sejarah berdirinya partai baru pasca reformasi...
TRANSCRIPT
1
BAB I
A. Latar Belakang
Fokus studi dalam tesis ini akan mengkaji tentang kelahiran partai politik di
Indonesia pasca reformasi. Kelahiran Partai Demokrat akan menjadi obyek
kajian tunggal dalam tesis ini. Penulis akan menggunakan pendekatan rational
choice dalam menganalisis kemunculan Partai Demokrat. Pendekatan rational
choice merupakan pendekatan baru dalam studi literatur tentang kemunculan
partai baru di Indonesia pasca reformasi, bahkan sejak Indonesia ada. Beberapa
studi yang menyingung baik secara explisit maupun implisit tentang kemunculan
partai politik pasca orde baru didominasi oleh prespektif sosiologis.
Para akademisi yang telah mengkaji baik secara explisit maupun implisit tentang
kemunculan partai politik pasca orde baru dengang pendekatan sosiologis antara
lain, Pertama, studi yang dilakukan oleh Ratnawati. Ratnawati (2006) berhasil
memetakan partai politik yang berhasil mendapatkan suara di atas electoral
threshold 2 % menjadi tiga bagian. Pemetaan tersebut didasarkan pada garis
aliran yang telah dirumuskan oleh Clifford Gertz. Menurut Ratnawati (2006:46)
golongan santri terwakili dalam PBB, PPP, PAN dan PKB. Partai – partai ini
meskipun berusaha mencitrakan sebagai partai terbuka, namun tetap mendulang
suara terbesarnya dari basis masa Islam. Sementara golongan priyayi terwakili
oleh Golkar karena meskipun kebijakan monoloyalitas telah dihilangkan, namun
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
2
birokrat – birokrat tua pemilih loyal utamanya di luar Jawa, masih memberi
kontribusi besar pada partai ini. Orientasi ideologi priyayi yang lebih pragmatis
menempatkan Golkar di posisi tengah antara kutub religius dan sekuler.
Golongan abangan yang identik dengan ideologi nasionalis terwakili oleh PDIP
yang membawa kembali semangat nasionalis – marhaen Sukarno melalui
Megawati Soekarnoputri. Dengan demikian Ratnawati sampai pada satu
kesimpulan bahwa tiga basis aliran yang dirumuskan oleh Clifford Geerrtz
masih memiliki wujud nyata dalam kehidupan partai politik pasca reformasi.
Kedua, studi yang dilakukan oleh Daniel Dhakide. Daniel Dhakide (1999:34-35)
membagi partai politik 1999 ke dalam dua jalur utama. Pertama jalur kelas dan
yang kedua jalur aliran. Partai yang mengambil jalur kelas membedakan dirinya
dengan yang lain berdasarkan pandanganya terhadap modal, yang pada akhirnya
membagi masyarakat itu atas kelas pemilik modal dan kaum buru dengan segala
kompleksitasnya. Partai yang mengambil jalur aliran membedakan dirinya dari
yang lain berdasarkan pandanganya terhadap dunia dan persoalanya, dan
bagaimana cara memecakanya. Jalur agama dan kebudayaan menjadi pilihanya.
Sumbu vertikal memisakan dua kutub yaitu partai yang berdasarkan agama dan
kutub lainya adalah partai yang berdasarkan kebangsaan. Sumbu horisontal
memisakan dua kutub lainya berdasarkan kelas, yaitu developmentalisme di satu
pihak dan sosialisme radikal dipihak lain.
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
3
Dengan demikian bisa dikatakan Daniel Dhakide sebenarnya membagi
masyarakat menjelang pemilihan umum 1999 ke dalam empat kelompok, yaitu
kelompok Nasionalis yang representasi utamanya adalah PDI-P, kelompok
Pembangunan yang repreresentasi utamanya adalah Partai Golkar, kelompok
agamis yang representasi utamanya adalah PPP dan kelompok sosialis yang
representasi utamanya adalah PRD.
Ketiga, studi yang dilakukan oleh Dwight Y King. Menurut King (2003: 124 -
134), ada kesinambungan antara hasil suara yang didapatkan oleh partai – partai
tertentu dalam pemilu yang digelar pada tahun 1955 dengan hasil suara yang
didapatkan oleh beberapa partai pada pemilu 1999. Dasar pembilahan dalam
pemilu antara daerah yang mendukung partai-partai nasionalis dan agama
inklusif (abangan) dan daerah pendukung partai-partai Islam (santri) pada
pemilu 1955 kembali aktif pada pemilu 1999. Menurut King suara PDIP pada
pemilu 1999 dapat ditemukan di basis dukungan PNI dan PKI pada pemilu
tahun 1955. Dengan kata lain, kaum muslim abangan yang pada pemilu 1955
memilih PNI dan PKI diyakini lebih memilih Megawati Soekarnoputri dan PDIP
pada pemilu 1999. Sedangkan suara PKB dapat ditemukan di wilayah yang dulu
menjadi basis suara Partai Nahdlatul Ulama. Sedangkan suara PAN, PPP, PK,
PBB dapat ditemukan di wilayah yang dulu menjadi basis suara partai Islam atau
Masyumi. King meyakini menurunya Persentase suara partai berbasis Islam
pada pemilu 1999 karena sebagian suara umat islam beralih ke Golkar. King
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
4
meyakini Golkar selama 20 tahun terakhir menjadi lebih Islami. King
menunjukkan bahwa dukungan Golkar berkorelasi positif dengan dukungan
partai-partai Islam pada tahun 1955.
Arti penting studi King terkait dengan studi kemunculan partai politik adalah
rekayasa politik rezim Orde Baru Suharto gagal dalam mengurangi signifikansi
pembilahan sosial - budaya masyarakat Indonesia dalam pemilu. Implikasinya
pembilahan – pembilahan sosial yang terjadi pada tahun 1955 secara subtantif
muncul kembali pada tahun 1999 meskipun dengan nama partai yang berbeda.
Keempat, studi yang dilakukan oleh Anis Baswedan (2004) tentang konfigurasi
hasil suara partai pada pemilu 2004. Studi tersebut menguatakan tesis King.
Anis sampai pada satu kesimpulan pengaruh pembilahan sosio-politik
sebagaimana temuan dari hasil studi yang dilakukan oleh Dwight Y. King pada
pemilu 1999 masih signifikan dalam sistem kepartaian 2004. Munculnya partai
baru – Partai Demokrat dan naiknya suara PKS secara sangat signifikan
mengindikasikan adanya pergeseran intra-konstituensi dalam satu blok
pembilahan sosio-politik. Pengurangan suara partai berbasis nasionalis akan
menaikan suara partai nasionalis yang lain. Hal itu juga terjadi dalam tubuh
partai berbasis santri (Islam). Menurut Anis berkurangnya suara PDIP sebagian
besar berali ke Partai Demokrat dan Bertambanya suara PKS mengurangi suara
partai Islam lainya. Arti penting studi Anis Baswedan dalam studi kemunculan
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
5
partai politik adalah munculnya Partai Demokrat sebagai partai baru masih
memiliki garis atau pertalian dengan pembilahan sosio-politik yang terjadi di
Indonesia.
Kelima, studi Andreas Ufen. Andreas Ufen (2008) meyakini konsepsi Lipset dan
Rokan tentang korelasi pembilahan (cleavages) yang hidup di masyarakat
dengan terbentuknya partai politik di eropa masih memiliki nilai analitis dalam
menjelaskan kemunculan partai politik di Indonesia pasca reformasi. Meskipun
ada beberapa hal yang perlu ditafsir ulang dan ditambakan agar lebih kompatibel
dengan kondisi di Indonesia.
Konsepsi tentang pembilahan rural (desa) – urban (kota) ditafsirkan oleh Ufen
menjadi pembilahan antara Islam tradionalis dengan Islam modernis. Sebab pada
umunya pemeluk Islam tradisionalis ada di desa. Sedangkan muslim modernis
ada di kota. PKB, PPP dimasukan kedalam klaster pembilahan Islam tradisonalis
dengan basis dukungan pedesaan. PAN dan PK diklasifikasi kedalam
pembilahan Islam modernis dengan basis dukungan perkotaan. Sedangkan Partai
Demokrat dimasukan ke dalam klaster pembilahan perkotaan. Sedangkan PPP
dimasukan kedalam Islam modernis dengan basis dukungan pedesaan. Dengan
kata lain pembilahan antara desa dan kota dapat ditemukan relevansinya dalam
pembilahan aliran keagamaan. Partai Golkar dan PDIP dikecualikan dari
pembilahan ini.
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
6
Sedangkan konsepsi Lipset dan Rokan tentang pembilahan antara negara dan
gereja ditafsirkan oleh Ufen menjadi tiga pembilahan, yaitu antara sekularisme,
politik Islam yang moderat dan Islamisme. Sebab antara pembilahan negara dan
gereja di eropa dengan pembilahan sekularisme, politik Islam yang moderat dan
Islamisme di Indonesia memiliki titik tekan yang mirip, yaitu soal peran agama
dalam mengelola negara. Partai Golkar, PDIP dan Partai Demokrat dimasukan
ke dalam klaster partai sekuler. PAN dan PKB dimasukan ke dalam klaster
pembilhan politik Islam yang moderat. Sedangkan PPP, PBB dan PK / PKS
dimasukan ke dalam klaster pembilahan Islamisme.
Ufen tidak menafsirkan ulang konsepsi Lipset dan Rokan tentang pembilahan
antara pusat dan pinggiran. Partai Golkar memiliki basis kuat di pulau terluar,
(seperti Sulawesi, Bali timur serta Kalimantan Barat dan Timur dan sabuk
tengah Sumatera) dan Jawa Barat. PDIP sangat kuat di Jawa, daerah dengan
penduduk mayoritas Hindu (Bali) dan di daerah dengan penduduk mayoritas
Kristen. PKB memiliki basis kuat di Jawa Timur. PPP tidak memiliki basis
dukungan yang spsifik. Partai Demokrat di DKI Jakarta. PK memili basis di
Jawa dan di beberapa wilayah yang bependuduk mayoritas muslim di luar Jawa.
PAN di Jawa khususnya di Yogyakarta dan di wilayah yang bependuduk
mayoritas muslim di luar Jawa.
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
7
Ufen juga tidak menafsirkan ulang konsepsi Lipset dan Rokan tentang
pembilahan antara kelas pengusaha dan pekerja. Namun pembilahan ini dinilai
oleh Ufen tidak nampak dalam sistem kepartaian di Indonesia pasca reformasi.
Ufen menambakan satu bentuk pembilahan yang tidak ada dalam konsepsi
Lipset dan Rokan, yaitu pro stus quo dan proreformasi. Partai Golkar dan PPP
dimasukan kedalam klaster status quo. Sedangkan PDIP menjadi status quo
sejak 2001. Sedangkan PAN, Partai Demokrat, PKB dan PK dimasukan
kedalam klaster reformasi dalam wilayah kebijakan tertentu (spsific).
Andreas Ufen (2006) menilai meskipun politik aliran masih memiliki nilai
analitis dalam menjelaskan kemunculan partai politik di Indonesia pasca
reformasi namun cenderung melemah. Ada beberapa indikasi yang menunjukan
hal itu, seperti pengaruh politik uang, presidensialisasi partai, turunya loyalitas
pemilih partai, lemanya platform atau ideologi partai. Sebagian argumentasinya
adalah, uang menggantikan aliran sebagai dasar penentu dukungan pemilih
terhadap partai. Presidensialisasi partai membuat figur lebih sebagai basis
prefrensi pemilih dan membuat faktor aliran menjadi terpinggirkan.
Keenam studi yang dilakukan oleh Marcus Mietzner (2008). Mietzner sampai
pada satu kesimpulan, reformasi telah menghasilkan sistem multiparty yang
menyerupai tahun 1950-an. Beberapa partai utama menunjukkan garis
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
8
kontinuitas yang sangat signifikan dengan partai yang telah mendominasi
panggung politik setelah kemerdekaan, meskipun ada beberapa pengecualian
penting. Putri Sukarno - Megawati memimpin PDIP yang berhaluan sekuler.
PDIP memperlihatkan diri sebagai pelanjut PNI, dan menjadi faksi terbesar di
parlemen dengan 33,7 persen suara. Abdurrahman Wahid, putra seorang
pemimpin NU senior di tahun 1950-an, mendirikan PKB (Partai Kebangkitan
Bangsa), dan menarik bagi pemilih NU dan menerima 12,6 persen dukungan.
Beberapa partai mengklaim pelanjut Masyumi, namun tidak ada yang satu partai
mendapatkan suara sebanding Persentase suara Masyumi. Partai Bulan Bintang
yang menggunakan simbol dan bahasa politik Masyumi, hanya mendapat 1,9
persen suara. Partai berbasis Islam lainnya yang bersaing untuk mendapatkan
suara Masyumi adalah PPP (Partai Persatuan Pembangunan), PAN (Partai
Amanat Nasional), serta PK (Partai Keadilan).
Menurut Marcus Mietzner (2008) pada umunya kontinuitas antara partai pada
tahun 1950-an dan partai pasca-Soeharto kuat, meskipun ada juga yang terputus
secara signifikan. Tidak ada yang mengambil posisi PKI atau partai sayap kiri
lainnya. Komunisme atau bahkan Marxisme tetap dilarang di bawah undang-
undang baru tentang partai dan pemilihan umum, dan beberapa partai yang
berorientasi pada tenaga kerja dan petani yang ikut berpartisipasi dalam Pemilu
1999 gagal memperoleh suara yang signifikan. Elemen lain dari diskontinuitas
antara tahun 1950-an dan 1990-an adalah kehadiran Golkar, Partai birokrat dan
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
9
teknokrat, yang (bersama-sama dengan militer) telah menjadi tulang punggung
rezim Orde Baru. Golkar dengan slogan sebagai partai baru dan moderat setelah
jatuhnya Soeharto mendapatkan 22,4 persen suara pada pemilu 1999.
Lebih jauh Marcus Mietzner (2008) mengatakan, kesamaan antara sistem partai
tahun 1950-an dan periode pasca-Soeharto adalah sistem multipartai dan data
statistik antara hasil pemilu tahun 1955 dan 1999 menunjukkan bahwa
perpecahan politik keagamaan tahun 1950-an tetap pengaruh yang kuat dalam
sistem kepartaian kontemporer Indonesia. Korelasi ini menunjukkan pentingnya
membagi Islam nasionalis di satu sisi dan antara modernis dan muslim
tradisionalis di sisi lain.
Ketujuh studi yang dilakukan oleh Kevin Raymond Evans (2003). Evans
mengelompokan partai politik 1999 dengan dua garis pembilahan yaitu secara
horizontal dan Vertikal. Kevin secara horizontal membagi partai politik dalam
dua kelompok yaitu kelompok kiri dan kanan. Secara ideologis kelompok yang
ada dikiri merupakan kelompok partai yang berhaluan sekuler. Representasi
utamanya adalah PDIP. Sedangkan kelompok yang ada di sebelah kanan
merupakan partai yang berhaluan Islamis. Repsentasi utamanya adalah PAN,
PPP dan PBB. Sedangkan geografis kelompok yang ada di sebelah kiri
merupakan partai berbasis jawa. Representasi utamanya adalah PKB. Sedangkan
yang ada di sebelah kanan merupakan klaster partai luar Jawa. Representasi
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
10
utamanya adalah Partai Golkar. Secara horizontal Evan juga membagi partai
politik dalam dua klaster. Sebelah kiri partai anti orde baru. Representasi
utamanya adalah PDIP. Sedangkan sebelah kanan ditempati partai pro orde baru.
Representasi utamanya adalah Partai Golkar.
Sedangkan secara vertikal Kevin membagi partai politik dua kelompok. Partai
politik yang berada pada garis vertikal bagian atas merupakan partai yang
cenderung bersifat elitis. Representasi utamanya adalah Golkar, PAN dan PBB.
Sedangkan yang berada pada garis vertikal bawah merupakan partai yang
cenderung populis. Representasi utamanya adalah PKB, PDIP. Pembagian partai
politik secara vertical ini terkait dengan cara politik dikomunikasikan kepada
public dan hubungan antara pemimpin dan partai dengan pemilih.
Secara vertical Evan juga membagi partai politik dalam dua klaster. Pembagian
ini bertumpu pada pembilahan geografis. Partai politik yang berada pada garis
vertikal bagian atas merupakan partai dengan basis pendukung perkotaan secara
signifikan. Representasi utama PAN, PBB. Sedangkan partai yang berada di
garis vertical bagian bawah merupakan partai dengan basis pendukung secara
signifikan. Representasi utamanya adalah PKB.
Pendekatan sosiologis dalam menjelaskan kemunculan partai politik setidaknya
lemah dalam dua hal. Pertama, jika dilihat dari sisi basis dukungan, hampir
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
11
semua partai politk di Indonesia sejak awal sudah berusaha menjadi wadah bagi
semua warga negara Indonesia dari berbagai kelompok, aliran, agama dan
daerah. Kalaupun ada partai yang mendapatkan dukungan kurang signifikan dari
kelompok atau agama tertentu bukan berarti partai tersebut tidak menginginkan
dan tidak berusaha untuk mendapatkan suara dari kelompok tersebut tetapi
karena lemanya kapasitas dan strategi electoral yang mereka miliki.
Suara anggota ormas Islam pun terdistribusi secara merata di hampir semua
partai politik yang berhasil mendapatkan kursi di DPR dalam jumlah yang
cukup. Menurut Saiful Mujani at all (2012:194) sebagian besar anggota ormas
Islam tetap memilih PDIP pada pemilu 1999 dan partai Golkar pada pemilu
2004. Hasil analisis multivariat yang dilakukan oleh Saiful Mujani at all faktor
keterlibatan anggota ormas Islam terhadap pilihan partai menjadi tidak
signifikan setelah dikontrol dengan faktor lain yang relevan, seperti kualitas
tokoh dan ekonomi-politik.
Sebagai contoh faktor ekonomi politik bisa menjelaskan turunya suara PDIP
pada pemilu 2004 dari warga yang mengaku sebagai anggota ormas Islam.
Faktor kualitas tokoh bisa menjelsakan turunya suara PKB pada pemilu 2004
yang mengaku sebagai anggota ormas Islam. Dengan demikian, jika dilihat dari
basis dukungan partai berdasarkan warga yang mengaku sebagai anggota ormas
atau bukan menunjukan, bahwa garis pembilahan aliran keagamaan dalam batas
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
12
tertentu sulit untuk menjelaskan kemunculan partai politik di Indonesia pasca
reformasi. Selebinya dapat di lihat pada tebel di bawah ini.
Tabel 1 : Pilihan Atas Partai Menurut Anggota Ormas Islam (%)
Tahun Status Ke-
anggotaan
PDIP Golkar PKB PPP PAN PD PKS
1999 Anggota 25 22 31 12 8
Bukan
anggota
37 14 13 14 8
2004 Anggota 9 17 24 11 7 5 6
Bukan
anggota
20 23 6 6 5 9 9
Sumber: Saiful Mujani at all, 2012: 194
Suara dari kelompok nasionalis atau religius juga terditribusi ke hampir semua
partai politik. Faktor nasinalis religius atau santri dan abangan terhadap pilihan
partai politik juga lemah setelah dikontrol dengan dengan faktor lain yang
relevan, sepereti kualitas tokoh dan ekonomi politik. Dengan demikian
kemunculan partai politik juga sulit dijelaskan dari garis pembilahan nasionalis
religius atau santri dan abangan.
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
13
Kedua, jika dilihat di sisi artikulasi kepentingan partai politik di Indonesia pada
umumnya otonom dari berbagai kelompok yang ada di masyarakat. Begitu juga
sebaliknya, berbagai kelompok dan aliran yang ada di Indonesia pada umumnya
juga otonom dari partai politik. Sebagai contoh, PKB yang sering dihubungkan
dengan NU pada kenyataanya garis kebijakan PKB sering tidak sejalan NU.
PKB mendukung Wiranto dan Sholahuddin Wahid bersama Partai Golkar pada
pilpres putaran pertama tetapi Ketua umum PBNU – KH Hasyim Muzadi
diusung PDIP menjadi cawapresnya Megawati. Kejadian seperti ini bukan hal
yang langka dalam pilkada. Sebagai contoh Ketua PCNU Lamongan Tsalits
Fahami di usung oleh PAN sebagai wakil bupati Lamongan mendampingi
Masfuk pada pilkada 2005. Sedangkan PKB bersama Golkar mengusung
Taufikurrahman Saleh dan Soetarto. Bahkan PKB pernah mendukung Abdul
Kahfi, tokoh militer yang memiliki latar belakang Muhammadiyah sebagai calon
Gubernur Jawa Timur pada tahun 2003.
Tabel 2 : Santri (religius) dan Abangan (Nasionalis) Pada Pemilih Partai
(%)
Tahun PDIP Golkar PKB PPP PAN PD PKS
Santri 1999 64 82 95 91 88
2004 64 74 89 89 87 70 81
Abangan
(nasionalis)
1999 36 19 5 9 12
2004 36 26 11 11 13 19
Sumber: Saiful Mujani at all, 2012: 193
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
14
Hal serupa juga terjadi dipartai lain. Itu artinya partai politik memilki tingkat
keleluasaan atau otonomi dalam bersikap. Sikap partai lebih banyak bertumpuh
pada strategi electoral daripada sebagai kewajiban untuk mengartikulasikan
ideologi atau kelompok sosial tertentu.
Di kalangan NU sendiri muncul slogan “NU tidak ke mana-mana, tetapi NU ada
di mana-mana”. Slogan itu menunjukan NU tidak berafiliasi dengan partai
politik apapun tetapi kader NU ada di hampir semua partai politik. Itu
menunjukan, bahwa NU merupakan organisasi yang independen dari semua
partai politik. Ibaratnya, sikap NU pada saat tertentu bisa saja sama dengan
partai A dan berbeda dengan partai B tetapi pada saat yang lain sikap NU bisa
sama dengan partai B dan berbeda dengan partai A. Semuanya sangat ditentukan
oleh kepentingan masing – masing.
PAN yang sering dihubungkan dengan Muhammadiyah pada kenyataanya juga
dengan tegas menolak dianggap sebagai Partai Muhammadiyah. Prinsip dasar
PAN dengan jelas di tulis “PAN merupakan partai yang menghormati dan
mendorong kemajemukan. Partai ini merupakan kumpulan manusia Indonesia
yang berasal dari berbagai keyakinan, pemikiran, latar belakang, etnis, suku,
agama dan gender (Musa Kazhim dan Alfian Hamzah, 1999:49).
Muhammadiyah pun dari pemilu ke pemilu membebaskan anggotanya dalam
memilih partai sesuai dengan hati nuraninya.
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
15
Hasil pemilu 2009 juga semakin menunjukan kelemahan pendekatan sosilogis.
Tingkat perolehan suara Partai Demokrat pada pemilu 2009 hampir merata di
seluruh wilayah Indonesia. Itu artinya Partai Demokrat tidak masuk dalam salah
satu blok pembilahan pusat atau pinggiran. Partai Demokrat pada pemilu 2009
bukan lagi partai perkotaan sebagaimana yang diasumsikan oleh Ufen tetapi juga
partai yang didukung oleh masyarakat pedesaan secara signifikan. Partai
Demokrat juga bukan pelanjut ideologis dari partai politik yang hidup pada
tahun 1950-an. Partai Demokrat juga berhasil memenangkan pemilu legislative
pada tahun 2009 di Jawa Timur. Wilayah yang menjadi salah satu basis
argumentasi King dalam menunjukan kontinyuitas antara Partai NU yang hidup
di era 1950 –an dengan PKB yang muncul pasca reformasi. Hasil pemilu 2009
juga bisa menjadi bukti tidak adanya pergeseran interkonstituensi sebagaimana
tesisnya Anis Baswedan. Penurunan suara partai belebel Islam tidak menaikan
perolehan suara partai berlebel Islam lainya. Dengan demikian suara yang
diperoleh oleh partai dalam batas tertentu tidak memiliki korelasi yang cukup
kuat dengan pembilahan sosial politik yang hidup di masyarakat.
Tingkat perolehan suara Partai lebih bertalian dengan kinerja electoral partai
selama periode pemilu dan keberadaan tokoh dalam suatu partai. Sebagi contoh
hengkangnya Gus Dur dan KH Abdulloh Faqih Langitan dan beberapa kyai
lainya terbukti berdampak secara electoral bagi PKB. Kinerja electoral partai
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
16
lama dan faktor ketokohan inilah yang pada akhirnya menjadi salah satu dasar
munculnya partai baru. Bukan faktor pembilahan sosio-politik yang hidup di
masyarakat. Hal ini akan dibahas oleh penulis dalam bab II secara lebih
mendalam.
Selain itu, pendekatan sosiologis secara epistemologis atau konseptual dalam
menjelaskan kemunculan partai politik juga memiliki titik kelemahan. Penulis
akan membahasan mengenai hal dalam penjelasan selanjutnya. Tepatnya di bab
satu bagian sub bab jawaban teoritik.
Selain pendekatan sosiologis adapula akademisi yang mengkaji kemunculan
partai politik di Indonesia pasca reformasi dengan pendekatan komparatif
(comparative prespective) yaitu, Kuskridlo Ambardi (2009). Menurutnya aktor,
berbagai cleavages dan sekumpulan aturan main seperti sistem pemilu dan
aturan tentang partai politik merupakan faktor yang saling bekerja dalam
memunculkan partai politik di Indonesia pasca reformasi. Pendekatan tersebut
dalam batas tertentu juga memiliki titik kelemahan. Selain faktor cleavages yang
kurang memiliki korelasi dengan munculnya partai politik juga karena beberapa
partai politik di Indonesia muncul sebelum aturan tentang partai politik dan
sistem pemilu di sahkan oleh lembaga resmi negara. Kalau pun ada korelasi
antara sistem pemilu dengan munculnya partai politik, korelasinya tidak kuat.
Dengan kata lain, hubungan korelatifnya tidak bersifat otomatis atau mengikat.
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
17
Penulis meyakini pendekatan rational choice merupakan alat analisis alternatif
yang paling realistik dalam menjelaskan kemunculan partai politik di Indonesia
pasca reformasi, setidaknya untuk kasus kemunculan Partai Demokrat.
Argumentasi pokok yang ingin dikembangkan dalam penelitian ini adalah
terbentuknya partai baru (Partai Demokrat) pasca reformasi di Indonesia
merupakan hasil kalkulasi aktor yang melihat adanya pontesi dukungan untuk
partai baru dan tokoh utamanya (SBY) menjadi presiden dan biaya yang
dibutukan untuk mendirikan partai baru dan mengikuti pemilu lebih kecil
dibandingkan keuntungan yang akan diraih ketika dukungan yang akan
didapatkan telah dikonversi menjadi kursi kekuasaan. Mendirikan partai sebagai
sarana untuk mengusung tokoh utamanya menjadi presiden juga lebih efisien
dan lebih menguntungkan bila dibandingkan lewat partai lama.
Selain itu, mengakaji kelahiran Partai Demokrat di Indonesia pasca reformasi
dengan menggunakan pendekatan rational choice merupakan kajian yang sangat
penting. Ada beberapa perbedaan dalam studi terdahulu yang dilakukan oleh
para akademisi tentang kemunculan partai politik dalam dalam rumpun rational
choice. Beberapa varian tersebut terkadang saling bertolak belakang atau
tumpang tindi, utamanya menyangkut variabel atau tolak ukur yang masuk
dalam kategori ongkos, peluang dukungan untuk mendapatkan kekuasaan dan
manfaat memegang jabatan. Tidak tertutup kemungkinan kemunculan Partai
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
18
Demokrat di Indonesia pasca reformasi merupakan fenomena yang unik atau
khas dari beberapa kajian terdahulu.
B. Pertanyaan dan Tujuan Penelitian
Berangkat dari latar belakang tersebut, tesis ini dimaksudkan untuk menjawab
permasalahan sebagai berikut;
Bagaimana kemunculan Partai Demokrat di Indonesia pasca reformasi di fahami
dalam prespektif rational choice?
Penelitian ini dimaksudkan atau mengemban dua misi utama. Pertama
menjelaskan kemunculan Partai Demokrat dengan menggunakan cara pandang
baru yaitu, prespektif rational choice. Kedua menelaah seberapa jauh relevansi
studi terdahulu yang dilakukan oleh para akademisi tentang kemunculan partai
politik dalam rumpun rational choice dengan studi ini. Penulis meyakini dua
misi utuma dalam penelitian ini akan memberikan kontribusi akademik yang
sangat bernilai, utamanya dalam pengembangan ilmu politik.
C. Jawaban Teoritik
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
19
Ada banyak jawaban teoritik dalam menjelaskan kemunculan partai politik di
suatu negara. Namun penulis dalam menganalisis terbentuknya Partai Demokrat
di Indonesia pasca reformasi lebih memilih pendekatan rational choice. Sebab
beberapa pendekatan yang lain kurang memuaskan dalam menjelaskan
terbentuknya partai baru. Sebagian pendekatan tersebut dipetakan oleh penulis
dalam pembahasan tesis ini. Tujuannya agar pembaca bisa mendapatkan
gambaran yang komperhensif mengapa pendekatan rational choice lebih unggul
dalam menjelaskan kemunculan Partai Demokrat dibandingkan pendekatan
lainya.
Pendekatan sosiologis sebagaimana dikatakan oleh Lipset & Rokkan (1967)
meyakini terbentuknya partai politik merupakan hasil dari transformasi
pembilahan sosial (cleavages) yang hidup di dalam masyarakat. Partai di ereopa
pada akhir tahun 1960 –an masih mencerminkan pembilahan yang muncul pada
tahun 1920 – an. Namun pendekatan ini memiliki kelemahan. Pertama
perpecahan pemerintah pusat dengan masyarakat pinggiran di eropa (Centre –
periphery cleavage). Perpecahan ini diakibatkan oleh sentralisasi dan
standarisasi budaya yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Resistensi terhadap
tindakan pemerintah pusat tersebut diekspresikan oleh masyarakat pinggiran
dengan mendirikan partai kedaerahan seperti Partai Nasional Skotlandia (the
Scottish National Party), Partai Swedia (The Swedish Party) di Finlandia, partai-
partai minoritas berbahasa Jerman dan Perancis di Italia, dan sejenisnya. Partai –
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
20
partai ini menentang partai – partai berhaluan nasionalis / liberal. Kedua
perpecahan negara dengan gereja (state – church Cleavage). Pembilahan ini
terjadi antara negara yang dikuasai oleh kaum liberal dengan kaum konservatif
(aristokrasi dan pendeta). Konflik antara kaum liberal dengan pendeta terjadi
karena kaum liberal mempromosikan lembaga – lembaga sekuler dan menolak
pengaruh gereja dalam mengelola negara. Konflik ini pada akhirnya melahirkan
beberapa partai politik berbasis agama antara lain Austrian People,s Party,
Christian – Democratic Union, Swiss Catholic Party, Partido Popular dan
Conservatif Party.Ketiga, pembilahan desa - kota (rural – urban cleavage).
Pembilahan ini terfokus pada pertentangan antara pihak yang berkepentingan
mempertahankan tanah pedesaan sebagai basis pertanian dan meningkatnya
kelas pengusaha industri dan perdagangan yang menginginkan perluasan tanah
untuk kepentingan perluasan industri. Petani berupaya mempertahankan
kepentinganya melalui partai berbasis agraria (peasants’ atau farmers’ party) di
akhir abad kesembilan belas. Partai berbasis petani antara lain, Finnish Centre
Party, Australian Country Party, Polish Peasant People’s Party. Keempat,
pembilahan pekerja - pengusaha (workers – employers cleavage). Terjadinya
revolusi industri kedua antara tahun 1815 – 1848 melahirkan sejumlah banyak
pabrik besar maupun kecil. Tumbunya perusahaan mengakibatkan kelas pekerja
semakin banyak dan secara radikal menyebabkan peningkatan urbanisasi.
Kondisi ini tidak membuat buruh sejahterah karena mendapatkan pekerjaan
melainkan sebaliknya. Kondisi kehidupan mereka sangat miskin dan
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
21
tereksploitasi. Sedangkan pemilik perusahaan semakin kaya. Kehadiran serikat
pekerja dengan faham sosialisme memberikan advokasi kepada kaum buruh.
Pada akhirnya, sebagian serikat buruh menjadi partai sosialis atau partai buruh
dan kaum buruh menjadi penyokong suara partai-partai berhaluan sosialis untuk
memperoleh perwakilan di parlemen. Beberapa partai kelas buruh antara lain:
British Labour Party, Argentinian Socialist Party, Swedish Social-Democratic
Workers’ Party, Spanish PSOE.
Menurut Sartori (dalam Kuskridlo Ambardi. 2009:25) ‘tidak semua cleavages
terwujudkan dalam persaingan antar partai’ dan beberapa cleavages sama sekali
tidak tertransformasikan di tataran politik. Lebih jauh, pentingnya gagasan
transformasi ini terletak pada implikasi bahwa proses transformasi cleavages
menuju ranah politik memerlukan aktor. Pendekatan sosiologis juga punya corak
yang lain seperti yang dikatakan oleh Inglehart dan Flanagan. Menurut kedua
(1987) perubahan sosial yang terjadi setelah perang dunia kedua melahirkan
generasi baru atau cleavages baru yang bernama post matrialisme. Masyarakat
post matrealisme memiliki nilai yang lebih berorientasi pada isu non ekonomi
(non ekonomi), seperti penentangan terhadap pertumbungan ekonomi atau
industri yang mangabaikan lingkungan hidup. Hal ini berbeda dengan
masyarakat periode perang yang lebih berorientasi pada isu matrial, seperti
pertumbuhan ekonomi.
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
22
Cleavages baru ini kemudian memunculkan partai baru yang tidak memiliki
pertalian geanologis dengan partai yang hidup pada periode sebelumnya
(perang). Beberapa studi yang dilakukan oleh akademisi seperti Harmel and
Robertson (1985) menemukan ada keterkaitan antara kemunculan partai baru,
termasuk partai berbasis ekologi dengan munculnya nilai post materialist.
Sebagai contoh green party atau left – libertarian party merupakan partai yang
lahir sebagai articulator masyarakat post materialist. Namun pendekatan ini juga
memiliki kelemahan. Perubahan sosial yang melahirkan cleavages atau isu baru
di suatu negara tidak otomatis memunculkan partai baru. Seperti dikatakan oleh
Hug (2001:7) di suatu negara mungkin saja muncul isu atau masalah baru yang
sangat penting, tetapi tidak ada partai baru yang muncuk. Sebab partai lama
mampu mempolitisisi isu atau masalah tersebut dengan cepat.
Titik tekannya tergantung pada sikap politik partai lama. Meskipun tidak ada
perubahan sosial yang melahirkan isu atau cleavages baru, partai baru
dimungkinkan muncul ketika kinerja electoral atau moralitas partai lama
mengalami kemerosotan yang serius.
Menurut penganut prespektif institusinalis sebagaimana dikatakan oleh Susan E.
Scarrow (2006) melihat kemunculan suatu partai politik sangat dipengarui oleh
sistem politik yang sedang dipraktekan oleh suatu negara. Negara yang tidak
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
23
demokratis cenderung membatasi dan ikut andil menentukan berapa dan partai
politik apa yang harus muncul. Namun pada kenyatanya beberapa partai berdiri
di lingkungan rezim yang tidak menghendaki kehadiranya. Corak pendekatan
institusionalis lainya merujuk pada argumentasi Duverger. Menurut Maurice
Duverger (1984) sistem pemilu mayoritas (distrik) sangat kondusif mendorong
munculnya dua partai. Sedangkan Sedangkan sistem pemilihan umum
proporsional cenderung memunculkan multi-partai. Namun pendekatan ini
juga memuai banyak kritik. Salah satunya dari John G. Grumm. Menurutnya
(1958) Negara demokratis di eropa sebelum tahun 1900 mempergunakan
beberapa tipe sistem suara mayoritas, namun tidak satu pun yang
memperlihatkan kecenderungan ke arah sistem dua partai sebagaimana yang
telah terjadi di Inggris. Sedangkan perubahan sistem pemilu dari pluralitas ke
proporsional sebagaimana yang pernah terjadi di Denmark tidak mempengarui
jumlah partai di negera tersebut.
Terbentuknya partai politik menurut pendekatan rational choice merupakan
hasil dari kalkulasi, strategi dan preferensi individu untuk mewujudkan
kepentingan aktor dalam meraih kekuasaan. Pendekatan rational choice melihat
keputusan dan tindakan politik yang dibuat oleh aktor memiliki kemiripan
dengan keputusan yang dibuat oleh pelaku ekonomi (pejual dan pembeli) dalam
suatu arena yang memungkinkan terjadinya jual beli (market). Aktor politik
akan memilih alternatif tindakan yang paling menguntungkan manfaatnya
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
24
dibandingkan ongkos yang akan dikeluarkan dalam mewujudkan kepentinganya.
Dengan kata lain, efisiensi dan maksimalisasi keuntungan merupakan prinsip
yang mendasari keputusan dan tindakan yang dilakukan oleh individu atau
sekumpulan individu. Keputusan dan tindakan rasional tersebut bersumber dari
keyakinan, preferensi, peluang yang dilihat aktor atau berdasarkan informasi
yang relevan yang dimiliki oleh aktor.
Konsepsi Rational choice classic mengasumsikan individu memiliki informasi
atau pengetahuan yang lengkap tentang semua alternatif perilaku yang mungkin
untuk dilakukan dan memiliki kemampuan dalam menghitung semua
konsekuensi (output) yang akan mengikuti semua alternatif tindakan tersebut.
Asumsi tersebut berbeda dengan konsepsi bounded rationality Herbert A Simon.
Menurut Herbert A. Simon (1995) perilaku manusia pada umumnya rasional.
Hal itu tidak dapat dipahami tanpa menemukan hubungan antara tindakan dan
tujuannya. Namun, menemukan koneksi ini bukanlah masalah sederhana dalam
konsepsi rasionalitas. Sebab hubungan antara tujuan dan perilaku dimediasi oleh
pengetahuan dan keyakinan faktual tentang hubungan sarana dan tujuan.
Pengetahuan dan keyakinan faktual yang dimiliki oleh masing – masing aktor
seringakali tidak sama. Ada berbagai variasi nilai-nilai, kepentingan dan tujuan
yang dimiliki oleh setiap orang.
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
25
Lebih Jauh Herbert A. Simon (1995:46-47) mengatakan dalam perilaku yang
rasional, dimungkinkan adanya kesenjangan yang serius antara tindakan dan
pencapaian tujuan. Hal itu bisa terjadi karena beberapa sebab. Pertama, aktor
mungkin memiliki (biasanya akan memiliki) informasi yang tidak lengkap atau
salah tentang situasi dan potensi perubahan situasi dengan berlalunya waktu.
Tindakan mungkin gagal untuk mencapai tujuannya karena kurangnya informasi
atau informasi yang salah. Kedua, aktor mungkin tidak dapat (dan biasanya tidak
akan mampu) untuk menghitung semua konsekuensi dari suatu tindakan
meskipun memiliki informasi yang komplit. Batas komputasi yang dimiliki
aktor dapat menyebabkan kesenjangan yang besar antara tujuan dimaksud dan
hasil aktual. Implikasinya, tindakan akan memiliki konsekuensi yang berbeda
dari hasil yang diharapkan dan seringkali terjadi efek samping yang tidak
diharapkan. Ketiga, pelaku umumnya memiliki lebih dari satu tujuan dan ada
potensi antara satu tujuan dengan tujuan lainya tidak kompatibel. Realisasi salah
satu tujuan mengganggu realisasi tujuan yang lainya. Ketidakcocokan seperti itu
sering kali muncul ketika upaya yang ditujukan untuk satu tujuan
mengkonsumsi sumber daya yang langka sehingga sumberdaya tersebut tidak
lagi cukup untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang lain atau realisasi satu tujuan
mungkin bergantung pada tercapainya tujuan lainya atau tercapainya satu tujuan
dapat menghalangi tujuan yang seharusnya telah tercapai. Beberapa tujuan dan
konsekuensi yang cukup penting jarang dipertimbangkan sebelum tindakan
dilakukan. Biasanya, tujuan dan konsekwensi yang paling menonjol saja yang
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
26
diperhatikan. Keempat, ada kemungkinan kegagalan aktor dalam mencapai
tujuan disebabkan oleh ketidaktahuan adanya suatu tindakan yang mungkin
untuk mencapai tujuan tersebut, atau mungkin mencapainya lebih lambat dan
dengan penggunaan sumber daya lebih besar dibandingkan dengan tindakan lain
telah dikenal dan tersedia. Dengan kata lain, aktor masih sangat dimungkinkan
bertindak secara rasional dengan pengetahuan (informasi) dan kemampuan fisik
(komputasi) yang terbatas.
Gary W Cox (1997:6-8) mengandaikan pemilu seperti pasar. Lazimnya dalam
sebuah pasar (market) di dalamnya pasti ada penjual, pembeli dan barang
konsumsi. Penjual adalah pemilih. Pembeli adalah elit partai. Sedangkan barang
konsumsi adalah suara pemilih.
Menurut Gary W Cox (1997:151-178) politisi pada umumnya lebih senang
berkompetisi dalam pemilu lewat partai lama yang eksis dari pada mengikuti
pemilu lewat jalur independen atau lewat partai baru. Sebab peluang politisi
untuk menang lewat partai lama yang eksis biasanya jauh lebih baik daripada
lewat jalur independen atau lewat partai baru. Selain itu, politisi seringkali
merasa lebih menguntungkan bergabung dengan salah satu partai lama yang
layak, daripada mendirikan partai baru atau bergabung dengan partai yang tidak
layak.
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
27
Lebih lanjut Gary W Cox mengatakan, elit akan mendirikan partai politik
sebagai sarana untuk mendapatkan suara pemilih. Elit membutukan suara
pemilih untuk meraih kekuasaan melalui pemilu. Keputusan untuk mendirikan
partai diambil setelah elit memperhitungkan beberapa aspek. Pertama adanya
potensi suara pemilih (barang konsumsi) yang mungkin akan diraih (dibeli)
untuk mendapatkan kekuasaan yang ingin dicapai oleh elit dalam pemilu.
Politisi yang bertujuan untuk mendapatkan pengaruh dan kekuasaan dalam
jangka pendek akan lebih memilih tidak mengikuti pemilu (tidak mendirikan
partai) atau berusaha mendapatkan pengaruh (melobi) salah satu partai lama
ketika tidak ada prospek untuk mendapatkan suara pemilih atau kursi dalam
pemilu yang akan digelar dalam waktu dekat. Kedua, biaya yang dibutuhkan
atau dikeluarkan oleh elit untuk untuk mendapatkan suara pemilih tersebut,
seperti biaya mendirikan partai dan kampanye, lebih murah dibandingkan
dengan manfaat yang akan didapatkan oleh elit ketika suara pemilih yang akan
mereka dapatkan telah dikonversi menjadi kursi kekuasaan.
Hanya saja menurut Cox, ada kemungkinan politisi akan mendirikan partai baru
dalam situasi yang kurang prospektif bagi partai baru dalam mendapatkan
dukungan pemilih dalam kompetisi pemilu yang dilaksanakan dalam waktu
dekat. Tetapi politisi akan menjadikan partai baru tersebut menjadi partai protes
atau partai blackmail yang bertujuan untuk merusak reputasi partai lama.
Dengan harapan partai baru yang mereka dirikan bisa mendapat penilaian positif
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
28
pemilih dan menjadi layak untuk dipilih dalam waktu yang akan datang
(panjang). Konsekwensinya elit akan bersedia menanggung beban kerugian
untuk sementara waktu. Namun elit pada saat yang sama akan berharap
mendapatkan keuntungan dan menutupi kerugian di masa lalu ketika partai yang
ia dirikan sudah mendapatkan kekuasaan di masa (pemilu) yang akan datang.
Konsepsi Cox ini bukanlah hal baru dalam studi tentang terbentuknya partai
baru. Beberapa akademisi sebelumnya, seperti Anthony Down (1957) dan
Feddersen, Sened, and Wright (1990) juga mengungkapkan hal yang hampir
sama. Menurut Anthony Down (1957:127-128) tidak ada partai yang didirikan
oleh orang – orang yang tidak pernah memperhitungkan akan mendapatkan
dukungan atau jabatan apapun. Pendiri partai pasti merasa memiliki kapasitas
untuk mewakili sejumlah besar pemilih yang memiliki aspirasi yang tidak
dipenuhi oleh partai lama. Hanya ada sedikit partai yang didirikan oleh orang
yang sangat rasional dengan tujuan untuk menakut – nakuti partai lain agar
merubah atau tetap konsisten dengan kebijakan tertentu dan tidak dimaksudkan
sebagai sarana untuk mendapatkan kekuasaan atau prestise secara langsung.
Sedangkan Menurut Feddersen, Sened, and Wright (1990) munculnya kandidat
atau pendatang baru (partai baru) dalam kompetisi electoral (pemilu) akan
terjadi jika dan hanya peluang untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan
dalam memegang kekuasaan lebih besar dibandingkan dengan ongkos untuk
mendapatkan kekuasaan tersebut.
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
29
Ada beberapa perbedaan dalam studi atau konsepsi yang dirumuskan oleh
beberapa akademisi dalam menentukan klasifikasi variabel yang masuk dalam
kategori ongkos membentuk dan mengikuti pemilu (cost of entry), keuntungan
memegang jabatan (benefits of holding office) dan peluang untuk mendapatkan
dukungan (Probability of electoral support). Penulis akan memetakan sebagian
perbedaan – perbedaan tersebut yang paling mungkin diuji nilai analitisnya
dalam kontek politik di Indonesia pasca orde baru.
Secara teoritis peluang dukungan terhadap partai baru yang paling
memungkinkan diuji nilai analitisnya dalam kontek politik di Indonesia pasca
orde baru setidaknya bertalian dengan lima hal. Pertama, kinerja elektoral partai
lama, kedua usia demokrasi, ketiga keragaman populasi, keempat, sistem
pemilu, kelima popularitas tokoh utama partai. Menurut Simon Hug (2001)
Partai baru memiliki alasan untuk muncul ketika kinerja partai lama mengalami
kemerosotan akibat kegagalan dalam merespon berbagai persoalan yang muncul
di suatu negara. Kegagalan tersebut membuat sebagian besar masyarakat merasa
kecewa terhadap partai lama membutukan partai baru sebagai alternatif pilihan
dalam pemilu. Sebagai contoh, munculnya green party di eropa merupakan
akibat dari kegagalan partai lama dalam merespon isu lingkungan (nuklir).
Munculnya green party ini menjadi salah satu indikator, bahwa partai baru
masih dimungkinkan kehadiranya dalam negera demokrasi yang sudah mapan.
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
30
Menurut Margit Tavits (2007) kebanyakan partai baru muncul pada fase awal
transisi demokrasi. Hal itu bisa terjadi karena beberapa alasan. Pertama, pada
fase awal transisi demokrasi dukungan terhadap partai penuh dengan ketidak-
pastian. Ketidak-pastian ini menjadikan setiap peserta pemilu merasa memiliki
kesempatan dan peluang yang sama untuk mendapatkan suara dan dukungan
publik saat pemilihan umum. Cox juga mengatakan hal serupa. Menurut Cox
(1997:159) jumlah partai meningkat pada awal pemilu. Sebab pada fase ini tidak
jelas partai mana yang layak (dipilih) atau tidak. Kedua, munculnya sentimen
negatif terhadap partai lama. Negara yang baru saja mengalami transisi
demokrasi biasanya dihadapkan berbagai permasalahan pelik yang tidak mudah
diatasi dalam waktu singkat. Ketidak – puasan ini menimbulkan isu baru yang
memungkinkan partai baru untuk mempolitisasinya.
Sedangkan studi yang dilakukan oleh Barnes, McDonough, dan Pina, (1985);
Liddle dan Mujani , 2000; Mujani, Liddle dan Ambardi, (2012) menemukan
korelasi dukungan tehadap partai baru dengan popularitas tokoh utama partai.
Korelasi dukungan partai baru dengan tokoh utama partai disebabkan lemanya
institusionalisi kepartaian dalam masa transisi demokrasi. Salah satu ciri utama
lemanya institusionalisasi kepartaian adalah lemanya ikatan partai dengan
konstituen. Peran tokoh sebagai penarik suara dalam situasi kepartaian yang seperti
itu menjadi sangat penting.
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
31
Sedangkan studi yang dilakukan oleh Harmel dan Robertson (1985) serta Hug
(2001) menemukan peluang dukungan partai baru lebih berkorelasi dengan
keragaman populasi yang ada dalam suatu negara. Keragaman populasi
cenderung mengasilkan kebutuhan representasi yang lebih kompleks dan dalam
banyak hal menghasilkan isu atau masalah baru yang memungkinkan dipolitisasi
oleh partai baru. Namun Menurut Tavits (2005) pembilahan sosial memiliki
pengaruh terhadap dukungan partai ketika kinerja ekonomi partai lama sedang
buruk.
Sedangkan menurut Taagepera (1999) dan Octavio Amorim Neto dan Gary W
Cox (1997) banyaknya cleavages dalam sistem pemilu yang sangat permisif
(longgar) memberikan peluang yang sangat luas bagi partai baru untuk
mendapatkan dukungan. Rendanya heteroginitas menutup jumlah partai
meskipun di dalam sistem pemilu yang sangat permisif, karena tidak akan ada
permintaan untuk banyak partai. Demikian pula, kecilnya besaran daerah
pemilihan (satu daerah pemilihan satu calon [FPTP]) cenderung untuk menutup
jumlah partai meskipun berada dalam masyarakat yang sangat heterogen karena
hanya sedikit partai yang mampu mendapatkan representasi (kursi). Dua kondisi
ini menyulitkan partai baru untuk memperoleh kursi. Namun studi yang
dilakukan oleh Harmel dan Robertson (1985) menemukan bahwa lebih banyak
partai masuk dalam sistem di mana peluang mereka untuk berhasil lebih kecil.
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
32
Menurut mereka partai baru lebih sering terbentuk dalam sistem pluralitas
(distrik) daripada di sistem PR. Bisa dikatakan Partai baru merupakan reaksi dan
sebagai kendaraan untuk mengespresikan keragaman dalam masyarakat.
Carina membedakan secara tegas antara peluang mendapatkan dukungan dan
peluang mendapatkan jabatan (kursi). Selanjutnya Carina S. Bischoff (2011)
membagi peluang sukses dalam dua arena. Pertama peluang sukses mendapatkan
jabatan dan mendapatkan dukungan. Menurut Carina tersedianya peluang
mendapatkan dukungan pemilih terkadang terganjal oleh peluang mendapatkan
jabatan yang kecil di bawah sistem pemilu tertentu.
Keuntungan mendirikan partai bertalian dengan beberapa aspek. Pertama
keuntungan matriil dan prestiese. Karakter dasar kekuasaan memiliki
keuntungan matriil dan prestese yang melekat di dalamnya. Menurut Jonathan
Hopkin (2000) kekuasaan politik bagi partai sama dengan keuntungan moneter
bagi perusahaan. Hal itu diperjelas lagi oleh Margit Tavits. Menurut Tavits
(2006:104) di dalam kekuasaan selalu melekat keuntungan matriil dan prestise.
Kekuasaan selalu memiliki kedua keuntungan tersebut apapun sistem politik
yang diterapkan di suatu negara.
Menurut Margit Tavits (2006) keuntungan mendirikan partai politik juga
bertalian dengan seberapa besar pengaruh partai politik terhadap kebijakan.
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
33
Salah satu aspek yang mempengarui besar kecilnya pengaruh partai terhadap
kebijakan adalah seberapa besar pengaruh kelompok non electoral. Semakin
kuat pengaruh kelompok non electoral dalam mempengarui kebijakan di suatu
negara, semakin rendah keuntungan mendirikan partai politik. Tetapi Carina
(2011) melihat sebaliknya, sebab kelompok non electoral terkadang menjadi
sumberdaya dukungan bagi partai politik.
Margit Tavits (2007) dalam tulisanya yang lain mengatakan, ketika posisi
presiden sangat kuat dan dipilih secara langsung akan menghasilkan nilai lebih
dalam memegang jabatan politik. Mendirikan partai dalam situasi tersebut
dinilai sangat menguntungkan. Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh
Charles Hauss dan David Rayside (1978). Menurut keduanya sistem presidensial
mencegah pembentukan partai baru. Sifat sistem presidensial The winner takes
all (Pemenang mengusai semua) akan mendorong partai politik untuk
berkolaborasi dan merger untuk memenangkan kekuasaan di pemerintahan
daripada mendorong munculnya partai - partai baru. Sedangkan menurut Harmel
dan Robertson (1985) parlementarianisme maupun presidensialime tidak
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap munculnya partai baru. Sedangkan
merujuk pada argumentasi Bollin, sistem presidensialisme lebih mengarah pada
probability of success. Menurutnya (2007:12): tidak ada bukti yang signifikan
bahwa partai-partai baru memiliki kesempatan lebih baik dalam sistem
parlementer yang tidak memiliki seorang presiden dipilih secara popular.
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
34
Simon Hug (2001: 105 - 116) mengkonseptualisasikan manfaat dalam dua arena:
Pertama seberapa jauh peluang untuk memperoleh jabatan di bawah sistem
pemilu dan sistem pemerintahan yang sedang diberlakukan di suatu negara.
Menurut hipotesa Hug threshold representation dan threshold exclusion1 yang
rendah memiliki efek poistif terhadap munculnya partai baru. Sebab semakin
tinggi threshold representation dan threshold exclusion ongkos untuk
berkompetisi dalam pemilu yang harus ditanggung oleh partai baru juga semakin
tinggi dan semakin sulit partai baru untuk mendapatkan jabatan. Mendirikan
partai baru dalam situasi tersebut dinilai kurang menguntungkan. Sebab
kemungkinan ongkos yang telah dikeluarkan oleh partai tidak kembali akibat
gagal mendapatkan kekuasaan atau besarnya ongkos tidak sebanding dengan
kekuasaan yang akan didapatkan. Begitu juga sebaliknya. Dengan kata lain
variable ongkos mengikuti kompetisi dalam pemilu dengan kentungan
merupakan dua variable yang tidak dapat dipisakan. Bagaikan dua keping mata
uang.
Selain itu, menurut Hug dalam sistem pemerintahan yang tidak terpusat pada
satu kelompok atau lembaga dinilai menguntungkan partai baru. Sebab dalam
sistem tersebut memberikan peluang yang lebih luas bagi partai baru untuk
1 . Menurut Hug (2001:110) threshold representation adalah jumlah suara minimal yang harus didapatkan
oleh partai politik untuk masuk parlemen (parliamentary threshold). Sedangkan threshold exclusion jumlah suara minimal yang harus didapatkan oleh partai untuk mendapatkan satu kursi di daerah pemilihan.
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
35
mendapatkan kekuasaan. Hug dengan merujuk pada argumentasi Chandler and
Chandler (1987) mencontokan, sistem pemerintahan federal menguntungkan
partai baru. Sebab dalam sistem ini memungkinkan partai kecil (baru)
mendapatkan akses di pemerintahan dengan memfokuskan diri di negara bagian.
Selain itu, pemerintahan yang sering berubah atau tinggi atau meningkatnya
jumlah partai di pemerintahan di nilai Hug menguntungkan partai baru. Sebab
dalam situasi tersebut partai baru memiliki peluang untuk bergabung dengan
pemerintahan.
Senada dengan Hug Carina (2011:12) mengatakan pembagian kekuasaan dalam
sistem dapat mengurangi hasil atau manfaat untuk memenangkan jabatan. Tetapi
pada kenyataanya lebih mudah bagi partai baru untuk mendapatkan akses dalam
rangkah untuk mempengaruhi sistem kekuasaan yang memungkinkan kekuasaan
dapat dibagi lebih luas di antara beberapa partai.
Konsepsi Hug tersebut pada prinsipanya bertolak belakang (kontradiksi) dengan
konsepsi Hug yang lain. Menurut Hug (2001:107) jika suatu negara sangat
terpusat, efek keputusan jauh lebih kuat. Dengan kata lain semakin terkosentasi
semakin bermanfaat memegang jabatan politik. Konsepsi yang tumpang tindih
ini sejak awal sudah disadari oleh Simon Hug. Namun Hug menilai konsepsi
yang kontardikstif tersebut perlu diuji nilai analitisnya dalam penelitian empiris
sesuai dengan dengan obyek kajian.
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
36
Hasil studi atau uji empiris yang dilakukan oleh Hug (2001:116-122)
menunjukan hubungan antara variable sistem pemerintahan dengan peluang
mendapatkan jabatan maupun manfaat memegang jabatan tidak memiliki
korelasi yang signifikan terhadap terbentuknya partai baru. Hanya sistem pemilu
(threshold representation dan threshold exclusion) yang memiliki korelasi yang
cukup signifikan dengan terbentuknya partai baru.
Beberapa akademisi lebih mengkaitkan ongkos mendirikan partai politik dengan
faktor institusional. Menurut Margit Tavits (2006, 2007) dan Simon Hug (2001)
peraturan pendaftaran partai yang lebih ketat dan sistem pemilihan yang tidak
proporsional dipandang menghalangi pembentukan partai baru karena kedua hal
tersebut tergolong mahal bagi partai baru. Tavits (2006, 2007) dan dan Hug
(2001) mencontokan, semakin besar Jumlah deposito dan dan jumlah tanda
tangan yang dipersaratkan untuk mendirikan partai, maka semakin besar dana
yang dibutukan untuk mendirikan partai baru. Adanya dana public untuk partai
dinilai Tavits dan Hug bisa mengurangi ongkos mendirikan partai. Namun
menurut Tavits (2006) efeknya tidak otomatis. Efek tersedianya dana public
tersebut tergantung pada peluang dukungan yang dimiliki oleh partai baru.
Sebab di beberapa negara mensyaratkan dana public diberikan hanya kepada
partai yang mampu mendapatkan amabang batas suara tertentu.
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
37
Sedangkan menurut Carina S. Bischoff (2011: 9) besaran biaya kampanye
sangat berfariasi antara satu partai dengan partai lainya. Hal ini sangat terkait
dengan berapa banyak publisitas gratis yang bisa didapatkan oleh masing –
masing partai. Sentimen positif media terhadap partai baru dapat mengurangi
biaya kampanye secara signifikan. Ketersediaan bantuan keuangan untuk partai
baru serta akses liputan televisi gratis dapat diharapkan untuk mengurangi biaya.
Tetapi studi yang dilakukan oleh Harmel & Robertson (1985) tidak menemukan
korelasi antara variable ongkos dengan berdirinya partai baru. Keduanya
menemukan partai baru muncul dalam sistem pemilu yang mahal (tidak
proporsional. Studi yang dilakukan oleh Ingrid van Biezen & Ekaterina R.
Rashkova (2011:19) memiliki kesimpulan yang hampir sama. Menurut mereka
tidak ada bukti untuk efek subsidi negara pada jumlah masuknya partai baru.
D. Thesis
Posisi teoritik dalam studi ini adalah kemunculan partai politik di Indonesia pasca
reformasi merupakan hasil dari kalkulasi sekumpulan orang untuk membuat partai
dengan tujuan utama sebagai kendaraan politik tokoh utamanya menjadi Presiden
dalam pemilu yang akan datang. Pertimbangan – pertimbangan tersebut antara lain:
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
38
Pertama, adanya ketersediaan dukungan pemilih untuk tokoh utama partai menjadi
presiden dan partai baru yang akan dijadikan kendaraan menjadi presiden: Ada dua
indikator yang bisa dijadikan sebagai ukuran:
Pertama, turunya loyalitas konstituen partai lama dan tingginya masa
mengambang. Ada tiga hal yang menjadikan loyalitas konstituen partai lama dan
tingginya masa mengambang, yaitu:
1. Buruknya kinerja pemerintah. Kinerja pemerintah, utamanya dalam bidang
Ekonomi merupakan faktor penting dan menjadi perhatian serius
masyarakat. Kinerja pemerintah yang buruk dan tidak kunjung teratasi
sampai pemilu diadakan bisanya akan direspon pemilih dengan
menghukum partai pemerintah dengan tidak memilihnya lagi dibilik suara.
Dengan demikian, partai baru memiliki kesempatan menawarkan diri
sebagai alternatif pilihan pemilih partai pemerintah pada pemilu yang lalu
yang kecewa dengan peforma kinerja pemerintah. Hal yang paling
dianggap urgen oleh pemilih terkait kinerja pemerintah adalah,
perekonomian seperti tingkat penganguran, kemiskinan atau tingkat
kesejahtraan, ketersediaan dan terjangkaunya harga kebutuhan pokok di
dalam masyarakat, keamanan dan penegakan hukum.
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
39
2. Buruknya performa partai lama. Pemilih akan menjadikan partai baru
sebagai alternatif pilihan manakalah peforma partai lama cukup buruk. Hal
yang menjadi perhatian serius pemilih terkait peforma partai lama adalah
sejauh mana partai lama terlibat skandal korupsi dan sejauh mana partai
politik memperjuangkan kepentingan rakyat.
3. Absenya partai oposisi yang kuat dan kredibel. Ketika kinerja pemerintah
dan partai koalisi dipandang buruk, maka partai oposisi yang kuat dan
kredibel memiliki potensi kuat sebagai alternatif pilihan tetapi jika oposisi
yang kuat dan kredibel absen maka partai baru merupakan alternatif pilihan
utama dari pelarian masyarakat yang kecewa.
Masa mengambang tidak serta merta bertalian dengan munculnya partai baru.
Turunnya loyalitas konstituen partai lama dan tingginya massa mengambang bisa
saja berkorelasi dengan munculnya lembaga konsultan politik. Tingginya masa
mengambang mengakibatkan dukungan terhadap partai semakin tidak menentu.
Beberapa partai utamanya partai yang tidak memiliki skil pengetahuan tentang
perilaku pemilih dan menggaet pemilih membutukan konsultan untuk keperluan
tersebut dan pada saat yang sama beberapa ahli tertarik untuk mendirikan lembaga
konsultan karena ada permintaan di pasar dan secara finansial sangat
menguntungkan. Aktor memiliki otonomi dan peran yang sangat penting untuk
mempolitisasi turunya konstituen partai lama menjadi partai politik baru.
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
40
Kedua, turunnya loyalitas konstituen partai lama dan tingginya massa
mengambang bukanlah faktor independen yang mempengarui peluang dukungan
terhadap partai baru. Partai baru membutukan tokoh untuk menarik suara massa
mengambang tersebut.
Popularitas ketokohan individu juga tidak otomatis bertalian dengan kemunculan
partai baru. Beberapa tokoh yang memiliki popularitas tinggi lebih memilih
bergabung dengan partai lama atau mendirikan LSM. Peran aktor menjadi sangat
signifikan untuk mempolitisasi popularitas ketokohan individu menjadi partai baru.
Kedua, ongkos untuk mendapatkan suara tersebut seperti ongkos mendirikan
partai politik, ongkos operasional dan ongkos mengikuti pemilu legislative dan
pemilu presiden secara langsung, lebih murah dibandingkan dengan manfaat ketika
suara pemilih telah dikonversi menjadi kursi.
Penulis dalam penelitian tesis ini berkeyakinan besar kecilnya ongkos mendirikan
partai politik dan ongkos mengikuti pemilu kurang bertalian dengan faktor
institusional sebagaimana yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli yang
argumentasinya sudah penulis paparkan sebelumnya. Penulis berpendapat, faktor
ketokohan memiliki korelasi atau cukup menentukan murah dan mahalnya ongkos
mendirikan partai politik dan ongkos mengikuti pemilu di Indonesia pasca
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
41
reformasi. Onkos mendirikan partai politik dan ongkos mengikuti pemilu yang
sejatinya mahal menjadi lebih murah karena bisa ditanggung secara gotong
royong dan sumbangan eksternal. Pengaruh figur utama dalam partai sangat
menentukan besar kecilnya sumbangan eksternal dan bergabungnya tokoh –
tokoh potensial masuk dalam partai yang bisa diharapkan ikut serta mendanai
aktivitas partai.
Ketiga, murujuk pada argumentasinya Simon Hug, penulis membagi manfaat
dalam dua arena. Pertama seberapah jauh peluang untuk memperoleh jabatan.
Kedua seberapa jauh manfaat jabatan dalam pemerintah. Besarnya peluang
mendapatkan kursi di DPR dan jabatan eksekutif dan besarnya keuntungan politis
dan ekonomis yang melekat dalam jabatan tersebut merupakan faktor yang cukup
menguntungkan untuk mendirikan partai baru sebagai sarana bagi aktor untuk
memperoleh jabatan tersebut. Para peneliti sebelumnya lebih banyak menyoroti
penilaian atau perhitugan aktor terhadap peluang dan memegang jabatan dari sisi
faktor institusional, seperti pertalian peluang dan manfaat memegang jabatan
dengan sistem pemilu dan peraturan yang terkait dengan kewenangan lembaga
negara. Penulis dalam tesis ini berpendapat peluang mendapatkan jabatan di
parlemen mapun di eksekutif lebih bertalian dengan kuatnya figur yang dimiliki
oleh partai baru. Sedangkan manfaat memegang jabatan lebih bertalian pada
karakter dasar kekuasaan yang bisa menentukan jalanya negara dalam berbagai
aspek dan tidak memiliki hubungan secara langsung dengan titik kosentrasi atau
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
42
sebaran kekuasaan dalam sebuah lembaga negara. Semakin besar peluang dan
kekuasaan yang didapatkan semakin menguntung mendirikan partai politik sebagai
sarana untuk memperoleh kekuasaan.
Keempat, mendirikan partai baru sebagai sarana untuk memperoleh jabatan (kursi
presiden) meruapakan alternative tindakan yang paling efisien dan paling
menguntungkan dibandingkan lewat partai lama.
Tesis ini percaya Pendiri Partai Demokrat mampu berhitung secara rasional dalam
memilih berbagai alternative tindakan untuk mencapai tujuanya, termasuk dalam
mendirikan Partai Demokrat. Namun penulis percaya rasionalitas pendiri Partai
Demokrat tidak seperti yang dibayangkan oleh pendukung rational choice classic
tetapi seperti konsepsi bounded rationalty yang dibangun oleh Herbert A Simon.
Beberapa variable yang masuk dalam kategori cost, bennefit, maupun peluang
dukungan yang dikemukakan oleh beberapa akademisi menunujukan adanya
pengaruh rational choice institusionalisme. Mereka mengasumsikan bahwa
sebagian tindakan aktor dalam menghitung ongkos, keuntungan dan peluang
masih memiliki pertalian dengan faktor – faktor institusional, seperti aturan
mendirikan partai, sistem pemilu dan sejenisnya. Faktor – faktor institusional
tersebut dipandang cukup mempengaruih murah dan mahalnya biaya dan besar
kecilnya keuntungan serta peluang yang akan didapatkan oleh aktor. Dengan
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
43
demikian aktor dipandang tidak bisa mengabaikan begitu saja faktor – faktor
institusional tersebut ketika mendirikan partai.
Selain itu, sebagian konsepsi akedemisi seperti Simon Hug terpengaruh oleh
konsepsi game teori. Menurut Hug (2001), munculnya partai baru di negara
demokrasi barat bisa difahami dengan logika game teori. Menurut Simon Hug
(2001:37-64) terbentuknya partai baru merupakan hasil permainan antara pihak
yang berpotensi mendirikan partai baru2 dengan partai lama dalam lingkungan
yang sudah terstruktur3 dengan baik. Pihak yang sangat potensial membuat
partai baru akan membuat tuntutan (kebijakan) kepada partai lama ketika
muncul isu potensial yang sangat penting di suatu negara. Permintaan atau
tuntutan tersebut bisa sangat tinggi atau rendah. Jika tuntutan tersebut dipenuhi
oleh partai lama maka tidak ada partai baru terbentuk dalam arena pemilu. Sebab
menurut asumsi Hug lebih menguntungkan tuntutan dipenuhi oleh partai lama
dari pada mewujudkan tuntutan tersebut lewat partai baru. Selain itu dari sisi
ongkos juga lebih murah. Sebab pihak yang potensial mendirikan partai baru
kemungkinan hanya mengeluarkan ongkos untuk membuat tuntutan dan tidak
mengeluarkan ongkos untuk membentuk dan mengikuti pemilu. Jika partai lama
menolak tuntutan tersebut, maka pihak yang potensial mendirikan partai baru
2. Menurut Simon Hug (2001:40) pihak yang potensial mendirikan partai baru bisa berasal dari gerakan
sosial, seorang warga negara, pengusaha politik atau salah satu anggota partai lama 3 . Menurut Simon Hug (2001:39) lingkungan yang terstruktur dengan baik bertalian dengan aturan atau
hal yang bertalian dengan proses pemilu, syarat membentuk partai dan ketentuan pengangkatan kandidat dalam pemilu sebagian besar sudah ditentukan oleh institusi. Pilihan (aturan) yang sudah tersedia bagi aktor sudah ditentukan dengan baik
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
44
akan memutuskan mendirikan atau menahan diri untuk membentuk partai baru.
Jika tuntutan pihak yang potensial mendirikan partai baru tersebut termasuk
penantang yang kuat4 dan kredibel5 maka akan muncul partai baru yang kuat.
Jika tuntutan pihak yang potensial mendirikan partai baru tersebut lemah tetapi
kredibel maka akan muncul partai baru yang lemah. Jika tuntutan pihak yang
potensial mendirikan partai baru tersebut lemah dan tidak kredibel maka tidak
akan muncul partai baru. Sebab ongkos yang dibutukan mendirikan partai baru
dalam situasi seperti itu lebih besar dari pada keuntunganya.
Konsepsi game teori maupun rational choice institusionalism sama – sama
memandang arti penting aturan main (rule game) atau faktor institusional sebagai
basis pertimbangan aktor dalam memutuskan untuk melakukan tindakan dalam
mencapai kepentinganya. Namun menurut penilaian penulis konsepsi game teori
maupun rational choice istitusionalism mungkin lebih tepat dipakai untuk
menjelaskan kemunculan partai baru di negara demokrasi yang sudah mapan dan
sistem kepartaianya sudah terstruktur dengan baik. Cukup sulit (tetapi bukan
berarti tidak mungkin) mengaitkan antara faktor institusional seperti aturan
mendirikan partai dan sistem pemilu dengan variable atau faktor yang menjadi
pertimbangan aktor saat mendirikan partai, seperti ongkos mendirikan partai
politik dan biaya mengikuti pemilu, peluang dukungan dan manfaat memegang
4 . Menurut Simon Hug (2001: 45) kekuatan pihak yang berpotensi mendirikan partai lama terletak pada
seberapa besar meraka akan merugikan partai lama saat meraka akan mendirikan partai dan mengikuti pertarungan dalam pemilu.
5 . Kata kredibilitas digunakan oleh Simon Hug (2001: 50) untuk menggambarkan situasi jika keuntungan mendirikan partai melebihi ongkos untuk mendirikan partai
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
45
jabatan. Sebab beberapa partai politik di negera demokrasi baru lebih dahulu
berdiri dari pada aturan mendirikan partai, sistem pemilu dan sejenisnya.
Meskipun demikian, faktor institusional atau rule game (aturan main)
sebagaimana konsepsi para akademisi yang sudah penulis paparkan sebelumnya
akan tetap diuji nilai analatisnya dalam pembahasan tesis ini. Hal ini
dimaksudkan agar pembaca mendapatkan gambaran atau bukti yang lebih nyata
terkait dengan hubungan antara faktor institusional atau rule game (aturan main)
dengan terbentuknya partai baru di Indonesia pasca reformasi.
Dengan demikian, tesis ini percaya terbentunya bangunan politik (partai politik)
dalam sistem politik di Indonesia pasca reformasi merupakan hasil dari preferensi,
kalkulasi dan strategi individu dalam rangkah mewujudkan kepentingannya.
Meskipun demikian, implikasi negatifnya terhadap kualitas kehidupan berbangsa
dan bernegara cukup minimal atau tidak separah yang dibanyangkan. Sebab aktor
politik melalui partai yang ia dirikan tidak memiliki ruang yang sangat bebas dan
sangat luas dalam memaksimalisi kepentinganya. Hal itu bisa terjadi karena
tindakan mereka akan dikontrol oleh aktor politik yang lain, baik aktor politik
electoral maupun aktor politik non electoral. Selain itu mereka juga dituntut untuk
ikut andil dalam mensejahtrakan masyarakat. Sebab dengan itu mereka masih bisa
berharap mendapatkan dukungan masyarakat lebih banyak dari pemilu sebelumnya
untuk melanggengkan dan memperbesar kekuasaan mereka pada pemilu
berikutnya. Ini merupakan efek dari bekerjanya mekanisme invisible hand. Namun
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
46
tesis ini percaya hukum invisible hand dalam praktek politik sulit bekerja seratus
persen. Sebab aktor akan selalu mencari cara untuk meraih keuntungan dari jabatan
yang dimilikinya dengan cara yang haram, baik secara berjamaah maupun secara
individual. Dengan kata lain, partai politik itu seperti manusia. Ia punya dua
tangan. Tangan kanan akan digunakan untuk melayai rakyat dengan harapan
terpilih kembali. Tangan kiri akan digunakan untuk mencuri secara sembunyi –
sembunyi untuk mendapatkan kuntungan yang berlebih. Bekerjanya dua tangan ini
burtumpuh pada self – interes (kepentingan individu atau sekumpulan individu).
E. METODOLOGI PENELITIAN
1. Studi Kasus
Penelitian tentang kelahiran Partai Demokrat dalam tesis ini menggunakan
metode penelitian kualitatif. Sebab penelitian ini menekankan untuk
mengkaji pelaku sejarah para pendiri Partai Demokrat yang sarat dengan
interpretasi, kesadaran dan makna subyektif yang melekat pada tindakan
para pendiri Partai Demokrat. Sebagaimana lazimnya tindakan manusia
kebanyakan, tindakan para pendiri Partai Demokrat tidaklah mekanistik
sebagaimana benda – benda alat yang menjadi obyek kajian ilmu alam.
Selanjutnya, penulis memilih penelitian kualitatif karena dapat memberikan
rincian yang lebih mendalam tentang fenomena sosial politik yang sulit
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
47
diungkapkan oleh metode kuantitatif.
Adapun didalam pendekatan kualitatif terdapat banyak pendekatan. Hanya
saja penulis dalam mengkaji kelahiran Partai Demokrat menggunakan
pendekatan studi kasus. Pendekatan ini digunakan oleh penulis untuk
mendapatkan kajian terkait kelahiran Partai Demokrat secara fokus, detail,
intensif dan mendalam. Selain itu, kelahiran Partai Demokrat merupakan
peristiwa masa lalu yang terikat oleh ruang dan waktu. Pendekatan studi
kasus diakui cukup tepat untuk mengkaji kondisi tersebut.
Karena yang dijadikan sebagai bahan analis hanya Partai Demokrat, maka
studi kasus dalam kajian ini masuk dalam kategori single case studies. Selain
itu, merujuk pada argumentasi Robert K. Yin (2006), penulis memilih kajian
ini dengan model atau desain kasus tunggal holistik. Sebab Kelahiran Partai
Demokrat memberi kesempatan menguji suatu teori. Penulis dalam tesis ini
ingin menguji rational choice dengan menjadikan kelahiran Partai Demokrat
sebagai bahan analisis. Mengapa hanya Partai Demokrat yang dijadikan
sebagai bahan analisis? Sebab Partai Demokrat merupakan satu – satunya
partai politik yang sama sekali baru yang lahir pasca pemilu 1999 yang
sukses memasuki arena pemilu 2004.
Tipe studi kasus yang dipilih oleh penulis adalah tipe studi kasus kesejarahan
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
48
sebuah organisasi dan studi kasus analisa situasional. Tipe kajian tersebut
diambil oleh penulis karena mempelajari kelahiran Partai Demokrat tidak
mungkin bisa dilaksanakan tanpa adanya penjelasan historis. Penjelasan
historis tidak akan sempurna kalau tidak disertai dengan penjelasan
situasional. Sebab kemunculan organisasi politik biasanya memiliki
keterkaitan dengan letusan – letusan situasi yang khusus atau umum. Situasi
tersebut tidak jarang masih menjadi misteri atau tersembunyi. Penulis tidak
memposisikan situasi tersebut telah mempengarui para pendiri Partai
Demokrat tetapi lebih dimaksudkan bagaimana para pendiri Partai Demokrat
tersebut memaknai situasi yang ada hingga memunculkan Partai Demokrat.
2. Jenis, Sumber Dan Teknik Pengumpulan data
Data yang dibutukan dalam penelitian ini adalah data primer, Yaitu data –
data yang akan diperoleh secara langsung dari sumber informasi yang terlibat
dan mengetahui secara langsung kelahiran Partai Demokrat.
Selain itu penelitian ini juga membutukan data skunder yang terkait dengan
pendiriaan Partai Demokrat, yaitu data-data tertulis yang berterkaitan
dengan kelahiran Partai Demokrat. Data sekunder itu bisa berupa catatan,
transkrip, buku, notulensi, agenda, media massa, laporan penelitian, jurnal,
majalah, dan sejenisnya.
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
49
Berikut ini merupakan sumber dan langkah-langkah dalam pencarian data:
2.1. Studi Dokumen
Studi Dokumen dipilih sebagai langkah awal untuk mencari data yang
bertalian dengan proses berdirinya Partai Demokrat. Data – data
dokumen tersebut merupakan data sekunder, Data skunder ini akan
diperoleh dari internet, majalah, buku seperti buku sejarah dan kemenagan
Partai Demokrat karya Suhendro Baroma, Partai Demokrat dan SBY:
Mencari Jawab Sebuah Masa Depan Karya Akbar Faizal. Selain itu juga
dari kumpulan dokumen atau arsip milik Partai Demokrat dan milik para
pendiri Partai Demokrat secara pribadi.
2.2 Wawancara Secara Mendalam.
Langkah selanjutnya dalam pencarian data adalah wawancara mendalam
(indepth interview). Wawancara akan dilakukan dengan dialogis atau
bertatap muka secara langsung dengan sumber data dan bersifat formal.
Wawancara dengan informen tidak hanya dilakukan dalam rangkah
mencari data awal tetapi juga untuk mengklarifikasi data pendirian Partai
Demokrat yang telah diperoleh sebelumnya. Proses wawancara bisa
berlangsung dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide)
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
50
wawancara.
Adapun informan atau responden yang menjadi target dari studi ini
adalah para pendiri Partai Demokrat yang terlibat secara aktif dalam
proses berdirinya Partai Demokrat, yaitu Vence Rumangkang, Prof. Dr.
Subur Budhisantoso, Sutan Bhatugana.
Penulis memilih Vence Rumangkang karena penggagas dan sekaligus
pendiri Partai Demokrat hanya ada dua yaitu SBY dan Vence
Rumangkang. Melakukan wawanca dengan SBY hampir tidak mungkin
ditempuh oleh penulis karena SBY sudah sibuk menjadi Presiden
Republik Indonesia. Selain itu Vence Rumangkang merupakan salah satu
penyandang dana dan bendahara umum Partai Demokrat yang pertama.
Selain sebagai pendiri, Prof. Dr. Subur Budhisantoso merupakan ketua
umum pertama Partai Demokrat dan terlibat aktif dalam proses
konsolidasi gagasan berdirinya Partai Demokrat.
Sedangkan Sutan Bhatugana merupakan pendiri Partai Demokrat yang
terlibat aktif dilapangan dalam proses pendirian Partai Demokrat,
termasuk dalam proses pendirian DPD dan DPC Partai Demokrat se
Indonesia.
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
51
3. Teknik Mengola Data
Penulis akan mengolah data setalah data terkumpul. Langka yang akan
dilakukan adalah menstranskrip data hasil dari wawancara dengan para
pendiri Partai Demokrat. Langkah selanjutnya, penulis akan melakukan
editing terhadap data yang diperoleh dari wawancara maupun studi
dokumen. Editing dilakukan untuk mencari data data yang terkait
permasalahan penelitian. Selanjutnya data akan ditabulasi kedalam bagan
yang disusun secara sistematis sesuai dengan desain penelitian. Tabulasi
akan dibuat setiap bab pembahasan. Selanjutnya data yang telah ditabulasi
akan dideskripsikan dengan mengunakan teknik penulisan induktif. Peneliti
akan menafsirkan data – data tersebut berdasarkan prespektif teoritik yang
dipakai oleh penulis dalam menjelaskan kelahiran Partai Demokrat.
Meskipun demikian, posisi penulis (penafsir) terhadap data adalah equal
(setara). Penulis percaya data tidak memiliki makna tunggal sehingga
memerlukan peneliti untuk menentukan atau menafsirkan maknanya. Namun
peneliti tidak punya kebebasan absolut dalam menentukan makna dari data.
Peneliti juga dipengarui oleh data yang ada di lapangan. Dengan demikian,
output dari penelitian ini merupakan hasil dari proses interaktif antara
peneliti dengan data atau obyek yang akan dikaji dalam penelitian ini.
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
52
Proses pengolaan, penafsiran dan penulisan data akan dilakukan secara on
going. Sebab analisis data kualitatif merupakan upaya berlanjut, berulang
dan berlangsung secara terus menerus dan seringkali tidak bisa ditempu
sekali waktu.
Sebisa mungkin, penulis akan menyajikan atau menulis hasil penelitian ini
dengan menarik dan mengguga minat pembaca. Oleh karena itu, penulis
akan menghindari penyajian yang hanya sekedar mengedepankan data – data
yang melimpah tapi membosankan bagi pembaca.
4. Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan. Bab ini terdiri dari latar belakang, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metode
penelitian dan sistematika penulisan. Bab I ini berisi landasan
pemikiran tesis dan operasional kerja tesis serta maping
teoritik yang menjelaskan kemunculan partai politik. Bab
pertama ini bertujuan untuk memberi pemahaman kepada
pembaca tentang masalah mendasar penelitian ini,termasuk di
dalamnya mengapa masalah penelitian ini penting untuk dikaji
dalam konteks sekarang.
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
53
Bab II Peluang dukungan partai baru dan tokoh utama partai di
pemilu 2004. Bab ini akan membahas perhitungan pendiri
Partai Demokrat dalam melihat peluang Partai Demokrat
sebagai partai baru dan SBY dalam mendapatkan dukungan
pemilih pada pemilu 2004. Bab ini juga akan membahas fakta
obyektif yang menjadikan Partai Demokrat dan SBY
memiliki peluang mendapatkan dukungan pemilih di pemilu
2004.
Bab ini akan disusun menjadi empat sub bab dalam
menjelaskan permasalahan tersebut. Pertama Partai-ID dan
masa mengambang. Sub bab ini akan menjelaskan perubahan
loyalitas pemilih terhadap partai hasil pemilu 1999 dan faktor
– faktor obyektif yang menjadikan loyalitas tersebut
menurun. Sub bab ini juga akan menjelaskan bagaimana
turunya loyalitas pemilih tersebut dicermati dan dihitung oleh
pendiri Partai Demokrat sebagai peluang untuk mendapatkan
dukungan pemilih pada pemilu 2004.
Kedua potensi SBY sebagai magnet electoral. Fokus sub bab
ini akan menganalisis faktor – faktor yang menjadikan SBY
memiliki potensi sebagai magnet electoral. Sub ini juga akan
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
54
menjelaskan bagaimana perhitungan pendiri Partai Demokrat
dalam melihat pengaruh ketokohan SBY sebagai faktor untuk
memobilisasi pemilih (magnet electoral) pada pemilu 2004.
Ketiga potensi SBY sebagai capres alternatif di pemilu 2004.
Sub ini akan menjelaskan peluang dukungan yang dimiliki
oleh SBY sebagai presiden 2004. Penulis dalam sub ini akan
membadingkan peluang SBY dengan sebagian tokoh yang
pada waktu itu dimungkinkan menjadi capres di pemilu 2004.
Hal lain yang akan dibahas dalam sub ini adalah sejauh mana
peluang SBY sebagai capres alternatif menjadi motivasi
sebagian orang untuk mendirikan partai baru sebagai
kendaraan SBY menuju kursi presiden. Sub bab keempat
berisi ringkasan atau kesimpulan besar temuan dalam bab dua
ini.
Bab ini dimaksudkan untuk membuktikan bahwa salah satu
pertimbangan elit mendirikan partai baru pasca pemilu 1999
di Indononsia adalah adanya ketersediaan dukungan untuk
meraih kursi di parlemen dan presiden. Kedua menjelaskan
perhitungan pendiri Partai Demokrat secara mendalam dalam
menghitung peluang dukungan yang tersedia bagi Partai
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
55
Demokrat dan SBY dalam meraih kursi di DPR dan Presiden
pada pemilu 2004 dan mengukur apakah perhitungan tersebut
cocok dengan situasi yang berkembang pada waktu itu.
Bab III Ongkos mendirikan partai politik dan ongkos mengikuti
pemilu. Pembahasan dalam bab terdiri dari empat sub bab.
Pertama biaya mendirikan Partai Demokrat. Sub ini akan
menjelaskan kalkulasi pendiri Partai Demokrat dalam
menghitung ongkos, sumber pendanaan dan komponen
pembiayaan penting yang diperlukan untuk mendirikan partai
baru pasca pemilu 1999. Hal lain yang akan dibahas dalam sub
bab ini adalah strategi pendiri Partai Demokrat dalam
mendapatkan sumber pendanaan tersebut.
Kedua biaya operasional Partai Demokrat. Pembahasan dalam
sub ini akan menjelaskan beberapa komponen pembiayaan
penting yang bertalian dengan operasionalisi yang dibutukan
oleh partai baru pasca pemilu 1999. Pembahasan dalam sub ini
juga akan menjelaskan bagaimana perhitungan pendiri Partai
Demokrat dalam menghitung dana yang dibutukan untuk
operasionalisisi partai.
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
56
Ketiga biaya Partai Demokrat memasuki arena pemilu.
Pembahasan dalam sub ini akan menjelasakan beberapa
komponen pembiayaan penting yang dibutukan oleh partai
baru dalam mengikuti pemilu legislatif dan pemilihan presiden
secara langsung pada tahun 2004. Pembahasan selanjutnya
dalam sub bab ini akan menjelaskan bagaimana perhitungan
pendiri Partai Demokrat dalam mengkalkulasi besaran dana
yang dibutukan oleh Partai Demokrat di pemilu legislatif dan
pemilu presiden. Hal lain yang akan dibahas dalam sub bab ini
adalah bagaimana strategi pendiri Partai Demokrat dalam
mendapatkan sumber pendanaan dan bagaimana dana yang
tersedia dikelola oleh Partai Demokrat. Sub bab keempat berisi
ringkasan atau kesimpulan besar temuan dalam bab tiga ini.
Bab ini bertujuan untuk membuktikan claim teori rational
choice bahwa salah satu pertimbangan elit mendirikan partai
adalah biaya mendirikan partai lebih murah dibandingkan
keuntungan yang akan didapatkan. Kedua menjelaskan
perhitungan pendiri Partai Demokrat secara mendalam dalam
menghitung besaran dana yang dibutukan, komponen
pendanaan, strategi untuk meminimalisir ongkos dan
mendapatkan sumber pendanaan.
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
57
Bab IV Peluang dan manfaat mendapatkan jabatan pasca pemilu 1999.
Bab ini akan dibagi menjadi tiga sub bab dalam membahasas
permasalahan tersebut. Pertama peluang mendapatkan kursi
dan jabatan di legislatif. Sub bab ini akan menjelaskan
besarnya peluang bagi partai baru mendapatkan kursi di
parlemen di bawah sistem pemilu yang diberlakukan saat
pemilu 1999 dan 2004. Selain itu sub bab ini juga akan
membahas peluang mendaptkan jabatan di parlemen.
Pembahasan setiap sub bab tersebut akan disertai perhitungan
pendiri Partai Demokrat dalam melihat peluang mendapatkan
kursi dan jabatan di DPR.
Kedua peluang mendapatkan jabatan di eksekutif. Sub bab ini
akan menjelaskan peluang partai baru dalam mendapatkan
jabatan di eksekutif. Sub ini juga akan menjelaskan bagaimana
perhitungan pendiri Partai Demokrat dalam melihat peluang
mendapatkan jabatan dieksekutif.
Ketiga manfaat memegang jabatan di DPR dan Eksekutif. Sub
bab ini akan menjelaskan potensi manfaat politis dan ekonomis
yang melekat dalam jabatan di DPR dan eksekutif, baik legal
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
58
maupun ilegal. Sub ini juga akan menjelaskan berbagai faktor
yang berpotensi mengurangi manfaat jabatan di DPR dan di
eksekutif. Hal lain yang akan dibahas dalam sub bab ini adalah
perhitungan atau kalkulasi pendiri Partai Demokrat dalam
melihat potensi keuntungan dalam memegang jabatan di DPR
dan di eksekutif. Sub bab keempat berisi ringkasan atau
kesimpulan besar temuan dalam bab dua ini.
Bab ini bertujuan untuk membuktikan claim teori rational
choice bahwa salah satu pertimbangan elit mendirikan partai
adalah besarnya peluang mendapatkan jabatan dan
manfaatnya. Kedua menjelaskan perhitungan pendiri Partai
Demokrat secara mendalam dalam menghitung peluang
mendapatkan jabatan dan manfaatnya yang tersedia bagi Partai
Demokrat sebagai partai baru di pemilu 2004 dan mengukur
apakah perhitungan tersebut cocok dengan situasi yang
berkembang pada waktu itu.
Bab V Adalah bab terakhir yang merupakan refleksi teoritis terkait
dengan kelahiran Partai Demokrat sekaligus kesimpulan
sebagai jawaban atas pertanyaan penelitian. Bab ini juga akan
membahas implikasi dari terbentuknya partai dalam model
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
59
rational choice terhadap kesejahtraan rakyat dan kualitas
demokrasi di Indonesia secara singkat. Hal lain yang akan
dibahas dalam bab ini adalah rekomendasi penelitian
selanjutnya. Sebab penelitian ini hanya mengambil studi kasus
tunggal sehingga belum tentu bisa menjelaskan berbagai
kemunculan partai baru pasca reformasi dalam prespektif
rational choice.
SEJARAH BERDIRINYA PARTAI BARU PASCA REFORMASI DALAM PRESPEKTIF RATIONALCHOICE : STUDI KASUS PARTAIDEMOKRATZUNAIDI ABDULLOHUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/