referat fiks tht rsmm

43
REFERAT ABSES LEHER DALAM Pembimbing : dr. Anna Maria Suciaty, Sp.THT Disusun Oleh : Fitri Nur Laeli, S.Ked 030.09.093 0 | Abses Leher Dalam

Upload: santy-zakiyyah

Post on 28-Oct-2015

50 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Fiks Tht Rsmm

REFERAT

ABSES LEHER DALAM

Pembimbing :

dr. Anna Maria Suciaty, Sp.THT

Disusun Oleh :

Fitri Nur Laeli, S.Ked

030.09.093

KEPANITERAAN KLINIK THT

RUMAH SAKIT DR. H. MARZOEKI MAHDI – BOGOR

0 | A b s e s L e h e r D a l a m

Page 2: Referat Fiks Tht Rsmm

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

PERIODE 10 JUNI -13 JULI 2013

LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Fitri Nur Laeli

NIM : 030.09.093

Judul Referat : Abses Leher Dalam

Referat ini telah disetujui oleh dokter pembimbing untuk dijadikan salah satu syarat

mengikuti kepaniteraan klinik ilmu kesehatan THT periode 10 Juni 2013 sampai dengan 30

Maret 2013 di RS DR. H. Marzoeki Mahdi, Bogor

Yang bertanda tangan dibawah ini,

Dokter Pembimbing

dr. Anna Maria Suciaty, Sp.THT

1 | A b s e s L e h e r D a l a m

Page 3: Referat Fiks Tht Rsmm

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT, karena atas berkat izin-Nya

lah saya dapat menyelesaikan tugas referat dalam kepaniteraan klink Ilmu Kesehatan Telinga

Hidung Tenggorok Kepala dan Leher di RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor, mengenai “Abses

Leher Dalam”.

Terimakasih kepada dokter pembimbing saya, dr Anna Maria Suciaty, Sp THT yang

telah membimbing saya dalam menjalani kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan THT ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tugas ini, banyak kendala yang dihadapi, namun

tidak luput dari bantuan, dorongan dan semangat dari semua pihak sehingga setiap kendala

dapat teratasi.

Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kami dan para pembaca pada umumnya.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan

saran yang membangun diharapkan dari pembaca sekalian.

Bogor, 29 Juni 2013

Fitri Nur Laeli

2 | A b s e s L e h e r D a l a m

Page 4: Referat Fiks Tht Rsmm

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………………………….. 1

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………… 2

DAFTAR ISI …………………………………………………………………………….. 3

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………….. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………….. 5

2.1

Anatomi Leher …………………………………………………… 5

Ruang Potensial Leher Dalam ……………………………………. 6

2.2 Definisi …………………………………………………………… 9

2.3 Epidemiologi ……………………………………………………... 9

2.4 Etiologi dan Patogenesis …………………………………………. 10

2.5 Infeksi Leher Dalam

2.5.1 Abses Peritonsil ………………………………………………….. 12

2.5.2 Abses Retrofaring ………………………………………………… 15

2.5.3 Abses Parafaring …………………………………………………. 19

2.5.4 Abses Submandibula …………………………………………….. 21

2.5.5 Angina Ludovici …………………………………………………. 25

BAB III KESIMPULAN …………………………………………………………... 29

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………….. 30

3 | A b s e s L e h e r D a l a m

Page 5: Referat Fiks Tht Rsmm

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi yang terjadi pada telinga, hidung dan tenggorokan dapat bermanifestasi

menjadi abses pada leher dalam bila tidak ditangai dengan tepat. Sumber infeksi paling sering

pada abses leher dalam berasal dari infeksi tonsil dan gigi. Sumber infeksi yang lainnya

adalah mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana

yang terlibat.

Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka

mulut dan leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam.

Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman

anaerob Bacteriodes atau kuman campuran. Abses leher dalam, dapat berupa abses peritonsil,

abses retrofiring, abses parafaring, abses submandibular dan angina Ludovici.

Abses leher dalam dapat mengancam jiwa bila terjadi komplikasi seperti obstruksi

jalan napas, kelumpuhan sara kranial, mediastinitis, dan kompresi hingga rupture arteri

karotis interna. Lokasinya yang terletak di dasar mulut dapat menjadi ancaman yang sangat

serius. Namun komplikasi ini sudah jarang terjadi sejak diperkenalkannya antibiotik, hygiene

mulut yang meningkat, angka kematian yang terjadi menjadi lebih rendah

Disamping drainase abses yang optimal, pemberian antibiotic diperlukan untuk terapi

yang adekuat, sehingga diperlukan pemeriksaan kultur kuman dan uji kepekaan antibiotic

terhadap kuman, namun hal ini memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga diperlukan

pemberian antibiotik secara empiris.

Pengetahuan anatomi fasia dan ruang-ruang potensial leher secara baik, serta

penyebab abses eher dalam mutlak diperlukan untuk dapat memperkirakan perjalanan

penyebaran infeksi dan penatalaksanaan yang adekuat.

4 | A b s e s L e h e r D a l a m

Page 6: Referat Fiks Tht Rsmm

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI LEHER

Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh fasia servikal.

Fasia servikal dibagi menjadi dua yaitu fasia superfisial dan fasia profunda. Kedua fasia ini

dipisahkan oleh otot platisma yang tipis dan meluas ke anterior leher.

Otot platisma sebelah inferior berasal dari fasia servikal profunda dan klavikula serta

meluas ke superior untuk berinsersi di bagian inferior mandibula.

Fasia superfisial merupakan jaringan konektif yang terletak dibawah dermis. Fasia ini

secara sempurna mengelilingi leher, tipis dan sulit untuk didemonstrasikan. Fasia ini

berisikan platysma dan vena-vena superfisialis. Fasia profunda mengelilingi daerah leher

dalam dan terdiri dari 3 lapisan, yaitu:

- Lapisan superfisial

o lapisan ini juga dikenal dengan sebutan lapisan selimut (investing layer).

Lapisan ini mengelilingi leher, membungkus muskulus

sternokleidomastoideus, dan muskulus trapezius Selain otot, lapisan ini juga

membungkus kelenjar submandibular dan parotis. Ruangan yang terbentuk

adalah trigonum coli posterior di kedua sisi lateral leher dan ruang

suprasternal Burns.

- Lapisan tengah

o lapisan ini juga dikenal dengan nama lapisan viseral yang mencakup fasia

pretiroid dan pretrakea. Lapisan ini dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian

muskular yang membungkus muskulus infrahyoid dan bagian viseral yang

membungkus faring, laring, esofagus, kelenjar tiroid, dan trakea.

- Lapisan dalam.

o Lapisan dalam ini berasal dari prosesus spinosus dari tulang vertebra servikal

dan ligamentum nuchae. Pada prosesus transversus dari tulang vertebra

5 | A b s e s L e h e r D a l a m

Page 7: Referat Fiks Tht Rsmm

servikal, lapisan ini terbagi menjadi lapisan alar anterior dan lapisan alar

prevertebra posterior. Fasia alar memanjang dari dasar tengkorak ke tulang

vertebra torak ke-2, dan bersatu dengan fasia viseral. Fasia ini terletak diantara

lapisan viseral dan lapisan prevertebra. Fasia prevertebra terletak di sebelah

anterior dari corpus vertebra dan memanjang sepanjang kolumna vertebralis.

Fasia ini berjalan secara sirkumferensial mengelilingi leher dan membungkus otot-

otot vertebralis, otot-otot profunda trigonum coli posterior, dan otot scalene. Lapisan fasia ini

mengelilingi pleksus brakialis dan pembuluh subkalvian dan berlanjut di tepi lateral sebagai

vagina aksilaris.

6 | A b s e s L e h e r D a l a m

Page 8: Referat Fiks Tht Rsmm

Ruang potensial leher dalam

Ruang potensial leher

dalam dibagi menjadi ruang yang

melibatkan daerah sepanjang

leher, ruang suprahioid dan ruang

infrahioid.

Ruang yang melibatkan

sepanjang leher terdiri

dari:

ruang retrofaring

ruang bahaya (danger space)

ruang prevertebra.

Ruang suprahioid terdiri dari:

ruang submandibula

ruang parafaring

ruang parotis

ruang mastikor

7 | A b s e s L e h e r D a l a m

Page 9: Referat Fiks Tht Rsmm

ruang peritonsil

ruang temporalis.

Ruang infrahyoid terdiri dari

Ruang visceral

Ruang karotis

Ruang retropharyngeal

Ruang serviks posterior

Ruang perivertebral

8 | A b s e s L e h e r D a l a m

Page 10: Referat Fiks Tht Rsmm

2.2 DEFINISI

Abses adalah sekumpulan nanah setempat yang terkubur dalam jaringan, organ, atau

rongga tertutup. Proses ini merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah

penyebaran/perluasan infeksi ke bagian lain dari tubuh.

Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam

sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus

paranasal, telinga tengah dan leher.

2.3 EPIDEMIOLOGI

Huang dkk, dalam penelitiannya pada tahun 1997 sampai 2002, menemukan kasus

infeksi leher dalam sebanyak 185 kasus. Abses submandibula (15,7%) merupakan kasus

terbanyak ke dua setelah abses parafaring (38,4), diikuti oleh Ludwig’s angina (12,4%),

parotis (7%) dan retrofaring (5,9%).

Yang dkk, pada 100 kasus abses leher dalam yang diteliti April 2001 sampai Oktober

2006 mendapatkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan 3:2. Lokasi abses lebih dari

9 | A b s e s L e h e r D a l a m

Page 11: Referat Fiks Tht Rsmm

satu ruang potensial 29%. Abses submandibula 35%, parafaring 20%, mastikator 13%,

peritonsil 9%, sublingual 7%, parotis 3%, infra hyoid 26%, retrofaring 13%, ruang karotis

11%.

Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang selama 1 tahun terakhir (Oktober

2009 sampai September 2010) didapatkan abses leher dalam sebanyak 33 orang, abses

peritonsil 11 (32%) kasus, abses submandibula 9 (26%) kasus, abses parafaring 6 (18%)

kasus, abses retrofaring 4 (12%) kasus, abses mastikator 3(9%) kasus, abses pretrakeal 1

(3%) kasus

2.5 ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Sebelum meluasnya penggunaan antibiotik, 70% kejadian abses leher dalam

disebabkan oleh penyebran infeksi melalui tonsil dan faring. Saat ini, tonsilitis adalah

penyebab tersering pada abses leher dalam di anak, sedangkan pada dewasa sering

disebabkan pada infeksi gigi. Penyebab dari infeksi abses leher dalam meliputi:

a. Infeksi tonsil dan faring

b. Infeksi pada gigi

c. Prosedur bedah mulut

d. Infeksi atau obstruksi dari kelenjar saliva

e. Trauma pada rongga mulut dan faring

f. Aspirasi benda asing

g. Kista duktus tiroglosus

h. Tiroiditis

i. Mastoiditis

j. Laryngopyocele

k. Penggunaan obat IV

l. Nekrosis dan supurasi dari tumor atau keganasan kelenjar getah bening servikal

Sebanyak 20-50% dari abses leher dalam tidak diketahui etiologinya. Pertimbangan

penyebab lainnya adalah imunosupresi pada infeksi HIV, kemoterapi atau akibat obat

imunosupresan pada pasien transplantasi. Kejadian abses meningkat disebabkan oleh bakteri

atypical dan komplikasi yang lebih berat.

10 | A b s e s L e h e r D a l a m

Page 12: Referat Fiks Tht Rsmm

Pembentukan abses merupakan hasil perkembangan dari flora normal dalam tubuh. Flora

normal dapat tumbuh dan mencapai daerah steril dari tubuh baik secara perluasan langsung

maupun melalui laserasi atau perforasi. Berdasarkan kekhasan flora normal yang ada di

bagian tubuh tertentu, maka kuman dari abses yang terbentuk dapat diprediksi berdasar

lokasinya. Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman, baik

kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob.

Pada kebanyakan membran mukosa, kuman anaerob lebih banyak dibanding dengan

kuman aerob dan fakultatif, dengan perbandingan mulai 10:1 sampai 10000:1. Bakteriologi

dari daerah gigi, oro-fasial, dan abses leher, kuman yang paling dominan adalah kuman

anaerob yaitu, Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium spp, dan Peptostreptococcus spp.

Bakteri aerob dan fakultatif adalah Streptococcus pyogenic dan Stapylococcus aureus.

Kuman Penyebab Abses leher dalam

Jenis KumanJumlah pasien

% kultur

+Streptococcus viridansStaphylococcus epidermidisStaphylococcus aureusBactroides SpStreptococcus β-haemolyticusKlebsiella pneumoniaStreptococcus pneumoniaMycobacterium tbAnaerob gram negatifNeisseria spPeptostreptococcusJamurEnterobacterBacillus spPropionibacteriumAcinetobacterActinimicosis israeliiProteus spKlepsiella sp BifidobacteriumMicroaerophilic streptococcusEnterococcus spMoraxtella catarrhalisDan lain-lain

6346

352234

1110109888766533333

32

3928

221421

6,86,26,25,54,94,94,94,33,73,73,11,91,91,91,91,9

1,91,26,8

11 | A b s e s L e h e r D a l a m

Page 13: Referat Fiks Tht Rsmm

Pola kuman penyebab abses leher dalam berbeda sesuai dengan sumber infeksinya.

Infeksi yang berasal dari orofaring lebih banyak disebabkan kuman flora normal di saluran

nafas atas seperti streptokokus dan stafilokokus. Infeksi yang berasal dari gigi biasanya lebih

dominan kuman anaerob seperti, Prevotella, Fusobacterium spp,.

Penyebaran abses leher dalam dapat melalui beberapa jalan yaitu hematogen,

limfogen, dan celah antar ruang leher dalam. Beratnya infeksi tergantung dari virulensi

kuman, daya tahan tubuh dan lokasi anatomi.

Infeksi dari submandibula dapat meluas ke ruang mastikor kemudian ke parafaring.

Perluasan infeksi ke parafaring juga dapat langsung dari ruang submandibula. Selanjutnya

infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.

2.5 INFEKSI LEHER DALAM

Gejala klinis abses leher dalam secara umum sama dengan gejala infeksi pada

umumnya yaitu, demam, nyeri, pembengkakan, dan gangguan fungsi.1-3 Abshirini H, dkk4

melaporkan gejala klinis dari abses leher dalam pada 147 kasus didapatkan: bengkak

pada leher 87%, trismus 53%, disfagia 45%, dan odinofagia 29,3%. Berdasarkan ruang yang

dikenai akan menimbulkan gejala spesifik yang sesuai dengan ruang potensial yang terlibat.

2.5.1 ABSES PERITONSIL

Epidemiologi

Abses peritonsil dapat ditemukan dalam rentang usia 10 hingga 60 tahun, namun kebanyakan

terjadi pada usia rentang 20 – 40 ahun. Pada anak-anak juga dapat terjadi walaupun

insidennya rendah, biasanya dapat terjadi dikarenakan kondisi imunocompromised.

Gejala Klinik

Gejala yang pertama kali muncul

adalah nyeri tenggorok. Terjadinya

demam dan gejala lainnya akan

berkembang seiring perjalanan abses.

12 | A b s e s L e h e r D a l a m

Page 14: Referat Fiks Tht Rsmm

Periode dari infeksi menjadi abses dapat terjadi dalam waktu 2-5 hari. Gejala yang dapat

terjadi:

Pembengkakan dari mulut dan tenggorok pada daerah inflamasi

Letak uvula kontralateral dengan focus infeksi

Kelenjar getah bening di leher membesar dan konsistensinya lunak

Nyeri menelan, demam, menggigil, spasme pada mulut (trismus) dan leher

(torticollis)

Nyeri telinga pada bagian yang sama (sejajar) dengan abses

Hot potato voice

Sulit menelan ludah

Patologi

Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu

infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil terserig menempati daerah in, sehingga

tampak palatum mole membengkak. Walaupun sangat jarang, abses peritonsil dapat terbentuk

di bagian inferior. Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak

permukaannya hiperemis. Bila proes berlanjut, terjadi supurasi sehinga daerah tersebut lebih

lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula kea rah kontralateral. Bila

proses berlangsung terus, peradangan jaringan disekitarnya kaan menyebabkan iritasi pada

m.pterigoid interna, sehingga timbu trismus. Abses dapat peh spontan, mungkin dapat terjadi

aspirasi ke paru.

Diagnosis

Mendiagnosis pasien dengan abses peritonsil dapat dilakukan berdasarkan anamnesis tentang

riwayat penyakit, gejala klinis dan pemeriksaan fisik penderita. Aspirasi dengan jarum pada

daerah yang paling fluktuatif atau punksi merupakan tindakan diagnosis yang akurat untuk

memastikan abses peritonsil.

Untuk mengetahui jenis kuman pada abses peritonsil tidak dapat dilakukan dengan

cara usap tenggorok. Pemeriksaan penunjang akan sangat membantu selain untuk diagnosis

juga untuk perencanaan penatalaksanaan. Pemeriksaan secara klinis seringkali sukar

dilakukan karena adanya trismus. Pemeriksaan

laboratorium darah berupa faal hemostasis,

terutama adanya leukositosis sangat membantu

diagnosis

13 | A b s e s L e h e r D a l a m

Page 15: Referat Fiks Tht Rsmm

Pemeriksaan radiologi, dapat berupa foto rontgen polos, ultrasonografi dan tomografi

computer. Saat ini ultrasonografi telah dapat mendiagnosis abses peritonsil secara spesifik

dan dapat digunakan sebagai alternative pemeriksaan. Mayoritas kasus yang diperiksa

menampakkan gambaran cincin isoehoid dengan gambaran sentral hypoechoic

Terapi

Penatalaksanaan yang umum dikenal untuk abses peritonsil adalah insisi, drainase dan

terapi antibiotika diikuti oleh tonsilektomi beberapa minggu kemudian.

1. Terapi antibiotika

Salah satu factor yang masih merupakan kontroversi dalam penanganan abses

peritonsil adalah pemilihan terapi antibiotika sebelum dan sesudah pembedahan.

Antbiotika pada gejala awal diberikan dalam dosis tinggi disertai dengan obat

simptomatik, kumur kumur dengan cairan hangat dan kompres hangat pada leher

(untuk mengendurkan tegangan otot). Penisilin dan sefalosporin (generasi pertama

kedua atau ketiga) biasanya merupakan obat pilihan. Penisilin dalam dosis tinggi

sebagai obat pilihan diberikan dengan mempertimbangkan kontraindikasi seperti

alergi atau timbulnya kemungkinan adanya reaksi koagulasi organisme penisilin

digunakan untuk penderita yan disebabkan olh kuman Staphylococcus. Metronidazole

merupakan antibiotika yang sangat baik untuk infeksi anaerob. Tetrasiklin merupakan

antibiotika yang sangat baik bagi orang dewasa, meskipun klindamisin saat ini

dipertimbangkan sebagai antibiotic pilihan untuk menangani bakteri yang

memproduksi betalaktamase

2. Insisi dan drainase

Tujuan dari tindakan ini adalah mendapatkan drainase abses yang adekuat dan

terlokalisir secara cepat. Lokasi insisi biasanya dapat diidentifikasi pada

pembengkakan di daerah pilar-pilar tonsil atau dipalpasi pada daerah yang paling

berfluktuasi.

3. Tonsilektomi

Tindakan pembedahan pada abses peritonsilmerupakan topic yang kontroversial sejak

beberapa abad. Filosofi tindakannya karena berdasakan pemikiran bahwa

kekambuhan pada penderita absesterjadi cukup banyak, sehingga tindakan 14 | A b s e s L e h e r D a l a m

Page 16: Referat Fiks Tht Rsmm

pengangkatan kedua tonsil ini dilakukan untuk memastikan tidak terjadinya

kekambuhan. Waktu pelaksanaan tonsilektomi bervariasi :

a. Tonsilektomi a chaud : dilakukan segera / bersamaan dengan drainase abses

b. Tonsilektomi a tiede : dilakukan 3 – 4 hari setelah insisi dan drainase

c. Tonsilektomi a froid : dilakukan 4 – 6 minggu setelah drainase

Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi ialah penjalaran ke ruang parafaring, ruang

vaskuler visera, mediastinitis, obstruksi jalan nafas sampai asfiksia, bila pecah spontan dapat

menyebabkan penummonia aspirasi dan abses paru.

2.5.2 ABSES RETROFARING

Epidemiologi

Abses retrofaring jarang ditemukan dan lebih sering terjadi pada anak dibawah usia 5

tahun. Hal ini terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe.

Penelitian selama 35 tahun terhadap anak-anak yang di terapi di Children’s Hospital, Los

Angeles dijumpai sebanyak 50% kasus berusia kurang dari 3 tahun dan 71% kasus berusia

kurang dari 6 tahun. Sedangkan di Sydney, Australia didapati sebanyak 55% kasus berusia

kurang dari 1 tahun, dimana 10% diantaranya dijumpai pada periode neonatus.

Etiologi

Secara umum abses retrofaring terbagi menjadi dua jenis, yatu:

1. Akut

Sering terjadi pada anak-anak berumur dibawah 4 – 5 tahun. Keadaan in terjadi akibat

infeksi pada saluran nafas atas seperti pada adenoid, nasofaring, rongga hidung, sinus

paranasal dan tonsil yang meluas ke kelenjar limfe retrofiring (limfadenitis) sehingga

menyebabkan supurasi pada daerah tersebut. Sedangkan pada orang dewasa terjadi

akibat infeksi langsung olehkarena trauma penggunaan instrument (intubasi endotrakea,

endoskopi sewaktu adenoidektomi) atau benda asing.

2. Kronis

15 | A b s e s L e h e r D a l a m

Page 17: Referat Fiks Tht Rsmm

Biasanya terjadi pada orang dewasa atau anak-anak yang lebih tua. Keadaan ini terjadi

akibat infeksi tuberculosis (TBC) pada vertebra servikalis dimana pus secara langsung

menyebar melalui ligamentum longitudinal anterior . selain itu abses dapat terjadi akibat

infeksi TBC pada kelenjar limfe retrofiring yang menyebar dari kelenjar limfe servikal.

Gejala Klinik

Gejala dari abses retrofaring berbeda pada dewasa, anak dan infant,

1. Gejala pada dewasa berupa nyeri tenggorok, demam, disfagia, odinofagia, nyeri leher

dan dyspnea

2. Gejala pada anak yang usianya lebih dari 1 tahun berupa nyeri tenggorok (84%), demam

(64%), kekakuan leher (64%), odinofagia (55%), batuk

3. Gejala pada infant berupa demam (85%), pembengkakan leher (97%), oral intake yang

sangat buruk (55%), rinorhea (55%), lethargy (38%), dan batuk (33%)

Pada bentuk yang kronis, perjalanan penyakit lambat dan tidak begitu khas sampai terjadi

pembengkakan yang besar dan menumbat hidung serta saluran nafas.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran napas bagian atas atau

trauma, gejala dan tanda klinik pada abses retrofaring. Pada pemeriksaan darah rutin akan

didapatkan hasil lekositosis. Hasil kultur specimen dari hasil aspirasi juga dapat menegakkan

diagnosis, serta pemeriksaan penunjang foto rontgen jaringan lunak leher lateral.

Pada foto rontgen akan tampak pelebaran ruang retrofaring (level C2) lebih dari 7 mm

pada anak dan dewasa serta pelebaran retrotrakeal (level C6) lebih dari 14 mm pada anak dan

16 | A b s e s L e h e r D a l a m

Page 18: Referat Fiks Tht Rsmm

lebih dari 22 mm pada orang dewasa. Selain itu juga dapat terlihat berkurangnya lordosis

vertebra servikal akibat spasme dari otot prevertebral.

Radiografi  jaringan lunak lateral leher menunjukkan bayangan jaringan lunak

yang jelas antara saluran udara faring dan korpus vertebra servikalis. Pada fase akut dapat

ditemukan air-fluid level dan gas. Pada fase kronis ditemukan bayangan homogenous pada

prevertebral. Laring dan trakea ditunjukkan dalam posisi ke arah depan. Jika terdapat

keraguan mengenai radiografi, maka dapat dipertegas dengan radiografi penelanan barium.

Pilihan lain bila hasil pemeriksaan rontgen belum jelas, dapat digunakan CT Scan dan

MRI.

Terapi

Terapi yang dapat dilakukan terbagi menjadi tiga langkah, yaitu:

1. Mempertahankan jalan napas yang adekuat:

a. Posisi pasien supine dengan leher ekstensi

b. Pemberian O2

c. Intubasi endotrakea dengan visualisasi langsung / intubasi fiber optic

d. Trakeostomi / krikotirotomi

2. Medika Mentosa

a. Antibiotik

Pemberian antibiotic secara parenteral sebaiknya diberikan secepatnya tanpa

menunggu hasil kultur pus. Antibiotic yang diberikan harus mencakup terhadap

kuman aerob dan anaerob, gram positif dan gram negative. Pilihan utama adalah

Klindamisisn yang dapat diberikan tersendiri atau kombinasi dengan sefalosporin

generasi kedua (seperti cefuroxime) atau beta lactamase – resistant penicillin seperti

ticarcillin / clavulanate, piperacillin / tazobactam, ampicillin / sulbactam. Pemberian

antibiotic biasanya dilakukan selama lebih kurang 10 hari.

b. Simptomatis

c. Bila terdapat dehidrasi, diberikan cairan untuk memperbaiki keseimbangan

d. Simtomatis

e. Bila terdapat dehidrasi, diberikan cairan untuk memperbaiki keseimbangan

f. Pada infeksi Tuberkulosis diberikan obat tuberkulostatika.

3. Operatif

17 | A b s e s L e h e r D a l a m

Page 19: Referat Fiks Tht Rsmm

a. Aspirasi pus (needle aspiration)

b. Insisi dan drainase

Jalan napas harus dilindungi, kepala direndahkan sehingga pengeluaran pus tidak

akan di aspirasi, dan dengan menggunakan pisau scalpel tajam yang kecil dilakukan

insisi vertika yang pendek pada titik dimana pembengkakan paling besar.

Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi ialah (1) penjalaran ke ruang parafaring, ruang vaskuler

visera, (2) mediastinitis, (3) obstruksi jalan napas sampai asfiksia, (4) bila pecah spontan,

dapat menyebkan pneumonia dan abses paru. Asfiksia karena aspirasi debris septik dan

perdarahan merupakan komplikasi abses retrofaring yang ditakuti. Asfiksia terjadi waktu

memasukkan alat ke mulut untuk pemeriksaaan dan drainase atau akibat pecahnya abses yang

besar tiba-tiba, sehingga memenuhi laring dengan pus. Jika terjadi perdarahan, dapat

dilakukan ligasi arteri karotis interna pada sisi yang terkena untuk mengendalikan

perdarahan. Infeksi pada ruang ini dapat meluas ke mediastinum dengan akibatnya terjadi

mediastinitis. Dispnea, nyeri dada, takikardi, demam, dan mediastinum yang melebar

merupakan tanda-tanda mediastinitis.

2.5.3 ABSES PARAFARING

Etiologi

Abses parafaring dapat terjadi

setelah infeksi faring, tonsil, adenoid,

gigi, parotis, atau kelenjar limfatik. Pada

banyak kasus abses parafaring merupakan

perluasan dari abses leher dalam yang

berdekatan seperti; abses peritonsil, abses

submandibula, abses retrofaring maupun mastikator.

18 | A b s e s L e h e r D a l a m

Page 20: Referat Fiks Tht Rsmm

Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara:

(1) Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melaukan tonsilektomi dengan analgesia.

Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang telah terkontaminasi kuman menembus

lapisan otot tipis (M. Konstriktor Faring Superior) yang memisahkan ruang parafaring dari

fosa tonsilaris.

(2) Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus

paranasal, mastoid (mastoiditis sebagai komplikasi dari otitis media dengan penetrasi dari

digastric ridge/ abses Bezold. Pasien biasanya memiliki infeksi telinga dengan spasme dari

m.sternocleidomastoid dan kepala cenderung fleksi dan rotasi kea rah berlawanan) dan

vertebra servikalis dapat merupakan sumber infeksi untuk terjadinya abses ruang parafaring.

(3) Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula.

Gejala Klinik

Gejala dan tanda utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus

mandibula, demam tinggi, odinofagia, torticollis. Jika infeksi meluas dari faring ke ruang ini,

pasien akan menunjukkan trismus yang jelas. Hal ini disebabkan karena kompartemen

prestyloid terdapat kompartemen otot yang berdekatan dengan fossa tonsilaris secara medial

dan m.ptyerigoid interna. Sedangkan dinding faring lateral akan terdorong ke medial, seperti

pada abses peritonsilaris. Infeksi ini sebaiknya selalu dilakukan drainase melalui insisi

vertikal. Dalam melakukan insisi drainase abses peritonsilar harus dilakukan palpasi karena

pulsasi di daerah tersebut dapat menunjukkan adanya aneurisma dari a.karotid interna.

Pembengkakan di dinding lateral orofaring tanpa adanya inflamasi akut dan trimus tidak

selalu merupakan abses parafaring atau peritonsil, namun harus dicurigai tumor atau

aneurisma. Penyebab infeksi saluran pernafasan mungkin sudah terjadi resolusi ketika pasien

datang sehingga anamnesis onset kejadian penting.

19 | A b s e s L e h e r D a l a m

Page 21: Referat Fiks Tht Rsmm

3.3.3. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda klinik.

Pemeriksaan penunjang berupa foto polos jaringan lunak leher dan tomografi komputer. Foto

jaringan lunak leher antero-posterior dan lateral merupakan prosedur diagnostik yang

penting. Pada pemeriksaan foto jaringan lunak leher pada kedua posisi tersebut dapat

diperoleh gambaran deviasi trakea, udara di daerah subkutis, cairan di dalam jaringan lunak

dan pembengkakan daerah jaringan lunak leher.

Keterbatasan pemerikasaan foto polos leher adalah tidak dapat membedakan antara

selulitis dan pembentukan abses. Pemeriksaan foto toraks dapat digunakan untuk

mendiagnosis adanya edema paru, pneumotoraks, pneumomediastinum atau pembesaran

kelenjar getah hilus. Pemeriksaan tomografi komputer dapat membantu menggambarkan

lokasi dan perluasan abses. Dapat ditemukan adanya daerah densitas rendah, peningkatan

gambaran kontras pada dinding abses dan edema jaringan lunak disekitar abses. Pemeriksaan

kultur dan tes resistensi dilakukan untuk mengetahui jenis kuman dan pemberian anitbiotika

yang sesuai. Bila meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto rontgen

jaringan lunak AP atau CT Scan.

Terapi

Untuk terapi diberi antibiotik dosis tinggi secara parenteral terhadap kuman aerob dan

anaerob. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan antibiotika

dalam 24-48 jam dengan cara eksplorasi insisi dari luar dan intra oral.

20 | A b s e s L e h e r D a l a m

Page 22: Referat Fiks Tht Rsmm

Insisi dari luar dilakukan dua setengah jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara

tumpul eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior m.pterigoid interna mencapai ruang

parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di selubung karotis, insisi

dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horozontal ke bawah di depan

m.sternokleidomastoideus (cara Mosher)..

Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan memakai klem arteri

eksplorasi dilakukan dengan menembus m.konstriktor faring superior ke dalam ruang

parafaring anterior. Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan terhadap

insisi eksternal. Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.13 (idem)

Komplikasi

Komplikasi yang paling berbahaya pada ruang parafaring adalah terkenanya

pembuluh darah sekitarnya. Dapat terjadi romboflebitis septik vena jugularis. Juga dapat

terjadi perdarahan massif yang tiba tiba akibat dari erosi arteri karotis interna. Komplikasi ini

juga dapat memberikan kesan dengan adanya perdarahan awal yang kecil (perdarahan

tersamar). Jika diduga terjadi komplikasi ini dan rencana akan di buat untuk drainase dari

abses, maka identifikasi arteri karotis interna harus dilakukan. Dengan demikian, jika terjadi

perdarahanketika dilakukan drainase abses, maka dapat segera dilakukan ligase arteri karotis

interna atau arteri karotis komunis (boieis)

2.5.4 ABSES SUBMANDIBULA

Etiologi

Ruang potensial ini terletak berdekatan dengan spatium faringomaksilaris. Ruang ini

termasuk otot pterigoideus interna, otot maseter, dan ramus mandibula. Walaupun infeksi

pada spatium faringomaksilaris yang berdekatan terutama akibat infeksi pada faring, ruang

mastikator paling sering terkena sekunder dari infeksi yang berasal dari gigi. Penyebab

lainnya adalah infeksi pada kelenjar air liur dan sinus. Kuman dapat berupa aerob dan

anaerob.

Patogenesis

Penyebab abses ini yang paling sering adalah infeksi gigi. Nekrosis pulpa karena

karies dalam yang tidak terawat dan periodontal pocket dalam merupakan jalan bakteri untuk

mencapai jaringan periapikal. Karena jumlah bakteri yang banyak, maka infeksi yang terjadi

21 | A b s e s L e h e r D a l a m

Page 23: Referat Fiks Tht Rsmm

akan menyebar ke tulang spongiosa sampai tulang cortical. Jika tulang ini tipis, maka infeksi

akan menembus dan masuk ke jaringan lunak. Penyebaran infeksi ini tergantung dari daya

tahan jaringan tubuh.

Odontogen dapat menyebar melalui jaringan ikat (perkontinuitatum), pembuluh darah

(hematogenous), dan pembuluh limfe (limfogenous). Yang paling sering terjadi adalah

penjalaran secara perkontinuitatum karena adanya celah/ruang di antara jaringan

yang berpotensi sebagai tempat berkumpulnya pus. Penjalaran infeksi pada rahang atas dapat

membentuk abses palatal, abses submukosa, abses gingiva, cavernous sinus thrombosis,

abses labial, dan abses fasial. Penjalaran infeksi pada rahang bawah dapat membentuk abses

subingual, abses submental, abses submandibular, abses submaseter, dan angina Ludovici.

Ujung akar molar kedua dan ketiga terletak di belakang bawah linea mylohyoidea (tempat

melekatnya m. mylohyoideus) yang terletak di aspek dalam mandibula, sehingga jika molar

kedua dan ketiga terinfeksi dan membentuk abses, pusnya dapat menyebar ke ruang

submandibula dan dapat meluas ke ruang parafaringal.

  Selain infeksi gigi abses ini juga dapat disebabkan pericoronitis, yaitu suatu infeksi

gusi yang disebabkan erupsi molar ketiga yang tidak sempurna.

Linea mylohyoidea, tempat perlekatan m. mylohyoideus. Infeksi premolar dan molar  menyebabkan perforasi, kemudian menyebar keruang-ruang yang dibatasi oleh

m.mylohyoideus.

22 | A b s e s L e h e r D a l a m

Page 24: Referat Fiks Tht Rsmm

Infeksi pada ruang submental biasanya terbatas karena ada kesatuan yang keras dari

fasia servikal profunda dengan m. digastricus anterior dan tulang hyoid. Edema dagu dapat

terbentuk dengan jelas.

  Infeksi pada ruang submaksilar biasanya terbatas di dalam ruang itu sendiri, tetapi

dapat pula menyusuri sepanjang duktus submaksilar Whartoni dan mengikuti struktur

kelenjar menuju ruang sublingual, atau dapat juga meluas ke bawah sepanjang m. hyoglossus

menuju ruang-ruang fasia leher. 

 

Ruang submandibular terletak antara m. mylohyoid, fasia dan kulit. Ruang submandibular terinfeksi langsung oleh molar kedua dan ketiga.Ruang sublingual, terletak antara mukosa mulut dan m. mylohyoid. Ruang ini dapat terinfeksi yang berasal dari premolar dan molar

pertama.

Pada infeksi ruang sublingual, edema terdapat pada daerah terlemah dibagian superior

dan posterior, sehingga menghambat jalan nafas.

23 | A b s e s L e h e r D a l a m

Page 25: Referat Fiks Tht Rsmm

Penyebaran pembengkakan akibat abses di ruang sublingual dan submandibular.

Gejala Klinik

Pembengkakan dan nyeri tekan terjadi di atas ramus mandibula demikian juga dengan

kekerasan yang timbul sepanjang lateral dasar mulut. Fetor ex ore, hipersalivasi, disfagia,

odinofagia, dan obstruksi jalan nafas juga ditemukan. Lidah tidak mungkin ditekan karena

pembengkakan dan edema dari dasar mulut.7 Trismus sering ditemukan.

Abses submandibula

Terapi

Infeksi pada ruang ini sebaiknya diobati dari awal dan cepat menggunakan antibiotika

yang sesuai. Antibiotik dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara

parenteral. Jika infeksi gagal diatasi setelah satu minggu dengan terapi antibiotik yang intesif,

maka perlu dilakukan pembedahan drainase. Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anestesi

lokal untuk abses yang dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak

abses dalam dan luas.

24 | A b s e s L e h e r D a l a m

Page 26: Referat Fiks Tht Rsmm

Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hioid, tergantung

letak dan luas abses. Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda.

Komplikasi

Angina Ludovici merupakan infeksi berat dari lantai dasar mulut dan ruang submental dan

submandibular. Penyebaran melalui fascia dan bukan dari kelenjar limfe. Dari anamnesis

biasanya pasien mengalami inflamasi dari pencabutan gigi sebelumnya. Dapat terjadi sepsis

dan mengganggu jalan nafas yang dapat menyebabkan kematian.

2.5.5 ANGINA LUDOVICI

Angina Ludovici ialah infeksi ruang submandibula berupa selulitis atau flegmon yang

progresif dengan tanda khas berupa pembengkakan seluruh ruang submandibula, tidak

membentuk abses dan tidak ada limfadenopati, sehingga keras pada perabaan submandibula.

Peradangan ruang ini menyebabkan kekerasan yang berlebihan pada jaringan dasar mulut dan

mendorong lidah ke atas dan ke belakang. Dengan demikian dapat menyebabkan obstruksi

jalan napas secara potensial. 

Etiologi

Angina Ludovici berawal dari infeksi odontogenik, khususnya dari molar dua atau

tiga bawah. Gigi-gigi ini mempunyai akar yang terletak pada tingkat otot myohyloid, dan

abses di sini akan menyebar ke ruang submandibula. Ada juga penyebab lain yang sedikit

dilaporkan antara lain adalah sialadenitis, abses peritonsilar, fraktur mandibula terbuka,

infeksi kista duktus thyroglossus, epiglotitis, injeksi obat intravena melalui leher, trauma oleh

karena bronkoskopi, intubasi endotrakeal, laserasi oral, luka tembus di lidah, infeksi saluran

pernafasan atas, dan trauma pada dasar atau lantai mulut.  Organisme yang paling banyak

ditemukan pada penderita angina Ludwig melalui isolasi adalah Streptococcus viridians dan

Staphylococcus aureus.

Gejala Klinik

Terdapat nyeri tenggorokan dan leher, disertai pembengkakan di daerah

submandibula, yang tampak hiperemis dan keras pada perabaan (board-like), disfonia (hot

potato voice), hipersalivasi, dan disarthria. Dasar mulut membengkak, dapat mendorong lidah

ke atas belakang, sehingga menimbulkan sesak napas, karena sumbatan jalan napas.

25 | A b s e s L e h e r D a l a m

Page 27: Referat Fiks Tht Rsmm

Takipnea, dispnea, dan stridor merupakan signal terganggunya jalan nafas.

 Angina Ludwig

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat sakit gigi, mengorek atau cabut gigi,

dengan gejala dan tanda klinik. Ada lima kriteria yang dikemukakan Grodinsky untuk

membedakan angina Ludovici dengan bentuk lain dari infeksi leher dalam. Kriteria pada

infeksi pada angina Ludovici:

1. Proses selulitis dari ruang submandibula, bukan pembentukan abses

2. Melibatkan hanya ruang submandibula secara bilateral

3. Terdapat gangren serosanguis, infiltrasi pus sedikit/ tidak ada

4. Melibatkan jaringan ikat, fascia, dan muskulus tetapi tidak melibatkan glandula

5. Penyebaran secara langsung, bukan secara limfatik

Terapi

Setelah diagnosis angina Ludovici ditegakkan, maka penanganan yang utama adalah

menjamin jalan nafas yang stabil melalui trakeostomi yang dilakukan dengan anestesia lokal.

Trakeostomi dilakukan tanpa harus menunggu terjadinya dispnea atau sianosis karena tanda-

tanda obstruksi jalan nafas yang sudah lanjut. Jika terjadi sumbatan jalan nafas maka pasien

dalam keadaan gawat darurat.

Sebagai terapi diberikan dengan antibiotika dengan dosis tinggi, untuk kuman aerob

dan anaerob, dan diberikan secara parenteral. Antibiotik yang digunakan adalah Penicilin G

dosis tinggi, kadang-kadang dapat dikombinasikan dengan obat antistaphylococcus atau

Metronidazole. Jika pasien alergi penicillin, maka Clindamycin adalah pilihan yang

terbaik. Dexamethasone yang disuntikkan secara intravena, diberikan dalam 48 jam untuk

26 | A b s e s L e h e r D a l a m

Page 28: Referat Fiks Tht Rsmm

mengurangi edem dan perlindungan jalan nafas.

  Selain itu dilakukan eksplorasi yang dilakukan untuk tujuan dekompresi (mengurangi

ketegangan) dan evakuasi pus atau jaringan nekrosis. Perlu juga dilakukan pengobatan

terhadap infeksi gigi untuk mencegah kekambuhan. Pasien dirawat inap sampai infeksi reda.

Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi ialah

1) Sumbatan jalan napas

2) Penjalaran abses ke ruang leher dalam lain (abses parafaring dan retrofaring) dan

mediastinum

3) Aspirasi pneumonia

4) Sepsis.

 Proses penjalaran ke mediastinum sebagai salah satu komplikasi angina ludovici

27 | A b s e s L e h e r D a l a m

Page 29: Referat Fiks Tht Rsmm

BAB IV

KESIMPULAN

Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofiring, abses

parafaring, abse submandibular dan angina Ludovici. Abses leher dalam dapat terjadi

dikarenakan penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus

paranasal, telinga tengah dan leher. Kuman yang dapat menyebabkan abses dapat berupa

campuran kuman aerob dan anaerob. Kuman aerob yang paling dominan adalah stafilokokus

dan streptokokus. Kuman anaerob paling banyak adalah kuman gram negatif anaerob.

Manifestasi dari abses serupa dengan kejadian peradangan lainnya, namun harus

diperhatikan kondisi kondisi yang dapat mengancam jiwa akibat komplikasi-komplikasi

terjadinya abses yang dapat menyebabkan kondisi lain yang lebih serius seperti obstruksi

jalan napas, kelumpuhan saraf kranial, mediastinitis, dan kompresi hingga ruptur arteri

karotis interna. Lokasinya terletak di ruang potensial di antara dua fascia leher. Sumber

infeksi paling sering pada abses leher dalam berasal dari infeksi tonsil dan gigi.

28 | A b s e s L e h e r D a l a m

Page 30: Referat Fiks Tht Rsmm

Untuk penanganan abses dapat dilakukan melalui dua jalan, pengobatan

medikametosa dengan antibiotik dosis tinggi, bila perlu dilakukan pula tindakan operatif,

selain punksi abses, dapat dilakukan pula insisi dan tonsilektomi.

BAB V

DAFTAR PUSTAKA

1. Ymr Andrina. Abses retrofaring. Universitas Sumatera Utara 2003; p 1-7.

2. Fachruddin D. Abses leher dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung

Teggorok. Edisi ke 6. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI.2007; p 185-8.

3. Novialdi, Rusli M. Pola kuman abses leher dalam. Available at

http://www.scribd.com/doc/48074146/POLA-KUMAN-ABSES-LEHER-DALAM.

June 28, 2013.

4. Gadre AK, Garde KC. Infection of deep space of the neck. In: Bailey BJ, Jhonson JT,

editors. Otolryngology Head and Neck Surgery. 4th ed. Philadelphia : JB. Lippincolt

Company 2006. P 666-81

5. Murray A.D. MD, Marcincok M.C.MD. Deep neck infection. 2009. Available at:

www.emedicinespecialties//Otolaryngology&facialplasticsurgery.com. In June 28,

2013.

29 | A b s e s L e h e r D a l a m

Page 31: Referat Fiks Tht Rsmm

6. Poter MJ. Deep neck space infection smnr in otorhinolaryngology. 2005. Available at

http://www.sunzi.lib.hku.hk. In 28th juni 2013

7. Tan J Avarey.peritonsillar Abcess in emergency medicine. Medscape reference

(social online). April 30 2012 available at

http://emedicine.madspace.com/article/764188-overciece #90101

8. Peritosillar Abscess. Web MD (serial online). 2013 available at

www.webmd.com/one-nealtb/guide/peritonsillar-abcess.

9. Beriault m, Green J. Innovative Airway Management for peritonsillar Abscess

Cardiothoracic J Aresth 2006; 53:92-5

10. Novialdi, Prijadi Jon. Diagnosis & penatalaksanaan Abses Peritonsil. Universitas

Andalas. 2011 p:1-5

11. Kahn J. Retropharyngeal abscess. Emedicine journal. February 1, 2001, vol2.

Available at http://www.emedicine.com/EMERG/topic506.htm

12. Marques PM, Sprattey JE, Leal LM. Cardoso E, Santus M. Parapharyngeal abscess in

children: five year retrospective study. Braz J Otorhinolanyngl. Dec 2009: 75(6). 826-

30

13. Maran AGD. Disease of the nose, throat, ear. Ed 10 th. Singapore: p6 publishing ple

Ltd, (990, h 1045)

14. Berger TJ, Shahidi H. retrophanyngeal Abscess. emedicine journal. 2001, vol 2.

Available at: http://www.emedicine.com/ped/topic2682.html

15. L Adam George, Boies Lautence R. Abses Retrofaring. BOIEIS buku agat peny THT.

6th ed. Jakarta: e6d, 384, (320-355)

16. 16. Snow JB, Philip A. Ballenger’s Otorhinolaryngology: Head&neck Surgery USA:

PM PH 2009.

17. Porter MJ, Deep Neck Space Infection. Seminar in Otorhinolaryngology. 2005.

Available at: www.sunzi.lib.hku.hk in July 17, 2011.

18. Keat Jin Lee. Essential otolaryngology: head & neck surgery. McGraw-Hill

Professional. 2003.

19. Rosen, JE. Deep neck spaces and infections. 2002. Available at:

[http://www.utmb.edu/otoref/grnds/Deep-Neck-Spaces-2002-04/Deep-neck-spaces-2002-

04.pdf ] June 28, 2012.

30 | A b s e s L e h e r D a l a m