referat avian influenza
DESCRIPTION
Flu burung atau avian influenza adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus H5N1 yang merupakan subtipe dari virus influenza (flu) tipe A. Avian influenza sendiri sebenarnya bisa dibagi lagi ke dalam beberapa subtipe, misalnya subtipe yang paling patogen adalah H5N1, H7N3, H7N7, dan H9N2, namun virus flu burung yang umumnya dikenal dan yang sedang hangat-hangatnya diperbincangkan karena infeksinya yang menyebar luas hampir ke seluruh dunia adalah H5N1. Virus H5N1 merupakan jenis virus dengan struktur genetik RNA. Virus H5N1 telah banyak melakukan mutasi genetik yang menghasilkan belasan virus patogenik tinggi. Namun, kesemuanya itu termasuk ke dalam genotif Z virus avian influenza termasuk pada virus H5N1 yang menyerang manusiaTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Flu Burung (Avian Influenza/ AI) merupakan penyakit yang dapat menyebabkan
kerugian ekonomis dan juga dapat berdampak terhadap kehilangan nyawa pada manusia,
sehingga penyakit flu burung dikelompokkan pada penyakit kategori I, yaitu penyakit strategis.
Penyakit Avian Influenza adalah penyakit yang sudah lama terkenal di seluruh dunia,
penyakit ini dapat menyebabkan banyak kematian unggas di suatu daerah sehingga dapat
mengakibatkan kerugian yang besar bagi peternak. Selain itu Avian Influenza merupakan
penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia ( zoonosis ) sehingga pencegahan dan
penganggulangan terjadinya penyakit ini perlu mendapat perhatian dan tindakan yang tepat.
Suatu jenis influenza unggas baru, yang dikenal sebagai influenza A H5N1, pertama kali
diperhatikan di Hong Kong pada tahun 1997 mengakibatkan 18 orang positif terinfeksi dengan 6
orang meninggal dan kemudian menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia (Braunwald, dkk;
2003).
Burung-burung yang bermigrasi merupakan hospes reservoir utama dalam penyebaran
H5N1 keseluruh dunia. Burung-burung tersebut akan singgah pada sebuah daerah dan
menginfeksi unggas-unggas domestik di daerah tersebut. Beberapa unggas tidak menununjukkan
gejala terinfeksi H5N1 walaupun dia sebenarnya telah terinfeksi. Bebek domestik merupakan
salah satu contoh unggas yang tidak menunjukkan gejala meskipun ia telah terinfeksi H5N1. Hal
ini semakin menambah tingginya risiko manusia untuk terjangkit H5N1, (WHO, 2005).
WHO pada bulan November 2004 menyatakan bahwa pada serbuan pertama pandemi
wabah H5N1 ini sebagian besar negara berkembang tidak bisa mengakses vaksin sehingga
pandemi diperkirakan akan menyebar dan meluas dengan cepat. Pandemi adalah sebuah kejadian
luar biasa yang efeknya mampu berpengaruh pada semua sektor kehidupan termasuk sektor
sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, sebuah langkah penanganan dan pencegahan yang tepat
sangat diperlukan terkait ancaman pandemi virus mematikan H5N1 yang terjadi saat ini, (WHO,
2005.1
1
BAB II
PEMBAHASAN
ETIOLOGI
Flu burung atau avian influenza adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus
H5N1 yang merupakan subtipe dari virus influenza (flu) tipe A. Avian influenza sendiri
sebenarnya bisa dibagi lagi ke dalam beberapa subtipe, misalnya subtipe yang paling patogen
adalah H5N1, H7N3, H7N7, dan H9N2, namun virus flu burung yang umumnya dikenal dan
yang sedang hangat-hangatnya diperbincangkan karena infeksinya yang menyebar luas hampir
ke seluruh dunia adalah H5N1. Virus H5N1 merupakan jenis virus dengan struktur genetik RNA.
Virus H5N1 telah banyak melakukan mutasi genetik yang menghasilkan belasan virus patogenik
tinggi. Namun, kesemuanya itu termasuk ke dalam genotif Z virus avian influenza termasuk pada
virus H5N1 yang menyerang manusia.2
H5N1 berarti subtipe dari permukaan antigen yang tampak pada virus, yaitu
hemagglutinin tipe 5 dan neuraminidase tipe 1. Genotif Z merupakan genotif yang dominan pada
H5N1. Genotif Z endemik pada burung-burung di wilayah asia tenggara dan menunjukkan
ancaman pandemik yang berkepanjangan. Virus influenza tipe A memiliki 10 gen dengan 8
pembagian molekul RNA yaitu:2
a. PB 2 (polimerase basic 1)
b. PB1 (polimerase basic 2)
c. PA (polimerase acidic)
d. HA (hemagglutin)
e. NP (nukcleoprotein)
f. NA (neuraminidase)
g. M1 dan M2 (matrix)
h. NS1 dan NS2 (non-structural)
RNA yang terpenting ada 2, yaitu HA dan PB1. HA memproduksi antigen pada
permukaan yang berperan pada proses transmisi virus. Sementara iru, PB1 memproduksi
molekul viral polimerase yang merupakan penentu derajat virulensi virus.
Molekul RNA HA berisi gen HA bertugas mengkode hemagglutinin. Hemagglutinin
adalah antigenik glikoprotein yang ditemukan pada pemukaan virus influenza. Hemagglutinin
juga merupakan molekul yang akan mengikat virus pada sel ketika virus menginfeksi sel dengan
2
cara mengaitkan diri. PB1 betugas untuk mengkode PB1 protein dan PB1-F2. PB1 protein sangat
dibutuhkan pada viral polimerase. Sementara itu, PB-F2 berkontribusi dalam penetuan derajat
petogenik virus karena ia mengkode jalan alternatif untuk membuka bingkai PB RNA dan akan
berinteraksi dengan 2 komponen pada pori-pori membran permiabilitas mitokondria.
EPIDEMIOLOGI
Suatu jenis influenza unggas baru, yang dikenal sebagai influenza A H5N1, pertama kali
diperhatikan di Hong Kong pada tahun 1997 mengakibatkan 18 orang positif terinfeksi dengan 6
orang meninggal dan kemudian menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia (Braunwald, dkk;
2003).
Burung-burung yang bermigrasi merupakan hospes reservoir utama dalam penyebaran
H5N1 keseluruh dunia. Burung-burung tersebut akan singgah pada sebuah daerah dan
menginfeksi unggas-unggas domestik di daerah tersebut. Beberapa unggas tidak menununjukkan
gejala terinfeksi H5N1 walaupun dia sebenarnya telah terinfeksi. Bebek domestik merupakan
salah satu contoh unggas yang tidak menunjukkan gejala meskipun ia telah terinfeksi H5N1. Hal
ini semakin menambah tingginya risiko manusia untuk terjangkit H5N1, (WHO, 2005).1
WHO pada bulan November 2004 menyatakan bahwa pada serbuan pertama pandemi
wabah H5N1 ini sebagian besar negara berkembang tidak bisa mengakses vaksin sehingga
pandemi diperkirakan akan menyebar dan meluas dengan cepat
Sampai dengan saat ini jarang sekali ditemukan kasus infeksi H5N1 dari manusia ke
manusia.Sampai dengan tahun 2006 WHO memperkirakan hanya 2 sampai 3 kasus infeksi H5N1
dari manusia ke manusia. Manusia yang terinfeksi H5N1 umumnya karena ia melakukan kontak
langsung secara ekstensif dengan unggas yang terinfeksi.
Kasus infeksi H5N1 dari manusia ke manusia pernah terjadi di Sumatra yang dilaporkan
pada bulan Juni 2006. Kasus tersebut terjadi pada satu keluarga yang salah satu anggota
keluarnya terjangkit H5N1 kemudian setelah itu anggota keluarga lain dilaporkan terjangkit pula.
Namun, kasus tersebut sangat jarang terjadi dan belum bisa dipastikan bahwa H5N1 tersebut
menyebar dari manusia ke manusia.1
Virus H5N1, seperti virus flu pada umumnya, sangatlah mudah bermutasi atau
berevolusi. Jika virus H5N1 menginfeksi manusia, maka kemungkinan terjadinya pertukaran
genetik antara gen virus dengan gen manusia selama co infeksi sangatlah mungkin terjadi dan
secara berangsur-angsur akan terjadi mutasi adaptif dari virus sehingga membentuk cluster kecil
3
virus jenis ini. Hal ini akan sangat berbahaya sebab kemungkinan terjadinya infeksi dari manusia
ke manusia akan semakin besar kemungkinanya untuk terjadi.
PATOFISIOLOGI
Terdapat dua faktor yang menentukan tingkat pathogen virus AI, yaitu :
1. Protein hemaglutinin (HA), yang terdapat pada permukaan virus. Adanya “cleavage
site” pada protein HA akan meningkatkan sifat pathogen virus AI. Protein HA juga
berperan dalam proses infeksi virus ke dalam sel dengan cara berinteraksi secara
langsung dengan reseptor di permukaan sel hospes. Selain itu protein HA juga
berfungsi dalam perpindahan virus dari satu sel ke sel lain. Melalui cara akumulasi
mutasi pada HA, maka virus AI bisa meningkat daya penularannya.
2. Gen Nonstruktural Protein (gen NS). Keberadaan gen NS akan menciptakan virus
yang kebal terhadap dua faktor yang berkaitan dengan sistem imun tubuh, yaitu
interferon (IFN) dan “tumor necrosis factor alpha (TNF-α), yang memiliki peran anti
virus. Hasil uji coba menunjukkan bahwa bahwa virus rekombinan yang memiliki NS
yang berasal dari virus pathogen, seperti H1N1 berhasil menghambat ekspresi gen
yang diregulasi oleh interferon.
Virus AI dikeluarkan oleh unggas penderita lewat cairan hidung, mata dan feses. Unggas
peka akan tertular bisa secara kontak langsung dengan ungga s penderita maupun secara tidak
langsung melalui udara yang tercemar oleh droplet yang dikeluarkan hidung dan mata atau
muntahan penderita. Tinja yang mongering dan hancur menjadi serbuk yang mencemari udara
yang terhirup oleh manusia atau hewan lain,kemungkinan juga merupakan cara penularan yang
efektif. Tinja, dan muntahan penderita yang mengandung virus seringkali mencemari pakan, air
minum, kandang dan peralatan kandang akan menularkan penyakit dari unggas penderita ke
unggas pekadalam satu flok kandang.
Penyebaran virus Avian Influenza (AI) terjadi melalui udara (droplet infection) di mana
virus dapat tertanam pada membran mukosa yang melapisi saluran napas atau langsung
memasuki alveoli (tergantung dari ukuran droplet). Virus yang tertanam pada membran mukosa
akan terpajan mukoprotein yang mengandung asam sialat yang dapat mengikat virus. Reseptor
spesifik yang dapat berikatan dengan virus influenza berkaitan dengan spesies darimana virus
berasal. Virus avian influenza manusia (Human influenza viruses) dapat berikatan dengan alpha
2,6 sialiloligosakarida yang berasal dari membran sel di mana didapatkan residu asam sialat yang 4
dapat berikatan dengan residu galaktosa melalui ikatan 2,6 linkage. Virus AI dapat berikatan
dengan membran sel mukosa melalui ikatan yang berbeda yaitu 2,3 linkage. Adanya perbedaan
pada reseptor yang terdapat pada membran mukosa diduga sebagai penyebab mengapa virus AI
tidak dapat mengadakan replikasi secara efisien pada manusia. Mukoprotein yang mengandung
reseptor ini akan mengikat virus sehingga perlekatan virus dengan sel epitel saluran pernapasan
dapat dicegah. Tetapi virus yang mengandung neurominidase pada permukaannya dapat
memecah ikatan tersebut. Virus selanjutnya akan melekat pada epitel permukaan saluran napas
untuk kemudian bereplikasi di dalam sel tersebut. Replikasi virus terjadi selama 4-6 jam
sehingga dalam waktu singkat virus dapat menyebar ke sel-sel di dekatnya. Masa inkubasi virus
18 jam sampai 4 hari, lokasi utama dari infeksi yaitu pada sel-sel kolumnar yang bersilia. Sel-sel
yang terinfeksi akan membengkak dan intinya mengkerut dan kemudian mengalami piknosis.
Bersamaan dengan terjadinya disintegrasi dan hilangnya silia selanjutnya akan terbentuk badan
inklusi.3
GEJALA KLINIS
Tampilan klinis manusia yang terinfeksi flu burung menunjukkan gejala seperti terkena
flu biasa. Diawali dengan demam, mialgia, sakit tenggorokan, batuk, dan sesak napas. Dalam
perkembangannya kondisi tubuh dengan sangat cepat menurun drastis. Bila tidak segera
ditolong, korban bisa meninggal karena berbagai komplikasi.4
Masa inkubasi penyakit, dimana saat mulai terpapar virus hingga mulai timbul gejala
sekitar 3 hari dengan rentang 2 hingga 5 hari. Sebagian besar penderita mengalami produksi
dahak yang meningkat, 30% diantaranya dahaknya bercampur darah. Diare dialami oleh 70%
penderita. Semua penderita menunjukkan limfopenia dan sebagian besar penderita mengalami
trombositopenia.4
Dalam penegakan diagnosis, terdapat beberapa kriteria diagnosis yang digunakan sesuai
dengan temuan klinis yang didapatkan pada penderita pada tahapan dan waktu tertentu, yaitu:
a. Kasus observasi :
Panas > 380C dan > 1 gejala berikut :
- Batuk
- Radang tenggorokan
- Sesak napas yang pemeriksaan klinis dan laboratoriumnya sedang berlangsung3
5
b. Kasus suspect (kasus tersangka) :
Demam > 380C dan > 1 gejala berikut :
- Batuk
- Nyeri tenggorokan
- Sesak napas3
dan salah satu di bawah ini :
- Hasil tes laboratorium positif untuk virus influenza A tanpa mengetahui subtype-nya,
- kontak 1 minggu sebelum timbul gejala dengan penderita yang confirmed,
- kontak 1 minggu sebelum timbul gejala dengan unggas yang mati karena sakit,
- bekerja di laboratorium 1 minggu sebelum timbul gejala yang memproses sampel dari
orang atau binatang yang disangka terinfeksi Highly Pathogenic Avian Influenza
- hasil laboratorium tertentu positif untuk virus influenza A (H5) seperti tes antibodi
spesifik pada 1 spesimen serum3
c. Kasus probable :
Kriteria kasus suspek ditambah dengan satu atau lebih keadaan di bawah ini:
o Ditemukan adanya kenaikan titer antibodi minimum 4 kali terhadap H5 dengan
pemeriksaan HI test menggunakan eritrosit kuda
o Hasil laboratorium terbatas untuk Influensa H5 menggunakan neutralisasi tes
o Dalam waktu singkat menjadi penumonia berat/gagal napas/meninggal dan terbukti tidak
ada penyebab lain.3
d. Kasus confirmed (kasus pasti) :
● Hasil biakan virus positif Influenza A (H5N1), atau,
● hasil dengan pemeriksaan PCR positif untuk influenza H5, atau,
● peningkatan titer antibodi spesifik H5 sebesar >4 kali
● hasil dengan IFA positif untuk antigen H5.3
Kelompok Risiko Tinggi
Kelompok yang perlu diwaspadai dan berisiko tinggi terinfeksi flu burung adalah :
o Pekerja peternakan/pemrosesan unggas (termasuk dokter hewan/Ir. Perternakan)
6
o Pekerja laboratorium yang memproses sampel pasien/unggas terjangkit
o Pengunjung perternakan/pemrosesan unggas (1 minggu terakhir)
o Pernah kontak dengan unggas (ayam, itik, burung) sakit/mati mendadak yang belum
diketahui penyebabnya dan atau babi serta produk mentahnya dalam 7 hari terakhir.
o Pernah kontak dengan penderita AI konfirmasi dalam 7 hari terakhir.3
Kriteria Rawat
● Suspek flu burung dengan gejala klinis berat yaitu : 1) sesak napas dengan frekuensi napas ≥
30 kali/menit, 2) Nadi ≥ 100 kali/menit. ada gangguan kesadaran, 3) kondisi umum lemah
● Suspek dengan leukopeni
● Suspek dengan gambaran radiologi pneumoni
● Kasus probable dan confirm.3
Kematian dan komplikasi biasanya disebabkan oleh kegagalan pernapasan. Komplikasi
yang didapatkan pada penderita influenza A H5N1 adalah sindroma Reye (1 penderita),
gangguan fungsi hepar pada pemeriksaan biokimia darah (6 penderita), pansitopenia (2
penderita), gagal ginjal (3 penderita), hemoragi pulmonal (1 penderita), kegagalan pernafasan
akut (6 penderita), dan syok septik (1 penderita). Tidak dijumpai adanya infeksi sekunder oleh
bakteri patogen (Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, atau Staphylococcus
aureus) diketahui dari biakan sekresi saluran nafas, cairan pleura, dan darah. Dari 12 kasus ini, 5
penderita meninggal dengan gangguan multiorgan kendati sudah diberikan perawatan intensif.
Komplikasi berat tampaknya dijumpai pada penderita dengan usia lebih tua, sudah lama
bergejala sebelum dirawat di rumah sakit, dengan pneumonia, leukopenia, dan limfopenia.5,6
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Gambaran Radiologi
Foto Toraks
Pada pemeriksaan foto toraks PA dan lateral, dapat ditemukan gambaran infiltrat
di paru yang menunjukkan bahwa kasus ini adalah pneumonia. Paling banyak ditemukan
konsolidasi multifokal; efusi dan limfadenopati dapat selalu dilihat, begitu pula dengan
perubahan cystic. Penampakan penyakit pada radiologi lebih awal memberikan prediksi
7
yang bagus dari mortalitas, termasuk penemuan konsisten dengan acute respiratory
distress syndrom (ARDS), seperti difus, ground glass appearance bilateral.3,7
Pada foto toraks, semua penumonia memperlihatkan tanda-tanda radiologis yang
positif. Gambaran penumonia pada foto toraks sama seperti gambaran konsolidasi
radang. Jika udara dalam alveoli digantikan oleh eksudat radang, maka bagian paru
tersebut akan tampak putih pada foto Roentgen. Kelainan ini dapat melibatkan sebagian
atau seluruh lobus (pneumonia lobaris) atau berupa bercak yang mengikutsertakan alveoli
secara tersebar (bronkopneumonia). Gambaran radiologisnya memperlihatkan bayangan
homogen berdensitas tinggi pada satu segmen, lobus paru atau pada sekumpulan segmen
lobus yang berdekatan, berbatas tegas.8
Studi yang dilakukan investigator dari Universitas Oxford, U.K., mengemukakan
bahwa konsolidasi pulmonar yang cukup buruk pada foto X-ray adalah prediktor survival
yang baik. Pada radiografi dada dapat menunjukkan satu atau banyak infiltrat.9,10
Foto X-ray dada tidak patognomonik untuk flu burung tetapi dapat
memperlihatkan adanya infeksi secara umum. Riwayat kontak dengan burung dan
penyakit yang bertambah buruk, memberikan tanda-tanda radiografi dari penyebaran
infeksi pada paru adalah kunci dari mengidentifikasi penyakit.9
Pada studi foto X-ray yang dipelajari sebelumnya oleh ahli radiologi independen
dari Vietnam dan U.K. Ahli radiologis ini memisahkan paru pada masing-masing
radiografi menjadi 3 zona, masing-masing adalah ketiga panjang bagian craniocaudal dari
paru. Mereka kemudian memisahkan masing-masing zona paru pada 3 segmen dan
memberi tingkatan skor konsolidasi dari 0 – 18. Skor 0 diberikan pada jaringan paru yang
menunjukkan tidak ada tanda konsolidasi. Skor 18 diberikan pada saat keadaan abnormal
terjadi bilateral dan difus. Paling banyak yang ditemukan pada pasien dengan tes flu
burung yang positif adalah konsolidasi multifocal.9
Gambaran foto X-ray dada memperlihatkan banyak konsolidasi pada paru pada 9
pasien yang meninggal karena terinfeksi dengan flu burung, pada studi yang
dipresentasikan di pertemuan RSNA 2005. Penemuan-penemuan ini lalu dibandingkan
dengan penemuan foto X-ray dada pada lima pasien yang bertahan setelah terkena
penyakit ini. Di antara yang meninggal, skor konsolidasi paru meningkat 10 dengan
sedikitnya 4 area yang terlibat di paru pada masing-masing pasien.
8
Gambaran pneumonia progresif meningkat dengan tingkat mortalitas tinggi telah
diobservasi khususnya pada laporan kasus yang terlambat. Kebanyakan gambaran
radiologi yang abnormal adalah infiltrasi pneumonik yang banyak dengan segmental dan
distribusi multifokal, paling banyak terlokalisasi di bagian bawah dari paru-paru.11
Pemeriksaan Ultrasonografi
Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi dan mengukur efusi pleura dan
konsolidasi di paru. Konsolidasi paru pada USG tampak seperti struktur jaringan
hiperechoic dan dengan wedge-shaped. Beberapa studi telah mendemonstrasikan bahwa
ultrasound paru memiliki tampilan yang tinggi untuk mendiagnosis konsolidasi alveolar
dan berguna untuk menuntun biopsi paru perkutaneus.12
Pemeriksaan CT-Scan
Gambaran menyebar atau bercak pada ground-glass ditambah dengan konsolidasi
adalah gambaran umum pada CT-scan. Nodul sentrilobuler kecil menunjukkan
perdarahan alveolar mungkin terlibat. Jarang terjadi efusi pleura. Pada sebuah studi,
gambaran CT-scan menunjukkan konsolidasi ruang udara atau ground-glass dengan
distribusi lobuler.13
Gambaran Histopatologi
Paru-paru secara tipikal menunjukkan kerusakan alveolar yang difus. Pada kasus dengan
waktu penyakit yang pendek (< 10 sampai 12 hari), menunjukkan fase inflamasi eksudatif dari
kerusakan alveolar difus (edema, eksudat fibrosa, pembentukan membran hialin) adalah
predominan. Pada kasus dengan pemanjangan waktu penyakit, merubah konsistensi dengan fase
proliferatif fibrosa (mengatur kerusakan alveolar yang difus) dan tingkat fibrosis akhir (fibrosis
interstitial) telah diperlihatkan.14
Pemeriksaan Laboratorium
Untuk uji konfirmasi dilakukan ;
- Kultur dan identifikasi virus H5N1.
- Uji Real Time Nested PCR (Polymerase Chain Reaction) untuk H5.
- Uji serologi, yang meliputi:
1).Immunofluorescence (IFA) test: ditemukan antigen positif dengan
menggunakan antibodi monoklonal influenza H5N1
2).Uji netralisasi: didapatkan kenaikan titer antibodi spesifik influenza A/H5N1
sebanyak 4 kali dalam serum
9
3) Uji penapisan:
a). Rapid test untuk mendeteksi influenza A
b). HI Test dengan darah kuda untuk mendeteksi H5N1
c). Enzyme immunoassay (ELISA) untuk mendeteksi H5N1.
Selain itu dilakukan pemeriksaan :
- Hematologi : hemoglobin, leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit, total limfosit. Umumnya
ditemukan leukopeni, limfositopeni atau limfositosis relatif, dan trombositopeni.
- Kimia : Albumin/globulin, SGOT/SGPT, ureum, kreatinin, kreatin kinase, analisa gas darah.
Umumnya dijumpai penurunan albumin, peningkatan SGOT/SGPT, peningkatan ureum dan
kreatinin, peningkatan kreatinin kinase, sedangkan analisa gas darah dapat normal atau
abnormal.3
DIAGNOSIS BANDING
Severe Acute Respiratory Syndrome
Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) adalah penyakit infeksi saluran
napas yang disebabkan oleh virus Corona dengan sekumpulan gejala klinis yang berat.
SARS secara klinis lebih banyak melibatkan saluran napas bagian bawah, dibandingkan
dengan saluran napas bagian atas. Pada saluran napas bawah, sel-sel asinus adalah
sasaran yang lebih banyak terkena daripada trakea ataupun bronkus.3
Manifestasi utama SARS adalah gejala penyakit paru seperti batuk-batuk kering
disertai sesak yang semakin lama semakin berat. Sering pula ditemukan ronchi pada basal
paru saat pemeriksaan fisis.14
Gambaran radiologis yang paling banyak ditemukan adalah ground glass
opacification yang tidak menutupi gambaran pembuluh darah dibawahnya, yang dapat
muncul unilateral atau bilateral. Konsolidasi paling sering terjadi pada lapangan paru
perifer serta bagian basal dan bagian tengah paru, namun konsolidasi dapat berlanjut ke
daerah sentral paru. Konsolidasi yang didapatkan dengan air bronchograms sign
ditemukan pada beberapa pasien tetapi konsolidasi lobaris tidak ditemukan. Tidak
ditemukan pula efusi pleura atau pembesaran hilar.15
Pneumonia Bakterial
10
Pneumonia bakterial disebabkan oleh infeksi patogen pada paru-paru dan dapat
timbul sebagai proses penyakit primer atau proses akhir penyakit dari seseorang yang
telah lemah. Pneumonia lebih jauh lagi dikategorikan sebagai community-acquired
pneumonia (CAP) atau hospitalized atau institutional-acquired pneumonia (HAP atau
IAP).16
Air bronchograms dapat dievaluasi saat terinfeksi S. pneumoniae. Konsolidasi
terbuka dan air bronchograms sign saling berhubungan dengan insidens tinggi dari
bakteriemia. Legionella memiliki predileksi di lapangan bawah paru, sedangkan
klebsiella memiliki tendensi untuk muncul pada lapangan atas paru.16
PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan avian influenza adalah : istirahat, peningkatan daya tahan tubuh,
pengobatan antiviral, pengobatan antibiotik, perawatan respirasi, anti inflamasi,
immunomodulator.3 Antiviral sebaiknya diberikan pada awal infeksi yakni pada 48 jam pertama.
Adapun pilihan obat :
1. Penghambat M2 :
a. Amantadin (symadine)
b. Rimantidin (flu-madine), dengan dosis 2x/hari 100 mg atau 5 mg/kgBB selama 3-5
hari
2. Penghambatan neuramidase (WHO) :
a. Zanamivir (relenza)
b. Oseltamivir (tami-flu), dengan dosis 2 x 75 mg selama 1 minggu.3
Departemen Kesehatan RI dalam pedomannya memberikan petunjuk sebagai berikut :
● Pada kasus suspek flu burung diberikan Oseltamivir 2 x 75 mg 5 hari, simptomatik dan
antibiotik jika ada indikasi.
● Pada kasus probable flu burung diberikan Oseltamivir 2 x 75 mg selama 5 hari, antibiotik
spektrum luas yang mencakup kuman tipik dan atipikal, dan steroid jika perlu seperti pada kasus
pneumonia berat, ARDS, respiratory care di ICU sesuai indikasi.3
Sumber lain menyebutkan bahwa penderita flu burung perlu rawat inap di bangsal isolasi atau
ICU tergantung beratnya kasus. Bangsal isolasi khusus ditata untuk penyakit menular kasus berat
11
seperti flu burung. Terdapat pintu masuk khusus, ruang ganti pakaian, ruang perawatan serta
pintu keluar yang berbeda dengan pintu masuk. Tersedia pakaian khusus, masker, kaca mata
pelindung, sarung tangan dan pelindung kaki. Petugas perawat telah melakukan standard
universal precaution.
Semua penderita yang telah memenuhi kriteria flu burung dan telah diseleksi di triage IGD
untuk dirawat paling sedikit 1 minggu, karena ditakutkan ada transmisi lewat udara.7
1. Tindakan di bangsal isolasi
• Oksigenasi, pertahankan saturasi O2 > 90%
• Hidrasi, pemberian cairan parenteral (infus)
• Terapi simptomatis untuk gejala flu seperti analgetika/antipiretika, dekongestan dan antitusif
• Amantadine/ Rimantadine (obat penghambat haemaglutinin) diberikan awal infeksi 5
mg/kgBB/hari dalam 2 dosis. Namun ini tidak dianjurkan lagi karena resistensi virus H5N1
yang cepat terjadi terhadap obat ini.
• Oseltamivir/ Zanamivir (obat penghambat neurominidase) 75 mg 2 kali sehari. Pemberian
selama 5 hari.
2. Perawatan di Ruang Rawat Intensif (ICU)
Indikasi untuk dikirim ke ICU bila didapatkan tanda :
• Frekuensi napas > 30x/menit
• Sesak napas yang berat
• Rasio PaO2 < 250
• Foto thoraks terjadi penambahan infiltrat > 50%
• Sistolik < 90 mmHg, diastolik < 60 mmHg
• Membutuhkan ventilator mekanik (gagal napas)
• Membutuhkan vasopressor (dopamin/dobutamin) > 4 jam
• Syok septik
• Fungsi ginjal memburuk (kreatinin > 4 mg/dl).7
12
Sebagai profilaksis, bagi mereka yang beresiko tinggi, digunakan oseltamivir dengan
dosis 75 mg sekali sehari selama lebih dari 7 hari (hingga 6 minggu).3
PENCEGAHAN, PENGENDALIAN, DAN PEMBERANTASAN\
Prinsip dasar yang diterapkan dalam pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan
Avian influenza atau flu burung ini, adalah:
- Mencegah kontak antara hewan peka dengan virus AI
- Menghentikan produksi virus AI oleh unggas tertular (menghilangkan virus AI dengan
dekontaminasi/disinfeksi)
- Meningkatkan resistensi (pengebalan) dengan vaksinasi
- Menghilangkan sumber penularan virus, dan
- Peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness)
- Menjauhkan unggas dari pemukiman manusia untuk mengurangi kontak penyebaran
virus
- Segera memusnahkan unggas yang mati mendadak dan unggas yang jatuh sakit utnuk
memutus rantai penularan flu burung, dan jangan lupa untuk mencuci tangan setelahnya.
- Laporkan kejadian flu burung ke Pos Komando Pengendalian Flu Burung di nomor 021-
4257125 atau dinas peternakan-perikanan dan dinas kesehatan daerah tempat tinggal
anda.
Dalam pelaksanaannya, dapat dilakukan melalui 9 tindakan yang merupakan satu kesatuan
satu sama lainnya yang tidak dapat dipisahkan, yaitu:
- Peningkatan biosekuriti
- Vaksinasi
- Depopulasi (pemusnahan terbatas atau selektif) di daerah tertular
13
- Pengendalian lalu lintas keluar masuk unggas
- Surveillans dan penelusuran (tracking back)
- Pengisian kandang kembali (restocking)
- Stamping out (pemusnahan menyeluruh) di daerah tertular baru
- Peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness)
- Monitoring dan evaluasi
Yang harus dilakukan untuk melindungi peternakan pada saat tidak terjadi wabah AI :
Menjaga agar ternak unggas dalam kondisi baik, antara lain, mempunyai akses ke air
bersih dan makanan yang memadai, kandang yang memadai, menerima produk-produk
yang bebas cacing dan sudah divaksinasi
Menjaga ternak agar selalu berada di lingkungan yang terlindung
Memeriksa barang-barang yang masuk ke dalam peternakan
Melaksanakan biosecurity yang baik dan tepat
Yang harus dilakukan untuk melindungi peternakan pada saat terjadi wabah AI :
Memelihara ternak di tempat yang terlindungi
Tidak membeli atau menerima hewan baru ke dalam peternakan
Membatasi dan mengendalikan orang yang masuk ke peternakan
Membersihkan pekarangan, membersihkan kandang, peralatan, sepeda motor (alat
transportasi) secara berkala
Manajemen litter/kotoran ayam yang baik.
Diperlukan kontrol yang ketat dan tindakan pencegahan penyakit untuk menekan kejadian
penyakit AI dan penularan AI ke manusia. Kontrol dan tindakan pencegahan yang penting
dilakukan secara rinci dijelaskan di bawah ini.
14
1. Sanitasi
Menghindari kontak dengan ternak penderita dan bahan-bahan yang terkontaminasi tinja
dan sekret unggas serta reservoir virus, dengan beberapa langkah, yaitu alat-alat yang digunakan
dalam peternakan dibersihkan, dicuci dengan deterjen dan didesinfeksi. Di lingkungan kandang
peternakan, desinfektan yang bisa digunakan berupa campuran Kalium Permanganat (KMnO4),
dengan formalin. Hal ini dilakukan pada kandang yang tertutup rapat, dengan cara mencampur 7
gram KMnO4 dengan 14 ml formalin untuk tiap 1 meter kubik kandang. Pada saat desinfeksi,
suhu ruangan harus tidak lebih dari 15 derajat Celcius, kelembaban relative 60 sampai dengan 80
persen. Bejana diisi lebih dahulu dengan KMnO4, ditambah larutan formalin, pintu dan ventilasi
ditutup rapat selama 7 jam, sehingga desinfeksi akan sempurna. Setelah selesai, pintu dan
ventilasi kembali dibuka agar udara segar masuk dan menghilangkan bau tak sedap. Kaporit 5%
juga sering digunakan untuk menyemprot kandang dan kerangka sarang, tempat pakan dan
kendaraaan. Untuk sterilisasi alat-alat dan meja kerja di pabrik pakan, RPH dan pengolahan
daging sering digunakan sodium hipoklorida (NaOCl) yang dengan cepat membunuh virus dan
tidak menimbulkan residu atau bau tidak sedap. Cairan soda kostik 94% yang dicampur air dan
dipanaskan menjadi larutan 1% sampai 2% digunakan untuk mencuci hamakan lantai, dinding
kandang, RPA, pabrik pengolahan pakan, kendaraan. Setelah 6 -12 jam obat disemprotkan,
dibersihkan dengan air bersih. Kandang dan tinja tidak boleh dikeluarkan dari lokasi peternakan
dsn setiap orang yang berhubungan dengan bahan yang berasal dari saluran pencernaan unggas
harus menggunakan pelindung berupa masker dan kacamata renang. Mengkonsumsi daging dan
telur yang dimasak sampai matang sempurna. Virus AI peka terhadap panas, pada suhu 70
derajat Celsius mati selama 2 sampai dengan 10 menit. Tidak perlu panik, daging unggas, telur
dan produk olahan yang sudah matang serta dijual dipasar boleh dikonsumsi. Melaksanakan
15
kebersihan lingkungan dan kebersihan diri dengan cara mandi setelah bekerja bagi kelompok
rawan.
Pembatasan import ayam dari negara-negara wabah, seperti Thailand, Hongkong dan
Vietnam dan dilakukan pemusnahan unggas/burung yang terinfeksi. Meningkatkan pemantauan
epidemik terhadap burung migran guna menemukan sumber asal wabah flu burung, seperti
beberapa pulau : Pulau Rakit Utara, Gosong dan rakit Selatan atau Pulau Biawak yang menjadi
tempat persinggahan burung dari Australia dan Eropa. Di pulaupulau tersebut jutaan ekor burung
tinggal dalam waktu cukup lama, 2 – 2,5 bulan, kawin dan berproduksi, menetaskan telur.
2. Vaksinasi
Vaksin unggas yang dibuat harus cocok dengan virus yang akan mewabah, karena vaksin
untuk infeksi sub tipe virus tertentu tidak efektif digunakan sebagai vaksin untuk infeksi sub tipe
virus lain. Oleh karena virus influenza mudah berubah sifat, maka sangat penting upaya bisa
memprediksi virus yang akan mewabah guna pembuatan vaksin. Hal ini tentunya diperlukan
tenaga ahli di bidang epidemiologi dan juga peralatan laboratorium yang memadai. Unggas yang
sehat yang berada sekitar 5 kilometer sekitar daerah wabah harus divaksinasi darurat. Pada
manusia, orang yang beresiko mendapat flu burung harus mendapatkan pencegahan dengan
oseltamivir 75 mg dosis tunggal selama 1 minggu. Meskipun vaksinasi yang digunakan tidak
efektif terhadap virus H5N1, namun akan mengurangi resiko penyusunan ulang nateri genetik
dari virus influenza manusia dan burung di tubuh manusia, dengan kata lain akan mencegah
pembentukan tipe baru virus influenza yang lebih ganas.
Kelompok individu yang dianjurkan vaksinasi menurut WHO adalah :
16
a) Semua orang yang kontak dengan ternak atau peternakan yang dicurigai atau diketahui terkena
virus AI (H5N1), khususnya orang yang melakukan kontak dengan hewan/ternak yang
terjangkit/mati akibat AI, orang-orang yang tinggal dan bekerja pada peternakan dimana
dilaporkan atau dicurigai terkena AI atau di tempat pemusnahan ternak penderita.
b) Para pekerja kesehatan yang setiap hari berhubungan dengan pasien yang diketahui atau
dicurigai menderita H5N1 (c) jika jumlah vaksin memadai, maka para pekerja kesehatan dalam
unit gawat darurat di area terjangkit H5N1 pada unggas bisa diberikan.
3. Eliminasi
Eliminasi penyakit dilakukan dengan upaya karantina, pemotongan dan pemusnahan,
dekontaminasi, desinfeksi, yang tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Di Tiongkok,
semua unggas dalam radius 3 kilometer di sekitar daerah wabah harus dimusnahkan guna
memberantas flu burung yang berbahaya.
4. Isolasi
Tindakan isolasi dilakukan dengan mencegah penularan dari flok unggas yang terinfeksi
ke flok lain, membatasi lalu lintas orang dan barang dari dan ke peternakan yang terinfeksi guna
mencegah penularan penyakit ke peternakan dan wilayah lain.
5. Biosekuritas
Biosekuritas merupakan hal yang utama dalam kontrol dan pencegahan penyakit AI.
Pencegahan penularan virus H5N1 dari unggas ke manusia dibagi dalam 2 kelompok :
1. Kelompok berisiko tinggi (pekerja peternakan dan pedagang):
Menggunakan pelindung (Masker, kacamata renang, sarung tangan) setiap berhubungan
dnegan bahan yang berasal dari saluran cerna unggas
17
Mencuci tangan dengan desinfektan dan mandi sehabis bekerja.
Hindari kontak langsung dengan ayam atau unggas yang terinfeksi flu burung
Menggunakan alat pelindung diri. (contoh : masker dan pakaian kerja).
Meninggalkan pakaian kerja ditempat kerja.
Membersihkan kotoran unggas setiap hari.
Imunisasi.
3. Masyarakat umum:
Menjaga daya tahan tubuh dengan memakan makanan bergizi & istirahat cukup.
Mengolah unggas dengan cara yang benar, yaitu :
a) Pilih unggas yang sehat (tidak terdapat gejala-gejala penyakit pada tubuhnya)
b) Memasak daging ayam sampai dengan suhu 80 °C selama 1 menit dan pada telur
sampai dengan suhu ?64°C selama 4,5 menit.
Basuh tangan sesering mungkin, peternak sebaiknya juga melakukan disinfeksi tangan
(dapat dengan alcohol 70%, atau larutan pemutih / khlorin 0,5% untuk alat2 / instrumen)
Melakukan pengamatan pasif terhadap kesehatan mereka yang terpajan dan keluarganya.
Memperhatikan keluhan-keluhan seperti Flu, radang mata, keluhan pernafasan.1,4,18
PROGNOSIS
Berdasarkan jurnal“Avian Influenza A (H5N1) Infection in Humans”, prognosis dari
infeksi H5N1 tergolong buruk. Berdasarkan data yang di dapat, angka kematian di Thailand
sebesar 89% dan banyak terjadi pada anak-anak yang berumur dibawah 15 tahun. Kematian rata-
rata terjadi anatara 9-10 hari setelah penyakit muncul (rentan 6-30 hari) dan kebanyakan pasien
meninggal karena kegagalan sistem pernafasan.18
Sumber lain juga mengatakan prognosis dari kasus infeksi H5N1 tergolong buruk, sebab
dari kasus yang telah terjadi pada tahun 2008, angka kematian akibat infeksi H5N1 adalah 18
sebesar 63,27%. Angka kematian yang cukup tinggi untuk sebuah penyakit infeksi. Sampai
sekarangpun perkiraan case mortality rate menurut WHO untuk kasus ini masih tinggi, yaitu
sebesar 60%.18
BAB III
KESIMPULAN
19
Flu burung atau avian influenza adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus
H5N1 yang merupakan subtipe dari virus influenza (flu) tipe A. Kasus infeksi H5N1 pada
manusia pertama kali terjadi di Hong Kong, China pada tahun 1997 mengakibatkan 18 orang
positif terinfeksi dengan 6 orang meninggal dan kemudian menyebar ke seluruh dunia termasuk
Indonesia. Burung-burung yang bermigrasi merupakan hospes reservoir utama dalam penyebaran
H5N1 keseluruh dunia. sehingga Pandemi diperkirakan akan menyebar dan meluas dengan
cepat.
Gejala khusus yang muncul yaitu demam tinggi (temperatur permukaan mencapai lebih
dari 38° C). Diare, vomiting, sakit perut, sakit pada pleura dan perdarahan pada hidung dan gusi
juga beberapa kali dilaporkan terjadi pada pasien dengan infeksi tahap awal.infeksi virus H5N1
pada beberapa kasus juga menimbulkan gejala seperti demam, batuk, sakit tenggorokan, pegal-
pegal pada otot, conjungtivitis, kedinginan, muntah, sakit kepala, keluhan saat bernapas dan
pneumonia.
Metode yang bisa digunakan untuk mendiagnosis keberadaan H5N1 dalam tubuh adalah
dengan mendeteksi RNA virus dengan means conventional atau reaksi sewaktu transkip rantai
polymerase dan tes serologi. Spesimen yang bisa digunakan untuk melakukan uji diagnosis
adalah sputum, darah, faces, dan ingus
Sampai saat ini belum ada treatment atau pengobatan yang memliki efektifitas tinggi
untuk kasus infeksi H5N1. Oseltamivir (dengan nama dagang tamiflu) dan Relenza (zanamivir)
hanya dapat digunakan untuk menghambat penyebaran virus H5N1.
Prognosis dari infeksi H5N1 tergolong buruk, terbukti angka kematian di Thailand
sebesar 89%, dan angka kematian di dunia menurut WHO mencapai 60%.
DAFTAR PUSTAKA
20
1. Bombang H, Wahyudin B. Flu burung (avian influenza). Jurnal medikal nusantara.
[online]. 2005. [cited 20 September 2015]. Volume 26. No.3. 216-21. Available from
URL: http://med.unhas.ac.id/Datajurnal/tahun2005vol26/vol26No.30k.
2. Ghafar A, dkk. Update on Influenza A (H5N1) Virus Infection in Humans. The New
England Journal of Medicine; N Engl Med 2008;358:261-73. Diakses tanggal 20
September 2015.
3. Nainggolan L, Rumende CM, Pohan HT. Influenza burung (avian influenza). Dalam:
Sudoyo A,eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Volume 3. Edisi 4. Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.
h.1719-26.
4. Judarwanto, W. Penatalaksanaan flu burung pada manusia. Dalam: Jurnal kedokteran
dan F\farmasi dexa media. No 4. Volume 18. Jakarta; 2005. h.171-3.
5. Sapoetra A. Infeksi virus influenza A H5N1. Dalam: Ebers papyrus jurnal kedokteran
dan kesehatan fakultas kedokteran Universitas Tarumanegara. Volume 10 No 2. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara; 2004. h.117-21.
6. Radji M. Avian influenza A (H5N1): patogenesis, pencegahan dan penyebaran pada
manusia. Dalam: Majalah ilmu kefarmasian. Volume III. No 2. Jakarta; 2006. h.55-65.
7. Bennet NJ. Avian influenza. [online]. 2008 January 6th. [cited 2015 September 20].
Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/238049.
8. Budjang N. Radang paru yang tidak spesifik. Dalam: Ekayuda I,eds. Radiologi
diagnostik. Edisi kedua. Jakarta: Gaya Baru; 2005. h.100-7.
9. Sandrick K. X-rays Can predict survival after exposure to avian flu. [online]. 2006.
[cited 2015 September 20]. Available from URL: http://www.diagnosticimaging.com.
10. Anonim. Avian influenza. In: Lopez FA. Slaven EM. Stone SC,eds. Infectious diseases
emergency department diagnosis and management. 1st ed. USA: The McGraw-Hill
Companies, Inc; 2007. p.404-5.
11. Baya A, Etlikb B, Onera AF, et al. Radiological and clinical course of pneumonia in
patients with avian influenza H5N1. In: European journal of radiology. [online]. 2007.
[cited 2015 September 20]. Volume 61. 245-50. Available from URL:
http://ejr.com/volume61issue2.
21
12. Bouhemad B, Mao Zhang, Qiu Lu, Jean. Clinical review : bedside lung ultrasound in
critical care practice. [online]. 2007. [cited 2015 September 21]. Available from URL:
http://ccforum.com/content/11/1/205.
13. Kim, AE.Lee, KS.L, Steven. Viral pneumonia in adults: radiologic and pathologic
findings. Radiographic journal. [online]. 2002. [cited 2015 September 21]. Volume 22.
137-49. Available from URL:
http://radiographics.rsnajnls.org/cgi/content/full/22/suppl_1/S137.
14. Korteweg C, Jiang Gu. Pathology, moleculer biology, and pathogenesis of avian
influenza A (H5N1) infection in humans. The american journal of pathology. [online].
2007, December 18. [cited 2015 September 21]. Volume 172. 1155-70. Available from :
http://www.ajp.amjpathol.org/cgi.
15. Chen K, Rumende CM. Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Dalam: Sudoyo
A et.al, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Keempat. Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006;
h.1722-5
16. Cheung CW, Yiu MWC, Leong LLY, Chan FL. Clinical and radiological features of
SARS in Hongkong. [online]. 2005. [cited 2015 September 21]. Available from URL:
http://www.diagnosticimaging.com
17. Stephen, JM. Pneumonia bacterial. [online]. 2008. [cited 2015 September 21].
Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/807707.
18. WHO. 2005. Responding to The Avian Influenza Pandemic Threat; Recomended
Strategic Action. WHO/CDS/CSR/GIP/2005.8. Diakses tanggal 7 Maret 2010
22