rescued document

9
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang  Korupsi merupakan masalah kompleks yang mampu menjangkiti segala aspek keg iatan manusia, permasalahan turun temurun dan sangat kronis, sehingga dibutuhkan  peran penting masyarakat dunia untuk bertindak bersama-sama untuk menghentikan korupsi agar kesejahteraan warga dunia tercapai dan perekonomian tumbuh merata b agi semua warga dunia. Di Indonesia, korupsi sudah menjangkiti hampir disetiap institusi baik inst itusi pemerintahan maupun instansi non pemerintahan, menurut Transparency intern ational (2014), Corruption Perceptions Index (CPI) Indonesia pada tahun 2014 ber ada pada urutan 107 dunia   . Tansparency International (2013) merilis 12 intitusi d i Indonesia yang menurut responden (masyarakat indonesia) adalah instansi terkor up   . Penelitian yang dilakukan Tanzi (1998) menyatakan bahwa korupsi adalah the abuse of public power for private benefit, pengertian tersebut menyebutkan bahwa korupsi terjadi karena adanya kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang yang memili ki power, sedangkan menurut penelitian Ndikumana (2006) kesenjangan sosial dan k esenjangan pendapatan di negara-negara miskin membuat ketidakseimbangan dalam di stribusi kekuasaan dan mendorong korupsi   . Penelitian Ahrend (2000); Aidt et. al ( 2007) dan Orces (2009) menyebutkan bahwa negara dengan tingkat pendapatan perkap ita, pendidikan dan mutu hidup yang rendah lebih cenderung melakukan tindakan ko rupsi. Sebagai contoh, hasil penelitian yang menunjukkan dampak dari korupsi    diung kapkan oleh Ertimi dan Saeh (2013) bahwa korupsi mampu mendistorsi pendapatan, k eengganan berinvestasi, menyebabkan inefisiensi dan pemborosan sumber daya dan m erugikan demokrasi dan etika. Berbeda dengan penelitian diatas, Huntington (197 3) menyatakan bahwa korupsi berguna bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara dan me njadi ciri salah satu negara modern. Ditengah-tengah perkembangan dan semakin mengglobalnya korupsi, Asongu (20 14) melakukan penelitian tentang globalisasi    sebagai alat untuk memerangi korupsi . Andersen (2008) lebih memilih e-Governance sebagai perangkat yang potensial di gunakan untuk mereduksi tingkat korupsi di Negara-negara dunia. Selain itu, lang kah populer yang sering dilakukan oleh beberapa negara ialah dengan adanya pende katan whistle-blowing sebagai pemberantasan perilaku kecurangan seperti korupsi.  Ghani et. al (2011) menyatakan bahwa peran whistle-blowing sebagai salah satu l angkah efektif dalam mengendalikan mekanisme internal kontrol. Sejalan dengan pe mikiran tersebut, Goel dan Nelson (2013) menjelaskan bahwa Whistleblower-law mer upakan perangkat yang efektif dalam penataan organisasi baik itu public sector m aupun private sector. Bahkan menurut penelitian Bunget et. al. (2009), menyebut kan bahwa Whistleblowing pada desain penelitiannya mampu meningkatkan kesadaran perilaku individu dan kelompok dalam memerangi kecurangan, dari pada memerangi k ecurangan secara langsung tanpa melalui Whistleblowing. Khalil et. al. (2014) me nyebutkan bahwa Whistleblowing akan memberikan pengaruh kode etik yang significa nt terhadap penyalahgunaan aset dilingkungan perbankan. Sedangkan menurut Lee da n Fragher (2011) mengatakan bahwa Whistleblowing dapat digunakan sebagai alat pe ndeteksi kecurangan sedini mungkin. Berdasarkan beberapa penelitian tersebut dia tas, Whistleblowing dapat digunakan sebagai alat pencegah terjadinya kecurangan dilingkungan kerja. Whistleblowing tidak tumbuh dengan begitu saja didalam lingkungan kerja, a da beberapa penyebab yang mampu menumbuhkan rasa tanggung jawab dan kesadaran ya ng dimiliki oleh individu agar menjadi Whistleblower. Menurut penelitian yang d ilakukan oleh Magnus dan Viswesvaran (2005) menyebutkan faktor jenis kelamin, us ia pekerja dan lamanya seseorang bekerja pada sebuah organisasi menjadi faktor p endorong yang menyebabkan seseorang memiliki motivasi untuk menjadi seorang Whis tleblower. Menurut Holtzhausen (2007) dan Dorasamy (2013) Whistleblower dapat mu ncul pada saat seseorang mendapatkan perlindungan ketika memberikan fakta-fakta yang memang dibutuhkan dalam pengungkapan kecurangan dan pada saat institusi mem

Upload: tri-hartono

Post on 06-Jan-2016

216 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Rescued Document

TRANSCRIPT

Page 1: Rescued Document

7/17/2019 Rescued Document

http://slidepdf.com/reader/full/rescued-document-568d0545f1426 1/9

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar belakang 

Korupsi merupakan masalah kompleks yang mampu menjangkiti segala aspek kegiatan manusia, permasalahan turun temurun dan sangat kronis, sehingga dibutuhkan

 peran penting masyarakat dunia untuk bertindak bersama-sama untuk menghentikankorupsi agar kesejahteraan warga dunia tercapai dan perekonomian tumbuh merata bagi semua warga dunia.

Di Indonesia, korupsi sudah menjangkiti hampir disetiap institusi baik institusi pemerintahan maupun instansi non pemerintahan, menurut Transparency international (2014), Corruption Perceptions Index (CPI) Indonesia pada tahun 2014 berada pada urutan 107 dunia . Tansparency International (2013) merilis 12 intitusi di Indonesia yang menurut responden (masyarakat indonesia) adalah instansi terkorup .

Penelitian yang dilakukan Tanzi (1998) menyatakan bahwa korupsi adalah theabuse of public power for private benefit, pengertian tersebut menyebutkan bahwakorupsi terjadi karena adanya kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang yang memili

ki power, sedangkan menurut penelitian Ndikumana (2006) kesenjangan sosial dan kesenjangan pendapatan di negara-negara miskin membuat ketidakseimbangan dalam distribusi kekuasaan dan mendorong korupsi . Penelitian Ahrend (2000); Aidt et. al (2007) dan Orces (2009) menyebutkan bahwa negara dengan tingkat pendapatan perkapita, pendidikan dan mutu hidup yang rendah lebih cenderung melakukan tindakan korupsi.

Sebagai contoh, hasil penelitian yang menunjukkan dampak dari korupsi  diungkapkan oleh Ertimi dan Saeh (2013) bahwa korupsi mampu mendistorsi pendapatan, keengganan berinvestasi, menyebabkan inefisiensi dan pemborosan sumber daya dan merugikan demokrasi dan etika. Berbeda dengan penelitian diatas, Huntington (1973) menyatakan bahwa korupsi berguna bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara dan menjadi ciri salah satu negara modern.

Ditengah-tengah perkembangan dan semakin mengglobalnya korupsi, Asongu (20

14) melakukan penelitian tentang globalisasi  sebagai alat untuk memerangi korupsi. Andersen (2008) lebih memilih e-Governance sebagai perangkat yang potensial digunakan untuk mereduksi tingkat korupsi di Negara-negara dunia. Selain itu, langkah populer yang sering dilakukan oleh beberapa negara ialah dengan adanya pendekatan whistle-blowing sebagai pemberantasan perilaku kecurangan seperti korupsi. Ghani et. al (2011) menyatakan bahwa peran whistle-blowing sebagai salah satu langkah efektif dalam mengendalikan mekanisme internal kontrol. Sejalan dengan pemikiran tersebut, Goel dan Nelson (2013) menjelaskan bahwa Whistleblower-law merupakan perangkat yang efektif dalam penataan organisasi baik itu public sector maupun private sector. Bahkan menurut penelitian Bunget et. al. (2009), menyebutkan bahwa Whistleblowing pada desain penelitiannya mampu meningkatkan kesadaranperilaku individu dan kelompok dalam memerangi kecurangan, dari pada memerangi k

ecurangan secara langsung tanpa melalui Whistleblowing. Khalil et. al. (2014) menyebutkan bahwa Whistleblowing akan memberikan pengaruh kode etik yang significant terhadap penyalahgunaan aset dilingkungan perbankan. Sedangkan menurut Lee dan Fragher (2011) mengatakan bahwa Whistleblowing dapat digunakan sebagai alat pendeteksi kecurangan sedini mungkin. Berdasarkan beberapa penelitian tersebut diatas, Whistleblowing dapat digunakan sebagai alat pencegah terjadinya kecurangandilingkungan kerja.

Whistleblowing tidak tumbuh dengan begitu saja didalam lingkungan kerja, ada beberapa penyebab yang mampu menumbuhkan rasa tanggung jawab dan kesadaran yang dimiliki oleh individu agar menjadi Whistleblower. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Magnus dan Viswesvaran (2005) menyebutkan faktor jenis kelamin, usia pekerja dan lamanya seseorang bekerja pada sebuah organisasi menjadi faktor pendorong yang menyebabkan seseorang memiliki motivasi untuk menjadi seorang Whis

tleblower. Menurut Holtzhausen (2007) dan Dorasamy (2013) Whistleblower dapat muncul pada saat seseorang mendapatkan perlindungan ketika memberikan fakta-faktayang memang dibutuhkan dalam pengungkapan kecurangan dan pada saat institusi mem

Page 2: Rescued Document

7/17/2019 Rescued Document

http://slidepdf.com/reader/full/rescued-document-568d0545f1426 2/9

iliki konsistensi terhadap konsep Good governance. Pemahaman terhadap konsep Good governance yang benar mampu memberikan kontribusi yang positif untuk mencegahdan mengatasi adanya beberapa kecurangan yang terjadi didalam sebuah institusi.Menurut Mohamad et. al. (2014) konsep pemahaman Good governance yang baik yang dimiliki oleh karyawan mampu memberikan dampak positif terhadap kepuasan pemakaijasa, Good governance menjadi front liner bagi sebuah institusi dalam pemenuhankebutuhan pihak yang membutuhkan. Selain itu juga disebutkan bahwa transformasi

gaya kepemimpinan yang baik ialah pada saat seorang pemimpin tersebut mampu mengajak serta bawahannya mengimplementasikan konsep Good governance secara menyeluruh.

Sejalan dengan pemikiran dari Mohamad et. al., studi yang memberikan dampak positif Good governance bagi perkembangan suatu negara juga telah dilakukan oleh Beleiu, Pop dan Tampu (2015) dalam penelitiannya menyebutkan, pemahaman konsep Good governance yang baik mampu meningkatkan nilai investasi dan GDP (Gross domestic product) suatu negara. Menurut Kharisma (2014) menyebutkan bahwa world bank merupakan lembaga yang untuk pertama kalinya telah memperkenalkan konsep public sector management progams dalam rangka melaksanakan tata kepemerintahan yang lebih baik, khususnya dalam konteks persyaratan bantuan pembangunan, yang dikenal dengan Structural adjustment. Selanjutnya Good governance dalam konteks tersebut

dipandang sebagai a sound of development.  Azra (2010) korupsi, tidak diragukan lagi, masih merupakan salah satu masalah yang paling serius dan akut yang masih di hadapi Indonesia hingga saat ini, dan tentu saja salah satu kendala terbesar dalam upaya untuk menciptakan pemerintahan yang baik. Melihat dampak korupsi, kecurangan dan dampak negatif yang ditimbulkan lainnya, maka sudah sepantasnya Indonesia sebagai negara dengan Corruption Perceptions Index (CPI) Indonesia pada tahun 2014 berada pada urutan 107 dunia dengan melakukan hal perbaikan dan antisipatif agar tidak memburuknya peringkat CPI Indonesia pada tahun-tahun selanjutnya. Pemahaman konsep Good governance secara menyeluruh disemua tingkat instansi diharapkan mampu menumbuhkan sikap kepahlawanan seseorang untuk menjadi Whistleblower sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1975 dan sesuai dengan Peraturan PemerintahRepublik Indonesia Nomor 42 Tahun 2004 .

Studi ini merupakan studi empiris tentang peranan pemahaman konsep Good Governance Pegawai Negeri Sipil di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Berdasarkan dari beberapa penelitian terdahulu seperti; Ahmadi dan Homauni (2011); Uzzaman (2009); Mohamad et. al. (2014); Zhang et. al. (2008); MacNab dan Worthley (2008) dan Winardi (2013), studi ini mencoba untuk memperluas pemahaman konsep Good Governance dengan beberapa faktor pendukung lainnya seperti; Self efficacy, Whistle blowing judgment, individual factors dan situational factors. Sedangkan pada studi ini, Good Governance dijadikan variabel moderating.

1.2 Rumusan masalah  Studi ini mencoba meneliti seberapa jauh pemahaman terhadap konsep Good Governance pada PNS dapat menjadikan seorang PNS berlaku sebagai seorang Whistleblower terhadap instansinya sendiri dan meneliti seberapa besar pengaruh yang dimiliki oleh Self efficacy, Whistle blowing judgment, individual factors dan situational factors terhadap keinginan seorang PNS menjadi Whistleblower. Oleh karena itu, rumusan masalah pada studi ini dapat diuraikan sebagai berikut :1. Seberapa besar pemahaman seorang PNS terhadap konsep Good Governance sehingga mampu meningkatkan keinginan untuk menjadi Whistleblower ?2. Seberapa besar faktor Self efficacy, Whistle blowing judgment, individual factors dan situational factors seorang PNS, sehingga mampu meningkatkan keinginan untuk menjadi Whistleblower ?3. Seberapa besar pemahaman seorang PNS terhadap konsep Good Governance, sehingga mampu meningkatkan keinginan untuk menjadi Whistleblower jika Self efficacy, Whistle blowing judgment, individual factors dan situational factors menjadi fakt

or pendorong atas pemahaman konsep tersebut ?

1.3 Tujuan penelitian

Page 3: Rescued Document

7/17/2019 Rescued Document

http://slidepdf.com/reader/full/rescued-document-568d0545f1426 3/9

  Studi ini bertujuan untuk memberikan kontribusi yang positif terhadap perkembangan literatur akuntansi forensik di Indonesia dalam pemberantasan korupsi dan kecurangan-kecurangan serta dampak negatif lainnya. Park dan Blenkinsopp (2009) dalam penelitianya menyatakan bahwa masih terdapat keterbatasan teori yang menjelaskan tentang whistleblowing. Selain itu, studi ini bertujuan untuk memberikan gambaran bahwa whistleblower dapat dijadikan sebagai alat pencegahan dini dansebagai pemberi isyarat terhadap ancaman kecurangan. Seperti yang telah diungkap

kan dalam studi Lee dan Fragher (2011) mengatakan bahwa Whistleblowing dapat digunakan sebagai alat pendeteksi kecurangan sedini mungkin.

1.4 Manfaat penelitian  Studi ini mampu memberikan pentingnya whistleblower bagi sebuah instansi, seperti pada penelitian Bunget et. al. (2009) yang menjelaskan bahwa whistleblowing jika dilakukan dengan fair dan effective akan mampu merubah perilaku seseorang dan kelompok yang dijadikan sebagai proteksi dini terhadap sebuah instansi. Dalton dan Radtke (2011) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa perilaku seseorang mampu memberikan pengaruh yang positif terhadap sebuah instansi dan lingkungan kerjanya.

1.5 Sistematika penulisanSistematika dalam studi ini secara gambaran umum sebagai berikut :Bab I Pendahuluan  Bab ini berisi tentang uraian latar belakang masalah, rumusan masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.Bab II Kajian Pustaka  Bab ini berisikan megenai literatur yang digunakan dalam studi ini, didalamnya terdapat hal-hal yang berkaitan dengan landasan teori yang merupakan formulasi universal dari kajian pustaka yang dirangkum untuk membangun suatu kerangka pemikiran hingga muncul fokus penelitian yang dituju.

Bab III Metode Penelitian  Bab ini berisi tentang variabel penelitian dan definisi operasional, populasi dan sampel, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data, dan metode analisis data.Bab IV Analisis data dan pembahasan  Bab ini memuat deskripsi objek penelitian, analisis data yang digunakan dalam penelitian, dan interpretasi hasil penelitian yang telah dilakukan.

Bab V Kesimpulan, Implikasi dan Saran  Bab ini berisi kesimpulan, keterbatasan penelitian, dan saran untuk penelitian selanjutnya. Kesimpulan merupakan jawaban atas rumusan masalah yang telah dikemukakan dan pencapaian tujuan penelitian.Daftar Referensi dan Lampiran

Page 4: Rescued Document

7/17/2019 Rescued Document

http://slidepdf.com/reader/full/rescued-document-568d0545f1426 4/9

BAB IIKAJIAN PUSTAKA

1. Planned Behavior  Studi ini menggunakan Teori Planned Behavior (TPB), karena teori ini denganjelas mampu menggambarkan hubungan antara perilaku manusia dengan tindakan yangdilakukannya (Ajzen, 1991). Walaupun dalam studi yang dilakukan oleh Hu, Dinev,Hart and Cooke (2012) dalam Young (2013) mengukur perilaku manusia sebenarnya telah menjadi tantangan yang sulit bagi para peneliti akademis. Oleh karena itu, untuk memahami perilaku manusia dalam tindakan yang telah dilakukannya, banyak referensi studi menggunakan TPB (Fishbein dan Ajzein, 1975) atau (Ajzen, 1991). Teori ini telah mampu melakukan prediksi dalam berbagai studi (Gillet dan Udin, 20

05)  Pada bagian ini akan dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama akan membahas tentang teori dari planned behavior dan pada bagian kedua akan membahas penerapan planned behavior terhadap Whistleblowing.1.1 Teori Planned Behavior  TPB merupakan hasil dari perkembangan teori reasoned action (TRA) yang telah didesain untuk memberikan gambaran perilaku manusia dan telah berhasil memprediksi dan menjelaskan perilaku manusia melalui berbagai macam perlakuan (Ajzen, 1991; Carswell dan Venkatesh, 2002). Ajzen (1985) menambahkan predictor Perceivedbehavior control sebagai perluasan dari teori TRA.  TPB merupakan model dari perilaku manusia yang berfokus pada prediksi dan mampu menggambarkan secara jelas pemahaman tentang perilaku manusia. Teori ini menjelaskan bahwa seseorang bertindak sesuai dengan niat dan persepsi dari orang te

rsebut, dan kemudian secara bersamaan akan dipengaruhi oleh Sikap (Attitude), norma subjektif (Subjective norm) dan kontrol perilaku (Perceived behavior control) (Ajzen, 1991; Chen dan Li, 2010).  Shim, Eastlick, Lotz, & Warrington (2001), Attitude diakui sebagai evaluasipositif atau negatif dari sikap seseorang atas perilaku yang relevan dan hal yang dilakukan atas kesadaran pelakunya. East (1990) dalam Holdershaw dan Gendall (2008) menjelaskan bahwa kebanyakan manusia memiliki keyakinan positif dan negatif tentang sesuatu objek (misal: perilaku seseorang) sikap yang mereka tunjukan ialah berdasarkan apa yang mereka yakini. Subjective norm sebuah keyakinan normatif yang menjadi acuan dari persepsi seseorang terhadap diterima atau ditolaknyaperilaku seseorang. Perceived behavior control merupakan gambaran dari seseorang untuk mempersepsikan mudah atau tidaknya suatu tindakan dapat dilakukan.  / 

Sedangkan menurut Lee (2005) behavioral intention dapat dirumuskan sebagai berikut : 

Behavioral intention = w1 Attitude (A) + w2 Subjective norm (SN) + w3 Perceived behavior control (PBC) 

Sejak diperkenalkannya teori ini, TPB banyak mengalami kontroversi dan menjadi sasaran kritik dan perdebatan oleh beberapa peneliti. Beberapa peneliti bahkan menolak mentah-mentah teori yang menjelaskan tentang perilaku sosial tersebut

Page 5: Rescued Document

7/17/2019 Rescued Document

http://slidepdf.com/reader/full/rescued-document-568d0545f1426 5/9

(Ajzen, 2011 hal.1113) dan Barua (2013). Wegner dan Wheatley (1999) cenderung menolak kesadaran seseorang sebagai penyebab dari sikap dan perilaku seseorang. Ouellete dan Wood (1998) dan Sonmez dan Greafe (1998) justru menyatakan jika prediktor terbaik untuk menilai behavioral intention dan perilaku masa depan adalah perilaku masa lalu yang memiliki hubungan secara langsung maupun tidak langsung.  Greenwald dan Banaji (1995); Aarts dan Dijksterhuis (2000) dan Brandstatteret. al. (2001) mengungkapkan bahwa perilaku sosial kebanyakan manusia didorong o

leh sikap yang telah dimilkinya dan didorong oleh kesadaran mental seorang manusia. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Shim, Eastlick, Lotz, & Warrington(2001) menyatakan bahwa niat perilaku merupakan penyebab utama (proksi) bagi seseorang untuk bertindak dengan kesadaran yang penuh. Oleh karena itu, orang yangberbeda sangat mungkin memiliki keyakinan yang sama tentang berbagai objek tetapi sangat mungkin juga mereka memberikan persepsi atas evaluasi yang berbeda juga. Holdershaw dan Gendal (2008), keyakinan yang sama dapat mengakibatkan sikap yang berbeda, tergantung pada bobot penilaian yang diberikan. Oleh karena itu, setiap individu akan bervariasi dalam memberikan pendapat mereka tentang politik, dan lain hal, tergantung pada kekuatan dan pengaruh dari keyakinan yang dimilikiseseorang. Selain itu, dalam perjalanan hidup seseorang, pengalaman yang merekamiliki akan mengarah terhadap pembentukan keyakinan yang berbeda yang dimiliki i

ndividu terhadap objek, tindakan, sikap, dan peristiwa. Beberapa keyakinan dapat relatif stabil, sedangkan keyakinan dari sebagian individu yang lain dapat berubah-ubah atau bervariasi. Oleh karena itu, seperti keyakinan yang tidak statis,sikap juga mengalami perubahannya sesuai dengan keyakinan yang dimiliki.

1.2 Planned Behaviour pada Whistleblower  Pelanggaran terhadap etika dalam bekerja telah menyebabkan skandal akuntansi yang berdampak pada jatuhnya beberapa profil perusahaan besar seperti Enron dan World Com (MacNab dan Worthley, 2008 dalam Ghani et. al., 2011). Skandal ini pada umumnya lebih dikenal dengan kesalahan korporasi, dan terungkap karena adanya Whistleblower perusahaan, yang memiliki keyakinan atas sekecil apapun potensikesalahan yang dimiliki harus mendapat perhatian penanganan secara kolektif danmemiliki keprihatinan terhadap kondisi perusahaan. Bouville (2007) Whistleblower

 merupakan tindakan moral dari seorang profesionalisme, bukan merupakan pilihanuntuk melakukannya, namun bukan juga sebuah kewajiban yang memaksa seseorang untuk menjadi peniup peluit.  Beberapa studi telah memberikan gambaran bahwa keyakinan seseorang terhadapWhistleblower, mampu dirubah melalui beberapa perlakuan. Menurut penelitian Holdershaw dan Gendal (2008), keyakinan yang sama dapat mengakibatkan sikap yang berbeda, tergantung pada bobot penilaian yang diberikan.

Sedangkan menurut studi yang dilakukan oleh Trevino (1986) dan Stead, Worrel dan Stead (1990) Locus of control dan niat melakukan whistleblowing memiliki hubungan yang positif pada situasi tertentu. Goldman (2001) dan Brewer dan Selden(1998) lebih cenderung menjelaskan bahwa pengalaman bekerja yang tinggi mengakibatkan seseorang lebih memiliki niat yang besar untuk menjadi whistleblower dibanding dengan seseorang yang memiliki pengalaman bekerja yang sedikit. Trongnaterut dan Sweeney (2012), bahwa culture (budaya) dapat mempengaruhi seseorang untukmenjadi Whistleblower .

Sejalan dengan hasil studi yang dilakukan oleh Zhang, Chiu dan Wei (2008) yang menunjukan bahwa budaya etis memiliki dampak yang positif terhadap niat seseorang untuk menjadi whistleblower dilingkungan kerjanya. Trevino et. al. (1998) menyatakan bahwa perilaku dan karakteristik seseorang berbeda-beda, namun dalam lingkungan kerja manajerlah yang memiliki kendali terhadap lingkungan kerja tersebut. Sehingga menurut studi yang dilakukan oleh Sims (2007) mengatakan jika terdapat seseorang yang melakukan kecurangan, bukan berarti hanya orang tersebut memiliki sikap yang melanggar etika, namun bisa jadi lingkungan kerja orang tersebut yang memang terbiasa dengan kecurangan.  Pandangan seseorang terhadap whistleblower dapat dirubah dengan perlakuan ya

ng berbeda-beda. Zhang, Chiu dan Wei (2008) menyatakan dalam studinya, seseorang akan memilih menjadi whistleblower jika organisasi akan memberikan penghargaanatas perilaku etisnya, begitu juga sebaliknya.

Page 6: Rescued Document

7/17/2019 Rescued Document

http://slidepdf.com/reader/full/rescued-document-568d0545f1426 6/9

  Hasil beberapa studi tersebut diatas, memberikan gambaran bahwa Whistleblower mampu dibentuk oleh lingkungan kerja sehingga mampu merubah pandangan seseorang terhadap sesuatu objek, dalam hal ini Whistleblower.

Hasil tersebut sejalan dengan teori planned behavior yang diuraikan dalam studi (Ajzen, 1991; Chen dan Li, 2010), yang menjelaskan bahwa seseorang bertindak sesuai dengan niat dan persepsi dari orang tersebut, dan kemudian secara bersamaan akan dipengaruhi oleh Sikap (Attitude), norma subjektif (Subjective norm) da

n kontrol perilaku (Perceived behavior control). 

2. Good governance (GG)  Penilaian atas tata kelola yang baik (Good governance) diberbagai studi dananalisis ilmiah selalu bervariasi sesuai dengan kepentingan, kebutuhan dan budaya para peneliti. Beberapa penelitian berfokus pada korupsi sektor publik, yang lainnya mengambil fokus lebih luas, yang dapat mencakup unsur-unsur hak asasi manusia dan demokrasi di suatu negara, dan objeknya pun berbeda-beda, dari masyarakat sipil, sektor swasta, lembaga peradilan dan lembaga pemerintahan. Rasul (2009

) memberikan gambaran terhadap tiga pilar Good governance sebagai berikut :  / 

//  /// 

Studi ini berfokus pada pemahaman konsep good governance lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum sehingga mampu memberikan implikasi yang baik terhadappengungkapan perilaku tidak etis.  Indonesia sebagai negara demokratis, serta bebas mengeluarkan pendapat , menun

tut Indonesia mampu menyikapi dengan bijaksana dan bertanggungjawab. Konsep tersebut bertolak belakang dengan studi yang dilakukan oleh Naqvi et. al. (2011) menyatakan bahwa pemerintah yang baik adalah pemerintah yang tidak tergantung padademokrasi dan atau infrastruktur kelembagaan. Sebaliknya penentu utama dari pemerintahan yang baik adalah pemimpin yang bertanggunga jawab untuk membangun semua sistem yang diperlukan.  Bjorn Muller-Wille (2007) dalam Postolache (2013) menyatakan bahwa konsep akuntabilitas melibatkan aspek normatif yang kuat, termasuk didalamnya konsep keadilan, tanggung jawab, dan integritas. Perbaikan dalam akuntabilitas tidak hanyatentang memaksimalkan pengawasan formal saja, tetapi harus dipahami juga sebagai langkah menuju pemerintahan yang baik (good governance).

Dorasamy (2013) dalam studinya mengatakan bahwa budaya organisasi yang transparan dan akuntabel adalah budaya yang kondusif dan budaya yang sangat mendukung untuk memunculkan seorang whistleblower yang mampu digunakan untuk menangkal adanya perilaku tidak etis . Penelitian diberbagai bidang semakin mendukung gagasanbahwa good governance merupakan hal yang penting dalam meningkatkan efektifitaskinerja organisasi, (Taylor, 2000). Namun, menurut Bakman (2003), dukungan darimanajemen puncak juga sangat mempengaruhi dan memberikan kontribusi penting untuk menumbuhkan budaya whistleblowing yang berkelanjutan. Dukungan dari top manajemen tidak hanya akan menumbuhkan budaya transparan dan akuntabel, namun juga dapat memberikan efek zero tolerance terhadap pelaku kecurangan. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Taiwo (2015), menyatakan bahwa pemerintah mungkin tidak sepenuhnya mendukung adanya whistleblowing, karena dikhawatirkan whistleblower justru akan memberikan informasi kepada publik tentang semua ketidak etisan yang terjadi di organisasi tersebut dan akan memberikan penilaian buruk terhadap

organisasi tersebut. Oleh karena itu, diperlukan adanya budaya yang kuat dari pemerintah untuk mendukung pengungkapan rahasia sekaligus melindungi whistleblower. Dorasamy (2013) sangat penting bahwa manajemen harus secara eksplisit menunjuk

Page 7: Rescued Document

7/17/2019 Rescued Document

http://slidepdf.com/reader/full/rescued-document-568d0545f1426 7/9

an dukungan untuk whistleblowing. Tanpa memberikan dukungan untuk whistleblowing, berarti manajemen gagal untuk menunjukan akuntabilitas. Robinson dan robertson (2012), manajemen tidak seharusnya hanya menjadi pengamat dengan memberikan tanggung jawab terhadap karyawannya. Karena salah satu konsep good governance adalahregulatory quality.  Whistleblowing yang efektif mencerminkan pemerintahan yang bagus (good governance). Sehingga dapat disimpulkan dalam studi Dorasamy, selain laporan dari Goo

d governance yang baik, manajemen yang efektif dari whistleblowing juga bisa memberikan kontribusi positif terhadap atasan praktik-praktik tidak etis dilingkungan organisasi.

Ahmadi dan Homauni (2011) Good governance adalah model baru dalam pembangunan berkelanjutan, dalam model ini terdapat penekanan partisipasi dan kerjasama antara swasta, pemerintah dan masyarakat sipil sehingga negara dapat memanfaatkansemua kemampuan mereka untuk pengembangan.

Salminen dan Norrbacka (2010) banyak sekali konsep dan pengertian dari Goodgovernance yang menjadi prinsip, definisi dan nilai-nilai yang menjadi pembahasan dalam diskusi akademik internasional . Dikopoulo dan Mihiotis (2011) Menurut Bank dunia, Good governance didefinisikan sebagai cara kekuasaan dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya suatu negara untuk pembangunan nasional. Pemerintahan

 yang baik meliputi legitimasi, akuntabilitas, transparansi, keterbukaan dan peraturan hukum. Serupa dengan definisi tersebut, UNDP  (1997) mendefinisikan Good governance sebagai partisipatif, transparan dan akuntabel serta efektif dan adil yang mampu mendukung berjalannya aturan hukum secara adil, serta pemerintah mampu memastikan bahwa politik, sosial dan prioritas ekonomi mampu dialokasikan berdasarkan pembangunan yang merata.  Kauffman et. al. (2009) mendefinisikan Good governance kedalam enam dimensi  sebagai berikut :a. Voice and Accountability / Akuntabilitas  Akuntabilitas politik, dengan menguji tingkat penerimaan masyarakat terhadap kepemimpinan seorang eksekutif dengan menetapkan sistim pemilihan dan batas waktu menduduki jabatan.  Kaufmann et. al. (2011) menangkap persepsi sejauh mana warga di suatu negara m

ampu berpartisipasi dalam memilih pemerintah mereka, serta memiliki kebebasan berekspresi, kebebasan berserikat, dan memiliki media yang bebas menyampaikan informasi.b. Political Stability and Absence of Violence / Stabilitas politik dan keamanan.  Kaufmann et. al. (2011) mempersepsikan bahwa kepemerintahan akan berjalan stabil dan lancar, sehingga tidak akan terjadi kekerasan.c. Government Effectiveness / Kepemerintahan yang efektif  Kaufmann et. al. (2011) kualitas pelayanan publik dan kualitas pelayanan terhadap masyarakat yang efektif serta memiliki kualitas atas perumusan serta pembuatan kebijakan yang efektif.d. Regulatory QualityKaufmann et. al. (2011) kemampuan pemerintah untuk merumuskan kebijakan yang s

ehat serta peraturan yang mendukung pembangunan demi kepentingan masyarakat.e. Rule of Law / Asas kepastian hukum  Jaminan hukum seperti kesamaan perlakuan hukum, perlindungan dari campur tangan luar, eksploitasi terhadap lingkungan.  Kaufmann et. al. (2011) memepersepsikan sejauh mana pihak private mampu menumbuhkan kepercayaan dan mematuhi peraturan yang berlaku di masyarakat serta mampumenjaga penegakan hukum dimasyarakat.f. Control of Corruption / Pengendalian korupsi  Kaufmann et. al. (2011) mengontrol sejauh mana pejabat pemerintah mampu melakukan kendali atas kepentingan pribadi dan kepentingan kelompoknya untuk mereduksi tindak korupsi.

Sihag (2007) kedua dimensi pertama menggambarkan bagaimana kepemerintahan te

rpilih, digantikan dan dipantau. Kedua dimensi selanjutnya, menunjukkan kualitas perumusan dan pelaksanaan atas kebijakan pemerintah tersebut. Sedangkan dua dimensi terakhir adalah bagaimana pemerintahan tersebut menyikapi korupsi dan peneg

Page 8: Rescued Document

7/17/2019 Rescued Document

http://slidepdf.com/reader/full/rescued-document-568d0545f1426 8/9

akan hukum.3. Self efficacy  Schwarzer et. al. (1997), manusia memiliki kemampuan untuk mengkontrol dirinya. Jika orang tersebut mampu dan percaya terhadap pemecahan suatu masalah, maka mereka cenderung untuk melakukannya dan justru memiliki komitmen yang tinggi atas tindakannya itu. Konstruk pemahaman seperti ini telah dibahas dalam studi yang dilakukan oleh Bandura (1977), menyatakan bahwa keyakinan yang dipegang oleh s

eseorang terhadap kemampuan dan hasil yang akan diperoleh dari kerja kerasnya, maka akan mempengaruhi cara mereka berperilaku. Keyakinan ini dalam penelitian Bandura  disebut self efficacy.  Telah banyak penelitian yang menggunakan self efficacy sebagai variabel dalam studinya. Judge et. al. (2007) Self efficacy telah menjadi studi lebih dari 10.000 penelitian dari kurang lebih 25 tahun terakhir. Pada 2004 saja, rata-rata 1,67 artikel telah dipublikasikan. Seperti studi Judge dan Ilies (2002); Thomas,Moore dan Scott (1996) yang menghubungkan Big five traits terhadap Self efficacy. Dalam Schultz dan Schultz (2009) Bandura systems, Self efficacy mengacu pada perasaan memadai, efisiensi, kemampuan terhadap kompetensi dalam menjalani kehidupan.

Bandura (1986) dalam Lee dan Klein (2002) menyatakan bahwa Self-efficacy men

gacu pada penilaian individu terhadap kemampuan sendiri untuk mengatur dan melaksanakan gagasan untuk mencapai tujuan yang direncanakan. Hal ini mampu memberikan kontribusi terhadap studi ini bahwa seseorang mampu mencapai keinginan yang diinginkannya dengan keyakinan akan kemampuan diri yang dimilikiya. Pernyataan yang didukung oleh studi Bandura (1977), individual dengan Self-efficacy yang tinggi tidak akan mengalami kemunduran dalam proses pencapaian keinginannya, melainkan akan terus berusaha dengan usaha yang lebih besar. Individual dengan self-efficacy yang tinggi memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk tidak cepat puas, memiliki komitmen yang tinggi, lebih rajin dan efektif dalam mengembangkan pemecahan masalah dan memiliki langkah strategis dalam penyelesaiannya. Dengan konsep self-efficacy yang diuraikan dalam studi-studi diatas, maka sangat relevan jika self-efficacy dijadikan salah satu variabel penelitian dalam studi ini, karena dengan self-efficacy diharapkan mampu memberikan kontribusi yang positif terhad

ap minat responden untuk menjadi whistleblower. Bandura, (1977) Dengan kata lain, individu dengan tingkat efikasi yang tinggi akan lebih percaya diri dalam kapasitas mereka untuk melaksanakan sesuatu. Keyakinan tentang self-efficacy memiliki dampak yang signifikan pada tujuan dan prestasi terhadap motivasi dan pola reaksi emosional.

Dalam studi Shacklock et. al. (2013) dan Wurtele (1986) menggunakan empat proksi sumber self-efficacy yang diuraikan dalam studi Bandura (1977) yang dapat dirincikan sebagai berikut :a. Performance Accomplishments / Prestasi kerja  Bandura (1977) Performance Accomplishments merupakan sumber self-efficacy yang sangat berpengaruh karena didasarkan pada pengalaman pribadi pelakunya, keberhasilan mampu meningkatkan motivasi, sebaliknya kegagalan berulang mampu menurunkan motivasi. Wurtele (1986) telah melakukan eksperimen terhadap teori self-efficacy pada studi yang dilakukannya, dan hasilnya responden dengan self-efficacyyang tinggi dengan Performance Accomplishments menghasikan prestasi yang lebih baik dibandingkan dengan Performance Accomplishments yang rendah. 

b. Vicarious experience / Pengalaman

c. Verbal persuasion / Bujukan secara lisan

d.                   / Emosional

 

4. Situational factors5. Individual factors

Page 9: Rescued Document

7/17/2019 Rescued Document

http://slidepdf.com/reader/full/rescued-document-568d0545f1426 9/9

BAB IIIMETODE PENELITIAN3.1 Populasi dan Sampel

3.2 Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

3.3 Definisi operasional dan Pengukuran Variabel Penelitian

3.4 Pengujian Hipotesis

  CPI pada tahun 2014, posisi Indonesia membaik dengan berada pada urutan 107 dengan skor 34, jika dibandingkan dengan tahun 2013, dan berada pada urutan 114 dengan skor 32.  Pada tahun 2013, Transparency Internasional merilis 12 institusi terkorup di Indonesia yaitu : Kepolisian, Legislatif, Pengadilan, Partai politik, Pejabat publik, aspek bisnis, Sistem pendidikan, Pelayanan kesehatan, Militer, Organisasi kea

gamaan, Organisasi non pemerintahan dan Media.  Penelitian Ndikumana(2006) dengan sampel negara-negara Sub-Saharan Afrika. Kategori negara miskin berdasarkan data dari UNECA (2005) dan UNDP (2005).

  Penelitian-penelitian yang berkaitan dengan dampak dari korupsi dapat dilihat dilampiran.  Penelitian Asongu (2014) memproksikan Globalisasi kedalam perdagangan terbuka dan liberalisasi keuangan  Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1975 tentang sumpah janji pegawai negeri sipil.Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2004 tentang pembinaan jiwa korps dan kode etik pegawai negeri sipil.  Studi yang dilakukan oleh Trongnaterut dan Sweeney (2012) didua negara; Thailand

 dan Amerika, memberikan hasil signifikan bahwa budaya yang dimiliki oleh keduanegara mempengaruhi seseorang untuk bertindak sebagai whistleblower.  Berdasarkan atas undang-undang dasar (UUD) 1945 pasal 28 dan undang-undang nomor 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum  Dorasamy (2013), bahwa 91,45% responden sepakat bahwa praktek tidak etis disebabkan oleh budaya organisasi yang buruk. Ini adalah indikasi bahwa karyawan memahami perilaku etis sebagai bagian integral yang terdapat dalam organisasi yang berintegritas, jujur dan loyal.  Dalam studinya, Salminen dan Norrbacka menguraikan bahwa USA, European union dan British, memiliki perbedaan dalam konsep Good governance.  United Nations Development Programme (UNDP) policy document tahun 1997  Beberapa penelitian bersumber pada Governance matters VIII (Policy Research Working Paper 4978) periode 1996-2008.  Dalam studinya yang berjudul The 100 most eminent psychologists of the 20th century, Haggbloom et. al. menempatkan Bandura pada peringkat keempat.