bab i pendahuluan a. latar belakang tren di masyarakat...

20
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Istilah pengobatan sendiri, meskipun belum terlalu populer, namun praktiknya telah berkembang secara luas dan menjadi tren di masyarakat. Pengobatan sendiri menurut WHO adalah pemilihan dan penggunaan obat modern, herbal, maupun obat tradisional oleh seorang individu untuk mengatasi penyakit atau gejala penyakit (WHO, 1998). The International Pharmaceutical Federation (FIP) mendefinisikan swamedikasi atau self-medication sebagai penggunaan obat-obatan tanpa resep oleh seorang individu atas inisiatifnya sendiri (FIP, 1999). Swamedikasi menjadi alternatif yang diambil masyarakat untuk meningkatkan keterjangkauan pengobatan, dan biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan-keluhan dan penyakit ringan yang banyak dialami masyarakat seperti demam, nyeri, pusing, batuk, influenza, sakit maag, cacingan, diare, penyakit kulit, dan lain-lain (Anonim, 2006). Pengobatan sendiri menjadi populer sejak ditetapkannya perubahan status beberapa obat dari golongan obat resep menjadi golongan OTC (Over the Counter) atau obat tanpa resep. Di Amerika, perubahan status dari obat resep menjadi obat non-resep/OTC dimulai sejak September 1976. Pada tahun 1976, perubahan obat resep menjadi obat non-resep diperkenalkan oleh US Food and Drug Administration (FDA) (Baker, 2013). GAMBARAN PERILAKU DAN PENGETAHUAN MAHASISWA KLUSTER KESEHATAN DAN SOSIO-HUMANIORA TERHADAP PENGOBATAN SENDIRI NERISA ARVIANA Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Upload: haminh

Post on 23-Jul-2019

231 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Istilah pengobatan sendiri, meskipun belum terlalu populer, namun

praktiknya telah berkembang secara luas dan menjadi tren di masyarakat.

Pengobatan sendiri menurut WHO adalah pemilihan dan penggunaan obat

modern, herbal, maupun obat tradisional oleh seorang individu untuk mengatasi

penyakit atau gejala penyakit (WHO, 1998). The International Pharmaceutical

Federation (FIP) mendefinisikan swamedikasi atau self-medication sebagai

penggunaan obat-obatan tanpa resep oleh seorang individu atas inisiatifnya sendiri

(FIP, 1999). Swamedikasi menjadi alternatif yang diambil masyarakat untuk

meningkatkan keterjangkauan pengobatan, dan biasanya dilakukan untuk

mengatasi keluhan-keluhan dan penyakit ringan yang banyak dialami masyarakat

seperti demam, nyeri, pusing, batuk, influenza, sakit maag, cacingan, diare,

penyakit kulit, dan lain-lain (Anonim, 2006).

Pengobatan sendiri menjadi populer sejak ditetapkannya perubahan status

beberapa obat dari golongan obat resep menjadi golongan OTC (Over the

Counter) atau obat tanpa resep. Di Amerika, perubahan status dari obat resep

menjadi obat non-resep/OTC dimulai sejak September 1976. Pada tahun 1976,

perubahan obat resep menjadi obat non-resep diperkenalkan oleh US Food and

Drug Administration (FDA) (Baker, 2013).

GAMBARAN PERILAKU DAN PENGETAHUAN MAHASISWAKLUSTER KESEHATAN DAN SOSIO-HUMANIORA TERHADAPPENGOBATAN SENDIRINERISA ARVIANAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

2

Pengobatan sendiri adalah salah satu cara pengobatan yang paling banyak

dilakukan di dunia. Suatu survei pada tahun 2002 memperkirakan ada lebih dari

92% orang di dunia pernah menggunakan paling tidak satu jenis obat bebas di

tahun sebelumnya dan 55% orang pernah menggunakan lebih dari satu jenis obat

bebas (World Self-Medication Industry, 2009). Berbagai data menunjukkan

bahwa pengobatan sendiri menjadi alternatif yang paling banyak dipilih oleh

masyarakat untuk meredakan/menyembuhkan keluhan kesehatan ringan.

Berdasarkan hasil Susenas 2009, BPS mencatat bahwa terdapat 66% orang sakit

di Indonesia yang melakukan pengobatan sendiri (Kartajaya dkk., 2011).

Keterampilan memilih obat sangat dipengaruhi oleh pengetahuan

masyarakat itu sendiri dan sikapnya tentang pengobatan sendiri (Supardi dkk.,

2005). Masyarakat dengan berbagai tingkat pendidikan, pengetahuan, dan faktor-

faktor lain sering kali mengkonsumsi obat tertentu tanpa indikasi yang jelas, tanpa

dosis yang yang tepat, dan tidak mengetahui kontraindikasi dan efek samping obat

tersebut. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat

tentang swamedikasi masih terbatas (Supardi dan Notosiswoyo, 2005).

Keterbatasan pengetahuan masyarakat tentang obat dan penggunaannya

merupakan penyebab terjadinya kesalahan pengobatan dalam swamedikasi

(Anonim, 2006b). Keterbatasan tersebut dapat menyebabkan rentannya

masyarakat terhadap informasi komersial obat, sehingga memungkinkan

terjadinya pengobatan yang tidak rasional jika tidak diimbangi dengan pemberian

informasi yang benar. Terdapat 52,9% penduduk di masyarakat yang

pengetahuannya rendah mengenai pengobatan sendiri. Pengetahuan dan perilaku

GAMBARAN PERILAKU DAN PENGETAHUAN MAHASISWAKLUSTER KESEHATAN DAN SOSIO-HUMANIORA TERHADAPPENGOBATAN SENDIRINERISA ARVIANAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

3

swamedikasi dipengaruhi oleh jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan,

pendapatan seseorang. Dalam hal ini pendidikan memiliki hubungan yang paling

signifikan dibandingkan faktor-faktor lain. (Kristina dkk, 2007). Pada penelitian

yang dilakukan oleh da Silva dkk di Rio Grande, Brazil, didapatkan hasil bahwa

terdapat perbedaan yang nyata antara mahasiswa kesehatan dan mahasiswa non-

kesehatan terkait pengetahuannya tentang pengobatan sendiri (Da Silva dkk.,

2012).

Melalui latar belakang inilah penelitian tentang gambaran perilaku dan

tingkat pengetahuan pengobatan sendiri pada mahasiswa kluster kesehatan dan

kluster sosio-huaniora Universitas Gadjah Mada dilakukan, dengan tujuan untuk

memperoleh gambaran dan membandingkan perilaku pengobatan sendiri maupun

tingkat pengetahuan pengobatan sendiri pada kedua kluster yang berbeda tersebut.

B. Rumusan Masalah

Bila dilihat dari latar belakang, maka dapat dirumuskan masalah yang

meliputi:

1. Bagaimana gambaran perilaku pengobatan sendiri pada mahasiswa kluster

kesehatan dan kluster sosio-humaniora?

2. Bagaimana gambaran tingkat pengetahuan mahasiswa kluster kesehatan

dan kluster sosio-humaniora mengenai pengobatan sendiri?

3. Apakah faktor sosiodemografi mahasiswa berpengaruh terhadap tingkat

pengetahuan mahasiswa mengenai pengobatan sendiri?

GAMBARAN PERILAKU DAN PENGETAHUAN MAHASISWAKLUSTER KESEHATAN DAN SOSIO-HUMANIORA TERHADAPPENGOBATAN SENDIRINERISA ARVIANAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

4

C. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah yang telah dibuat, tujuan penelitian ini secara umum

adalah:

1. Mengetahui gambaran perilaku mahasiswa kluster kesehatan dan kluster

sosio-humaniora dalam hal pengobatan sendiri.

2. Mengetahui gambaran pengetahuan mahasiswa kluster kesehatan dan

kluster sosio-humaniora dalam hal pengobatan sendiri.

3. Mengetahui apakah terdapat pengaruh faktor sosiodemografi mahasiswa

yang meliputi kluster, jenis kelamin, dan tahun angkatan berpengaruh

terhadap pengetahuan mengenai pengobatan sendiri.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilakukan pada mahasiswa kluster kesehatan dan kluster

sosio-humaniora Universitas Gadjah Mada ini dimaksudkan untuk:

1. Tingkat pengetahuan dapat mempengaruhi ketepatan dan kerasionalan

pengobatan sendiri yang dilakukan oleh seseorang, sehingga dengan

mengukur tingkat pengetahuannya dapat diketahui pula gambaran ketepatan

pengobatan sendiri yang dilakukan oleh mahasiswa.

2. Sebagai saran bagi pemerintah untuk membuat suatu kebijakan dan program

yang mendukung terlaksananya pengobatan sendiri yang rasional dan

bertanggungjawab.

3. Dengan gambaran perilaku dan pengetahuan yang didapatkan, diharapkan

apoteker menyadari tanggung jawabnya dalam pengobatan sendiri sehingga

GAMBARAN PERILAKU DAN PENGETAHUAN MAHASISWAKLUSTER KESEHATAN DAN SOSIO-HUMANIORA TERHADAPPENGOBATAN SENDIRINERISA ARVIANAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

5

terjadi peningkatan peran apoteker dalam pelaksanaan pengobatan sendiri

untuk menjamin keberhasilan pelaksanaannya.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengetahuan

a. Definisi Pengetahuan

Pengetahuan adalah suatu fakta atau kondisi mengetahui sesuatu

dengan baik yang didapat lewat pengalaman dan pelatihan. Adapun definisi

lain dari pengetahuan, yaitu pengetahuan adalah segala maklumat yang akan

berguna bagi tugas yang akan dilakukan.

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah

seseorang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu.

Penginderaan ini terjadi melalui panca indra manusia, yaitu indra

penglihatan, pendengaran penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar

pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan

merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku

seseorang.

Jadi dapat disimpulkan pengetahuan adalah persepsi yang jelas

mengenai sesuatu pemahaman, pembelajaran, pengalaman praktikal,

kemahiran, pengecaman, serta kumpulan maklumat tersusun yang dapat

digunakan untuk menyelesaikan masalah, kebiasaan terhadap bahasa,

konsep, ide, fakta-fakta, perhubungan antara fakta maklumat, dan

kesanggupan menggunakan semua ini. Pengetahuan atau kognitif

GAMBARAN PERILAKU DAN PENGETAHUAN MAHASISWAKLUSTER KESEHATAN DAN SOSIO-HUMANIORA TERHADAPPENGOBATAN SENDIRINERISA ARVIANAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

6

merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan

seseorang (Notoadmodjo, 2003).

b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Pengetahuan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: sosial

ekonomi, kultur atau budaya, pendidikan, dan pengalaman (Notoadmodjo,

2003).

c. Cara Mengukur Pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat diukur dengan wawancara atau angket

yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian

ke dalam pengetahuan yang diukur dapat disesuaikan dengan tingkatan-

tingkatan domain kognitif (Notoadmodjo, 2003).

2. Pengobatan Sendiri

a. Definisi Pengobatan Sendiri

Pengobatan sendiri adalah penggunaan setiap zat yang dikemas dan

dijual di masyarakat untuk tujuan pengobatan saat sakit, tanpa resep atau

nasihat dokter (Supardi dkk., 2002), Pengobatan sendiri merupakan bagian

dari upaya masyarakat menjaga kesehatan sendiri. Upaya menjaga

kesehatan sendiri tersebut diangkat dari istilah lay self care yang merupakan

bagian dari sistem penyelenggaraan kesehatan. Dalam sistem

penyelenggaraan kesehatan, pengobatan sendiri menjadi suatu upaya

pertama yang dilakukan masyarakat, sebelum ke tingkat selanjutnya yaitu

konsultasi medik profesional, konsultasi spesialistik, dan konsultasi

GAMBARAN PERILAKU DAN PENGETAHUAN MAHASISWAKLUSTER KESEHATAN DAN SOSIO-HUMANIORA TERHADAPPENGOBATAN SENDIRINERISA ARVIANAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

7

superspesialistik (Sukasediati, 1996). The International Pharmaceutical

Federation (FIP) mendefinisikan pengobatan sendiri atau self-medication

sebagai penggunaan obat-obatan tanpa resep oleh seorang individu atas

inisiatifnya sendiri (FIP, 1999). Sedangkan definisi pengobatan sendiri

menurut WHO adalah pemilihan dan penggunaan obat modern, herbal,

maupun obat tradisional oleh seorang individu untuk mengatasi penyakit

atau gejala penyakit (WHO, 1998).

Pengobatan sendiri menjadi alternatif yang banyak dipilih masyarakat

untuk meredakan/menyembuhkan keluhan kesehatan ringan atau untuk

meningkatkan keterjangkauan akses terhadap pengobatan. Berdasarkan hasil

Susenas tahun 2009, BPS mencatat bahwa terdapat 66% orang sakit di

Indonesia yang melakukan pengobatan sendiri. Angka ini relatif lebih tinggi

dibandingkan persentase penduduk yang berobat jalan ke dokter (44%).

Walaupun demikian, persentase pengobatan sendiri di Indonesia masih lebih

rendah dibandingkan dengan tingkat pengobatan sendiri di Amerika Serikat

yang mencapai 73%. Angka ini bahkan cenderung akan meningkat karena

terdapat enam dari sepuluh orang di Amerika yang mengatakan bahwa

mereka mungkin akan melakukan pengobatan sendiri lagi di masa yang

akan datang terhadap penyakit yang dideritanya (Kartajaya dkk., 2011).

Pada umumnya pengobatan sendiri dilakukan oleh masyarakat untuk

mengatasi keluhan yang dapat dikenali sendiri antara lain sakit

kepala/pusing, demam, batuk, pilek, nyeri sendi, nyeri otot, sakit gigi,

mual/muntah, dan luka ringan. Keluhan-keluhan tersebut umumnya

GAMBARAN PERILAKU DAN PENGETAHUAN MAHASISWAKLUSTER KESEHATAN DAN SOSIO-HUMANIORA TERHADAPPENGOBATAN SENDIRINERISA ARVIANAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

8

merupakan gejala-gejala penyakit sederhana yang dapat sembuh sendiri

dalam waktu singkat, karena itu biasanya pengobatan sendiri hanya

dilakukan dalam waktu terbatas, lebih kurang 3-4 hari (Sukasediati, 1996).

Pengobatan sendiri mempunyai ciri pokok yang umum, diantaranya

adalah (Sukasediati, 1996):

1) Sangat dipengaruhi oleh kebiasaan, adat, tradisi dan kepercayaan

yang mempengaruhi perilaku seseorang

2) Dipengaruhi faktor sosial politik dan tingkat pendidikan

3) Dilakukan sewaktu-waktu manakala dibutuhkan

4) Berada di luar kerangka kerja medik profesional

5) Modelnya bervariasi dan dilakukan oleh semua kelompok

masyarakat.

b. Keuntungan dan Kekurangan Pengobatan Sendiri

Keuntungan pengobatan sendiri antara lain aman bila digunakan

sesuai dengan aturan, efisien waktu dan biaya, ikut berperan dalam

mengambil keputusan terapi dan meringankan beban pemerintah dalam

keterbatasan jumlah tenaga dan sarana kesehatan masyarakat (Supardi dkk.,

2002).

Keuntungan pengobatan sendiri misalnya aman bila digunakan sesuai

aturan dengan aturan, efektif untuk menghilangkan keluhan, efisiensi biaya,

efisiensi waktu dibandingkan harus berkunjung ke dokter. Ada pula

kekurangan pengobatan sendiri adalah obat dapat membahayakan kesehatan

apabila tidak digunakan sesuai aturan, pemborosan biaya dan waktu apabila

GAMBARAN PERILAKU DAN PENGETAHUAN MAHASISWAKLUSTER KESEHATAN DAN SOSIO-HUMANIORA TERHADAPPENGOBATAN SENDIRINERISA ARVIANAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

9

salah menggunakan obat, kemungkinan besar timbul efek samping dan

resistensi, dan sulit bertindak objektif karena pemilihan obat dipengaruhi

oleh pengalaman menggunakan obat di masa lalu dan lingkungan sosialnya

(Supardi dan Notosiswoyo, 2005).

Peranan pengobatan sendiri menurut WHO adalah sebagai berikut

(WHO, 1998) :

1) Untuk menghasilkan kesembuhan yang cepat dan efektif dari

gejala-gejala yang tidak memerlukan konsultasi tenaga medis

2) Mengurangi tekanan yang meningkat pada pelayanan kesehatan

terhadap penyembuhan gejala-gejala ringan, terutama bila sumber

daya dan tenaga terbatas

3) Meningkatkan ketersediaan perawatan kesehatan baik populasi

yang berada di pedesaan atau daerah terpencil yang untuk

mendapatkan nasihat media sulit.

Kekurangan pengobatan sendiri menurut Holt antara lain (Holt, 1986) :

1) Obat dapat membahayakan apabila tidak digunakan sesuai dengan

aturan

2) Pemborosan biaya dan waktu apabila salah menggunakan obat

3) Kemungkinan kecil dapat timbul reaksi obat yang tidak diinginkan,

misalnya sensitifitas, efek samping, atau resistensi

4) Penggunaan obat yang salah akibat informasi yang kurang lengkap

dari iklan obat

5) Tidak efektif akibat salah diagnosis dan salah dalam pemilihan obat

GAMBARAN PERILAKU DAN PENGETAHUAN MAHASISWAKLUSTER KESEHATAN DAN SOSIO-HUMANIORA TERHADAPPENGOBATAN SENDIRINERISA ARVIANAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

10

6) Sulit bertindak objektif karena pemilihan obat dipengaruhi oleh

pengalaman menggunakan obat di masa lalu dan lingkungan

sosialnya.

c. Faktor yang mempengaruhi pengobatan sendiri

Ada beberapa faktor yang berperan pada tindakan pengobatan sendiri

pada masyarakat. Menurut Sukasediati (1996), faktor tersebut antara lain

adalah:

1) Persepsi sakit

Persepsi sakit menentukan kapan seseorang mengambil keputusan

untuk melakukan tindakan pengobatan. Seseorang bisa merasakan

sakit ketika orang tersebut tidak dapat bangun dari tempat tidur,

tetapi orang lain dapat merasakan sakit meskipun masih bisa

bekerja.

2) Ketersediaan informasi tentang obat

Ketersediaan informasi tentang obat dapat menentukan keputusan

pemilihan obat. Sumber informasi yang sampai ke masyarakat

sebagian besar berasal dari media elektronik, sebagian lagi sesama

masyarakat, dan sebagian lagi dari sumber-sumber lain semisal

petugas kesehatan.

3) Ketersediaan obat di masyarakat

Ketersediaan obat di masyarakat merupakan faktor penentu yang

memungkinkan masyarakat mendapatkan dan menggunakan obat.

GAMBARAN PERILAKU DAN PENGETAHUAN MAHASISWAKLUSTER KESEHATAN DAN SOSIO-HUMANIORA TERHADAPPENGOBATAN SENDIRINERISA ARVIANAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

11

Obat yang digunakan oleh masyarakat biasanya diperoleh dengan

membeli di warung, kios, toko, apotek, dan tempat lain.

4) Sumber informasi cara pemakaian obat.

Sumber informasi cara pemakaian obat dapat diperoleh dari

kemasan atau brosur/insert yang menyertai obat, ada juga perilaku

pengobatan sendiri yang menanyakan kepada petugas apotek atau

penjaga toko.

d. Penggunaan Obat Rasional

Definisi penggunaan obat rasional menurut hasil konferensi WHO

dalam “Conference of Experts on the Rational Use of Drugs” di Nairobi

1985 adalah penggunaan obat yang pasien dapatkan sesuai dengan

kebutuhan secara individu, mendapatkan obat dalam jangka terapi yang

cukup dan biaya pengobatan yang terjangkau bagi masyarakat (Anonim,

2006).

Pola pengobatan yang tidak rasional adalah pola pengobatan yang

tidak mengikuti kaidah pengobatan rasional. Contoh penggunaan obat yang

tidak rasional adalah (Anonim, 2002):

1) Pemakaian obat yang diindikasikan secara medis tidak ada atau

tidak jelas

2) Pemilihan obat yang keliru untuk indikasi penyakit tertentu

3) Cara pemberian obat, dosis, frekuensi, dan lama pemberian yang

tidak sesuai

GAMBARAN PERILAKU DAN PENGETAHUAN MAHASISWAKLUSTER KESEHATAN DAN SOSIO-HUMANIORA TERHADAPPENGOBATAN SENDIRINERISA ARVIANAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

12

4) Pemberian jenis obat dengan potensi toksisitas atau efek samping

yang lebih besar padahal terdapat obat lain yang sama

kemanfaatannya dengan potensi efek samping yang lebih kecil

5) Pemakaian obat-obat mahal padahal tersedia alternatif yang lebih

murah dengan kemanfaatan dan keamanan yang sama

6) Tidak memberikan pengobatan yang sudah diketahui dan diterima

kemanfaatannya dan keamanannya

7) Memberikan pengobatan dengan obat-obatan yang kemanfaatannya

dan keamanannya masih diragukan

8) Pemakaian obat semata-mata didasarkan pada pengalaman

individual tanpa mengacu pada sumber-sumber informasi yang

tidak dapat dipastikan kebenarannya

9) Pemakaian obat yang didasarkan pada insting dan intuisi tanpa

melihat fakta dan kebenaran ilmiah yang lazim.

Pengobatan sendiri harus dilakukan sesuai dengan penyakit yang

dialami. Pelaksanaannya sedapat mungkin harus memenuhi kriteria

pengobatan yang rasional, antara lain ketepatan pemilihan obat, ketepatan

dosis obat, tidak adanya efek samping, tidak adanya kontraindikasi, tidak

adanya interaksi obat, dan tidak adanya polifarmasi. Dalam praktiknya,

kesalahan penggunaan obat dalam pengobatan sendiri ternyata masih terjadi

terutama karena ketidaktepatan obat dan dosis obat. Apabila kesalahan

terjadi terus-menerus dalam jangka waktu yang lama, dikhawatirkan dapat

menimbulkan risiko pada kesehatan (Supardi & Notosiswoyo, 2005).

GAMBARAN PERILAKU DAN PENGETAHUAN MAHASISWAKLUSTER KESEHATAN DAN SOSIO-HUMANIORA TERHADAPPENGOBATAN SENDIRINERISA ARVIANAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

13

Penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas yang sesuai dengan

aturan dan kondisi penderita akan mendukung upaya pengobatan obat yang

rasional. Kerasionalan penggunaan obat terdiri dari beberapa aspek, di

antaranya: ketepatan indikasi, kesesuaian dosis, ada tidaknya kontraindikasi,

ada tidaknya efek samping dan interaksi dengan obat dan makanan, serta

ada tidaknya polifarmasi (penggunaan lebih dari 2 obat untuk indikasi

penyakit yang sama). Dalam mendukung penggunaan obat yang rasional,

WHO telah mengatur upaya pengobatan sendiri di masyarakat dengan

mengeluarkan kriteria etik promosi obat sejak tahun 1988. WHO Ethical

Criteria for Medical Drug Promotion mencakup etika promosi yang

ditujukan bagi kalangan industri farmasi, profesi kesehatan maupun

masyarakat. Berdasarkan informasi obat yang objektif, diharapkan

masyarakat mendapatkan pengetahuan yang benar dan penggunaan obat

yang rasional (Suryawati, 1997).

Pengobatan sendiri yang sesuai aturan mencangkup 4 kriteria yaitu

(Supardi dkk, 2002):

1) Tepat golongan

Menggunakan obat yang termasuk golongan obat bebas atau obat

bebas terbatas.

2) Tepat indikasi

Menggunakan obat yang termasuk obat bebas atau obat bebas

terbatas sesuai dengan keluhan yang dirasakan.

3) Tepat dosis

GAMBARAN PERILAKU DAN PENGETAHUAN MAHASISWAKLUSTER KESEHATAN DAN SOSIO-HUMANIORA TERHADAPPENGOBATAN SENDIRINERISA ARVIANAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

14

Menggunakan obat dengan dosis sekali dan sehari pakai sesuai

dengan umur.

4) Lama pengobatan terbatas

Apabila sakit berlanjut segera hubungi dokter.

e. Penggolongan dan Informasi Umum Obat

Obat dapat dibagi menjadi 4 golongan yaitu (Anonim, 2006)

1) Obat Bebas

Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat

dibeli tanpa resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket

obat bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi warna hitam.

Contoh : Parasetamol

Gambar 1. Logo Obat Bebas

2) Obat Bebas Terbatas

Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat

keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter,

disertai dengan tanda peringatan dan leaflet. Tanda khusus pada

kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru

dengan garis tepi berwarna hitam.

Contoh : CTM

Gambar 2. Logo Obat Bebas Terbatas

GAMBARAN PERILAKU DAN PENGETAHUAN MAHASISWAKLUSTER KESEHATAN DAN SOSIO-HUMANIORA TERHADAPPENGOBATAN SENDIRINERISA ARVIANAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

15

3) Obat Keras dan Psikotropika

Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan

resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf

K dalam lingkaran merah dengan garis tepi warna hitam.

Contoh : Kaptopril

Gambar 3. Logo Obat Keras

Obat psikotropika adalah obat keras baik alamiah maupun sintesis

bukan narkotik, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh

selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan

khas pada aktivitas mental dan perilaku.

Contoh : Diazepam, Phenobarbital

4) Obat Narkotika

Obat narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman baik sintesis ataupun semi sintesis yang dapat

menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,

mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan menimbulkan

ketergantungan

Contoh : Morfin dan Petidin

Gambar 4. Logo Obat Bebas Terbatas

Selain obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras, dan psikotropika

serta obat narkotika, terdapat pula Obat Wajib Apotek (OWA). Obat Wajib

Apotek (OWA) merupakan daftar obat-obat keras yang dapat diserahkan

GAMBARAN PERILAKU DAN PENGETAHUAN MAHASISWAKLUSTER KESEHATAN DAN SOSIO-HUMANIORA TERHADAPPENGOBATAN SENDIRINERISA ARVIANAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

16

oleh apoteker kepada pasien di apotek tanpa resep dokter. Sampai saat ini

sudah ada 3 (tiga) daftar obat yang diperbolehkan diserahkan tanpa resep

dokter, yang tercantum dalam (Asti dan Widiya, 2004):

1) Keputusan Menteri Kesehatan nomor 347/MenKes/SK/VII/1990

tentang Obat Wajib Apotek, berisi Daftar Obat Wajib Apotek No.1

2) Keputusan Menteri Kesehatan nomor 924/MenKes/Per/X/1993

tentang Daftar Obat Wajib Apotek No.2

3) Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1176/MenKes/SK/X/1999

tentang Daftar Obat Wajib Apotek No.3.

Sesuai Permenkes No. 919/MENKES/PER/X/1993, kriteria obat yang

dapat diserahkan tanpa resep dokter antara lain (Anonim, 1996):

1) Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil,

anak di bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun

2) Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko

pada kelanjutan penyakit

3) Penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus

dilakukan oleh tenaga kesehatan

4) Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya

tinggi di Indonesia

5) Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat

dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri

6) Sebelum menggunakan obat, termasuk obat bebas dan bebas

terbatas harus diketahui sifat dan cara pemakainnya agar

GAMBARAN PERILAKU DAN PENGETAHUAN MAHASISWAKLUSTER KESEHATAN DAN SOSIO-HUMANIORA TERHADAPPENGOBATAN SENDIRINERISA ARVIANAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

17

penggunaannya tepat dan aman. Informasi tersebut dapat diperoleh

dari etiket atau brosur pada kemasan obat bebas dan bebas terbatas.

f. Leaflet obat

Leaflet obat merupakan informasi singkat berkaitan dengan obat.

Biasanya merupakan tulisan pada kertas kecil yang ditempelkan pada strip

obat atau lembaran lepas pada tiap dos, atau bisa juga tertera pada kemasan

obat.

Informasi yang diberikan umumnya meliputi (Widodo, 2004):

1) Komposisi, yakni obat atau zat aktif yang ada di dalam obat beserta

jumlah masing-masing

2) Cara kerja obat, yakni mekanisme obat bekerja di dalam tubuh

3) Indikasi, yaitu penggunaan obat dalam pengobatan penyakit

4) Dosis atau cara pemakaian, besarnya obat yang boleh digunakan

dalam sekali pakai dan dalam sehari sesuai dengan berat badan atau

umur pengguna

5) Kontraindikasi, yaitu pasien yang tidak boleh menggunakan obat

berkaitan dengan kondisi tubuh pengguna obat

6) Efek samping, efek-efek yang tidak diinginkan yang dapat muncul

akibat penggunaan obat

7) Interaksi obat, yaitu pengaruh yang disebabkan obat ataupun

makanan bila digunakan bersamaan dengan obat tersebut

GAMBARAN PERILAKU DAN PENGETAHUAN MAHASISWAKLUSTER KESEHATAN DAN SOSIO-HUMANIORA TERHADAPPENGOBATAN SENDIRINERISA ARVIANAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

18

8) Waktu kadaluarsa, yaitu waktu yang menunjukkan batas akhir obat

masih memenuhi persyaratan seperti semula, sehingga sebaiknya

obat digunakan sebelum batas waktu tersebut.

3. Kuesioner

Kuesioner adalah usaha mengumpulkan informasi dengan menyampaikan

sejumlah pertanyaan tertulis untuk dijawab secara tertulis pula oleh responden

(Nawawi, 1995). Kuesioner sebagai alat pengumpul informasi memiliki kelebihan

dan kekurangan.

Keuntungan metode pengumpulan data dengan kuesioner antara lain karena

metode ini paling murah dan nyaman untuk diaplikasikan, serta ideal untuk

mendapatkan gambaran singkat pandangan kuesioner. Adapun kekurangan dari

metode ini adalah adanya kemungkinan beberapa orang tidak mengerti pertanyaan

yang diajukan sehingga memberikan respon yang tidak sempurna. (Anonim,

1999)

Kuesioner tersebut dipergunakan dalam penelitian ilmiah pada dasarnya

bertolak dari anggapan sebagai berikut (Nawawi, 1995):

a. Reponden adalah orang yang paling mengetahui dirinya sendiri sehingga

data atau informasi yang tidak dapat diamati atau tidak dapat diperoleh

dengan alat lain, akan dapat diketahui dengan alat tersebut. Misalnya

informasi tentang tanggapan, keyakinan, perasaan, pendapat, cita-cita, dan

lain-lain

GAMBARAN PERILAKU DAN PENGETAHUAN MAHASISWAKLUSTER KESEHATAN DAN SOSIO-HUMANIORA TERHADAPPENGOBATAN SENDIRINERISA ARVIANAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

19

b. Bahwa responden terdiri dari orang-orang yang mampu dan bersedia

memberikan informasi secara jujur, sehingga data yang diperoleh akan dapat

dipercaya sebagai data yang objektif (benar)

c. Bahwa responden adalah orang-orang yang mampu menafsirkan

pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan, sebagaimana dimaksudkan oleh

peneliti. Dengan kata lain sekurang-kurangnya bagi responden yang akan

mengisi angket adalah orang-orang yang mampu membaca dan menulis.

Berdasarkan bentuk pertanyaan kuesioner dapat dibedakan menjadi

(Nawawi, 1995):

a. Kuesioner dengan pertanyaan bebas (kuesioner tak terstruktur)

b. Jawaban responden terhadap tiap pertanyaan kuesioner berbentuk dapat

diberikan secara bebas atau menurut pendapat sendiri, berupa uraian tentang

informasi yang diminta setiap pertanyaan

c. Kuesioner dengan pertanyaan terikat (kuesioner tak berstruktur)

Jawaban responden dalam kuesioner tersebut terikat pada sejumlah alternatif

yang disediakan sebagai kemungkinan jawaban yang dapat dipilih.

Kuesioner bentuk tersebut terdiri dari:

a. Kuesioner dengan pertanyaan tertutup

Setiap kuesioner dalam bentuk telah tersedia alternatif jawaban yang harus

dipilih salah satu diantaranya sebagai jawaban yang paling tepat.

Berdasarkan jumlah pilihan yang tersedia maka dikenal bentuk force choice

item, berupa pertanyaan yang hanya memberikan dua alternatif jawaban

untuk dipilih. Kemudian dikenal bentuk lain yang disebut multiple choice

GAMBARAN PERILAKU DAN PENGETAHUAN MAHASISWAKLUSTER KESEHATAN DAN SOSIO-HUMANIORA TERHADAPPENGOBATAN SENDIRINERISA ARVIANAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

20

item, berupa pertanyaan yang memberikan lebih dari dua alternatif jawaban

yang dapat dipilih.

b. Kuesioner dengan pertanyaan terbuka

Dalam bentuk multiple choice item ada kemungkinan responden

memberikan jawaban yang tersedia sehingga peneliti menyediakaan ruangan

terbatas berupa titik-titik sebanyak dua atau tiga baris.

c. Kuesioner dengan jawaban singkat

Bentuk tersebut mirip dengan kuesioner dengan pertanyaan bebas. Tetapi

karena sifat jawaban singkat dan tertentu maka bentuknya tidak banyak

berbeda dengan kuesioner dengan pertanyaan terikat.

F. Keterangan Empiris yang Diharapkan

Penelitian yang dilakukan di Kluster Kesehatan dan Kluster Sosio-

Humaniora Universitas Gadjah Mada ini adalah untuk memperoleh gambaran

tingkat pengetahuan mahasiwa pada kedua kluster mengenai pengobatan sendiri

(pengobatan sendiri), yang diharapkan mendapat informasi seperti:

1. Mengetahui gambaran perilaku pengobatan sendiri mahasiswa Kluster

Kesehatan dan Kluster Sosio-Humaniora.

2. Mengetahui gambaran pengetahuan mahasiswa Kluster Kesehatan dan

Kluster Sosio-Humaniora dalam pengobatan sendiri

3. Mengetahui adanya pengaruh faktor sosiodemografi mahasiswa terhadap

tingkat pengetahuan mahasiswa mengenai pengobatan sendiri.

GAMBARAN PERILAKU DAN PENGETAHUAN MAHASISWAKLUSTER KESEHATAN DAN SOSIO-HUMANIORA TERHADAPPENGOBATAN SENDIRINERISA ARVIANAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/