rizki rm

40
PRESENTASI KASUS REHABILITASI MEDIS SEORANG LAKI-LAKI USIA 65 TAHUN DENGAN PARAPARESE INFERIOR, HIPOESTESI SETINGGI THORAK IV e/c FRAKTUR KOMPRESI dd SUSPEK SPONDILITIS TB oleh: Rizki Kurnia F G0007223 Pembimbing DR.Dr. Hj Noer Rachma, Sp.KFR 1

Upload: rizky-firdaus

Post on 31-Jul-2015

81 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: rizki RM

PRESENTASI KASUS REHABILITASI MEDIS

SEORANG LAKI-LAKI USIA 65 TAHUN DENGAN PARAPARESE INFERIOR, HIPOESTESI SETINGGI THORAK IV e/c FRAKTUR KOMPRESI dd SUSPEK

SPONDILITIS TB

oleh:

Rizki Kurnia F

G0007223

Pembimbing

DR.Dr. Hj Noer Rachma, Sp.KFR

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIKFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

RSUD DR.MOEWARDI2012

1

Page 2: rizki RM

STATUS PASIEN

I. ANAMNESA

A. Identitas Pasien

Nama : Tn. M

Umur : 65 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pekerjaan : Swasta

Alamat : Tawangsari Sukoharjo

Status : Menikah

Tanggal Masuk : 15 Agustus 2012

Tanggal Periksa : 23 Agustus 2012

No CM : 01144807

B. Keluhan Utama

Kedua kaki tidak dapat digerakan

C. Riwayat Penyakit Sekarang

+ 2 minggu SMRS pasien mengeluh kedua tungkai bawah lemah,

sulit digerakkan sehingga pasien tidak bisa berjalan. Pertama –tama

lemah dirasakan di kaki bagian bawah lalu menjalar ke bagian atas

hingga ke pinggang, selain itu pasien merasakan jika kedua kaki terasa

kebas dan lama-kelamaan menjalar ke pinggang sehingga pasien

mengalami kesulitan untuk menggerakan kedua kakinya.

Pasien tidak mengeluh pusing, mual, muntah, demam. Selain itu

pasien juga mengeluh jika BAK dan BAB. Karena pasien merasa sangat

semakin kesulitan menggerakan kakinya oleh keluarga pasien dibawa ke

puskesmas kemudian dirujuk ke RSDM.

± 6 bulan SMRS pasien pernah didiagnosis menderita penyakit

tuberculosis paru, namun hasil kultur yang dilakukan negatif.

2

Page 3: rizki RM

D. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat sakit serupa : disangkal

Riwayat trauma : disangkal

Riwayat mondok : disangkal

Riwayat hipertensi : disangkal

Riwayat penyakit jantung : disangkal

Riwayat sakit gula : disangkal

Riwayat asma : disangkal

E. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat hipertensi : disangkal

Riwayat sakit gula : disangkal

Riwayat penyakit jantung : disangkal

Riwayat asma : disangkal

Riwayat sakit serupa : disangkal

F. Riwayat Kebiasaan dan Gizi

Riwayat merokok : disangkal

Riwayat minum alkohol : disangkal

Riwayat olahraga : disangkal

G. Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien adalah seorang laki-laki dengan satu orang istri dan dua orang

anak. Saat ini pasien mondok di RSUD DR. Moewardi dengan

menggunakan biaya sendiri.

II. PEMERIKSAAN FISIK

A. Status Generalis

Keadaan umum sedang, compos mentis E4V5M6, gizi kesan cukup.

3

Page 4: rizki RM

B. Tanda Vital

Tekanan Darah : 120/80 mmHg

Nadi : 88x / menit

Respirasi : 20x / menit

Suhu : 36,5º C per aksiler

C. Kulit

Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-)

D. Kepala

Bentuk kepala mesochepal, kedudukan kepala simetris

E. Mata

Conjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung

(+/+), pupil isokor (3mm/3mm)

F. Hidung

Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-)

G. Telinga

Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-)

H. Mulut

Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-)

I. Leher

Simetris, JVP tidak meningkat, kelenjar getah bening tidak membesar

J. Thorax

a. Retraksi (-)

b. Jantung

4

Page 5: rizki RM

Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus Cordis tidak kuat angkat

Perkusi : Konfigurasi Jantung kesan tidak melebar

Auskultasi : Bunyi Jantung I dan II intensitas normal, reguler,

bising (-)

c. Paru

Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri

Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri

Perkusi : Sonor / Sonor

Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)

K. Trunk

Inspeksi : deformitas (-), skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-)

Palpasi : massa (-), nyeri tekan (-), oedem (-)

Perkusi : nyeri ketok costovertebra (-)

Tanda Patrick : (-/-)

Tanda AntiPatrick : (-/-)

Tanda Lasseque : (-/-)

L. Abdomen

Inspeksi : Dinding perut sejajar dinding dada

Auskultasi : Peristaltik (+) normal

Perkusi : Tympani

Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba

5

Page 6: rizki RM

K. Ektremitas

Oedem Akral

dingin

- - - -- - - -

L. Status Psikiatri

Deskripsi Umum

1. Penampilan : Laki-laki, tampak sesuai umur, perawatan diri cukup

2. Kesadaran : Compos mentis

3. Perilaku dan Aktivitas Motorik : Normoaktif

4. Pembicaraan : Normal

5. Sikap terhadap Pemeriksa : Kooperatif, kontak mata cukup

Afek dan Mood

Afek : Appropiate

Mood : Normal

Gangguan Persepsi

Halusinasi : (-)

Ilusi : (-)

Proses Pikir

Bentuk : realistik

Isi : waham (-)

Arus : koheren

Sensorium dan Kognitif

Daya konsentrasi : baik

Orientasi : Orang : baik

Waktu : baik

Tempat : baik

Daya Ingat : Jangka panjang : baik

Jangka pendek : baik

Daya Nilai : Daya nilai realitas dan sosial baik

Insight : baik

6

Page 7: rizki RM

M. Status Neurologis

Kesadaran : GCS E4V5M6

Fungsi Luhur : normal

Fungsi Vegetatif : terpasang IV line dan DC

Fungsi Sensorik : N N

↓ ↓

Fungsi Motorik dan Reflek

Kekuatan Tonus R.Fisiologis R.patologis

5 5 N N +2 +2 - -

0 0 ↓ ↓ 0 0 - -

N. Range of Motion

NECKROM Pasif ROM Aktif

Fleksi 0 - 70º 0 - 70ºEkstensi 0 - 40º 0 - 40ºLateral bending kanan 0 - 60º 0 - 60ºLateral bending kiri 0 - 60º 0 - 60ºRotasi kanan 0 - 90º 0 - 90ºRotasi kiri 0 - 90º 0 - 90º

Ektremitas Superior ROM Pasif ROM AktifDekstra Sinistra Dekstra Sinistra

Shoulder

Fleksi 0-180º 0-180º 0-180º 0-180ºEktensi 0-50º 0-50º 0-50º 0-50ºAbduksi 0-180º 0-180º 0-180º 0-180ºAdduksi 0-75º 0-75º 0-75º 0-75ºEksternal Rotasi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90ºInternal Rotasi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º

Elbow

Fleksi 0-150º 0-150º 0-150º 0-150ºEkstensi 150o- 0o 150º- 0º 150º-0º 150º-0ºPronasi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90ºSupinasi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º

Wrist

Fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90ºEkstensi 0-70º 0-70º 0-70º 0-70ºUlnar Deviasi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30ºRadius deviasi 0-20º 0-20º 0-20º 0-20º

7

Page 8: rizki RM

Finger MCP I Fleksi 0-50º 0-50º 0-50º 0-50ºMCP II-IV fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90ºDIP II-V fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90ºPIP II-V fleksi 0-100º 0-100º 0-100º 0-100ºMCP I Ekstensi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º

Ektremitas Inferior ROM Pasif ROM AktifDekstra Sinistra Dekstra Sinistra

Hip

Fleksi 0-100º 0-100º 0 0Ektensi 0-20º 0-20º 0 0Abduksi 0-45º 0-45º 0 0Adduksi 0-45º 0-45º 0 0Eksorotasi 0-30º 0-30º 0 0Endorotasi 0-30º 0-30º 0 0

KneeFleksi 0-100º 0-100º 0 0Ekstensi 0º 0º 0 0

Ankle

Dorsofleksi 0-30º 0-30º 0 0Plantarfleksi 0-30º 0-30º 0 0Eversi 0-50º 0-50º 0 0Inversi 0-40º 0-40º 0 0

O. Manual Muscle Testing (MMT)

NECKFleksor dan ekstensor M. Strenocleidomastoideus : 5

Ekstremitas Superior Dextra SinistraShoulder Fleksor M Deltoideus anterior 5 5

M Biseps 5 5Ekstensor M Deltoideus anterior 5 5

M Teres mayor 5 5Abduktor M Deltoideus 5 5

M Biceps 5 5Adduktor M Lattissimus dorsi 5 5

M Pectoralis mayor 5 5Internal Rotasi

M Lattissimus dorsi 5 5M Pectoralis mayor 5 5

Eksternal Rotasi

M Teres mayor 5 5M Infra supinatus 5 5

Elbow Fleksor M Biceps 5 5M Brachialis 5 5

Ekstensor M Triceps 5 5Supinator M Supinator 5 5

8

Page 9: rizki RM

Pronator M Pronator teres 5 5Wrist Fleksor M Fleksor carpi radialis 5 5

Ekstensor M Ekstensor digitorum 5 5Abduktor M Ekstensor carpi radialis 5 5Adduktor M ekstensor carpi ulnaris 5 5

Finger Fleksor M Fleksor digitorum 5 5Ekstensor M Ekstensor digitorum 5 5

Ekstremitas inferior Dextra SinistraHip Fleksor M Psoas mayor 0 0

Ekstensor M Gluteus maksimus 0 0Abduktor M Gluteus medius 0 0Adduktor M Adduktor longus 0 0

Knee Fleksor Harmstring muscle 0 0Ekstensor Quadriceps femoris 0 0

Ankle Fleksor M Tibialis 0 0Ekstensor M Soleus 0 0

P. Status Ambulasi

Indeks Barthel

Activity ScoreFeeding0 = unable5 = butuh bantuan memotong, mengoleskan mentega, dll, atau membutuhkan modifikasi diet10 = independen

10

Bathing0 = dependen5 = independen (atau menggunakan shower)

0

Grooming0 = membutuhkan bantuan untuk perawatan diri5 = independen dalam perawatan muka, rambut, gigi, dan bercukur

5

Dressing0 = dependen5 = membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan sebagian pekerjaan sendiri10 = independen (termasuk mengancingkan resleting, menalikan pita, dll.

5

Bowel0 = inkontinensia (atau membutuhkan enema)5 = occasional accident10 = kontinensia

5

9

Page 10: rizki RM

Bladder0 = inkontinensia atau memakai kateter dan tidak mampu menangani sendiri5 = occasional accident10 = kontinensia

0

Toilet use0 = dependen5 = membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan beberapa hal sendiri10 = independen (on and off, dressing)

0

Transfer0 = unable, tidak ada keseimbangan duduk5 = butuh bantuan besar (satu atau dua orang, fisik), dapat duduk10 = bantuan kecil (verbal atau fisik)15 = independen

0

Mobility0 = immobile atau < 50 yard5 = wheelchair independen, > 50 yard10 = berjalan dengan bantuan satu orang (verbal atau fisik) > 50 yard15 = independen (tapi dapat menggunakan alat bantu apapun, tongkat) > 50 yard

0

Stairs 0 = unable5 = membutuhkan bantuan (verbal, fisik, alat bantu)10 = independen

0

Total (0-100) 25Status ambulasi : Severely Dependent

Klasifikasi Indeks Barthel:

1-20 : Totally dependent

21-60 : Severely dependent

61-90 : Moderate dependent

91-99 : Mild dependent

100 : Independent

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Laboratorium Darah (15 Agustus 2012)

Rujukan

Hb : 10,1 gr/dl 13,5-17,5

Hct : 32 % 33-45

AE : 3,6 x 106 µL 4,5-5,9

AT : 345 x 103 µL 150-450

AL : 23x 103 µL 4,5-11,0

GDS : 120 mg/dl 60-140

10

Page 11: rizki RM

Ureum : 223 mg/dl <50

Creatinin : 5.1 mg/dl 0,9-1,3

Albumin : 3,5 g/dl 3,5-5,2

Globulin : 2,6 g/dl 2,7

Asam Urat : 4,8 mg/dl 2,4-6,1

Bilirubin total : 0,52 mg/dl 0-1,0

Bilirubin direk : 0,15 mg/dl 0-0,3

Bilirubin indirek : 0,37 mg/dl 0-0,7

Kolestrol total : 180 mg/dl 50-200

LDL kolestrol : 145 mg/dl 89-197

HDL kolestrol : 41 mg/dl 28-63

Triglesired : 118 mg/dl <150

HbsAg : Non Reaktif

Albumin : 2,8 g/dL

Globulin : 4,1 g/dL

B. Pemeriksaan Radiologis

Toraks AP

Cor : Kesan tidak membesar

Pulmo : Tak tampak infiltrat

Sinus costophrenicus kanan kiri tajam

MRI

Kesan : stenosis total spinal canal e.c indentasi thecal sac spinal canal

oleh fraktur compersi corpus VTh 3 dan VTh 4 dengan encroachmeny

intraspinal 50% dan mengakibatkan pendesakan pada neural foramen

disertai radix Th 3 dan Th 4 dengan multiple foci cervicothocaracl

suspek metastase spine denga fraktur patologi DD Spondylitis TB

Thorax Ap/ L

Alignment tulang baik, trabekulasi baik

Tampak fraktur kompresi, kolaps pada V Th IV, pedicle baik

Tampak para vertebra mass di setinggi Vth III- Vth IV

11

Page 12: rizki RM

Kesan spondilitis susp Tb pd Vth IX

CT scan

Tak tampak lesi hipo/hiperdens

Sistem ventrikel baik, sulcus, gyrus baik

Kesan CT scan tak tampak kelainan

IV. ASSESMENT

Klinis : Paraplegia UMN, Hipoestesi setinggi Th 3 – Th 4

Topis : Medula Spinalis Th 4

Etiologi : Fraktur kompresi dd Spondilytis TB

V. DAFTAR MASALAH

A. Problem Medis : Paraparese

Hipoestesis

Fraktur Kompresi

. Spondilitis TB

B. Problem Rehabilitasi Medik

1. Fisioterapi : Pasien tidak dapat menggerakkan anggota gerak

bawah dan terdapat penurunan rangsangan

sensorik.

2. Terapi wicara : tidak ada.

3. Okupasi Terapi : Gangguan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

4. Sosiomedik : Memerlukan bantuan untuk melakukan aktivitas

sehari-hari.

5. Ortesa-protesa : Keterbatasan mobilisasi.

6. Psikologi : Beban pikiran keluarga dalam menghadapi

penyakit penderita.

12

Page 13: rizki RM

VI. PENATALAKSANAAN

A. Terapi Medikamentosa :

1. Infus NaCl 0,9% 20 tpm

2. Injeksi Metilprednison 125 mg/12jam

3. Injeksi Ranitidin 1 ampul/12 jam

4. Injeksi micobalamin 1 ampul/24jam

5. Injeksi sohobion 1 ampul/24 jam

6. Antasyd syr 3xC1

B. Rehabilitasi Medik:

1. Fisioterapi :

a. Breathing exercise

b. ROM exercise pasif pada ekstremitas bawah.

c. mencegah ulkus decubitus: positioning dan turning setiap 2 jam

selama terjaga dan setiap 4 jam selama tidur.

2. Terapi wicara : tidak dilakukan

3. Okupasi terapi :

Melatih keterampilan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

4. Sosiomedik :

a. Motivasi dan edukasi keluarga

tentang penyakit penderita.

b. Motivasi dan edukasi keluarga

untuk membantu dan merawat penderita dengan selalu berusaha

menjalankan program di RS dan home programe.

5. Ortesa-Protesa :

a. Memfasilitasi ambulasi dengan penggunaan kursi roda.

6. Psikologi :

Psikoterapi suportif untuk mengurangi kecemasan keluarga.

13

Page 14: rizki RM

VII. IMPAIRMENT, DISABILITY, DAN HANDICAP

Impairment : Paraparese tipe UMN, hipoestesia setinggi Th

3-Th 4, fraktur kompresi dd spondilysis TB.

Disability : Penurunan fungsi anggota gerak bawah.

Handicap : Keterbatasan dalam aktivitas sehari-hari dan

kegiatan sosial yang terhambat.

VII. PLANNING

Planning Diagnostik : -

Planning terapi : Pasien mondok untuk penatalaksanaan

bagian saraf, dan rehabilitasi medik

Planning monitoring : evaluasi hasil medika mentosa dan

rehabilitasi medik.

IX. TUJUAN

A. Perbaikan keadaan umum sehingga mempersingkat waktu perawatan.

B. Mencegah terjadinya komplikasi yang dapat memperburuk keadaan.

C. Meminimalkan impairment, disability dan handicap.

D. Membantu penderita sehingga mampu mandiri dalam menjalankan

aktivitas sehari-hari.

E. Edukasi perihal home exercise.

X. PROGNOSIS

Ad vitam : dubia

Ad sanam : dubia

Ad fungsionam : dubia

14

Page 15: rizki RM

TINJAUAN PUSTAKA

PARAPLEGIA

1. Definisi

Adalah kondisi dimana extremitas bawah mengalami kelumpuhan atau

paralysis yang disebabkan karena lesi transversal pada medula spinalis.

2. Etiologi

Penyebab yang paling umum dari kerusakan medula spinalis adalah :

a. Trauma

b. Penyakit, misalnya motor neuron disease, polimiositosis bilateral,

poliradikulopatia/ polineuropatia bilateral, miopatia bilateral, distropia

bilateral, dan sindroma miastenia gravis.

3. Pemeriksaan Fisik

a. Sistem Motorik

Penilaian kekuatan otot merupakan salah satu pemeriksaan yang harus

dilakukan pada pemerikasaan paraplegi. Kekuatan otot dapat diperiksa

baik pada waktu otot melakukan suatu gerakan (power, kinetik) atau pada

waktu menahan atau menghambat atau melawan gerakan (statik). Kadang

kelemahan otot baru diketahui bila penderita disuruh melakukan serentetan

gerakan pada satu periode (endurance). Untuk melakukan pemeriksaan

kekuatan otot harus diketahui fungsi masing – masing otot yang diperiksa.

Pada paraplegia didapatkan kekuatan otot menurun pada kedua tungkai.

Penilaian kekuatan otot :

Nilai Kontraksi Persentase

0 Tidak ada

1 Ada, tanpa gerakan yang nyata 0 – 10 %

2 Dapat menggeser / menggerakkan lengan tanpa

beban dan tahanan

11 – 25 %

15

Page 16: rizki RM

3 Dapat mengangkat lengan melawan gaya berat dan

tanpa tahanan

26 – 50 %

4 Dapat mengangkat lengan dengan tahanan ringan 51 – 75 %

5 Dapat mengangkat lengan melawan gaya berat

dengan beban tahanan berat

76 – 100 %

b. Sistem Sensorik

Untuk menentukan level dari  paraplegia terutama digunakan sistem

sensoris, bukan motoris.

Defisit sensorik pada sindrom paraplegia karena trauma, gangguan

spinovaskuler, proses autoimunologik atau proses maligna, satu atau

beberapa segmen medula spinalis rusak sama sekali. Lesi yang seolah

memotong medula spinalis dinamakan lesi transversal. Pada paraplegia

spastika ada batas defisit sensorik sedangkan pada paraplegia flaksida

tidak memperlihatkan batas defisit sensorik yang jelas.

16

Page 17: rizki RM

c. Reflek

Pada kelumpuhan LMN tidak menunjukkan reflek patologis sedangkan

pada kelumpuhan UMN menunjukkan reflek patologis.

4. Pemeriksaan Penunjang

- Foto rontgen : untuk melihat adanya fraktur vertebra.

- Urine : bisa terdapat infeksi sehingga leukosit dan eritrosit meningkat.

5. Terapi

a. Medikamentosa

Jika terjadi contasio / transeksi / kompresi medula spinalis, maka dapat

kita terapi dengan :

- Metyl Prednisolon 30 mg/kg BB bolus intravena selama 15 menit,

dilanjutkan dengan 5,4 mg/kg BB 45 menit setelah bolus selama 23

jam. Hasil optimal bila pemberian dilakukan < 8 jam onset.

- Tambahkan profilaksis stress ulkus  :  Antacid / antagonis H2.

Sedangkan apabila terdapat comotio medula spinalis, fraktur atau dislokasi

tidak stabil harus disingkirkan. Jika pemulihan sempurna, pengobatan

tidak diperlukan. Antibiotik untuk menyembuhkan infeksi saluran kemih.

b. Fisioterapi

Terdiri dari alat bantu, pemanasan (dengan air hangat atau sinar), dan

latihan Range Of Motion (ROM) untuk mengetahui luas gerak sendi.

c. Operatif

Dengan menggunakan teknik Harrison roda stabilization (Instrumen

Harrison) yaitu mengguakan batang distraksi baja tahan karat untuk

mengoreksi dan stabilisasi deformitas vertebra.

Tindakan operasi diindikasikan pada kasus :

- Reduksi terbuka pada dislokasi.

- Cedera terbuka dengan benda asing atau tulang dalam canalis spinalis.

- Lesi parsial medula spinalis dengan hemamielia yang progresif.

17

Page 18: rizki RM

d. Edukasi

- Perawatan vesica urinaria dan fungsi defekasi.

- Perawatan kulit untuk menghindari terjadinya ulcus dekubitus.

- Nutrisi yang adekuat.

- Kontrol nyeri  :  analgetik, obat anti inflamasi non steroid, anti

konvulsi, codein, dll.

Psikoterapi sangat penting, terutama pada pasien yang mengalami sekuel

neurologist berat dan permanen.

SPONDILITIS TUBERKULOSA

1. Definisi

Spondilitis Tuberkulosa (Spondilitis TB) adalah peradangan

granulomatosa yang bersifat kronis, destruktif oleh micobacterium TB. TB

tulang belakang selalu merupakan infeksi sekunder dari focus di tempat

lain dalm tubuh. Percivall (1973) adalah penulis pertama tentang penyakit

ini dan menyatakan bahwa terdapat hubungan antara penyakit ini dengan

deformitas tulang belakang yang terjadi, sehingga penyakit ini disebut juga

penyakit Pott

Spondilitis TB adalah infeksi yang sifatnya kronis berupa infeksi

granulomatosis disebabkan oleh kuman spesifik yaitu mycobacterium

tuberculosa yang mengenai tulang vertebra

Spondilitis TB disebut juga penyakit Pott bila disertai paraplegi

atau defisit neurologi. Spondilitis ini paling sering ditemukan pada

vertebra Th VIII- vertebra LIII dan paling jarang pada vertebra C2.

Spondilitis TB biasanya mengenai korpus vertebra, sehingga jarang

menyerang arkus vertebra

Penyakit Pott adalah osteomielitis tuberculosis yang mengenai

tulang belakang. Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan

18

Page 19: rizki RM

spondilitis tuberkulosa merupakan peradangan granulomatosa yang

bersifat kronik destruktif yang disebabkan oleh mikobakterium

tuberkulosa.

Tuberkulosis yang muncul pada tulang belakang merupakan

tuberkulosis sekunder yang biasanya berasal dari tuberkulosis ginjal.

Berdasarkan statistik, spondilitis tuberkulosis atau Pott’s disease paling

sering ditemukan pada vertebra torakalis segmen posterior dan vertebra

lumbalis segmen anterior (T8-L3), coxae dan lutut serta paling jarang pada

vertebra C1-2.

pada vertebra ini sering terlambat dideteksi karena hanya terasa

nyeri punggung/pinggang yang ringan. Pasien baru memeriksakan

penyakitnya bila sudah timbul abses ataupun kifosis.

2. Etiologi

Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari

tuberkulosis di tempat lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh

mikobakterium tuberkulosis tipik (2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe

bovin) dan 5-10% oleh mikobakterium tuberkulosa atipik. Kuman ini

berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada

pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam

(BTA). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi

dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.

Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman, tertidur lama selama

beberapa tahun

3. Manifestasi Klinis

Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama

dengan gejala tuberkulosis pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu

makan berkurang, berat badan menurun, suhu sedikit meningkat

(subfebril) terutama pada malam hari serta sakit pada punggung. Pada

anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari.

Pada awal dapat dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada

atau perut,kemudian diikuti dengan paraparesis yang lambat laun makin

19

Page 20: rizki RM

memberat, spastisitas, klonus,, hiper-refleksia dan refleks Babinski

bilateral. Pada stadium awal ini belum ditemukan deformitas tulang

vertebra, demikian pula belum terdapat nyeri ketok pada vertebra yang

bersangkutan. Nyeri spinal yang menetap, terbatasnya pergerakan spinal,

dan komplikasi neurologis merupakan tanda terjadinya destruksi yang

lebih lanjut. Kelainan neurologis terjadi pada sekitar 50% kasus,termasuk

akibat penekanan medulla spinalis yang menyebabkan paraplegia,

paraparesis, ataupun nyeri radix saraf. Tanda yang biasa ditemukan di

antaranya adalah adanya kifosis (gibbus), bengkak pada daerah

paravertebra, dan tanda-tanda defisit neurologis seperti yang sudah

disebutkan di atas.

Pada tuberkulosis vertebra servikal dapat ditemukan nyeri di

daerah belakang kepala, gangguan menelan dan gangguan pernapasan

akibat adanya abses retrofaring. Harus diingat pada mulanya penekanan

mulai dari bagian anterior sehingga gejala klinis yang muncul terutama

gangguan motorik. Gangguan sensorik pada stadium awal jarang dijumpai

kecuali bila bagian posterior tulang juga terlibat.

4. Patofisiologi

Spondilitis tuberkulosa merupakan suatu tuberkulosis tulang yang

sifatnya sekunder dari TBC tempat lain di tubuh. Penyebarannya secara

hematogen, di duga terjadinya penyakit tersebut sering karena penyebaran

hematogen dari infeksi traktus urinarius melalui leksus Batson. Infeksi

TBC vertebra di tandai dengan proses destruksi tulang progresif tetapi

lambat di bagian depan (anterior vertebral body).Penyebaran dari jaringan

yang mengalami pengejuan akan menghalangi proses pembentukan tulang

sehingga berbentuk "tuberculos squestra". Sedang jaringan granulasi TBC

akan penetrasi ke korteks dan terbentuk abses para vertebral yang dapat

menjalar ke atas / bawah lewat ligamentum longitudinal anterior dan

posterior. Sedang diskus Intervertebralis oleh karena avaskular lebih

resisten tetapi akan mengalami dehidrasi dan terjadi penyempitan oleh

20

Page 21: rizki RM

karenadirusak jaringan granulasi TBC. Kerusakan progresif bagian

anterior vertebra akan menimbulkan kiposis.

5. Komplikasi

Komplikasi dari spondilitis tuberkulosis yang paling serius adalah

Pott’s paraplegia yang apabila muncul pada stadium awal disebabkan

tekanan ekstradural oleh pus maupun sequester, atau invasi jaringan

granulasi pada medula spinalis dan bila muncul pada stadium lanjut

disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dari jaringan granulasi atau

perlekatan tulang (ankilosing) di atas kanalis spinalis.

Mielografi dan MRI sangatlah bermanfaat untuk membedakan

penyebab paraplegi ini. Paraplegi yang disebabkan oleh tekanan

ekstradural oleh pus ataupun sequester membutuhkan tindakan operatif

dengan cara dekompresi medulla spinalis dan saraf.

Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah ruptur dari abses

paravertebra torakal ke dalam pleura sehingga menyebabkan empiema

tuberkulosis, sedangkan pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke

otot iliopsoas membentuk psoas abses yang merupakan cold abscess.

6. Pemeriksaan Penunjang

A. Pemeriksaan laboratorium

1) Pemeriksaan darah lengkap :leukositosis, LED meningkat

2) Uji mantoux (+) TB

3) Uji kultur : biakan batkeri

4) Biopsi, jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional

5) Pemeriksaan hispatologis : dapat ditemukan tuberkel

B. Pemeriksaan Radiologis

a) Foto toraks / X – ray

b) Pemeriksaan foto dengan zat kontras

c) Foto polos vertebra

d) Pemeriksaan mielografi

21

Page 22: rizki RM

e) CT scan atau CT dengan mielografi

f) MRI

7. Penatalaksanaan Medis

Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus

dilakukan sesegera mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit

serta mencegah paraplegia.

Prinsip pengobatan paraplegia Pott sebagai berikut :

1. Pemberian obat antituberkulosis

2. Dekompresi medulla spinalis

3. Menghilangkan/ menyingkirkan produk infeksi

4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft)

Pengobatan terdiri atas :

1. Terapi konservatif berupa:

a. Tirah baring (bed rest)

b. Memberi korset yang mencegah gerakan vertebra /membatasi gerak

vertebra

c. Memperbaiki keadaan umum penderita

d. Pengobatan antituberkulosa

Standar pengobatan di indonesia berdasarkan program P2TB paru adalah :

- Kategori 1

Untuk penderita baru BTA (+) dan BTA(-)/rontgen (+), diberikan

dalam 2 tahap

Tahap 1 : Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300 mg dan

Pirazinamid 1.500 mg. Obat ini diberikan setiap hari selama 2 bulan pertama

(60 kali).

Tahap 2: Rifampisin 450 mg, INH 600 mg, diberikan 3 kali seminggu

(intermitten) selama 4 bulan (54 kali).

- Kategori 2

Untuk penderita BTA(+) yang sudah pernah minum obat selama

sebulan, termasuk penderita dengan BTA (+) yang kambuh/gagal yang

diberikan dalam 2 tahap yaitu :

22

Page 23: rizki RM

Tahap I diberikan Streptomisin 750 mg , INH 300 mg, Rifampisin 450

mg, Pirazinamid 1500mg dan Etambutol 750 mg. Obat ini diberikan

setiap hari , Streptomisin injeksi hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan

obat lainnya selama 3 bulan (90 kali).

Tahap 2 diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan Etambutol 1250

mg. Obat diberikan 3 kali seminggu (intermitten) selama 5 bulan (66

kali).

Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita

bertambah baik, laju endap darah menurun dan menetap, gejala-gejala

klinis berupa nyeri dan spasme berkurang serta gambaran radiologik

ditemukan adanya union pada vertebra.

2. Terapi operatif

Indikasi operasi yaitu:

• Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau

malah semakin berat. Biasanya tiga minggu sebelum tindakan operasi

dilakukan, setiap spondilitis tuberkulosa diberikan obat tuberkulostatik.

• Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara

terbuka dan sekaligus debrideman serta bone graft.

• Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun

pemeriksaan CT dan MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada

medulla spinalis.

Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi

penderita tuberkulosis tulang belakang, namun tindakan operatif masih

memegang peranan penting dalam beberapa hal, yaitu bila terdapat cold

abses (abses dingin), lesi tuberkulosa, paraplegia dan kifosis.

Abses Dingin (Cold Abses)

Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh

karena dapat terjadi resorbsi spontan dengan pemberian tuberkulostatik.

Pada abses yang besar dilakukan drainase bedah. Ada tiga cara

menghilangkan lesi tuberkulosa, yaitu:

23

Page 24: rizki RM

a. Debrideman fokal

b. Kosto-transveresektomi

c. Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan.

Paraplegia

Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia, yaitu:

a. Pengobatan dengan kemoterapi semata-mata

b. Laminektomi

c. Kosto-transveresektomi

d. Operasi radikal

e. Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang

Operasi kifosis

Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat,.

Kifosis mempunyai tendensi untuk bertambah berat terutama pada anak-

anak. Tindakan operatif dapat berupa fusi posterior atau melalui operasi

radikal.

Operasi PSSW

Operasi PSSW adalah operasi fraktur tulang belakang dan pengobatan tbc

tulang belakang yang disebut total treatment (1989).

Metode ini mengobati tbc tulang belakang berdasarkan masalah dan bukan

hanya sebagai infeksi tbc yang dapat dilakukan oleh semua dokter.

Tujuannya, penyembuhan TBC tulang belakang dengan tulang belakang

yang stabil, tidak ada rasa nyeri, tanpa deformitas yang menyolok dan

dengan kembalinya fungsi tulang belakang, penderita dapat kembali ke

dalam masyarakat, kembali pada pekerjaan dan keluarganya.

8. Dampak Masalah

a) Terhadap Individu.

Sebagai orang sakit, khusus klien spondilitis tuberkolosa akan

mengalami suatau perubahan, baik bio, psiko sosial dan spiritual yang

akan selalu menimbulkan dampak yang di karenakan baik itu oleh

24

Page 25: rizki RM

proses penyakit ataupun pengobatan dan perawatan oelh karena adanya

perubahan tersebut akan mempengaruhi pola - pola fungsi kesehatan

antara lain :

1. Pola nutrisi dan metabolisme.

Akibat proses penyakitnya klien merasakan tubuhnya menjadi

lemah dan anoreksia, sedangkan kebutuhan metabolisme tubuh

semakin meningkat sehingga klien akan mengalami gangguan pada

status nutrisinya.

2. Pola aktifitas.

Sehubungan dengan adanya kelemahan fisik nyeri pada punggung

menyebabkan klien membatasi aktifitas fisik dan berkurangnya

kemampuan dalam melaksanakan aktifitas fisik tersebut.

3. Pola persepsi dan konsep diri.

Klien dengan Spondilitis teberkulosa seringkali merasa malu

terhadap bentuk tubuhnya dan kadang - kadang mengisolasi diri.

b) Dampak terhadap keluarga.

Dalam sebuah keluarga, jika salah satu anggota keluarga sakit,

maka yang lain akan merasakan akibatnya yang akan mempengaruhi

atau merubah segala kondisi aktivitas rutin dalam keluarga itu.

25

Page 26: rizki RM

FRAKTUR KOMPRESI VERTEBRA THORAKALIS

1. Definisi

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan ditentukan

sesuai jenis dan luasnya. Fraktur kompresi adalah fraktur yang menekan

jaringan yang ada di bawahnya, seperti pada fraktur servical dan fraktur

vertebra. Fraktur thorakalis adalah fraktur yang mengenai daerah tulang

belakang terutama bagian thorakalis.

2. Etiologi

Penyebab terjadinya fraktur kompresi vertebra adalah sebagai berikut :

a. Trauma langsung (direct)

Fraktur yang disebabkan oleh adanya benturan langsung pada jaringan

tulang seperti pada kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, dan

benturan benda keras oleh kekuatan langsung.

b. Trauma tidak langsung (indirect)

Fraktur yang bukan disebabkan oleh benturan langsung, tapi lebih

disebabkan oleh adanya beban yang berlebihan pada jaringan tulang atau

otot , contohnya seperti pada olahragawan / pesenam yang menggunakan

hanya satu tangannya untuk menumpu beban badannya.

c. Fraktur yang disebabkan oleh proses penyakit seperti

osteoporosis, penderita tumor dan infeksi.

3. Manifestasi Klinis

a. Nyeri lokal

b. Pembengkakan

c. Erithema

d. Demam

4. Pemeriksaan Penunjang

a. Rontgent : menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma.

26

Page 27: rizki RM

b. Scan tulang,CT Scan, MRI : memperlihatkan fraktur, mengidentifikasi

kerusakan jaringan lunak.

c. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal

5. PENATALAKSANAAN

a. Rekognisi

Dilakukan dalam hal diagnosis dan penilaian fraktur prinsipnya adalah

mengetahui riwayat kecelakaan, derajat keparahannya, jenis kekuatan yang

berperan dan deskripsi tentang peristiwa yang terjadi oleh penderita

sendiri, menentukan apakah ada kemungkinan fraktur dan apakah perlu

dilakukan pemeriksaan spesifik untuk mencari adanya fraktur.

b. Reduksi

Adalah usaha atau tindakan manipulasi fragmen-fragmen tulang yang

patah sedapat mungkin untuk kembali seperti letak asalnya. Tindakan ini

dapat dilaksanakan secara efektif di dalam ruang gawat darurat atau ruang

bidai gips. Untuk mengurangi nyeri selama tindakan, penderita dapat

diberi narkotik IV, sedatif atau blok saraf lokal.

c. Retensi

Setelah fraktur direduksi fragmen tulang harus dimobilisasi atau

dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi

penyatuan. Immobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau

interna. Metode fiksasi eksterna meliputi gips, bidai, traksi implant logam

dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna

untuk mengimmobilisasi fraktur. Fiksasi interna jenis plate dan screw

dapat bertahan/tidak menimbulkan gejala selama lebih kurang 2 tahun.

d. Rehabilitasi

Merupakan proses pengembalian ke fungsi dan struktur semula dengan

cara melakukan ROM aktif an pasif seoptimal mungkin sesuai dengan

kemampuan klien. Latihan isometrik dan setting otot, diusahakan untuk

meminimalkan atrofi disuese dan meningkatkan peredaran darah.

27

Page 28: rizki RM

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Upper Extremity Exercise Program. In: Patient Information

Booklet.http://www2.mskcc.org/patient_education/_assets/downloads-english/

568.pdf. (23 Agustus 2012).

Harsono. 2007. Kapita Selekta Neurologi, Edisi Kedua.Yogyakarta: Gajahmada

University Press.

Mardjono M dan Sidharta P. 2003. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat.

Price SA. 1995. Patofisiologi : Konsep klinis proses-pross penyakit, Ed4. Jakarta.

EGC. 1995.

Purnawan J. 1982. Kapita Selekta Kedokteran, Ed2. Media Aesculapius.

FKUI.1982.

Sidharta P. 1999. Neurologis Klinis dalam Praktek Umum. Jakarta : Dian Rakyat.

Sidharta P. 1999. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Jakarta : Dian

Rakyat.

Syamsuhidayat dan Wim de Jong. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi.

Jakarta, EGC.

Taljanovic M.S., Acute Tetraplegia and

Paraplegia.http://ebookbrowse.com/acute-tetraplegia-and-paraplegia-

pdf-d126041001. (23 Agustus 2012)

28