
penderita diabetes mellitus akut. Ketidaktepatan terapi antibiotik pada
penderita tonsilitis akut akan mengubah mikroflora pada tonsil, mengubah
struktur pada kripta tonsil, dan adanya infeksi virus menjadi faktor
predisposisi bahkan faktor penyebab terjadinya tonsilitis kronik.
1
Penyebaran infeksi melalui udara (air bone droplets), tangan dan
ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Tonsilitis adalah peradagan tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer. Tonsil hampir selalu diartikan sebagai tonsil
palatina.Tonsilitis akut merupakan infeksi tonsil yang sifatnya akut,
sedangkan tonsilitis kronik merupakan tonsilitis yang terjadi berulang kali
(kronik).(1,2,3)
2.2 EPIDEMIOLOGI
Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, meskipun jarang terjadi
pada anak-anak usia kurang dari dua tahun. Tonsilitis akibat infeksi
Streptococcus secara khusus terjadi pada anak-anak usia 6-15 tahun. Kasus
terbanyak ditemukan pada anak-anak usia sekolah, yang berkontak dengan
anak lain yang menderita tonsilitis akibat bakteri maupun virus.(1, 3, 4)
2.3 ANATOMI & FISIOLOGI TONSIL
a. Embriologi
Pembentukan tonsil berasal dari proliferasi sel-sel epitel yang
melapisi kantong faringeal kedua. Perluasan ke lateral dari kantong
2
faringeal kedua diserap dan bagian dorsal menetap kemudian menjadi
epitel tonsil. Pilar tonsil dibentuk dari arkus brakial ke-2 dan ke-3.
Secara nyata perkembangan tonsil terlihat pada usia 14 minggu
kehamilan dengan terjadinya infiltrasi sel-sel limfatik ke dalam
mesenkim di bawah mukosa yang dibentuk di dalam fossa tonsil.
Pembentukan kripta tonsil terjadi pada usia 12-18 minggu kehamilan.
Kapsul dan jaringan ikat lain tonsil terbentuk pada usia kehamilan 20
minggu dengan demikian terbentuk massa jaringan tonsil. Secara
histologi tonsil mengandung 3 unsur utama yaitu jaringan ikat atau
trabekula sebagai rangka penunjang pembuluh darah, saraf dan limfa,
folikel germinativum sebagai pusat pembentukan sel limfoid muda serta
jaringan interfolikel jaringan limfoid dari berbagai stadium.
b. Anatomi
Tonsil bersama adenoid, tonsil lingual,pita lateral faring, tonsil
tubaria dan sebaran jaringan folikel limfoid membentuk cincin jaringan
limfoid yang dikenal dengan cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer ini
merupakan pertahanan terhadap infeksi. Tonsil dan adenoid
merupakan bagian terpenting dari cincin Waldeyer. Adenoid akan
mengalami regresi pada usia puberitas.(1)
Gambar 1. Anatomi faring & tonsil(5)
3
Tonsil adalah massa jaringan limfoid yang terletak di fosa tonsil
pada kedua sudut orofaring. Tonsil dibatasi dari anterior oleh pilar
anterior yang dibentuk otot palatoglossus, posterior oleh pilar posterior
dibentuk otot palatofaringeus, bagian medial oleh ruang orofaring,
bagian lateral dibatasi oleh otot konstriktor faring superior, bagian
superior oleh palatum molle, bagian inferior oleh tonsil lingual yang
disebut sebagai fossa tonsil. Permukaan lateral tonsil ditutupi oleh
jaringan alveolar yang tipis dari fasia faringeal dan permukaan bebas
tonsil ditutupi oleh epitel yang meluas ke dalam tonsil membentuk
kantong yang dikenal dengan kripta.(1)
Gambar 2. Cavum oris dan Oropharynx tampak Anterior(5)
Kripta pada tonsil ini berkisar antara 10-30 buah. Epitel kripta tonsil
merupakan lapisan membran tipis yang bersifat semipermiabel, sehingga
epitel ini berfungsi sebagai akses antigen baik dari pernafasan maupun
pencernaan untuk masuk ke dalam tonsil. Pembengkakan tonsil akan
mengakibatkan kripta ikut tertarik sehingga semakin panjang. Inflamasi dan
epitel kripta yang semakin longgar akibat peradangan kronis dan obstruksi
kripta mengakibatkan debris dan antigen tertahan di dalam kripta tonsil.(1)
Vaskularisasi
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. karotis eksterna,
yaitu :
1) a.maksilaris eksterna (a. fasialis); cabangnya a. tonsilaris dan a. palatina
asendens
2) a. maksilaris interna; cabangnya a. palatina desendens
3) a. lingualis; cabangnya a. lingualis dorsalis
4
4) a. faringeal asendens
Sumber perdarahan daerah kutub bawah tonsil:
1) Anterior : A. lingualis dorsal.
2) Posterior : A. palatina asenden.
3) Diantara keduanya: A. tonsilaris.
Sumber perdarahan daerah kutub atas tonsil:
1) a. faringeal asenden
2) a. palatina desenden.
Gambar 3. Perdarahan Tonsil
Arteri tonsilaris berjalan ke atas pada bagian luar m. konstriktor
superior dan memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri
palatina asenden, mengirimkan cabang melalui m. konstriktor posterior
menuju tonsil. Arteri faringeal asendens juga memberikan cabangnya ke
tonsil melalui bagian luar m. kosntriktor superior. Arteri lingualis dorsal
naik ke pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke tonsil, plika anterior, dan
plika posterior. Arteri palatina desenden atau arteri palatina posterior
memberi vaskularisasi tonsil dan palatum mole dari atas dan membentuk
anastomosis dengan a. palatina asendens. Kutub bawah tonsil bagian
anterior (a. lingualis dorsal) dan bagian posterior (a. palatina asenden), di
5
antara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh. A. tonsilaris. Kutub atas
tonsil diperdarahi oleh a. faringeal asendens dan a. palatina desendens.
Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan
pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena disekitar kapsul tonsil,
vena lidah, dan pleksus faringeal.
Aliran getah bening menuju rangkaian getah bening servikal profunda
(deep jugular node). Bagian superior di bawah m. sternokleidomastoideus,
selanjutnya ke kelenjar toraks, dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil
hanya mempunyai pembuluh getah bening eferen sedangkan pembuluh
getah bening aferen tidak ada.
Innervasi
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui
ganglion sfenoplatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus (saraf IX).(1)
c. Histologi
Gambar 4. Histologi Tonsil (6)
Secara mikroskopis tonsil memiliki tiga komponen yaitu jaringan ikat,
jaringan interfolikuler, jaringan germinativum. Jaringan ikat berupa
trabekula yang berfungsi sebagai penyokong tonsil. Trabekula merupakan
perluasan kapsul tonsil ke parenkim tonsil. Jaringan ini mengandung
pembuluh darah, syaraf, saluran limfatik efferent. Permukaan bebas tonsil
ditutupi oleh epitel statified squamous.
6
Jaringan germinativum terletak dibagian tengah jaringan tonsil,
merupakan sel induk pembentukan sel-sel limfoid. Jaringan interfolikel
terdiri dari jaringan limfoid dalam berbagai tingkat pertumbuhan.
Pada tonsilitis kronis terjadi infiltrasi limfosit ke epitel permukaan
tonsil. Peningkatan jumlah sel plasma di dalam subepitel maupun di dalam
jaringan interfolikel. Hiperplasia dan pembentukan fibrosis dari jaringan
ikat parenkim dan jaringan limfoid mengakibatkan terjadinya hipertrofi
tonsil.
d. Fisiologi & Imunologi
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk
diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil
mempunyai 2 fungsi utama yaitu : (1, 3)
1) Menangkap dan mengumpulkan benda asing dengan efektif
2) Tempat produksi antibodi yang dihasilkan oleh sel plasma yang bersal
dari diferensiasi limfosit B.
Limfosit terbanyak ditemukan dalam tonsil adalah limfosit B. Bersama-
sama dengan adenoid limfosit B berkisar 50-65% dari seluruh limfosit pada
kedua organ tersebut. Limfosit T berkisar 40% dari seluruh limfosit tonsil
dan adenoid. Tonsil berfungsi mematangkan sel limfosit B dan kemudian
menyebarkan sel limfosit terstimulus menuju mukosa dan kelenjar sekretori
di seluruh tubuh.
Antigen dari luar, kontak dengan permukaan tonsil akan diikat dan
dibawa sel mukosa (sel M), antigen presenting cells (APCs), sel makrofag
dan sel dendrit yang terdapat pada tonsil ke sel Th di sentrum germinativum.
Kemudian sel Th ini akan melepaskan mediator yang akan merangsang sel
B. Sel B membentuk imunoglobulin IgM pentamer diikuti oleh
pembentukan IgG dan IgA. Sebagian sel B menjadi sel memori.
Imunoglobulin IgG dan IgA secara fasif akan berdifusi ke lumen. Bila
rangsangan antigen rendah akan dihancurkan oleh makrofag. Bila
konsentrasi antigen tinggi akan menimbulkan respon proliferasi sel B pada
sentrum germinativum sehingga tersensititasi terhadap antigen,
7
mengakibatkan terjadinya hiperplasia struktur seluler. Regulasi respon imun
merupakan fungsi limfosit T yang akan mengontrol proliferasi sel dan
pembentukan imunoglobulin.(1, 5)
Aktivitas tonsil paling maksimal antara umur 4 sampai 10 tahun. Tonsil
mulai mengalami involusi pada saat puberitas, sehingga produksi sel B
menurun dan rasio sel T terhadap sel B relatif meningkat. Pada Tonsilitis
yang berulang dan inflamasi epitel kripta retikuler terjadi perubahan
epitel squamous stratified yang mengakibatkan rusaknya aktifitas sel imun
dan menurunkan fungsi transport antigen. Perubahan ini menurunkan
aktifitas lokal sistem sel B, serta menurunkan produksi antibodi. Kepadatan
sel B pada sentrum germinativum juga berkurang.(1)
2.4 KLASIFIKASI
Adapun jenis-jenis dari tonsilitis, yakni:
1. Tonsilitis Akut
Tonsilitis akut merupakan suatu infeksi pada tonsil yang
ditandai nyeri tenggorok, nyeri menelan, panas, dan malaise.
Pemeriksaan fisik dapat ditemukan pembesaran tonsil, eritema dan
eksudat pada permukaan tonsil, kadang ditemukan adanya limadenopati
servikal. Korblut, menjelaskan gejala tonsilitis akut akan berkurang 4-6
hari. Penyakit ini biasanya akan sembuh setelah 7-14 hari. Tonsilitis
akut berdasarkan penyebab infeksi, yaitu(1, 2):
a. Tonsilitis Viral
Tonsilitis yang disebabkan oleh virus. Gejala lebih menyerupai
common cold yang disertai rasa nyeri tenggorok. Penyebab yang
sering Epstein Barr, influenza, para influenza, coxasakie,
echovirus, rhinovirus. Douglas seperti dikutip Kornbult
menemukan bahwa kebanyakan tonsilitis virus terjadi pada usia
prasekolah sedangkan infeksi bakteri terjadi pada anak yang lebih
besar.
b. Tonsilitis Bakterial
Tonsilitis akut bakterial paling banyak disebabkan
8
Streptococcus β hemoliticus. Lebih kurang 30%-40% tonsilitis
akut disebabkan oleh Streptococcus β hemoliticus grup A. Brook,
menyatakan dalam mendiagnosis tonsilitis keterlibatan
Streptococcus β hemoliticus grup A harus tetap dipertimbangkan
disamping bakteri lain yang juga dapat ditemukan pada
pemeriksaan bakteriologi.
Gambar 5. Tonsilitis Akut dengan Detritus
Infiltrasi bakteri ke dalam jaringan tonsil akan menimbulkan
reaksi radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga
terbentuk eksudat dikenal dengan detritus. Eksudat yang terbentuk
biasanya tidak melengket ke jaringan di bawahnya. Bentuk
tonsilitis akut dengan eksudat yang jelas disebut dengan tonsilitis
folikularis. Bila eksudat yang terbentuk membentuk alur-alur maka
akan terjadi tonsilitis lakunaris. Infeksi tonsil dapat juga melibatkan
faring, seluruh jaringan limfoid tenggorok. Terlihat lidah kotor dan
juga lapisan mukosa tipis di rongga mulut.
2. Tonsilitis Membranosa
Penyakit yang termasuk dalam golongan membranosa ialah (a)
Tonsilitis difteri, (b) Tonsilitis septik (Septic Sore Throat), (c) Angina
Plaut Vincent, (d) Penyakit kelainan darah seperti leukemia akut,
anemia pernisiosa, neutropenia maligna serta infeksi mono-nukleosis,
(e) proses spesifik lues dan tuberkulosis, (f) infeksi jamur moniliasis,
9
aktinomikosis dan blastomikosis, (g) Infeksi virus morbili, pertusis dan
skarlatina.
a. Tonsilitis Difteri
Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Tidak
semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan
ini tergantung pada titer antitoksin dalam darah. Titer antitoksin
sebesar 0,03 sat/cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar
imunitas. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak berusia
kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 5 tahun.(2)
Gambar 9. A. Karakteristik membran tipis pada infeksi difteri di pharynx
posterior. B. Gambaran mikrobiologi Corynebacterium diphtheriae gram
positif dengan pewarnaan metilen blue.(16)
Gejala klinik terbagi dalam tiga golongan yaitu : umum, lokal,
dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum sama seperti gejala
infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri
kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat serta keluhan
nyeri menelan. Gejala lokal yang tampak berupa tonsil
membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin
meluas dan bersatu membentuk membrane semu (pseudomembran)
yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat akan
10
A.
B.
mudah berdarah. Jika infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher
akan membengkak sedemikian besarnya sehingga lehernya
menyerupai leher sapi (Bull neck). Gejala akibat eksotoksin akan
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat
terjadi miokarditis sampai decompensatio cardio, pada saraf
kranial dapat menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot
pernapasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.(2, 14)
b. Tonsilitis Septik
Penyebab ialah Streptokokus hemolitikus yang terdapat dalam
susu sapi sehingga dapat timbul epidemi. Oleh karena di Indonesia
susu sapi dimasak dulu dengan cara pasteurisasi sebelum diminum
maka penyakit ini jarang ditemukan.
c. Angina Plaut Vincent (Stomatitis Ulsero Membranosa)
Disebabkan oleh bakteri spirochaeta atau triponema, penyakit
ini sering terjadi pada orang-orang dengan higine mulut yang
buruk dan defisiensi vitamin C. Pada tonsil terbentuk bercak-
bercak pseudomembran nekrotik yang berwarna putih keabuan
dikelilingi areola yang hiperemis dapat menutup salah satu tonsil
ataupun keduanya. Lesi dapat menyebar ke palatum molle, faring
dan rongga mulut. Lesi yang terjadi disebabkan oleh bakteri yang
terda
pat pada membran mukosa yang menyebabkan nekrosis
membran mukosa tersebut. Dapat juga terbentuk pseudomembran
pada laring dan trakhea yang bila dilepas akan bedarah. Infeksi
dapat disertai pembesaran kelenjar getah bening submaksilar atau
servikalis.
d. Penyakit Kelainan Darah
Leukimia Akut
11
Gejala pertama sering berupa epiktaksis, perdarahan mukosa
mulut, gusi dan di bawah kulit sehingga kulit tampak bercak
kebiruan. Tonsil membengkak ditutupi membran semu tetapi tidak
hiperemis dan rasa nyeri hebat di tenggorok
Angina Agranulositosis
Penyebabnya ialah akibat keracunan obat dari golongan
amidopirin, sulfa dan arsen. Pada pemeriksaan tampak ulkus di
mukosa mulut dan faring serta di sekitarr ulkus tampak gejala
radang. Ulkus ini juga dapat ditemukan di genitalia dan saluran
cerna.
Infeksi mononucleosis
Pada penyakit ini terjadi tonsilo faringitis ulsero membranosa
bilateral. Membran semu yang menutupi ulkus mudah diangkat
tanpa timbul perdarahan. Terdapat pembesaran kelenjar limfa
leher, ketiak dan regioinguinal. Gambaran darah khas yaitu
terdapat leukosit mononukleus dalam jumlah besar. Tanda khas
yang lain ialah kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi
terhadap sel darah merah domba (reaksi Paul Bunnel).
3. Tonsilitis Kronik
Tonsilitis kronis adalah peradangan tonsil yang menetap sebagai
akibat infeksi akut atau subklinis yang berulang. Ukuran tonsil
membesar akibat hiperplasia parenkim atau degenerasi fibrinoid dengan
obstruksi kripta tonsil, namun dapat juga ditemukan tonsil yang relatif
kecil akibat pembentukan sikatrik yang kronis. Brodsky, menjelaskan
durasi maupun beratnya keluhan nyeri tenggorok sulit dijelaskan.
Biasanya nyeri tenggorok dan nyeri menelan dirasakan lebih dari 4
minggu dan kadang dapat menetap. Brook dan Gober, seperti dikutip
oleh Hammouda menjelaskan tonsilitis kronis adalah suatu kondisi
yang merujuk kepada adanya pembesaran tonsil sebagai akibat infeksi
tonsil yang berulang.
12
Gambar 6. Tonsilitis kronik dengan eksudasi purulen yang menutupi
kedua tonsil. Pada uvula dan arkus tampak hiperemis dan edema.(8)
Infeksi yang berulang dan sumbatan pada kripta tonsil
mengakibatkan peningkatan stasis debris maupun antigen di dalam
kripta, juga terjadi penurunan integritas epitel kripta sehingga
memudahkan bakteri masuk ke parenkim tonsil. Bakteri yang masuk
ke dalam parenkim tonsil akan mengakibatkan terjadinya infeksi tonsil.
Pada tonsil yang normal jarang ditemukan adanya bakteri pada kripta,
namun pada tonsilitis kronis bisa ditemukan bakteri yang berlipat
ganda. Bakteri yang menetap di dalam kripta tonsil menjadi sumber
infeksi yang berulang terhadap tonsil.
Pada tonsillitis kronik dapat ditemukan nyeri menelan persisten,
anoreksia, disfagia, dan eritem pharyngotonsillar. Karakteristik lain
juga dapat ditemukan sekret tonsil yang malodorous dan pembesaran
kelenjar limfe nodi jugulodigastrik.(9)
4. Tonsilitis Rekuren
Tonsilitis rekuren merupakan peradangan pada tonsil yang ditandai
gejala episode tonsilitis akut pada saat pasien datang dimana ada
riwayat penyembuhan lengkap diantara episode akut tersebut. Menurut
Brodsky, tonsilitis rekuren didefiniskan sebagai tonsilitis akut yang
berulang lebih dari 4 kali dalam satu tahun, atau lebih dari 7 kali dalam
1 tahun, 5 kali setiap tahun selama 2 tahun, atau 3 kali setahun selama 3
tahun. (1, 9)
Kebanyakan pada anak tidak ditemukan adanya keluhan diantara
13
episode, dengan gambaran maupun ukuran tonsil yang kembali normal.
Letak tonsil, jumlah dari kripte, dan celahnya tampaknya sebagai
tempat berkembangnya bakteri. Pengobatan secara cepat pada tonsilitis
akut mungkin saja tidak berhasil dalam mencegah infeksi lanjutan.(1, 9)
2.5 ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptanya
secara aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung
kemudian nasofaring terus masuk ke tonsil maupun secara foodborn yaitu
melalui mulut masuk bersama makanan.
Beberapa organisme dapat menyebabkan infeksi pada tonsil, termasuk
bakteri aerobik dan anaerobik, virus, jamur, dan parasit. Pada penderita
tonsilits kronis jumlah kuman yang paling sering adalah Streptococcus Beta
Hemoliticus group A (SBHGA). Streptokokus grup A adalah flora normal
pada orofaring dan nasofaring. Namun dapat menjadi infeksius yang
memerlukan pengobatan. Selain itu infeksi juga dapat disebabkan
Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, S. Pneumoniae dan
Morexella catarrhalis.
Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) kultur apusan tenggorok
didapatkan bakteri gram positif sebagai penyebab tersering Tonsilofaringitis
Kronis yaitu Streptococcus Alfa kemudian diikuti Staphylococcus aureus,
Streptococcus beta Hemolitikus group A, Staphylococcus epidermidis dan
kuman gram negatif berupa Enterobacter, Pseudomonas aeruginosa,
Klebsiella dan E. Coli.
Infeksi virus biasanya ringan dan dapat tidak memerlukan pengobatan
yang khusus karena dapat ditangani sendiri oleh ketahanan tubuh. Penyebab
penting dari infeksi virus adalah adenovirus, influenza A, dan herpes
simpleks (pada remaja). Selain itu infeksi virus juga termasuk infeksi
dengan Coxackievirus A, yang menyebabkan timbulnya vesikel dan ulserasi
pada tonsil. Epstein-Barr yang menyebabkan infeksi mononukleosis, dapat
menyebabkan pembesaran tonsil secara cepat sehingga mengakibatkan
14
obstruksi jalan nafas yang akut. Infeksi jamur seperti Candida sp tidak
jarang terjadi khususnya di kalangan bayi atau pada anak-anak dengan
immunocompromised.(3)
Tonsilitis berawal dari penularan yang terjadi melalui droplet dimana
kuman menginfiltrasi lapisan epitel. Adanya infeksi berulang pada tonsil
menyebabkan pada suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman
sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah fungsi
pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi (fokal infeksi)
dan suatu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya
pada saat keadaan umum tubuh menurun.
Bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superkistal bereaksi dimana
terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear.
Karena proses /radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga
jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami
pengerutan sehingga kripte melebar. Secara klinis kripte ini akan tampak
diisi oleh Detritus (akumulasi epitel yang mati, sel leukosit yang mati dan
bakteri yang menutupi kripte berupa eksudat yang berwarna kekuning-
kuningan). Proses ini terus meluas hingga menembus kapsul sehingga
terjadi perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsilaris. Pada anak-anak,
proses ini akan disertai dengan pembesaran kelenjar submandibula.
2.6 GEJALA KLINIS
Gejala klinis tonsilitis akut maupun kronik dapat ditemukan adanya
nyeri tenggorok, di mana pada tonsilitis kronik didahului gejala tonsilitis
akut seperti nyeri tenggorok yang tidak hilang sempurna. adapun gejala
pada tonsilitis akut ditandai dengan nyeri tenggorok, nyeri menelan, demam,
dan malaise. Halitosis akibat debris yang tertahan di dalam kripta tonsil,
yang kemudian dapat menjadi sumber infeksi berikutnya.(1, 2)
Tabel 1. Perbedaan Tonsilitis(1, 2, 7, 9)
Tanda Tonsilitis
Akut
Tonsilitis
Kronis
Tonsilitis
Rekuren
15
Warna Hiperemis (+) Hiperemis (-) Hiperemis (+)
Edema (+) (-) (+)
Kripte Melebar (-) Melebar (+) Melebar (+)
Detritus (+/-) (+) (+)
Perlengketan (-) (+) (+)
Onset 7-14Hari >4 minggu Ada fase sembuh
diantara 2 fase
akut/lebih
Gambar 7. Sistem Derajat Tonsil.(11)
Tabel 2. Derajat Tonsilitis(12)
Derajat Tonsil Keterangan
Derajat 0 Post tonsilektomi
Derajat I Tonsil pada fossa tonsilar, hampir tidak tampak
dibelakang arkus anterior
Derajat II Tonsil tampak dibelakangarkus anterior.
Derajat III Melewati linea paramediana, tetapi belum mencapai
linea mediana.
Derajat IV Mencapai linea mediana
Pembesaran tonsil dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi sehingga
timbul gangguan menelan, obstruksi sleep apnue dan gangguan suara. Pada
16
pemeriksaan fisik dapat ditemukan tonsil yang membesar dalam berbagai
ukuran, dengan pembuluh darah yang dilatasi pada permukaan tonsil,
arsitektur kripta yang rusak seperti sikatrik, eksudat pada kripta tonsil dan
sikatrik pada pilar.
2.7 DIAGNOSIS
Pada anamnesis, penderita biasanya datang dengan keluhan tonsilitis
berulang berupa nyeri tenggorokan berulang atau menetap, rasa ada yang
mengganjal di tenggorok, ada rasa kering di tenggorok, napas berbau, iritasi
pada tenggorokan, dan obstruksi pada saluran cerna dan saluran napas, yang
paling sering disebabkan oleh adenoid yang hipertrofi. Gejala-gejala
konstitusi dapat ditemukan seperti demam, tetapi tidak mencolok. Pada anak
dapat ditemukan adanya pembesaran kelenjar limfa submandibular.
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang
tidak rata, kripte melebar dan beberapa kripte terisi oleh detritus.. Pada
umumnya terdapat dua gambaran tonsil yang secara menyeluruh
dimasukkan ke dalam kategori tonsilitis kronik.
Pemeriksaan Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi dari tonsil dapat dilakukan dengan
pemeriksaan sediaan swab secara gram dengan pewarnaan Ziehl-Nelson
atau dengan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan. Pemeriksaan ini dapat
diambil dari swab permukaan tonsil maupun jaringan inti tonsil.
Daerah tenggorok banyak mengandung flora normal. Permukaan tonsil
mengalami kontaminasi dengan flora normal di saluran nafas atas. Patogen
yang didapatkan dari daerah ini bisa jadi bukan merupakan bakteri yang
menginfeksi tonsil. Pemeriksaan kultur dari permukaan tonsil saja tidak
selalu menunjukkan bakteri patogen yang sebenarnya.
Pemeriksaan kultur dari inti tonsil dapat memberikan gambaran
penyebab tonsilitis yang lebih akurat. Bakteri yang menginfeksi tonsil
adalah bakteri yang masuk ke parenkim tonsil. Bakteri ini sering menumpuk
di dalam kripta tersumbat.
17
Pemeriksaan swab dari permukaan tonsil dilakukan pada saat pasien
telah dalam narkose. Permukaan tonsil diswab dengan lidi kapas steril.
Sebelumnya tidak dilakukan tindakan aseptik anti septik pada tonsil.
Pemeriksaan bakteriologi dari inti tonsil dilakukan dengan mengambil swab
sesaat setelah tonsilektomi. Tonsil yang telah diangkat disiram dengan
cairan salin steril kemudian diletakkan pada tempat yang steril. Tonsil
dipotong dengan menggunakan pisau steril dan jaringan dalam tonsil diswab
memakai lidi kapas steril.
Spesimen yang telah diambil dimasukkan ke dalam media transportasi
yang steril. Biakan bakteri aerob dan anaerob fakultatif dapat dilakukan
dengan menggunakan agar darah, agar coklat, eosin-methilene blue (EMB).
Tempat pembiakan ini di inkubasi pada suhu 37°C, 5% CO2.
Gaffney, melakukan pemeriksaan bakteriologi inti tonsil dengan
menggunakan aspirasi jarum halus pada tonsil. Teknik pengambilan dengan
aspirasi jarum halus dilakukan pada orang dewasa dengan posisi duduk
kemudian tonsil dianestesi lokal menggunakan silokain semprot. Pada anak-
anak dilakukan dalam narkose umum setelah pengangkatan tonsil.
Pemeriksaan Histopatologi
Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di Turkey
terhadap 480 spesimen tonsil, menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilitis
Kronis dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan tiga
kriteria histopatologi yaitu ditemukan ringan-sedang infiltrasi limfosit,
adanya Ugra’s abses dan infiltrasi limfosit yang difus. Kombinasi ketiga hal
tersebut ditambah temuan histopatologi lainnya dapat dengan jelas
menegakkan diagnosa Tonsilitis Kronik.
2.8 DIAGNOSIS BANDING
Faringitis
Merupakan peradangan dinding laring yang dapat disebabkan oleh
virus, bakteri, alergi, trauma dan toksin. Infeksi bakteri dapat
menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat, karena bakteri ini
18
melepaskan toksin ekstraseluler yang dapat menimbulkan demam
reumatik, kerusakan katup jantung, glomerulonephritis akut karena
fungsi glomerulus terganggu akibat terbentuknya kompleks antigen
antibody.(2, 10, 13)
Gambar 8. A. Pharynx posterior dengan peteki dan eksudat. B. Pemeriksaan
bakteriologi Streptococcus pyogenes.(15)
Gejala klinis secara umum pada faringitis berupa demam, nyeri
tenggorok, sulit menelan, dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan tampak
tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di
permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak petechiae pada
palatum dan faring. Kelenjar limfa anterior membesar, kenyal, dan
nyeri pada penekanan.(2, 13, 14)
Hipertrofi Adenoid
Adenoid adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid yang
terletak pada dinding posterior nasofaring, termasuk dalam rangkaian
cincin Waldeyer. Secara fisiologik adenoid ini membesar pada anak
usia 3 tahun dan kemudian akan mengecil dan hilang sama sekali pada
usia 14 tahun. Bila sering terjadi infeksi saluran napas bagian atas maka
dapat terjadi hipertrofy adenoid. Akibat dari hypertrophy ini akan
timbul sumbatan Koana dan tuba eustachi. Akibat sumbatan di Koana
pasien akan bernapas melalui mulut. Akibat sumbatan tuba Eustachi
akan terjadi otitis media akut berulang, otitis media kronik, dan
akhirnya dapat terjadi otitis media supuratif kronik.(2)
19
A.
B.
Gambar 10. Choana posterior sinistra yang mengalami obstruksi oleh
massa jaringan adenoid pada pemeriksaan nasoendoskopi(8)
Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinik,
pemeriksaan rinoskopi anterior dengan melihat tertahannya gerakan
velum palatum molle pada waktu fonasi, pemeriksaan rinoskopi
posterior. Pemeriksaan digital untuk meraba adanya adenoid dan
pemeriksaan radiologic dengan membuat foto lateral kepala (lebih
sering dilakukan pada anak). Terapi pada hipertrofy adenoid dilakukan
terapi bedah adenoidektomi dengan cara kuretase memakai adenotom.
Tumor Tonsil
Neoplasma bukanlah penyebab dari tonsilitis akut maupun kronik,
tetapi seringkali menjadi penanda akan adanya etiologi infeksi. Pasien
yang mendapat penanganan faringitis infeksi yang tidak membaik, perlu
dilakukan pemeriksaan untuk mendeteksi adanya neoplasma. Gejala
umum dari tumor tonsil antara lain, nyeri tonsil unilateral, disfagia,
odinofagia, penurunan berat bedan, dan otalgia.(9, 14)
Gambar. Tumor jinak tonsil sinistra(8)
20
Pada pemeriksaan fisis, massa faring yang asimetris adalah
karakteristik penemuan yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.
Massa tersebut bisa ulseratif, ditutupi oleh mukosa atau fungi dan hanya
dapat dideteksi dengan palpasi. Adenopati servikal muncul pada
penyakit lanjut yang telah bermetastasis pada limfonodus lokoregional.
Faktor risiko meliputi penggunaan tembakau dan alkohol. Human
papilloma virus juga menjadi etiologinya pada sebagian kecil kasus.(14)
Penyakit-penyakit diatas, keluhan umumnya berhubungan dengan nyeri
tenggorok dan kesulitan menelan. Diagnosa pasti berdasarkan pada
pemeriksaan serologi, hapusan jaringan atau kultur X-ray dan biopsi.
2.9 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan untuk tonsilitis terdiri atas terapi medikamentosa dan
operatif, yakni(2, 11, 17) :
1. Medikamentosa
Terapi medikamentosa diterapi sesuai dengan penyebabnya. Pada
tonsilitis viral dilakukan penatalaksanaan berupa istirahat, minum yang
cukup, analgetika, dan obat antiviral jika menunjukkan gejala yang berat.(2)
Pada tonsilitis bakterial diberikan obat antibiotik spektrum luas
penisilin, eritromisin, antipiretik dan obat kumur yang mengandung
desinfektan. Pemberian antibiotik yang bermanfaat pada penderita Tonsilitis
Kronis yaitu cephaleksin ditambah metronidazole, klindamisin (terutama jika
disebabkan mononukleosis atau abses), amoksisilin dengan asam kalvulanat
(jika bukan disebabkan mononukleosis).(2)
Pada tonsillitis difteri diberikan Anti Difteri Serum (ADS) diberikan
segera tanpa menunggu hasil kultur, dengan dosis 20.000 – 100.000 unit
tergantung dari umur dan beratnya penyakit. Antibiotika Penisilin atau
Eritromisin 25 – 50 mg per kg berat badan dibagi dalam 3 dosis selama 14
hari. Kortikosteroid 1,2 mg/kg/bb per hari. Antipiretik untuk simtomatis.
Karena penyakit ini menular, pasien harus diisolasi. Perawatan harus
istirahat di tempat tidur selama 2 -3 minggu.
21
Pada Angina Plaut Vincent (stomatitis ulsero membranosa) antibiotika
spectrum lebar selama 1 minggu. Memperbaiki higiene mulut. Vitamin C
dan vitamin B kompleks.
2. Operatif
Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik,
gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma.(9, 10)
Indikasi Tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat
perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini.
Dulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat
ini, indikasi yang lebih utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil.
Untuk keadaan emergency seperti adanya obstruksi saluran napas, indikasi
tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut). Namun, indikasi
relatif tonsilektomi pada keadaan non emergency dan perlunya batasan usia pada
keadaan ini masih menjadi perdebatan. Sebuah kepustakaan menyebutkan bahwa
usia tidak menentukan boleh tidaknya dilakukan tonsilektomi.
1) Indikasi Absolut
a) Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia,
gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmonar.
b) Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan
drainase
c) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
d) Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi
2) Indikasi Relatif
a) Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi
antibiotik adekuat.
b) Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian
terapi medis.
c) Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik β laktamase resisten.
22
Dugaan keganasan dan obstruksi saluran napas merupakan indikasi absolut
untuk tonsilektomi. Tetapi hanya sedikit tonsilektomi pada dewasa yang
dilakukan atas indikasi tersebut, kebanyakan karena infeksi kronik. Akan tetapi
semua bentuk tonsilitis kronik tidak sama, gejala dapat sangat sederhana seperti
halitosis, debris kriptus dari tonsil (cryptic tonsilitis) dan pada keadaan yang
lebih berat dapat timbul gejala seperti nyeri telinga dan nyeri atau rasa tidak
enak di tenggorok yang menetap. Indikasi tonsilektomi mungkin dapat
berdasarkan terdapat dari beratnya satu atau lebih dari gejala tersebut dan pasien
seperti ini harus dipertimbangkan sebagai kandidat untuk tonsilektomi karena
gejala tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidup walaupun tidak mengancam
nyawa.
Adapun indikasi tonsilektomi menurut The American of Otolaryngology-
head and Neck Surgery Clinical Indicators Compendium 1995 adalah:
a) Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali pertahun walaupun telah
mendapat terapi yang adekuat.
b) Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofacial.
c) Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan
jalan napas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara dan
cor pulmonal.
d) Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilits, abses peritonsil yang
tidak berhasil hilang dengan pengobatan.
e) Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.
f) Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A streptokokus
beta hemolitkus.
g) Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.
h) Otitis media difusa/otitis media supuratif.
Kontraindikasi Tonsilektomi
Terdapat beberapa keadaan yang disebabkan sebagai kontraindikasi,
namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan
23
tetap memperhitungkan imbang “manfaat dan risiko”. Keadaan tersebut
adalah:
1. Gangguan perdarahan.
2. Risiko anastesi yang besar atau penyakit berat.
3. Anemia.
4. Infeksi akut yang berat.
Persiapan pasien Tonsilektomi
Ketika dicapai keputusan untuk melakukan tonsilektomi harus
disadari bahwa mungkin tindakan ini merupakan prosedur pembedahan
yang pertama kali bagi pasien. Riwayat penyakit yang komplit dan
pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan dengan perhatian khsuus terhadap
adanya gangguan yang bersifat diturnkan terutama kecenderungan
terjadinya pendarahan. Di samping itu riwayat saudara pasien yang
mungkin mengalami kesulitan dengan anastesi umum sebaiknya diketahui
untuk menyingkirkan kemungkinan adanya hipertermia maligna.
Pemeriksaan lab seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protrombin,
jumlah trombosit, pemeriksaan hitung darah lengkap dan urinalisa
sebaiknya dilakukan. Selain itu pemeriksaan antistreptolisisn titer O
(ASO) dilakukan untuk mengetahui tingkat infeksi serta sebagai salah satu
indikasi tonsilektomi. Antistreptolisisn meningkat pada minggu pertama
dan mencapapi puncaknya pada minggu ketiga sampai keenam setelah
infeksi. Pemeriksaan dikatakan positif bila konsentrasi ASO dalam serum
darah lebih dari 200 IU/mL. Selain itu pemeriksaan radiologi dada dan
elektrokardiogram sebaiknya dilakukan sebelum pembedahan.(10)
Teknik Operasi Tonsilektomi
Pengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan medis telah
dilakukan pada abad 1 Masehi oleh Cornelius Celsus di Roma dengan
menggunakan jari tangan. Di Indonesia teknik tonsilektomi yang
terbanyak digunakan saat ini adalah teknik Guillotine dan diseksi.(17, 19)
24
a) Diseksi : Dikerjakan dengan menggunakan Boyle-Davis mouth gag,
tonsil dijepit dengan forsep dan ditarik ke tengah, lalu dibuat insisi
pada membran mukus. Dilakukan diseksi dengan disektor tonsil atau
gunting sampai mencapai pole bawah dilanjutkan dengan
menggunakan senar untuk menggangkat tonsil.
b) Guilotin : Teknik ini sudah banyak ditinggalkan. Hanya dapat
dilakukan bila tonsil dapat digerakkan dan bed tonsil tidak cedera
oleh infeksi berulang.
c) Elektrokauter : Kedua elektrokauter unipolar dan bipolar dapat
digunakan pada teknik ini. Prosedur ini mengurangi hilangnya
perdarahan, tetapi dapat menyebabkan terjadinya luka bakar.
d) Laser tonsilektomi : Diindikasikan pada penderita gangguan
koagulasi. Teknik yang dilakukan sama dengan yang dilakukan pada
teknik diseksi.
Komplikasi Tonsilektomi(18, 19)
Komplikasi tonsilektomi dapat terjadi saat pembedahan atau pasca
pembedahan. Komplikasi saat pembedahan dapat berupa perdarahan dan
trauma akibat alat. Jumlah perdarahan selama pembedahan tergantung
pada keadaan pasien dan faktor operatornya sendiri. Perdarahan mungkin
lebih banyak bila terdapat jaringan parut yang berlebihan atau adanya
infeksi akut seperti tonsilitis akut atau abses peritonsil. Pada operator yang
lebih berpengalaman dan terampil, kemungkinan terjadi manipulasi trauma
dan kerusakan jaringan lebih sedikit sehingga perdarahan juga akan
sedikit. Perdarahan yang terjadi karena pembuluh darah kapiler atau vena
kecil yang robek umumnya berhenti spontan atau dibantu dengan tampon
tekan. Perdarahan yang tidak berhenti spontan atau berasal dari pembuluh
darah yang lebih besar, dihentikan dengan pengikatan atau dengan
kauterisasi. Bila dengan cara di atas tidak menolong, maka pada fossa
tonsil diletakkan tampon atau gelfoam, kemudian pilar anterior dan pilar
25
posterior dijahit. Bila masih juga gagal, dapat dilakukan ligasi arteri
karotis eksterna.
Dari laporan berbagai kepustakaan, umumnya perdarahan yang terjadi
pada cara guillotine lebih sedikit dari cara diseksi. Trauma akibat alat
umumnya berupa kerusakan jaringan disekitarnya seperti kerusakan
jaringan dinding belakang faring, bibir terjepit, gigi patah atau dislokasi
sendi temporomandibula saat pemasangan alat pembuka mulut.
Komplikasi pasca bedah dapat digolongkan berdasarkan waktu terjadinya
yaitu immediate, intermediate, dan late complication.
Komplikasi segera (immediate complication) pasca bedah dapat
berupa perdarahan dan komplikasi yang berhubungan dengan anatesi.
Perdarahan segera atau disebut juga perdarahan primer adalah perdarahan
yang terjadi dalam 24 jam pertama pasca bedah. Keadaan ini cukup
berbahaya karena pasien masih dipengaruhi obat bius dan refleks batuk
belum sempurna sehingga darah dapat menyumbat jalan napas
menyebabkan asfiksi. Penyebabnya diduga karena hemostatis yang tidak
cermat atau terlepasnya ikatan.
Yang terpenting pada perawatan pasca tonsilektomi adalah :
1. Baringkan pasien pada satu sisi tanpa bantal.
2. Ukur nadi dan tekanan darah secara teratur.
3. Awasi adanya gerakan menelan karena pasien mungkin menelan darah
yang terkumpul di faring dan,
4. Napas yang berbunyi menunjukkan adanya lendir atau darah di
tenggorok. Bila diduga ada perdarahan, periksa fossa tonsil. Bekuan
darah di fossa tonsil diangkat, karena tindakan ini dapat menyebabkan
jaringan berkontraksi dan perdarahan berhenti spontan. Bila
perdarahan belum berhenti, dapat dilakukan penekanan dengan tampon
yang mengandung adrenalin 1:1000. Selanjutnya bila masih gagal
dapat dicoba dengan pemberian hemostatik topikal di fossa tonsil dan
hemostatik parenteral dapat diberikan. Bila dengan cara di atas
26
perdarahan belum berhasil dihentikan, pasien dibawa ke kamar operasi
dan dilakukan perawatan perdarahan seperti saat operasi.
Mengenai hubungan perdarahan primer dengan cara operasi,
laporan di berbagai kepustakaan menunjukkan hasil yang berbeda-
beda, tetapi umumnya perdarahan primer lebih sering dijumpai pada
cara guillotine. Komplikasi yang berhubungan dengan tindakan
anastesi segera pasca bedah umumnya dikaitkan dengan perawatan
terhadap jalan napas. Lendir, bekuan darah atau kadang-kadang
tampon yang tertinggal dapat menyebabkan asfiksi.
Pasca bedah, komplikasi yang terjadi kemudian (intermeddiate
complication) dapat berupa perdarahan sekunder, hematom dan edem
uvula, infeksi, komplikasi paru dan otalgia. Perdarahan sekunder
adalah perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pasca bedah. Umumnya
terjadi pada hari ke 5. Jarang terjadi dan penyebab tersering adalah
infeksi serta trauma akibat makanan, dapat juga oleh karena ikatan
jahitan yang terlepas jaringan granulasi yang menutupi fossa tonsil
terlalu cepat terlepas sebelum luka sembuh sehingga pembuluh darah
dibawahnya terbuka dan terjadi perdarahan.
Perdarahan hebat jarang terjadi karena umumnya berasal dari
pembuluh darah permukaan. Cara penanganannya sama dengan
perdarahan primer. Pada pengamatan pasca tonsilektomi, pada hari
kedua uvula mengalami edem. Nekrosis uvula jarang terjadi, dan bila
dijumpai biasanya akibat kerusakan bilateral pembuluh darah yang
memperdarahi uvula. Meskipun jarang terjadi, komplikasi infeksi
melalui bakterimia dapat mengenai organ-organ lain seperti ginjal dan
sendi atau mungkin dapat terjadi endokarditis. Gejala otalgia biasanya
merupakan nyeri alih dari fossa tonsil, tetapi kadang-kadang
merupakan gejala otitis media akut karena penjalaran infeksi melalui
tuba Eustachius. Abses parafaring akibat tonsilektomi mungkin terjadi,
karena secara anatomik fossa tonsil berhubungan dengan ruang
parafaring.
27
Dengan kemajuan teknik anastesi, komplikasi paru jarang
terjadi dan ini biasanya akibat aspirasi darah atau potongan jaringan
tonsil. Late complication pasca tonsilektomi dapat berupa jaringan
parut di palatum mole. Bila berat, gerakan palatum terbatas dan
menimbulkan rinolalia. Komplikasi lain adalah adanya sisa jaringan
tonsil. Bila sedikit umumnya tidak menimbulkan gejala, tetapi bila
cukup banyak dapat mengakibatkan tonsilitis akut atau abses
peritonsilar.
2.10 KOMPLIKASI
1. Abses peritonsil
Abses peritonsiler merupakan suatu akumulasi pus yang
terlokalisasi pada jaringan peritonsil yang diakibatkan oleh tonsillitis
yang supuratif.Selain gejala dan tanda tonsillitis akut, terdapat juga
odinofagia (nyeri menelan yang hebat), biasanya pada posisi yang sama
dan juga nyeri telinga (otalgia), muntah (regurgitasi), mulut berbau
(foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia),
dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta
pembengkakan kelenjar submandibular dengan nyeri tekan.(13, 20)
Prosedur diagnosis dengan melakukan Aspirasi jarum (needle
aspiration). Aspirasi yang bernanah (purulent) merupakan tanda khas,
dan material dapat dikirim untuk dibiakkan.(13)
Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan
sekitarnya. Abses biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil
dan otot-otot yang mengelilingi faringeal bed. Hal ini paling sering
terjadi pada penderita dengan serangan berulang.
2. Abses parafaring
Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di
sekitar angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding
28
lateral faring sehingga menonjol ke arah medial. Abses dapat
dievakuasi melalui insisi servikal.(17)
3. Abses intratonsilar
Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil.
Biasanya diikuti dengan penutupan kripte pada Tonsilitis folikular akut.
Dijumpai nyeri lokal dan disfagia yang bermakna. Tonsil terlihat
membesar dan merah. Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian
antibiotik dan drainase abses jika diperlukan; selanjutnya dilakukan
tonsilektomi.(17)
4. Tonsilolith (kalkulus tonsil)
Tonsilolith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronik bila kripte
diblokade oleh sisa-sisa dari debris. Garam inorganik kalsium dan
magnesium kemudian tersimpan yang memicu terbentuknya batu yang
dapat membesar secara bertahap dan kemudian dapat terjadi ulserasi
dari tonsil. Tonsilolith lebih sering terjadi pada dewasa dan menambah
rasa tidak nyaman lokal atau foreign body sensation. Hal ini didiagnosa
dengan mudah dengan melakukan palpasi atau ditemukannya
permukaan yang tidak rata pada perabaan.(17, 14)
5. Kista tonsilar
Disebabkan oleh blokade kripte tonsil dan terlihat sebagai
pembesaran kekuningan di atas tonsil. Sangat sering terjadi tanpa
disertai gejala. Dapat dengan mudah didrainase.(17)
6. Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonephritis
Dalam penelitiannya Xie melaporkan bahwa anti-streptokokal
antibodi meningkat pada 43% penderita Glomerulonefritis dan 33%
diantaranya mendapatkan kuman Streptokokus β hemolitikus pada swab
tonsil yang merupakan kuman terbanyak pada tonsil dan faring. Hasil
ini mengindikasikan kemungkinan infeksi tonsil menjadi patogenesis
terjadinya penyakit glomerulonefritis.(14)
2.11 PROGNOSIS
29
Perkembangan medis membuat komplikasi yang menyangkut tonsilitis
berupa kematian sangatlah jarang. Tonsilitis dapat sembuh dalam beberapa
hari dengan istirahat dan pengobatan suportif. Penanganan gejala-gejala
yang timbul dapat membuat penderita tonsilitis lebih nyaman. Bila
antibiotik diberikan untuk mengatasi infeksi, antiviotik tersebut harus
dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila
penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala-
gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita mengalami
infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang sering terjadi yaitu infeksi pada
telinga dan sinus. Pada kasus-kasus yang jarang, tonsilitis dapat menjadi
sumber dari infeksi serius seperti demam rematik atau pneumonia.
BAB III
KESIMPULAN
Tonsil adalah massa jaringan limfoid yang terletak di fosa tonsil pada kedua
sudut orofaring. Tonsilitis atau yang lebih sering dikenal dengan amandel adalah
peradagan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer.
Tonsilitis akut merupakan suatu infeksi pada tonsil yang ditandai nyeri
tenggorok, nyeri menelan, panas, dan malaise. Pemeriksaan fisik dapat ditemukan
pembesaran tonsil, eritema dan eksudat pada permukaan tonsil, kadang ditemukan
adanya limadenopati servikal.
Tonsilitis kronis adalah peradangan tonsil yang menetap sebagai akibat infeksi
akut atau subklinis yang berulang. Ukuran tonsil membesar akibat hiperplasia
parenkim obstruksi kripta tonsil, namun dapat juga ditemukan tonsil yang relatif
kecil akibat pembentukan sikatrik yang kronis. Tonsilitis rekuren merupakan
peradangan pada tonsil yang ditandai gejala episode tonsilitis akut pada saat
30
pasien datang dimana ada riwayat penyembuhan lengkap diantara episode akut
tersebut.
Tonsilitis akut maupun kronis merupakan permasalahan yang sering dijumpai
pada praktek dokter maupun pelayanan kesehatan lainnya. Penyebab tonsillitis
akibat infeksi. Adapun infeksi terbanyak dari berbagai literatur dikatakan bahwa
Streptococcus β haemolyticus group A. Pemilihan antibiotik dalam
penatalaksanaan tonsillitis perlu memperhatikan bakteri penyebab sesuai dengan
bukti empiris yang ada. Hal ini akan mengurangi resistensi bakteri terhadap
antibiotik. Kultur pada tonsillitis diambil dari swab permukaan tonsil dan inti
tonsil. Terdapat perbedaan hasil kultur bakteri yang berasal dari permukaan tonsil
demgan inti tonsil.
Penatalaksanaan untuk tonsilitis terdiri atas terapi medikamentosa dan
operatif. Pada terapi medikamentosa diterapi sesuai dengan penyebabnya.
Tindakan operatif tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau
kronik, gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma.
31