wacana ritual: studi kasus pada ritualselamatan...

61
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia membutuhkan banyak hal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hidup dalam lingkungan yang dapat mendukung pemenuhan kebutuhan membuat manusia memiliki tanggung jawab untuk menjaga keharmonisannya dengan lingkungan. Kehidupan harmonis yang tercipta antara lingkungan alam dan manusia yang menempati akan memberikan dampak positif bagi perkembangan manusia dan alam itu sendiri. Demikian halnya yang terjadi dalam kehidupan masyarakat di Jawa yang memang cukup terkenal kedekatan antara manusia dengan alam yang ditempatinya. Pemanfaatan antara kehidupan makrokosmos dengan mikrokosmos berjalan sangat dinamis dan tercipta simbiosis mutualisme yang sangat bagus. Bagi masyarakat Jawa kedekatan manusia dengan alam sekitarnya sudah berlangsung sejak lama dan masih berjalan sampai saat ini. Pokok-pokok kehidupan masyarakat telah ditentukan sebelumnya. Anggapan tersebut muncul terkait erat dengan kepercayaan bahwa hidup mereka akan dituntun dan dibantu oleh Tuhan melalui roh-roh nenek moyang. Hal itulah yang memunculkan kepercayaan terhadap bermacam-macam roh yang mampu membantu mereka dalam menyelesaikan masalahnya. Bantuan yang diberikan oleh Tuhan yang dilewatkan melalui nenek moyang berlaku juga dalam pemenuhan kebutuhan secara materi. Tindakan yang dilakukan oleh manusia karena adanya dorongan berbagai macam perasaan dikenal dengan kelakuan WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNG KAWI,MALANG-JAWA TIMUR Nuryani Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Upload: vunguyet

Post on 04-Aug-2019

244 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia membutuhkan banyak hal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Hidup dalam lingkungan yang dapat mendukung pemenuhan kebutuhan membuat

manusia memiliki tanggung jawab untuk menjaga keharmonisannya dengan

lingkungan. Kehidupan harmonis yang tercipta antara lingkungan alam dan

manusia yang menempati akan memberikan dampak positif bagi perkembangan

manusia dan alam itu sendiri. Demikian halnya yang terjadi dalam kehidupan

masyarakat di Jawa yang memang cukup terkenal kedekatan antara manusia

dengan alam yang ditempatinya. Pemanfaatan antara kehidupan makrokosmos

dengan mikrokosmos berjalan sangat dinamis dan tercipta simbiosis mutualisme

yang sangat bagus. Bagi masyarakat Jawa kedekatan manusia dengan alam

sekitarnya sudah berlangsung sejak lama dan masih berjalan sampai saat ini.

Pokok-pokok kehidupan masyarakat telah ditentukan sebelumnya.

Anggapan tersebut muncul terkait erat dengan kepercayaan bahwa hidup mereka

akan dituntun dan dibantu oleh Tuhan melalui roh-roh nenek moyang. Hal itulah

yang memunculkan kepercayaan terhadap bermacam-macam roh yang mampu

membantu mereka dalam menyelesaikan masalahnya. Bantuan yang diberikan

oleh Tuhan yang dilewatkan melalui nenek moyang berlaku juga dalam

pemenuhan kebutuhan secara materi. Tindakan yang dilakukan oleh manusia

karena adanya dorongan berbagai macam perasaan dikenal dengan kelakuan

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

SILMEY
Typewritten text
1
Page 2: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

2

keagamaan. Kelakuan keagamaan yang dilakukan menurut aturan tertentu yang

dianggap penting dinamakan upacara keagamaan (Koentjaraningrat, 1980;241).

Kepercayaan tersebut oleh masyarakat Jawa disebut sebagai agama

kejawen. Keagamaan orang Jawa Kejawen selanjutnya ditentukan oleh

kepercayaan pada pelbagai macam roh yang tidak kelihatan. Melihat hal tersebut,

terdapat hubungan antara bentuk-bentuk magis dengan agama. Hal ini menurut

Malinowski (1982; 87) muncul karena adanya tekanan situasi, seperti krisis dalam

hidup, merasa kosong dalam mengejar sesuatu yang penting, kematian dan

permulaan kehidupan yang menjadi misteri, sampai pada ketidakbahagiaan cinta

dan ketidakpuasan hidup. Hal-hal yang demikian menjadikan manusia terkadang

memiliki berbagai macam cara untuk sekadar mencari kepuasan dari sesuatu yang

lain.

Salah satu kegiatan yang tumbuh di dalam masyarakat terkait dengan

magis dan agama adalah kegiatan ritual. Kegiatan ritual dipakai sebagai bentuk

tumbuhnya kepercayaan masyarakat terhadap adanya kekuatan di luar dirinya.

Sarana yang dipakai untuk menunaikan kegiatan atau membuktikan kepercayaan

tersebut adalah dengan tersajinya sesajen yang dipersembahkan kepada roh nenek

moyangnya. Selain adanya sesajen, bacaan atau tuturan yang berisi harapan

ataupun doa-doa yang disampaikan dalam kegiatan selamatan juga menjadi hal

yang penting. Tuturan yang disampaikan terdiri atas bebeberapa bagian yang pada

akhirnya membentuk sebuah wacana yang utuh berupa lantunan doa-doa dan

pengharapan. Dalam lantunan doa dan pengharapan yang membentuk tersebut

seolah-olah muncul kekuatan yang menumbuhkan kepercayaan dalam diri pelaku

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 3: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

3

ritual. Tuturan doa yang disampaikan melalui bahasa memiliki kekuatan tersendiri

dalam mempengaruhi pola pikir masyarakat. Dengan demikian, dapat dikatakan

bahwa bahasa yang dituturkan dalam ritual tersebut merupakan bahasa yang

dikemas dengan tujuan tertentu.

Kepercayaan terhadap kekuatan gaib masih dapat dijumpai di beberapa

tempat meskipun dengan menggunakan istilah yang berbeda. Salah satunya dapat

ditemukan di wilayah Gunung Kawi, Malang, Jawa Timur. Wilayah yang terletak

tepat di lereng Gunung Kawi, Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten

Malang ini memiliki kehidupan harmonis yang tetap terjaga di balik segala

perubahan yang ada. Hal itu tidak terlepas dari sejarah yang dimiliki oleh Gunung

Kawi itu sendiri. Kehadiran tokoh-tokoh yang dipercaya sebagai “pembuka”

wilayah Gunung Kawi ini membawa dampak bagi keberlangsungan kehidupan

mereka.

Di Gunung Kawi, terdapat dua makam yang merupakan makam kedua

tokoh yang dipercaya sebagai “pembuka” wilayah Gunung Kawi. Kedua tokoh

tersebut bernama Eyang Djugo dan R.M. Imam Soedjono, yang menurut silsilah

masih keturunan dari Kraton Yogyakarta dan Surakarta. Selain merupakan

keturunan Kraton Yogyakarta dan Surakarta, Eyang Djugo juga dikenal sebagai

pengikut setia dan menjadi kepercayaan Pangeran Diponegoro. Sementara R.M.

Imam Soedjono sendiri merupakan murid Eyang Djugo yang dikenal sangat

pandai. Berbagai ritual dilakukan di Pesarean Gunung Kawi dalam rangka

pemenuhan hajat kehidupan. Salah satu ritual yang sering dilaksanakan dan

“menyedot” banyak pengunjung adalah ritual selamatan.

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 4: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

4

Ritual selamatan memang sudah cukup dikenal oleh masyarakat, terutama

masyarakat Jawa yang cenderung “suka” melakukan kegiatan ritual. Manusia

memilih berbagai alternatif atau cara untuk menyesuaikan kegiatan tersebut.

Namun demikian, terdapat hal-hal prinsip yang tidak akan berubah dalam

pelaksanan kegiatan selametan dari waktu ke waktu. Salah satunya adalah dalam

penggunaan perantara. Segala bentuk permohonan pada dasarnya ditujukan

kepada Tuhan, namun dengan perantara yang beragam sebagai bentuk

kepercayaan pelaku. Perantara dalam ritual biasanya berupa roh-roh tidak terlihat

yang dianggap berkuasa. Dituliskan dalam Primbon Jawa Betaljemur Jilid I,

terdapat mantra atau di masyarakat Jawa dikenal dengan istilah donga untuk

menghadapi bencana (pageblug). Dalam donga ini terdapat perantara yang berupa

‘sanghyang pengikut bumi’ yakni ‘Pangeran Purbaya’. Penggunaan penyebutan

ini dilakukan karena ‘Pangeran Purbaya’ dianggap sebagai penguasa bumi yang

perantara antara manusia dengan Tuhan. Berikut donga menghadapi bencana yang

dikenal dalam masyarakat Jawa.

Prayoga turu jam 1 wengi, sarta maca donga: Ashadu sadatmutahar, si bapa kang murba wisesa, si buyung kempalingiman, si anak penjaring jama. Pangeran panatagama, kang bisangrata jagad, nyirep sakehing penyakit, Pangeran karyakekuna, kang tulen sajroning tulis, kang urip tan kena lara pati,urip langgeng purbawasesa, ya ingsun kang bisa ngucapakepasangat mutahar, ya ingsun Pangeran Purbaya, ingsunkawulane. Ashadu sadat sanghyang, kawula bumi jung langit,apa isine, manungsa sajatining karsa, herlis sajatining sidikamanat tableg, herna sajatining lawang rat gumilang. Ashadusadat rohiman jati, sabenere manungsa maya, Pangeran putersiwalan jatining tunggal, Ashadu sadat Allah, tuhu yahuwa.Mukamat warangkaning Allah, bismillah tanpa kawitan, sadattanpa wakesan, kang urip tanpa kena ing lara pati, urip

dekat dengan Tuhan. Untuk itu, Pengeran Purbaya diharapkan dapat menjadi

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 5: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

5

langgeng salawase. Luwih becik saben bengi sadurunge jan 12,ana latar karo maca donga (Soemododjojo, 2008).

‘Lebih baik tidur jam 1 malam, dan membaca doa: Ashadu sadatmutahar, si bapa yang maha unggul, si buyung berkumpulnyaiman, si anak pengumpul manusia. Pangeran Panatagama, yangdapat meratakan dunia, menghapus segala penyakit, Pangerankarya kekuna, yang asli dalam cerita, yang hidup dan tidak akanterkena sakit dan mati, hidup selamanya dalam keunggulan, yakami yang dapat menyampaikan pasangat mutahar, ya kamiPangeran Purbaya, kami pengikutnya. Ashadu sadat sanghyangpegikut bumi ujung langit, apa isinya, manusia yang sejatidalam kehendak, yang sejatinya dapat dipercaya, amanah,tableg, sejatinya merupakan pintu yang gemilang. Ashadu sadatrohiman jati, sebenarnya manusia itu tidak nyata, Pangeran yanghanya satu. Ashadu sadat Allah, patuh. Muhamad utusan Allah,bismilah tanpa permulaan, sadat tanpa akhir, yang hidup tanpasakit dan mati, hidup selama-lamanya’.

Bentuk bahasa dalam donga tersebut memperlihatkan pengaruh Islam

yang cukup kental, terlihat dalam penggunaan beberapa bahasa Arab. Bahasa

Arab yang terdapat dalam donga tersebut memiliki fungsi sebagai pernyataan

kepercayaan dan permintaan yang memang ditujukan kepada Tuhan. Pengaruh

Islam juga terlihat dalam penggunaan nama Mukamat (Muhammad) yang

merupakan nabi dalam agama Islam. Penggunaan kata ashadu sadat juga

memperlihatkan pengaruh Islam sebagai bentuk kepercayaan mengakui adanya

Allah. Meskipun demikian, secara lafal menyesuaikan dengan ejaan dalam bahasa

Jawa atau lidah orang Jawa. Selain bahasa Arab, juga terlihat penggunaan bahasa

Jawa yang tidak umum dipakai dalam kehidupan sehari-hari.

Isi dari tuturan donga atau mantra di atas adalah permintaan kepada

Tuhan. Akan tetapi, permintaan tersebut tidak secara langsung dituturkan,

melainkan diselipkan beberapa hal di dalamnya. Beberapa hal yang diselipkan

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 6: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

6

adalah pengakuan ketundukan manusia, kelemahan kita sebagai manusia biasa,

dan penegasan pengakuan atas kekuatan dan kekuasaan Tuhan. Tuturan

penegasan terlihat dari penggunaan kata Pangeran panatagama, kang bisa ngrata

jagad, nyirep sakehing penyakit (Pangeran piñata agama, yang dapat meratakan

dunia, menghilangkan semua penyakit). Tuturan yang berisi permintaan memang

tidak terlihat secara jelas dalam penggunaan kata tertentu, melainkan tersirat

dalam hampir semua tuturan. Sementara itu, tuturan yang berisi pujian terlihat

jelas dan itu tersebar di hampir seluruh tuturan.

Berdasarkan contoh di atas juga dapat dilihat adanya variasi bahasa yang

dipengaruhi oleh agama tertentu. Terlihat dalam tuturan di atas penggunaan kata

ashadu sadat, Mukamat, bismillah, ataupun sidik dan amanah, yang merupakan

istilah-istilah dalam agama Islam. Selain itu juga terlihat penggunaan bahasa Jawa

yang tidak umum dalam penggunaan sehari-hari. Kata-kata tersebut contohnya

adalah penggunaan kata ingsun yang jika dalam penggunaan sehari-hari

digunakan kata ‘saya’, ‘aku’, atau ‘kula’. Namun, pemilihan kata ingsun dapat

dipahami karena tuturan tersebut ditujukan kepada Tuhan, sehingga penggunaan

kata ganti yang lebih merendah dapat digunakan.

Melihat contoh di atas, dapat dikatakan memang slametan telah dilakukan

oleh masyarakat Jawa semenjak dahulu dan masih dilakukan oleh beberapa orang

dan di beberapa tempat sampai saat ini. Dalam slametan terdapat donga atau

mantra yang dibaca oleh Modin dan didengarkan dengan seksama oleh orang-

orang yang datang. Salah satu bentuk slametan yang sampai sekarang masih

dilakukan oleh masyarakat Jawa adalah kenduren. Di dalam kenduren juga

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 7: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

7

dibacakan donga-donga yang dalam penggunaan bahasanya sudah tercampur

antara bahasa Jawa dan bahasa Arab. Hal tersebut juga memperlihatkan adanya

pengaruh Islam yang masuk. Struktur wacana dalam kenduren biasanya diawali

dengan bacaan-bacaan dalam bahasa Arab, kemudian bahasa Jawa dan akan

diakhiri dengan bacaan-bacaan dari bahasa Arab kembali (biasanya diambil dari

bacaan Al-Quran). Baik dalam penggunaan bahasa Arab maupun bahasa Jawa

terlihat adanya pujian, penegasan, dan ungkapan terima kasih atau rasa syukur,

dan di dalamnya tersirat juga adanya permintaan kepada Tuhan.

Tradisi penggunaan mantra tidak hanya dikenal di tanah Jawa, melainkan

juga beberapa tempat di luar pulau Jawa. Di Jawa pun tidak hanya monopoli

masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur, melainkan juga dikenal di daerah

Sunda (Jawa Barat). Dengan beragam bentuk, struktur, dan bahasa yang

digunakan, di antara masing-masing mantra yang digunakan di beberapa tempat

tersebut pasti memiliki sesuatu yang sama. Di daerah Sumbawa (NTB) juga

terdapat ritual mantra yang dipakai oleh nelayan ketika hendak melaut. Terdapat

beberapa aturan yang harus ditaati sebelum melantunkan mantra. Dalam mantra

masyarakat nelayan Bajo juga terlihat adanya pengaruh Islam yang sudah mulai

masuk.

Seperti terlihat dalam contoh berikut yang merupakan mantra tarima kasi.

Alhamdulillah (Terima kasih ya Allah)Mudah-mudahan para baka itu saloh (Mudah-mudahan banyak dari ini

besok). (Syarifudin; 2008, lampiran)

Mantra memang dikenal dan digunakan di berbagai tempat di wilayah

Indonesia ini, tetapi penggunaan atau pembacaan mantra tampak berbeda-beda.

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 8: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

8

Terlihat dalam masyarakat Jawa mantra atau donga cukup terlihat penggunaannya

dalam ritual slamatan. Slametan memang sudah sangat biasa atau cukup dikenal

dan dilakukan oleh masyarakat Jawa. Dalam perkembanganya, slametan memang

sudah tidak terlalu menjadi bagian dari masyarakat. Akan tetapi, di Gunung Kawi

ritual slametan masih dilaksanakan meskipun dalam bentuk dan tujuan yang

berbeda. Perbedaan tersebut membawa konsekuensi perbedaan di beberapa hal

juga, termasuk pelaku, tujuan pelaksanaan, dan bentuk tuturan yang disampaikan

oleh Modin (pemimpin ritual). Beberapa perbedaan tersebut terlihat jelas jika

membandingkan istilah slametan dan selamatan antara yang dipakai oleh Geertz

dan yang dipakai dalam penelitian ini.

Ritual Selamatan yang dilaksanakan di Gunung Kawi tidak hanya

dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar dari seluruh Indonesia. Pelaku

ritual memiliki latar belakang suku, agama, bahasa, dan budaya yang berbeda.

Tujuan pelaksanaan juga terlihat memiliki perbedaan dengan selamatan yang

dilaksanakan oleh masyarakat Jawa khususnya di desa-desa. Dalam pelaksanaan

ritual selamatan di Gunung Kawi, mereka yang melaksanakan ritual selamatan

mengajukan berbagai permohonan kepada Tuhan melalui dua tokoh yang

bersahaja ini melalui ritual selamatan. Harapan tersebut ditulis dalam sebuah

kertas yang diserahkan kepada Modin beserta bunga dan kemenyan untuk

selanjutnya dibacakan atau disampaikan pada saat ritual selamatan.

Contoh pengharapan yang disampaikan dapat dilihat dalam tuturan

berikut:

1. Dari bapak FM, usahanya PT FBP, sekeluarga mohon sehat selamet,usahanya mohon lancar dan banyak rejeki.

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 9: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

9

2. Dari bapak WG, usahanya PT PIM, di Jl KT Jakarta, usahanya mohonlancar banyak rejeki dan selamat sekeluarga

3. Dari sodara B usahanya LJ di DW, mohon usahanya lancar banyakrejeki dan slamet sekeluarga

4. Dari bapak WS di Jl. SIS, sekeluarga mohon sehat selamat, usahanyalancar banyak rejeki dan semoga dikaruniai anak yang nurut sama orangtua.

Doa yang dituturkan oleh Modin pada contoh 1-4 di atas diungkapkan

dengan bahasa yang literal atau langsung. Dapat dilihat pada contoh tuturan

pertama, penggunaan kata ‘mohon selamat, usahanya mohon lancar dan banyak

rejeki’. Demikian juga dengan tuturan doa pada contoh kedua dan ketiga. Bahasa

yang digunakan pada tuturan ketiganya adalah bahasa yang literal dengan makna

langsung. Meskipun dengan bahasa dan makna yang langsung, tetapi terlihat

beberapa perbedaan pada jenis permohonan yang disampaikan. Dapat dilihat

permohonan yang disampaikan antara lain kesehatan, usaha lancar, banyak rejeki,

keselamatan, maupun permohonan supaya dikaruniai anak yang nurut sama orang

tua. Melihat bahasa dan beberapa jenis permohonan yang disampaikan pada

tuturan di atas sedikit tergambar mengenai pola pikir yang ada dalam masyarakat

tersebut.

Ritual selamatan dipimpin oleh seorang pemimpin ritual yang dikenal

dengan sebutan Modin. Modin memiliki tugas untuk memimpin jalannya ritual

selamatan dari awal sampai akhir, termasuk yang membacakan doa-doa dan

harapan. Dalam tulisan ini, ritual selamatan memiliki perbedaan dengan istilah

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 10: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

10

selamatan yang dipakai oleh Geertz. Geertz menggambarkan bahwa slametan

menjadi tradisi di kalangan masyarakat di Jawa dengan mengundang tetangga-

tetangga lelaki. Geertz menjelaskan bahwa slametan melambangkan kesatuan

mistis dan sosial mereka yang ikut di dalamnya. Di sana handai taulan, tetangga,

sanak saudara, nenek moyang yang sudah mati, dan dewa-dewa yang hampir

terlupakan, semuanya duduk bersama mengelilingi satu meja. Masih menurut

Geertz, slametan dapat diadakan untuk memenuhi semua hajat orang sehubungan

dengan sesuatu kejadian yang ingin diperingati, ditebus, atau dikuduskan, seperti

kelahiran, perkawinan, kematian, maupun pindah rumah (Geertz, 1983;13).

Sementara selametan yang dilakukan oleh pelaku ritual di pesarean Gunung Kawi

tidaklah demikian. Meskipun di atas dikatakan berbeda antara selamatan yang

biasa dilaksanakan oleh orang Jawa dengan yang dilaksanakan di Gunung Kawi,

di beberapa hal terdapat juga persamaan di antara keduanya. Persamaan yang

terlihat adalah penyebutan pemimpin ritual yang sama-sama disebut dengan

istilah Modin dan sama-sama menghidangkan sesajen.

Modin yang mendapat kepercayaan untuk memimpin ritual selamatan di

Pesarean Gunung Kawi saat ini berjumlah dua orang. Sebelum akhirnya seorang

abdi dalem dapat diangkat menjadi Modin, yang bersangkutan telah mengabdi

terlebih dahulu selama kurang lebih 20 tahun. Akan tetapi, dari sekitar 20 abdi

dalem yang mengabdi di Pesarean Gunung Kawi, hanya orang-orang tertentu

yang memiliki kesempatan untuk diangkat sebagai Modin. Adapun yang memiliki

hak untuk mengangkat abdi dalem menjadi modin adalah pemilik yayasan yang

dalam hal ini adalah R.M.H. Supodoyono. R.M.H. Supodoyono merupakan

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 11: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

11

keturunan dari R M Imam Soedjono yang merupakan murid dari Eyang Djugo,

dan termasuk salah satu orang yang dimakamkan di tempat tersebut. Dalam

kegiatan ritual selamatan di Pesarean Gunung Kawi, Modin memimpin

pembacaan doa-doa dan harapan dari pelaku ritual.

Doa-doa dan harapan yang disampaikan oleh modin tersusun dalam

sebuah satuan wacana yang utuh dan tersusun menjadi sebuah rangkaian bahasa

yang mampu membawa pelaku ritual hanyut dalam segala permohonan mereka.

Wacana yang dimaksudkan dalam tulisan ini diartikan sebagai keseluruhan

perkataan atau ucapan yang merupakan suatu kesatuan atau dapat pula dikatakan

sebagai pertukaran ide secara verbal (KBBI, 2008;1822). Tuturan doa yang

membentuk sebuah wacana di dalamnya terdapat berbagai unsur pembentuk. Hal

tersebut sangat dimungkinkan karena sebuah wacana tidak akan mungkin berdiri

sendiri. Selain itu, dalam sebuah wacana juga sangat dimungkinkan mengandung

banyak makna.

Sebuah tuturan akan memiliki makna yang lain dengan bentuk kalimatnya

jika dikaitkan dengan konteks ketika tuturan tersebut disampaikan. Sama halnya

dengan tuturan doa ritual, di dalamnya mengandung banyak makna yang

dimungkinkan tidak sesuai dengan bentuk kalimatnya. Untuk itulah, analisis

terhadap tindak tutur menjadi menarik. Tindak tutur seperti yang disampaikan

oleh Searle, memungkinkan sebuah tuturan bermakna lain yang tidak sesuai

dengan bentuk kalimat ketika dikaitkan dengan konteks tuturan tersebut.

Demikian juga dengan yang terjadi di dalam tuturan doa ritual selamatan

di pesarean Gunung Kawi. Tuturan doa ritual selamatan yang dituturkan oleh

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 12: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

12

modin akan memiliki banyak makna. Hal tersebut karena konteks situasi maupun

konteks sosialsaat tuturan tersebut disampaikan sangat mempengaruhi. Meskipun

demikian, sangat dimungkinkan juga terdapat tindak tutur literal yang memiliki

makna sesuai dengan yang disampaikan. Dalam menganalisis hal tersebut,

konteks tidak dapat dilepaskan begitu saja.

Konteks menjadi sebuah hal yang penting di dalam analisis

sosiopragmatik, baik melihat tindak tutur dan peristiwa tuturnya. Setiap tuturan

akan dituturkan dalam konteks yang berbeda. Untuk itulah, tidak setiap tuturan

akan memiliki makna atau tindak tutur yang sama meskipun dituturkan dalam

kalimat yang sama. Seperti juga yang dinyatakan oleh Van Dijk (2009;111)

bahwa konteks merupakan bagian dari sebuah wacana yang digunakan sebagai

sarana menganalisis. Selain dalam menganalisis sebuah wacana, konteks juga

sangat diperlukan untuk berbagai analisis yang terkait dengan tuturan. Karena

tuturan tidak akan disampaikan tanpa adanya konteks maka dalam setiap analisis

tuturan dengan menggunakan kajian apapun tetap digunakan konteks sebagai

sarana untuk melihat makna yang ada.

Seperti contoh tuturan Modin berikut:

5. Mangga sedherek sedaya.‘mari saudara semua’.

6. Kula suwun pangestunipun rahayu wilujeng.‘saya minta restu selamat sejahtera’.

7. Muginipun ngrencangi ing dedonga wanten wana dhumatengrosululah.‘semoga menemani dalam berdoa di hutan kepada Rosulullah’.

8. Kula tansah nglantaraken hajatipun para sedherek jaler saharencang estri.

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 13: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

13

‘saya selalu menjadi perantara hajatnya para saudara laki danperempuan’.

9. Sedaya wau sami caos wuri lan nedhi.‘semua tadi sama-sama saji dan makan’.

10. Ingkang dipuntujukaken dhumateng Eyang Panembahan sekaliyan.‘yang ditujukan kepada Eyang Penembahan berdua’.

Dalam contoh 5-10 di atas ditemukan penggunaan tingkat tutur bahasa

Jawa yakni tingkat tutur krama inggil. Tingkat tutur krama inggil merupakan

tingkat tutur yang tinggi dalam pengelompokan tingkat tutur dalam bahasa Jawa.

Bahasa Jawa dipilih untuk digunakan tidak hanya karena kegiatan ini

dilaksanakan di daerah Jawa tetapi terdapat maksud yang lain. Bahasa tersebut

digunakan karena tuturan di atas disampaikan dalam ritual yang disampaikan di

depan makan Eyang Djugo, orang yang dihormati, sehingga bahasa Jawa yang

dipilih adalah tingkatan krama inggil. Setiap bahasa memiliki cara-cara tertentu

untuk menunjukkan sikap hubungan antara orang yang berbicara dan lawan

bicaranya yang dapat menunjukkan kesantunan (Wilian, 2006;32).

Kegiatan ritual selamatan di pesarean Gunung Kawi tersusun atas

beberapa rangkaian kegiatan. Adapun inti dari kegiatan ritual tersebut adalah

pelaksanaan ritual itu sendiri. Di dalamnya terdapat lantunan atau tuturan doa

yang disampaikan/dibacakan. Bacaan-bacaan yang dilantunkan oleh modin

terbentuk dari rangkaian-rangkaian kalimat yang membentuk sebuah wacana yang

utuh. Di dalam keutuhan sebuah wacana tersusun atas struktur-struktur yang

membentuknya.

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 14: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

14

Setiap wacana memiliki struktur yang berbeda, terlebih dalam kegiatan

yang berupa ritual. Struktur wacana dalam ritual sangat dimungkinkan memiliki

perbedaan ataupun cirri tersendiri dibandingkan dengan struktur wacana yang

lain. Keutuhan sebuah wacana didukung oleh keberadaan kode bahasa yang

beragam. Ragam bahasa ini digunakan untuk menyampaikan makna atau maksud

diselenggarakannya kegiatan ritual ini. Keberagaman bahasa atau penggunaan

kode bahasa yang beragam dilakukan karena bermacam-macam alasan. Demikian

juga dengan kode bahasa yang digunakan dalam kegiatan ritual selamatan di

pesarean Gunung Kawi ini. Keberagaman ini disesuaikan dengan fungsi dan

alasan-alasan lain yang mempengaruhi.

Munculnya alasan penggunaan bahasa yang beragam dapat digunakan

sebagai landasan untuk melihat pola pikir yang tercermin melalui tuturan yang

disampaikan. Pola pikir yang terlihat melalui tuturan yang disampaikan oleh

modin dapat dilihat dari adanya struktur dan pemilihan kode bahasa ataupun

leksikon yang digunakan. Pemilihan kode bahasa ini tidak digunakan secara tiba-

tiba ataupun tanpa pertimbangan yang tanpa makna. Di dalamnya pemilihan kode

bahasa tersebut tersimpan suatu makna yang dapat dikatakan sebagai cerminan

pola pikir.

Dengan melihat struktur pembentuk wacana akan didapatkan pengetahuan

mengenai pola atau struktur pembentuk wacana tuturan ritual selamatan. Hal ini

dilakukan karena sangat dimungkinkan terdapat perbedaan antara struktur wacana

ritual selamatan dengan struktur wacana yang lain. Lebih khusus lagi sangat

dimungkinkan terdapat perbedaan antara struktur wacana tuturan ritual selamatan

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 15: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

15

yang dilaksanakan di pesarean Gunung Kawi dengan ritual selamatan di tempat

lain. Di dalam setiap struktur atau bagian didukung oleh kode-kode bahasa yang

beragam. Keberagaman ini memiliki fungsi masing-masing dan juga memiliki

alasan penggunaan sendiri. Dengan melihat kode bahasa yang beragam ini akan

didapatkan pengetahuan mengenai fungsi dan alasan penggunaan kode bahasa

yang beragam. Selanjutnya, berdasarkan hal tersebut akan dapat diketahui aneka

pola pikir yang terlihat melalui tuturan tersebut. Melalui analisis terhadap kode-

kode bahasa tersebut juga akan diketahui alasan munculnya pola pikir tersebut.

Pada dasarnya terdapat banyak hal yang dapat diamati dari keberadaan

pesarean Gunung Kawi. Adanya proses bilingualisme dalam kehidupan

masyarakat, akulturasi budaya Jawa, Arab, dan China, variasi bahasa dalam

kegiatan ritual selamatan, sampai pada pengaruh bahasa dan budaya yang ada

terhadap pola pikir masyarakat di sekitar Gunung Kawi . Akan tetapi, melihat

kompleksnya permasalahan yang ada, tidak semuanya akan dibahas dalam

penelitian ini. Dalam penelitian ini akan difokuskan pada hal-hal yang berkenaan

dengan ritual selamatan.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dalam penelitian

ini terdapat pertanyaan besar yang hendak dilihat oleh peneliti. Pertanyaan besar

tersebut terkait dengan peristiwa bahasa apa yang terjadi dalam pelaksanaan

kegiatan ritual selamatan di pesarean Gunung Kawi. Penelitian ini akan

difokuskan pada kegiatan ritual selamatan terutama pada wacana tuturan yang

digunakan. Beberapa hal yang difokuskan terkait dengan wacana tuturan ritual

selamatan antara lain akan melihat struktur yang membentuk tuturan ritual

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 16: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

16

selamatan, kode bahasa yang digunakan (terkait dengan fungsi dan alasan

penggunaannya), dan melihat aneka pola pikir dan alasan munculnya pola pikir

tersebut. Untuk itu, dalam penelitian ini mengambil judul “Wacana Ritual: Studi

Kasus pada Ritual Selamatan di Pesarean Gunung Kawi, Malang, Jawa Timur”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan dalam latar belakang masalah di atas, dapat

dirumuskan permasalahan sebagai berikut.

a. Bagaimanakah struktur wacana ritual di pesarean Gunung Kawi?

b. Bagaimanakah penggunaan bahasa dalam wacana ritual di pesarean

Gunung Kawi?

c. Apa saja pola pikir yang tercermin melalui tuturan ritual dan mengapa

terbentuk pola pikir-pola pikir tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan atas berbagai rumusan masalah di atas, penelitian ini

memiliki tujuan sebagai berikut.

a. Mendeskripsikan struktur wacana ritual di pesarean Gunung Kawi.

b. Mendeskripsikan penggunaan bahasa dalam wacana ritual di pesarean

Gunung Kawi.

c. Mengidentifikasi pola pikir-pola pikir yang tercermin melalui tuturan

ritual dan menjelaskan alasan terbentuk pola pikir-pola pikir tersebut.

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 17: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

17

1.4 Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini akan dijelaskan berbagai hal dan kegiatan yang

dilaksanakan di Pesarean Gunung Kawi. Penelitian ini dilaksanakan dengan

berbagai tujuan yang ingin dicapai. Oleh sebab itu, penelitian ini diharapkan dapat

bermanfaat baik secara teoretis maupun praktis.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam beberapa

hal. Dalam bidang linguistik, akan memperkaya teori-teori tentang linguistic

maupun wacana yakni dengan melihat struktur wacana dalam kegiatan ritual dan

penggunaan bahasa dalam kegiatan ritual. Sementara itu, pola pikir yang

tercermin melalui penggunaan bahasa dalam tuturan ritual selamatan juga akan

terlihat. Selain itu, penemuan baru yang lain adalah melalui penelitian ini akan

dapat menemukan hakikat atau distinctive feature dari struktur wacana ritual,

penggunaan kode bahasa dalam ritual, dan pola pikir yang terlihat melalui tuturan

itu sendiri.

Terkait dengan hubungan bahasa dengan budaya, penelitian ini diharapkan

dapat menambah khazanah kajian tersebut. Edward Sapir mengungkapkan tiga hal

pengertian besar terkait dengan hubungan bahasa dan budaya. Pertama, bahasa

merupakan panduan simbolik menuju budaya. Kedua, kosakata merupakan

petunjuk yang sangat peka bagi budaya untuk masyarakat. Ketiga, bahwa bahasa

merupakan strategi penting untuk metodologi dalam ilmu sosial.

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 18: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

18

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, manfaat yang diharapkan dengan melakukan penelitian ini

di antaranya adalah memperkaya wawasan pembaca mengenai keberadaan

pesarean Gunung Kawi. Diharapkan pandangan masyarakat luas yang selama ini

hanya mengenal mitos-mitos yang masih dipercayai sampai saat ini, lebih

mengenal kemajemukan budaya yang dimiliki Gunung Kawi. Dengan mengenal

kemajemukan tersebut harapannya supaya dapat ditiru oleh daerah lain dalam

menjaga kesatuan dalam kemajemukan.

1.5 Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori

Dalam subbab ini terbagi atas dua bagian, yakni tinjauan pustaka dan

landasan teori. Untuk setiap subbab akan diuraikan sebagai berikut.

1.5.1 Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka merupakan hasil penelusuran penelitian-penelitian

ataupun tulisan-tulisan yang memiliki tema yang hampir sama dengan penelitian

yang peneliti lakukan. Berdasarkan hasil penelusuran ini akan didapatkan

pengetahuan bahwa penelitian yang peneliti lakukan belum pernah ada yang

melakukan. Tinjauan pustaka yang dilakukan meliputi penelitian atau tulisan yang

terkait dengan wacana ritual dan yang berbicara mengenai Gunung Kawi.

1.5.1.1 Wacana Ritual

Beberapa penelitian mengenai wacana ritual telah dilakukan oleh para

peneliti yang lain. Untuk itulah dilakukan penelusuran pustaka untuk

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 19: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

19

mendapatkan data bahwa penelitian yang peneliti lakukan ini khususnya pada

wacana tuturan ritual selamatan belum ada yang melakukan. Beberapa di antara

penelitian yang pernah dilakukan terkait dengan wacana ritual ataupun wacana

diuraikan sebagai berikut.

I Made Netra pada tahun 2011 menulis disertasi dengan judul “Wacana

Ritual Melong Pare Bulu Komunitas Petani Adat Bayan, Lombok Utara: Kajian

Etnopragmatik”. Dalam penelitian tersebut, Netra menggunakan pendekatan

etnopragmatik yang digunakan untuk memahami praktik-praktik sosial yang

terkait dengan konteks budaya. Terdapat beberapa penemuan dalam penelitian

tersebut. Pertama, tema umum dalam wacana ritual tersbeut adalah permohonan.

Kedua, variasi linguistik yang digunakan dalam wacana ritual tersebut meliputi

aspek fonologi (meliputi penggunaan fitur-fitur prosodi), aspek morfologi

meliputi penggunaan leksikon, aspek sintaksis berupa penggunaan tuturan

bermodus deklaratif, imperatif, kondisional, pengulangan leksikon, frase, dan

kalimat. Ketiga, kumonitas petani adat Bayan menggunakan tuturan langsung

literal, langsung tidak literal, tidak langsung literal, dan tidak langsung tidak

literal, yang dapat dikategorikan ke dalam tuturan asertif, direktif, eskpresif,

komisif, dan deklarasi. Keempat, wacana ritual tersebut mengandung norma-nora

dan nilai bidaya yang sampai saat ini mampu dipertahankan dan dijadikan aturan

adat setempat.

Persamaan dari penelitian yang telah dilakukan oleh Netra dengan yang

peneliti lakukan terdapat pada objek penelitian, yakni sama-sama meneliti

mengenai pelaksanaan ritual. Penelitian yang telah dilakukan oleh Netra

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 20: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

20

menggunakan pendekatan etnopragmatik. Perbedaan ditemukan pada jenis ritual

yang diteliti dan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini.

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Simon Sabon Ola dan Theo Ebon

Ola. Penelitian ini telah dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra

LOGAT. Dalam tulisan yang berjudul “Struktur Tuturan Ritual Kelompok Etnik

Lamaholot” didapatkan beberapa hasil. Pembahasan yang telah dilakukan

menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara struktur bahasa dan struktur

penuturan. Keterkaitan tersebut dapat dilihat melalui tataran fonologi,

morfosintaksis, dan budaya berbahasa pada masyarakat. Selain itu, hasil yang lain

menunjukkan terlihat adanya keserasian hubungan antara struktur bahasa,

keindahan bahasa, dan budaya bertutur masyarakat penuturnya.

Perbedaan antara penelitian yang telah dilakukan tersebut dengan

penelitian ini terletak pada subyek penelitian dan jenis struktur yang hendak

dibahas. Dalam penelitian tersebut struktur yang dibahas mengacu pada struktur

kebahasaan, dan dalam penelitian ini mengacu pada bentuk wacana yang dilihat

melalui bahasa yang digunakan. Adapun persamaan dalam penelitian ini adalah

sama-sama meneliti tuturan yang digunakan dalam sebuah ritual.

Penelitian mengenai analisis wacana ritual juga pernah dilakukan oleh Ni

Wayan Sartini. Melalui penelitian yang berjudul “Konsep dan Nilai Kehidupan

Masyarakat Tionghoa: Analisis Wacana Ritual Tahun Baru Imlek”, Sartini

merumuskan permasalahan bagaimana bentuk wacana ritual imlek dan konsep

kehidupan yang ditemukan dalam doa imlek tersebut. Adapun simpulan yang

didapatkan dalam penelitian tersebut adalah bahwa bentuk wacana ritual

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 21: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

21

masyarakat Tionghoa yang beragama Konghucu merupakan doa yang terdiri atas

rangkaian kalimat yang menyerupai prosa. Kalimat-kalimat yang terangkai

mengandung makna yang mendalam sesuai dengan ajaran agama Konghucu.

Dalam agama Konghucu tidak ada benda yang tidak memiliki makna. Oleh

kerananya, dalam perayaan Imlek ditemukan beragam benda dan hidangan yang

secara simbolik memiliki makna yang mendalam.

Di antara penelitian yang dilakukan oleh Sartini dengan yang peneliti

lakukan terdapat persamaan, yakni sama-sama menggunakan pendekatan analisis

wacana. Analisis dilakukan terdapat wacana ritual. Meskipun demikian, terdapat

perbedaan yakni pada subyek yang diteliti. Dalam penelitian Sartini fokus pada

bentuk wacana ritual masyarakat Tionghoa yang beragama Konghucu. Sementara

itu, penelitian yang peneliti lakukan fokus pada struktur wacana dan penggunaan

bahasa yang digunakan untuk melihat pola pikir.

Tulisan lain yang terkait dengan wacana ditulis oleh Kundharu Sadhono.

Tulisan yang disajikan dalam Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) ke-

10 ini berjudul “Wacana Bahasa Jawa dalam Khotbah Jumat di Kota Surakarta:

Perspektif Kajian Linguistik Kultural”. Dalam tulisan tersebut, didapatkan

simpulan bahwa bahasa yang digunakan dalam khotbah Jumat meliputi bahasa

Indonesia, bahasa Arab, bahasa Jawa, dan bahasa asing. Setiap bahasa digunakan

sesuai dengan fungsinya. Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang paling

dominan karena objek penelitian adalah khotbah Jumat di Kota Surakarta yang

memiliki bahasa pengantar bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Arab dalam

khotbah Jumat terkait dengan alasan bahwa kegiatan ini merupakan bentuk ibadah

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 22: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

22

dalam agama Islam. Oleh karenanya penggunaan bahasa Arab merupakan suatu

aturan atau tuturan situasi. Sementara itu, penggunaan bahasa Jawa ditemukan

karena adanya faktor lokasi dan faktor latar belakang budaya setempat. Untuk

penggunaan bahasa asing, ditemukan penggunaan bahasa Inggris.

Kemunculannya lebih disebabkan oleh faktor penutur.

Persamaan antara penelitian Kundharu dengan yang peneliti lakukan

adalah sama-sama melihat penggunaan bahasa. Akan tetapi, jika dalam penelitian

Kundharu melihat wacana bahasa dalam khotbah Jumat, dalam penelitian yang

peneliti lakukan adalah wacana dalam tuturan ritual selamatan. Selain itu, dalam

tulisan Saddhono ini juga fokus melihat wacana bahasa Jawa yang terlihat dari

judul yang digunakan, sementara untuk penelitian ini peneliti melihat semua

bahasa yang digunakan dalam pelaksanaan ritual selamatan.

Bandana juga pernah melakukan penelitian mengenai wacana ritual. judul

yang digunakan dalam penelitiannya adalah “Wacana Ritual Nyepi dalam Budaya

Bali: Sudut Pandang Linguistik Antropologi”. Dalam penelitian terdapat dua

rumus masalah penelitian, yakni (1) bagaimanakah struktur mantra dan saa

wacana ritual tersebut?, dan (2) apakah makna mantra dan saa itu secara budaya

atau kontekstual? Dalam penelitian ini, wacana ritual nyepei ditinjau dari dua hal,

yakni struktur linguistik yang berkaitan dengan kalimat imperative, dan makna

wacana ritual nyepi. Berdasarkan analisis yang dilakukan, didapatkan dua

simpulan. Pertama, ditinjau dari struktur kalimat imperative, wacana ritual nyepi

dibangun oleh 1) kata wehin ‘berikan (lah)’ + FN, 2) N + nunas ‘mohon’ + klausa,

3) mangda ledang ‘sudi kiranya’ + V + mangda ledang +klausa, dan 4) durus

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 23: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

23

‘silakan’ + klausa. Kalimat imperative dalam wacana ritual nyepi terdiri atas

kalimat imperative perintah dan permohonan. Kedua, dilihat dari makna yang

terkandung dalam wacana ritual nyepi maknanya adalah usaha introspeksi dan

pengendalian diri, pengendalian hawa nafsu dalam menyongsong tahun baru Saka

melalui empat jalan yang disebut brata penyepian.

Beberapa hal yang menjadi kesamaan antara penelitian Bandana dengan

yang penelitian lakukan adalah terletak pada sudung pandang kajian. Kedua

penelitian ini melihat struktur pembentuk wacana. Akan tetapi, dalam penelitian

tersebut struktur khusus dilihat dari kalimat imperative yang ada. Sementara itu,

dalam penelitian ini melihat dari struktur pembentuk wacana secara utuh.

Ola (2005) dalam penelitiannya yang berjudul “Tuturan Ritual dalam

Konteks Perubahan Budaya Kelompok Etnik Lamaholot di Pulau Adonara, Flores

Timur” mendeskripsikan perubahan-perubahan yang terjadi pada etnik tersebut.

Perubahan yang terjadi pada etnik Lamaholot dapat dikatakan menjadi ciri

kemajuan masyarakatnya. Perubahan tersebut terjadi baik pada bentuk, fungsi dan

makna, maupun nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Menurut Ola, berbagai

perubahan tersebut terjadi atas pengaruh perilaku dan perubahan nilai pada

kelompok etnik Lamaholot. Berdasarkan perubahan tersebut, dapat terlihat

pergeseran sifat dari yang semula bersifat komunal (kelompok) menjadi lebih

individualis (perseorangan).

Hal yang berbeda terjadi pada tuturan ritual ziarah di Pesarean Gunung

Kawi. Menurut juru kunci, tuturan tidak mengalami perubahan yang signifikan,

baik dalam bentuk (struktur), nilai, maupun makna yang terkandung di dalamnya.

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 24: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

24

Dikatakan bahwa tuturan atau bacaan yang dipakai dari dahulu memang campuran

bahasa Jawa, Indonesia, dan Arab. Sedangkan untuk makna memang lebih

bersifat indviualis, karena biasanya dilakukan oleh individu. Akan tetapi, terdapat

kemungkinan ritual selamatan yang dilakukan mengandung makna secara

universal, misalnya saja mengharap kebaikan untuk keluarga dan Negara.

Terdapat persamaan di antara penelitian yang dilakukan oleh Ola dengan yang

penulis lakukan. Persamaan tersebut terletak pada obyek penelitian yang sama-

sama meneliti mengenai tuturan ritual dalam kaitannya dengan konteks.

Geertz pernah melakukan penelitian tentang ritual abangan, santri, dan

priyayi. Di Indonesia memang dikenal memiliki pembagian struktur dalam

masyarakat yang demikian, meskipun dalam perkembangannya masih ada yang

dipertahankan dan ada yang sudah mengalami pergesaran. Selain melakukan

pembagian struktural seperti disebutkan di atas, Geertz juga menyinggung tentang

pelaksanaan ritual slametan yang dilakukan di masyarakat Mojokuto.

Penelitian yang dilakukan oleh Geertz dengan yang penulis lakukan adalah

sama-sama meneliti mengenai ritual selamatan. Akan tetapi, terdapat perbedaan

pengertian mengenai selametan itu sendiri. Selain itu, perbedaan lain juga terletak

pada fokus penelelitian. Jika Geertz lebih fokus pada pembagian structural dan

kegiatan selamatan yang dilakukan oleh masing-masing struktur maka penelitian

yang penulis lakukan lebih fokus pada tuturan yang digunakan dalam kegiatan

ritual.

Penelitian lain yang berkenaan dengan ritual juga telah dilakukan oleh

beberapa peneliti, di antaranya Setiyadi (tanpa tahun), Syarifuddin (2008), Harris

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 25: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

25

(2002), Pusat Bahasa (1987), dan beberapa peneliti yang lain. Subyek penelitian

yang terkait dengan ritual pun telah beragam, di antaranya yang berhubungan

dengan adat istiadat upacara daur hidup dan upacara kemasyarakatan, baik

kematian, perkawinan, kelahiran, maupun bidang-bidang lain seperti pertanian,

perdagangan, dan pendidikan.

Pada disertasi Syarifuddin (2008) yang berjudul “Mantra Nelayan Bajo:

Cermin Pikiran Kolektif Orang Bajo di Sumbawa” diklasifikasikan berbagai

macam jenis mantra yang digunakan oleh masyarakat Bajo. Hal tersebut

dilakukan guna mengungkapkan sistem pengetahuan orang Bajo di Sumbawa.

Selain itu juga didapatkan simpulan mengenai struktur mantra yang digunakan.

Adapun struktur penuturan tersebut disusun oleh unsur judul, pembuka, niat,

sugesti, tujuan, dan penutup. Dalam disertasi ini juga dilihat konstruksi linguistik

yang digunakan untuk melihat (i) permintaan dan pernyataan; (ii) sasaran

permintaan; (iii) wujud permintaan (fungsi mantra); dan (iv) sifat dari wujud

permintaan.

Persamaan di antara penelitian Syarifuddin dengan penelitian yang peneliti

lakukan terletak pada salah satu tujuan yang ingin dicapai. Penelitian yang

dilakukan oleh Syarifuddin hendak mendeskripsikan mengenai mantra yang

merupakan cerminan pola pikir kolektif masyarakat Sumbawa. Sementara itu,

dalam penelitian yang penulis lakukan hendak mendefinisikan jenis pola pikir

yang terlihat melalui tuturan ritual yang digunakan dan menjelaskan alasan

munculnya pola pikir tersebut.

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 26: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

26

Perbedaan antara penelitian yang telah dilakukan dengan penelitian yang

akan dilakukan ini terletak pada obyek penelitian. Dalam penelitian Syarifuddin,

yang dijadikan sebagai obyek penelitian adalah mantra yang dimiliki oleh orang

Bajo. Sementara itu, dalam penelitian ini obyek penelitiannya adalah tuturan yang

digunakan dalam ritual selamatan.

Penelitian mengenai tuturan ritual juga pernah dilakukan oleh tim dari

Pusat Bahasa (1987). Penelitian yang sudah terbit dalam bentuk buku tersebut

berjudul “Tuturan Ritual Dalam Sastra Lisan Lio” dan diterbitkan oleh Pusat

Bahasa. Dalam penelitian tersebut terdapat beberapa kesimpulan, salah satunya

bahwa tuturan ritual Lio masuk dalam jenis karya sastra lisan yang memiliki nilai-

nilai tinggi. Tuturan ritual mengungkapkan latar belakang kepercayaan

masyarakat Lio yang bersifat animisme dan dinamisme saat tuturan tersebut masih

digunakan oleh masyarakat. Kekuatan magis ditandai oleh getaran suara

penuturnya, pilihan kata dengan menggunakan pola-pola paralelisme. Tuturan

ritual Lio tidak dapat dikuasai oleh masyarakat awam karena tuturan tersebut

diperlakukan sangat suci dan keramat.

Persamaan dan perbedaan di antara penelitian yang dilakukan oleh Tim

Pusat Bahasa dengan penelitian yang penulis lakukan akan dijelaskan lebih lanjut.

Persamaan di antara keduanya terletak pada obyek penelitian, yakni sama-sama

meneliti mengenai tuturan ritual. Sementara itu, perbedaan di antara keduanya

terletak pada jenis kajiannya. Penelitian yang dilakukan oleh Tim Pusat Bahasa

lebih menggunakan kajian kesusasteraan dengan memasukkan tuturan ritual

selamatan sebagai salah satu bentuk sastra lisan.

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 27: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

27

Berdasarkan beberapa tinjauan pustaka di atas, dapat disimpulkan bahwa

penelitian mengenai ritual telah banyak dilakukan. Akan tetapi, penelitian yang

fokus pada wacana tuturan ritual khususnya ritual selamatan belum banyak

dilakukan. Untuk itulah penelitian ini dilakukan untuk dapat menambah kekayaan

penelitian.

1.5.1.2 Gunung Kawi

Beberapa penelitian dan tulisan terkait yang mengambil lokasi penelitian

di Gunung Kawi juga telah dilaksanakan. Salah satu tulisan yang dimuat di

Malang Post, memunculkan hasil-hasil wawancara dengan beberapa pengunjung

tentang motivasi mereka mendatangi Pesarean Gunung Kawi. Pengunjung yang

beragam ternyata memiliki harapan dan tujuan yang beragam pula mendatangi

Pesarean Gunung Kawi. Menurut pengunjung, berbagai uba rampe seperti bunga,

kemenyan, dan minyak wangi juga bisa didapatkan di sekitar makam. Selain

bunga dan kemenyan, ritual selametan juga diwajibkan membawa sesajen yang

berupa makanan. Sama halnya dengan bunga dan kemenyan, sesajen yang berupa

makanan juga dapat dipesan di tempat tersebut. Dengan demikian, pelaku ritual

tidak harus menyiapkan sendiri ketika hendak melakukan ritual selametan. Hal itu

dilakukan guna memudahkan pelaku dalam melaksanakan ritual selamatan.

Meskipun demikian, bagi peserta ritual yang ingin menyediakan sendiri dengan

membawa dari rumah juga tidak menjadi masalah.

Tulisan di atas lebih menyoroti mengenai kegiatan ritual selamatan yang

dilakukan. Selain itu, juga menyoroti mengenai jenis-jenis uba rampe yang

dibawa oleh pelaku. Tulisan tersebut juga menyampaikan mengenai tujuan dan

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 28: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

28

harapan pengunjung pesarean Gunung Kawi, baik yang melakukan ritual maupun

tidak. Sementara itu, dalam penelitian yang penulis lakukan lebih fokus pada

kegiatan ritual selamatan dan fokus pada tuturan yang digunakan dalam ritual

selematan tersebut. Adapun persamaannya hanya pada lokasi penelitian, yakni

sama-sama melakukan penelitian di pesarean Gunung Kawi.

Tulisan lain mengenai Gunung Kawi juga telah dilakukan oleh beberapa

mahasiswa dari Jurusan Teknik Univesitas Brawijaya, yakni Haris Wicaksono,

Ida Bagus Ananta, Wachyu Dewantara, dan Yoka Krisma (2005). Beberapa

mahasiswa tersebut lebih tertarik melihat segi arsitektur bangunan Makam

Gunung Kawi. Berdasarkan penelitian yang mereka lakukan, ditemukan fakta

bahwa arsitek bangunan Pesarean Gunung Kawi mengandung banyak unsur

filosofis. Bangunan yang tampak sangat memperlihatkan adanya kemajemukan

budaya, memperlihatkan multikultural yang sangat memesona. Bangunan yang

ada merupakan campuran Jawa, Islam, dan Cina dengan masing-masing keunikan

dan kelebihannya. Arsitektur Jawa terlihat dari ukiran-ukiran yang terpajang di

atas pusara dan di pintu masuk pesarean. Arsitektur Cina tampak pada keberadaan

Ciamsi (tempat meramal) dan bangunan klenteng. Sedangkan arsitektur Islam

terlihat dari banyaknya ukiran berbahasa Arab maupun bangunan masjid di

sekitarnya.

Penelitian yang telah dilakukan tersebut lebih melihat pada sisi arsitektur

yang terdapat di lokasi tersebut. Dalam penelitian tersebut tidak diungkap makna

yang terkandung di balik pemilihan arsitektur yang demikian. Sementara itu,

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 29: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

29

dalam penelitian yang penulis lakukan tidak menyinggung mengenai arsitektur

maupun maknanya, tetapi fokus pada kegiatan ritual yang dilaksanakan.

Penelitian lain mengenai Gunung Kawi juga pernah dilakukan oleh Irawati

(2007). Penelitian tersebut berjudul “Persepsi Masyarakat Tentang Pesarean

Gunung Kawi (Studi pada Pengunjung Obyek Wisata Pesarean Gunung Kawi)”.

Dalam penelitian tersebut, penulis memiliki kesimpulan bahwa persepsi

pengunjung mengenai pesarean Gunung Kawi cukup bervariasi. Muncul variasi

tersebut, menurut penulis karena ada pengunjung yang paham terhadap

komponen-komponen di dalam pesarean Gunung Kawi dan ada pengunjung yang

kurang paham terhadap komponen-komponen tersebut. Untuk pengunjung yang

paham tergolong pengunjung yang rutin mengunjungi pesarean untuk melakukan

berbagai macam kegiatan yang ada. Sementara itu, bagi yang kurang paham

tergolong pengunjung yang baru satu kali atau dua kali datang ke pesarean

tersebut. Selain adanya persepsi di atas, penulis juga menemukan adanya persepsi

negatif yang muncul. Persepsi negatif ini muncul karena adanya isu-isu

pesugihan yang muncul di kalangan masyarakat.

Penelitian mengenai persepsi di atas dilakukan untuk melihat beragamnya

persepsi pengunjung mengenai pesarean Gunung Kawi. Penelitian tersebut tidak

melihat hal-hal yang melatarbelakangi munculnya persepsi pegunjung. Fokus

yang berbeda antara penelitian tersebut dengan penelitian yang penulis lakukan

menjadi perbedaan antara penelitian tersebut dengan penelitian yang penulis

lakukan. Akan tetapi, di antara kedua penelitian ini sama-sama memilih Gunung

Kawi sebagai lokasi penelitian.

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 30: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

30

Tulisan lain yang terkait dengan Gunung Kawi juga ditulis oleh seorang

pengamat budaya, R.M. Danardono (2004). Dalam tulisannya, Danardono

menjelaskan beberapa hal, yakni tentang mitos pesugihan, mitos pohon

Dewandaru, dan Guci Kuno. Selain itu, juga mengungkapkan tentang keberadaan

makam kaitannya dengan perjuangan Diponegoro. Dalam tulisannya, juga

ditekankan tentang kehidupan masyarakat yang multikultural, percampuran antara

etnis Jawa dan etnis Cina dengan kehidupan yang harmonis. Hal lain yang juga

diamati dalam tulisannya adalah melihat ritual dalam kaitannya dengan

komodifikasi budaya. Salah satu ritual yang diungkapkan adalah ritual di bulan

Suro, yakni Suronan. Dalam ritual tersebut banyak acara yang digelar dan banyak

sesajen yang disajikan. Pemerintah ternyata berupaya membawa ritual tersebut

sebagai upaya pelestarian budaya melalui kegiatan wisata. Salah satu upaya yang

dilakukan adalah dengan memberikan fasilitas kepada masyarakat yang

merayakan kegiatan ritual Suronan. Pemerintah kecamatan mengadakan lomba

membuat tumpeng dan membuat semacam patung sebagai simbol kejahatan yang

nantinya akan dibakar beramai-ramai sebagai tanda mematikan atau membakar

kejahatan.

Berdasarkan tinjauan pustaka yang terkait dengan pesarean Gunung Kawi

dapat diketahui bahwa belum ada penelitian yang terkait dengan sisi bahasa.

Untuk itulah dalam penelitian ini mengambil lokasi pesarean Gunung Kawi

dengan melihat sisi bahasanya. Penelitian ini lebih fokus lagi pada kegiatan ritual

selamatan dengan mengambil obyek penelitian pada tuturan ritual selamatan.

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 31: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

31

1.5.2 Landasan Teori

Landasan teori yang akan digunakan sebagai pijakan dalam penelitian ini

terbagi atas beberap kategori, di antaranya Analisis Wacana, Konteks, Etnografi

Komunikasi, dan pola pikir manusia.

Berbicara mengenai linguistik, merupakan sebuah fenomena yang menarik

sehingga banyak hal yang dapat dikembangkan dan diteliti lebih lanjut. Linguistik

tidak hanya berbicara mengenai bahasa dan susunannya, melainkan merupakan

disiplin ilmu yang tujuan studinya meliputi banyak hal. Linguistik atau bahasa

dapat terkait dengan struktur, tata bahasa, sosial, maupun budaya dalam setiap

kajiannya. Linguistik merupakan ilmu yang di dalamnya meliputi banyak hal.

Tidak hanya meliputi kebahasaan secara umum, akan tetapi berkaitan dengan

segala hal yang mempengaruhinya. Beberapa di antaranya berhubungan dengan

budaya (etno), sosial, maupun sejarahnya. Meskipun demikian, linguistik tetap

saja masih berkaitan dengan struktur bahasa atau melihat wacana (teks) yang ada.

Setiap bahasa memiliki struktur yang berbeda dengan bahasa yang lain. Hal itulah

yang menyebabkan adanya keanekaragaman struktur bahasa.

Keberagaman struktur bahasa juga disertai dengan keberagaman bahasa.

Keberagaman bahasa ataupun kajiannya merupakan sesuatu yang tidak dapat

diingkari. Akan tetapi, keberagaman tersebut bergantung pada pendekatan teoretis

dan ketertarikan penelitian dari orang yang bersangkutan. Selain itu, juga

bergantung pada tujuan dan metode untuk melihat perbedaan antarbahasa yang

bervariasi. Dengan demikian, akan sangat sulit mencari sebuah definisi yang

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 32: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

32

tepat mengenai bahasa maupun bidang kajiannya. Membatasi kajian bahasa sama

halnya dengan membatasi definisi mengenai bahasa atau linguistik itu sendiri.

Mendefinisikan bahasa merupakan suatu tugas yang dapat dikatakan

sangat tidak mungkin (Danesi; 2004:8). Berdasarkan etimologi, bahasa dapat

didefinisikan sebagai penggunaan “lidah” atau bahasa untuk mengkreasikan

secara tegas arti dari signs atau “tanda”. Tanda adalah segala sesuatu yang berdiri

untuk sesuatu yang berada di luar dirinya. Sebagai contoh, ketika kita

menggunakan atau mendengar kata merah, kita tidak akan berpikir untuk

membandingkan hubungan antara m-e-r-a-h, tetapi lebih pada jenis warna yang

memiliki acuan. Berdasarkan hal tersebut, bahasa dapat didefinisikan secara lebih

tepat sebagai sebuah kode mental yang tandanya dibentuk “dengan lidah/bahasa”

(Danesi;2004:8).

Bahasa merupakan simbol dalam interaksi sosial antarmanusia. Seperti

yang disampaikan oleh Casson (1981:11) bahwa bahasa adalah symbolic meaning

system, dan kebudayaan adalah sebagai simbol dari sistem tersebut. Lebih lanjut

diungkapkan oleh Sapir (dalam Casson; 1981:15) berikut.

Like language, it is a semiotic system in which symbols function tocommunicate meaning from one mind to another. Cultural like symbols,like linguistic symbols, encode a connection between a signifying form anda signaled meaning.

‘Bahasa sebagai sebuah sistem tanda yang memiliki fungsimengkomunikasikan makna dari satu pikiran ke pikiran yang lain.Sementara itu, budaya sebagai simbol, menghubungan antara bentukpenanda dengan makna yang ditandai’.

Bahasa selalu dibawa oleh manusia di manapun mereka berada. Karena

pada dasarnya, di manapun manusia berada, di sana terdapat bahasa. Bahasa

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 33: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

33

memungkinkan manusia untuk melintasi dunia untuk mengklasifikasikan segala

sesutau yang relevan dan berarti bagi mereka. Bahasa merupakan hal yang sangat

fleksibel dan mampu mengungkapkan segala hal yang diharapkan oleh

penuturnya (Nuryani; 2010:248). Dengan demikian, bahasa telah menjadi alat

bagi manusia tidak sekadar menginformasikan sesuatu, tetapi lebih dari itu bahasa

menjadi alat ekspresi bagi manusia dengan segala macam kondisi yang ada.

Danesi (2004:1) mengungkapkan bahwa tanpa bahasa, di sana tidak akan

ada ilmu pengetahuan, agama, perdagangan, pemerintahan, sastra, filsafat, dan

tidak akan ada sistem maupun kegiatan lain yang merupakan karakteristik

manusia. Dengan demikian, sangat disadari pentingnya bahasa dalam hidup dan

keberadaan manusia sangat memungkinkan untuk berkembangnya bahasa.

Manusia beserta budayanya sangat memungkinkan adanya perbedaan dalam

menggunakan bahasa, sehinga tidak mengherankan pula jika dengan bahasa

tersebut sedikit banyak memengaruhi cara manusia memikirkan sesuatu.

Semakin disadari bahwa bahasa merupakan cermin pola pikir dan

pengetahuan seseorang atau masyarakat tertentu. Sapir dan Whorf juga telah

mengkaji hubungan bahasa dan budaya, serta menyatakan bahwa terdapat

hubungan antara bahasa dengan pola pikir yang telah melahirkan konsep yang

terkenal dengan relativitas bahasa (linguistic relativity). Kerangka teoretis yang

terkait dengannya dikenal sebagai Hipotesis Sapir-Whorf (Sapir-Whorf

Hypothesis).

Haryanti dan Agus (2009:134) menyatakan bahwa penggunaan bahasa

oleh masyarakat penutur bahasa bermakna dan mengacu pada suatu peristiwa,

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 34: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

34

tindakan, benda, dan keadaan atau dengan kata lain dalam pengungkapan dari

semua aspek kehidupan, penutur bahasa menggunakan potensi bahasa. Hal ini

berarti bahwa “pandangan dunia” dari pendukung kebudayaan tersebut dapat

diketahui. Melalui bahasalah berbagai pengetahuan baik yang tersirat maupun

yang tersurat dapat terungkap.

Seorang ahli bahasa mengatakan bahwa kebudayaan (culture) bersinonim

dengan cara hidup suatu kelompok masyarakat (Lado; 1979:129). Hal ini dapat

kita asumsikan bahwa cara pandang atau cara hidup suatu kelompok masyarakat

menjadi bagian dari kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat tersebut.

Sementara itu, kebudayaan yang muncul sedikit banyak akan tercermin atau

terlihat dalam bahasa yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Sebagai contoh

adalah cara hidup orang Jawa dapat dipadankan dengan kebudayaan Jawa.

Kebudayaan Jawa yang seperti apa bentuknya terkihat dalam bahasa Jawa yang

dimiliki oleh masyarakat Jawa.

Kessing (dalam Casson; 1981:46) menyatakan bahwa kebudayaan adalah

sistem adaptasi, sistem kognisi, sistem struktural, sistem simbolis, dan sistem

ideasional. Untuk itulah, kebudayaan tidak dapat dilepaskan dari kehidupan

sebuah kelompok masyarakat. Melalui kebudayaan yang dimiliki, masyarakat

mencoba untuk selalu beradaptasi dengan berbagai lingkungan yang ada di

sekitarnya. Selain itu, melalui bahasa pula masyarakat mengenal adanya struktur

yang terdapat dalam sebuah kelompok masyarakat.

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 35: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

35

1.5.2.1 Analisis Wacana

Istilah wacana dewasa ini menjadi istilah yang cukup hangat dibicarakan

oleh para ahli bahasa maupun ahli-ahli sosial. Berbagai perdebatan ilmiah pun

memunculkan beragam definisi dan pola-pola wacana yang akan menentukan

perkembangan definisi wacana ke depannya. Meskipun demikian, sampai saat ini

belum ada kesepakatan mengenai definisi pasti tentang wacana. Hal itu sekiranya

wajar karena wacana bukanlah sebuah pendekatan tunggal, melainkan serangkaian

pendekatan multidisipliner yang dapat digunakan untuk menganalisis banyak

ranah sosial. Dalam KBBI (2008:1804) wacana diartikan sebagai keseluruhan

perkataan atau ucapan yang merupakan suatu kesatuan, atau pertukaran ide secara

verbal.

Pengetahuan selalu berkembang seiring dengan perkembangan

kemampuan berpikir pengguna bahasa. Hal itu yang menjadikan perkembangan

dalam berbagai pedekatan kritis digunakan untuk melihat kebenaran pengetahuan

secara obyektif. Realitas yang ada hanya dapat kita akses melalui ketagori-

kategori yang dalam pendekatan wacana dapat dikatakan sebagai produk wacana.

Pengetahuan yang dimiliki manusia dikatakan berkembang ketika telah mampu

memberikan kontribusi baik dalam kaitannya dengan pribadinya maupun

hubungan sosialnya.

Beberapa tokoh muncul dengan beragam paradigma yang mengikuti

kemunculannya. Dua paradigma dalam linguistik memiliki asumsi-asumsi

berbeda terhadap hakikat dan tujuan linguistik (Schiffrin; 1994:181). Perbedaan

penyebutan sekiranya bukan menjadi permasalahan yang mendasar dari definisi

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 36: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

36

ancangan kajian wacana itu sendiri, melainkan semakin memantapkan bahwa

kajian ini memang menarik. Dua paradigma tersebut adalah paradigma formalis

(New Meyer, 1983) atau paradigma strukturalis (Hymes, 1974) dan paradigma

fungsionalis (dalam Schiffrin; 1994:181-182).

Ancangan kajian wacana menurut paradigma formalis dan fungsional

digambarkan sebagai berikut:

No Srtuktural No Fungsional

1. Struktur bahasa (kode) sebagai

grammar (tata bahasa)

1. Struktur tuturan (tindakan, peristiwa)

sebagau cara bertutur

2. Penggunaan bahasa hanya

pelengkap, mungkin terbatas,

mungkin berhubungan dengan apa

yang dianalisis sebagai kode;

analisis kode mendahului analisis

penggunaan

2. Analisis penggunaan bahasa lebih

diutamakan dari pada analisis kode;

organisasi penggunaan bahasa menyingkap

hubungan dan cirri tambahan;

menunjukkan kode dan penggunaan bahasa

dalam hubungan integral

3. Fungsi referensial penggunaan

secara semantik sebagai norma

3. Keseluruhannya merupakan fungsi sosial

atau gaya bahasa

4. Elemen-elemen dan struktur

analitis bersufat arbitrer atau

bersifat semesta

4. Elemen-elemen dan struktur-struktur

bahasa dianggap sebagai kecocokan

etnografi

5. Kesamaan fungsional dari bahasa;

semua bahasa pada dasarnya sama

5. Perbedaan fungsional dari bahasa, gaya

bahasa pada dasarnya belum tentu sama

6. Satu komunitas dank ode yang 6. Masyarakat tutur sebagai matriks repertoar-

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 37: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

37

homogeny kode, atau gaya tutur yang berbeda

7. Konsep-konsep dasar seperti

masyarakat tutur, tindak tutur,

penutur yang lancer, fungsi ujaran,

dan bahasa diterima apa adanya.

7. Konsep-konsep dasar dianggap sebagai

problematik dan harus diteliti.

Pandangan formalis (struktural) memunculkan definisi klasik yang

didasarkan atas asumsi-asumsi formalis, yang berpendapat bahwa wacana adalah

bahasa di atas kalimat atau di atas klausa. Analisis tersebut diikuti oleh

strukturalisme yang dikemukakan oleh Levi-Strauss, akan tetapi analisis tersebut

terkadang mengabaikan adanya hubungan-hubungan fungsional dengan konteks

yang merupakan bagian dari wacana (Van Dijk;1997:35). Seorang ahli bahasa

yang pertama menyebut “analisis wacana” menyatakan secara jelas bahwa wacana

adalah tingkat selanjutnya dalam sebuah hirarki morfem, klausa, dan kalimat.

Struktur menjadi sesuatu yang penting dalam wacana, oleh sebab itu wacana

menentang serangkaian kalimat acak. Sementara wacana menurut pandangan

fungsionalis adalah studi tentang semua aspek penggunaan bahasa (Fasold;

1997:67). Sementara itu, dalam tulisan ini wacana selain dipandang sebagai satu

kesatuan bahasa yang dibentuk dari susunan kalimat-kalimat juga sebagai

kesatuan utuh yang dapat mengungkapkan pikiran manusia..

Brown dan Yule (1983:1) juga mengungkapkan pandangan wacana.

Analisis wacana sudah pasti adalah analisis penggunaan bahasa.Dengan demikian, analisis wacana tidak dapat dibatasi padapenggunaan penggambaran bentuk-bentuk linguistik yang terlepas

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 38: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

38

dari tujuan-tujuan atau fungsi-fungsi yang dipenuhi dari perancanganfungsi-fungsi ini dalam urusan sehari-hari manusia.

Melihat definisi di atas jelas bahwa dalam kajian wacana tidak dapat

dilepaskan dari penggunaan bahasa dalam kehidupan di masyarakat. Berbicara

mengenai analisi penggunaan bahasa, tidak pula dapat dilepaskan dari analisis

mengenai tujuan dan fungsi bahasa tersebut dalam penggunaannya. Merujuk pada

pandangan Fairclough (1989:23) mengenai konsep tentang bahasa, yakni bahasa

adalah sebuah bagian dari masyarakat; sementara fenomena-fenomena linguistik

adalah fenomena-fenomena sosial khusus, dan fenomena-fenomena sosial adalah

fenomena-fenomena linguistik. Analisis wacana menurut pandangan fungsional

memang terkait erat dengan fungsi bahasa.

Definisi lain mengenai wacana adalah wacana dikatakan sebagai ujaran,

dan banyak para ahli bahasa yang menyatakan bahwa ujaran adalah kalimat-

kalimat yang dikontekskan atau terikat konteks. Munculnya definisi bahwa

wacana merupakan ujaran, menunjukkan adanya tujuan dari analisis wacana,

yaitu:

- Apakah ada prinsip-prinsip yang mendasari urutan dalam suatu ujaran,

atau satu tipe ujaran mengikuti yang lainnya?

- Bagaimana organisasi wacana dan arti serta penggunaan ekspresi-ekspresi

dan konstruksi-konstruksi dalam konteks-konteks tertentu?

- Bagaimana satu ujaran memengaruhi isi komunikasi dari ujaran lainnya?

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 39: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

39

Melihat beragamnya uraian mengenai definisi wacana, analisis wacana,

maupun kajian ancangan wacana dapat disimpulkan sebuah definisi yang

sekiranya dapat dijadikan pijakan untuk melakukan analisis terhadap sebuah

wacana. Wacana dapat diartikan sebagai sebuah ujaran yang memiliki struktur dan

analisis dilakukan terhadap penggunaan bahasa yang beragam dengan melihat

teks dan konteksnya. Munculnya bahasa yang beragam menurut Rorty (1991:4)

sebagai sebuah fenomena yang wajar. Rorty (1991:4) menyatakan bahwa “we

have a variety of language because we have a variety of purpose”. Manusia

memiliki beragam tujuan dalam menggunakan bahasa, oleh sebab itu muncullah

beragam bahasa yang digunakan.

Hal itu dapat dilihat dalam wacana Modin dalam memimpin ritual di

Pesarean Gunung Kawi. Beragamnya manusia yang hadir, beragamnya latar

belakang tujuan pelaku ritual, beragamnya budaya yang dibawa, dan beragamnya

fungsi bahasa yang muncul menjadikan bahasa yang digunakan dalam tuturan

Modin juga beragam.

Penggunaan wacana secara utuh didasarkan atas pertimbangan bahwa

melalui wacana yang utuh itulah dapat diambil sebuah analisis sebagai

pengungkap pikiran. Adapun yang dimaksud dengan wacana yang utuh adalah

wacana yang lengkap, yang mengandung aspek-aspek yang terpadu dan menyatu

(Syarifuddin; 2008). Wacana dapat dikatakan utuh jika telah memenuhi aspek

pengutuh wacana, yakni kohesi dan koherensi. Kohesi merupakan hubungan

bentuk dalam sebuah wacana, sementara koherensi merupakan hubungan makna

atau hubungan semantik dalam wacana.

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 40: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

40

Dalam tulisan ini, wacana juga dilihat sebagai language use atau

penggunaan bahasa tersebut. Bahasa yang dituturkan digunakan untuk beragam

tujuan, untuk itu guna mendapatkan interpretasi yang lebih tepat tidak dapat

dilepaskan dari adanya konteks. Dalam menginterpretasi makna sebuah ujaran

sangat perlu memperhatikan konteks, sebab konteks akan menentukan makna

dalam setiap ujaran (lihat Brown dan Yule; 1983:25). Adapun faktor konteks yang

muncul dalam mantra atau doa adalah pembicara (addressor), lawan bicara

(addressee), topik (topic), latar (setting), saluran (chanel), bentuk pesan (message

form), kode (code), peristiwa (event), kunci (key), dan tujuan (purpose). Faktor-

faktor tersebut hamper sama dengan konsep SPEAKING yang ditawarkan oleh

Hymes, yang dijelaskan lebih lanjut pada subbab Etnografi Komunikasi.

1.5.2.2 Konteks

Situasi sosial dan budaya suatu kelompok masyarakat sangat

dimungkinkan beragam. Hal itu menjadikan beragam pula model atau cara

masyarakat dalam berbahasa. Dengan demikian, tidak mengherankan jika

ditemukan beragam tuturan dengan beragam tujuan pula. Dalam hal ini dapat

dikatakan juga bahwa satu bentuk tuturan sangat dimungkinkan memiliki beragam

makna jika dianalisis berdasarkan konteksnya. Secara sederhana, Mulyono (2005:

21) memberikan pengertian konteks adalah situasi atau latar terjadinya suatu

komunikasi.

Konteks berperan penting dalam memberikan makna atau

menginterpretasi sebuah tuturan. Dalam kajian bahasa seperti sosiolinguistik,

pragmatik, wacana, maupun sosiopragmatik sendiri konteks menjadi bagian

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 41: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

41

penting (Van Dijk; 2009:1). Sama halnya yang disampaikan oleh Danesi

(2004:116) bahwa aspek penting dalam menentukan makna dari sebuah tuturan

adalah konteks. Segala sesuatu yang berhubungan dengan tuturan, apakah

berkaitan dengan arti, maksud, maupun informasinya, sangat tergantung pada

konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu (Mulyana; 2005: 21). Untuk

itulah, dalam menganalisis bahasa yang lebih luas sampai pada bentuk bahasa

yang kecil seperti tuturan, diperlukan pemahaman mengenai gambaran konteks

yang melatarbelakangi.

Pada awal kemunculannya, istilah konteks yang diperkenalkan oleh

Malinowski adalah konteks situasi yang diperlukan hanya ketika sedang

mempelajari bahasa primitive (Halliday dan Hasan; 1994:9). Akan tetapi, sejalan

dengan perkembangan penelitian, Malinowski kemudian menyanggah

pendapatnya sendiri. Menurut Malinowski kegiatan yang dilakukan orang bisa

saja berbeda di satu tempat atau waktu dengan di tempat atau waktu lainnya;

tetapi asas umum bahwa bahasa harus dipahami berdasarkan konteks situasinya

jelas berlaku untuk setiap kelompok masyarakat di setiap tingkat perkembangan

(Halliday dan Hasan; 1994:10). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tidak

ada perbedaan antara bahasa yang primitive maupun yang maju, dalam memahami

maknanya tetap didasarkan pada konteks situasinya.

Dalam bertutur setiap orang selalu memperhatikan konteks, baik konteks

situasi maupun konteks sosialnya. Bahkan tidak hanya ketika mengeluarkan

tuturan, ketika hendak mengambil makna dari tuturan orang lain atau

memperkirakan apa yang akan dibicarakan oleh orang lain lagi, manusia selalu

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 42: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

42

menggunakan konteks. Situasi terjadinya interaksi kebahasaan memberikan para

pelibat banyak sekali keterangan tentang makna yang sedang dipertukarkan, dan

makna-makna yang kemungkinan besar akan dipertukarkan (Halliday dan Hasan;

1994: 13). Untuk itulah perlu kiranya memahami konteks situasi dan konteks

sosial lingkungan tempat bertutur.

Konteks sering dimaknai terkait dengan faktor geografi, sejarah situasi,

lingkungan, ataupun latar belakang politik (Van Dijk; 2004: 2). Hal-hal tersebut

sangat dimungkinkan membuat bentuk tuturan memiliki makna beragam yang

dipertukarkan. Untuk memahami konteks situasi, Firth memberikan pemerian hal-

hal yang terkait dengan konteks situasi. Berikut pokok-pokok pandangan Firth

mengenai konteks situasi (Halliday dan Hasan; 1994:11).

1) Pelibat dalam situasi,

Dalam hal ini yang di maksud dengan pelibat dalam situasi adalah

orang-orang yang terlibat di dalam proses berkomunikasi atau bertutur.

Pelibat ini dalam Hymes dikenal dengan istilah participants.

2) Tindakan

Maksud dari tindakan adalah tindakan yang dilakukan oleh pelibat

dalam proses bertutur. Segala hal yang dilakukan oleh pelibat disebut

sebagai tindakan, baik tindakan verbal maupun non-verbal.

3) Ciri-ciri situasi lainnya yang relevan

Ciri-ciri ini terkait dengan hal-hal atau benda-benda yang ada di sekitar

pelibat yang sekiranya memiliki keterkaitan dengan peristiwa yang

sedang berlangsung.

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 43: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

43

4) Dampak-dampak tindakan tutur

Dampak diartikan sebagai bentuk-bentuk perubahan yang ditimbulkan

dari kegiatan tersebut. Dampak tindakan tutur ini oleh Searle dikenal

dengan tindak perlokusi.

Konteks situasi yang terkait dengan waktu dan tempat kiranya tidak cukup

untuk membuat atau menentukan makna secara lebih jelas. Selain konteks situasi,

yang perlu dipahami juga adalah konteks sosial. Seperti disampaikan oleh Van

Dijk (2009: 2) bahwa konteks digunakan untuk mengacu pada situasi sosial dalam

penggunaan bahasa secara umum, atau pada situasi khusus yang diberikan pada

sebuah teks atau pembicara.

Halliday dan Hasan (1994:16) menawarkan konsep-konsep yang dapat

digunakan untuk menafsirkan konteks sosial teks atau tuturan. Konsep-konsep

tersebut adalah medan, pelibat, dan sarana. Medan menunjuk pada peristiwa yang

sedang terjadi, pada sifat tindakan sosial yang sedang berlangsung. Konsep medan

ini digunakan untuk menjawab pertanyaan “apa yang sedang dilakukan oleh

pelibat yang di dalamnya bahasa menjadi bagian dari unsur pokok tertentu?”.

Pelibat menunjuk pada orang-orang yang berperan atau ambil bagian dalam

peristiwa yang sedang berlangsung. Di sini juga termasuk pada sifat para pelibat,

yakni terkait dengan kedudukan dan peran masing-masing pelibat. Sementara itu,

konsep yang terakhir adalah sarana. Sarana menunjuk pada bagian yang

diperankan oleh bahasa, termasuk salurannya (apakah dituturkan atau dituliskan,

atau gabungan di antara keduanya). Di dalam sarana juga termasuk metode

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 44: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

44

retorikanya, yaitu apa yang akan dicapai teks berkenaan dengan pokok

pengertiannya seperti membujuk, menjelaskan, mendidik, dan semacamnya.

Konteks situasi dan konteks sosial jelas penting dan diperlukan untuk

mendapatkan pemaknaan utuh terhadap tuturan. Selain itu, juga untuk

menghindari kesalahan dalam penfasiran sebuah tuturan. Untuk itulah, memahami

konteks situasi dan konteks sosial sangat diperlukan dalam menganalisis tuturan.

Dalam penelitian ini, konteks sangat dibutuhkan untuk menganalisis tuturan yang

disampaikan oleh Modin. Untuk itulah, konteks akan digambarkan secara jelas

sebelum melakukan analisis terhadap tuturannya.

1.5.2.3 Etnografi Komunikasi

Kajian mengenai etnografi komunikasi melibatkan banyak hal di dalamnya

terkait dengan keilmuan yang multidisipliner. Lingkungan sosial dan penggunaan

bahasa oleh manusia serta memaknai tuturan yang disampaikan merupakan bagian

dari etnografi komunikasi. Dalam hal ini juga dapat dikatakan bahwa etnografi

komunikasi tidak hanya sebagai sebuah ancangan yang dapat memisahkan hasil-

hasil dari linguistik, psikologi, sosiologi, maupun etnologi serta berusaha

menghubungkan di antaranya (Hymes; 1974:15). Akan tetapi, etnografi

komunikasi merupakan ancangan yang berusaha untuk membuka kemungkinan-

kemungkinan analitis baru (dengan jenis data dan permasalahan yang baru) serta

mengajukan teori-teori baru (Schiffrin; 1994:184). Pendapat tersebut sekiranya

benar adanya ketika melihat memang terdapat keberagaman fungsi dan praktik

komunikasi dalam kehidupan. Komunikasi yang dilaksanakan tidak hanya terkait

dengan percakapan atau wawancara, melainkan lebih dari itu. Keragaman praktik

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 45: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

45

komunikasi merupakan bagian yang terpadu tentang beragam hal yang kita

ketahui dan yang dilakukan oleh sebagian anggota dari kultur dan kepercayaan

maupun tindakan manusia.

Etnografi komunikasi mulai dikembangkan oleh Hymes melalui sebuah

makalah pada tahun 1960an. Pengembangan ini berakar dari sebuah ancangan

yang berorientasi pada gerakan Edward Saphir pada tahun 1933 (Hymes;

1974:20). Gerakan Edward Saphir yakni meninggalkan studi tentang bentuk dan

isi sosiokultural sebagai “produk” ke arah studi tentang bentuk dan isi

sosiokultural sebagai “proses” (Hymes; 1974:20). Dengan demikian, etnografi

komunikasi menempatkan budaya sebagai sebuah proses yang lazim dijalani oleh

manusia. Terkait dengan hal tersebut, Hymes mengusulkan bahwa ilmu

pengetahuan tentang komunikasi memusatkan perhatian pada kompetensi, yakni

pengetahuan bahasa yang mengatur fungsi bahasa yang tepat. Selain memasukkan

pengetahuan tentang aturan-aturan linguistik yang abstrak ke dalam pengetahuan

kompetensi, juga memasukkan kemampuan untuk menggunakan bahasa dalam

situasi kehidupan sehari-hari secara kongret. Kompetensi penggunaan bahasa

dalam kehidupan sehari-hari secara kongret dapat meliputi partisipasi dalam

percakapan untuk berbelanja, wawancara, melucu, menggoda, mengingatkan,

maupun untuk berdoa.

Di dalam bahasa terdapat banyak hal yang dilihat dengan menggunakan

berbagai kerangka yang ada. Dalam bahasa juga memiliki kekhususan-

kekhususan yang dapat digeneralisaikan, tetapi juga generalisasi-generalisasi yang

dapat dikhususkan. Adapun kekhususan yang ditemukan oleh para ahli etnografi

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 46: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

46

adalah kekhususan tentang fungsi bahasa. Hymes (1974:56) mengajukan kisi-kisi

tentang etnografi komunikasi sebagai SPEAKING, yang masing-masing memiliki

makna.

S Setting (latar) keadaan fisik

Scene (suasana)

P Participant (peserta) pembicara, pengirim pesan,

E Ends (tujuan) tujuan atau sasaran yang ingin dicapai/hasil

A Act sequence (urutan tindakan) bentuk pesan dan isi

K Key (kunci) nada atau cara

I Instrumentalities (sarana) saluran (verbal/nonverbal)

Bentuk-bentuk repertoar yang diambil dari

Masyarakat

N Norms of interaction and interpretation (norma interaksi dan interpretasi)

Kesopanan tertentu yang digunakan dalam

Berbicara

Interpretasi tentang norma-norma kultural di

dalam sistem kepercayaan kultural

G Genre (jenis) kategori-kategori tekstual

Hymes menyatakan bahwa SPEAKING dapat digunakan sebagai alat

untuk menemukan suatu taksonomi lokal yang cenderung kultural tentang unit-

unit komunikatif. Unit yang dimaksud adalah situasi tutur (dianggap sebagai unit

yang terbesar), peristiwa tutur, dan tindak tutur (dianggap sebagai unit yang

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 47: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

47

terkecil). Situasi tutur terkait dengan setting, sementara peristiwa tutur terkait

dengan aktivitas-aktivitas, dan tindak tutur terkait dengan daya ilokusi.

Etnografi komunikasi yang digunakan dalam penelitian ini ditujukan untuk

membantu dalam memahami pola pikir yang terlihat melalui tuturan ritual yang

disampaikan. Hal ini cukup mendasar karena dalam etnografi komunikasi

membantu kita memahami berbagai aspek yang terkait dengan komponen-

komponen tersebut. SPEAKING dapat digunakan sebagai alat atau cara untuk

menemukan suatu taksonomi lokal (yaitu relative secara cultural) tentang “unit-

unit” komunikatif yang “dalam cara yang dapat diketahui secara terikat ataupun

terpadu” (Hymes; 1972:56).

Setting mengacu pada waktu dan tempat kegiatan bertutur tersebut

berlangsung, atau secara umum merupakan kondisi fisik. Kondisi fisik yang

dimaksud di sini merupakan segala hal yang mendukung komunikasi tersebut

berlangsung, baik kondisi fisik penutur maupun lingkungan dan konteks saat

tuturan berlangsung. Dalam kajian ini, setting akan mempengaruhi penggunaan

bahasa/style modin dalam memilih penggunaan bahasa di dalam tuturan. Di

dalamnya meliputi penggunaan bahasa yang formal maupun yang informal.

Sementara scene merupakan suasana saat tuturan atau komunikasi berlangsung.

Suasana yang akan dilihat adalah suasana baik secara fisik pesarean gunung kawi

maupun suasana psikologis pelaku ritual dan Modin selaku pemimpin ritual.

Participant yang dilihat di dalam penelitian ini adalah semua yang terlibat

dalam kegiatan ritual selamatan. Ends atau tujuan merupakan sasaran yang

diharapkan dari kegiatan tersebut. Dalam penelitian ini, yang akan dilihat adalah

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 48: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

48

tujuan dilaksanakannya ritual selamatan tersebut baik secara umum maupun

secara individual dari tiap-tiap pelaku ritual. Selain itu, juga akan dilihat

mengenai tujuan penggunaan bahasa dalam tuturan ritual selamatan di pesarean

gunung kawi. Act sequence atau urutan tindakan merupakan penjabaran dari

bentuk tuturan doa yang dibacakan Modin. Dalam hal ini juga akan dijabarkan

mengenai proses-proses atau urutan kegiatan yang dilaksanakan dalam proses

pembacaan doa oleh Modin. Urutan tindakan yang dijabarkan meliputi tuturan

untuk setiap participant yang terlibat.

Key atau kunci merupakan cara, gaya, atau nada dalam kegiatan bertutur

atau berkomunikasi. Dalam penelitian ini akan dijabarkan mengenai cara atau

nada Modin dalam membacakan doa, karena doa dalam ritual selamatan ini

dituturkan dengan nada atau cara yang berbeda dengan komunikasi atau tuturan

secara umum. Key juga terkait dengan mood atau tingkat keformalan bahasa yang

digunakan dalam tuturan ritual. Di dalamnya terdapat aturan dan cara yang harus

dipenuhi serta memiliki intonasi pembacaan yang khas. Instrumentalities atau

sarana merupakan sarana baik verbal maupun nonverbal yang digunakan untuk

menuturkan tuturan atau komunikasi. Sarana bertutur juga dapat berupa lisan

maupun tertulis. Dalam penelitian ini, akan dilihat berbagai sarana yang

digunakan oleh Modin dalam menyampaikan tuturan doanya. Sarana juga dapat

dilihat dari bentuk-bentuk repertoar yang diambil dari Masyarakat. Dalam

kegiatan ritual di pesarean Gunung Kawi terdapat beberapa sarana yang

digunakan untuk menyampaikan permohonan. Sarana yang berupa uba rampe

juga akan dibahas dalam analisis ini.

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 49: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

49

Norms of interaction and interpretation atau norma interaksi dan

interpretasi merupakan bentuk kesopanan tertentu yang digunakan dalam

berbicara atau bertutur. Interpretasi tentang norma-norma kultural di dalam

sistem kepercayaan kultural juga menjadi bagian yang dilihat dalam norma

interaksi ini. Sementara dalam penelitian ini akan dilihat mengenai norma-norma

yang dipegang dan dijalankan Modin dalam berinteraksi pada saat memimpin

ritual. Selain norma yang dipegang oleh modin, juga akan dilihat mengenai norma

yang harus dipatuhi oleh setiap pelaku ritual yang hendak mengikuti kegiatan

ritual ini.

Komponen terakhir yang disampaikan oleh Hymes adalah genre. Genre

merupakan bentuk dari kategori-kategori tekstual yang digunakan sebagai bahan

analisis. Penelitian ini akan melihat jenis atau bentuk tekstual yang digunakan

oleh Modin dalam menyampaikan tuturannya.

1.5.2.4 Konsepsi-konsepsi Pola Pikir

Casson (1981:46) menyatakan bahwa bahasa atau yang lebih luas adalah

struktur bahasa dikatakan dapat membentuk pola pikir penutur-penuturnya.

Melalui klasifikasi maupun kategori-kategori yang dilakukan oleh masyarakat,

dapat diketahui pula struktur pemikirannya. Menurut Saussure (2002:96) bahwa

unit-unit bahasa yang distingtif sebagai titik temu antara alam dengan

kebudayaan. Lebih jauh, hal itu dapat digunakan sebagai dasar untuk mengetahui

pola pikir dan struktur bahasa yang dimiliki oleh kelompok masyarakat tersebut.

Klasifikasi yang dilakukan oleh kelompok masyarakat tertuang dalam bahasa

yang mereka miliki. Melalui pemakaian leksikon-leksikon yang digunakan, dapat

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 50: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

50

dilihat cara kelompok masyarakat tersebut dalam memandang dan

mengonsepsikan lingkungan atau dunianya. Sebagai contoh adalah cara

masyarakat Jawa dalam mengelompokkan atau mengklasifikasikan jenis

tumbuhan (Suhandano; 2004). Masyarakat Jawa sangat rinci dalam

mengklasifikasi jenis tumbuhan maupun binatang, bahkan sampai nama anak-

anak binatang juga masuk dalam klasifikasi. Demikian juga dengan klasifikasi

nama tumbuhan, bunga, buah, maupun jenis-jenisnya, juga diklasifikasikan secara

rinci. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Casson, menyatakan bahwa pola pikir

adalah inferensi atau integrasi kategori konsep yang diperoleh melalui tindak

klasifikasi yang hasilnya merupakan bentuk skemata.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pola pikir meliputi

beberapa hal. Pola pikir dapat dinyatakan meliputi model, cara, gagasan, dan

proses yang dipakai sebagai pedoman dan cara pembuatan kesimpulan dalam

bentuk konsep. Sehubungan dengan hal tersebut, konsepsi yang terbentuk dalam

budaya dan tuturan yang digunakan dalam proses pelaksanaan ritual ziarah di

Pesarean Gunung Kawi menunjukkan adanya kehidupan yang heterogen. Pola

pikir masyarakat Gunung Kawi, pengunjung dan pelaku ritual ziarah, maupun juru

kunci dan pemimpin ritual (Modin) di Pesarean Gunung Kawi secara tersirat

dapat terlihat melalui aturan-aturan yang diterapkan dan bentuk-bentuk tuturan

yang dipakai. Oleh karena itu, mengingat beragamnya masyarakat yang mengikuti

ritual selamatan

Bahasa dapat dikatakan sebagai manifestasi terpenting dari kehidupan

mental penuturnya dan sebagai dasar pengklasifikasian pengalaman. Dengan

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 51: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

51

demikian, dalam pengalaman penutur bahasa/participants yang beragam dapat

diklasifikasikan secara berbeda dan seringkali tidak selalu disadari oleh para

penutur. Meskipun tanpa disadari oleh penuturnya, hal tersebut selalu berjalan dan

terus berkembang di dalam masyarakat penutur. Dengan demikian,

pengklasifikasian tersebut tetap berjalan dengan atau tanpa kesadaran dari penutur

bahasa yang bersangkutan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini pola pikir yang

akan dilihat difokuskan hanya yang terkait dengan participants. Hal tersebut

dikarenakan dalam wacana tuturan ritual ini melibatkan beberapa participans

sehingga dimungkinkan terdapat pola pikir yang beragam terkait dengan

keberadaan participants dalam kegiatan tersebut.

1.6 Metodologi Penelitian

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah etnografi.

Etnografi adalah proses penelitian yang dalam kegiatan tersebut peneliti

mengobservasi, merekam, dan ikut berpartisipasi di dalam kegiatan yang

dilaksanakan (Sibarani; 2004:54). Dengan kegiatan yang semacam itu, metode

yang digunakan adalah metode lapangan (fieldwork method), dan kemudian

menulis laporan tentang kebudayaan tersebut dengan memperhatikan uraian atau

perincian deskriptif (Marcus&Fisher dalam Sibarani; 2004: 54).

Hal-hal yang berkaitan dengan metode penelitian yang akan digunakan

dalam penelitian ini meliputi pemilihan lokasi penelitian, metode pengumpulan

data, wujud data, metode analisis data, dan penyajian hasil analisis. Masing-

masing akan dijelaskan secara rinci sebagai berikut.

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 52: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

52

1.6.1 Lokasi Penelitian

Berdasarkan judul dalam penelitian ini, jelaslah bahwa penelitian ini

mengambil lokasi di wilayah Gunung Kawi. Pesarean Gunung Kawi itu sendiri

tepatnya terletak di desa Wonosari, kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang,

Jawa Timur. Wonosari sendiri terletak sekitar 53 km dari kota kabupaten Malang.

Dua pesarean yang akan menjadi obyek penelitian ini telah ada sejak tahun 1871

(Mbah Djugo) dan 1876 (R.M. Imam Soedjono).

1.6.2 Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini menggunakan tiga metode dalam mengumpulkan

data, yakni obseravsi partisipatoris, observasi periodik, dan wawancara

mendalam (indepth interview) (Sibarani; 2004:51). Ketiga metode tersebut akan

dijelaskan sebagai berikut.

1.6.2.1 Observasi Partisipatoris

Metode observasi partisipatoris merupakan salah satu metode yang

digunakan dalam penelitian ini. Metode observasi partisipatoris adalah peneliti

ikut serta berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang diobeservasi, disekripsi,

dan dianalisis (Sibarani; 2004:55, Danesi; 2004:7, Spradley; 1997:105). Dalam

metode ini peneliti ikut terjun langsung bersama dengan pengunjung-pengunjung

lain termasuk pelaku ritual selamatan. Peneliti juga bergabung dengan pelaku-

pelaku ritual dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan. Peneliti mengikuti

seluruh rangkaian ritual yang dilaksanakan di tempat penelitian. Partisipasi

langsung ini dimaksudkan supaya peneliti dapat lebih memahami segala hal yang

menjadi aturan dalam pelaksanaan ziarah. Selain itu juga dimaksudkan supaya

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 53: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

53

peneliti mendapatkan informasi langsung bentuk tuturan atau doa yang digunakan

dan disampaikan oleh Modin dalam ritual ziarah tersebut.

Kegiatan yang dilakukan oleh peneliti pada saat observasi partisipatoris

adalah mengikuti segala kegiatan pelaksanaan selametan. Di sana peneliti

merekam dan mengamati pelaksanaan kegiatan ritual selamatan tersebut sehingga

akan didapatkan gambaran yang jelas mengenai konteks ritual. Konteks yang akan

dijabarkan meliputi konteks fisik, sosial, budaya, dan psikologis dari pelaku ritual

dan modin. Selain itu, dicermati juga aturan-aturan yang harus dilakukan dan

tidak boleh dilakukan selama kegiatan ritual berlangsung. Hal itu dilakukan

dengan pertimbangan ada kemungkinan hal-hal tersebut memengaruhi tuturan

ritual maupun pola pikir pelaku ritual. Dalam pengamatan ini, peneliti mencatat

segala hal yang berhubungan dengan kegiatan ritual dan tuturan yang

disampaikan. Setalah peneliti merekam tuturan modin, kemudian peneliti

mentranskripsikan data tersebut dalam bentuk tulisan sehingga dapat digunakan

sebagai bahan analisis.

1.6.2.2 Observasi Periodik ke Lapangan

Metode ini memiliki peran yang cukup penting dalam penelitian lapangan

khususnya maupun budaya secara umum. Metode ini juga terkait dengan metode

sebelumnya atau lebih tepatnya merupakan kelanjutan metode sebelumnya, yakni

metode observasi partisipatoris. Metode ini digunakan untuk melakukan kroscek

data yang telah didapatkan dari observasi partisipatoris. Dalam menggunakan

metode ini peneliti sudah tidak lagi terjun dan ikut langsung dalam perilaku ritual,

melainkan secara berkala melihat ritual-ritual tersebut dilakukan. Ritual yang

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 54: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

54

dilihat boleh yang telah diikuti maupun yang belum diikuti dalam penelitian

sebelumnya. Kegiatan yang dilakukan juga dalam observasi periodik adalah

melanjutkan wawancara mendalam yang telah dilakukan.

1.6.2.3 Wawancara Mendalam (Indepth Interview)

Wawancara mendalam dilakukan supaya informasi yang didapatkan tidak

simpang siur dan jelas dari sumbernya. Berdasarkan sifatnya wawancara yang

dilakukan dibagi dalam dua kategori, yakni wawancara terbuka dan tertutup.

Wawancara terbuka dilakukan dengan pengunjung dan pelaku ritual selamatan di

pesarean, sedangkan wawancara tertutup dilakukan dengan juru kunci yang

menjaga pesarean Gunung Kawi dan Modin selaku pemimpin ritual selamatan.

Berdasarkan sifat pertanyaan yang digunakan wawancara juga dibagi atas

wawancara tertutup dan terbuka. Wawancara tertutup merupakan wawancara yang

mengandung pertanyaan terfokus dalam jawabannya. Sedangkan dalam

wawancara terbuka, pertanyaan yang diajukan memungkinkan informan

memberikan jawaban yang lebih bebas.

Wawancara dilakukan beberapa kali terhadap beberapa narasumber

(informan). Di Gunung Kawi, terdapat pengunjung yang sifatnya sangat

heterogen, yakni dari suku Jawa, Cina, bahkan sampai luar Jawa. Selain itu,

pengunjung dan pelaku juga berasal dari latar belakang agama yang berbeda pula,

di antaranya berasal dari agama Islam, Kristen, Budha, dan Konghucu. Melihat

beragamnya latar belakang pengunjung dan pelaku ritual, dalam penelitian ini

dipilih informan-informan yang dapat mewakili beragam masing-masing suku dan

agama. Sedangkan untuk juru kunci, di Pesarean Gunung Kawi terdapat banyak

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 55: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

55

juru kunci, baik yang sekadar menjaga pintu makam, menjaga makam, menjaga

sumber air, sampai yang memimpin ritual. Masing-masing juru kunci menjadi

informan untuk mendapatkan data yang beragam.

1.6.3 Wujud Data

Berdasarkan rumusan masalah yang ingin dilihat dalam penelitian ini,

wujud data yang akan disajikan sangat beragam. Data utama yang dikumpulkan

berupa rekaman tuturan ritual (doa atau mantra yang dituturkan oleh Modin) yang

kemudian ditranskripsikan dalam bentuk teks. Sementara itu, sebagai tambahan

peneliti juga mencatat jenis uba rampe yang dibawa tiap-tiap pelaku ritual

selamatan, mitos, dan beberapa cerita yang berasal dari Gunung Kawi. Selain data

tersebut, juga terdapat data yang berasal dari hasil wawancara mengenai berbagai

hal tentang pelaksanaan ritual selamatan. Berdasarkan wujud data yang

dikumpulkan, digunakan sebagai bahan pijakan untuk dapat melakukan analisis

data.

Bahasa yang digunakan dalam kegiatan ritual ini meliputi beberapa

bahasa, yakni bahasa Jawa, bahasa Indonesia, dan bahasa Arab. Oleh karena itu,

untuk tujuan memudahkan dalam menganalisis dan supaya pembaca dapat

memahami lebih baik, maka data ditranskripsi dan kemudian diterjemahkan ke

dalam bahasa Indonesia (untuk data yang berbahasa Jawa dan berbahasa Arab).

Penulisan transkripsi bahasa Jawa menggunakan pedoman ejaan bahasa Jawa

yang disempurnakan seperti yang ditulis dalam buku Pedoman Umum Ejaan

Bahasa Jawa yang Disempurnakan yang diterbitkan oleh Balai Bahasa

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 56: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

56

Yogyakarta. Sementara itu, untuk data yang berbahasa Arab ditranskripsikan

sesuai dengan yang dibaca oleh modin.

Berikut contoh pedoman transkripsi pada huruf vocal

Huruf vokal Contoh Pemakaian di dalam Kata

Di Awal Di Tengah Di Akhir

a

e

e

i

o

u

alon ‘perlahan’

ana ‘ada’

ala ‘buruk’

enak ‘enak’

emas ‘emas’

ibu ‘ibu’

ingkang ‘yang’

omah ‘rumah’

ompong ‘ompong’

udan ‘hujan’

mari ‘sembuh’

kana ‘sana’

wanda ‘sosok’

tembok ‘tembok’

sega ‘nasi’

lintang ‘bintang’

sing ‘yang’

rodha ‘roda’

dhoyong ‘condong’

bumi ‘bumi’

sabun ‘sabun’

ora ‘tidak’

sida ‘jadi

piala ‘keburukan’

sore ‘sore’

kodhe ‘isyarat’

pari ‘padi’

mengko ‘nanti’

lucu ‘lucu’

1.6.4 Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian ini seperti telah dijelaskan dalam poin

4, yakni wujud data. Data-data yang telah didapatkan kemudian dikumpulkan, dan

akan dianalisis dengan menggunakan beberapa tahapan. Tahap-tahap tersebut

meliputi (1) melakukan transkripsi diikuti dengan terjemahan bebas, (2)

menganalisis berdasarkan konteks, (3) analisis berdasarkan klasifikasi (4) analisis

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 57: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

57

penggunaan bahasa dan etnografi komunikasi yang terdapat dalam tuturan doa

ritual selamatan, (5) mengidentifikasi jenis-jenis pola pikir yang tergambar

melalui tuturan doa ritual selamatan dan kemudian mengintrepretasikan penyebab

adanya pola pikir tersebut.

Transkripsi merupakan kegiatan menyalin tuturan doa yang dituturkan

secara lisan ke dalam bentuk teks. Terjemahan bebas memiliki arti bahwa peneliti

mengartikan atau menerjemahkan bahasa yang digunakan dalam tuturan itu secara

bebas. Penerjemahan perlu dilakukan sebab data bahasa yang digunakan dalam

tuturan tersebut sangat beragam. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penerjemahan

guna memberikan pemahaman terhadap pembaca lain yang tidak atau belum

memahami bahasa yang digunakan.

Penerjemahan bebas dilakukan dengan beberapa tahapan. Pertama,

dilakukan dengan menerjemahkan kata demi kata dari bahasa asli yang kemudian

di bawahnya dituliskan terjemahan dalam bahasa Indonesianya. Kemudian

dilakukan tahapan yang kedua, yaitu menerjemahkan dengan melihat kalimat

secara keseluruhan. Proses penerjemahan keseluruhan ini didasarkan atas proses

penerjamahan yang pertama. Tahapan pertama dilakukan guna melihat arti kata

asal yang cukup dimungkinkan melahirkan istilah, serta melihat susunan kata

yang membentuk kalimat, sehingga dapat dijadikan rujukan dalam penerjemahan

pada proses berikutnya.

Adapun analisis bedasarkan konteks dilakukan supaya gambaran tentang

situasi penggunaan bahasa, suasana sosial, dan budaya dapat tergambar dengan

jelas dan dapat dipahami oleh semua pihak. Kegiatan ini tidak dapat dilakukan

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 58: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

58

secara sembarangan, mengingat penggunaan doa/mantra tersebut harus melihat

konteks pemakaiannya. Oleh sebab itu, dalam analisis juga akan dideskripsikan

mengenai pemakaian/pembacaan doa/mantra dan sekaligus pelaksanaan upacara

ritual selamatan. Kedua kegiatan tersebut tidak dapat dipisahkan karena

mantra/doa hanya dapat digunakan pada saat pelaksanaan upacara ritual

selamatan. Pendeskripsian ini dilakukan dengan memanfaatkan unsur-unsur

konteks yang disampaikan oleh Hymes dengan konsep tuturnya SPEAKING.

Analisis berdasarkan klasifikasi dilakukan guna memisahkan data sesuai

dengan kebutuhan, sehingga tidak tercampur antara data yang satu dengan data

yang lain. Bahasa yang digunakan dalam ritual memang beragam, oleh sebab itu

dilakukan analisis berdasarkan klasifikasinya. Analisis klasifikasi ini juga

dilakukan untuk mendapatkan data yang digunakan untuk melihat beragamnya

penggunaan bahasa yang terdapat dalam wacana tuturan doa ritual selamatan.

Analisis selanjutnya adalah analisis pola pikir yang dilakukan dengan

memanfaatkan metode penafsiran (interpretative) oleh penulis. Penafsiran tidak

dilakukan dengan hanya berdasarkan pada satuan lingual yang ditemukan dalam

wacana doa, melainkan lebih dari itu. Doa yang dituturkan mengandung banyak

sekali simbol yang perlu diurai. Simbol-simbol tersebut dapat diurai dan dimaknai

dengan melihat konteks budaya yang ada di sekitarnya.

Beberapa komponen yang didapatkan dari wawancara dan analisis wacana

ritual Modin menjadi dasar peneliti untuk memberikan penafsiran mengenai pola

pikir. Dalam penelitian budaya khususnya, metode interpretative menjadi sifat

yang cukup penting. Sesuai dengan yang disarankan oleh Geertz (1992:4) bahwa

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 59: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

59

dalam penelitian kebudayaan senantiasa terbuka kemungkinan untuk menganalisis

data dengan mempertimbangkan sifat penelitian itu sendiri. Adapaun sifat

penelitian itu adalah penafsiran (interpreatif).

Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus. Penelitian studi kasus

menurut Creswell (2003:15) adalah peneliti mengeksplor secara mendalam setiap

peristiwa, kegiatan, proses pada satu atau lebih individu. Kasus yang diambil

dibatasi oleh waktu dan kegiatan, dan peneliti mengumpulkan data dan informasi

secara lengkap dan mendalam dengan menggunakan prosedur pengumpulan data

yang bervariasi. Dengan demikian, metode atau prosedur pengambilan data yang

digunakan oleh peneliti selalu berkembang sesuai dengan kenyataan yang

ditemukan di lapangan. Karena penelitian ini merupakan penelitian studi kasus

maka simpulan yang dihasilkan dari penelitian ini tidak dapat digeneralisasikan

dengan penelitian lain meskipun sejenis.

1.6.5 Penyajian Hasil Analisis

Setelah data didapatkan dan kemudian dianalisis, selanjutnya data akan

disajikan. Hasil analisis akan disajikan dalam beberapa bentuk. Bentuk yang

pertama adalah bentuk deskripsi. Hasil analisis disajikan dalam bentuk deskripsi

dengan menguraikan bentuk-bentuk atau struktur pembentuk wacana tuturan ritual

selamatan. Selanjutnya, juga diuraikan mengenai ragam bahasa yang digunakan

dalam tuturan ritual selamatan. Berdasarkan ragam bahasa yang digunakan, akan

terlihat juga mengenai peristiwa tutur (etnografi komunikasi) yang dimungkinkan

sangat beragam. Bentuk penyajian yang kedua adalah dalam bentuk tabel, skema,

atau gambar-gambar. Bentuk penyajian kedua ini digunakan sebagai pendukung

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 60: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

60

pendeskripsian data. Kedua bentuk penyajian tersebut akan saling melengkapi dan

tidak digunakan secara terpisah-pisah.

1.6.6 Sistematika Penulisan

Disertasi ini akan disajikan dalam enam bab. Pada Bab I disajikan

Pendahuluan yang berisi mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian baik teoretis maupun praktis, tinjauan pustaka dan

landasan teori, sampai pada metodologi penelitian. Bab II menyajikan gambaran

umum mengenai lokasi penelitian, yakni pesarean Gunung Kawi dan juga

mengenai konteks dalam proses ritual selamatan. Pada Bab III menyajikan

analisis mengenai bentuk struktur pembangun wacana tuturan ritual. Pada bab ini

akan menyajikan wacana tuturan secara utuh dan kemudian melihat struktur

pembentuknya sehingga dapat dikatakan sebagai wacana yang utuh. Berdasarkan

analisis dari bab ini akan diperoleh pengetahuan mengenai struktur baku wacana

tuturan ritual selamatan di pesarean Gunung Kawi. Bab selanjutnya adalah Bab

IV yang menyajikan pembahasan mengenai penggunaan bahasa yang digunakan

dalam tuturan ritual selamatan. Munculnya beragam bahasa yang digunakan

memiliki fungsinya masing-masing. Selain itu, penggunaan bahasa yang beragam

tersebut juga memiliki alasan yang beragam pula. Beradasarkan analisis pada bab

ini akan didapatkan pengetahuan mengenai kode-kode bahasa yang digunakan,

fungsi penggunaan kode-kode bahasa yang beragam, dan alasan penggunaan kode

bahasa yang beragam tersebut. Bab V akan menyajikan pembahasan mengenai

identifikasi pola pikir yang terlihat dalam tuturan ritual selamatan dan

menjelaskan alasan munculnya pola pikir tersebut berdasarkan interpretasi

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 61: WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66498/potongan/S3-2014-292640-chapter1.pdf · dilaksanakan oleh orang Jawa, melainkan tersebar

61

penulis. Disertasi ini akan ditutup pada bab VI dengan menyajikan penutup yang

di dalamnya terdapat simpulan dan saran. Disertasi ini lengkapi dengan daftar

pustaka dan lampiran-lampiran.

WACANA RITUAL: STUDI KASUS PADA RITUALSELAMATAN DIPESAREANGUNUNGKAWI,MALANG-JAWA TIMURNuryaniUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/