refraaaatttt rm
DESCRIPTION
RMMTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG MASALAH
Cedera medula spinalis merupakan kejadian yang bisa menghancurkan setiap
aspek kehidupan seseorang. Para pasien yang menderita cidra medula spinalis
mengakses berbagai jenis pelayanan kesehatan dalam jumlah yang sangat besar.
Biaya yang dihabiskan mencapai 10 milyar dolar. Dapat dibayangkan besarnya biaya
tidak langsung yang dikaitkan dengan berkurangnya potensi penghasilan. Dampak
psikologis terhadap para pasien dan keluarganya bahkan lebih sulit untuk diukur.8
Cedra medula spinalis merupakan salah satu penyebab utama disabilitas
neurologis akibat trauma. Pusat Data Nasional Cedera Medula Spinalis (The National
Spinal Cord Injury Data Research Centre) memperkirakan ada 10.000 kasus baru
cedra medula spinalis setiap tahunnya di Amerika Serikat.
Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak komplet
berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi, sehingga
menimbulkan gangguan fungsi organ (impairment), gangguan fungsional (disability)
dan limitasi dalam partisipasi (handicap) pada penderitanya. Pembagian ini penting
untuk meramalkan prognosis dan penanganan selanjutnya. Teknik yang paling sering
digunakan adalah pemeriksaan sacral sparing. Data di Amerika Serikat menunjukkan
urutan frekuensi disabilitas neurologis karena cedera medula spinalis traumatika
sebagai berikut : (1) tetraplegi inkomplet (29,5%), (2) paraplegi komplet (27,3%), (3)
paraplegi inkomplet (21,3%), dan (4) tetraplegi komplet (18,5%).9
Tindakan rehabilitasi medis pada cedera medula spinalis diberikan sesuai
dengan fase yang dihadapi pasien, fase akut, sub akut, atau fase lanjut dan difokuskan
untuk mengembalikan kemandirian pasien. Setelah penilaian awal, tim cedera medula
spinalis dibawah pimpinan ahli kedokteran fisik dan rehabilitasi, merumuskan tujuan-
tujuan rencana penanganan yang khusus menurut kebutuhan penatalaksanaan medis,
ketrampilan fungsional, pekerjaan, pendidikan pasien, dan dukungan psikososial.
1
Proses rehabilitasi dimulai dari perawatan di Rumah Sakit dan berlanjut bahkan
setelah berhasil bergabung kembali ke masyarakat.3
Angka harapan hidup untuk para pasien penderita cedera medula spinalis yang
baru pada semua level dan pada semua klasifikasi dalam American Spinal Cord
Injury Asosiation (ASIA) lebih rendah daripada kelompok kontrol. Pada umumnya
pasien-pasien dengan cedera servical level tinggi terutama mereka yang berada pada
usia-usia tua atau anak-anak memiliki angka harapan hidup yang lebih pendek. Peran
seorang dokter rehabilitasi medis adalah untuk memperbaiki kuantitas dan kualitas
hidup pasien-pasien penderita cedera medula spinalis.3
2. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana gambaran klinis cedera medula spinalis?
2. Bagaimana rehabilitasi medik pada pasien cedera medula spinalis?
3. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui gambaran klinis cedera medula spinalis
2. Mengetahui rehabilitasi medik pada pasien cedera medula spinalis
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Anatomi Medula Spinalis
Medulla spinalis adalah saraf yang tipis yang merupakan perpanjangan dari
sistem saraf pusat dari otak dan melengkungi serta dilindungi oleh tulang
belakang. Fungsi utama medulla spinalis adalah transmisi pemasukan rangsangan
antara perifer dan otak.
Medulla Spinalis merupakan bagian dari Susunan Saraf Pusat. Terbentang dari foramen
magnum sampai dengan L1, di L1 melonjong dan agak melebar yang disebut
conus terminalis atau conus medullaris. Terbentang dibawah cornu terminalis
serabut-serabut bukan saraf yang disebut filum terminale yang merupakan jaringan
3
ikat. Terdapat 31 pasang saraf spinal; 8 pasang saraf servikal; 12 pasang saraf
thorakal; 5 pasang saraf lumbal; 5 pasang saraf sacral dan 1 pasang saraf coxigeal.
Akar saraf lumbal dan sacral terkumpul yang disebut dengan Cauda Equina. Setiap
pasangan saraf keluar melalui intervertebral foramina. Saraf spinal dilindungi oleh
tulang vertebra dan ligamen dan juga oleh meningen spinal dan CSF.
Struktur internal terdapat substansi abu-abu dan substansi putih. Substansi
abu-abu membentuk seperti kupu-kupu dikelilingi bagian luarnya oleh substansi
putih. Terbagi menjadi bagian kiri dan kanan oleh anterior median fissure dan
median septum yang disebut dengan posterior median septum. Keluar dari medulla
spinalis merupakan akral ventral dan dorsal dari saraf spinal. Substansi abu-abu
mengandung badan sel dan dendrit dan neuron efferent, akson tak bermyelin, saraf
sensoris dan motorik dan akson terminal dari neuron. Substansi abu-abu
membentuk seperti huruf H dan terdiri dari 3 bagian yaitu: anterior, posterior dan
commisura abu-abu. Bagian posterior sebagai input/afferent, anterior sebagai
output/efferent, commisura abu-abu untuk refles silang dan substansi putih
merupakan kumpulan serat saraf bermyelin.
1. Spinal nerve
2. Dorsal root ganglion
4
3. Dorsal root (sensori)
4. Ventral root (motor)
5. Central canal
6. Grey matter
7. White matter
Peran medulla spinalis :
1. Pusat prosesing data.
2. jalur sensoris
3. Sistem piramidal dan ekstra-piramidal.
Anatomi servikal bagian atas (oksiput C1-C2) berbeda dengan daerah
servikal bawah (C3-T1). Selain itu, servikal atas lebih mobil dibandingkan dengan
servikal bawah. Servikal 1 atau atlas tidak memiliki corpus dan processus
spinosus.Servikal 1 hanya berupa cincin tulang yang terdiri atas arcus anterior
yang tebal dan arcus posterior yang tipis, dan massa lateralis pada masing-masing
sisinya. Tiap massa lateralis memiliki permukaan sendi pada aspek atas dan
bawahnya. Tulang ini berartikulasi di atas dengan condylus occipitalis,
membentuk articulatio atlanto-occipitalis, tempat berlangsungnya gerakan
mengangguk. Di bawah, tulang ini berartikulasi dengan C2, membentuk
artikulatio atlanto-axialis, tempat berlangsungnya gerakan memutar kepala.
Servikal 2 atau axis mengandung processus odontoid yang menggambarkan
penggabungan sisa dari badan atlas. Processus odontoid ini melekat erat pada
aspek posterior dari arcus anterior C1 oleh ligamentum transversum, yang
mengstabilkan sendi atlantoaxial.
Stabilitas dari spinal ditentukan oleh ligamentum antara struktur tulang. Pada
bagian frontal, penonjolan condilus occiput disokong oleh massa lateralis C2. Pada
bagian frontal ini, massa lateralis terlihat berbentuk baji, runcing di tengah dan
pinggirnya lebar. Jika struktur tulang terganggu dan terutama jika terjadi
pergeseran baji ke lateral menyebabkan instabilitas spinal.
5
Penonjolan condilus occiput distabilisasi oleh kapsul occipitoatlantal dan
membrana atlantooccipital anterior dan posterior. Ligamentum nuchae merupakan
struktur yang stabil yang berhubungan dengan kompleks atlantooccipital axial.
Membrana tectorium, ligamentum alar dan apical menghubungkan occiput ke C2.
Ligamentum dentate terdiri dari ligamentum alar dan apical mengikat
permukaan dorsal lateral dari dens dan berjalan oblik ke permukaan medial dari
condilus occipitalis.
Ligamentum transversum berjalan dari permukaan medial dari salah satu sisi
C1 menuju ke sisi lain. Ligamentum ini pada dasarnya membatasi C2 untuk
berotasi disekitar odontoid dalam cincin tertutup tulang. Jika ligamentum ini
ruptur atau jika ada fraktur yang berhubungan dengan odontoid, C1 dapat
bergeser dan menyulitkan batang otak dan medulla spinalis.10
II. CEDERA MEDULA SPINALIS
Kecelakaan kendaraan bermotor (terutama pada pasien muda), jatuh
(terutama pada pasien usia lanjut), kecelakaan saat berenang dan menyelam, dan
tindak kekerasan merupakan penyebab utama dari cedera vertebra cervikal. Gaya
fleksi atau ekstensi yang tidak tertahankan, dengan atau tanpa distraksi atau
6
kompresi aksial, merupakan mekanisme penyebab utama pada cedera vertebra
cervikal.
Cedera medula spinalis dapat terjadi bersamaan dengan trauma vertebra
yaitu terjadinya fraktur pada vertebra, ligamentum longitudinalis posterior dan
duramater bisa robek, bahkan dapat menusuk kekanalis vertebralis serta arteri dan
vena-vena yang mengalirkan darah ke medula spinalis dapat ikut terputus. Cedera
medula spinalis merupakan kelainan yang pada masa kini banyak memberikan
tantangan karena perubahan dan pola trauma serta kemajuan
dibidang penatalaksanaannya. Kalau dimasa lalu cedera tersebut lebih banyak
disebabkan oleh jatuh dari ketinggian seperti pohon kelapa, pada masa kini
penyebabnya lebih beranekaragam seperti kecelakaan lalu lintas, jatuh dari tempat
ketinggian dan kecelakaan olah raga. Pada masa lalu kematian penderita cedera
medula spinalis terutama disebabkan oleh terjadinya penyulit berupa infeksi
saluran kemih gagal ginjal, pneumonia dan decubitus.5
2.2 ETIOLOGI
Cedera medula spinalis terjadi akibat patah tulang belakang dan
terbanyak mengenai daerah servikal dan lumbal. Cedera terjadi akibat hiperfleksi,
hiperekstensi, kompressi, atau rotasi tulang belakang. Didaerah torakal tidak
banyak terjadi karena terlindung dengan struktur toraks. Fraktur dapat berupa
patah tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan dislokasi, sedangkan kerusakan
pada sumsum tulang belakang dapat berupa memar, contusio, kerusakan
melintang, laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, atau perdarahan.
Kelainan sekunder pada sumsum belakang dapat disebabkan hipoksemia dan
iskemia. Iskamia disebabkan hipotensi, oedema, atau kompressi. Perlu diketahui
bahwa kerusakan pada sumsum tulang belakang merupakan kerusakan
yang permanen karena tidak akan terjadi regenerasi dari jaringan saraf. Pada fase
awal setelah trauma tidak dapat dipastikan apakah gangguan fungsi disebabkan
7
oleh kerusakan yang sebenarnya dari jaringan saraf atau disebabkan oleh tekanan,
memar, atau oedema.11
2.3 KLASIFIKASI
ASIA Impairment Scale adalah sebuah modifikasi dari skala Frankel yang dikembangkan
oleh American Spinal Injury Asosiation. Ada 5 level dari A sampai E yang menjelaskan derajat
cedera.
Letak tinggi lesi medula spinalis dapat diperkirakan dengan patokan :
1. Pemeriksaan sensorik, yaitu untuk menetukan letak lesi sesuai dengan gangguan
sensibilitas yang tertinggi atau paling proksimal.
2. Pemeriksaan motorik, yaitu dengan memeriksa otot mana yang menunjukan
kelemahan/kelumpuhan. ASIA Impairment Sacle dalam hal ini memberikan
pedoman kelompok otot kunci ( key muscles ) yang dapat mewakili fungsi motorik
segmen yang bersangkutan.
Kelompok otot kunci tersebut adalah :
C5- Fleksor sendi siku
C6- Ekstensor pergelangan tangan
C7- Ekstensor sendi siku
C8- Fleksor jari (falang distal dari jari tengah)
T1- Abduksi jari (kelingking)
L2- Fleksor sendi panggul
L3- Ekstensor sendi lutut
L4- Dorsofleksor pergelangan kaki
L5- Ekstensor ibu jari kaki
S1- Plantar fleksor pergelangan kaki
8
Berikut adalah klasifikasi cedea medula spinalis menurut skala ASIA :
GRADE TIPE Gangguan Medula Spinalis ASIA
A Komplit Tidak ada fungsi motorik dan sensorik sampai S4-S5
B Inkomplit Fungsi sensorik masih baik tapi motorik terganggu sampai
segmen sacral S4-S5
C Inkomplit Fungsi motorik terganggu di bawah level tapi otot-otot motorik
utama masih punya kekuatan < 3
D Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level, otot-otot motorik utama
punya kekuatan > 3
E Normal Fungsi motorik dan sensorik normal
Level neurologik adalah segmen medula spinalis paling kaudal dengan fungsi motorik dan
sensorik pada kedua sisi tubuh. Level motorik dan sensorik dapat berbeda pada kedua sisi tubuh
sehingga dicatat 4 macam : level motorik dan sensorik untuk kiri dan kanan.
9
Pada cedera medula spinalis dapat juga ditemukan sindroma klinis sebagai berikut :
Central Cord Syndrome
Brown- Sequard Syndrome
Anterior Cord Syndrome
Conus Medullaris Syndrome
Cauda equina Syndrome
Pemeriksaan reflek yang dilakukan pada pasien diantaranya adalah pemeriksaan anocutaneal
reflek (ACR), Bulbocavernosus reflek (BCR) yang paling cepat timbul kembali setelah
spinal syok, dan pemeriksaan reflek tendon dalam (KPR, ATR).11
2.4 PATOFISIOLOGI
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma dapat menyebabkan
kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatik pada medulla spinalis tidak
selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak langsung
bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis disebut
whiplash/trauma indirek, ini adalah gerakan dorsopleksi dan anterofleksi
berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan mendadak. Trauma whiplash
terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah maupun torakalis bawah
misal, pada waktu duduk dikendaraan yang sedang berjalan cepat kemudian
berhenti secara mendadak. Atau pada waktu terjun dari jarak tinggi menyelam dan
masuk air yang dapat mengakibatkan paraplegia. Trauma tidak langsung dari
tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi, ekanan vertical (terutama pada
T.12 ampai L.2), rotasi. Kerusakan yang dialami medulla spinalis dapat bersifat
sementara atau menetap. Akibat trauma terhadap tulang belakang, medula spinalis
dapat tidak berfungsi untuk sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat
sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa
oedema, perdarahan peri vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah. Pada
kerusakan medulla spinalis yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat
10
terlihat dan terjadi lesi, contusio, laserasio dan pembengkakan daerah tertentu di
medulla spinalis. Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma
tulang belakang secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat
mematahkan /menggeserkan ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi). lesi
transversa medulla spinalis tergantung pada segmen yang terkena (segmen
transversa, hemitransversa, kuadrantransversa). Hematomielia adalah perdarahan
dalam medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan bertempat di substansia grisea.
Trauma ini bersifat whiplash yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat badan
berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur dislokasio. Kompresi
medulla spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit oleh
penyempitan kanalis vertebralis. Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan
oleh hematoma ekstra meduler traumatic dan dapat juga tertekan oleh kepingan
tulang yang patah yang terselip diantara duramater dan kolumna vertebralis.
Gejala yang didapat sama dengan sindroma kompresi medulla spinalis akibat
tumor, kista dan abses didalam kanalis vertebralis. Akibat hiperekstensi dislokasio,
fraktur dan whislap radiks saraf spinalis dapat tertarik dan mengalami jejas/reksis.
Pada trauma whislap, radiks colmna 5-7 dapat mengalami hal demikian, dan gejala
yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan yang bersifat hiperpatia, gambaran
tersbut disebut hematorasis atau neuralgia radikularis traumatik yang reversible.
Jika radiks terputus akibat trauma tulang belakang, maka gejala defisit sensorik
dan motorik yang terlihat adalah radikuler dengan terputusnya arteri radikuler
terutama radiks T.8 atau T.9 yang akan menimbulkan defisit sensorik
motorik pada dermatoma dan miotoma yang bersangkutan dan sindroma sistema
anastomosis anterial anterior spinal.5
2.5 GAMBARAN KLINIK
Gambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang
terjadi. Kerusakan meningitis lintang memberikan gambaran berupa hilangnya
fungsi motorik maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai shock
11
spinal. shock spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang
karena hilangnya rangsang yang berasal dari pusat. Peristiwa ini umumnya
berlangsung selama 1-6 minggu, kadang lebih lama. Tandanya adalah kelumpuhan
flasid, anastesia, refleksi, hilangnya fersfirasi, gangguan fungsi rectum dan
kandung kemih, triafismus, bradikardia dan hipotensi. Setelah shock spinal pulih
kembali, akan terdapat hiperrefleksi terlihat pula pada tanda gangguan fungsi
otonom, berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik serta
gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi.
Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot
lurik dibawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua
sisinya,sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu.
Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan. Keadaan ini pada
umumnnya terjadi akibat cedera didaerah servikal dan disebabkan oleh
hiperekstensi mendadak sehingga sumsum tulang belakang terdesak dari dorsal
oleh ligamentum flavum yang terlipat. Cedera tersebut dapat terjadi pada orang
yang memikul barang berat diatas kepala, kemudian terjadi gangguan
keseimbangan yang mendadak sehingga beban jatuh dan tulang belakang
sekonyong-konyong dihiperekstensi. Gambaran klinik berupa tetraparese parsial.
Gangguan pada ekstremitas atas lebih ringan daripada ekstremitas atas sedangkan
daerah perianal tidak terganggu.
Kerusakan tulang belakang setinggi vertebra lumbal 1 & 2 mengakibatkan
anaestesia perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya
refleks anal dan refleks bulbo kafernosa.
Karakteristik klinik sindrom cedera medula spinalis:
12
Karakteristik
Klinik
Central Cord
Syndrome
Anterior Cord
Syndrome
Brownsequard
Cord Syndrome
Posterior Cord
Syndrome
Kejadian Sering Jarang Jarang Sangat Jarang
Biomekanika Hiperekstensi Hiperfleksi Penetrasi Hiperekstensi
Motorik Gangguan
bervariasi; jarang
paralisa komplet
Sering komplet
paralisis (ggn
tract desenden)
biasanya bilateral
Kelemahan
anggota gerak
ipsilateral lesi; ggn
tract desenden (+)
Ggn
bervariasi;ggn
tract desenden
ringan
Protopatik Gangguan
bervariasi tdk
khas
Sering hilang
total (ggn tract
asenden);bilateral
Sering hilang total
(ggn tract asenden)
kontra lateral
Gangguan
bervariasi biasanya
ringan
Propeoseptor Jarang sekali
terganggu
Biasanya normal Hilang total
ipsilateral;
gangguan tract
ascenden
Terganggu
Perbaikan Sering cepat dan
nyata; khas
kelemahan tangan
dan jari menetap
Paling buruk
diantara lainnya
Fungsi buruk
namun
independensi
paling baik
NA
2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
2. Radiologi
Foto vertebra sesuai le tak lesi
CT Scan/MRI, Jika dgn foto konvensional meragukan atau bila
akan dilakukan tindakan operatif
13
3. EKG, bila terdapat aritmia jantung
2.7 PENATALAKSANAAN
Perhatian utama pada penderita cedera tulang belakang ditujukan pada
usaha mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah atau cedera sekunder.
Untuk maksud tersebut dilakukan immobilisasi ditempat kejadian dengan
memanfaatkan alas yang keras. Pengangkutan penderita tidak dibenarkan tanpa
menggunakan tandu atau sarana apapun yang beralas keras. Selalu harus
diperhatikan jalan nafas dan sirkulasi. Bila dicurigai cedera didaerah servikal harus
diusahakan agar kepala tidak menunduk dan tetap ditengah dengan menggunakan
bantal kecil untuk menyanngga leher pada saat pengangkutan. Perawatan penderita
memegang peranan penting untuk mencegah timbulnya penyakit.
Perawatan ditujukan pada pencegahan :
Kulit :agar tidak timbul dekubitus karena daerah yang
anaestesi.
Anggota gerak :agar tidak timbul kontraktur.
Traktus urinarius :menjamin pengeluaran air kemih.
Traktus digestivus :menjamin kelancaran bab.
Traktus respiratorius :apabila yang terkena daerah servikal sehingga terjadi
pentaplegi.
KULIT
Perawatan posisi berganti dapat mencegah timbulnya decubitus yaitu dengan
cara miring kanan kiri telentang dan telungkup.
ANGGOTA GERAK
Karena kelainan saraf maka timbul pula posisi sendi akibat inbalance
kekuatanotot.pencegahan ditujukan terhadap timbulnya kontraktur sendi dengan
melakukanfisioterapi, latihan dan pergerakan sendi serta meletakkan anggota
dalam posisi netral.
TRAKTUS URINARIUS
14
Untuk ini perlu apakah ganggua saraf menimbulkan gejala UMN dan LMN
terhadap buli-buli, karenanya maka kateterisasi perlu dikerjakan dengan baik , agar
tidak menimbulkan infeksi.
TRAKTUS DIGE STIVUS
Menjamin kelancaran defekasi dapat dikerjkaka secara manual .
TRAKTUS RESPIRATORIUS
Apabila lesi cukup tinggi (daerah servikal dimana terdapat pula
kelumpuhan pernapasan pentaplegia), maka resusitasi dan kontrol resprasion
diperlukan.11
2.8 PROGNOSIS
Prognosis dari pasien dengan cidera medula spinalis tergantung dari :
1. Lokasi Lesi (lesi servikal atas prognosis lebih buruk)
2. Luas Lesi (lesi komplet atau inkomplet)
3. Tindakan dini
4. Trauma multipel
5. Faktor penyulit7
BAB III
TINJAUAN REHABILITASI MEDIK
15
Rehabilitasi medik adalah suatu proses pemulihan dan pengembangan
bagi penyandang cacat agar dapat melaksanakan fungsinya secara wajar.
Pelayanan rehabilitasi medik adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan terpadu
dengan pendekatan medik, psikososial, edukasional, vokasional untuk mencapai
kemampuan fungsional semaksimal mungkin.9
A. PENATALAKSANAAN CEDERA MEDULA SPINALIS
Tatalaksana kedokteran fisik dan proses rehabilitasi pada cedera medula spinalis
dibagi dalam 3 fase yaitu :
1. Rehabilitasi fase akut
Dilaksanakan dalam rawat inap
Tujuan rehabilitasi :
o Meminimalkan defisit neurologis
o Mencegah komplikasi tirah baring
o Mencegah komplikasi akibat cedera medula spinalis
Intervensi dan program rehabilitasi :
o Pencegahan kegagalan respirasi akibat retensi sputum
o Pencegahan presure ulcer
o Pencegahan DVT
o Pencegahan kontraktur dan deformitas
o Pencegahan distensi kandung kemih dan infeksi
o Pencegahan konstipasi
2. Rehabilitasi fase sub akut
Dilaksanakan dalam rawat inap atau rawat jalan dan merupakan proses
rehabilitasi aktif. Lama proses rehabilitasi untuk tetraplegia 4-6 bulan.
Tujuan rehabilitasi :
o Mengatasi masalah disabilitas dan handicap yang timbul akibat cedera
o Memaksimalkan fungsi yang ada untuk kemandirian
o Meningkatkan kebugaran kardiorespirasi
16
o Mencegah komplikasi sekunder
Intervensi dan program rehabilitasi :
o Terapi latihan mobilisasi ditempat tidur
o Terapi latihan pro mobilisasi aktif dan transfer
o Penetapan jenis dan pembuatan ortosis yang diperlukan
o Penetapan alat bantu ambulasi : kursi roda, crutches, walker
o Terapi latihan ambulasi, sesuai dengan level neurologis termasuk latihan
kemandirian pengendalian kursi roda didalam dan diluar rumah
o Terapi latihan perawatan diri
o Terapi latihan kemandirian dalam aktivitas sehari-hari
o Terapi latihan kontrol miksi : self intermiten cateterisation, reflek foiding
o Terapi latihan kontrol defekasi : manual evakuasi atau digital stimulasi
o Terapi latihan kebugaran kardiorespirasi
o Terapi suportif pemahaman tentang kecacatan, berbagai kiat mengatasi
dampak cedera medula spinalis dan psikosuportif
o Terapi prevokasional dan hobi
o Edukasi mengenai berbagai cara mengatasi dampak cedera medula
spinalis sebagai persiapan kembali kerumah dan masyarakat.
3. Rehabilitasi fase kronis
Dlaksanakan rawat jalan seumur hidup bagi pasien dengan kecacatan menetap
Tujuan rehabilitasi :
o Meningkatkan kualitas hidup
o Mempertahankan kemampuan fungsional yang ada
o Memiliki produktivitas sesuai kemampuan
Intervensi dan program rehabilitasi:
o Rujukan untuk pelatihan kerja
o Konseling keluarga
17
o Pencegahan komplikasi sekunder
o Penatalaksanaan komplikasi9
B. KOMPLIKASI
1. Sistem kardiovaskular : hipotensi ortostatik, deep vein thrombosis,
autonomik disrefleksia pada level lesi diatas T6
2. Sistem metabolik/ tulang : imobilisasi hiperkalsemia, osteoporosis,
heterotopik osifikasi
3. Sistem respirasi : retensi sputum, gangguan fungsi paru restriktif, gangguan
pola nafas
4. Sistem gastrointestinal : ileus, diare, konstipasi, akut abdomen
5. Sistem traktus urinarius : hidronekrosis, batu kandung kemih, infeksi
kronis, gagal ginjal
6. Sistem integumentum : presur ulcer, pengaturan keringat dan suhu tubuh
7. Sistem saraf : spastisitas, nyeri neuropatik9
C. ORTHOSIS
o Halo Vest
Halo vest dikenakan pada pasien untuk membatasi gerakan fleksi-
ekstensi, laterofleksi, rotasi servikal dan mempertahankan reduksi. Untuk
18
pemasangan halo vest diperlikan 3 orang petugas medis. Cincin halo dikenakan
dikepala dibawah equator tulang tengkorak, kurang lebih 1 cm diatas helics
telinga. Cincin halo dipasang dengan jarak 2 cm dari sisa terluar kepala. Lubang
yang tepat pada ciccin halo dipilih untuk meletakkan pin.
Pin anterolateral dipasang pada 1 cm diats alis mata, pada 2/3 lateral
regio supra orbital. Sebelah medial pin ini adalah nervus supra orbital dan arteri
sedangkan sebelah lateral pin adalah arteri temporalis superior. Penempatan pin
harus hati-hati dan jangan sampai mengenai m. Temporalis, karena bila
mengenai otot tersebur pasien akan mengalami nyeri pada saat mengunyah, dan
mungkin dapat menembus innertable dari cranium karena tipisnya tulang
tengkorak pada fosa temporali. Pin posterolateral dipasang diatas meatus
auditorius eksterna, tepat dimana pin gardner well tongs dipasang.
Pemasangan vest dilakukan dengan tubuh pasien fleksi pada hip
sebesar 30 derajat sambil tetap dilakukan traksi cervikal. Dipasang vest sebelah
posterior lebih dahulu, kemudian dilanjutkan vest bagian anterior. Selanjutnya
dipasang upright penyangga dan baut-bautnya. Untuk memastikan aligment dan
reduksi fraktur atau dislokasi dilakukan foto rontgen setelah pemasangan halo
vest. 48 jam kemudian pin kembali di kencangkan.11
o Kursi roda
Kursi roda merupakan alat bantu mobilisasi.
19
Tujuan peresepan kursi roda :
1. Memberikan kursi roda yang efisien dan optimum agar dapat
mobilisasi secara optimal
2. Pencegahan/mengurangi deformitas yang terjadi
3. Meningkatkan kemandirian dalam melakukan aktivitas fungsional
4. Memberikan konsep diri yang baik bagi penggunanya
5. Mengurangi biaya yang tidak efektif dan efisien untuk jangka
pendek maupun panjang
Terdapat bermacam-macam jenis dan pilihan kursi roda. Dalam peresepan
kursi roda yang diperlukan adalah :
1. Analisa klinis dan masalah medis
2. Tujuan serta perencanaan yang mencakup kemampuan duduk dan
mobilisasi
3. Assesment yang teliti terhadap pasien yang memerlukan kursi roda
20
BAB IV
PENUTUP
1. Cedera medula spinalis merupakan salah satu penyebab utama
disabilitas neurologis akibat trauma.
2. Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak komplet
berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi.
3. Klasifikasi cedera medula spinalis menurut skala ASIA ada 5 yaitu A, B, C, D, E.
4. Tujuan rehabilitasi pada pasien dengan cedera medula spinalis adalah
untuk mengatasi masalah disabilitas dan handicap yang timbul akibat
cedera, memaksimalkan fungsi yang ada untuk kemandirian,
meningkatkan kebugaran kardiorespirasi, dan mencegah komplikasi
sekunder.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. A Graham Appley. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Appley
Edisi 7. Widya Medika : Jakarta
2. Apley A.G. et al : Apley’s System of Orthopaedics and Fractures, 7 th edition.
Butterworth Heinemann, 1993, p. 699-712
3. Braddom R. Physical medicine and rehabilitation. 3 rd ed. New York:
Saunders; 2003
4. De Lisa JA, Gans BM. Rehabilitatioan medicine principles and practice. 2 nd
ed. Philadelphia : JB Lippincot Company, 1993.
5. Garrison S. Dasar – dasar terapi dan rehabilitasi fisik. Jakarta : Gramedia;
2004.
6. Sylvia & Lorraine, 1994, Patofisiologi,Konsep Klinis Proses Penyakit .
Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta.
7. Syamsuhidayat, R; de Jong, Wim. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.
Jakarta : EGC
8. Vernon W. Spinal cord medine principles and practice. New York : Demos;
2003
9. Kolegium Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi. Modul neuromuskuler
tatalaksana kedokteran fisik dan rehabilitasi pada cedera medulla spinalis.
Jakarta : 2008
10. Koval K, Zuckerman J. Handbook of Fractures. 3 rd ed. Philadelphia :
Lippincott Williams & Wilkins; 2006
11. Hoppenfeld S, Murthy V. Treatment and Rehabilitation of Fractures.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2000
22