stres

12
PENDAHULUAN Psikoneuroimunologi (PNI) adalah cabang ilmu kedokteran yang mengkaji interaksi antara faktor psikologis, sistem saraf dan sistem imun melalui modulasi sitem endokrin. Cabang ilmu ini relatif baru, karena baru berkembang sejak dua dekade yang lalu dan telah banyak memberikan kontribusi kepada ilmu kedokteran umumnya. Stresor psikologis yang diterima di otak melalui sistem limbik kemudian diteruskan ke hipothalamus ditanggapi sebagai stress perception dan kemudian diterima sistem endokrin sebagai stress responses. Saat ini PNI telah berkembang dengan pesat dan banyak peneliti dapat menjelaskan peran stres psikologis dalam patobiologi beberapa penyakit. Respon stres berfungsi untuk menjaga keseimbangan tubuh yang dikenal sebagai homeostatis. 1,2 Komunikasi antara sistem saraf pusat (SSP) dengan jaringan limfoid primer dan sekunder dimediasi secara anatomis melalui serat saraf yang menginervasi jaringanlimfoid seperti kelenjar limfe regional maupun kelenjar thymus dan juga melalui mediator neurotransmiter dan neuropeptid. Telah dibuktikan bahwa organ limfoid primer seperti sumsum tulang, timus dan kelenjar limfe di persarafi oleh serat saraf simpatik. Demikian pula, sel limfoid mempunyai reseptor terhadap berbagai hormon dan neurotransmiter yang dilepaskan oleh sel saraf dan kelenjar endokrin. Demikian komunikasi ke dua sistem tersebut dapat terjadi timbal balik. 2,3 Konsep hubungan antara stres dengan penyakit(tubuh) telah ada sejak era Hipocrates yang mengatakan bahwa ”kesalah besar para dokter adalah memisahkan antara badan dan pikiran”. Rene Descrates (1650) yang menyatakan pikiran dan tubuh tidak terpisahkan dalam kehidupan. Ivan Petrovich Pavlov (1849) dengan anjing percobaannya membuktikan bahwa kognitif yang dikondisikan dengan lonceng maka asam lambung keluar

Upload: chrysnawati-lidia-ratnasari

Post on 19-Nov-2015

50 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

stres

TRANSCRIPT

PENDAHULUANPsikoneuroimunologi (PNI) adalah cabang ilmu kedokteran yang mengkaji interaksi antara faktor psikologis, sistem saraf dan sistem imun melalui modulasi sitem endokrin. Cabang ilmu ini relatif baru, karena baru berkembang sejak dua dekade yang lalu dan telah banyak memberikan kontribusi kepada ilmu kedokteran umumnya. Stresor psikologis yang diterima di otak melalui sistem limbik kemudian diteruskan ke hipothalamus ditanggapi sebagai stress perception dan kemudian diterima sistem endokrin sebagai stress responses. Saat ini PNI telah berkembang dengan pesat dan banyak peneliti dapat menjelaskan peran stres psikologis dalam patobiologi beberapa penyakit. Respon stres berfungsi untuk menjaga keseimbangan tubuh yang dikenal sebagai homeostatis.1,2Komunikasi antara sistem saraf pusat (SSP) dengan jaringan limfoid primer dan sekunder dimediasi secara anatomis melalui serat saraf yang menginervasi jaringanlimfoid seperti kelenjar limfe regional maupun kelenjar thymus dan juga melalui mediator neurotransmiter dan neuropeptid. Telah dibuktikan bahwa organ limfoid primer seperti sumsum tulang, timus dan kelenjar limfe di persarafi oleh serat saraf simpatik. Demikian pula, sel limfoid mempunyai reseptor terhadap berbagai hormon dan neurotransmiter yang dilepaskan oleh sel saraf dan kelenjar endokrin. Demikian komunikasi ke dua sistem tersebut dapat terjadi timbal balik.2,3 Konsep hubungan antara stres dengan penyakit(tubuh) telah ada sejak era Hipocrates yang mengatakan bahwa kesalah besar para dokter adalah memisahkan antara badan dan pikiran. Rene Descrates (1650) yang menyatakan pikiran dan tubuh tidak terpisahkan dalam kehidupan. Ivan Petrovich Pavlov (1849) dengan anjing percobaannya membuktikan bahwa kognitif yang dikondisikan dengan lonceng maka asam lambung keluar tanpa melihat makanannya. Sejak tahun 1920 Dr. Walter Cannon, menkaji secara ilmiah dengan mengemukakan teori homeostatis dan teori fight or flight. Hans Selye (1936) memperkenalkan respon biologis dan fisiologis dari stres melalui teori General Adaptation Syndrome. Istilah Psikoneuroimunologi pertama kali di perkenalkan oleh Dr. Robert Ader (1975), yang mengungkapkan terjadi suatu learning process tubuh sehingga tubuh merespon stres dengan melibatkan multiorgan.3Stres merupakan kondisi dinamis tubuh dalam menghadapi berbagai stresor, baik stresor psikologis, fisis, biologis, lingkungan ataupun sosial yang dapat mempengaruhi sistem saraf serta sistem neuroendokrin yang pada akhirnya membangkitkan respons sistem imun. Seperti juga organ lainnya, kulit juga dapat berfungsi sebagai cermin keadaan mental dan psikologis seseorang. Sejak lama telah diketahui bahwa beberapa penyakit kulit dapat dicetuskan atau diperberat oleh stresor termasuk stresor psikologis misalnya, dermatitis atopik, urtikaria kronis, psoriasis, akne vulgaris, alopesia, lupus eritematosus sistemik dan sebagainya.4,5 Sejak dua dekade terakhir, telah diketahui bahwa sistem saraf dan sistem endokrin dapat mengendalikan respons imun. Demikian juga sebaliknya, sistem imun dapat mempengaruhi sistem saraf dan sistem endokrin. Hubungan timbal balik antara ketiga sistem besar tersebut terjadi karena terdapat sistem komunikasi yang diperantarai oleh serabut saraf, neurokimiawi dan sitokin. Komunikasi tersebut bertujuan untuk menjaga keseimbangan tubuh (homeostatis). Pada awal perkembangan embriologis, organ sistem imun primer maupun sekunder dipersarafi oleh ujung saraf otonom, demikian juga sebaliknya, sel-sel imun mampu mensintesis beberapa jenis neurotransmiter dan neuropeptida dan sel saraf dapat memproduksi sitokin atau mediator yang lain.Tulisan ini akan membahas secara singkat peran PNI pada patofisiologi beberapa penyakit kulit yang sering dijumpai, terutama penyakit yang berdasarkan atas respons imun dan hipersensitivitas. PENGARUH HORMON STRES TERHADAP RESPONS IMUNStimulus stres pertama kali diterima oleh sistim limbik di otak yang berperan sebagai regulasi stres, perubahan neurokimiawi yang terjadi selanjutkan akan mengaktivasi beberapa organ lain dalan sistem saraf pusat untuk selanjutnya akan membangkitkan respon stres secara fisiologis, selular maupun molekular. Stresor dapat memacu respons imun tubuh terhadap berbagai stimulus yang dapat mengganggu kemampuan kompensatorik tubuh dalam upaya mempertahankan homeostatis. Stresor telah diketahui dapat merangsang sistem tubuh untuk memproduksi hormon stres utama yaitu glukokortikoid, epinefrin, norepinefrin, serotonin, dopamin, beta endorfin dan sebagainya. Respon stress tersebut akan membangkitkan suatu rentetan reaksi melalui beberapa sumbu (axis), dalam upaya menjaga homeostasis, ada 5 sumbu utama respons stres adalah; 1. Sumbu hypothalamus-pituitary-adrenal (HPA axis), 2. Sumbu Simpato-adrenal-medulari (SAM), 3, Sumbu CRH-Sel Mast, 4. Melalui Neuropeptid, 5. Sumbu Hipotalamus-Pituitary-Tiroid, Sumbu HPA- Sistem reproduksi.4,51. Sumbu hypothalamus-pituitary-adrenal (HPA axis)Jalur pertama adalah aktivasi sumbu HPA melalui neuron dalam nukleus paravestibuler di hipotalamus dan menghasilkan corticotropin releasing hormone (CRH). Hormon ini akan memacu hipofise anterior melepaskan adreno-corticotropin hormone (ACTH) yang akan merangsang kelenjar korteks adrenal untuk melepaskan hormon glukokortikoid atau kortisol. Hormon ini merupakan produk akhir sumbu HPA yang mempunyai peran biologis misalnya efek anti-inflamasi dan imunosupresi. Kortisol juga dapat mempengaruhi keseimbangan sel Th1/Th2, karena pada permukaan limfosit terdapat reseptor glukokortikoid. Stimulus yang akan diproses oleh korteks serebrum diteruskan ke hypotalamus melalui sistem limbik dengan memproduksi CRH. Hormon tersebut bertindak sebagai pembawa pesan yang dikirim ke kelenjar hipofise anterior untuk melepaskan ACTH. ACTH merupakan aktivator kelenjar korteks adrenal untuk memproduksi berbagai hormon. Dengan pengaruh ACTH, korteks adrenal melepaskan hormon kortisol sedangkan bagian medula kelenjar adrenal yang akan melepaskan katekolamin terutama epinefrin dan norepinefrin. (lihat gambar 1).5,6Gambar 1. Stres dan CRH mempengaruhi ekspresi respons Th1 dan Th2 oleh Glukokortikoid dan katekolamin. Glukokortikoid menghambat IL-2, IF- dan IL-12, sedangkan catekolamin meningkatkan sistesis IL-10 (Elencov 1999)Secara umum kortisol berperan menekan reaksi radang dan sebagai imunosupresan. Kortisol menimbulkan efek berbeda terhadap Th1 dan Th2, sehingga terjadi perubahan keseimbangan Th1/Th2. Pada hewan coba yang diberi stres akan terjadi dominasi peran sel Th2 dengan dilepaskannya sitokin tipe 2 misalnya, IL-4, IL-5 dan IL-6. Interleukin ini sangat berperan dalam respons imun humoral. Buske-Kirschbaum, dkk. (2002) menyimpulkan bahwa pada dermatitis atopik kronis terjadi penurunan respons sumbu HPA sehingga kadar kortisol menurun dalam sirkulasi.12 Kortisol dapat menghambat sel Th2 secara langsung dengan peningkatan IL-4,10 Selain itu, kortisol menghambat lekosit dari sirkulasi ke ekstraselular, mengurangi akumulasi monosit dan granulosit di tempat radang, serta menekan produksi beberapa sitokin dan mediator radang.4,5,6 Pengaruh kortisol terhadap sel imun dimungkinkan karena di permukaan makrofag, sel natural killer dan sel Th terdapat reseptor terhadap glukokortikoid (GCR) yang bekerja di dalam sitoplasma dan mempengaruhi transkripsi sistesis DNA. Penelitian lain juga menunjukkan stresor akut dapat meningkatkan peran sel Th2, sedangkan stresor kronis meningkatkan fungsi sel Th1.7 Penurunan sistesis kortisol akan menimbulkan pergeseran peran dari Th1 ke arah Th2. Hal ini dapat menerangkan berbagai penyakit kulit.12,13 Atas dasar mekanisme tersebut kortikosteroid digunakan sebagai terapi untuk berbagai penyakit inflamasi serta sebagai imunosupresif sistemik maupun topikal.62. Sumbu simpato-adrenal-medular (SAM)Jalur ini dimulai dari rangsangan yang diterima di locus ceruleus adrenergic system dalam susunan saraf pusat dan di bagian medula kelenjar adrenal. Sistem terdiri atas sistem saraf parasimpatis dan simpatis. Serat praganglion simpatis dan para-simpatis melepaskan neurotransmiter yang sama yaitu asetilkholin (Ach), sedangkan ujung saraf pascaganglion simpatis melepaskan noradrenalin atau norepinefrin (NE). Selain disintesis oleh batang otak, norepinefrin disintesis pula oleh medula adrenal yang merupakan sistem saraf simpatik yang termodifikasi. Serabut praganglion mensarafi sel-sel kromafin medula adrenal yang dapat menghasilkan hormon katekolamin terutama epinefrin dan norepinefrin. Dikenal 2 jenis reseptor adrenergik yang terdiri atas reseptor 1, 2 dan reseptor 1 dan 2.5,6 Beberapa organ limfoid seperti monosit dan limfosit memiliki reseptor adrenergik di permukaan, sehingga rangsangan terhadap reseptor tersebut oleh norepinefrin dapat mempengaruhi peran sel imun. Norepinefrin juga dapat meningkatkan produksi interleukin-6 (IL-6) dari sumber utama yaitu limfosit dan makrofag. Sitokin ini berperan sebagai protein fase akut, serta sangat berperan dalam pertumbuhan sel plasma untuk membentuk antibodi dan meningkatkan proliferasi sel Th2. Reseptor beta-adrenergik di permukaan sel Th akan berdiferensiasi menjadi sel Th2 dengan memproduksi sitokin IL-4, IL-5 dan IL-10, yang sangat berperan dalam reaksi hipersensitivitas tipe I. Norepinefrin bekerja melalui reseptor alfa dan beta, serta mempunyai efek yang luas, termasuk terhadap sumbu HPA dan sistem imun. Corticotropin releasing hormone secara langsung dapat mempengaruhi sistesis norepinefrin melalui jalur paraventricular nucleus, dengan merangsang sekresi IR-rCRH melalui reseptor alfa di locus ceruleus batang otak.4,53. Sumbu CRH sel MastSel mast adalah sel yang sangat penting dalam reaksi hipersensitivitas tipe I, karena dapat melepaskan berbagai mediator radang terutama histamin. Ikatan dengan antigen tertentu yang telah dikenalnya, mengakibatkan proses biokomiawi yang panjang sehingga sel mast mengalami degranulasi dan melepaskan mediatornya. Banyak faktor yang dapat mengakibatkan degranulasi sel mast, salah satu di antaranya faktor stresor psikologis. Hal ini dapat dimengerti karena di permukaan sel mast dijumpai reseptor corticotropin releasing hormone (CRHR-1). Selain itu di permukaan sel mast juga dijumpai reseptor beta-adrenergic, dan ujung saraf simpatetik dekat dengan sel-sel imunokompeten di kulit. Ini menunjukkan bahwa degranulasi sel mast dapat terjadi akibat stimuli CRH langsung, dari norepinefrin maupun neuropetid terutama substansi P (SP) dan neuropeptid Y. Efek SP dalam degranulasi sel mast adalah meningkatkan sensitivitas sel mast terhadap electrical field stimulation (EFS) sehingga terjadi pelepasan berbagai mediator sel mast dengan bermacam-macam manifestasi klinis.5,64. Peran NeuropeptidBerbagai neuropeptid yaitu, vasoactive intestinal peptide (VIP), substansi P (SP), neuropeptid Y dan somatostatin dapat berikatan dengan sel-sel imun, baik di mukosa maupun di kulit melalui reseptor, terutama yang terdapat di permukaan sel mast, kelenjar sebaseus, dan folikel rambut. Substansi P dan peptid yang lain menrangsang degranulasi sel mast melalui kerja langsung terhadap peningkatan prekursor mediator radang yang dilepaskan oleh sel mast, dan juga melalui reseptor SP di permukaan sel mast. Neuropeptid sangat berperan dalam inflamasi neurogenik oleh karena terjadi pelepasan neuropeptid pada akhir saraf. Neuropeptid ini penting dalam imunitas mukosa dengan cara regulasi proliferasi sel limfosit dan mobilitasnya di dalam mukosa serta mensistesis IgA dan pelepasan histamin. Bukti terkini menunjukkan bahwa VIP memodulasi respons imun melalui cAMP, sedangkan SP meregulasi sistem imun melalui keterlibatan dalam metabolisme fospolipid. Kini diketahui bahwa sel Langerhan juga mengekspresikan reseptor terhadap neuropeptid. Dengan demikian neuropeptid sangat berperan dalam imunitas selular maupun imunitas humoral.5PSIKONEUROIMUNOLOGI DAN DERMATOSISDari uraian di atas jelas tampak hubungan antara neuro-endokrin dengan sistem imun. Sistem imun bukanlah sistem otonom, karena banyak sistem yang mempengaruhinya. Konstelasi yang rumit ini memungkinkan dipertahankannya homeostasis tubuh. Pada keadaan tertentu, terjadi perubahan pada stress perception dan stress responsse yang menyebabkan gangguan keseimbangan Th1/Th2 dan perubahan biokimiawi sel imun lain sehingga menimbulkan berbagai manifestasi klinis. Beberapa penyakit kulit yang telah diketahui peran stres psikologis seperti dibawah ini.Dermatitis atopikDermatitis atopik adalah penyakit ketidak seimbangan antara Th1/Th2, dan terjadi sekresi sitokin Th2 yang predominan.5,6 Banyak penelitian menyatakan bahwa salah satu faktor endogen adalah karena perubahan respons sumbu HPA terhadap stres. Kortisol dapat menekan pertumbuhan dan deferensiasi sel Th1. Penelitian yang dilakukan oleh Wamboldt, dkk. menunjukkan kadar kortisol pada pasien atopik lebih rendah secara bermakna dibandingkan dengan orang normal.7 Buske-Kirschbaum, dkk. juga menemukan hiporesponssitivitas sumbu HPA pada orang atopik sehingga sintesis kortisol lebih rendah sedang norepinefrin meningkat secara bermakna.8 Ketidakseimbangan kedua hormon tersebut mengakibatkan perubahan fungsi sel Th1 dan sel Th2, sehingga terjadi gangguan regulasi sel Th1 dan sel Th2, dan didominasi oleh sel Th2. Terjadi peningkatan IL-4 dan Ig E, yang pada akirnya akan meningkatkan sensitivitas terhadap alergen. Demikian juga neuropeptid lainnya berperan dalam mempertahankan barrier kulit melalui aktivitas kelenjar sebasea dan peran CRH yang secara langsung menyebabkan degranulasi sel mast.9 Psoriasis VulgarisBeberapa penelitian menunjukkan sekitar 30 % 70 % pasien psoriasis berhubungan dengan faktor stress. Kadar katekolamin bebas dalam plasma khususnya norepinefrin meningkat secara bermakna, sedangkan peningkatan kortisol, epinefrin and dopamine tidak signifikan. Ini menunjukan bahwa noerpinefrin sangat berperan dalam kekambuhan psoriasis.10 Stres psikologis juga meningkatkan sintesis nerve growth factor (NGF). Sitokin ini bersama substance P sangat berperan dalam proliferasi keratinosit, sehingga dapat memicu kekambuhan psoriasis.11Akne vulgarisHubungan erat antara stres psikologis sebagai pencetus munculnya akne vulgaris. Kelenjar sebaseus pada kulit memiliki reseptor CRH, sehingga CRH dapat merangsang pembentukan sebum.12 Hal ini menjadi penyebab kekambuhan akne vulgaris. Penelitian terkini menunjukkan kelenjar sebum mengekspresikan reseptor untuk CRH. Selain itu juga dijumpai reseptor terhadap melanocortins, -endorphin, vasoactive intestinal polypeptide (VIP), neuropeptide Y and calcitonin gene-related peptide. Neuropeptid tersebut dapat menyebabkan peradangan neurogenik. Ikatan antara neuropeptid dengan reseptornya akan meningkatkan produksi sitokin proinflamasi sehingga menyebabkan proliferasi, diferensiasi dan lipogenesis pada sebosit.13UrtikariaAkhir-akhir ini telah diketahui bahwa neuropeptid Y dan substance P berperan dalam urtikaria, oleh karena ditemukannya reseptor untuk kedua neuropeptid tersebut di permukaan sel mast.14 Stres dapat meningkatkan ikatan langsung SP di permukaan sel mast sehingga mengaktivasi granulasi sel mast melepaskan mediator terutama histamin dan bradikinin.Selain peran neuropeptid juga telah dibuktikan reseptor CRH di permukaan sel Mast, sehingga rangsangan hipothalamus akibat stres, menyebabkan degranulasi sel mast oleh CRH.15 Alopesia areataBeberapa penelitian terkini mengungkapkan awitan awal alopesia areata kebanyakan disebabkan oleh stres psikis. Pada penelitian terhadap 178 pasien dengan alopecia areata yang diwawancarai menunjukkan serangan pertama terjadi akibat stres psikologis setidaknya selama 6 bulan terakhir. Keadaan ini dapat diterangkan dengan faktor bahwa pada folikel rambut ditemukan reseptor CRH, dan beberapa neuropeptid.16Stres dapat mengaktivasi sumbu HPA sehingga meningkatkan sintesis CRH, dan diikuti oleh produksi peptid derivat propiomelanokortin yang dapat menimbulkan peradangan folikel rambut. Stres yang berkepanjangan juga dapat menginduksi serat simpatik untuk memproduksi neurotransmiter yang dapat menimbulkan peradangan neurogenik folikel rambut. Peradangan ini akan mempercepat siklus rambut ke fase istirahat.17 Lupus eritematosusLupus erythematosus adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan gambaran klinis dapat akut atau kronik eksaserbasi yang dimediasi oleh adanya autoantibodi dalam tubuh. Neuropeptide substance P, sitokin proinflamasi seperti IL-1dan IL-6 merupakan mediator yang penting dalam peradangan pada lupus erytematosus. Pada stres akan terjadi peningkatan CRH, CRH ini secara langsung dapat menginduksi sintesis substance P serta meningkankan pelepasan sitokin proinflamasi oleh sel Th1. Sehingga stres dapat sebagai faktor risiko atau memperberat keadaan lupus erytematosus.18,19Penyakit infeksi virus herpes simpleksDari uraian singkat tersebut diatas, tampaknya jelas adanya mekanisme yang sangat komplek yang menghubungkan antara pikiran, emosional dengan sistem imun.20 Padgett DA dkk (1998) dengan hewan percobaan melaporkan bahwa aktivasi terhadap sumbu HPA menyebabkan lebih dari 40 % terjadi reaktivasi infeksi HSV tipe 1, demikian juga membuktikan dengan hewan coba bahwa stres hipertermik menginduksi reaktivasi infeksi VHS tipe 1 dengan meningkatnya aktivasi sumbu HPA serta peningkatan produksi IL-6.21Penuaan diniSecara umum stres psikologis akan mempercepat proses penuaan. Sepuluh tahun terakhir ini telah diketahui bila terjadi cellular stress akan terbentuk suatu protein yang molekuler yang berfungsi untuk menjaga homeostatis tubuh. Protein yang terbetuk tersebut adalah heat shock protein (HSP).22 Ada berbagai jenis HsP yang digolongkan ke dalam molekul chaperone. Molekul tersebut akan menyebabkan pemendekan telomere, meningkatkan apoptosis (program kematian sel) dan otofagi terhadap sel-sel yang terakumulasi dari berbagai toksin. Sebagai hasil akhir adalah terjadi percepatan proses penuaan fisiologis.23Selain penyakit-penyakit di atas masih banyak penyakit kulit yang kekambuhannya dapat dijelaskan melalui paradigma PNI misalnya pemfigus fulgaris, diskoid lupus dan sebagainya.