sibiru edisi 3

8
1 EDISI III 28 OKTOBER -10 NOVEMBER 2014 BUAT KAMU YANG SUKA APRESIASI Janji Rektor (?) Adzhani Famah Az-Zahrah

Upload: himpunan-mahasiswa-jurnalistik

Post on 06-Apr-2016

262 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: Sibiru Edisi 3

1

EDISI III28 OKTOBER -10 NOVEMBER 2014

BUAT KAMU YANG SUKA APRESIASI

JanjiRektor (?)

Adzhani Fatimah Az-Zahrah

Page 2: Sibiru Edisi 3

2

“Pendidikan itu Mahal” mungkin kalimat tersebut sering kita dengar. Tak jarang semakin tinggi jenjang intistusi pendidikan (baca: formal) yang ingin ditempuh berbanding lurus dengan biaya yang harus dikeluarkan. Untuk Perguruan Tinggi, dibutuhkan biaya untuk membangun sistem pendukung. Jadi, apakah benar pendidikan itu harus mahal? Biaya besar itu adalah perspektif institusi, sedangkan mahal itu adalah perspektif mahasiswa. Keduanya berbeda. Biaya kuliah terasa mahal jika itu sepenuhnya dibebankan bagi mahasiswa. Hal ini tak kan jadi masalah jika seorang mahasiswa memilki orangtua yang sanggup membiayai kuliahnya atau telah memiliki penghasilan sendiri yang bisa menutupi . Namun bagaimana dengan mahasiswa yang bukan tergolong dari dua jenis tersebut? “Beasiswa”, mungkin jalan menuju roma yang bisa ditempuh. Namun nyatanya acapkali jalan yang satu ini tak mulus layaknya jalan tol. Ada hal-hal yang harus dilewati bernama birokrasi. Karena itu, pada edisi ketiga ini Si Biru membahas mengenai solusi yang bisa membantu para pemburu beasiswa dan mereka yang mengalami kesulitan biaya kuliah. Lanjutan edisi sebelumnya, kami kembali mengulas mengenai Tugas Akhir. Benarkah TA lebih mudah ketimbang skripsi?” Selain itu simak keluh kesah dan thoughtful mind dari para jurnal-jurnil pada rubrik ‘Curhat’ .So, Selamat Membaca!

EDITORIAL

Universitas dinilai tidak lagi pro rakyat kecil. Komersialiasi Pendidikan sudah merengut hak rakyat miskin untuk sama-sama mengenyam pendidikan.

Air mata Andy (21) bercucuran ketika membaca surat edaran dari kampusnya Senin (27/10) lalu. Rasa sedih dan sesal meluap di dadanya ketika mengetahui bahwa dirinya tak bisa melanjutkan studi. Andy, diberhentikan oleh kampusnya, Universitas Paduan Suara (Unpad) secara resmi pada minggu 26 oktober 2014 di semester 7 karena tak sanggup melunasi biaya semesteran.

“Saya juga kaget karena tidak ada pemberitahuan sama sekali, langsung tiba-tiba dikeluarkan. Saya kira akan dapat penangguhan. Saya sedih sekali padahal saya sudah bercita-cita ingin jadi penyanyi hebat seperti Jokowi”, ujar Andi saat diwawancarai di Villanya, di daerah Bogor beberapa waktu lalu. Mahasiswa yang mengambil Jurusan Seni Jazz, Fakultas Seni Musik Wahyudi ini mengaku sudah tidak membayar uang semesteran selama 2 semester karena alasan tidak ada biaya. Andy mengaku jatah uang untuk membayar semesterannya terpakai untuk membiayai servis cat mobil Porsche-nya yang belum lama ini tergores tukang ojek. Katanya, jika tidak memprioritaskan mobilnya, dia tidak akan bisa pergi ke kampus karena malu oleh teman-teman. Wajar, menurut Andy jika dia memprioritaskan mobilnya, karena tidak mungkin pergi ke kampus menggunakan kapal pesiar. “Kalian tidak akan mengerti,” ujar Andy sambil mencucurkan air mata.“Saya rasa kini universitas sudah tidak pro rakyat kecil, buktinya orang tidak mampu seperti saya tidak mendapatkan perhatian serius. (bersambung ke halaman 7)

Universitas Milik Siapa?

Polemik antara mahasiswa dan institusi pendidikan mengenai hasil akhir mahasiswa S1, apakah boleh menempuh jalur Tugas Akhir (TA) atau hanya Skripsi.

Berangkat dari pengalaman saya dua kali sekolah setelah lulus dari Fikom Unpad, pertama saat saya sekolah di Ateneo de Manila University dengan jurusan Photo Journalism, kedua saat saya melanjut jenjang Master Seni Rupa di FSRD ITB.

Menurut pendapat saya dari dua pengalaman tersebut, dikorelasikan dengan wacana TA di Fikom Unpad, apabila fikom akan memperbolehkan mahasiswanya menempuh jalur TA, maka kurikulum 2013 harus dirombak. Dan yang lebih penting adalah statuta dari Unpad dan Dikti harus dirubah. Karena

dalam jalur TA memiliki format tersendiri, sepengalaman saya di dua institusi tersebut, di tengah semester, contohnya semester V mahasiswa sudah diputuskan memilih jalur TA atau Skripsi, karena mata kuliah jalur TA berbeda dengan jalur Skripsi. Salah satunya, mahasiswa yang mengambil TA harus memiliki IPK minimal 3,5 dan sudah menyelesaikan proposal riset projeknya seperti bab 1 dalam Skripsi.

Maka yang memilih jalur TA adalah mahasiswa yang sudah selesai dengan logika risetnya, dalam artian dia sudah paham riset dan tentunya menulis. Karena jalur TA harus pula menulis dan bobot tulisannya sama dengan jalur yang menempuh Skripsi. Jadi TA bukan pelarian karena tidak bisa menulis, (bersambung ke halaman 7)

Tugas Akhir Lebih Mudah dari Skripsi?Sandi Jaya Saputra, Dosen Jurnal

MASIH TENTANG TA…..

Fauziyah Alhafizhah Kamil

Page 3: Sibiru Edisi 3

3

Mohammad Damarwan/ Rivi Satrianegara/ Yuliyanna Fauzi

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 menyatakan, “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan

pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.” Hal ini diwujudkan dengan penyelenggaran pendidikan di Indonesia hingga tingkat perguruan tinggi. Penyelenggaraan ini tentunya berujung pada masalah pembiayaan. Dimana sering kali pendidikan terjegal masalah biaya.

Rektor Universitas Padjadjaran (Unpad) Ganjar Kurnia pernah berkata, “Mahasiswa Unpad tidak akan drop out karena masalah dana atau keuangan.” Namun, nyatanya banyak mahasiswa yang terancam drop out karena permasalahan biaya. Permasalahan biaya kerap bersentuhan dengan penyelenggaraan sistem birokrasi pendidikan yang seakan menyulitkan. Contohnya, penyaluran beasiswa yang sering mengalami kendala, baik dari segi pengurusan, ketentuan, hingga pencairan dana beasiswa yang memakan waktu, kadang telat, kadang tidak telat.

Itu baru permasalahan biaya untuk memperoleh pendidikan, belum lagi permasalahan biaya yang datang dari mahasiswa itu sendiri. Dari sisi ini, sering muncul keraguan bahwa birokrasi pendidikan akan memberikan uluran tangannya kepada mahasiswa yang tiba-tiba mengalami musibah yang melanda keuangan mereka. Idealnya dan yang diharapkan banyak mahasiswa, birokrasi pendidikan mampu membentuk gerakan kepedulian untuk mahasiswa, tidak lain tidak bukan agar mahasiswa merasa masih ada pihak yang mendukung dirinya dalam memperoleh haknya.

Hal ini sebenarnya dapat diwujudkan dengan banyak hal, seperti kata pepatah, “Banyak jalan menuju Roma.” Di Program Studi Jurnalistik misalnya, ada sebuah wadah bagi mahasiswa Jurnalistik yang terangkum dalam Himpunan Mahasiswa Jurnalistik (HMJ), khususnya Divisi Advokasi. Dimana divisi ini dirancang sebagai wadah yang menampung berbagai aduan mahasiswa termasuk permasalahan dengan

sistem birokrasi pendidikan terkait untuk kemudian dibantu dalam proses penyelesaiannya.Sebagai divisi yang membantu, Advokasi akan menyelenggarakan bantuan dengan prosedur yang tidak rumit, kuncinya mahasiswa yang didera masalah ialah mahasiswa patut dibantu dan ingin dibantu. Karena sebuah tujuan tidak akan mudah dicapai jika hanya dengan setengah usaha, tentunya dibutuhkan usaha maksimal, usaha bersama-sama.Kembali ke permasalahan biaya, sebagai contoh prosedur penyelesaian masalah dari divisi Advokasi, misalnya ada seorang mahasiswa Jurnalistik yang mengalami kesulitan biaya untuk mewujudkan penyelenggaran pendidikan bagi dirinya. Dirinya tidak mampu membayar biaya penyelenggaraan pendidikan karena didera sebuah musibah ataupun sudah tidak memungkinkan bagi dirinya untuk melakukan kewajiban membayar biaya namun, masih ingin melanjutkan kuliahnya. Divisi Advokasi akan hadir dengan menelaah kasus tersebut, tentunya setelah adanya aduan. Hal ini yang menjadi dasar, “Jangan sungkan memberikan aduanmu kepada divisi ini, curhat juga boleh kok…”

Setelah mengetahui duduk permasalahan, Advokasi akan menjadi mediator antara mahasiswa dan sistem birokrasi, misalnya tingkatan jurusan, fakultas, hingga universitas untuk memproses masalah tersebut hingga ditemukan solusi yang tepat. Solusi yang diberikan terdiri dari banyak bentuk, ingat, “Banyak jalan menuju Roma.” Mulai dari pengurusan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), permohonan penangguhan biaya, hingga solusi yang kaitannya dengan bidang Jurnalistik.Kenapa Jurnalistik? Ya, kita kan mahasiswa Jurnalistik, sudah belajar nih tentang ilmu jurnalistik jadi bisa juga digunakan. Contohnya, menulis di media massa untuk mendapatkan biaya insentif dari pihak media massa dan perguruan tinggi. Pokoknya banyak jalan deh, semua jalan akan Advokasi bantu berikan kepada mahasiswa yang patut dibantu dan ingin dibantu. Asal kamu mahasiswa Jurnalistik Fikom Unpad ya.. Jadi, yuk mengadu ke Advokasi dan Advokasi siap hadir bagai mata air di tengah gurun pasir.

ADVOKASI

Birokrasi Tak Membantu,

Biar Kami yang Bantu

Page 4: Sibiru Edisi 3

4

“Fikom Unpad… Fikom Unpad… Fikom Unpad goes

marching in… all that we want, to be best number, the big and happy family…”

Saya inget banget sama mars HMJ yang tiba-tiba berubah jadi mars Fikom waktu jurnal-jurnil lagi pawai Forsi 2014. Awalnya saya ngerasa have fun aja gitu. Barulah setelah pulang ke kosan dan merenung, saya jadi ngerasa miris.

Saya juga jadi inget, pas OJ dan mewawancarai anak Fikom nonjurnal, saya menanyakan pendapat mereka tentang jurnal. Rata-rata mereka menjawab kalau mereka melihat jurnal kompak, tapi agak susah berinteraksi sama jurusan lain.

Supereksklusif. Itu yang saya rasakan setelah resmi jadi bagian dari jurnal-jurnil. Apalagi waktu pawai Forsi. Kesannya, saat itu Fikom hanya milik jurnal dan di Fikom hanya ada jurnal.

Jurnalistik.Satu diantara dua program

studi yang –sekitar 2 tahun lalu–sempat membuat hati ini bimbang. Bimbang karena mau tidak mau salah satu dari program studi itu harus kutinggalkan. Setelah tanya sana-sini, meminta pendapat dari beberapa teman dan dosen, ternyata masih juga bimbang. Sampai akhirnya aku melakukan konsultasi (sekalian modus) sama salah satu dosen –yang waktu itu, sih, masih asdos. Barulah setelah konsultasi dengan dosen satu itu, aku yakin untuk memilih Jurnalistik, bersebab petuah-petuahnya—dan pesonanya. Halah.

Udah semangat masuk jurnal. Selain karena memang menikmati beberapa mata kuliahnya,

CURHAT

Nama : Asmi Nur AisyahPanggilan : AsmiAngkatan : 2013

Nama : Keynee Giovani TrixiPanggilan : TrixiAngkatan : 2012

Silahkan kirimkan tulisan curhat Anda untuk ditampilkan pada rubrik ini, ke alamat

[email protected]

Bahkan, teman saya dari jurusan lain bilang, “Udahlah bikin fakultas sendiri aja.”

Maaf-maaf aja nih kalau saya bener-bener kolot. Kenyataannya, emang beginilah yang saya rasakan. Saya merasa kalau kita tuh terlalu eksklusif dan cenderung (agak) meremehkan jurusan lain, entah itu bercandaan atau serius. Coba deh balik lagi ke masa-masa ospek fakultas, dan inget dua kata “Fikom Satu”. Awal-awal jadi mahasiswa Fikom, dua kata itu terdengar keren, tapi lama-lama jadi terkesan omong kosong.

Segitu aja sih. Bukan bermaksud menyinggung, tapi memang benar ini yang saya rasakan. Saya sih berharap semua itu cuma asumsi saya. Intinya sih gini, kita semua (mungkin) merasa nyaman jadi bagian dari jurusan ini karena asik gitu kalau kongkow bareng. Namun, jangan sampai kenyamanan kita membuat orang lain jadi nggak nyaman. Tul gak?

ada alasan lain yang bikin semangat. “Nggak boleh malas, nanti malu sama –dia– kalau di kelas kayak orang bego,” begitu kira-kira kalimat yang terlintas dalam kepala saat memilih program studi ini. Giliran udah masuk Jurnal…eh orangnya pergi. ;_:

Semester tiga a.k.a semester pertama resmi jadi mahasiswa jurnalistik –resmi versi SBA. Awal-awal masih chill, tugas beres tepat waktu, makan masih teratur, bahkan masih sempat youtube-ing di sela-sela mengerjakan tugas. Apresiasi masih dirasa easy peasy, bisa beres dalam waktu kurang dari 3 jam. Revisi? Tinggal kerjakan, apa susahnya?

Tapi semua mulai terasa //sedikit// berat saat tugas-tugas itu berkembang biak, beranak pinak.

Fikom Satu

Peliknya Semester Ganjil

Page 5: Sibiru Edisi 3

5

Hari yang sangat cerah. Angin bertiup

menggoyangkan daun-daun yang bergantungan di atas kita, di pohon-pohon yang tinggi. Suara mahasiswa yang berlalu-lalang menjadi latar belakang. Duduk di salah satu bangku yang berwarna, menikmati kopi yang telah dingin, merasakan keheningan yang ada di hati. Teman dalam kesendirian yang indah itu adalah sebuah buku, buku yang telah dibaca berulang kali.

Pikirkan tentang ini: kenapa kamu mencintai suatu hal? Coba jawab dengan kemungkinan yang paling logis dan pikiran yang paling jernih. Sulit? Tapi, kesulitan untuk mendefinisikan sesuatu sama sekali tidak mengurangi kecintaan kamu terhadap sesuatu itu.

Buku itu dipegang dengan seimbang, bagian tengah buku menjadi fleksibel karena digunakan bertahun-tahun. Halamannya telah usang, ada bagian yang dilipat dan beberapa kalimat diberi garis di bawahnya untuk menandakan kutipan favorit. Kutipan yang ketika digarisi

Nama : Michael ReilyPanggilan : -Angkatan : -

Silahkan kirimkan tulisan curhat Anda untuk ditampilkan pada rubrik ini, ke alamat

[email protected]

menjadi bagian dari hidup. Serat kertas dan tinta dari buku tercium sangat enak. Seperti parfum favorit. Kumpulan kertas dan tinta yang menjadi sebuah kumpulan tulisan nilainya sangat berarti.

Awalnya.. Saya ingin sekali membahas tentang penggunaan kertas untuk tugas. Sayangnya, hal ini tidak bisa menggeser pikiran saya tentang kecintaan terhadap membaca. Terhadap buku. Bagaimana buku menjadi penting. Sebegitu pentingnya, ketika pindah tempat, biarpun berat, buku akan terus dibawa erat. Tidak akan ada gunanya menjaga sesuatu yang tidak menambahkan sesuatu dalam hidup.

Memang, kertas berasal dari pohon. Banyak sekali pohon yang sudah ditebang dan akan terus ditebang untuk memenuhi kebutuhan kita terhadap buku. Menyinggung tentang pembahasan awal; juga untuk memenuhi kebutuhan kita akan kertas. Tuntutan tugas yang dikumpulkan setiap minggu (belum lagi jika harus merevisinya) jelas menambah angka pemborosan kertas.

Come Together

Satu buku diapresiasi, dua buku, tiga buku, empat buku, lim—ah udahlah, mengingatnya saja sudah bikin diare. Apresiasi beserta revisi yang awalnya dirasa easy peasy kemudian menjelma jadi pain in the *ss. Sejujurnya, semester ini benar benar petaka. Ya capek, ya IP turun. ;_;

Semester empat, alias beberapa bulan bebas belenggu apresiasi dari you-know-who. Rasanya seperti diberi waktu untuk bernafas. Tugas liputan? Narasumber menyebalkan? Ah, masih bisa dikerjakan—meski dengan sedikit gerutu di awal. Bahkan beberapa kali liputannya ke tempat makan, kan enak. Tugas beres, perut kenyang. Nyam. Pokoknya kehidupan mendadak normal, kantung mata sedikit berkurang, dan semuanya terasa cerah. Dih. Pokoknya ini emester paling yahud.

Rasanya aku nggak ingin semester genap ini cepat berakhir. Pedih rasanya melepas semester ini dan menginjakkan kaki di semester ganjil lagi. Ketemu you-know-who-lagi. Ketemu T1 dan T seterusnya lagi. Ketemu PL lagi. Yah, namanya juga Jurnal.

Awal pertemuan. Apresiasi buku, lalu berita khas. Kemudian menjadi tiga berita khas. Kemudian menjadi enam berita

khas. Lalu dua belas berita. Tiba tiba e n a m b e l a s berita. Itu pun masih harus membaca beberapa buku untuk jadi bahan apresiasi. Belum revisinya. Tugas banyak, kekasih tak punya. Pedih amat hidup.

Tapi di balik kesengsaraan di semester ganjil, selalu ada hal-hal menyenangkan yang terkadang bisa membuat mood sedikit membaik. Bersyukurlah masih ada Mum yang tidak bosan-bosannya menyemangati, masih ada partner nugas yang mau ngerjain tugas bareng sambil makan ice cream, ngomel bareng tiap ngerjain apre, masih ada oreo yang setia menemani malam-malam penuh tugas, dan masih ada kamu—meskipun cuma bisa dilihat dari jauh. Cie siapa tuh.Hal-hal yang tadi aku sebutkan di paragraf sebelumnya yang mampu membakar sisa-sisa semangatku untuk menghadapi peliknya tugas dan remah-remah kehidupan lainnya. Juga tak lupa aku berterimakasih pada timbangan yang turut mengingatkan bahwa seberat apapun tugas dari you-know-who, masih tidak ada apa-apanya dibanding berat badanku.Semoga rekan-rekan jurnal tetap semangat mengerjakan per-Abang-an dan tugas tugas lainnya. We’re all in this together. Ingatlah, bad day pasti berlalu.

Page 6: Sibiru Edisi 3

6

Lagi pula, banyak sekali alasan mengapa cara konvensional tetap dipakai. Orang-orang menyukai benda fisik yang bisa disentuh dan dirasakan pengalamannya, sensasinya tidak cuma memanen informasi dari halaman. Lalu, buku atau kertas adalah pelarian dari dunia global dan informasi yang menghujaninya. Buku dan kertas juga memperingatkan bahwa kita ada di sebuah peradaban dan menyadarkan bahwa kita adalah bagian dari sebuah sejarah. Buku dan kertas sangat mudah digunakan. Alasan terakhirnya adalah berbagi.

Buku dan kertas merupakan sebuah hal yang hebat. Karena kata-kata adalah hal yang hebat. Ide bahwa buku adalah sebuah karya menjadikan nilainya sangat berharga. Hal yang menjadikan manusia menjadi manusia: berbagi ide dan konsep, berbagi pengalaman dan pemahaman, berbagi mimpi dan harapan.

Banyak membaca dan juga banyak menulis. Hal paling manusiawi yang bisa kita lakukan.

Saya bukan contoh yang baik dalam pengerjaan tugas. Banyak sekali kewajiban tugas yang sering saya lewatkan. Tapi, di sini, sama seperti Aditya Diveranta, saya ingin memaknai bacaan dan tulisan. Bagaimana seharusnya kita berbahagia karena terus ditanamkan semangat membaca dan menulis. Bagaimana para dosen terus memberikan motivasi untuk itu. Bagaimana orang tua kita tidak pikir panjang ketika kita minta uang dengan alasan itu.

Yah. Kurang-lebih saya di sini juga belajar untuk terus membaca dan menulis. Cintailah, dan kita tidak perlu alasan lagi untuk melakukannya.

Hargailah, sebelum kita tidak bisa menghargainya.Judul ‘Come Together’ di atas saya gunakan karena ketika kebingungan mencari judul, lagu yang muncul di iTunes adalah Come Together karya Primal Scream. The Beatles, Blur, dan Spiritualized pun juga punya lagu dengan judul yang sama. Jadi, kenapa tidak?

Page 7: Sibiru Edisi 3

7

Useng

yang membedakannya ada di bab 1 pada metodologi penelitian, bab 3 diganti dengan rancangan karya tugas akhir dan bab 4 analisis karya projek sendiri. Metodologi penelitian dalam TA cukup melelahkan, karena tidak terpatok dari kajian metodologi seperti semiotik, fenomenologi, dll. Tetapi bagaimana metodologi berkarya secara personal ditulis dengan

pendekatan teori dan menghasilkan bobot yang sama dengan metodologi jalur Skripsi. Tantangan Bab 4 adalah bagaimana mahasiswa menganalisis hasil kerjanya sendiri dengan bobot sama dengan jalur skripsi untuk menganalisis objeknya, bagi saya itu tidak mudah karena yang dinilai adalah hasil kerja sendiri.

(Sambungan hal.1)Maka dari itu, jangan berpikir bahwa TA lebih mudah dari Skripsi. Apabila dengan sistem yang ideal bobotnya sama dengan jalur Skripsi, yang membedakan adalah hasil akhir dari bab 4 jalur TA adalah karya personal sedangkan skripsi adalah analisis.

Di Amerika dan Eropa dan itu pula yang diadopsi oleh dua universitas dimana saya sekolah, mereka menyebutnya jalur TA dengan istilah Honors untuk Bachelor. Maka persoalan teknis bisa dilalui apabila infrastrukturnya sudah memadai. Yang menjadi kekhawatiran saya, dan sudah terjadi di beberapa Universitas Swasta di Indonesia, bahwa hal ini terjadi karena ketidakmampuan institusi dan dosen dalam memberikan pengetahuan dan skill yang memadai tentang riset. Problemnya adalah riset yang justru jadi tulang punggung akademik akan kalah dengan jalur praktis, yang seharusnya bisa berimbang.

Saya mengajukan beasiswa tidak mampu ditolak, alasanya saya kaya. Kaya dari mana?” ujar Andy dengan kesal sambil membanting iPhone 6-nya. Dia mengatakan, universitas sudah terlalu memiliki orientasi bisnis, sudah bukan lagi mengabdi ke masyarakat, dan mahasiswa tidak mampu seperti dirinya adalah korban dari praktek gagal memimpin kampus. “Eh tapi bang, kalo bisa yang masalah mobil off the record aja ya, takutnya nanti orang-orang jadi ga simpatik,” ujar Andy meminta ucapan tentang servis Porsce-nya tidak ditulis di media.

Andy hanya segelintir orang yang mengalami kasus yang sama. Berdasarkan hasil survei Lembaga Jonathan Institute, di negeri ini tercatat ratusan mahasiswa tidak bisa melanjutkan studinya karena masalah biaya. Pada tahun 2013 kemarin misalnya, jumlah mahasiswa yang di Drop Out (DO) karena tidak mampu membayar uang kuliah berjumlah “banyak”. Sedangkan di tahun 2014 jumlah mahasiswa itu meningkat mencapai tahap “sangat banyak”. Melambung tinggi dibandingkan dengan tahun 2012 yang berjumlah “lumayan banyak”.

Gabriel Feeder Noya, pengamat pendidikan dari Cikuda Educatiuon Watch Dog (CEW-D) mengatakan kini universitas menjadi semakin komersil. “Ada virus yang sedang menyebar di masyarakat kita. Bukan ebola, bukan juga C-Virus. Ini lebih bahaya. Yakni virus komersil yang sedang mewabah di universitas-universitas di Indonesia,” ujar Noya.

Menurut Noya, saat ini pemahaman bahwa semakin mahalnya

biaya pendidikan maka semakin baik pula kualitasnya,ini sudah melekat di pemikiran orang-orang. Sehingga, wajar sebagai produsen, hal ini dijadikan alasan oleh universitas untuk mengkomersilkan pendidikan. “Mengkomersilkan ilmu, yang harusnya dibagikan cuma-cuma untuk masyarakat, merengut hak rakyat untuk mengkonsumsi ilmu,” ujar Noya.Maka, menurut Noya, masalah tentang komersialisasi pendidikan harus diberantas dengan membenahi paradigma masyarakat terlebih dahulu, karena jika universitas dan seluruh isinya sudah tidak bisa diharapkan lagi, masyarakat adalah benteng terakhir untuk membela haknya sendiri. “Lawan dan tetap Keep Smile” ujar Noya.

Saepul Graham Bell, staff eksekutif Kementerian Pendidikan membantah bahwa adanya komersialisasi di dunia pendidikan. Menurutnya kini malah pemerintah sudah sangat intensif memberikan bantuan bagi yang tidak mampu. “Ada banyak beasiswa yang bisa diambil oleh mahasiswa, banyak pilihan. Hanya apa tinggal mahasiswanya mau capek atau tidak,” ujar Saepul saat dihubungi lewat saluran telepon. Menurut Saepul, Kementerian Pendidikan akan selalu berusaha menjaga integritasnya dan akan selalu memberikan yang terbaik bagi masyarakat.

Aep Pithecan, Rektor Universitas Paduan Suara mengatakan sangat menyesal mendengar peristiwa ini, menurut dia, timnya akan segera menyelesaikan kasus ini. “Ini pasti masalah mis komunikasi, pasti bisa selesai.” Sedangkan mantan Menteri Sumber Daya dan Mineral, Dahlan Iskan tidak memberikan keterangan karena diwawancarai pun tidak.

Universitas Milik Siapa?(Sambungan hal.1)

Tugas Akhir Lebih Mudah dari Skripsi?MASIH TENTANG TA…..

Page 8: Sibiru Edisi 3

8