dramakala edisi #3

8
6 4 8 KHASANAH Di sana, Teater Komunitas SESUDAH PERTUNJUKAN Macbeth Bertopeng MATAKALA Keberdayaan dalam Teater Itu Teater untuk Pemberdayaan “Memberdayakan yang Beda” e d i s i J U N I - J U L I 2 0 1 1

Upload: stikom-lspr-london-school

Post on 08-Mar-2016

245 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

Dramakala Edisi #3

TRANSCRIPT

Page 1: Dramakala Edisi #3

1

64

8

KHASANAH

Di sana, Teater Komunitas

SESUDAH PERTUNJUKAN

Macbeth Bertopeng

MATAKALA

Keberdayaan dalam Teater Itu

Teateruntuk

Pemberdayaan“Memberdayakan yang Beda”

ed

isi JUNI-JULI 2011

Page 2: Dramakala Edisi #3

2

TEATER PEMBERDAYAAN DILEMA KEBUDAYAAN

DRAMAKala WACANA

TTeater telah lama dipercaya dan dipakai sebagai alat terapi bagi setiap persona individu yang terlibat di dalamnya. Teater juga kerap dipakai sebagai alat untuk mengkritisi serta “menyadarkan” masyarakat - di mana karya itu dipanggungkan - atas kondisi sosial politik yang terjadi. Oleh sebagian orang, teater sering pula dijadikan sarana untuk memberdayakan orang-orang yang secara sosial, ketubuhan atau kejiwaan “bermasalah”, seperti narapidana, pekerja seks komersial, orang buta, tuna rungu, sampai kepada orang-orang yang pernah menjadi pecandu obat terlarang. Dengan demikian teater tidak hanya hidup di dunia yang tampaknya normal-normal saja, tetapi dia justru jadi memiliki harga lain di tengah dunia yang barangkali memang sakit itu.

Bagi seorang Augusto Boal (16 Maret 1931 - 2 Mei 2009), politikus, sutradara, penulis, pendiri Teater Kaum Tertindas (Theatre of the Oppressed) dari Brasil, juga bagi sebagian lain lembaga yang concern kepada kehidupan kemasyarakatan, teater digunakan sebagai wadah untuk mendorong dan menggali potensi kreatif masyarakat dalam merespon kondisi sosial yang terjadi di lingkungan mereka sendiri. Apa yang teralami oleh masyarakat itulah yang diangkat dan dijadikan tema dari karya teater tersebut, semisal persoalan tanah, HAM, dan lain sebagainya.

DRAMAKala edisi ketiga ini mengangkat “Teater untuk Pemberdayaan” sebagai liputan berita utamanya. Ada empat orang nara sumber yang kami wawancarai untuk menggali tema ini. Dua orang nara sumber mewakili praktisi teater yakni Lena Simanjuntak dan Niniek L Karim, satu yang lainnya adalah Wahyu, dari Teater Seratus Pecandu, mewakili persona yang menjadikan teater sebagai terapi penyembuhan dan pemulihan, sedangkan Egbert Wits, nara sumber yang keempat, adalah persona yang memakai teater sebagai proyek kerja pemberdayaan. Egbert adalah anggota Theatre Embassy Belanda yang bekerjasama dengan Yayasan Kelola dan bekerja sebagai manager program. Rubrik wacana diisi oleh Halim HD, seorang networker yang berdomisi di Solo, seorang pejalan yang tak pernah jera-jera menapaki ruang kehidupan budaya tanah air.

Selain bahasan tentang teater untuk pemberdayaan, kami juga menurunkan tulisan tentang teater komunitas yang ditulis dengan cara tak membiasa oleh Afrizal Malna, seorang penyair, penulis naskah drama dan pemerhati teater yang kini menetap di Jogjakarta.

Redaksi.

DRAMAKala KALA MEMBACA edisi III/Juni 2011

Dewan Eksekutif IDEALPembina : Prita Kemal Gani MBA, MCIPR, APRPenasihat : Arswendo AtmowilotoDirektur Internal : Chrisdina WempiDirektur Eksternal : Rafael JolongbayanGeneral Manager : Renata Tirta KurniawanKoordinator : Maulia Rori Rarasati

Dewan RedaksiPimpinan Redaksi : Harris Priadie BahWakil Pimpinan Redaksi : Ahmad Olie SopanEditor : Malhamang Zamzam Reporter : Dediesputra Siregar Dendi Madiya Irwan Senjaya (Forum Penulisan Pertunjukan)Layout : Anang Wicahyono

Alamat Redaksi : STIKOM The London School of Public Relations-Jakarta, Komplek Perkantoran Sudirman Park, Jl. K.H.Mas Manyur Kav.35, Jakarta Pusat 10220.ISSN : 2088-2661

Sampul Depan : Pentas “Tanah, Ode buat Kampung Kami”Penampil : Komunitas CCL BandungFoto : Dok. Komunitas CCL

Oleh:Halim HDNetworker Kebudayaan, di Solo

Keyakinan kepada jalan kesenian (baca: teater) yang dilakukan oleh banyak kaum pekerja kesenian yang menyatakan bahwa seni sebagai medium untuk melakukan perubahan posisi sosial tak pernah surut dari jaman ke jaman. Di antara pertentangan dan kritik yang pernah ada di negeri ini sepanjang setengah abad lebih, dengan tudingan bahwa jenis kesenian seperti itu hanya sekedar alat bagi kepentingan politik, dan tidak mengindahkan kaidah-kaidah ‘estetika’. Bahkan sebagian orang yang mengkritik lebih pedas lagi dengan menyatakan bahwa kesenian yang terlibat (engagement) punya kecenderungan menghina kapasitas manusia (publik) yang dianggap tak becus untuk memahami kandungan kesenian: seni terlibat punya kecenderungan untuk menjejali, indoktrinasi, apa yang diinginkannya.

Namun, di antara gempita kritik yang pernah ada terhadap jalan kesenian ter-libat yang diyakini untuk kepenting–an kehidupan sosial, tetap dan terus berlan-jut. Hal itu dikarenakan kondisi obyektif kehidupan sosial yang kian ringkih dan bahkan mengalami keambrukan nilai-nilai akibat ketidakadilan sosial, perubahan posisi kaum perempuan di dalam ruang domestik dan sosial, kerusakan lingkun-gan hidup (ekologi), untuk mengambil beberapa kasus, yang secara keselu-ruhan bisa kita katakan terdapat krisis kemanusiaan. Di sinilah kaum pekerja kesenian yang meyakini seni sebagai me-dium dan memiliki fungsi untuk kehidu-pan sosial dan kemanusiaan kian meya-kini dirinya: teater mestilah melakukan sesuatu bagi lingkungan masyarakatnya. Dan atas nama jenis kesenian itu pula, maka mereka balik menggugat kepada mereka yang mengkritiknya: tanggung jawab sosial dan kemanusiaan adalah

taruhan nilai-nilai karya kesenian, dan jalan yang dilakukannya merupakan wu-jud dari ultimate concern, puncak kepri-hatinan atas kehidupan keseharian yang dialami oleh siapa saja.

Dalam konteks inilah teater pem–berdayaan memiliki posisi unik dan fungsional, dan sekaligus dillematis. Unik dan fungsional, karena sesungguhnyalah teater tak pernah berada di ruang hampa; dirinya hidup dan dihidupkan oleh sumber kehidupan di lingkungan sosialnya melalui berbagai masalah beserta nilai-nilai yang dihadapi dan diresapinya. Tak terbayangkan jika teater tak meresapi dan memahami apa yang terjadi dilingkungan sosialnya, di mana berbagai hal ikut membentuk kehadirannya, dan sekaligus juga dirinya melakukan penetrasi atas permasalahan yang dihadapi, dan menyatakan tanggungjawabnya.

Teater pemberdayaan, pada dasarnya adalah upaya yang didorong oleh keprihatinan yang memang menjadi dasar bagi langkahnya memasuki ruang sosial kehidupan, dan memberikan pertang–gungjawaban dan sekaligus kontribusi bahwa teater bukan sekedar ‘acting’ dan bukan pula sekedar menceritakan ‘kisah’ beserta berbagai konflik dalam alur ‘kisahnya’ itu. Di balik itu, terdapat

berbagai pesan yang merupakan ‘konsep’ tentang kehidupan dengan kandungan harapan: suatu upaya untuk memperbaiki bukan hanya posisi tapi lebih dari itu, usaha mengembangkan potensi dan kapasitas kemanusiaan dalam konteks masalah yang dihadapinya kini dan yang akan datang. Berkaitan dengan hal itulah, maka teater pemberdayaan mestilah memiliki kesadaran sejarah sosial.

Dalam konteks sejarah sosial inilah teater pemberdayaan memiliki dilemma. Pada satu sisi dirinya menanggung beban atas tujuan dan harapan memasuki ruang-ruang kehidupan sosial, dan bersama lingkungan masyarakatnya melakukan penciptaan ruang harapan. Dan pada sisi lainnya, dirinya memiliki keterbatasan: sejarah sosial yang menjadi basis eksplorasinya dalam penciptaan hanya berlaku pada ruang tertentu. Namun, di antara dilema itu, justru inilah tantangan bagi teater pemberdayan: dia mestilah memiliki keterbukaan, bersikap dialogis dan kapasitas kepada berbagai kemungkinan untuk melakukan pelacakan, riset investigastif dan partisipatif ke dalam berbagai ruang sosial, agar dirinya selalu bias memperbaharui diri dan memahami masalah-masalah sosial secara lebih men–dalam dan reflektif. Sebab, jika tidak, dirinya menjadi buku teks indoktrinasi yang jumud dan membosankan. ***

“When all economic misery and pain has vanished, laboring humanity has not yet reached its goal: it has only created the possibility of beginning

to move toward its goals with renewed vigor. Now, culture is the form of the idea of man’s manness”.

(Georg Lukacs)

Page 3: Dramakala Edisi #3

3

Teater Untuk Pemberdayaanmemberdayakan yang ‘beda’

edisi III/Juni 2011 BERITA UTAMA DRAMAKala

Teater Merupakan Cermin Dari Masyarakatnya

Pada dasarnya kesenian, teater khususnya, berfungsi sebagai media apresiasi yang meningkatkan pemahaman kita dalam melihat kehidupan. Selain menghibur teater juga menggerakkan hasrat pelaku maupun penontonnya untuk berbuat lebih baik. Dalam suatu kesempatan Niniek L. Karim (seniman teater, Psikolog dan Dosen UI) ketika diwawancarai oleh DK mengatakan bahwa pada dasarnya teater adalah anugerah. Katanya “kita diberi oleh Tuhan indera yang bisa menyerap segala sesuatu yang bersifat keindahan dan mengolahnya dengan rasa serta sikap yang didasari keindahan itu, dan teater adalah salah satu keindahan itu”. Ditambahkanya lagi

“kesenian (teater) sejak jaman Galileo merupakan suatu ungkapan perasaan dan pikiran dari seniman-seniman yang ada di suatu masa kehidupan tertentu yang ingin mengekspresikan dirinya. Bagaimana mereka memaknai dan bersikap terhadap kondisi yang ada, maka dengan sendirinya teater haruslah mencerminkan kondisi dari masyrakatnya”. Baginya kalau teater tidak mencerminkan kondisi masyarakatnya berarti itu bukan teater tetapi sandiworo biasa. Dalam kesempatan lain Lena Simanjuntak, yang diwawancarai lewat email oleh DRAMAKala menyampaikan “Sampai sekarang bagi saya seni teater tetap merupakan bentuk upacara bersama dalam lingkungan kelompok teater itu sendiri dan dilanjutkan upacara antara kelompok teater dan publik atau masyarakat. Peristiwa pementasan merupakan sebuah pengumuman bahwa ada sesuatu yang terjadi dalam kehidupan bersama di masyarakat. Jadi teater juga bisa menjadi media untuk mengingatkan, menyadarkan atau mengkritisi masyarakat atau siapa saja”. Maka terlepas dari kesadaran berteater

itu positif atau negatif, kekuatan teater itu adalah sebagai refleksi dari kehidupan masyarakatnya. “Teater mengajak orang bercermin, merenung dan menyadari peristiwa-peristiwa kehidupan dalam diri dan lingkungannya” Tegas Lena.

Namun pada perkembangannya teater juga banyak digunakan sebagai sarana untuk memberdayakan masyarakatnya seperti metode Forum Teater yang dilakukan oleh Augusto Boal. Menurut Egbert Wits (Koordinator Program Teater Pemberdayaan Yayasan Kelola) pada saat jumpa pers pertunjukan Teater Tanah karya Iman Soleh hasil kerjasama CCL Bandung, Yayasan Kelola dan Teater Embassy Belanda menjelaskan bahwa “konsep teater untuk pemberdayaan bertujuan mendorong kreatifitas

masyarakat untuk mengekspresikan isu sosial yang terjadi di lingkungan sekelilingnya”. Lebih lanjut Egbert juga mengatakan “teater untuk pemberdayaan tidak selalu berwujud pementasan namun bisa juga berupa instalasi, arak-arakan, tulisan, ataupun karya sastra”. Dalam konsep teater untuk pemberdayaan yang diterapkan dari metode Forum Teater

oleh Augusto Boal, Egbert menjelaskan “Dengan keterlibatan masyarakat, Boal percaya teater bisa menemukan perilaku alternatif dan solusi bagi permasalahan yang ada dalam masyarakatnya. Metode itu dikenalkan dengan melakukan workshop agar masyarakat dapat menyusun rencana kegiatan untuk menindaklanjuti isu sosial yang ada”

Memberdayakan yang “beda”

Tidak hanya berfungsi sebagai alat terapi, teater bagi Lena Simanjutak yang juga pernah menerapkan konsep teater untuk pemberdayaan terhadap pekerja seks komersial (PSK) selama 10 tahun menyatakan bahwa konsep teaternya adalah “Teater sebagai media pendidikan

dan penguatan / pemberdayaan rakyat, khususnya perempuan”. Konsep teater yang diterapkan ini baginya “Bukan hanya sekedar memberdayakan ketubuhan dan kejiwaan tetapi sebagai media pendidikan dan penguatan / pemberdayaan bagi semua orang untuk mendapatkan kedaulatannya sebagai manusia”. Dalam menjalani proses kreatifnya Lena Simanjuntak memilih

orang-orang yang termajinalkan, seperti pekerja seks, pekerja rumah-tangga, buruh perkebunan, petani, nelayan, kaum miskin kota, korban Tsunami, korban konflik Aceh, Poso, Papua atau Hiv-Aids, dan lainnya. Lebih lanjut Lena mengatakan “Memilih orang-orang yang termajinalkan sama dengan menawarkan sebuah ruang atau media agar mereka mempunyai tempat untuk mengutarakan pikiran dan perasaannya. Sehingga mengerti masalah-masalah yang mereka hadapi”.

Bagi pelaku teater atau orang yang pernah terlibat dalam proses teater, memercayai bahwa teater memiliki peran yang penting dalam membangun karakter bahkan pembentukan jatidiri seseorang, teater juga dipercaya dapat menjadi alat terapi, diantaranya dengan memberdayakan orang-orang dengan keterbatasan fisik maupun keterbelakangan mental, seperti teater 100 Pecandu “OREXTRA” pimpinan Dr. Aisyah Dahlan di Unit Narkoba RS. Bhayangkara Polri. Dalam kutipan wawancara dengan pihak DRAMALKala,

‘Teater memiliki peran yang penting dalam membangun karakter bahkan

pembentukan jatidiri seseorang‘

Egbert Wits Forum teater Augusto Boal

Niniek L.Karim

Pentas “Tanah” Komunitas CCL Bandung

Page 4: Dramakala Edisi #3

4

1. Teater komunitas dibaca sebagai praktek-praktek kesenian yang secara fundamental menempatkan teater dan penonton dalam lingkungan sosial yang sama, saling mengenal, tidak asing satu sama lainnya.

2. Keduanya berada dalam habitatnya.

3. Keduanya tidak dibatasi secara tegas antara panggung dan bukan panggung. Teater komuni–tas bisa menjadi begitu cair untuk mentas di mana pun dalam lingkungan sosialnya.

4. Dialog dan aksi dalam pertunjukan teater komunitas bisa saling inter-aktif dengan penontonnya. Komunikasi menjadi dasar utama dalam pertunjukan-pertunjukan teater komunitas.

5. Lingkungan kampung menggunakan seluruh potensi–nya sendiri untuk teater komunitas yang mereka bentuk. Lingkungan pekerjaan, seperti buruh pabrik, buruh rumah sakit, buruh pertambangan, atau

fakultas fisika dan kimia juga menggunakan seluruh peralatan dan potensinya sendiri.

6. Karena itu setiap teater komunitas menjadi khas, memiliki cirinya sendiri, sebab mereka menggunakan apapun yang khas dari lingkungannya. Menggunakan secara maksimal apa yang mereka miliki dari ember, pipa-pipa besi, peralatan operasi, saluran got sampai sebuah telaga, hutan, gunung, atau laut dan orang-orang yang mereka miliki.

7. Apa yang mereka pikirkan dari potensi-potensi ini akan menjadi ruang pembacaan baru dalam komuni–kasi yang mereka praktekkan dalam pertunjukan mereka.

8. Sebuah pertunjukan yang mereka lakukan, menjadi sama dengan membawa penonton dan pertun–jukannya sekaligus menjadi lembaga pembacaan, pendokumentasian dan pernyataan tentang diri mereka sendiri.

9. Pengertian komunitas di sini lebih fundamental daripada pengertian teater itu sendiri dalam praktek-praktek pertunjukan mereka.

10. Dan teater justru baru ada setelah pertunjukan usai.

11. Yaitu, dengan munculnya pengertian-pengertian baru atau pembacaan-pembacaan baru di antara

mereka tentang diri mereka sendiri. Mereka seperti menemukan laboratorium bersama melalui pertunjukan teater dari komunitas mereka sendiri. Menemukan ruang untuk berbagi pengalaman, kontak dan aktualisasi sesama mereka.

12. Menemukan diri mereka yang menjadi lain justru dalam bingkai sosial diri mereka sendiri.

13. Dalam kondisi kesenian di Indonesia yang tidak memilliki supra struktur dan infra struktur yang saling terkait satu sama lainnya, teater komunitas menjadi penting. Dalam konteks ini, teater komunitas bisa dibaca sebagai praktek-praktek kesenian dalam wilayah ideologi “pra-Indonesia” dan “pasca-Indonesia”.

14. Ruang ideologi teater komunitas adalah konteks dan diri mereka sendiri.

15. Setiap teater komunitas yang membuat pertunjukan di luar komunitas mereka sendiri, mereka harus mencari strategi komunikasi lain agar pertunjukan mereka bisa dibaca oleh penonton yang bukan dari komunitas mereka.

16. Teater komunitas mempraktekkan identitas bukan sebagai stempel, melainkan sebagai sidik jari dari kancah kehidupan dan bagaimana komunitas itu tahu bahwa mereka ada.***

DRAMAKala BERITA UTAMA edisi III/Juni 2011

Oleh:

Afrizal Malna

DRAMAKala KHASANAH

DI SANA, TEATER KOMUNITAS

Wahyu (Staf Bidang Teater dalam Teater 100 pecandu) menyatakan “bahwa teater cukup efektif sebagai cara menyampaikan informasi-informasi tentang anti narkoba, yang mana selama ini hanya biasa dilakukan dalam seminar-seminar. Dalam teori kedokteran yang melandasi teater untuk pemberdayan yang diterapkan pada Teater 100 Pencandu adalah psikodramatik”. Tambahnya lagi.

Sejauh mana teater dalam kajian psikologis mampu memberi ruang pada masyarakatnya. Lena Simanjuntak dalam mengembangkan konsep teater sebagai media pendidikan dan penguatan/pemberdayaan rakyat, juga melibatkan para psikolog. Teater dalam pandangan Lena Simanjuntak adalah “Keunikan dunia teater karena dapat memberi ruang pada bermacam-

macam Ilmu dan seni. Dalam lakon atau isi yang mau disampaikan misalnya membutuhkan masalah-masalah sosial, politik, lingkungan, sejarah, psikologi, pendidikan, dan lainnya. Dalam menampilkan atau memresentasikan lakon, membutuhkan berbagai macam bentuk seni, seni musik, seni tari, seni rupa, audio-visual, dll. Dalam latihan secara tak langsung terjadi iklim belajar bersama tentang ilmu dan seni secara informal. Pengetahuan-pengetahuan yang didapat langsung bisa diolah untuk diekspresikan”. Niniek L. Karim juga kembali menegaskan bahwa sebagai seorang psikolog dirinya menyakini kalau kesenian (teater khususnya) merupakan sebuah media yang dilakukan para seniman sebagai sebuah ekspresi dan memberikan persepsi atas kondisi

masyarakat. Dan teater juga secara psikologi memang berguna bagi para pelaku maupun penontonnya. Dalam menjawab pertanyaan seputar teater untuk pemberdayaan, Niniek L.Karim memahaminya dengan pemikiran bahwa “kita harus berkaca, menggali, mengolahnya lalu menampilkan dan memberikan cahaya yang dihasilkan kepada orang lain maka bahagialah kita sebagai manusia, dan bersyukurlah orang yang diberi kesempatan untuk menerima cahaya, karena mereka juga menerima kebahagiaan,”.

Ditegaskan beliau “Jika teater dilakukan untuk pemberdayaan, atau dijadikan alat untuk memerdayakan orang-orang yang lemah secara fisik maupun mental adalah satu pilihan yang baik, kenapa tidak! itu sah-sah saja malah jangan sampai dihambat. Asalkan tidak dieksploitasi oleh suatu kelompok untuk kepentingan kelompok tertentu”.***(AOS;Ded)

Wahyu Lena Simanjuntak

Teater 100 Pecandu

Page 5: Dramakala Edisi #3

5

WICKEDMewujudkan Dunia Dongeng

edisi III/Juni 2011 SEBELUM PERTUNJUKAN DRAMAKala

MACBETH BERTOPENGRoad Teater/sutradara Amien Kamil/GKJ/8-9 April 2011

UPAYA MEMAHAT SIFAT PURBA MANUSIA DI DINDING KEKUASAAN

Ambition (ambisi), Guilty (rasa bersalah) dan Murder (pembunuh) adalah tiga kata sub-judul yang tertera pada poster pertunjukan, yang ramai dihadiri penonton dalam dua hari pementasannya. Sandiwara tragedi William Shakespeare yang ditulis sekitar tahun 1606 ini menjadi “beda”, ketika kesimpulan tafsir memutuskan pengenaan topeng pada pemeranannya. Amien Kamil, sang sutradara percaya, bahwa imajinasi lebih kuat daripada pengetahuan, mitos lebih berpotensi daripada sejarah, mimpi lebih kuat daripada fakta, harapan

selalu menang mengatasi pengalaman, tawa adalah obat untuk kesedihan, dan cinta lebih kuat dari kematian. “Teater adalah kehidupan, film adalah seni dan televisi adalah furnitur” tegasnya pada buku acara.

Macbeth yang menceritakan tentang ambisi yang berubah menjadi kejahatan dari seorang jenderal yang mengkhianati rajanya, sahabatnya, bahkan jiwanya sendiri. “Fair is foul, and foul is fair” adalah inti dari Macbeth. Jendral itu bernama Machbet (diperankan oleh Madin Tyasawan). Ia dan istrinya yang berambisi menjadi raja dan ratu Skotlandia baginya, jalan menuju tahta satu-satunya hanya melalui pedang. Tetapi niat jahat memiliki rencana sendiri untuk menampakkan jati dirinya.

Pertunjukan dibuka dengan irama musik yang mendekat ke latar negeri yang menjadi seting cerita. Pada suatu hari, Macbeth dan temannya Banquo bertemu dengan tiga tukang sihir yang meramalkan bahwa Macbeth bakal menjadi raja. Dan Banquo akan memperanakkan raja-raja. Hal itu disampaikan Machbet kepada istrinya Lady Macbeth (Lilis Ireng). Lalu mereka menyusun rencana untuk membunuh raja yang akan berkunjung dan menginap di rumah mereka.

Setelah menjadi raja, Macbeth takut kalau Banquo akan membocorkan rahasia dan memerintahkan agar sahabatnya itu dibunuh juga. Sementara itu, seorang jendral lain yang bernama Macduff (Awan sanwani) menjadi curiga akan tingkah laku Macbeth yang menampakkan gejala-gejala ketakutan dan rasa bersalah. Malcolm dan Donalbain, kedua anak Duncan juga merasa curiga. Rasa takut Macbeth mendorongnya menemui tukang sihir itu lagi. Kali ini mereka meramalkan, bahwa Macbeth akan tetap hidup “sampai hutan Great Birnam datang ke bukit Dunsinane”.

Para tukang sihir itu juga meramalkan bahwa Macbeth tidak akan dibunuh oleh seorang yang dilahirkan dari seorang wanita. Hal itu membuat Macbeth puas dan menjadi sombong. Sementara Lady Machbet merasa bahwa ada noda darah di tangannya yang tidak mau hilang walaupun dicuci berkali-kali, sampai akhirnya menjadi gila.

Malcolm dan Macduff bergabung dan pergi ke Inggris. Mereka merencanakan kudeta untuk membunuh Macbeth. Mereka menyerang puri Macbeth dengan sekelompok prajurit, sambil membawa pucuk-pucuk pohon sebagai samaran hutan Birnam datang ke bukit Dunsinane. Macduff berhasil memaksa Macbeth untuk berduel dengannya. Kesombongan Macbeth terguncang saat Machduf mengatakan bahwa ia lahir dari diambil dari rahim ibunya yang sudah wafat. Akhirnya Macduff berhasil memotong kepala Macbeth dan menyerahkan tahta kerajaan kepada Malcolm, anak Raja Duncan.

Peristiwa pertunjukan dari adegan ke adegan berlangsung dalam gangguan pencahayaan yang meraba-raba adegan. Masih ada pemain yang tersandung level ketika berjalan. Beberapa pemain cukup mampu mendekati dimensi akting pada perannya yang bertopeng. Meski belum cukup sampai pada karakter peran. Ada upaya dari vokal para pemain untuk itu, walau terdengar sengau didalam topeng. “Wajah pun tak mampu untuk merumuskan mutu pikiran seseorang” ujar Raja Duncan (Supri Bumi), adalah motivasi konsep pemeranan mengenakan topeng. “Dalam hidup sekarang ini, semua orang pake topeng kok !” ujar sang sutradara, sekaligus perancang topeng. (ded)

Lihatlah, warga Oz bersukacita…berpesta-pora… atas kematian Penyihir Jahat dari Barat. Glinda mengabarkan penyihir itu telah meleleh! Ternyata Sang Penyihir merupakan anak dari hubungan ibunya dengan seorang asing, sementara sang ayah membencinya karena tubuhnya yang berwarna hijau…

Begitulah, adegan pembuka pada pertunjukan WICKED yang akan digelar oleh kelompok Teatro, sebuah

club dalam naungan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi-The London School of Public Relations (STIKOM-LSPR), Jakarta.

Kisah kemudian bergulir ke masa lalu kehidupan Glinda dan Sang Penyihir. Dimulai dari Universitas Shiz ketika Glinda, Elphaba dan Nessarose (saudara perempuan Elphaba yang cacat), bersekolah bersama. Ayah Elphaba memerintahkan Elphaba untuk mengurus Nessarose. Sepasang sepatu indah yang dihiasi permata dihadiahkan kepada Nessarose.

Madame Morrible, pimpinan Universitas Shiz, menangkap adanya bakat sihir pada diri Elphaba. Dia melihat Elphaba bisa menjadi terkemuka di Negri Oz, suatu hari nanti, dan mewujudkan impiannya tentang apa yang bisa dia capai di negri itu.

Proses latihan WICKED berawal pada bulan Maret 2011, setelah melewati tahap casting melalui audisi. Banyak mahasiswa-mahasiswi STIKOM-LSPR yang berminat untuk ambil bagian dalam pementasan ini. Setidaknya demikian pengakuan dari sutradara WICKED, Billy Gamaliel dan Hengky Antonius Hakim, pada kesempatan bincang-bincang dengan dramakala. Tak tanggung-tanggung, drama musikal ini diarahkan oleh tiga sutradara muda sekaligus.

Meskipun beberapa special effect belum mampu diwujudkan di Auditorium Prof. Djajusman, kampus STIKOM-LSPR -tempat dimana pertunjukan ini akan berlangsung- Billy dan Hengky tidak patah arang dan

kehilangan akal untuk mensiasati adegan-adegan yang dituntut oleh naskah. Adegan-adegan terbang, misalnya, akan ditanggulangi dengan pemamfaatan level-level dan kain hitam agar menciptakan ilusi tokoh-tokoh sedang melayang-layang di udara.

Tidak hanya para sutradara saja yang bekerja keras dalam mewujudkan pemanggungan dunia dongeng ini. Pemain-pemain yang berjumlah 42 orang, berlatih dalam jadwal 6 hari dalam seminggu. Sedangkan kru yang terlibat dalam pementasan ini tak kurang berkisar 45 orang. “Ini memang musical Broadway yang kolosal,” tutur Hengky, mahasiswa yang mengambil studi di jurusan Performing Arts, STIKOM-LSPR. Dalam proses latihan, mereka senantiasa mendapat bimbingan dari staf pengajar. “Pemain utama kami menunjukan perkembangan yang bagus,” kata Billy, saat menceritakan suka-duka penggarapan teater yang disajikan dalam dialog-dialog antara tokoh dan nyanyian-nyanyian berbahasa Inggris ini.

Lebih jauh, Billy menuturkan beberapa acuan yang menjadi dasar dari proses kreatif WICKED. Film-film Disney seperti Sleeping Beauty, film-film fantasi yang mengandung unsur tokoh ‘penyihir’, beberapa repertoar Broadway, merupakan referensi berharga sebagai bahan masukan untuk penggarapan WICKED. “Bagaimana seekor kambing berjalan, sangat diperhatikan,” tutur Billy. Dongeng yang akan berpentas tanggal 16-19 Juni 2011 ini memang akan menampilkan pula tokoh-tokoh binatang yang bisa berbicara, bahkan menjadi professor di universitas. Selanjutnya, Billy yang mengambil studi di jurusan Mass Communication ini berharap WICKED dapat juga dipertunjukkan di luar kampus dan menemui publik yang lebih beragam.

Abracadabra… *** (DM)

‘Ini memang musical Broadway yang kolosal‘

DRAMAKala KHASANAH

SESUDAH PERTUNJUKAN DRAMAKala

Page 6: Dramakala Edisi #3

6 DRAMAKala SESUDAH PERTUNJUKAN edisi III/Juni 2011

Annihilation of Abu, 5-6 Mei 2011 di Bentara Budaya Jakarta

DEKONSTRUKSI MINIMALIS LAKON “KAPAI-KAPAI” ARIFIN C. NOER SEBAGAI UPAYA MENGGUNCANG HEGEMONI TAFSIR

DRAMAKala SURAT PEMBACA

Photo: Dok. Fak Filsafat UNPAR

Phot

o: D

ok.

Fak

Fils

afat

UNP

AR

Selamat bikin majalah teater, wah hebat pisan. Waduh di Jakarta punya majalah teater mah bisa jadi menteri. Keren-keren!!! Didoakan lahir dan batin.

Iman Soleh (Aktor dan Sutradara Komunitas CCL)

Bahwa kita ketahui media cetak yang spesifik drama sangat sedikit mungkin tidak ada! Karena bagi sebagian orang media tentang kebudayaan isi di dalamnya tidak berguna, padahal sangat penting. Maka kehadiran Dramakala sangat penting dan pekerjaanya sangat berat karena harus merubah persepsi itu.

Andi Bersama (Aktor Teater Kubur dan Sutradara Teater SangAbul)

Bravo untuk Dramakala. Semoga bisa bertahan terus dan memberikan pengetahuan tentang kesenian drama bagi pelajar. Sekali lagi saya ucapkan selamat atas terbitnya Dramakala.

Muhammad Ikhsan (Guru SMK 1 Jakarta Islamic School)

Saya kira Dramakala merupakan bacaan wajib bagi pelaku teater khususnya di Jakarta. Selain sebagai repertoar dari sebuah pementasan, Dramakala juga referensi bagi pelaku teater untuk menambah pembendaharaan isi kepala untuk melihat segala pendekatan/metode teater yang pernah ada. Paling tidak ini bisa menjadi motivasi kita untuk tetap berkarya.

Adi Bujkelgan (Sutradara Teater Extro)

Pentas teater dari Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan yang disutradarai Fathul A. Husein, dan Diyanto selaku pimpinan artistik, dalam leaflet acara menuliskan :

Dekonstruksi dalam hal ini berarti mencerabut interpretasi orisinal lakon seraya meninggalkannya dalam kondisi yang amat terbuka terhadap praktik kebebasan tafsir. Dekonstruksi adalah elemen esensial untuk mengguncang stabilitas lakon melalui signifikansi semiotiknya. Inti tematik lakon lantas diseret ke ranah hakikat dilematis manusia Indonesia hari ini sebagai “bangsa budak” atau jutaan individu yang serba salah; menjalani kenyataan hidup malah terinjak-injak dan ternistakan oleh telunjuk-telunjuk kuasa di luar diri yang meruntuhkan kemanusiaannya. Sedangkan melarikan diri ke alam khayal yang sarat ilusi dan mimpi yang mustahil tergapai, hanyalah lena sesaat yang berujung maut dan ketersiksaan/kejatuhan ruhani tak terperi. Sebuah dilema sang tokoh, adalah jati diri individu atau sebuah bangsa yang luluh-lantak tergerus zaman.

Sedangkan cermin tipu daya tak lain sebagai impian absurd tentang kebahagiaan yang tak mungkin tergapai. Absurditas yang telah jauh melampaui irasionalitas, pada saat mana agama, falsafah, sains dan teknologi, telah keropos dan kehilangan perannya untuk menyangga kemanusiaan.

Di ruang Bentara Budaya Jakarta, penonton duduk dikursi lipat menghadap ke satu arah, searah panjang ruangan. Penonton bagian depan duduk lesehan. Tampak dihadapan mereka sebuah jembatan dengan

penyanggah tiang simpang siur yang condong ke kiri. Di depan jembatan itu ada areal putih bergaris membentuk lingkaran, dengan tiang gantungan dari tambang kapal menggelayut hampir dipusatnya. Level dibungkus putih di kiri depan. Tidak ada backdrop kecuali kegelapan.

Tokoh Emak (Rinrin Candraresmi) berkain dan kebaya menyapu-lukis lantai pada bentukan gelombang dijalur garis lingkaran dengan warna hitam, sambil terus menyampaikan peran verbalnya dengan intensitas artikulasi yang terjaga. Tokoh Abu (Kemal Ferdiansyah) hanya berkaos dalam dan celana pangsi, seperti terjebak-berpusar di pusat lingkaran bersama Iyem (Zulfa Laila) istrinya, juga berkain dan kebaya. Mereka tertekan dalam kemiskinan, dan mencari cermin tipu daya, lalu jatuh tergeletak. Emak menyapu-lukis garis pinggir tubuhnya.

Sementara Tokoh Yang Kelam (Indrawan Babil) mengenakan jas, celana pendek dan berpayung hitam dikeremangan belakang berjaga-jaga. Tokoh Sang Majikan (M. Iqbal) bertelanjang dada. Ada adegan ia menginterogasi dengan ember-bak aluminium yang dipukulnya seperti mencambuk Abu. Iyem melahirkan diatas jembatan. Seorang penyanyi seriosa perempuan (Vienesia Jonathan) membuai kekalahan Abu. Kemudian seorang tua/Abu (Mohammad Sunjaya), aktor gaek muncul dengan baju koko, mengenakan kain sarung dan berkopiah. Dengan ketenangan mendalam ia memberi banyak wejangan kebijaksanaan hidup sambil sawer permen kepada penonton.

Tiba-tiba ada cahaya menyinari dari tengah belakang penonton, dari pintu masuk penonton ke ruang pertunjukan, muncul seorang pekerja mengenakan jas dan celana pendek dengan gerobak angkut barang dari besi berisi sang Majikan, membelah kerumunan penonton yang duduk lesehan di depan, memasuki areal pertunjukan.

Tampak jelas pentas teater ini, melakukan banyak pembongkaran pada konstruksi yang ada dan umum di ketahui. Hal itu dapat dipahami sebagai explorasi studi filsafat, dalam upayanya menemukan idiom

dramatik yang mungkin, serta mampu disimpulkan. Ruang yang bukan tempat

membuka keluasan menciptakan dunia dan peristiwa. Kemudian menyusunnya seperti suatu dramaturgi, atau kemungkinannya yang lain. Semoga menjadi pencerahan ! (Ded)

Bila Anda ingin mengirimkan saran, kritik maupun tulisan untuk dimuat dalam DRAMAKala ataupun ingin bergabung dalam keanggotaan IDEAL, hubungi:

Asosiasi Pendidik Drama Indonesia (IDEAL)Sudirman Park Office Complex - Jl. K.H. Mas Mansyur Kav. 35, Jakarta Pusat

e-mail: [email protected] ; [email protected] ; [email protected] message melalui Twitter: @IDEALdramakala

sms/hotline: 0815 1021 1119

Page 7: Dramakala Edisi #3

7

RESENSI BUKU DRAMAKala

Sebuah kumpulan pengetahuan tentang akting yang dapat menjadi salah satu pilihan dalam memandu kita belajar, dirangkum sebagai buku yang juga dapat menjadi buku pedagogi (baca ilmu pengajaran). Dengan pilihan visual hitam putih tetap dapat menggambarkan teori kepada praktek yang sebenarnya. Buku ini memberi impresi mudah dipahami karena penggunaan kata yang dipilih Rikrik sederhana. Namun tetap tidak meninggalkan esensi dari materi akting itu sendiri. Penulis terlihat membuat materi ini bertingkat dengan porsi atau dasar-dasar

yang perlu diketahui lebih dulu sebagai pola tingkatan, dari mulai belajar melatih vocal, olah tubuh, mimik, dan sebagainya.

Buku panduan praktis akting ini bisa juga menjadi bahan belajar bersama, karena ada beberapa contoh latihan dasar yang membutuhkan lebih dari satu orang. Kemasan buku, tata letak gambar dan tulisan membuat kita jadi lebih bersemangat mempelajarinya secara otodidak atau bersama teman. (IS)

Buku yang dapat menjadi pedoman bagi siapa saja yang ingin memukau publik, baik sebagai aktor/aktris, pembawa acara, penceramah, pengajar, juru kampanye, pemasar, ataupun humas. Membaca Buku yang berjudul Asli Building A Character ini layaknya membaca sebuah novel, buku ini membuat pembaca dapat membayangkan tentang cerita (pelatihan-pelatihan) yang dilakukan Pak Tortsov tokoh dalam buku ini kepada anak-anak didiknya. Ditulis oleh Constantin Stanislavski (1863-1938), salah seorang mahaguru teater dunia. Membangun Tokoh mengupas berbagai topik menyangkut kesiapan intelektual, fisik, spiritual, dan emosional seorang aktor secara rinci. Stanislavski menunjukkan langkah demi langkah untuk

menggerakkan publik pada tawa, airmata, dan emosi-emosi yang tak terlupakan.

Johny Depp dan Dustin Hoffman adalah beberapa aktor dunia yang sukses berkat ajarannya. Constantin Stanislavski ialah pelopor teater realisme di Rusia. Aliran ini selanjutnya berkembang menjadi arus utama dunia akting di Barat. Dia juga seorang aktor, sutradara teater, dan salah seorang pendiri Moscow Art Theatre. Trilogi karyanya tentang teori akting yang terpenting adalah An Actor Prepares, Creating A Role, dan Building A Character. (IS)

Membangun Tokoh (Constantin Stanislavski)

Penerbit KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)April 2008, 374 hlm.; 13,5 x 20 cm

Acting HandbookPanduan Praktis Akting untuk Film dan Teater(Rikrik El Saptaria)

Penerbit Rekayasa SainsNov 2006, 142 hlm

Adalah sebuah kumpulan teks dramatik yang berstruktur menjadi runtutan dialog naskah drama panggung. Gegerungan, merupakan naskah drama yang berkisah tentang kehidupan aktual rumah tangga keluarga seniman teater yang hidupnya kekurangan. Sudah pernah dipentaskan Harris bersama Kelompoknya Teater Kami pada Juli 2009 di STSI Bandung jauh sebelum buku ini diwujudkan dalam bentuk bahasa teks. Bahasa Teks (meminjam kata Harris) yang dipakai dari diksi penulis menawarkan banyak pilihan visual ke dalam bentuk pertunjukkan. Realisme teks merupakan bagian dari manifesto Teater Kami terhadap setiap pertunjukkannya, agar lebih menjadi “kami”.

Setelah gegerungan maka lahirlah gegirangan, juga sebuah bahasa teks yang berorientasi pada ekspresi kebersukaan. Naskah ini juga dipanggungkan oleh teater yang sama pada April 2011 di Bentara Budaya Jakarta. Menurut Nano Riantiarno – Sutradara Teater Koma, buku ini sangat unik dan mengagetkan, karena ‘imajinasi’ Harris Priadie Bah membuat penyaji visual seperti sutradara harus hati-hati mengeksekusi pilihannya, agar tepat, sesuai hasrat dari teks dramatiknya. (IS)

gegerungan gegirangan Berkas-berkas Ingatan dan Tubuh-tubuh yang MenafsirkanDua Berkas Teks Dramatik (Harris Priadie Bah)

Penerbit PT Komodo BooksApril 2011, 72 hlm.; 14 x 20,5 cm

edisi III/Juni 2011 KAMUS DRAMAKala

n Tata artistik merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari teater. Pertunjukan teater menjadi tidak utuh tanpa adanya tata artistik yang mendukungnya. Unsur artistik disini meliputi tata panggung , tata busana, tata cahaya, tata rias, tata suara, dan tata musik yang dapat membantu pementasan menjadi sempurna sebagai pertunjukan. Unsur – unsur artistik menjadi lebih berarti apabila sutradara dan penata artistik mampu memberi makna kepada bagian-bagian tersebut sehingga unsur – unsur tersebut tidak hanya sebagai bagian yang menempel atau mendukung, tetapi lebih dari itu merupakan kesatuan yang utuh dari sebuah pementasan.

n Tata panggung adalah pengaturan pemandangan di panggung selama pementasan berlangsung. Tujuannya tidak sekedar supaya permainan bisa dilihat penonton tetapi juga menghidupkan pemeranan dan suasana panggung.

n Tata cahaya atau lampu adalah pengaturan pencahayaan di daerah sekitar panggung yang fungsinya untuk menghidupkan permainan dan dan suasana lakon yang dibawakan, sehingga menimbulkan suasana istimewa.

n Tata musik adalah pengaturan musik yang mengiringi pementasan teater yang berguna untuk memberi penekanan pada suasana permainan dan mengiringi pergantian babak dan adegan.

n Tata suara adalah pengaturan keluaran suara yang dihasilkan dari berbagai macam sumber bunyi seperti; suara aktor, efek suasana, dan musik. Tata suara diperlukan untuk menghasilkan harmoni.

n Tata rias dan tata busana adalah pengaturan rias dan busana yang dikenakan pemain. Gunanya untuk menonjolkan watak peran yang dimainkan, dan bentuk fisik pemain bisa terlihat jelas penonton.1

1Seni Teater Jilid 1 untuk SMK /oleh Eko Santosa. dkk. Jakarta : Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional, 2008.

Page 8: Dramakala Edisi #3

8 DRAMAKala MATAKALA edisi III/Juni 2011

Keberdayaan dalam Teater Itu

Desember di pengakhir tahun dua ribu tiga, tepatnya tanggal delapan sampai empatbelas, semasa masih menjadi anggota komite teater DKJ, kami menyelenggarakan sebuah hajatan teater dengan skala nasional yang bertajuk “Silahturahmi Teater”. Acara itu dirancang untuk menjadi ruang temu bagi setiap insan teater dalam berdiskusi dan memertunjukan karya kreatifnya. Peserta yang tampil sebagai pengisi pertunjukan adalah kelompok teater yang kami kurasi dari beberapa daerah dengan cara yang kualitatif pendekatannya. Salah satu pengisi acara pertunjukan adalah Kelompok Teater Tuna Rungu Pangudi Luhur yang tampil di hari pembukaan, mengawali rangkaian acara selama seminggu itu. Teks dramatik yang mereka mainkan adalah karya mereka sendiri yang berjudul “Sang Pujaan”. Apa yang mereka persembahkan kemudian adalah kekaguman dalam diriku, bukan karena pertunjukannya, tetapi lebih karena semangat mereka yang besar dan hati yang gembira melakukannya, itu menampak dari tubuh-tubuh dan wajah mereka “yang segar dan hidup” baik sebelum dan sesudah pertunjukan, walaupun kita tahu, mereka memiliki keterbatasan pendengaran.

Pada Juni dua ribu satu, Teater Kubur di bawah penyutradaraan Dindon WS pernah mengerjakan “proyek gila” yang melibatkan orang-orang tuna netra dalam sebuah permainan teror keriangan bersama di dunia komidi putar yang mereka rancang sendiri secara khusus. “Bila selama ini bapak dan ibu hanya bisa mendengar sandiwara radio, kami ingin sekarang bapak dan ibu aktif berteater....” demikian awalan kata yang diperkatakan oleh Dindon sebelum pertunjukannya. Setelah itu orang-orang tuna netra tersebut dituntun dan didudukkan di bangku komidi putar. Sementara musik khasidahan terus dimainkan menjadi latar suasana yang Islami. Tiap komidi putar bisa menampung sekitar tujuh orang. Para tuna netra itu kaget, begitu tahu bangku bisa bergerak. Mereka sama terkejut begitu tahu ada bergelantungan aneka jajanan pasar, yang mengenai kepala mereka. Andi Bersama, aktor Teater Kubur, lalu naik ke atap cungkup mainan undak-undakan, dan seketika berteriak, “Saya mau kencing.” Para aktor lain ribut. Proyek teater yang menarik ini diberi judul Danga Dongo. Ada pun kisahnya sendiri bercerita tentang sekelompok orang sakit yang pergi mencari obat tetapi dalam perjalanannya yang diketemukan adalah bom. Suasana yang diciptakan oleh aktor Teater Kubur adalah

suasana kepanikan akan adanya bahaya bom. Mereka berlari-larian, berteriak, dan memanjat komidi putar. Bangku-bangku komidi putar yang diduduki para tuna netra itu jadi berputar karena ulah aktor-aktor Teater Kubur itu. Upaya pertunjukan ini memang untuk lebih memancing indra perabaan, penciuman, dan pendengaran para tuna netra. Benda-benda dipukul, teriakan-teriakan, air disemprotan dari selang ke atas kepala mereka, adalah sejumlah elemen yang dipakai untuk maksud tersebut. Proyek teater ini aku pikir memang dikerjakan tidak untuk dilihat dan dimainkan oleh mata yang celik tetapi dengan hati yang berbagi kepada sesama yang memang memiliki hak yang sama untuk dapat “berteater” juga, atau setidaknya merasakan teater.

Sementara pada waktu dan kesempatan yang tak sama, beberapa persona atau kelompok teater yang lain juga pernah membuat pertunjukan bersama dengan para pelacur atau bekas pelacur, buruh, dan orang-orang dari kalangan marjinal lainnya.

Sebagai pekerja teater kita memang ditantang untuk membuat pertunjukan yang baik dalam ukuran pencapaian artistik dan estetik, namun kesadaran untuk membuat pertunjukan yang baik itu terkadang memang menjadikan kita hanya fokus pada hal-hal semacam itu saja, tidak jarang bahkan karya kita berjarak dengan masyarakatnya. Karena begitu artistiknya sampai-sampai masyarakat awam pun terkadang sulit memaknainya, maka bisa dimengerti kemudian kenapa masyarakat penonton teater tidak bertambah bahkan terus berkurang hitungannya, belum lagi dengan banyaknya pilihan hiburan saat ini, maka teater kian tak menarik untuk dikunjungi. Panggung pertunjukan teater yang serius memang dibutuhkan, sebagaimana juga panggung teater yang menghibur masih tetap diperlukan oleh masyarakat kita -meminjam istilah mas Nano- masyarakat yang bernyanyi dan menari, tetapi panggung yang menerlibatkan orang-orang yang bukan orang teater -entah sebagai pemain atau penonton- rasanya tetap penting pula untuk digagas dan diwujudkan. Teater bagi orang-orang yang barangkali tak begitu beruntung dengan keadaan dirinya itu.

Ada kalanya, apa yang kita kerjakan tidak menimbulkan keberartiaan bagi orang lain, bersebab kita terlalu fokus pada diri sendiri. Teater sepatutnya memang bukan dikerjakan hanya untuk pemuasan dari tujuan artistik dan estetik diri kita sendiri saja sebagai

teaterawan, tetapi juga memberikan ruang yang sama terhadap hal-hal di luar urusan artistik. Maka apa yang dikerjakan oleh persona atau lembaga yang menjadikan teater sebagai jalan pemberdayaan rasanya menjadi layak untuk diapresiasi. Bentuk serta pendekatan yang pernah dikerjakan oleh Teater Tuna Rungu Pangudi Luhur, Teater Kubur dan kawan-kawan teaterawan lainnya itu, barangkali menjadi berarti di tengah arus seni pertunjukan yang kian tampak menghamba pada citraan artistik yang megah, semacam megalomania artistik

Barangkali ini memang hanya persoalan pilihan, dan sebagai pekerja teater kita cuma perlu untuk segera berbenah diri memilih untuk tinggal di lahan kreatif yang mana, atau boleh jadi kita malah memutuskan untuk tidak perlu memiliki lahan kreatif yang tetap, sehingga dengan demikian kemungkinan kita untuk bertemu dengan masalah-masalah dan manusia jadi lebih banyak dan menjadikan kita manusia yang tidak mapan tetapi terus kreatif dan tak berkehendak untuk diam, apalagi hanya memikirkan diri sendiri, yang dapat menjelmakan kita dari manusia menjadi kedagingan semata. ***

Oleh:

Harris Priadie Bah

DRAMAKala KABAR

> Bang Bang You’re Dead Jumat – Sabtu, 24-25 Juni 2011

20:30 WIB (dur: 90”)

@ Teater Salihara

Sakti Aktor Studio (SAS)

Sutradara : Eka D. Sitorus

Naskah : William Matrosimone

Pemain : Syaiful Bahri, Wendy Arvida,

Karina Salim, Putri Handayani

Brillian Chakim, Monica Chreesty,

Wahyu Wibi, Adi Putra

Ayu Monalisa, Stanley Saklil,

Nutizza Radia, Simon Kharisman,

Joanne Verlysha Evigan

> PERTJA Rabu – Kamis, 29-30 Juni 2011

20:30 WIB (dur: 90”)

@ Teater Salihara

Oyag Forum Sutradara : Benny Yohannes

Naskah : Benny Yohannes

Pemain : Irwan Jamal, Yani Mae, Nanan Supriatna

Ryzzki Ryzcika Riani, Yani Nurmayani

> Memandang Indonesia

Secara Jenaka Jumat – Sabtu, 1-2 Juli 2011,

20.00 WIB

@ Komp. TIM Graha Bakti Budaya

Musikal Ludruk

> Recital Piano Selasa, 21 Juni 2011

20.00 WIB @ Gedung Kesenian Jakarta

Wibi Suryadi > The 7th LSPR Theatre Festival 20-27 Juli 2011

18.30 WIB

@7thD’Magnificent14

STIKOM The London School of Public Relations

Jakarta

> Monolog Federasi Teater Indonesia (FTI)

10-17 Juli 2011

@ Ruang-ruang Publik Jakarta