rizki rm
TRANSCRIPT
PRESENTASI KASUS REHABILITASI MEDIS
SEORANG LAKI-LAKI USIA 65 TAHUN DENGAN PARAPARESE INFERIOR, HIPOESTESI SETINGGI THORAK IV e/c FRAKTUR KOMPRESI dd SUSPEK
SPONDILITIS TB
oleh:
Rizki Kurnia F
G0007223
Pembimbing
DR.Dr. Hj Noer Rachma, Sp.KFR
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIKFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RSUD DR.MOEWARDI2012
1
STATUS PASIEN
I. ANAMNESA
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. M
Umur : 65 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Tawangsari Sukoharjo
Status : Menikah
Tanggal Masuk : 15 Agustus 2012
Tanggal Periksa : 23 Agustus 2012
No CM : 01144807
B. Keluhan Utama
Kedua kaki tidak dapat digerakan
C. Riwayat Penyakit Sekarang
+ 2 minggu SMRS pasien mengeluh kedua tungkai bawah lemah,
sulit digerakkan sehingga pasien tidak bisa berjalan. Pertama –tama
lemah dirasakan di kaki bagian bawah lalu menjalar ke bagian atas
hingga ke pinggang, selain itu pasien merasakan jika kedua kaki terasa
kebas dan lama-kelamaan menjalar ke pinggang sehingga pasien
mengalami kesulitan untuk menggerakan kedua kakinya.
Pasien tidak mengeluh pusing, mual, muntah, demam. Selain itu
pasien juga mengeluh jika BAK dan BAB. Karena pasien merasa sangat
semakin kesulitan menggerakan kakinya oleh keluarga pasien dibawa ke
puskesmas kemudian dirujuk ke RSDM.
± 6 bulan SMRS pasien pernah didiagnosis menderita penyakit
tuberculosis paru, namun hasil kultur yang dilakukan negatif.
2
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat mondok : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat sakit gula : disangkal
Riwayat asma : disangkal
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat sakit gula : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat sakit serupa : disangkal
F. Riwayat Kebiasaan dan Gizi
Riwayat merokok : disangkal
Riwayat minum alkohol : disangkal
Riwayat olahraga : disangkal
G. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang laki-laki dengan satu orang istri dan dua orang
anak. Saat ini pasien mondok di RSUD DR. Moewardi dengan
menggunakan biaya sendiri.
II. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Keadaan umum sedang, compos mentis E4V5M6, gizi kesan cukup.
3
B. Tanda Vital
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 88x / menit
Respirasi : 20x / menit
Suhu : 36,5º C per aksiler
C. Kulit
Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-)
D. Kepala
Bentuk kepala mesochepal, kedudukan kepala simetris
E. Mata
Conjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung
(+/+), pupil isokor (3mm/3mm)
F. Hidung
Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-)
G. Telinga
Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-)
H. Mulut
Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-)
I. Leher
Simetris, JVP tidak meningkat, kelenjar getah bening tidak membesar
J. Thorax
a. Retraksi (-)
b. Jantung
4
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus Cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Konfigurasi Jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : Bunyi Jantung I dan II intensitas normal, reguler,
bising (-)
c. Paru
Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : Sonor / Sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
K. Trunk
Inspeksi : deformitas (-), skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-)
Palpasi : massa (-), nyeri tekan (-), oedem (-)
Perkusi : nyeri ketok costovertebra (-)
Tanda Patrick : (-/-)
Tanda AntiPatrick : (-/-)
Tanda Lasseque : (-/-)
L. Abdomen
Inspeksi : Dinding perut sejajar dinding dada
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
Perkusi : Tympani
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
5
K. Ektremitas
Oedem Akral
dingin
- - - -- - - -
L. Status Psikiatri
Deskripsi Umum
1. Penampilan : Laki-laki, tampak sesuai umur, perawatan diri cukup
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Perilaku dan Aktivitas Motorik : Normoaktif
4. Pembicaraan : Normal
5. Sikap terhadap Pemeriksa : Kooperatif, kontak mata cukup
Afek dan Mood
Afek : Appropiate
Mood : Normal
Gangguan Persepsi
Halusinasi : (-)
Ilusi : (-)
Proses Pikir
Bentuk : realistik
Isi : waham (-)
Arus : koheren
Sensorium dan Kognitif
Daya konsentrasi : baik
Orientasi : Orang : baik
Waktu : baik
Tempat : baik
Daya Ingat : Jangka panjang : baik
Jangka pendek : baik
Daya Nilai : Daya nilai realitas dan sosial baik
Insight : baik
6
M. Status Neurologis
Kesadaran : GCS E4V5M6
Fungsi Luhur : normal
Fungsi Vegetatif : terpasang IV line dan DC
Fungsi Sensorik : N N
↓ ↓
Fungsi Motorik dan Reflek
Kekuatan Tonus R.Fisiologis R.patologis
5 5 N N +2 +2 - -
0 0 ↓ ↓ 0 0 - -
N. Range of Motion
NECKROM Pasif ROM Aktif
Fleksi 0 - 70º 0 - 70ºEkstensi 0 - 40º 0 - 40ºLateral bending kanan 0 - 60º 0 - 60ºLateral bending kiri 0 - 60º 0 - 60ºRotasi kanan 0 - 90º 0 - 90ºRotasi kiri 0 - 90º 0 - 90º
Ektremitas Superior ROM Pasif ROM AktifDekstra Sinistra Dekstra Sinistra
Shoulder
Fleksi 0-180º 0-180º 0-180º 0-180ºEktensi 0-50º 0-50º 0-50º 0-50ºAbduksi 0-180º 0-180º 0-180º 0-180ºAdduksi 0-75º 0-75º 0-75º 0-75ºEksternal Rotasi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90ºInternal Rotasi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º
Elbow
Fleksi 0-150º 0-150º 0-150º 0-150ºEkstensi 150o- 0o 150º- 0º 150º-0º 150º-0ºPronasi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90ºSupinasi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º
Wrist
Fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90ºEkstensi 0-70º 0-70º 0-70º 0-70ºUlnar Deviasi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30ºRadius deviasi 0-20º 0-20º 0-20º 0-20º
7
Finger MCP I Fleksi 0-50º 0-50º 0-50º 0-50ºMCP II-IV fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90ºDIP II-V fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90ºPIP II-V fleksi 0-100º 0-100º 0-100º 0-100ºMCP I Ekstensi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º
Ektremitas Inferior ROM Pasif ROM AktifDekstra Sinistra Dekstra Sinistra
Hip
Fleksi 0-100º 0-100º 0 0Ektensi 0-20º 0-20º 0 0Abduksi 0-45º 0-45º 0 0Adduksi 0-45º 0-45º 0 0Eksorotasi 0-30º 0-30º 0 0Endorotasi 0-30º 0-30º 0 0
KneeFleksi 0-100º 0-100º 0 0Ekstensi 0º 0º 0 0
Ankle
Dorsofleksi 0-30º 0-30º 0 0Plantarfleksi 0-30º 0-30º 0 0Eversi 0-50º 0-50º 0 0Inversi 0-40º 0-40º 0 0
O. Manual Muscle Testing (MMT)
NECKFleksor dan ekstensor M. Strenocleidomastoideus : 5
Ekstremitas Superior Dextra SinistraShoulder Fleksor M Deltoideus anterior 5 5
M Biseps 5 5Ekstensor M Deltoideus anterior 5 5
M Teres mayor 5 5Abduktor M Deltoideus 5 5
M Biceps 5 5Adduktor M Lattissimus dorsi 5 5
M Pectoralis mayor 5 5Internal Rotasi
M Lattissimus dorsi 5 5M Pectoralis mayor 5 5
Eksternal Rotasi
M Teres mayor 5 5M Infra supinatus 5 5
Elbow Fleksor M Biceps 5 5M Brachialis 5 5
Ekstensor M Triceps 5 5Supinator M Supinator 5 5
8
Pronator M Pronator teres 5 5Wrist Fleksor M Fleksor carpi radialis 5 5
Ekstensor M Ekstensor digitorum 5 5Abduktor M Ekstensor carpi radialis 5 5Adduktor M ekstensor carpi ulnaris 5 5
Finger Fleksor M Fleksor digitorum 5 5Ekstensor M Ekstensor digitorum 5 5
Ekstremitas inferior Dextra SinistraHip Fleksor M Psoas mayor 0 0
Ekstensor M Gluteus maksimus 0 0Abduktor M Gluteus medius 0 0Adduktor M Adduktor longus 0 0
Knee Fleksor Harmstring muscle 0 0Ekstensor Quadriceps femoris 0 0
Ankle Fleksor M Tibialis 0 0Ekstensor M Soleus 0 0
P. Status Ambulasi
Indeks Barthel
Activity ScoreFeeding0 = unable5 = butuh bantuan memotong, mengoleskan mentega, dll, atau membutuhkan modifikasi diet10 = independen
10
Bathing0 = dependen5 = independen (atau menggunakan shower)
0
Grooming0 = membutuhkan bantuan untuk perawatan diri5 = independen dalam perawatan muka, rambut, gigi, dan bercukur
5
Dressing0 = dependen5 = membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan sebagian pekerjaan sendiri10 = independen (termasuk mengancingkan resleting, menalikan pita, dll.
5
Bowel0 = inkontinensia (atau membutuhkan enema)5 = occasional accident10 = kontinensia
5
9
Bladder0 = inkontinensia atau memakai kateter dan tidak mampu menangani sendiri5 = occasional accident10 = kontinensia
0
Toilet use0 = dependen5 = membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan beberapa hal sendiri10 = independen (on and off, dressing)
0
Transfer0 = unable, tidak ada keseimbangan duduk5 = butuh bantuan besar (satu atau dua orang, fisik), dapat duduk10 = bantuan kecil (verbal atau fisik)15 = independen
0
Mobility0 = immobile atau < 50 yard5 = wheelchair independen, > 50 yard10 = berjalan dengan bantuan satu orang (verbal atau fisik) > 50 yard15 = independen (tapi dapat menggunakan alat bantu apapun, tongkat) > 50 yard
0
Stairs 0 = unable5 = membutuhkan bantuan (verbal, fisik, alat bantu)10 = independen
0
Total (0-100) 25Status ambulasi : Severely Dependent
Klasifikasi Indeks Barthel:
1-20 : Totally dependent
21-60 : Severely dependent
61-90 : Moderate dependent
91-99 : Mild dependent
100 : Independent
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Laboratorium Darah (15 Agustus 2012)
Rujukan
Hb : 10,1 gr/dl 13,5-17,5
Hct : 32 % 33-45
AE : 3,6 x 106 µL 4,5-5,9
AT : 345 x 103 µL 150-450
AL : 23x 103 µL 4,5-11,0
GDS : 120 mg/dl 60-140
10
Ureum : 223 mg/dl <50
Creatinin : 5.1 mg/dl 0,9-1,3
Albumin : 3,5 g/dl 3,5-5,2
Globulin : 2,6 g/dl 2,7
Asam Urat : 4,8 mg/dl 2,4-6,1
Bilirubin total : 0,52 mg/dl 0-1,0
Bilirubin direk : 0,15 mg/dl 0-0,3
Bilirubin indirek : 0,37 mg/dl 0-0,7
Kolestrol total : 180 mg/dl 50-200
LDL kolestrol : 145 mg/dl 89-197
HDL kolestrol : 41 mg/dl 28-63
Triglesired : 118 mg/dl <150
HbsAg : Non Reaktif
Albumin : 2,8 g/dL
Globulin : 4,1 g/dL
B. Pemeriksaan Radiologis
Toraks AP
Cor : Kesan tidak membesar
Pulmo : Tak tampak infiltrat
Sinus costophrenicus kanan kiri tajam
MRI
Kesan : stenosis total spinal canal e.c indentasi thecal sac spinal canal
oleh fraktur compersi corpus VTh 3 dan VTh 4 dengan encroachmeny
intraspinal 50% dan mengakibatkan pendesakan pada neural foramen
disertai radix Th 3 dan Th 4 dengan multiple foci cervicothocaracl
suspek metastase spine denga fraktur patologi DD Spondylitis TB
Thorax Ap/ L
Alignment tulang baik, trabekulasi baik
Tampak fraktur kompresi, kolaps pada V Th IV, pedicle baik
Tampak para vertebra mass di setinggi Vth III- Vth IV
11
Kesan spondilitis susp Tb pd Vth IX
CT scan
Tak tampak lesi hipo/hiperdens
Sistem ventrikel baik, sulcus, gyrus baik
Kesan CT scan tak tampak kelainan
IV. ASSESMENT
Klinis : Paraplegia UMN, Hipoestesi setinggi Th 3 – Th 4
Topis : Medula Spinalis Th 4
Etiologi : Fraktur kompresi dd Spondilytis TB
V. DAFTAR MASALAH
A. Problem Medis : Paraparese
Hipoestesis
Fraktur Kompresi
. Spondilitis TB
B. Problem Rehabilitasi Medik
1. Fisioterapi : Pasien tidak dapat menggerakkan anggota gerak
bawah dan terdapat penurunan rangsangan
sensorik.
2. Terapi wicara : tidak ada.
3. Okupasi Terapi : Gangguan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
4. Sosiomedik : Memerlukan bantuan untuk melakukan aktivitas
sehari-hari.
5. Ortesa-protesa : Keterbatasan mobilisasi.
6. Psikologi : Beban pikiran keluarga dalam menghadapi
penyakit penderita.
12
VI. PENATALAKSANAAN
A. Terapi Medikamentosa :
1. Infus NaCl 0,9% 20 tpm
2. Injeksi Metilprednison 125 mg/12jam
3. Injeksi Ranitidin 1 ampul/12 jam
4. Injeksi micobalamin 1 ampul/24jam
5. Injeksi sohobion 1 ampul/24 jam
6. Antasyd syr 3xC1
B. Rehabilitasi Medik:
1. Fisioterapi :
a. Breathing exercise
b. ROM exercise pasif pada ekstremitas bawah.
c. mencegah ulkus decubitus: positioning dan turning setiap 2 jam
selama terjaga dan setiap 4 jam selama tidur.
2. Terapi wicara : tidak dilakukan
3. Okupasi terapi :
Melatih keterampilan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
4. Sosiomedik :
a. Motivasi dan edukasi keluarga
tentang penyakit penderita.
b. Motivasi dan edukasi keluarga
untuk membantu dan merawat penderita dengan selalu berusaha
menjalankan program di RS dan home programe.
5. Ortesa-Protesa :
a. Memfasilitasi ambulasi dengan penggunaan kursi roda.
6. Psikologi :
Psikoterapi suportif untuk mengurangi kecemasan keluarga.
13
VII. IMPAIRMENT, DISABILITY, DAN HANDICAP
Impairment : Paraparese tipe UMN, hipoestesia setinggi Th
3-Th 4, fraktur kompresi dd spondilysis TB.
Disability : Penurunan fungsi anggota gerak bawah.
Handicap : Keterbatasan dalam aktivitas sehari-hari dan
kegiatan sosial yang terhambat.
VII. PLANNING
Planning Diagnostik : -
Planning terapi : Pasien mondok untuk penatalaksanaan
bagian saraf, dan rehabilitasi medik
Planning monitoring : evaluasi hasil medika mentosa dan
rehabilitasi medik.
IX. TUJUAN
A. Perbaikan keadaan umum sehingga mempersingkat waktu perawatan.
B. Mencegah terjadinya komplikasi yang dapat memperburuk keadaan.
C. Meminimalkan impairment, disability dan handicap.
D. Membantu penderita sehingga mampu mandiri dalam menjalankan
aktivitas sehari-hari.
E. Edukasi perihal home exercise.
X. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia
Ad sanam : dubia
Ad fungsionam : dubia
14
TINJAUAN PUSTAKA
PARAPLEGIA
1. Definisi
Adalah kondisi dimana extremitas bawah mengalami kelumpuhan atau
paralysis yang disebabkan karena lesi transversal pada medula spinalis.
2. Etiologi
Penyebab yang paling umum dari kerusakan medula spinalis adalah :
a. Trauma
b. Penyakit, misalnya motor neuron disease, polimiositosis bilateral,
poliradikulopatia/ polineuropatia bilateral, miopatia bilateral, distropia
bilateral, dan sindroma miastenia gravis.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Sistem Motorik
Penilaian kekuatan otot merupakan salah satu pemeriksaan yang harus
dilakukan pada pemerikasaan paraplegi. Kekuatan otot dapat diperiksa
baik pada waktu otot melakukan suatu gerakan (power, kinetik) atau pada
waktu menahan atau menghambat atau melawan gerakan (statik). Kadang
kelemahan otot baru diketahui bila penderita disuruh melakukan serentetan
gerakan pada satu periode (endurance). Untuk melakukan pemeriksaan
kekuatan otot harus diketahui fungsi masing – masing otot yang diperiksa.
Pada paraplegia didapatkan kekuatan otot menurun pada kedua tungkai.
Penilaian kekuatan otot :
Nilai Kontraksi Persentase
0 Tidak ada
1 Ada, tanpa gerakan yang nyata 0 – 10 %
2 Dapat menggeser / menggerakkan lengan tanpa
beban dan tahanan
11 – 25 %
15
3 Dapat mengangkat lengan melawan gaya berat dan
tanpa tahanan
26 – 50 %
4 Dapat mengangkat lengan dengan tahanan ringan 51 – 75 %
5 Dapat mengangkat lengan melawan gaya berat
dengan beban tahanan berat
76 – 100 %
b. Sistem Sensorik
Untuk menentukan level dari paraplegia terutama digunakan sistem
sensoris, bukan motoris.
Defisit sensorik pada sindrom paraplegia karena trauma, gangguan
spinovaskuler, proses autoimunologik atau proses maligna, satu atau
beberapa segmen medula spinalis rusak sama sekali. Lesi yang seolah
memotong medula spinalis dinamakan lesi transversal. Pada paraplegia
spastika ada batas defisit sensorik sedangkan pada paraplegia flaksida
tidak memperlihatkan batas defisit sensorik yang jelas.
16
c. Reflek
Pada kelumpuhan LMN tidak menunjukkan reflek patologis sedangkan
pada kelumpuhan UMN menunjukkan reflek patologis.
4. Pemeriksaan Penunjang
- Foto rontgen : untuk melihat adanya fraktur vertebra.
- Urine : bisa terdapat infeksi sehingga leukosit dan eritrosit meningkat.
5. Terapi
a. Medikamentosa
Jika terjadi contasio / transeksi / kompresi medula spinalis, maka dapat
kita terapi dengan :
- Metyl Prednisolon 30 mg/kg BB bolus intravena selama 15 menit,
dilanjutkan dengan 5,4 mg/kg BB 45 menit setelah bolus selama 23
jam. Hasil optimal bila pemberian dilakukan < 8 jam onset.
- Tambahkan profilaksis stress ulkus : Antacid / antagonis H2.
Sedangkan apabila terdapat comotio medula spinalis, fraktur atau dislokasi
tidak stabil harus disingkirkan. Jika pemulihan sempurna, pengobatan
tidak diperlukan. Antibiotik untuk menyembuhkan infeksi saluran kemih.
b. Fisioterapi
Terdiri dari alat bantu, pemanasan (dengan air hangat atau sinar), dan
latihan Range Of Motion (ROM) untuk mengetahui luas gerak sendi.
c. Operatif
Dengan menggunakan teknik Harrison roda stabilization (Instrumen
Harrison) yaitu mengguakan batang distraksi baja tahan karat untuk
mengoreksi dan stabilisasi deformitas vertebra.
Tindakan operasi diindikasikan pada kasus :
- Reduksi terbuka pada dislokasi.
- Cedera terbuka dengan benda asing atau tulang dalam canalis spinalis.
- Lesi parsial medula spinalis dengan hemamielia yang progresif.
17
d. Edukasi
- Perawatan vesica urinaria dan fungsi defekasi.
- Perawatan kulit untuk menghindari terjadinya ulcus dekubitus.
- Nutrisi yang adekuat.
- Kontrol nyeri : analgetik, obat anti inflamasi non steroid, anti
konvulsi, codein, dll.
Psikoterapi sangat penting, terutama pada pasien yang mengalami sekuel
neurologist berat dan permanen.
SPONDILITIS TUBERKULOSA
1. Definisi
Spondilitis Tuberkulosa (Spondilitis TB) adalah peradangan
granulomatosa yang bersifat kronis, destruktif oleh micobacterium TB. TB
tulang belakang selalu merupakan infeksi sekunder dari focus di tempat
lain dalm tubuh. Percivall (1973) adalah penulis pertama tentang penyakit
ini dan menyatakan bahwa terdapat hubungan antara penyakit ini dengan
deformitas tulang belakang yang terjadi, sehingga penyakit ini disebut juga
penyakit Pott
Spondilitis TB adalah infeksi yang sifatnya kronis berupa infeksi
granulomatosis disebabkan oleh kuman spesifik yaitu mycobacterium
tuberculosa yang mengenai tulang vertebra
Spondilitis TB disebut juga penyakit Pott bila disertai paraplegi
atau defisit neurologi. Spondilitis ini paling sering ditemukan pada
vertebra Th VIII- vertebra LIII dan paling jarang pada vertebra C2.
Spondilitis TB biasanya mengenai korpus vertebra, sehingga jarang
menyerang arkus vertebra
Penyakit Pott adalah osteomielitis tuberculosis yang mengenai
tulang belakang. Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan
18
spondilitis tuberkulosa merupakan peradangan granulomatosa yang
bersifat kronik destruktif yang disebabkan oleh mikobakterium
tuberkulosa.
Tuberkulosis yang muncul pada tulang belakang merupakan
tuberkulosis sekunder yang biasanya berasal dari tuberkulosis ginjal.
Berdasarkan statistik, spondilitis tuberkulosis atau Pott’s disease paling
sering ditemukan pada vertebra torakalis segmen posterior dan vertebra
lumbalis segmen anterior (T8-L3), coxae dan lutut serta paling jarang pada
vertebra C1-2.
pada vertebra ini sering terlambat dideteksi karena hanya terasa
nyeri punggung/pinggang yang ringan. Pasien baru memeriksakan
penyakitnya bila sudah timbul abses ataupun kifosis.
2. Etiologi
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari
tuberkulosis di tempat lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh
mikobakterium tuberkulosis tipik (2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe
bovin) dan 5-10% oleh mikobakterium tuberkulosa atipik. Kuman ini
berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam
(BTA). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi
dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.
Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman, tertidur lama selama
beberapa tahun
3. Manifestasi Klinis
Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama
dengan gejala tuberkulosis pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu
makan berkurang, berat badan menurun, suhu sedikit meningkat
(subfebril) terutama pada malam hari serta sakit pada punggung. Pada
anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari.
Pada awal dapat dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada
atau perut,kemudian diikuti dengan paraparesis yang lambat laun makin
19
memberat, spastisitas, klonus,, hiper-refleksia dan refleks Babinski
bilateral. Pada stadium awal ini belum ditemukan deformitas tulang
vertebra, demikian pula belum terdapat nyeri ketok pada vertebra yang
bersangkutan. Nyeri spinal yang menetap, terbatasnya pergerakan spinal,
dan komplikasi neurologis merupakan tanda terjadinya destruksi yang
lebih lanjut. Kelainan neurologis terjadi pada sekitar 50% kasus,termasuk
akibat penekanan medulla spinalis yang menyebabkan paraplegia,
paraparesis, ataupun nyeri radix saraf. Tanda yang biasa ditemukan di
antaranya adalah adanya kifosis (gibbus), bengkak pada daerah
paravertebra, dan tanda-tanda defisit neurologis seperti yang sudah
disebutkan di atas.
Pada tuberkulosis vertebra servikal dapat ditemukan nyeri di
daerah belakang kepala, gangguan menelan dan gangguan pernapasan
akibat adanya abses retrofaring. Harus diingat pada mulanya penekanan
mulai dari bagian anterior sehingga gejala klinis yang muncul terutama
gangguan motorik. Gangguan sensorik pada stadium awal jarang dijumpai
kecuali bila bagian posterior tulang juga terlibat.
4. Patofisiologi
Spondilitis tuberkulosa merupakan suatu tuberkulosis tulang yang
sifatnya sekunder dari TBC tempat lain di tubuh. Penyebarannya secara
hematogen, di duga terjadinya penyakit tersebut sering karena penyebaran
hematogen dari infeksi traktus urinarius melalui leksus Batson. Infeksi
TBC vertebra di tandai dengan proses destruksi tulang progresif tetapi
lambat di bagian depan (anterior vertebral body).Penyebaran dari jaringan
yang mengalami pengejuan akan menghalangi proses pembentukan tulang
sehingga berbentuk "tuberculos squestra". Sedang jaringan granulasi TBC
akan penetrasi ke korteks dan terbentuk abses para vertebral yang dapat
menjalar ke atas / bawah lewat ligamentum longitudinal anterior dan
posterior. Sedang diskus Intervertebralis oleh karena avaskular lebih
resisten tetapi akan mengalami dehidrasi dan terjadi penyempitan oleh
20
karenadirusak jaringan granulasi TBC. Kerusakan progresif bagian
anterior vertebra akan menimbulkan kiposis.
5. Komplikasi
Komplikasi dari spondilitis tuberkulosis yang paling serius adalah
Pott’s paraplegia yang apabila muncul pada stadium awal disebabkan
tekanan ekstradural oleh pus maupun sequester, atau invasi jaringan
granulasi pada medula spinalis dan bila muncul pada stadium lanjut
disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dari jaringan granulasi atau
perlekatan tulang (ankilosing) di atas kanalis spinalis.
Mielografi dan MRI sangatlah bermanfaat untuk membedakan
penyebab paraplegi ini. Paraplegi yang disebabkan oleh tekanan
ekstradural oleh pus ataupun sequester membutuhkan tindakan operatif
dengan cara dekompresi medulla spinalis dan saraf.
Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah ruptur dari abses
paravertebra torakal ke dalam pleura sehingga menyebabkan empiema
tuberkulosis, sedangkan pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke
otot iliopsoas membentuk psoas abses yang merupakan cold abscess.
6. Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan laboratorium
1) Pemeriksaan darah lengkap :leukositosis, LED meningkat
2) Uji mantoux (+) TB
3) Uji kultur : biakan batkeri
4) Biopsi, jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional
5) Pemeriksaan hispatologis : dapat ditemukan tuberkel
B. Pemeriksaan Radiologis
a) Foto toraks / X – ray
b) Pemeriksaan foto dengan zat kontras
c) Foto polos vertebra
d) Pemeriksaan mielografi
21
e) CT scan atau CT dengan mielografi
f) MRI
7. Penatalaksanaan Medis
Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus
dilakukan sesegera mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit
serta mencegah paraplegia.
Prinsip pengobatan paraplegia Pott sebagai berikut :
1. Pemberian obat antituberkulosis
2. Dekompresi medulla spinalis
3. Menghilangkan/ menyingkirkan produk infeksi
4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft)
Pengobatan terdiri atas :
1. Terapi konservatif berupa:
a. Tirah baring (bed rest)
b. Memberi korset yang mencegah gerakan vertebra /membatasi gerak
vertebra
c. Memperbaiki keadaan umum penderita
d. Pengobatan antituberkulosa
Standar pengobatan di indonesia berdasarkan program P2TB paru adalah :
- Kategori 1
Untuk penderita baru BTA (+) dan BTA(-)/rontgen (+), diberikan
dalam 2 tahap
Tahap 1 : Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300 mg dan
Pirazinamid 1.500 mg. Obat ini diberikan setiap hari selama 2 bulan pertama
(60 kali).
Tahap 2: Rifampisin 450 mg, INH 600 mg, diberikan 3 kali seminggu
(intermitten) selama 4 bulan (54 kali).
- Kategori 2
Untuk penderita BTA(+) yang sudah pernah minum obat selama
sebulan, termasuk penderita dengan BTA (+) yang kambuh/gagal yang
diberikan dalam 2 tahap yaitu :
22
Tahap I diberikan Streptomisin 750 mg , INH 300 mg, Rifampisin 450
mg, Pirazinamid 1500mg dan Etambutol 750 mg. Obat ini diberikan
setiap hari , Streptomisin injeksi hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan
obat lainnya selama 3 bulan (90 kali).
Tahap 2 diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan Etambutol 1250
mg. Obat diberikan 3 kali seminggu (intermitten) selama 5 bulan (66
kali).
Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita
bertambah baik, laju endap darah menurun dan menetap, gejala-gejala
klinis berupa nyeri dan spasme berkurang serta gambaran radiologik
ditemukan adanya union pada vertebra.
2. Terapi operatif
Indikasi operasi yaitu:
• Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau
malah semakin berat. Biasanya tiga minggu sebelum tindakan operasi
dilakukan, setiap spondilitis tuberkulosa diberikan obat tuberkulostatik.
• Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara
terbuka dan sekaligus debrideman serta bone graft.
• Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun
pemeriksaan CT dan MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada
medulla spinalis.
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi
penderita tuberkulosis tulang belakang, namun tindakan operatif masih
memegang peranan penting dalam beberapa hal, yaitu bila terdapat cold
abses (abses dingin), lesi tuberkulosa, paraplegia dan kifosis.
Abses Dingin (Cold Abses)
Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh
karena dapat terjadi resorbsi spontan dengan pemberian tuberkulostatik.
Pada abses yang besar dilakukan drainase bedah. Ada tiga cara
menghilangkan lesi tuberkulosa, yaitu:
23
a. Debrideman fokal
b. Kosto-transveresektomi
c. Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan.
Paraplegia
Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia, yaitu:
a. Pengobatan dengan kemoterapi semata-mata
b. Laminektomi
c. Kosto-transveresektomi
d. Operasi radikal
e. Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang
Operasi kifosis
Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat,.
Kifosis mempunyai tendensi untuk bertambah berat terutama pada anak-
anak. Tindakan operatif dapat berupa fusi posterior atau melalui operasi
radikal.
Operasi PSSW
Operasi PSSW adalah operasi fraktur tulang belakang dan pengobatan tbc
tulang belakang yang disebut total treatment (1989).
Metode ini mengobati tbc tulang belakang berdasarkan masalah dan bukan
hanya sebagai infeksi tbc yang dapat dilakukan oleh semua dokter.
Tujuannya, penyembuhan TBC tulang belakang dengan tulang belakang
yang stabil, tidak ada rasa nyeri, tanpa deformitas yang menyolok dan
dengan kembalinya fungsi tulang belakang, penderita dapat kembali ke
dalam masyarakat, kembali pada pekerjaan dan keluarganya.
8. Dampak Masalah
a) Terhadap Individu.
Sebagai orang sakit, khusus klien spondilitis tuberkolosa akan
mengalami suatau perubahan, baik bio, psiko sosial dan spiritual yang
akan selalu menimbulkan dampak yang di karenakan baik itu oleh
24
proses penyakit ataupun pengobatan dan perawatan oelh karena adanya
perubahan tersebut akan mempengaruhi pola - pola fungsi kesehatan
antara lain :
1. Pola nutrisi dan metabolisme.
Akibat proses penyakitnya klien merasakan tubuhnya menjadi
lemah dan anoreksia, sedangkan kebutuhan metabolisme tubuh
semakin meningkat sehingga klien akan mengalami gangguan pada
status nutrisinya.
2. Pola aktifitas.
Sehubungan dengan adanya kelemahan fisik nyeri pada punggung
menyebabkan klien membatasi aktifitas fisik dan berkurangnya
kemampuan dalam melaksanakan aktifitas fisik tersebut.
3. Pola persepsi dan konsep diri.
Klien dengan Spondilitis teberkulosa seringkali merasa malu
terhadap bentuk tubuhnya dan kadang - kadang mengisolasi diri.
b) Dampak terhadap keluarga.
Dalam sebuah keluarga, jika salah satu anggota keluarga sakit,
maka yang lain akan merasakan akibatnya yang akan mempengaruhi
atau merubah segala kondisi aktivitas rutin dalam keluarga itu.
25
FRAKTUR KOMPRESI VERTEBRA THORAKALIS
1. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan ditentukan
sesuai jenis dan luasnya. Fraktur kompresi adalah fraktur yang menekan
jaringan yang ada di bawahnya, seperti pada fraktur servical dan fraktur
vertebra. Fraktur thorakalis adalah fraktur yang mengenai daerah tulang
belakang terutama bagian thorakalis.
2. Etiologi
Penyebab terjadinya fraktur kompresi vertebra adalah sebagai berikut :
a. Trauma langsung (direct)
Fraktur yang disebabkan oleh adanya benturan langsung pada jaringan
tulang seperti pada kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, dan
benturan benda keras oleh kekuatan langsung.
b. Trauma tidak langsung (indirect)
Fraktur yang bukan disebabkan oleh benturan langsung, tapi lebih
disebabkan oleh adanya beban yang berlebihan pada jaringan tulang atau
otot , contohnya seperti pada olahragawan / pesenam yang menggunakan
hanya satu tangannya untuk menumpu beban badannya.
c. Fraktur yang disebabkan oleh proses penyakit seperti
osteoporosis, penderita tumor dan infeksi.
3. Manifestasi Klinis
a. Nyeri lokal
b. Pembengkakan
c. Erithema
d. Demam
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Rontgent : menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma.
26
b. Scan tulang,CT Scan, MRI : memperlihatkan fraktur, mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak.
c. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal
5. PENATALAKSANAAN
a. Rekognisi
Dilakukan dalam hal diagnosis dan penilaian fraktur prinsipnya adalah
mengetahui riwayat kecelakaan, derajat keparahannya, jenis kekuatan yang
berperan dan deskripsi tentang peristiwa yang terjadi oleh penderita
sendiri, menentukan apakah ada kemungkinan fraktur dan apakah perlu
dilakukan pemeriksaan spesifik untuk mencari adanya fraktur.
b. Reduksi
Adalah usaha atau tindakan manipulasi fragmen-fragmen tulang yang
patah sedapat mungkin untuk kembali seperti letak asalnya. Tindakan ini
dapat dilaksanakan secara efektif di dalam ruang gawat darurat atau ruang
bidai gips. Untuk mengurangi nyeri selama tindakan, penderita dapat
diberi narkotik IV, sedatif atau blok saraf lokal.
c. Retensi
Setelah fraktur direduksi fragmen tulang harus dimobilisasi atau
dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Immobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau
interna. Metode fiksasi eksterna meliputi gips, bidai, traksi implant logam
dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna
untuk mengimmobilisasi fraktur. Fiksasi interna jenis plate dan screw
dapat bertahan/tidak menimbulkan gejala selama lebih kurang 2 tahun.
d. Rehabilitasi
Merupakan proses pengembalian ke fungsi dan struktur semula dengan
cara melakukan ROM aktif an pasif seoptimal mungkin sesuai dengan
kemampuan klien. Latihan isometrik dan setting otot, diusahakan untuk
meminimalkan atrofi disuese dan meningkatkan peredaran darah.
27
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Upper Extremity Exercise Program. In: Patient Information
Booklet.http://www2.mskcc.org/patient_education/_assets/downloads-english/
568.pdf. (23 Agustus 2012).
Harsono. 2007. Kapita Selekta Neurologi, Edisi Kedua.Yogyakarta: Gajahmada
University Press.
Mardjono M dan Sidharta P. 2003. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat.
Price SA. 1995. Patofisiologi : Konsep klinis proses-pross penyakit, Ed4. Jakarta.
EGC. 1995.
Purnawan J. 1982. Kapita Selekta Kedokteran, Ed2. Media Aesculapius.
FKUI.1982.
Sidharta P. 1999. Neurologis Klinis dalam Praktek Umum. Jakarta : Dian Rakyat.
Sidharta P. 1999. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Jakarta : Dian
Rakyat.
Syamsuhidayat dan Wim de Jong. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi.
Jakarta, EGC.
Taljanovic M.S., Acute Tetraplegia and
Paraplegia.http://ebookbrowse.com/acute-tetraplegia-and-paraplegia-
pdf-d126041001. (23 Agustus 2012)
28