majalah compact edisi 3

40

Upload: majalah-compact

Post on 06-Apr-2016

247 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: Majalah Compact Edisi 3

Mengentaskan Kemiskinan melalui Pertumbuhan Ekonomi03Oktober 2013

Upaya MCA-I Community-based Health & Nutrition Project MCA-I dapat menjadi model penanganan stunting pertama di Indonesia.

Page 2: Majalah Compact Edisi 3
Page 3: Majalah Compact Edisi 3

Daftar

Isi

6

10

16

22

24

26

30

33

36

Cover StoryModel Penanganan

Stunting Pertama

Cover StoryMenuju Tercapainya MDGs

Bidang Kesehatan

Cover StoryProyek Seiring Sejalan

InsideCatat Hibah Laporkan

Bantuan

InsideJanji Bima di

Program Compact

InsideKomitmen Pemerintah Daerah

untuk Keberlangsungan Program

Green ProsperityDi Amerika GP

Bertemu

Procurement ModernizationBatu Penanda di Rute

LKPP

Health & NutritionPada Setrum Pustu Bergantung

Edisi 03, Oktober 2013

3Oktober, 2013

Page 4: Majalah Compact Edisi 3

Armida Alisjahbana

Lukita Dinarsyah Tuwo

Hari Kristijo

J.W. Saputro

Wismana Adi SuryabrataNina SardjunaniEmmy SuparmiatunKennedy SimanjuntakJadhie J ArdajatSyahrial loetan

Lila Meulila Gamar AriyantoMoekti Ariebowo Sjamsul Hidajat

Nura DirgantaraIing MursalinAugy MursaliantoWawan HeryawanVincentius PrasetyoArief SetyadiBayu Aji PrakosoArbain Nur BawonoAnas Nasrullah

Paska Rina TVero ArdiantoRully AgungDian PurwantiFitria Dewi WandawatiWuri HandayaniTema Wanda TamtamaAstri AmirudinRani Desi Yanti

Ricky M. RamdhanWidiantoArie Bayu HariyantoChoirul Amri

Pelindung

Penasehat

Penanggungjawab/Pemimpin Redaksi

Wakil Penanggungjawab/Pemimpin Redaksi

Dewan Redaksi

Penyunting dan penyelaras Naskah

Bagian Produksi

Bagian Administrasi & Distribusi

Bagian Keuangan

4 Oktober, 2013

Page 5: Majalah Compact Edisi 3

S elamat bertemu kembali pembaca untuk ketiga kalinya. Majalah compact akan membahas secara umum tentang Stunting. Berdasarkan wikipedia : Stunted growth is a reduced growth rate

in human development. It is a primary manifestation of malnutrition in early childhood, including malnutrition during fetal development brought on by the malnourished mother. Data PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) tahun 2011 menunjukan sebanyak 165 juta anak dibawah umur 5 tahun menderita stunting, sebanyak 27% diantaranya adalah anak anak yang tinggal di benua Asia.

Pembangunan sektor kesehatan di Indonesia sangat pesat dari tahun ke tahun, baik pembangunan sarana dan prasarana kesehatan maupun penyuluhan kesehatan kepada masyarakat melalui posyandu. Data Riset Keseha­tan Dasar (RISKESDAS) 2010, menunjukkan bahwa 1 dari 3 anak di Indonesia mengalami stunting. Untuk itu, saat ini Kementerian kesehatan terus melakukan riset melalui Riskesdas 2013, yang akan dijadikan dasar untuk menilai keberhasilan pelaksanaan pembangunan jangka mene­ngah 2010­2014. Selain itu, juga sebagai sarana untuk mengevaluasi perkembangan status kesehatan masyarakat Indonesia di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota dalam enam tahun terakhir, termasuk perubahan faktor­faktor yang dapat mempengaruhi status kesehatan masyarakat di tiap tingkat wilayah pemerintahan, dan perkembangan upaya pembangunan kesehatannya.

Keluarga Miskin dengan stunting sangat erat sekali hubungannya, khususnya dalam penyediaan makanan

sehari hari dengan gizi yang sesuai standar kesehatan. Semakin miskin sebuah keluarga, maka semakin besar probabilitas anak di keluarga tersebut mengalami stunting (gizi buruk). Untuk itu, Edisi Compact 3, akan melaku­kan wawancara dengan pengambil kebijakan dibidang ke sehatan khususnya yang berhubungan dengan program peningkatan gizi dan upaya program pengurangan stun­ting melalui pemberdayaan masyarakat yang dibiayai oleh Hibah Compact.

Tubuh yang pendek tidak selalu buruk, sebagai contoh pemain sepakbola Argentina seperti Maradona (166 cm) dan Lionel Messi (169 cm) mampu menunjukkan per­mainan bola yang indah lewat kocekan kakinya. Adapula pemain Persebaya Andik Vermasyah (162 cm) mampu sebagai pemain sepakbola nasional. Bahkan ada essay ter­kenal Small Is Beautiful: A Study of Economics As If Peo­ple Mattered oleh British economist E. F. Schumacher.

Akhir kata, semoga gizi buruk segera ditangani oleh pemerintah, swasta, dan setiap keluarga melalui per­tumbuhan ekonomi lokal, regional dan nasional yang memberikan peningkatan pendapatan keluarga maupun penyediaan asupan makanan sehari hari yang semakin tinggi gizinya. Demikan pula program kesehatan melalui hibah compact mampu memberikan dampak pengurang an stunting di 13 Propinsi.

Selamat membaca.

EditorialHari KristijoPimpinan Redaksi Compact

Kurang Gizi Penyebab Stunting (Anak Pendek)

5Oktober, 2013

Page 6: Majalah Compact Edisi 3

Cover Story

M engentaskan kemiskinan bagaikan memutus ling­karan setan. Membuat masyarakatnya kaya ter­

lebih dulu atau memperbaiki gizinya. Persoalan ini dihadapi negara­negara lain, termasuk Indonesia. Beberapa pengalaman sejarah besar mem­buktikan bahwa berhasilnya tinggal landas ekonomi didukung oleh tero­

bosan penting di bidang kesehatan masyarakat, pemberantasan penya­kit, dan peningkatan status gizi.

Dari forum pertemuan ahli­ahli ekonomi di Copenhagen pada 2012 juga ditegaskan bahwa investasi pada gizi dapat membantu memutus ling­karan kemiskinan dan meningkatkan PDB suatu negara sebesar 2 hingga 3 persen per tahun.

Model Penanganan Stunting Pertama

MCA-I menangani persoalan stunting secara terintegrasi. Bisa jadi ini model penanganan stunting pertama di Indonesia, bahkan di dunia.

Purwanta BS-Bappenas

6 Oktober, 2013

Page 7: Majalah Compact Edisi 3

Atas dasar kesadaran itulah, Pemer­intah Indonesia melakukan berbagai upaya perbaikan kesehatan dan gizi masyarakatnya. Sebagai anggota negara Perserikatan Bangsa­Bangsa (PBB), Indonesia telah menyepakati untuk mendukung tujuan pemban­gunan milenium (Millennium Devel­opment Goals/MDGs). Dari delapan target MDGs yang ditetapkan, lima di antaranya berhubungan langsung dengan kesehatan yang hendak dica­pai pada 2015 nanti.

Namun untuk mencapai target tersebut masih dibutuhkan upaya yang keras. Tak hanya di Indonesia, tapi juga di negara berkembang lain­nya. Oleh karena itu, muncul Scaling Up Nutrition (SUN) Movement. Gerakan ini merupakan respon neg­ara­negara di dunia terhadap kondisi status gizi di sebagian besar negara berkembang dan akibat kemajuan yang tidak merata dalam mencapai tujuan pembangunan milenium.

SUN Movement di Indonesia diterjemahkan ke dalam Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dengan fokus pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK). Penan­ganan kesehatan dan gizi pada fase

kehidupan dimulai sejak terben­tuknya janin dalam kandungan sam­pai anak berusia dua tahun. Upaya ini dilakukan dengan memperkuat implementasi konsep program gizi yang bersifat langsung (spesifik) dan tidak langsung (sensitif).

Gerakan ini merupakan salah satu bagian dari percepatan perbaikan status gizi di Indonesia, terutama untuk menurunkan prevalensi anak pendek (stunting) yang masih tinggi. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 menyebutkan, prevalensi anak pendek sebesar 35,6 persen. Jika berdasarkan angka, berarti ada 7,8 juta anak balita Indonesia yang meng alaminya. Stunting adalah kondisi di mana tinggi badan seorang anak berada di bawah standar sesuai de nga n umur nya.

Untuk jangka panjang, masalah stunting amatlah berbahaya. Oleh karena stunting amat erat kaitannya juga dengan kualitas sumber daya manusia yang pada akhirnya ber­muara pada perbaikan ekonomi.

Sayangnya, model penanganan

stunting selama ini belum ada, baik di Indonesia maupun negara lain­nya. “Melalui Proyek Kesehatan dan Gizi Berbasis Masyarakat yang akan dijalankan melalui program Com­pact ini, kita ingin membuat salah satu bentuk penanganan stunting di masyarakat,” ujar Minarto, Director Community­base Health & Nutri­tion Project, Millennium Challenge Account­Indonesia (MCA­I).

Menurut pria yang biasa disapa Pak Min itu, proyek yang mulai dilaksanakan 2 April 2013 dan akan berakhir pada 2018 nanti itu akan berupaya mengurangi prevalensi stunting di Indonesia. Pihaknya akan fokus pada 11 provinsi, 64 kabupaten, dan 500 kecamatan.

Dengan penguatan pada demand side, supply side, dan communica­tion management, Pak Min yakin jika proyek yang dijalankan MCA­I itu merupakan model penanganan stunting yang pertama ada. Tak hanya di Indonesia, bahkan juga di dunia.

n

UNTUK JANGKA PANJANG, MASALAH STUNTING AMATLAH BER­BAHAYA. OLEH KARENA STUNTING AMAT ERAT KAITANNYA JUGA DENGAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA YANG PADA AKHIR­NYA BERMUARA PADA PERBAIKAN EKONOMI.

7Oktober, 2013

Page 8: Majalah Compact Edisi 3

Cover Story

Tubuh Yanuarius Tole tidak seperti bocah berusia tiga tahun normal lainnya. Ia terlihat pendek. Saat diukur di Pusk­

esmas Beru, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), tinggi badan­nya cuma 60 sentimeter.

Kondisi yang dialami Yanuarius itu ternyata juga dialami banyak anak lain­nya di NTT. Dari 33 provinsi yang ada, menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, prevalensi anak pendek (stunting) terbesar memang berada di Provinsi Nusa Tenggara, yaitu 58,4 persen. Disusul Provinsi Papua Barat sebanyak 49,2 persen, Nusa Tenggara Barat 48,3 persen, dan

Sumatera Utara 42,3 persen.Secara nasional, prevalensi stunting

di Indonesia menempati angka 35,6 persen. Itu artinya, 1 dari 3 anak di Indonesia mempunyai tinggi badan di bawah standar dari usianya.

”Stunting adalah kondisi dimana tinggi badan anak­anak berada di bawah standar sesuai dengan umurnya. Pada masa yang akan datang, ini akan berdampak pada kecerdasan, kemam­puan fisik, dan produktifitasnya,” jelas Minarto, Director Community­base Health & Nutrition Project, Millen­nium Challenge Account­Indonesia (MCA­I).

Menurut Minarto, penyebab anak

1 dari 3 Anak Indonesia Pendek

Pemerintah menargetkan prevalensi anak pendek turun menjadi kurang dari 32 persen pada 2014 nanti.

Purwanta BS-Bappenas

8 Oktober, 2013

Page 9: Majalah Compact Edisi 3

pendek bukan karena faktor tunggal, melainkan multi­faktor. Secara umum, penyebab terjadinya anak stunting dapat dibagi dalam 3 kelompok, yaitu penyebab langsung, penyebab tidak langsung, dan akar masalah.

Faktor­faktor yang secara langsung menyebabkan buruknya status gizi

anak, yaitu rendahnya asupan pangan atau gizi dan status kesehatan yang buruk. Rendahnya asupan pangan atau gizi menyebabkan seorang anak kekurangan asupan gizi terutama micronutrient yang dibutuhkan oleh tubuh untuk tumbuh dan berkembang. Sedangkan kesehatan yang buruk menyebabkan tubuh tidak mampu menyerap zat gizi, terutama micronu­trient yang masuk dan tidak mampu menahan micronutrient tersebut dalam waktu yang lama pada tubuh.

Sementara penyebab tidak langsung terdiri dari aksesibilitas pangan, pola asuh, dan ketersediaan air minum, sanitasi, dan pelayanan kesehatan.

Dari faktor aksesibilitas, kemungkinan karena keterbatasan pangan atau juga ketidakmampuan seseorang untuk memperolehnya.

Faktor yang kedua adalah pola asuh. Cara asuh orangtua terhadap anak dinilai akan sangat mempengaruhi kondisi psikologis dan asupan micro­nutrient pada anak. Kemudian faktor ketersediaan air minum dan sanitasi juga dapat menimbulkan berbagai penyakit yang akan mengganggu pertumbuhan anak. Demikian pula de ­nga n faktor pelayanan kesehatan yang buruk diyakini turut mem pengaruhi tingkat pemenuhan kebutuhan ma sya­rakat akan pelayanan kesehatan.

Sementara akar masalah penye­bab stunting, sejatinya berada pada level makro. Hal ini terkait dengan faktor kelembagaan, politik, ideologi, kebijakan ekonomi, sumber daya, lingkung an, dan penduduk. Ketika level makro tersebut tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat, maka pada akhirnya akan mengakibatkan mun­culnya kasus stunting di masyarakat.

Untuk mengatasi faktor penyebab langsung, pencegahan dapat dilaku­kan pada periode efektif, yaitu pada 1.000 hari kehidupan pertama yang disebut sebagai windows of opportu­nity. Jika masa itu terlewatkan, maka anak pendek sulit disembuhkan. Peri­ode ini terbagi dalam 280 hari selama dalam kandungan dan 730 hari setelah dilahirkan.

Pemerintah menargetkan prevalensi anak pendek dapat turun menjadi kurang dari 32 persen pada 2014 nanti. Untuk dapat mencapai target yang telah ditetapkan tersebut, pemerintah mengoptimalkan berbagai sumber daya yang tersedia, baik dengan meng­gunakan dana pemerintah sendiri maupun bantuan dari pihak luar.

Bantuan dari pihak luar, salah satu­nya, program Compact yang me rupa­kan kerjasama antara Millennium Challenge Corporation dan Pemerin­tah Indonesia. Melalui Proyek Keseha­tan dan Gizi Berbasis Masyarakat itu diharapkan agar anak­anak Indonesia dapat tumbuh sehat dan produktif. n

SECARA NASIONAL, PREVALENSI STUNTING DI INDONESIA MENEMPATI ANGKA 35,6 PERSEN. ITU ARTINYA, 1 DARI 3 ANAK DI INDONESIA MEMPUNYAI TINGGI BADAN DI BAWAH STANDAR DARI USIANYA.

Purw

anta

BS-

Bapp

enas

9Oktober, 2013

Page 10: Majalah Compact Edisi 3

Cover Story

Lima dari delapan target MDGs ada pada bidang kesehatan. Beberapa di antaranya butuh perhatian khusus.

Menuju Tercapainya MDGs Bidang Kesehatan

Dok.

Bapp

enas

10 Oktober, 2013

Page 11: Majalah Compact Edisi 3

T ahun 2015 tinggal dua tahun lagi. Tujuan pembangunan milenium (Millennium Deve­lopment Goals/MDGs) telah

disepakati oleh negara­negara ang­gota Perserikatan Bangsa­Bangsa (PBB), termasuk Indonesia, untuk dicapai pada 2015 nanti.

”Dari beberapa indikator, MDGs secara nasional sebagian besar tar­get akan tercapai. Pemerintah juga mendapatkan apresiasi dari PBB untuk capaian sampai saat ini, dan komitmennya untuk mencapai sasa­ran MDGs pada akhir tahun 2015,” kata Armida S Alisjahbana, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional /Kepala Bappenas dalam jawaban tertulisnya kepada Compact.

Ia menjelaskan, secara keselu­ruhan, saat ini pencapaian sasaran tersebut telah memenuhi syarat (on track), walau secara keseluruhan masih ada beberapa target yang belum memenuhi syarat (off track).

Dari delapan target MDGs, lima di antaranya berhubungan langsung dengan kesehatan: Menanggulangi

Kemiskinan dan Kelaparan, Menu­runkan Angka Kematian Anak, Meningkatkan Kesehatan Ibu, Memerangi HIV­AIDS, Malaria, dan Penyakit menular lainnya, dan Memastikan kelestarian lingkungan hidup.

Pada target Menanggulangi Kemis­kinan dan Kelaparan, prevalensi kekurangan gizi pada balita dengan pencapaian tahun 2010 masih sebe­sar 17,9 persen. Sementara target pencapaian MDGs pada 2015 nanti sebesar 15,5 persen. Sebenarnya, pemerintah telah berhasil menurun­kan angka kekurangan gizi pada anak balita melalui penanganan pangan dan gizi terkait langsung dengan sta­tus kesehatan masyarakat. Meskipun demikian, upaya terus dilakukan guna mencapai target MDGs terse­but.

Kemudian pada target Menurun­kan Angka Kematian Anak. Laju penurunan prevalensi kematian bayi pada 2012 masih jauh dari target yang ditetapkan. Pada 2012 masih tercatat 32 per 1.000 kelahiran hidup

dan balita sebesar 40 per 1.000 kelahiran hidup. Sedangkan target yang ditetapkan, yakni 23 dan 32 per 1.000 kelahiran hidup pada 2015.

Untuk target Meningkatkan Kese­hatan Ibu yang masih sangat tinggi tercatat 359 per 100.000 kelahiran hidup pada 2012. ”Masih jauh dari target 102 per 100.000 kelahiran hidup pada 2015 nanti, sehingga memerlukan upaya yang sangat keras dalam upaya penurunannya,” kata Armida.

Upaya yang keras, kata Armida, juga perlu dilakukan dalam menca­pai sasaran menekan penyebaran prevalensi HIV­AIDS sebesar 0,43 persen dari total populasi dan angka kejadian malaria 1,69 per 1.000 pen­duduk.

Target MDGs yang kelima terkait kesehatan adalah masih tingginya proporsi rumah tangga tanpa akses terhadap air minum dan sanitasi yang layak. Pada 2015 nanti, target MDGs untuk pencapaian rumah tangga ter­hadap akses air minum layak sebesar 68,87 persen. Sedangkan target pro­porsi rumah tangga dengan sanitasi yang layak ditargetkan 62,41 persen pada 2015 nanti.

Menurut Armida, tantangan ter­besar ke depannya adalah mengatasi indikator off-track dari MDGs yang masih memerlukan perhatian khusus itu.

Dalam kesempatan itu juga Armida menambahkan, kekurangan gizi pada anak balita mengakibatkan anak balita yang pendek (stunting). Prevalensi anak balita stunting yang ditunjukkan dari data Riskesdas 2010 masih tinggi, yakni sebesar 35,6 persen.

Untuk itu, Armida menjelaskan, pemerintah akan terus memberikan fokus kepada disparitas pengurangan target secara keseluruhan, dengan minta dukungan kepada seluruh pemangku kepentingan yang terdiri dari pemerintah, dunia usaha, serta masyarakat luas maupun tokoh agama.

n

TARGET MDGS YANG KELIMA TERKAIT KESEHATAN ADALAH MASIH TINGGINYA PROPORSI RUMAH TANGGA TANPA AKSES TERHADAP AIR MINUM DAN SANITASI YANG LAYAK. PADA 2015 NANTI, TARGET MDGS UNTUK PENCAPAIAN RUMAH TANGGA TERHADAP AIR MINUM LAYAK SEBESAR 68,87 PERSEN.

Purw

anta

BS-

Bapp

enas

11Oktober, 2013

Page 12: Majalah Compact Edisi 3

Cover Story

M asih ingat Dera Nur Anggraini? Ya, bayi pre­matur yang meninggal di Jakarta setelah enam

hari dilahirkan. Sejak lahir, kondisi Dera memang mengenaskan. Berat badannya hanya satu kilogram. Kon­disinya yang kritis mengharuskannya dirawat Neonatal Intensive Care Unit (NICU). Berbagai upaya telah dilaku­kan, tapi keadaan berkata lain. Dera mungil harus kehilangan nyawanya.

Tak ayal peristiwa itu menyita perhatian publik, termasuk Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi. Menurut Nafsiah, kasus kematian bayi Dera merupakan contoh kurangnya nutrisi selama dalam kandungan. “Kita harus memperhatikan hulunya mengenai gizi buruk,” ujar Nafsiah, seperti di ku­tip situs berita.

Untuk mengatasi gizi buruk, Naf­siah mengatakan, pemerintah bekerja sama dengan organisasi profesi dan

Pemenuhan gizi yang optimal selama masa 1000 hari pertama kehidupan.

Perbaikan Hulu Gizi Buruk

Dok. PSF

12 Oktober, 2013

Page 13: Majalah Compact Edisi 3

organisasi masyarakat. “Salah satu­nya adalah perbaikan gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK),” kata menteri sekaligus dokter anak ini. Rentang 1.000 HPK memang harus menjadi perhatian. Pada rentang itu pertumbuhan dan perkembangan anak berlangsung secara cepat. Saat masih dalam kandungan misalnya, janin bertumbuh dengan cepat hingga mencapai berat badan 2,5­4,0 kg hingga menjelang dilahirkan. Pada masa itu pula, dasar­dasar perkem­bangannya sudah terbentuk. Cetak biru otak, misalnya, sudah terbentuk pada 3 bulan pertama usia kehamilan.

Pemenuhan gizi yang optimal selama masa 1.000 HPK, selain mem­beri kesempatan bagi anak untuk hidup lebih lama, lebih sehat, lebih produktif, dan berisiko lebih rendah dari menderita penyakit degeneratif di usia dewasa, juga berperan positif dalam memutus rantai kemiskinan. Hal ini dimungkinkan dengan dilaku­kannya upaya intervensi perbaikan gizi ibu hamil, bayi, dan balita, se ­hing ga melahirkan anak yang sehat.

Anak yang sehat hanya mungkin dilahirkan dari seorang Ibu yang sehat, yang menjaga kehamilannya dengan asupan gizi yang cukup (gizi

mikro dan protein). Ibu hamil yang mengalami kekurangan gizi kronik sejak masa awal kehamilannya mi sal­nya, tentu akan berisiko melahirkan anak yang kurang sehat, atau berat badan bayi lahir rendah, yakni kurang dari 2,5 kilogram. Normalnya, berat bayi baru lahir minimal 2.500 gram.

Jika asupan gizi bayi yang dibutuh­kan tak terpenuhi, karena orangtua­nya miskin, maka sangat mungkin anak akan menderita gizi buruk. Jika kondisi ini memungkinkan anak dapat bertahan hidup, pertumbuh­annya akan mengalami hambatan, termasuk perkembangan otaknya.

Ditambah lagi, karena daya tahan tubuhnya lemah, anak akan sering sakit­sakitan. Kondisi ini tidak memungkinkannya menjadi anak yang sehat dan produktif, kompetitif dan siap bersaing, bahkan hingga ia dewasa.

Bila kondisi ini terulang kembali pada si anak ketika telah dewasa, maka akan muncul keluarga baru miskin generasi kedua dari keluarga yang miskin dan kurang gizi pula. Kondisi ini jelas menghilangkan kesempatan untuk memperbaiki generasi (lost generation) dan kemis­kinan seolah diwariskan ke generasi berikutnya.

Sementara, fakta­fakta ilmiah sudah sangat jelas menyatakan bahwa kelalaian atau kelengahan memper­baiki gizi pada awal kehidupan, yakni pemenuhan asupan gizi (makro dan mikro) secara seimbang, yang diper­oleh dari menyusui (ASI) eksklusif sampai 6 bulan, dan diteruskan de ­ngan ASI dan makanan pendamping ASI, akan menentukan masa depan anak di kemudian hari. n

PEMENUHAN GIZI YANG OPTIMAL SELAMA MASA 1.000 HPK, SELAIN MEMBERI KE SEMPATAN BAGI ANAK UNTUK HIDUP LEBIH LAMA, LEBIH SEHAT, LEBIH PRODUKTIF, JUGA BERPERAN POSITIF DALAM MEMUTUS RANTAI KEMISKINAN.

Purwanta BS-BappenasPu

rwan

ta B

S-Ba

ppen

as

13Oktober, 2013

Page 14: Majalah Compact Edisi 3

Cover Story

Menggalang Partisipasi Masyarakat

Program ini menggunakan pendekatan partisipatif masyarakat guna meningkatkan kesehatan ibu anak.

Dok.

PSF

14 Oktober, 2013

Page 15: Majalah Compact Edisi 3

T ingginya angka mortalitas anak di bawah lima tahun (balita) serta rendahnya tingkat penyelesai an pendidikan dasar

dan menengah pertama anak­anak dalam rumah tangga miskin masih merupakan isu strategis yang sa ngat berpotensi menghambat upaya pe nang­gulangan kemiskinan di Indonesia.

Tanpa disertai upaya peningkatan kesehatan dan pendidikan, teru­tama kepada anak­anak generasi mendatang yang hidup dalam setiap

rumah tangga miskin, maka upaya untuk mengurangi angka kemiskinan di Indonesia akan sulit dilakukan.

Pengalaman dari Program Pengem­bangan Kecamatan (PPK) dan Program Pengentasan Kemiskinan Per kotaan (P2KP) juga menunjukkan bahwa masalah pendidikan dasar dan kesehatan ibu anak merupakan ma salah yang dihadapi oleh ma sya­rakat miskin, namun belum dapat dijangkau secara optimal.

Oleh karena itu, pemerintah melaksanakan program khusus yang dinamakan PNPM Mandiri Perdesaan Generasi Sehat dan Cerdas atau dising­kat PNPM Generasi. Program nasional

ini sebagai bagian yang integral dari PNPM Mandiri Perdesaan.

Proyek inovatif yang digulirkan Pemerintah Indonesia itu untuk menanggulangi ketertinggalan hasil­hasil pembangunan manusia tertentu dan mempercepat pencapaian tujuan pembangunan milenium (Mil­lennium Development Goals/MDGs).

Pendekatan yang dilakukan PNPM Generasi dengan menggunakan dasar­dasar pemberdayaan masyarakat. Artinya, program ini harus berangkat

dari masyarakat, dilakukan oleh masya rakat, dan diperuntukkan juga bagi masyarakat.

Pendekatan PNPM Generasi memberikan fleksibilitas kepada masyarakat di seluruh nusantara yang berbeda­beda. Masyarakat dapat menggunakan dana hibah untuk menargetkan permasalahan lokal secara efektif de ng an menyelesaikan masalah­masalah yang mempe ngaruhi individu dan masyarakat secara kese luruhan. Dan, ketika kebutuhan masya rakat berubah, dana hibah dapat difokuskan dan dialokasikan kembali dalam siklus program berdasarkan temuan­temuan dari hasil pertemuan

pemantauan bulanan.Dibandingkan dengan pendekatan

lainnya, pendekatan pemberdayaan masyarakat diyakini lebih mampu menjamin efektifitas dan keberlanju­tan sebuah program penanggulangan kemiskinan. Sebagai bentuk kesinam­bungan dari program pemerintah yang telah ada sebelumnya, maka pelaku dan kelembagaan yang telah dibangun melalui PPK atau P2KP akan tetap digunakan dalam program tersebut.

PNPM Generasi dibiayai oleh peng­

gabungan dana dari Pemerintah Indo­nesia dan para anggota PNPM Support Facility (PSF). PNPM Generasi sendiri dilaksanakan Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat (PMD) Kementerian Dalam Negeri.

”Terkait dengan adanya program Compact hasil kerja sama antara Millennium Challenge Corporation dan Pemerintah Indonesia, Direktorat Jenderal PMD telah melakukan pem­bahasan bersama dengan Bappenas dan Kemenkokesra untuk pemetaan lokasi yang akan menjadi lokasi inter­vensi program tersebut,” jelas Tarmizi A. Karim, Direktur Jenderal PMD, Kementerian Dalam Negeri.

Menurut Tarmizi, program Compact melalui PNPM MPd Generasi itu, disikapi dengan penyiapan kebutuhan mendasar melalui review Petun­juk Teknis Operasional (PTO) dan pengembangan form­form pelaporan agar dapat mengakomodir kebutuhan report stunting.

Penambahan komponen stunting tersebut, kata Tarmizi, berimplikasi pada penambahan Indikator Monitor­ing untuk Intervensi dari aspek demand side. ”Hal ini akan disosialisasikan, baik kepada pemerintah daerah maupun para pelaku program.” n

PADA 2012, PNPM GENERASI TELAH MEMPERLUAS LOKASI PROGRAM MELALUI DUKUNGAN PEMERINTAH INDONESIA DAN DANA HIBAH PNPM SUPPORT FACI LITY.

Purw

anta

BS-

Bapp

enas

15Oktober, 2013

Page 16: Majalah Compact Edisi 3

Cover Story

M asalah gizi pada anak balita di Indonesia masih menjadi masalah yang memprihatinkan. Hasil

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 menunjukkan bahwa balita yang menderita gizi kurang menempati angka 17,9 persen, gizi kurus sebesar 13,3 persen, stunting sebesar 35,6 persen, dan gizi lebih sebesar 14,2 persen.

Tingginya prevalensi stunting sebe­sar 35,6 persen itu sangatlah meng­khawatirkan. Karena anak pendek, bukan semata mencerminkan sisi fisik melainkan juga menggambarkan adanya masalah gizi kronis yang dide­rita anak.

Salah satu penyebab langsung stunting disinyalir karena rendahnya asupan pangan yang bergizi yang menyebabkan seorang anak keku­

rangan micronutrient yang dibu­tuhkan tubuh untuk tumbuh dan berkembang.

Oleh karena itu, dalam RPJMN 2010­2014, pemerintah menargetkan angka prevalensi anak pendek dapat menurun yang tadinya 35,6 persen pada 2010 menjadi kurang dari 32 persen pada 2015 nanti.

”Ada beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam mem­

Proyek Seiring Sejalan

Proyek Kesehatan dan Gizi Berbasis Masyarakat yang dilakukan MCA-I dinilai sejalan dengan upaya pemerintah dalam pencegahan stunting.

Purwanta BS-Bappenas

16 Oktober, 2013

Page 17: Majalah Compact Edisi 3

perbaiki gizi balita tersebut, yakni pro­gram penanggulangan masalah gizi dan pemantauan pertumbuhan,” ujar Mohamad Nasir, Ka Subdit Bina Gizi Makro Direktorat Bina Gizi Kemente­ri an Kesehatan Republik Indonesia.

Khusus dalam upaya menurunkan prevalensi anak pendek, kata Nasir, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menggelar

program pemberian Taburia untuk anak berusia 6 bulan sampai 24 bulan.

Menurut Nasir, makanan keluarga sehari­hari pada umumnya kurang mengandung unsur micronutrient. Nah, Taburia ini berfungsi untuk pemenuhan kebutuhan micronutri­ent tersebut dan melalui program ini pula diharapkan dapat mengurangi prevalensi anak pendek.

Taburia yang berisikan 12 vitamin dan 4 mineral ini berbentuk bubuk yang dicampur dalam makanan bayi. ”Taburia tidak berbau, berwarna, dan tidak berasa sehingga tidak mengu­rangi selera makan bayi,” jelasnya.

Namun, lokasi program pembe­rian Taburia oleh Kemenkes diakui Nasir masih terbatas. Kendati begitu, Kemenkes berupaya mendorong pemerintahan kabupaten untuk melaksanakan program serupa agar tidak bergantung pada Kemenkes.

Nasir menyambut baik Proyek Kesehatan dan Gizi Berbasis Masya­rakat yang akan dilaksanakan Mille­nni um Challenge Account­Indonesia (MCA­I). Proyek yang salah satunya akan mengadakan pemberian micronutrient itu dinilai sudah seja­lan dengan upaya pemerintah.

Selain itu, kata Nasir, program Compact tersebut dapat memperluas jangkauan pemerintah dalam upaya pencegahan stunting. ”Kemenkes bersama MCA­I juga sudah bersepa­kat dalam pembagian lokasi, sehingga tidak akan terjadi tumpang­tindih lokasi,” katanya. Keduanya juga telah bersepakat jika lokasi yang akan dibiayai MCA­I tidak akan dibiayai lagi oleh anggaran pendapatan belanja negara (APBN).

Nasir mengharapkan, proyek yang akan dilaksanakan MCA­I itu dapat membantu pemerintah Indonesia dalam upaya memberikan perbaikan gizi pada balita, terutama stunting. Melalui Proyek Kesehatan dan Gizi Berbasis Masyarakat tersebut diha­rapkan pula dapat menghadirkan sebuah model intervensi perbaikan gizi yang lengkap.

”Mudah­mudahan, pemerintah daerah dapat memberikan dukungan penuh terhadap proyek MCA­I ini. Sebab, tanpa adanya dukungan pemerintah daerah rasanya agak sulit untuk mempertahankan keberlang­sungan proyek ini mengingat proyek hanya berjalan selama 5 tahun. Selanjutnya, pemerintah daerah yang melanjutkannya,” tandas Nasir.

n

TABURIA INI BERFUNGSI UNTUK PEMENUHAN KEBUTUHAN MICRONUTRIENT TERSEBUT DAN MELALUI PROGRAM INI PULA DIHARAPKAN DAPAT MENGURANGI PREVALENSI ANAK PENDEK.

Purw

anta

BS-

Bapp

enas

Purw

anta

BS-

Bapp

enas

17Oktober, 2013

Page 18: Majalah Compact Edisi 3

Cover Story

Investasi pada gizi dapat mem­bantu memutus lingkaran kemis­kinan dan meningkatkan PDB suatu negara sebesar 2 hingga 3

persen per tahun. Atas dasar kesada­ran itulah berbagai negara mengge­lorakan Scaling Up Nutrition (SUN)

Movement. Di Indonesia sendiri, SUN Movement diterjemahkan ke dalam Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dengan fokus pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK).

”Gerakan ini merupakan upaya bersama antara pemerintah dan

masyarakat melalui penggalangan partisipasi dan kepedulian pemangku kepentingan secara terencana dan terkoordinasi untuk percepatan perbaikan gizi masyarakat dengan prioritas pada 1.000 HPK,” kata Nina Sardjunani, Deputi Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Perencanaan Pemba­ngunan Nasional.

Penanganan gizi pada seribu hari pertama kehidupan, lanjut Nina, merupakan penanganan kesehatan dan gizi pada fase kehidupan dimu­lai sejak terbentuknya janin dalam kandungan sampai anak berusia dua tahun.

”Upaya ini perlu dilakukan dengan memperkuat implementasi konsep program gizi yang bersifat langsung (spesifik) dan tidak langsung (sensi­tif),” ujarnya.

Menurut Nina, gerakan ini merupa­kan salah satu bagian dari percepatan perbaikan status gizi di Indonesia, terutama untuk menurunkan preva­lensi anak pendek yang masih tinggi. Dan gerakan Nasional 1.000 HPK ini, sejatinya, sudah disosialisasikan di seluruh provinsi.

Sebagai suatu gerakan nasional, Nina mengharapkan agar daerah dapat mengadopsi pelaksanaan gera­kan ini. Sebab, katanya, akan sangat berperan dalam mendukung kualitas sumber daya manusianya.

Saat ini, lanjut Nina, Gerakan Nasi­onal Percepatan Perbaikan Gizi diin­tegrasikan pelaksanaannya ke dalam Rencana Aksi Nasional/Daerah Pang an dan Gizi (RAN/D­PG).

Melalui Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010 tentang Program Pemba­ngunan yang Berkeadilan yang terkait dengan rencana tindak upaya penca­paian tujuan pembangunan milenium (Millennium Development Goals/MDGs) itu diharapkan provinsi juga sudah menyusun RAD­PG.

Dengan demikian, Nina meng­harapkankan akan terjadi penguatan pelaksanaan RAD, sehingga gerakan nasional ini dapat terlaksana.

n

Gerakan Nasional 1.000 Hari Pertama Kehidupan

Gerakan nasional mempercepat perbaikan gizi masyarakat dengan prioritas pada 1.000 hari pertama kehidupan.

Dok.

Bap

pena

s

18 Oktober, 2013

Page 19: Majalah Compact Edisi 3

Kualitas lingkungan tidak hanya berpengaruh langsung terhadap kesehatan masya­rakat, melainkan juga ber­

pengaruh pada perekonomian negara. Dengan timbulnya penyakit yang ditimbulkan dari kondisi lingkung an yang buruk akan menurunkan pro­duktivitas kerja masyarakat yang berimbas pada pendapatan ekonomi masyarakat.

Dalam rangka perbaikan penye­hat an lingkungan, Kementerian Kese­hatan menyusun suatu program yang menyasar pada perubahan perilaku masyarakat terkait kondisi kesehatan lingkungannya.

”Upaya tersebut ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 852/Menkes/SK/IX/2008 tentang Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM),” jelas Direktur Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Wilfried H. Purba.

Menurut Wilfried, penerapan pro­gram STBM itu cukup mendapatkan hasil yang menggembirakan. Praktek perilaku Buang Air Besar di Semba­rang tempat (BABS) turun menjadi 41 persen. Jika pada 2007 masih terdapat 71 juta penduduk yang masih praktek BABS, maka pada 2010 turun menjadi 42 juta penduduk. Selain itu, presentase rumah yang tangga yang mempunyai akses terhadap sanitasi yang layak juga meningkat 12,04 persen.

Sejak STBM digulirkan pada Maret 2011 lalu, kata Wilfried, total keluarga yang membangun jamban tanpa sub­sidi di Kabupaten Timor Tengah Sela­tan, Provinsi Nusa Tenggara Timur saat ini tercatat 1,749 unit. ”Jika setiap

jamban dinilaikan rata­rata Rp 150 ribu per unitnya, maka masyarakat secara tidak langsung sudah berin­vestasi sebesar Rp 262,4 juta dari ranah bidang sanitasi.”

Kesuksesan STBM sebagai gerakan pemicu sanitasi masyarakat itu akan diadopsi pula dalam Proyek Kese­hatan dan Gizi Berbasis Masyarakat Millennium Challenge Account­Indo­

nesia (MCA­I). Wilfried menyambut baik program yang akan dilakukan MCA­I itu. ”Sangat bagus,” katanya.

Sanitasi lingkungan dan pelayanan kesehatan buruk, kata Wilfried, akan menimbulkan pengaruh buruk pada status gizi balita. Karena penyakit infeksi di saluran pencernaan mem­pengaruhi penyerapan gizi balita.

n

Kualitas lingkungan buruk dapat menurunkan kualitas asupan gizi dan akan mengakibatkan anak stunting.

Kesadaran Berinvestasi Sanitasi

Purwanta BS-Bappenas

19Oktober, 2013

Page 20: Majalah Compact Edisi 3

Cover Story

B anyak jalan menuju Roma. Banyak jalan pula untuk menyampaikan pesan. Salah satu cara untuk menyam­

paikan pesan tersebut adalah melalui kampanye. Namun bagaimana cara melakukan kampanye agar pesan itu tepat sasaran, tidaklah semudah mem­balikkan telapak tangan.

”Kampanye menjadi salah satu kendaraan yang paling kuat dalam pelaksanaan Proyek Kesehatan dan Gizi Berbasis Masyarakat ini,” ujar Minarto, Director Community­Base Health & Nutrition Project, Mille nnium Chal­lenge Account­Indonesia (MCA­I).

Menurut pria yang akrab disapa Pak

Min itu, nantinya akan ada dua kelom­pok besar yang menjadi target kam­panye Community­Based Health and Nutrition Project. ”Pertama, yang kita sebut dengan policy makers, seperti bupati, camat, Bappeda, dan lainnya. Nantinya akan ada juga suatu kegiatan yang ditujukan kepada mereka,” jelas­nya.

Kemudian target sasaran yang kedua, lanjut Pak Min, adalah ma sya rakat. Secara spesifik pihaknya akan men­yampaikan pesan mengenai air susu ibu (ASI), makanan pendam ping ASI, imunisasi, gizi mikro, dan sebagainya.

Namun pesan apa yang hendak disampaikan dan lewat media apa,

kampanye Proyek Kesehatan dan Gizi Berbasis Masyarakat itu akan mengacu pada hasil formative research. ”MCA­I akan melakukan penelitian formatif guna memastikan langkah kampanye yang dilakukan benar­benar tepat,” ujarnya.

Sebagai informasi, penelitian for­matif biasa dilakukan pada khalayak sasaran sebelum melakukan kam­panye dilakukan. Tujuannya, untuk memastikan bahwa pesan kampanye, pendekatan kreatif, dan wahana media yang dipilih adalah yang paling efektif.

Oleh karenanya, model kampanye yang nantinya akan diterapkan pada Proyek Kesehatan dan Gizi Berbasis Masyarakat pada saat ini masih terbuka sekali. Namun Pak Min menegaskan bahwa kampanye haruslah dilakukan mengingat pentingnya dalam men­dukung kegiatan supply dan demand yang akan dilakukan Proyek Kesehatan dan Gizi Berbasis Masyarakat ini. n

Bukan Sekadar Kampanye

Tidak hanya kreatif dan efektif, kampanye harus juga tepat sasaran.

Rully Agung-Bappenas

20 Oktober, 2013

Page 21: Majalah Compact Edisi 3

P anik, kesal, senang, sedih, lelah, dan bahagia, bercam­pur jadi sebuah cerita seru yang sangat menarik. Cerita

para ayah muda yang dirangkum dalam buku Catatan AyahASI itu mengungkapkan pengalaman mereka

berjuang bersama istri saat memberi­kan asupan terbaik, air susu ibu (ASI) untuk sang buah hati.

Loh, kok berjuang bersama? Bukankah urusan menyusui itu uru­san ibu? Betul, saat sedang menyusui bayi memanglah urusan sang ibu.

Namun, kondisi psikologis ibu sangat berpengaruh. Dan ini terkait hormon oksitosin atau hormon cinta yang ber­peran besar pada produksi ASI. Ketika ibu merasa nyaman, bahagia, dan tenang, maka oksitosinnya meningkat dan memperlancar produksi ASI.

Di sinilah peran suami dibutuhkan. Di sinilah ayah memainkan perannya sebagai ayah ASI atau breastfeeding father. Suami ikut membuat sang istri senyaman dan sebahagia mungkin agar produksi ASI­nya lancar. Karena itu, tak salah jika mengatakan 50 persen keberhasilan menyusui ada di tangan seorang suami. Butuh kerja­sama, dukungan, dan kesiapan men­tal bukan hanya ibu tapi juga ayah, untuk konsisten dalam memberikan ASI.

Dalam upaya pencegahan anak pendek (stunting), pemberian ASI eksklusif amatlah penting. Pilihan untuk memberikan ASI eksklusif perlu disepakati bersama, terutama dengan suami. Dukungan keluarga, terlebih suami, memberikan motivasi yang akan menumbuhkan emosi posi­tif bagi istri.

Kepedulian ayah (baca: kaum laki­laki) seperti itu juga akan menjadi salah satu bagian penting dari Proyek Kesehatan dan Gizi Berbasis Masya­rakat (PKGBM) yang akan dilakukan Millennium Challenge Account Indo­nesia (MCA­I).

PKGBM MCA­I akan mendorong keterlibatan kaum laki­laki dalam upaya peningkatan kesehatan ibu dan anak. Oleh karena itu, pada setiap pelatihan untuk masyarakat yang diselenggarakan, MCA­I menentukan minimal 30 persen peserta yang hadir adalah laki­laki.

n

Mengentaskan anak pendek bukan cuma tanggung jawab perempuan. Keterlibatan kaum laki-laki juga dibutuhkan.

Kaum Laki-laki Juga Dilibatkan

Dok.

PSF

21Oktober, 2013

Page 22: Majalah Compact Edisi 3

Inside

M anusia itu gudangnya alpa. Setiap rumah tangga saja pasti memiliki catatan perihal keuangan,

apalagi sebuah negara. Makin teratur, rapi dan lengkap catatannya, sebuah pemerintahan lebih mudah dan punya dasar kuat untuk menetapkan beragam kebijakan.

Hibah dari luar negeri salah satu yang perlu mendapat perhatian. Sifat hibah seringkali terlalu cair dan bisa mengalir kapan saja, antar siapa saja, bahkan dalam bentuk apa saja. Karena itu, dalam urusan dengan pemerin­tahan perlu sistem pencatatan. Pen­catatan hibah mengacu pada prinsip transparan, akuntabel, efisien dan efektif, kehati-hatian, tidak disertai ikatan politik, dan tidak memiliki muatan yang meng-ganggu stabilitas keamanan negara.

“Kali ini, mekanisme penerimaan hibah makin dipermudah dan diseder­hanakan sehingga tidak menimbulkan proses birokrasi yang rumit, yang dapat menimbulkan disinsentif bagi calon penerima hibah dan keengga­nan calon pemberi hibah,” kata Robert Pakpahan, Direktur Jenderal Pengelo­

Catat Hibah Laporkan Bantuan

Prinsip pencatatan pengelolaan hibah itu transparan, akuntabel, efisien dan efektif, kehati-hatian, tidak disertai ikatan politik, dan tidak memiliki muatan yang mengganggu stabilitas keamanan negara.

Dok.Pribadi

22 Oktober, 2013

Page 23: Majalah Compact Edisi 3

laan Utang Kementerian Keuangan. Robert menambahkan bahwa semua hibah yang masuk diregistrasikan dan ditatausahakan, serta dicatat dalam APBN.

Salah satu yang baru dalam pen­catatan ini yaitu, sebelumnya hibah harus dialokasikan terlebih dahulu di perencanaan APBN. Sekarang dapat dialokasikan pada APBN tahun berke­naan. “Untuk hibah langsung berupa barang dan jasa tidak perlu peng­alokasian dana dalam APBN, namun dapat disahkan dengan melampirkan dokumen yang diperlukan,” kata Ro bert.

Mekanisme pengelolaan hibah MCC diatur dalam PMK 124/PMK.05/2012, sedangkan tata cara pertanggungjawab an dan pelaporan atas penyaluran dana Hibah MCC berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan No. 191/PMK.OS/2011 ten­tang mekanisme pengelolaan Hibah dan Peraturan Menteri Keuangan No. 230/PMK.OS/2011 mengenai Sistem Akuntansi Hibah.

“Hibah MCC ini diperlakukan sebagai hibah langsung dalam ben­tuk uang untuk membiayai kegiatan, namun dengan dispensasi tidak perlu membuka rekening pemerintah untuk menampung dana hibah tersebut, karena pihak pemberi hibah menya­lurkan dananya langsung kepada vendors,” kata Robert. Lebih jauh lagi pencatatan dan pelaporan hibah

MCC ini sangat mudah sekali, dimana Pejabat Perbendaharaan pada Satuan Kerja Pengelola Hibah MCC membuat Surat Perintah Pengesahan Hibah Langsung (SP2HL) kepada Kepala KPPN Khusus Jakarta VI. Kemu­dian Kepala KPPN mengesahkan/mencatat realisasi hibah belanja barang/jasa yang dibiayai oleh hibah tersebut. Tambahan lagi, PMK 124/2012 juga mengatur tata cara pertanggungjawab an dan pelaporan atas penggantian di bidang pajak dan/

atau kepabeanan dalam pelaksanaan Program Hibah MCC.

“Terkait pengawasan, Direktur Jenderal Pengelolaan Utang bersama anggota MWA yang lain bertugas melakukan pengawasan, peng­arahan dan pembuatan keputusan MCA­Indonesia agar pelaksanaan keseluruhan Program Compact sesuai dengan Compact, PIA dan perjanjian tambahan lainnya (Supplemental Agreement) dan rencana yang telah disusun,” kata Robert. Tugas MWA lain adalah mengawasi, memonitor, mengevaluasi, dan memberi arahan kepada Unit Pelaksana Program. Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang bersama dengan instansi ter­kait lain juga melakukan registrasi, pencatatan dan pengesahan hibah. Hal ini salah satu unsur pengawasan terhadap realisasi penerimaan dan sekaligus belanja APBN yang dibiayai dengan hibah.

Pencatatan dan pelaporan segala bentuk hibah dan bantuan merupa­kan bukti sikap bertanggungjawab dan kemauan menjaga trust diantara pihak pemberi dan penerima hibah. n

Proses Pengesahan Hibah Langsung Program MCC Compact

Vendor/Kontraktor/Konsultan

MCA-Indonesia US. Treasury PPKSatker Hibah MCC

PP-SPM/PP-SP2HLBappenas

KPPN VIKemenkeu

Mengacu pada PMK 191/2011

Verifikasi Invoicedan Permintaan

PersetujuanPembayaran oleh

Fiscal Agent

PersetujuanPembayaran

oleh Dir.Keuangan

ProsesPembayaran

CPS

PenyusunanDokumen

Invoice

ProsesPenyusunan

SP2HL berdasarkanCPS per minggu dan

kontrol laporanbulanan

Verifikasi danPenandatanganan dokumen

SP2HL

PencatatanPenyerapan Hibah

SPHL

Penerimaan dan PenyimpananDokumen SPHL

PenyimpananCopy dokumen

SPHL

Invoice

Form Hasil Verifikasi danPermintaan Persetujuan

Pembayaran

PengajuanPermintaan

Pembayaran KeUS Treasury Oleh

Fiscal Agent

Transfer $RekeningPihak Ke-3

Penyimpanan CPSDan Pembuatan Laporan

Bulanan olehFiscal Agent

SP2HL

CPS : Common Payment SystemSP2HL : Surat Perintah Pengesahan Hibah LangsungSPHL : Surat Pengesahan Hibah LangsungPPK : Pejabat Pembuat KomitmenPP-SPM : Pejabat Penandatangan Surat Perintah MembayarPP-SP2HL : Pejabat Penandatangan Surat Perintah Pengesahan Hibah LangsungKPPN : Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara

2 Hari 3 Hari2 Hari

PENCATATAN DAN PELAPORAN SEGALA BENTUK HIBAH DAN BANTUAN MERUPA­KAN BUKTI SIKAP BERTANGGUNGJAWAB DAN KEMAUAN MENJAGA TRUST.

23Oktober, 2013

Page 24: Majalah Compact Edisi 3

InsideInside

Janji Bima di Program Compact

Purw

anta

BS-

Bapp

enas

Purw

anta

BS-

Bapp

enas

24 Oktober, 2013

Page 25: Majalah Compact Edisi 3

K alau diringkas, Bima itu hanya satu kata yaitu berin­tegritas. Apa yang diucapkan, itulah yang dilakukan. Apa

yang dituju, itulah yang diperjuangkan. Alkisah, dalam perjalanan mencari Air Suci, tokoh wayang di Mahabarata ber­nama Bima ini tak gentar dihadapkan pada dalamnya samudra, dan menju­langnya gunung­gunung. Bahkan bila perlu bertarung dengan ular raksasa. Mentalnya tak kendor sedikitpun.

Kegigihan, semangat pantang mundur, kejujuran dan sepakterjang­nya benar mencari kebenaran sejati mendapatkan respek. Tak hanya dari saudara sekandung, tetapi khayangan pun menaruh respek dan hormat padanya. Semangat itulah yang tam­paknya hendak dikembangkan oleh seluruh jajaran pengampu program Compact, yaitu Trust, Transparant, Integrity, dan Professional.

Empat nilai di atas yaitu Trust, Transparant, Integrity dan Profe ssional itu sudah diuji sepanjang zaman. Entah lembaga, badan, organisasi atau pun orang pasti menuai banyak hal baik bila mengembangkan tiga hal itu. Setiap karya bila dikembangkan dari kepercayaan dan integritas selalu menjadi berkat bagi banyak orang. Keempat nilai itu memang pantas jadi pondasi program Compact.

Nilai itu juga dipilih menjadi lan­dasan setiap kegiatan yang disokong oleh program Compact. Artinya masyarakat, orang atau lembaga yang terlibat, terkait, apalagi mendapat sokongan dana dari program, wajib layak dipercaya, menjaga kepercayaan, mematuhi prinsip dan aturan yang ada, serta yang tak kalah penting bekerja berdasarkan kinerja yang terukur.

Semangat empat hal itu penting tidak hanya dalam kelancaran pelaksa­naan program saja, namun jauh lebih penting lagi yaitu akan menjadi dasar nilai keberlanjutan. Program Compact

tidak akan selamanya hadir, namun beragam kegiatan dirancang supaya langgeng dan menghasilkan sekalipun program sudah berhenti secara formal.

Trust, Transparant, Integrity, dan Professional merupakan bekal yang kokoh untuk membentuk organisasi yang dapat dipercaya untuk menge­lola amanah. Salah satu cerminannya yaitu dalam proses pembentukan Majelis Wali Amanat (MWA). Wakil dari Pemerintah dipilih karena tugas pokok dan fungsinya, sedangkan wakil

dari kalangan swasta, akademisi dan kelompok organisasi masyarakat sipil dipilih dengan proses yang transparan, obyektif, tidak diskriminatif dan akun­tabel. Pemilihan dilakukan oleh komu­nitasnya masing­masing sehingga anggota MWA yang duduk di MCA­In­donesia benar-benar merefleksikan keinginan konstituen. Demikian juga personil yang ditugaskan di Tim Pelaksana Program. Setiap orang akan bersaing secara terbuka untuk dapat menempati posisi­posisi didalam Tim Pelaksana Program.

Apa yang diterapkan dalam pelak­sanaan program Compact bukan hal baru. Hal yang sama juga diterapkan

MCC sebagai pemberi hibah kepada penerima hibah. Setiap penerima hibah harus bisa mengembangkan Good Governance, Country Ownership, Focus on Results, and Transparancy.

Salah satu pusatnya ada di Good Governance. Hal ini terwujud karena adanya keterbukaan dan kemampuan meraih hasil konkrit yang berdampak positif bagi sebanyak mungkin ma sya­rakat. Nah, dampak positif itulah yang nantinya memunculkan rasa kepemi­likan. Kalau ada kepemilikan tentu ada tanggungjawab dan keinginan untuk merawatnya supaya awet, berlanjut dan berumur panjang.

Di atas kertas, mudah sekali meng­gambarkan beragam buah positif yang

bisa dihasilkan dari penerapan prinsip Trust, Integrity, and Professional. Pada penerapannya tentu tidak semu­dah membolak­balik telapak tangan. Namun, menetapkan dan meng­umumkan sebuah janji layak mendapat apresiasi. Sebuah ketetapan hati layak mendapat angkatan topi. Sama seperti Bima yang harus berperang dengan ular saat mencari air suci, tampaknya perjalanan MCA­Indonesia juga tidak bisa berlenggang kangkung saja. Seperti Bima yang berhasil, harapan­nya para punggawa Compact juga mendapatkan respek dari khayangan pula karena mampu menepati janji sucinya. n

Good Governance bisa terjadi bila adanya keterbukaan dan kemampuan meraih hasil konkrit dan berdampak positif bagi masyarakat.

Rully Agung-Bappenas

25Oktober, 2013

Page 26: Majalah Compact Edisi 3

InsideInside

Nafsiah Mboi

Komitmen Pemerintah Daerah untuk Keberlangsungan Program

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nafsiah Mboi menyambut baik program Compact. Namun, ia memberikan catatan khusus, terutama soal komitmen daerah.

Purwanta BS-Bappenas

26 Oktober, 2013

Page 27: Majalah Compact Edisi 3

Upaya perbaikan gizi masya­rakat, sejatinya, telah sejak lama dilakukan pemerintah. Namun, hingga saat ini

masalah gizi masih terus menjadi perhatian pemerintah. Beberapa tar­get Millennium Development Goals (MDGs) di bidang kesehatan yang hendak dicapai masih membutuhkan usaha yang lebih keras lagi.

Namun Menteri Kesehatan RI Nafsiah Mboi optimistis pemerintah dapat menuntaskan permasalahan gizi. ”Namun jangan hanya berharap pada pemerintah. Masyarakat perlu juga merubah perilakunya,” kata Naf­siah saat menerima redaksi Compact beberapa waktu lalu di kantornya.

Dokter spesialis anak itu juga mengungkapkan perbaikan gizi amat dibutuhkan untuk menekan preva­lensi anak pendek (stunting). Dalam kesempatan itu, Nafsiah memberi­kan catatan penting untuk program Compact yang akan dilakukan Mille­nnium Challenge Account­Indonesia (MCA­I). Apa saja catatan itu? Berikut petik an wawancaranya.

Apa yang menjadi perhatian

pemerintah dalam bidang kese-hatan saat ini?

Terkait dengan MDGs dan Ren­cana Pemerintah Jangka Menengah Nasional (RPJMN), terutama di

bidang kesehatan, masih ada target yang belum sesuai harapan. Angka kematian ibu dan anak masih relatif cukup tinggi. Selain itu, angka yang terjangkiti HIV masih meningkat. Ini yang masih diperlukan kerja keras. Kita juga ingin menekan gizi buruk dan stunting secepatnya.

Karena gizi buruk, apalagi stunting, sangat berpengaruh pada kualitas anak. Kita ingin mengupayakan agar tidak ada lagi muncul kasus stunting baru.

Bukankah penanganan masa-lah gizi sudah sejak lama men-jadi perhatian pemerintah?

Benar. Penanganan gizi buruk sudah dilakukan sejak lama. Dulu, ada yang namanya upaya perbaikan gizi masyarakat. Ada bermacam­ma­cam upaya intervensi yang dilakukan pemerintah.

Namun semenjak adanya otonomi daerah, yang diharapkan masalah penanganan gizi berlangsung baik, justru kenyataannya tidak demikian. Masih ada pemerintah daerah yang kurang fokus pada investasi manusia, seperti perbaikan gizi. Kurang diper­hatikan, bahkan terlantar.

Karena semata faktor oto-nomi?

Antara lain karena otonomi dae­rah. Tentu ada penyebab lainnya, ketimpangan pendapatan asli dae­rah. Kemudian juga prioritas pem­

bangun an antar­daerah yang berbe­da­beda.

MCA-I akan melaksanakan Program Kesehatan dan Gizi Berbasis Masyarakat yang ber-tujuan untuk mengurangi stun-ting. Komentar Anda?

Saya menyambut baik program Compact. Karena Indonesia terlalu luas. Anggaran dan kaki tangan yang kita miliki mungkin kurang dapat menjangkau seluruh Indonesia. Oleh karena itu, dengan adanya program Compact yang dilakukan MCA­I ini, dengan tujuan yang sangat fokus, terutama penanganan gizi buruk dan stunting, kami berharap angka stunting dapat cepat turun. Terus terang, kami di Kementerian Keseha­tan Republik Indonesia sangat positif menanggapi kegiatan MCA­I itu.

Harapan lain?Tentunya saya mengharapkan

program ini dapat benar­benar dimanfaatkan oleh masyarakat, sehingga setiap sen yang dikeluarkan dimanfaatkan secara optimal. Kedua, tidak tumpang tindih dengan pro­gram yang ada. Tapi terintegrasi dan terkoordinasi dengan baik. Ketiga, sustainability. Soal keberlangsungan program ini.

Saya berharap ada komponen dalam program jika pemerintah daerah harus membuat suatu komit­men bahwa setelah program MCA­I selesai, maka harus ada anggaran dalam APBD (anggaran pendapatan dan belanja daerah) mereka untuk melanjutkan program Compact itu. Harus ada exit strategy. n

SAYA MENYAMBUT BAIK PROGRAM COMPACT. KARENA INDONESIA TERLALU LUAS. ANGGARAN DAN KAKI TANGAN YANG KITA MILIKI MUNGKIN KURANG DAPAT MENJANGKAU SELURUH INDONESIA."

Purw

anta

BS-

Bapp

enas

27Oktober, 2013

Page 28: Majalah Compact Edisi 3

Inside

H anya ada dua hal yang pasti dalam hidup, yaitu mati dan pajak. Segala benda, kegiatan, orang, atau badan

hukum kena pajak. Wong menyan­tap makanan di restoran saja ada pajaknya, apalagi kegiatan yang bisa menambah penghasilan dan ber­dampak ekonomi luas.

Bila demikian, apakah dana hibah

juga kena pajak? Hibah itu haki­katnya semacam sumbangan dan penerima hibah bisa menggunakan sesuai peruntukan tanpa memikirkan pengembalian. Program Compact juga hibah. Apakah dipungut pajak? Jawabannya ada dispensasi pemba­yaran pajak yang telah diatur secara rinci dalam tata aturan yang ada. Prin­sipnya pemerintah telah menetapkan

program yang didanai dari hibah dan pinjaman mendapat fasilitas pajak.

Paling tidak sekarang ada 14 jenis fasilitas pajak yang diminta Compact dan telah diatur di PIA. Ada juga pene­tapan pihak­pihak yang mendapatkan pembebasan pajak. Salah satunya bebas pajak bagi pihak ketiga/kontrak­tor tingkat pertama, tingkat kedua dan yang menjadi pelaksana serta dikon­trak MCA­Indonesia, termasuk indi­vidu warga negara asing yang bersta­tus wajib pajak luar negeri dan bekerja untuk program Compact. Untuk pem­belian barang dari luar ne geri untuk keperluan pelaksanaan program juga dapat fasilitas kepabeanan.

Ada fasilitas pengganti pembayaran pajak dalam program Compact. Lan­dasan hukumnya adalah PMK 124/PMK 05/2012. Dalam peraturan itu disebut­sesuai PMK ada empat jenis pajak sesuai pasal 20, dan pasal 19 ten­tang orang/lembaga yang mendapat­kannya. PPN dan Pajak Penghasilan Badan Usaha ditanggung pemerintah. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) akan mengganti pajak yang terbayar kepada P­3 dengan dana rupiah murni melalui dana DIPA Satker Pengelola Hibah MCC.

Peraturan pajak daerah juga akan memberikan fasilitas pajak. Contohnya provinsi/kabupaten lokasi starter GP sudah menerbitkan Peraturan Gubernur/Bupati dalam memberikan fasilitas, yaitu Provinsi Jambi, Provinsi Sulawesi Barat, Kabupaten Merangin, Kabupaten Mamasa, Kabupaten Muaro Jambi, Kabupaten Mamuju.

n

Pajak dan Kepabeanan Itu Wajib, Compact Ada Dispensasi

Pihak ketiga/kontraktor tingkat pertama, tingkat kedua dan yang menjadi pelaksana dan dikontrak MCA-Indonesia bebas pajak.

Waw

an H

erya

wan

-MCI

-Bap

pena

s

Vero Ardianto-Bappenas

28 Oktober, 2013

Page 29: Majalah Compact Edisi 3

Event

S etelah melalui proses kajian dan diskusi panjang, akhirnya MCA­Indonesia dan Lem­baga Kebijakan Pengadaan

Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), sepakat menandatangani Implemen­ting Entity Agreement (IEA) untuk Program Modernisasi Pengadaan di Ruang SG5 Gedung Bappenas, Sabtu (24/8/2013). Penandatanganan ini

dilakukan oleh Sekretaris Utama LKPP, Eiko Whis­mulyadi dengan Direktur Eksekutif MCA­Indone­sia, J.W. Saputro dan disaksikan oleh Wakil Menteri Negara Peren­canaan Pembangunan N a s i o n a l / B a p p e n a s selaku Ketua Majelis Wali Amanat MCA­Indone­sia, Lukita D. Tuwo dan

Kepala LKPP, Agus Rahardjo. IEA ini berisi mekanisme kerja dan tanggung jawab antara MCA­Indonesia dan mitra kerjanya yaitu LKPP dalam melaksanakan Proyek Modernisasi Pengadaan.

Dengan ditandatanganinya IEA ini maka MCA­Indonesia dan LKPP telah mempunyai satu payung yang men­dasari pelaksanaan kegiatan Proyek

Modernisasi Pengadaan dengan meng­gunakan dana hibah Compact sebesar USD 50 juta selama 5 tahun, terhitung mulai tahun 2013 hingga 2018.

Kegiatan utama yang akan dilak­sanakan dalam Proyek Modernisasi Pengadaan mengembangkan fungsi pengadaan dengan meningkatkan kapasitas dan profesionalisasi fungsi pengadaan dan mendukung pengem­bangan kebijakan dan prosedur untuk Kerjasama Pemerintah Swasta (Public Private Partnerships, "PPP") dan peng adaan yang keberlanjutan (Sus­tainable Public Procurement, “SPP”).

Harapannya dengan ditandata­nganinya IEA ini, kerjasama antara MCA­Indonesia dan LKPP dalam proses implementasi Proyek Mo derni­sasi Pengadaan dapat terlaksana den­gan baik, sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan yaitu melakukan efisiensi dan penghematan biaya pe ng-adaan barang dan jasa pemerintah, dengan tetap menjamin terpenuhinya kualitas barang dan jasa.

n (LM/DE)

LKPP dan MCA-I Tandatangani IEA Program Modernisasi Pengadaan

MCA­Indonesia diwakili oleh J.W Saputro selaku Direktur Eksekutif menandatangani nota

kesepahaman untuk Proyek Kemak­muran Hijau dengan PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) (PT SMI), PT Indonesia Infrastructure Finance (PT IIF), dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI). Penandatanga­nan dilakukan di Gedung Bappenas, Rabu (24/7) disaksikan langsung oleh Wakil Menteri Perencanaan Pemba­ngunan Nasional/Bappenas selaku Ketua Majelis Wali Amanat, Lukita Dinarsyah Tuwo beserta Anggota Majelis Wali Amanat lainnya, Rach­mat Gobel dan Robert Pakpahan.

Penandatanganan nota kesepahaman bertujuan untuk lebih mengeratkan kerja sama dengan lembaga pembiayaan yang ada dalam memfasilitasi mekanisme pembiayaan Kemakmuran Hijau (Green Prosperity Financing Facility). “Nota kesepa­haman ini juga dimaksudkan untuk mempercepat proses mekanisme penya luran hibah khusus untuk Proyek Kemakmuran Hijau” jelas Saputro.

Nota kesepahaman yang ditandatan­gani oleh Emma Sri Martini mewakili PT SMI, Kartika Wirjoatmodjo mewakili PT IIF dan Sutarno mewakili BRI, diharapkan akan menjadi pintu

untuk kerja sama yang lebih erat dalam operasional dan investasi fasilitas pen­danaan Proyek Kemakmuran Hijau dengan pihak sponsor proyek.

PT Sarana Multi Infrastruktur (Per­sero), PT Indonesia Infrastructure Finance, dan PT Bank Rakyat Indone­sia (Persero) Tbk. dinilai telah memi­liki pengalaman dalam pendanaan proyek energi terbarukan, seperti pembiayaan pada pengembang an lapangan geothermal di beberapa lokasi. n (LM/DE)

MCA-I Tandatangani Nota Kesepahaman dengan PT SMI, PT IIF dan PT BRI

Vero Ardianto-Bappenas

Purw

anta

BS-

Bapp

enas

29Oktober, 2013

Page 30: Majalah Compact Edisi 3

S etelah tiga bulan tak bersua, perlu kesempatan untuk duduk bersama, bertemu muka, memaparkan gagasan,

menggelar rencana kerja, serta berdis­kusi, berdebat dan mengkaji kembali konsep program Green Prosperity (GP). Selama dua minggu, rombong an MCA­I bertemu langsung dengan semua mitra kerjanya di MCC, sebagai pihak pemberi donor untuk memasti­kan bahwa perkembangan, perenca­naan, dan pelaksanaan program GP sesuai dengan kaidah­kaidah baku MCC yang juga berlaku di seluruh ne gara yang dibantu oleh MCC. Intinya adalah, memastikan MCC

Green Prosperity

Di Amerika GP Bertemu

“MCC itu lembaga besar, jadi ada bagian hukumnya, bagian lingkungan, ahli keuangan, ahli gender, unit kepatuhan prosedur (compliance), dan banyak lagi bidangnya. Semuanya bertemu dalam satu pleno guna membahas program GP MCAI”.

Sigit Widodo-MCA-I

30 Oktober, 2013

Page 31: Majalah Compact Edisi 3

dan MCAI berjalan seiring, segendang sepenarian.

“MCC itu lembaga besar, jadi ada bagian hukumnya, bagian lingkung an, ahli keuangan, ahli gender, unit kepatuhan prosedur (compliance), dan banyak lagi bidangnya. Semuanya bertemu dalam satu pleno untuk mem­bahas program GP MCAI. Jadi ma ­sing­masing ‘menguji’ kita dan mem­beri masukan sesuai kompetensinya,” kata Budi Kuncoro, Direktur Program Green Prosperity, MCAI. Program GP yang ada di Indonesia mendapatkan apresiasi karena dinilai inovatif dan berhasil merumuskan bagaimana program ‘Green’ dan ‘Prosperity’ itu. Jadi tidak hanya sekadar proyek mem­bangun jembatan, jalan dan sarana infrastruktur lainnya sebagaimana umumnya program MCC. Program yang terintegrasi antara sektor renew­able energy dengan pertanian dan kehutanan menyentuh banyak aspek ekonomi dan sosial masyarakat serta kelestarian lingkungan, hal ini yang membuat GP berbeda dengan pro­gram Compact di negara lain.

Dari pertemuan dua minggu di Amerika, mulai 26 September hingga tanggal 6 Oktober, ada beberapa rekomendasi yang layak dibagikan. Tiga hal pokok, yaitu pertama penam­bahan kabupaten baru; kedua me ru­muskan skema pendanaan; ketiga

mendiskusikan lembaga keuangan calon mitra pembiayan.

Kalau dalam bentuk grant bagaimana skema dan mekanismenya. Begitu juga yang pembiayaan (komer­sil), seperti apa skemanya. Tetap ada dua jenis pembiayaan yaitu hibah (grant) dan pembiayaan (komersil). Alokasinya fleksibel dan situasional. Opsi­opsi skema pembiayaan juga dipertajam. Apakah joint financing atau yang lainnya. Seperti apa aturan dan mekanisme yang mau diterapkan.

Setelah rombongan MCAI ke Amerika memaparkan pelaksanaan program, pihak MCC juga datang ke Indonesia selama dua minggu (tang­gal 10­24 September) untuk menin­dak­lanjuti, melihat kondisi di lapa­ng an dan bertemu langsung dengan semua calon mitra potensial GP; guna memastikan bahwa apa yang sudah diputuskan akan bisa dijalankan di lapangan. Kegiatan kunjungan ini satu rangkaian dengan GP Summit. Hasil­nya, keluarlah yang dinamakan Aide Memoire, dokumen resmi yang men­catat materi dan hasil­hasil diskusi (notulensi) serta kesepakatan akan langkah­langkah ke depan. Sebagai tindak lanjut aide memoire itu, tim GP membuat rencana kerja, rencana pengadaan (procurement plan) dan anggaran (budget) untuk 2 kuartal yang akan datang.

Dalam rencana kerjanya, beberapa hal konkrit yang bisa dibagikan yaitu acuan waktu seleksi daerah baru. “Ada dua fase digelar mengingat banyaknya daerah yang bisa menjadi calon proyek GP. Fase pertama diharapkan selesai akhir Desember 2013, fase kedua pada akhir quartal I 2014, yaitu seki­tar akhir April 2014,” katanya. Budi menambahkan, skema pembiayaan dan hibah juga direncanakan selesai akhir Desember.

GP Summit memang jadi kesem­patan berharga untuk MCAI dan MCC guna menyamakan beragam gagasan dan menyatukan langkah dalam menerjemahkan konsep GP mengacu pada referensi yang sama (Compact Agreement). “Kita sedang merancang deliverables (hasil)yang konkrit. Apa yang akan dicapai pada saat program Compact berusia setahun pada tanggal di 1 April 2014 yang akan datang ” kata Budi.

Program GP adalah bagian yang mendapatkan porsi terbesar dalam dana hibah Indonesia Compact. Tang­gung­jawab dan dampaknya terhadap kesuksesan seluruh Program Compact sangat vital. Untuk itu, niat baik dan rencana yang matang, wajib dikawal secara bersama­sama oleh MWA, MCAI, MCC maupun Pemerintah Indonesia. n

GP SUMMIT MEMANG JADI KESEM­PATAN BERHARGA UNTUK MEMAS­TIKAN BERAGAM LANGKAH DAN PENERJEMAHAN KONSEP.

Sigit Widodo-MCA-ISi

git W

idod

o-M

CA-I

31Oktober, 2013

Page 32: Majalah Compact Edisi 3

Procurement Modernization

Apapun bentuk perjalanannya, yang wajib diperhatikan, yaitu seperangkat penunjuk arah. Lewat sejumlah rangkaian

penanda itulah, seorang bisa menilai

sendiri, apakah rutenya lebih pendek atau lebih jauh dari tujuan. Bahkan, tanda bisa memberitahukan seberapa melencengnya jalur yang sekarang di tempuhnya.

Perjalanan ini, tidak hanya untuk orang. Organisasi atau lembaga juga tumbuh, berkembang dan melaku­kan pengembaraan menuju tempat yang diinginkan pendirinya. Itulah mengapa, organisasi yang baru saja dibentuk, membutuhkan rambu lebih banyak dan terinci.

Perjalanan LKPP (Lembaga Kebija­kan Pengadaan Barang Jasa Pemerin­tah) untuk menjadi organisasi strategis dalam menekan segala bentuk kebo­coran anggaran belanja pemerintahan bidang pengadaan dan lelang, men­jadi perhatian banyak pihak. Termasuk MCA Indonesia dengan serangkaian programnya. LKPP itu strategis.

Bagaimana Program Com­pact­MCA­Indonesia yang mengelola

Batu Penanda di Rute LKPP

Dua sasaran besar program PM yaitu mendampingi LKPP untuk pengembangan kelembagaannya, lalu peningkatan kapasitas orang-orang yang mengisinya.

32 Oktober, 2013

Page 33: Majalah Compact Edisi 3

bantuan hibah dari MCC ini mewu­judkan rencana itu? MCA­Indone­sia dengan Program Procurement Mo derni zation, (PM) ­ Compact, mengambil posisi sebagai mitra dalam usaha melahirkan sebanyak mungkin LKPP yang berkualitas dalam per­caturan pelelangan dan pengadaan barang di Indonesia.

Dua sasaran besar program PM yaitu mendampingi LKPP untuk pengembangan kelembagaannya, lalu peningkatan kapasitas orang yang mengisinya. Compact memberikan seperangkat rambu yang diberi nama Maturity Model. Rambu­rambu ini memandu pengkajian dan rujukan rekomendasi langkah yang diperlukan.

Desainnya adalah, setiap LKPP diajak melihat dirinya dan menilai

sudah berada di taraf kematangan seperti apa. Lalu akan keluar bebe­rapa rekomendasi. Rekomendasi yang ujungnya peningkatan kapasitas sumber daya manusia, program PM membantu LKPP dengan serangkaian pelatihan. Artinya untuk saat ini pro­gram PM memang tidak ditujukan penambahan infrastruktur di LKPP. Salah satu kegiatan paling dekat ada­lah mendampingi setiap LKPP untuk membuat road map. Intinya, LKPP diminta merumuskan wujud organi­sasi sematang apa dalam kurun waktu tertentu.

Sampai dengan Oktober 2013 ini, ada beberapa langkah penting yang dibuat. Salah satunya yaitu ditan­datanganinya Implementing Entity Agreement (IEA) antara MCA­Indo­

nesia dengan LKPP. Penandatanganan ini penting karena menjadi landasan program bersama kedua belah pihak tersebut. Dengan kata lain, program mentoring dan pelatihan yang ber­tujuan pengembangan LKPP seturut Maturity Model sudah bisa ber­jalan. Salah satu isi kesepakatan itu, MCA­Indonesia bertanggungjawab menyediakan dana dan merekrut konsultan pelaksana, sedangkan LKPP bertanggungjawab mengorganisir pelaksanaan agar se suai dengan arah pengembangan ULP yang ada.

Perkembangan lainnya, MCA­In­donesia telah merekrut kurang lebih 40 persen konsultan untuk memper­siapkan proses pendampingan pro­gram. LKPP juga sudah membuat Tim Pengarah yang berisi pejabat setingkat eselon satu, Technical Management

Team (TMT) berisi pejabat eselon dua dan, staf pendukung (TMT) untuk melengkapi pelaksanaan program. Dengan demikian bisa dipastikan baik MCA­Indonesia dan LKPP telah menyiapkan struktur, sumberdaya orang, dan kelengkapan penting untuk segera memulai langkah pembentukan peta jalan ULP, dan selanjutnya diikut dengan pengkajian diri seturut Matu­rity Model.

Untuk pelaksanaan terdekat, Com­pact telah memilih 30 ULP percon­tohan program PM. Bagaimana hasil, dampak dan ke­efektifan­nya masih belum bisa dilihat. Di atas kertas tam­paknya begitu cerah. Sudah ada peta, rambu dipasang, dan pengatur lalu lin­tasnya. LKPP tinggal mengendalikan kemudi. Have a nice journey.

n

DUA SASARAN BESAR PROGRAM PM YAITU MENDAMPINGI LKPP UNTUK PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN­NYA, LALU PENINGKATAN KAPASITAS ORANG YANG MENGISINYA. COM­PACT MEMBERIKAN SEPERANGKAT RAMBU YANG DIBERI NAMA MATU­RITY MODEL.

Vero

Ard

iant

o-Ba

ppen

as

33Oktober, 2013

Page 34: Majalah Compact Edisi 3

Procurement Modernization

Dinanti Lahirnya Srikandi Lelang

Tujuan utama Gender Vendor Survey di LKPP untuk mencari lebih teliti hambatan berbasis gender di bidang pengadaan barang dan jasa. Keterlibatan

perusahaan perempuan itu strategis.

Vero Ardianto-Bappenas

Purw

anta

BS-

Bapp

enas

Satria Raharja-Bappenas

34 Oktober, 2013

Page 35: Majalah Compact Edisi 3

Apa yang tadinya dianggap hanya perkiraan dan ang­gapan, kini sudah mulai tersibak, yaitu perempuan

memang benar­benar tersisih dalam urusannya dengan pengadaan barang dan jasa di lingkup pemerintahan. Survei digelar sejak November 2012 hingga Februari 2013 melibatkan 406 perusahaan milik perempuan dan laki­laki. Data berhasil dihimpun dan dianalisis, salah satu yang mence­ngangkan hanya lima persen perusa­haan milik perempuan yang menjadi penyedia barang dan jasa. Artinya, dari 100 perusahaan hanya seujung kuku saja.

Sementara itu, komitmen peme­rintah jelas­jelas menyebutkan proses pengadaan itu non­diskriminatif (Keputusan Presiden No. 54/2010). Melihat begitu timpangnya keter­libatan perusahaan perempuan, pertanyaan dasarnya apa yang sesung­guhnya terjadi dan bagaimana lang­kah yang perlu diambil. Pertanyaan

ini penting untuk dicari jawabannya. Salah satunya karena jumlah perem­puan lebih banyak dari laki­laki.

Tujuan utama Gender Vendor Sur­vey di LKPP ini untuk mencari lebih teliti hambatan­hambatan berbasis gender yang dihadapi perusahaan yang ingin berpartisipasi dalam pengadaan barang dan jasa dan mengidentifikasi tindakan pokok yang dapat membantu dan meningkatkan kemampuan, baik perusahaan milik perempuan ataupun laki­laki.

Program Compact di Procurement Modernization (PM) mendorong secara penuh keterlibatan perempuan dalam setiap kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintahan. Ala­san strategisnya, perusahaan milik perempuan menunjukkan potensi yang tinggi mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia dan secara khusus meningkatkan peluang kerja bagi pe rempuan lain. Kenapa demikian? Salah satunya perusahaan milik pe rempuan cenderung merekrut tenaga kerja perempuan lain. Dengan tingkat partisipasi angkatan kerja bagi perempuan Indonesia sebanyak 45 persen, ini seharusnya menjadi per­timbangan pemerintah.

Temuan riset memang jadi bahan penting untuk menentukan langkah selanjutnya. Beberapa rekomendasi

sudah keluar. Tujuannya membuka, dan memberi kesempatan lebih luas kepada perusahaan milik perempuan.

Kepada LKPP dan institusi peme­rintah terkait, diharapkan segera meng adopsi definisi formal peru­sahaan milik perempuan. Setelah definisi formal disepakati, langkah selanjutnya harus memasukan dalam sistem data yang dapat melacak akses terhadap peluang kontrak pemerin­tah, dengan pembagian jenis kelamin pemilik perusahaan. Lalu data itu dimasukkan pada aplikasi penyedia berkala dan dilaporkan oleh badan yang relevan, seperti ULP atau instansi pemerintah pengadaan barang/jasa.

Sedangkan langkah mengatasi ke­senjangan informasi, perlu cara khu­sus supaya perusahaan perempuan mendapatkan akses informasi yang sepadan. Harapannya, kecukupan informasi mendorong keterlibatan perusahaan perempuan.

Langkah yang lumayan ampuh untuk mendongkrak lahirnya Srikandi di bidang pelelangan lainnya yaitu menghubungkan perusahaan besar dengan UKM. Banyak perusahaan pe rempuan yang bergerak di sektor UKM, dan berkantor di perumahan. Kalau akses pada UKM diperbesar tentu efek ekonominya berlipat.

Nah, rekomendasi selanjutnya memfasilitasi dialog yang berkelan­jut an dan hubungan formal antara perusahaan milik perempuan dan asosiasi bisnis perempuan dan badan pemerintah, termasuk ULP. Peran asosiasi sangat penting. Hasil survei memaparkan keterlibatan perusa­haan perempuan sangat rendah di asososiasi terkait. Hal ini membuat perusahaan perempuan tidak terlalu mendapatkan dukungan dan bantuan dari anggota asosiasi lainnya.

Srikandi bisnis masih jadi barang langka di Indonesia. Kalau toh ada skala bisnisnya kecil­kecil dan tidak bisa bertarung melawan pemain­pe­main besar dan berpengalaman. Pada­hal, Indonesia, secara umum merindu­kan lahirnnya para Srikandi ini.

n

LANGKAH YANG LUMAYAN AMPUH UN­TUK MENDONGKRAK LAHIRNYA SRIKAN­DI DI BIDANG PELELANGAN LAINNYA YAITU MENGHUBUNGKAN PERUSAHAAN BESAR DENGAN UKM.

Aang

Sut

isna

-Kon

sulta

n M

CC

35Oktober, 2013

Page 36: Majalah Compact Edisi 3

Health & Nutrition

S eandainya semua vaksin, obat dan vitamin cukup disimpan dalam kardus, tentu tak akan pusing para pengelola pus­

kesmas, dan puskesmas pembantu (Pustu), polindes di daerah terpencil. Sayangnya, tak ada lemari pendingin, rusaklah semua bahan­bahan pentingi itu. Kalau tidak ada listrik, bagaimana bisa ada lemari pendingin.

Memang betul, listrik bukanlah kebutuhan vital yang langsung mem­pengaruhi hidup dan mati seseorang pada hidup sehari­hari. Tarohlah, orang di daerah pelosok masih bisa bertahan hidup meski tidak mendapat

aliran listrik. Namun, itu masih sebatas bertahan hidup. Kalau mau berkualitas, penggunaan listrik salah satu indikatornya. Indokator lebih tinggi lagi, seberapa banyak listrik yang digunakan untuk memasok pusat kesehatan. Jadi sekalipun bukan kebutuhan mendasar, listrik merupakan pendukung utama terca­painya kebutuhan dasar.

Saat ini, di negara seperti Indo­nesia, saking minimnya pasokan listrik, penggunaannya masih fokus pada penerangan. Belum sampai ke pengembangan hidup lebih produktif dan peningkatan kesejahteraan.

Pada Setrum Pustu Bergantung

Saking minimnya listrik masih fokus digunakan pada penerangan saja. Program Compact memadukan dan mengitegrasikan kebutuhan kesehatan dan pasokan listrik dari energi terbarukan.

Hanibal H-KPDT

Purw

anta

BS-

Bapp

enas

36 Oktober, 2013

Page 37: Majalah Compact Edisi 3

Lebih jelasnya ada di praktek erat­nya hubungan listrik dengan kualitas fasilitas kesehatan. Salah satunya kisah sebuah puskesmas pembantu di Desa Batu Belah, Kecamatan Siantan Timur, Riau. Pada saat itu, pernah ada pasien datang ke Pustu, sekitar pukul 12 malam untuk mencabut kail pancing yang tertancap di ibu jarinya. Hanya dengan senter sajalah tindakan medis dilakukan. Itu baru keribetan kecil, padahal di tempat yang sama, pernah ada panggilan membantu proses kelahiran. Lebih dramatis lagi waktu kesulitan mencari obat dalam ruangan puskesmas yang gelap karena

tak ada lampu. Terbentur dengan ke­sulitan­kesulitan semacam itu, akhir­nya dipasanglah panel surya untuk penerangan saja. Minimal Pustu bisa terang di malam hari. Listrik dalam bidang kesehatan bisa berpengaruh besar pada nyawa juga.

Program Green Prosperity, memang mendorong dan memfasili­tasi pengembang energi terbarukan untuk meningkatkan pasokan energi demi peningkatan kesejahteraan. Secara program tidak ada tujuan khusus untuk mensuplai listrik ke fasilitas kesehatan di daerah tempat program GP digelar. Namun, dengan

akal sehat saja, sekali listrik sudah mengalir, peningkatan derajat ke se­hatan, kemakmuran, dan kualitas hidup masyarakat setempat tinggal menunggu saat saja.

Program GP yang terintegrasi pada kesehatan memang strategis. Terus terang hingga kini, memohon pemerin tah untuk menyambungkan listrik hingga ke pelosok tentu tidak bisa terkabul dalam waktu dekat. Perlu waktu untuk menjadikan semua sudut pulau di Indonesia terang ben­derang. Sementara itu, kebutuhan listrik tidak bisa menunggu hingga puluhan tahun. Di titik lain, Indonesia itu tercatat memiliki keragaman dan cadangan energi terbarukan yang lumayan besar. Program Compact memfasilitasi eratnya dua hal itu.

Memang, apa yang dilakukan GP memang tidak menyelesaikan pro­blem kekurangan energi di daerah terpencil. Namun, dari arah, konsep, dan kebijakan yang dibuat lewat pro­gram ini nantinya, akan ada contoh konkrit dan jelas betapa setiap daerah memiliki potensi untuk melahirkan listrik berbekal sumber daya alam di sekitarnya.

Sektor kesehatan salah satu yang dipastikan mendapatkan manfaat langsung.

Beragam turunan program bidang kesehatan bisa mendapatkan nilai tambah itu. Salah satunya listrik men­dukung program Penyediaan listrik energi terbarukan untuk pus kesmas, pustu, polindes; Pengolahan makanan ibu hamil dan bayi yang memer­lukan energi listrik; Peningkatan pendapatan masyarakat didesa lokasi GP untuk kemampuan meng akses pelayanan kesehatan; Pengelolaan air bersih untuk kesehatan lingkung an masyarakat; Ketahanan Pangan, intensifikasi bahan pangan lokal untuk ketahanan pangan (makanan ibu hamil dan bayi). Inilah bentuk integrasi program GP dan Health and Nutrition to Reduce Stunting. Karena energi itu penopang segala bentuk kehidupan menjadi lebih baik dan berkualitas. n

Hani

bal H

-KPD

T

Purw

anta

BS-

Bapp

enas

37Oktober, 2013

Page 38: Majalah Compact Edisi 3

Event

W akil Menteri Perenca­naan Pembangunan N a s i o n a l / B a p p e n a s selaku Ketua Majelis

Wali Amanat (MWA) MCA­Indonesia, Lukita Dinarsyah tuwo meresmikan Kantor MCA­Indonesia yang baru, Jumat (27/9). Kantor MCA­Indonesia

terletak di Graha Jasindo, Jl. Menteng Raya No. 21 Menteng, Jakarta Pusat dengan menempati lantai 6 dan 11 sebagai kantor operasinal MCA­In­donesia dan kantor unit pendukung operasional, yaitu Procurement Agent dan Fiscal Agent. Peresmian kantor baru ini ditandai dengan penggun­ting an pita dan pemotongan tumpeng, disaksikan oleh Wakil Duta Besar Amerika Serikat, Kristen Bauer.

Acara peresmian kantor MCA­In­donesia dihadiri oleh Anggota MWA, Implementing Entity, MCC dan mitra kerja Program Compact. Diharapkan dengan telah beroperasinya kantor resmi MCA­Indonesia, proses pelak­sanaan Program Compact untuk 5 tahun ke depan dapat terlaksana dengan baik untuk dapat mengurangi kemiskinan melalui pertumbuhan ekonomi. n

Peresmian Kantor MCA-Indonesia

MCA­I menerima pela­tihan Anti Corruption and Fraud dari MCC (Millennium Challenge

Corporation) pada 19­ 23 September 2013 di Auditorium Training Center Multimatics Lantai 37 Gedung AXA Tower, Kuningan, Jakarta.

Pelatihan diikuti seluruh staf MCA­Indonesia dan pihak yang terlibat Program Compact seperti perwakilan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) dan Satuan Kerja Pengelola Hibah MCC Bappenas.

Pelatihan ini dibuka oleh J.W Sapu­tro selaku Direktur Eksekutif MCA­I. Hadir sebagai pembicara dalam kegiatan ini dua orang ahli pencegahan

korupsi dan penipuan dari MCC Ame­rika Serikat.

Materi presentasinya kebijakan MCC tentang korupsi dan penipuan. Ada juga contoh praktik korupsi dan penipuan yang terjadi pada Program Compact di negara lain dan tindakan pencegahan­nya. Peserta diminta membentuk grup berdasarkan program masing­masing dan melakukan eksplorasi kemung­kinan praktik korupsi dan penipuan dan tindakan mitigasinya.

Dari training ini, peserta mendapat­kan pengetahuan berharga tentang korupsi dan penipuan sehingga diharap kan mereka memiliki ‘bekal’ yang cukup untuk memerangi korupsi dan penipuan di dalam Program Com­pact di Indonesia. n

PELATIHAN ANTI KORUPSI AND FRAUD PROGRAM COMPACT MCC

Dok. MCA-I

Purw

anta

BS-

Bapp

enas

38 Oktober, 2013

Page 39: Majalah Compact Edisi 3
Page 40: Majalah Compact Edisi 3