steven johnson syndrome

11
Steven Johnson Syndrome Disusun Oleh: Lusila Puri Dwi Jayani G 0006014 KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA 2012

Upload: anzzun

Post on 26-Nov-2015

108 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

ggggggg

TRANSCRIPT

  • Steven Johnson Syndrome

    Disusun Oleh:

    Lusila Puri Dwi Jayani

    G 0006014

    KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

    FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI

    SURAKARTA

    2012

  • Latar belakang

    Steven Johnson Syndrome adalah suatu komplek hipersensitivitas yang

    dimediasi oeh kompleks imun yang biasanya mengenai kulit dan membrane

    mukosa. Meskipun gejala klinis ringan dapat terjadi, namun secara signifikan

    melibatkan mulut, hidung, mata, vagina, uretra, saluran pencernaan, dan saluran

    nafas bawah dapat berkembang dalam perjalanan penyakit ini.

    Keterlibatan saluran pencernaan dan pernafasan dapat berlanjut menjadi

    lesi nekrosis. Sindrom Steven Johnson merupakan gangguan sistemik yang serius

    dengan potensi morbiditas yang berat bahkan kematian.

    Sindrom ini pertama kali dijelaskan pada tahun 1922, ketika seorang

    dokter anak di Amerika Albert Mason Stevens dan Frank Chambliss Johnson

    melaporkan kasus 2 anak laki-laki berusia 7 dan 8 tahun dengan suatu hal yang

    luar biasa, erupsi generalisata dengan demam berkepanjangan, mukosa bukal yang

    meradang, dan konjungtivitis purulen. Kedua kasus tersebut telah salah

    didiagnosa sebagai campak hemoragik.

    Eritema Multiform, awalnya dijelaskan oleh von Hebra pada tahun 1866,

    dimana merupakan diferensial diagnosis di kedua kasus tersebut, namun

    disingkirkan karena karakter lesi kulit, gejala subjektif, dan demam yang terus

    menerus, dan diakhiri dengan krusta. Meskipun adanya leucopenia dalam kedua

    kasus tersebut, Steven dan Johnson awalnya mengira penyakit tersebut merupakan

    penyakit menular dan tidak diketahui penyebabnya.

    Tahun 1950, Thomas memutuskan EM dibagi menjadi 2 kategori: Eritema

    multiform minor dan mayor. Dan sejak tahun 1983 Eritema multiform mayor dan

    Sindrom Steven Johnson dianggap sama.

    Pada tahun 1990, Bastuji dan Reujeau mengusulkan bahwa Eritema

    multiform mayor dan Sindrom Steven Johnson adalah 2 kelainan yang berbeda.

    Mereka mengatakan bahwa Eritema multiform dibatasi pada pasien dengan lesi

    target yang khas atau adanya papul, dengan atau tanpa ketelibatan mukosa.

    Gambaran klinis ini sesuai dengan von Hebra. Sedangkan Sindrom Steven

    Johnson ditandai dengan erosi selaput lender dan lesi lepuh dengan dasar eritem

    atau macula purpurik.

  • Sebaliknya, beberapa peneliti mengusulkan bahwa Sindrom Steven Johnson dan

    Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) merupakan penyakit yang sama dengan level

    keparahan yang berbeda.

    Walaupun beberapa skema klasifikasi telah dilaporkan, secara singkat:

    - Sindrom Steven Johnson merupakan bentuk minor dari NET dengan luas

    permukaan kurang dari 10%.

    - Antara Sindrom Steven Johnson dan NET luas permukaan tubuh 10-30%

    - NET lebih dari 30%

    Berbagai factor etiologi seperti infeksi, obat-obatan, dan keganasan, telah

    dianggap sebagai penyebab SSJ. Ada bukti kuat untuk predisposisi genetic SSJ

    diprovokasi oleh obat-obatan tertentu.

    Tidak ada studi laboratorium khusus (selain biopsy) yang dapat dipakai

    untuk membuat diagnosis SSJ. Pada prinsipnya pengobatan pasien dengan SSJ

    tidak berbeda dengan pasien dengan luka bakar luas.

    Patofisiologi

    Suatu reaksi hipersensitivitas tipe lambat terlibat dalam patofisiologi SSJ.

    Pada kelompok populasi tertentu lebih rentan terjadi SSJ disbanding kelompok

    pada umumnya. Asetilator lambat, pasien dengan imunokompromise dan pasien

    dengan tumor otak menjalani radioterapi dan orang dengan antiepilepsi adalah

    yang paling beresiko terkena.

    Asetilator lambat adalah orang-orang dengan liver yang tidak mampu

    mendetoksifikasi metabolit obat reaktif dengan sempurna. Sebagai contoh pasien

    dengan NET yang terinduksi oleh sulfonamide menunjukkan genotip asetilator

    lambat yang mengakibatkan peningkatan produksi hidroksilamin sulfonamide

    melalui jalur P450. Metabolit obat dapat memiliki efek toksik secara langsung

    atau dapat bertindak sebagai hapten yang akan bereaksi dengan sel inang,

    sehingga menjadi suatu antigen.

  • Presentasi antigen dan produksi TNF alfa oleh dendrosit jaringan local

    menghasilkan perekrutan dan augmentasi prolifersi limfosit T dan meningkatkan

    sitotoksisitasa sel efektor kekebalan lainnya. Sebuah pembunuh molekul efektor

    telah diidentifikasi yang mungkin memainkan peran dalam aktivasi limfosit

    sitotoksik. CD8+limfosit yang teraktivasi, dapat menginduksi apoptosis sel

    melalui beberapa mekanisme, termasuk pelepasan granzym B dan perforin.

    Perforin, sebuah granula monomer pembuat pori dilepaskan dari Natural Killer

    Cell dan limfosit T sitotoksik, membunuh sel target dengan membentuk struktur

    polimer dan tubular berbeda dengan kompleks membran penyerang pada sistem

    komplemen. Kematian keratinosit menyebabkan pemisahan epidermis dari dermis

    Setelah apoptosis terjadi kemudian, sel-sel mati memprovokasi perekrutan

    kemokin lebih. Hal ini dapat memicu proses inflamasi, yang menyebabkan

    nekrolisis epidermal yang luas.

    Etiologi

    Berbagai etiologi dapat menjadi penyebab terjadinya SSJ. Obat adalah penyebab

    tersering terjadinya SSJ. 4 kategori pnyebab SSJ antara lain:

    - Infeksi

    - Induksi obat

    - Keganasan

    - Idiopatik

    Antibiotik adalah penyebab paling umum dari sindrom Stevens-Johnson,

    diikuti dengan analgesik, obat batuk, NSAID, psikoepileptik, dan obat antigout.

    Antibiotik, penisilin dan obat sulfa yang menonjol; ciprofloxacin juga telah

    dilaporkan. Antikonvulsan berikut yang terlibat:

    Fenitoin

    Carbamazepine

    oxcarbazepine (Trileptal)

    asam Valproat

    Lamotrigin

  • Barbiturat

    Mockenhapupt dkk menekankan bahwa antikonvulsan yang paling menginduksi

    SJS terjadi dalam 60 hari pertama penggunaan. Sindrom Stevens-Johnson juga

    telah dilaporkan terjadi pada pasien yang meminum obat berikut:

    Modafinil (Provigil)

    Allopurinol

    Mirtazapine

    TNF-alpha antagonis (misalnya, infliximab, etanercept, adalimumab)

    Kokain

    Gambaran Klinis

    Biasanya, sindrom Stevens-Johnson (SJS) dimulai dengan infeksi saluran

    pernapasan atas nonspesifik. Biasanya terdpat gejala prodromal 1-14 hari seperti

    demam, sakit tenggorokan, menggigil, sakit kepala, dan malaise. Muntah dan

    diare kadang-kadang dicatat sebagai bagian dari prodrom tersebut. Lesi

    mukokutan muncul tiba-tiba sekitar 2-4 minggu. Lesi biasanya nonpruritic.

    Keterlibatan membran mukosa mulut mungkin cukup parah sehingga pasien tidak

    dapat makan atau minum. Pasien dengan keterlibatan genitourinari mungkin

    mengeluhkan disuria atau ketidakmampuan untuk menahan. Gejala prodromal

    khas adalah

    Batuk produktif dari sputum purulen tebal

    Sakit kepala

    Malaise

    Arthralgia

    Pasien mungkin mengeluhkan ruam seperti terbakar yang dimulai secara

    simetris pada wajah dan bagian atas batang tubuh. Selain kulit, lesi pada sindrom

    Stevens-Johnson mungkin melibatkan bagian-bagian berikut tubuh:

    Mukosa oral

    Esophagus

    Pharynx

    Larynx

  • Anus

    Trachea

    Vagina

    Urethra

    Gejala okular meliputi:

    Mata merah

    Mata berair

    Mata kering

    Pedih

    Blefarospasme

    Gatal

    kelopak mata terasa berat

    Sensasi adanya benda asing

    Penurunan tajam penglihatan

    Sensasi terbakar

    Photophobia

    Diplopia

    Pemeriksaan Fisik

    Ruam bisa berawal sebagai makula yang berkembang menjadi papula,

    vesikel, bula, plak urtikaria, atau eritema konfluen. Bagian tengah lesi ini

    mungkin vesikuler, purpura, atau nekrotik. Lesi khas memiliki penampilan target;

    ini dianggap patognomonik. Namun, berbeda dengan lesi khas eritema

    multiforme, lesi ini hanya memiliki dua zona warna. Inti mungkin vesikuler,

    purpura, atau nekrotik; bahwa zona dikelilingi oleh eritema macula. Biasanya

    disebut lesi target. Lesi dapat menjadi pecah bulosa dan kemudian, meninggalkan

    kulit gundul. Kulit menjadi rentan terhadap infeksi sekunder. Peluruhan yang luas

    ditunjukkan pada gambar di bawah:

  • Keterlibatan mukosa dapat mencakup eritema, edema, pengelupasan, terik,

    ulserasi, dan nekrosis.

    Diagnosis Banding

    1. TEN

    2. SSSS

    Pemeriksaan Penunjang

    Pemeriksaan laboratorium:

    a).Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dokter

    dalamdiagnose selain pemeriksaan biopsy.

    b).Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan kadar sel darah putih

    yangnormal atau leukositosis non spesifik, penurunan tajam kadar sel darah

    putihdapat mengindikasikan kemungkinan infeksi bacterial berat.

    c).Imunofluoresensi banyak membantu membedakan sindrom Steven

    Johnsondengan panyakit kulit dengan lepuh subepidermal lainnya

    d).Menentukan fungsi ginjal dan mengevaluasi adanya darah dalam urin.

    e).Pemeriksaan elektrolit.

    f).Kultur darah, urine, dan luka, diindikasikan ketika dicurigai terjadi infeksi.

    Imaging studi : Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis

    Pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia dapat mendukung ditegakkannya

    diagnosis.

  • Penatalaksanaan SJS

    Pertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti memakai obat

    yangdicurigai penyebab reaksi. Dengan tindakan ini, kita dapat mencegah

    keburukan. Orangdengan SJS/TEN biasanya dirawat inap. Bila mungkin, pasien

    TEN dirawat dalam unit rawatluka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat

    untuk menghindari infeksi. Pasien SJS biasanya dirawat di ICU. Perawatan

    membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkanspesialis luka bakar, penyakit

    dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan cairandengan kalori tinggi

    harus diberi melalui infus untuk mendorong kepulihan. Antibiotik diberikan bila

    dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis. Obat nyeri,misalnya

    morfin, juga diberikan agar pasien merasa lebih nyaman.

    Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati

    SJS/TEN.Beberapa dokter berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi dalam

    beberapa hari pertamamemberi manfaat; yang lain beranggap bahwa obat ini

    sebaiknya tidak dipakai. Obat inimenekankan sistem kekebalan tubuh, yang

    meningkatkan risiko infeksi gawat, apa lagi padaOdha dengan sistem kekebalan

    yang sudah lemah.Pada umumnya penderita SJS datang dengan keadaan umum

    berat sehingga terapiyang diberikan biasanya adalah :

    1. Terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.

    2. Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji

    resistensikuman dari sediaan lesi kulit dan darah.

    3. Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus,

    kemudianselama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid

    sistemik masihkontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid

    sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek

    samping yang signifikan,namun ada juga yang menganggap steroid

    menguntungkan dan menyelamatkannyawa.

  • 4. Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen

    maleat dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk

    usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin

    dapatdiberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6

    tahun : 5-10mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian

    antibiotik topikal.

    5. Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.

    6. Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit

    7. Lesi mulut diberi kenalog in orabase.

    8. Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan

    alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik,

    misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2

    kali/hari.

    9. Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0,5 mg/kg BB pada

    hari 1, 2, 3,4, dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan menghambat

    reseptor FAS dalam proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS

    (Adithan, 2006; Siregar, 2004).Sedangkan terapi sindrom Steven Johnson

    pada mata dapat diberikan dengan :

    10. Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam

    fisiologissetiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan

    terjadinya kekeringan pada bola mata.

    11. Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah

    terjadinya perlekatan konjungtiva

    Komplikasi SJS

    Sindrom Steven Johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai

    berikut:

    - Oftalmologi ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan

    - Gastroenterologi - Esophageal strictures

    - Genitourinaria nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring,

    stenosis vagina

  • - Pulmonari pneumonia

    - Kutaneus timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen,

    infeksi kulitsekunder

    - Infeksi sitemik, sepsis

    - Kehilangan cairan tubuh, shock.

    - Komplikasi awal yang mengenai mata dapat timbul dalam hitungan jam

    sampaihari, dengan ditandai timbulnya konjungtivitis, Pada komplilasi

    yang lebihlanjut dapat menimbulkan perlukaan pada palpebra yang

    mendorong terjadinya ektropion,entropion, trikriasis dan lagoftalmus.

    Defisiensi air mata seringmenyebabkan keratitis. Peradangan atau infeksi

    yang tak terkontrol akan mengakibat kanterjadinya perforasi kornea,

    endoftalmitis dan panoftalmitis yang dapat berujung pada kebutaan

    Prognosis SJS

    SJS dan TEN adalah reaksi yang gawat. Bila tidak diobati dengan baik,

    reaksi inidapat menyebabkan kematian, umumnya sampai 35 persen orang yang

    mengalami TEN dan5-15 persen orang dengan SJS, walaupun angka ini dapat

    dikurangi dengan pengobatan yang baik sebelum gejala menjadi terlalu gawat.

    Reaksi ini juga dapat menyebabkan kebutaantotal, kerusakan pada paru, dan

    beberapa masalah lain yang tidak dapat disembuhkan.Pada kasus yang tidak berat,

    prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalamwaktu 2-3 minggu. Kematian

    berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagaikomplikasi atau

    pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila

    terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan

    keseimbangan cairandan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Foster S, et al. Stevens-Johnson Syndrome.2011http://emedicine.medscape.com/article/1197450-overview

    1. Wolff K, et al.. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine, 7th edition. New York: McGraw Hill: 2008

    2. French, LE. Toxic Epidermal Necrolysis and Steven Johnson Syndrome: Our Currebt Understanding. Allergology International Vol 55, No1, 2006www.jsaweb.jp

    3. Djuanda A, hamzah M. Sindrom Steven-Johnson dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ketiga. Editor: Adhi Djuanda. Jakarta : FK UI: 2002. hal:163-5

    Steven Johnson SyndromeFoster S, et al. Stevens-Johnson Syndrome.2011