referat fiks tht rsmm
TRANSCRIPT
REFERAT
ABSES LEHER DALAM
Pembimbing :
dr. Anna Maria Suciaty, Sp.THT
Disusun Oleh :
Fitri Nur Laeli, S.Ked
030.09.093
KEPANITERAAN KLINIK THT
RUMAH SAKIT DR. H. MARZOEKI MAHDI – BOGOR
0 | A b s e s L e h e r D a l a m
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 10 JUNI -13 JULI 2013
LEMBAR PENGESAHAN
Nama : Fitri Nur Laeli
NIM : 030.09.093
Judul Referat : Abses Leher Dalam
Referat ini telah disetujui oleh dokter pembimbing untuk dijadikan salah satu syarat
mengikuti kepaniteraan klinik ilmu kesehatan THT periode 10 Juni 2013 sampai dengan 30
Maret 2013 di RS DR. H. Marzoeki Mahdi, Bogor
Yang bertanda tangan dibawah ini,
Dokter Pembimbing
dr. Anna Maria Suciaty, Sp.THT
1 | A b s e s L e h e r D a l a m
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT, karena atas berkat izin-Nya
lah saya dapat menyelesaikan tugas referat dalam kepaniteraan klink Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher di RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor, mengenai “Abses
Leher Dalam”.
Terimakasih kepada dokter pembimbing saya, dr Anna Maria Suciaty, Sp THT yang
telah membimbing saya dalam menjalani kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan THT ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tugas ini, banyak kendala yang dihadapi, namun
tidak luput dari bantuan, dorongan dan semangat dari semua pihak sehingga setiap kendala
dapat teratasi.
Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kami dan para pembaca pada umumnya.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran yang membangun diharapkan dari pembaca sekalian.
Bogor, 29 Juni 2013
Fitri Nur Laeli
2 | A b s e s L e h e r D a l a m
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………………………….. 1
KATA PENGANTAR …………………………………………………………………… 2
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………….. 3
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………….. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………….. 5
2.1
Anatomi Leher …………………………………………………… 5
Ruang Potensial Leher Dalam ……………………………………. 6
2.2 Definisi …………………………………………………………… 9
2.3 Epidemiologi ……………………………………………………... 9
2.4 Etiologi dan Patogenesis …………………………………………. 10
2.5 Infeksi Leher Dalam
2.5.1 Abses Peritonsil ………………………………………………….. 12
2.5.2 Abses Retrofaring ………………………………………………… 15
2.5.3 Abses Parafaring …………………………………………………. 19
2.5.4 Abses Submandibula …………………………………………….. 21
2.5.5 Angina Ludovici …………………………………………………. 25
BAB III KESIMPULAN …………………………………………………………... 29
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………….. 30
3 | A b s e s L e h e r D a l a m
BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi yang terjadi pada telinga, hidung dan tenggorokan dapat bermanifestasi
menjadi abses pada leher dalam bila tidak ditangai dengan tepat. Sumber infeksi paling sering
pada abses leher dalam berasal dari infeksi tonsil dan gigi. Sumber infeksi yang lainnya
adalah mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana
yang terlibat.
Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka
mulut dan leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam.
Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman
anaerob Bacteriodes atau kuman campuran. Abses leher dalam, dapat berupa abses peritonsil,
abses retrofiring, abses parafaring, abses submandibular dan angina Ludovici.
Abses leher dalam dapat mengancam jiwa bila terjadi komplikasi seperti obstruksi
jalan napas, kelumpuhan sara kranial, mediastinitis, dan kompresi hingga rupture arteri
karotis interna. Lokasinya yang terletak di dasar mulut dapat menjadi ancaman yang sangat
serius. Namun komplikasi ini sudah jarang terjadi sejak diperkenalkannya antibiotik, hygiene
mulut yang meningkat, angka kematian yang terjadi menjadi lebih rendah
Disamping drainase abses yang optimal, pemberian antibiotic diperlukan untuk terapi
yang adekuat, sehingga diperlukan pemeriksaan kultur kuman dan uji kepekaan antibiotic
terhadap kuman, namun hal ini memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga diperlukan
pemberian antibiotik secara empiris.
Pengetahuan anatomi fasia dan ruang-ruang potensial leher secara baik, serta
penyebab abses eher dalam mutlak diperlukan untuk dapat memperkirakan perjalanan
penyebaran infeksi dan penatalaksanaan yang adekuat.
4 | A b s e s L e h e r D a l a m
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. ANATOMI LEHER
Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh fasia servikal.
Fasia servikal dibagi menjadi dua yaitu fasia superfisial dan fasia profunda. Kedua fasia ini
dipisahkan oleh otot platisma yang tipis dan meluas ke anterior leher.
Otot platisma sebelah inferior berasal dari fasia servikal profunda dan klavikula serta
meluas ke superior untuk berinsersi di bagian inferior mandibula.
Fasia superfisial merupakan jaringan konektif yang terletak dibawah dermis. Fasia ini
secara sempurna mengelilingi leher, tipis dan sulit untuk didemonstrasikan. Fasia ini
berisikan platysma dan vena-vena superfisialis. Fasia profunda mengelilingi daerah leher
dalam dan terdiri dari 3 lapisan, yaitu:
- Lapisan superfisial
o lapisan ini juga dikenal dengan sebutan lapisan selimut (investing layer).
Lapisan ini mengelilingi leher, membungkus muskulus
sternokleidomastoideus, dan muskulus trapezius Selain otot, lapisan ini juga
membungkus kelenjar submandibular dan parotis. Ruangan yang terbentuk
adalah trigonum coli posterior di kedua sisi lateral leher dan ruang
suprasternal Burns.
- Lapisan tengah
o lapisan ini juga dikenal dengan nama lapisan viseral yang mencakup fasia
pretiroid dan pretrakea. Lapisan ini dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian
muskular yang membungkus muskulus infrahyoid dan bagian viseral yang
membungkus faring, laring, esofagus, kelenjar tiroid, dan trakea.
- Lapisan dalam.
o Lapisan dalam ini berasal dari prosesus spinosus dari tulang vertebra servikal
dan ligamentum nuchae. Pada prosesus transversus dari tulang vertebra
5 | A b s e s L e h e r D a l a m
servikal, lapisan ini terbagi menjadi lapisan alar anterior dan lapisan alar
prevertebra posterior. Fasia alar memanjang dari dasar tengkorak ke tulang
vertebra torak ke-2, dan bersatu dengan fasia viseral. Fasia ini terletak diantara
lapisan viseral dan lapisan prevertebra. Fasia prevertebra terletak di sebelah
anterior dari corpus vertebra dan memanjang sepanjang kolumna vertebralis.
Fasia ini berjalan secara sirkumferensial mengelilingi leher dan membungkus otot-
otot vertebralis, otot-otot profunda trigonum coli posterior, dan otot scalene. Lapisan fasia ini
mengelilingi pleksus brakialis dan pembuluh subkalvian dan berlanjut di tepi lateral sebagai
vagina aksilaris.
6 | A b s e s L e h e r D a l a m
Ruang potensial leher dalam
Ruang potensial leher
dalam dibagi menjadi ruang yang
melibatkan daerah sepanjang
leher, ruang suprahioid dan ruang
infrahioid.
Ruang yang melibatkan
sepanjang leher terdiri
dari:
ruang retrofaring
ruang bahaya (danger space)
ruang prevertebra.
Ruang suprahioid terdiri dari:
ruang submandibula
ruang parafaring
ruang parotis
ruang mastikor
7 | A b s e s L e h e r D a l a m
ruang peritonsil
ruang temporalis.
Ruang infrahyoid terdiri dari
Ruang visceral
Ruang karotis
Ruang retropharyngeal
Ruang serviks posterior
Ruang perivertebral
8 | A b s e s L e h e r D a l a m
2.2 DEFINISI
Abses adalah sekumpulan nanah setempat yang terkubur dalam jaringan, organ, atau
rongga tertutup. Proses ini merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah
penyebaran/perluasan infeksi ke bagian lain dari tubuh.
Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam
sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus
paranasal, telinga tengah dan leher.
2.3 EPIDEMIOLOGI
Huang dkk, dalam penelitiannya pada tahun 1997 sampai 2002, menemukan kasus
infeksi leher dalam sebanyak 185 kasus. Abses submandibula (15,7%) merupakan kasus
terbanyak ke dua setelah abses parafaring (38,4), diikuti oleh Ludwig’s angina (12,4%),
parotis (7%) dan retrofaring (5,9%).
Yang dkk, pada 100 kasus abses leher dalam yang diteliti April 2001 sampai Oktober
2006 mendapatkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan 3:2. Lokasi abses lebih dari
9 | A b s e s L e h e r D a l a m
satu ruang potensial 29%. Abses submandibula 35%, parafaring 20%, mastikator 13%,
peritonsil 9%, sublingual 7%, parotis 3%, infra hyoid 26%, retrofaring 13%, ruang karotis
11%.
Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang selama 1 tahun terakhir (Oktober
2009 sampai September 2010) didapatkan abses leher dalam sebanyak 33 orang, abses
peritonsil 11 (32%) kasus, abses submandibula 9 (26%) kasus, abses parafaring 6 (18%)
kasus, abses retrofaring 4 (12%) kasus, abses mastikator 3(9%) kasus, abses pretrakeal 1
(3%) kasus
2.5 ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Sebelum meluasnya penggunaan antibiotik, 70% kejadian abses leher dalam
disebabkan oleh penyebran infeksi melalui tonsil dan faring. Saat ini, tonsilitis adalah
penyebab tersering pada abses leher dalam di anak, sedangkan pada dewasa sering
disebabkan pada infeksi gigi. Penyebab dari infeksi abses leher dalam meliputi:
a. Infeksi tonsil dan faring
b. Infeksi pada gigi
c. Prosedur bedah mulut
d. Infeksi atau obstruksi dari kelenjar saliva
e. Trauma pada rongga mulut dan faring
f. Aspirasi benda asing
g. Kista duktus tiroglosus
h. Tiroiditis
i. Mastoiditis
j. Laryngopyocele
k. Penggunaan obat IV
l. Nekrosis dan supurasi dari tumor atau keganasan kelenjar getah bening servikal
Sebanyak 20-50% dari abses leher dalam tidak diketahui etiologinya. Pertimbangan
penyebab lainnya adalah imunosupresi pada infeksi HIV, kemoterapi atau akibat obat
imunosupresan pada pasien transplantasi. Kejadian abses meningkat disebabkan oleh bakteri
atypical dan komplikasi yang lebih berat.
10 | A b s e s L e h e r D a l a m
Pembentukan abses merupakan hasil perkembangan dari flora normal dalam tubuh. Flora
normal dapat tumbuh dan mencapai daerah steril dari tubuh baik secara perluasan langsung
maupun melalui laserasi atau perforasi. Berdasarkan kekhasan flora normal yang ada di
bagian tubuh tertentu, maka kuman dari abses yang terbentuk dapat diprediksi berdasar
lokasinya. Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman, baik
kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob.
Pada kebanyakan membran mukosa, kuman anaerob lebih banyak dibanding dengan
kuman aerob dan fakultatif, dengan perbandingan mulai 10:1 sampai 10000:1. Bakteriologi
dari daerah gigi, oro-fasial, dan abses leher, kuman yang paling dominan adalah kuman
anaerob yaitu, Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium spp, dan Peptostreptococcus spp.
Bakteri aerob dan fakultatif adalah Streptococcus pyogenic dan Stapylococcus aureus.
Kuman Penyebab Abses leher dalam
Jenis KumanJumlah pasien
% kultur
+Streptococcus viridansStaphylococcus epidermidisStaphylococcus aureusBactroides SpStreptococcus β-haemolyticusKlebsiella pneumoniaStreptococcus pneumoniaMycobacterium tbAnaerob gram negatifNeisseria spPeptostreptococcusJamurEnterobacterBacillus spPropionibacteriumAcinetobacterActinimicosis israeliiProteus spKlepsiella sp BifidobacteriumMicroaerophilic streptococcusEnterococcus spMoraxtella catarrhalisDan lain-lain
6346
352234
1110109888766533333
32
3928
221421
6,86,26,25,54,94,94,94,33,73,73,11,91,91,91,91,9
1,91,26,8
11 | A b s e s L e h e r D a l a m
Pola kuman penyebab abses leher dalam berbeda sesuai dengan sumber infeksinya.
Infeksi yang berasal dari orofaring lebih banyak disebabkan kuman flora normal di saluran
nafas atas seperti streptokokus dan stafilokokus. Infeksi yang berasal dari gigi biasanya lebih
dominan kuman anaerob seperti, Prevotella, Fusobacterium spp,.
Penyebaran abses leher dalam dapat melalui beberapa jalan yaitu hematogen,
limfogen, dan celah antar ruang leher dalam. Beratnya infeksi tergantung dari virulensi
kuman, daya tahan tubuh dan lokasi anatomi.
Infeksi dari submandibula dapat meluas ke ruang mastikor kemudian ke parafaring.
Perluasan infeksi ke parafaring juga dapat langsung dari ruang submandibula. Selanjutnya
infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.
2.5 INFEKSI LEHER DALAM
Gejala klinis abses leher dalam secara umum sama dengan gejala infeksi pada
umumnya yaitu, demam, nyeri, pembengkakan, dan gangguan fungsi.1-3 Abshirini H, dkk4
melaporkan gejala klinis dari abses leher dalam pada 147 kasus didapatkan: bengkak
pada leher 87%, trismus 53%, disfagia 45%, dan odinofagia 29,3%. Berdasarkan ruang yang
dikenai akan menimbulkan gejala spesifik yang sesuai dengan ruang potensial yang terlibat.
2.5.1 ABSES PERITONSIL
Epidemiologi
Abses peritonsil dapat ditemukan dalam rentang usia 10 hingga 60 tahun, namun kebanyakan
terjadi pada usia rentang 20 – 40 ahun. Pada anak-anak juga dapat terjadi walaupun
insidennya rendah, biasanya dapat terjadi dikarenakan kondisi imunocompromised.
Gejala Klinik
Gejala yang pertama kali muncul
adalah nyeri tenggorok. Terjadinya
demam dan gejala lainnya akan
berkembang seiring perjalanan abses.
12 | A b s e s L e h e r D a l a m
Periode dari infeksi menjadi abses dapat terjadi dalam waktu 2-5 hari. Gejala yang dapat
terjadi:
Pembengkakan dari mulut dan tenggorok pada daerah inflamasi
Letak uvula kontralateral dengan focus infeksi
Kelenjar getah bening di leher membesar dan konsistensinya lunak
Nyeri menelan, demam, menggigil, spasme pada mulut (trismus) dan leher
(torticollis)
Nyeri telinga pada bagian yang sama (sejajar) dengan abses
Hot potato voice
Sulit menelan ludah
Patologi
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu
infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil terserig menempati daerah in, sehingga
tampak palatum mole membengkak. Walaupun sangat jarang, abses peritonsil dapat terbentuk
di bagian inferior. Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak
permukaannya hiperemis. Bila proes berlanjut, terjadi supurasi sehinga daerah tersebut lebih
lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula kea rah kontralateral. Bila
proses berlangsung terus, peradangan jaringan disekitarnya kaan menyebabkan iritasi pada
m.pterigoid interna, sehingga timbu trismus. Abses dapat peh spontan, mungkin dapat terjadi
aspirasi ke paru.
Diagnosis
Mendiagnosis pasien dengan abses peritonsil dapat dilakukan berdasarkan anamnesis tentang
riwayat penyakit, gejala klinis dan pemeriksaan fisik penderita. Aspirasi dengan jarum pada
daerah yang paling fluktuatif atau punksi merupakan tindakan diagnosis yang akurat untuk
memastikan abses peritonsil.
Untuk mengetahui jenis kuman pada abses peritonsil tidak dapat dilakukan dengan
cara usap tenggorok. Pemeriksaan penunjang akan sangat membantu selain untuk diagnosis
juga untuk perencanaan penatalaksanaan. Pemeriksaan secara klinis seringkali sukar
dilakukan karena adanya trismus. Pemeriksaan
laboratorium darah berupa faal hemostasis,
terutama adanya leukositosis sangat membantu
diagnosis
13 | A b s e s L e h e r D a l a m
Pemeriksaan radiologi, dapat berupa foto rontgen polos, ultrasonografi dan tomografi
computer. Saat ini ultrasonografi telah dapat mendiagnosis abses peritonsil secara spesifik
dan dapat digunakan sebagai alternative pemeriksaan. Mayoritas kasus yang diperiksa
menampakkan gambaran cincin isoehoid dengan gambaran sentral hypoechoic
Terapi
Penatalaksanaan yang umum dikenal untuk abses peritonsil adalah insisi, drainase dan
terapi antibiotika diikuti oleh tonsilektomi beberapa minggu kemudian.
1. Terapi antibiotika
Salah satu factor yang masih merupakan kontroversi dalam penanganan abses
peritonsil adalah pemilihan terapi antibiotika sebelum dan sesudah pembedahan.
Antbiotika pada gejala awal diberikan dalam dosis tinggi disertai dengan obat
simptomatik, kumur kumur dengan cairan hangat dan kompres hangat pada leher
(untuk mengendurkan tegangan otot). Penisilin dan sefalosporin (generasi pertama
kedua atau ketiga) biasanya merupakan obat pilihan. Penisilin dalam dosis tinggi
sebagai obat pilihan diberikan dengan mempertimbangkan kontraindikasi seperti
alergi atau timbulnya kemungkinan adanya reaksi koagulasi organisme penisilin
digunakan untuk penderita yan disebabkan olh kuman Staphylococcus. Metronidazole
merupakan antibiotika yang sangat baik untuk infeksi anaerob. Tetrasiklin merupakan
antibiotika yang sangat baik bagi orang dewasa, meskipun klindamisin saat ini
dipertimbangkan sebagai antibiotic pilihan untuk menangani bakteri yang
memproduksi betalaktamase
2. Insisi dan drainase
Tujuan dari tindakan ini adalah mendapatkan drainase abses yang adekuat dan
terlokalisir secara cepat. Lokasi insisi biasanya dapat diidentifikasi pada
pembengkakan di daerah pilar-pilar tonsil atau dipalpasi pada daerah yang paling
berfluktuasi.
3. Tonsilektomi
Tindakan pembedahan pada abses peritonsilmerupakan topic yang kontroversial sejak
beberapa abad. Filosofi tindakannya karena berdasakan pemikiran bahwa
kekambuhan pada penderita absesterjadi cukup banyak, sehingga tindakan 14 | A b s e s L e h e r D a l a m
pengangkatan kedua tonsil ini dilakukan untuk memastikan tidak terjadinya
kekambuhan. Waktu pelaksanaan tonsilektomi bervariasi :
a. Tonsilektomi a chaud : dilakukan segera / bersamaan dengan drainase abses
b. Tonsilektomi a tiede : dilakukan 3 – 4 hari setelah insisi dan drainase
c. Tonsilektomi a froid : dilakukan 4 – 6 minggu setelah drainase
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah penjalaran ke ruang parafaring, ruang
vaskuler visera, mediastinitis, obstruksi jalan nafas sampai asfiksia, bila pecah spontan dapat
menyebabkan penummonia aspirasi dan abses paru.
2.5.2 ABSES RETROFARING
Epidemiologi
Abses retrofaring jarang ditemukan dan lebih sering terjadi pada anak dibawah usia 5
tahun. Hal ini terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe.
Penelitian selama 35 tahun terhadap anak-anak yang di terapi di Children’s Hospital, Los
Angeles dijumpai sebanyak 50% kasus berusia kurang dari 3 tahun dan 71% kasus berusia
kurang dari 6 tahun. Sedangkan di Sydney, Australia didapati sebanyak 55% kasus berusia
kurang dari 1 tahun, dimana 10% diantaranya dijumpai pada periode neonatus.
Etiologi
Secara umum abses retrofaring terbagi menjadi dua jenis, yatu:
1. Akut
Sering terjadi pada anak-anak berumur dibawah 4 – 5 tahun. Keadaan in terjadi akibat
infeksi pada saluran nafas atas seperti pada adenoid, nasofaring, rongga hidung, sinus
paranasal dan tonsil yang meluas ke kelenjar limfe retrofiring (limfadenitis) sehingga
menyebabkan supurasi pada daerah tersebut. Sedangkan pada orang dewasa terjadi
akibat infeksi langsung olehkarena trauma penggunaan instrument (intubasi endotrakea,
endoskopi sewaktu adenoidektomi) atau benda asing.
2. Kronis
15 | A b s e s L e h e r D a l a m
Biasanya terjadi pada orang dewasa atau anak-anak yang lebih tua. Keadaan ini terjadi
akibat infeksi tuberculosis (TBC) pada vertebra servikalis dimana pus secara langsung
menyebar melalui ligamentum longitudinal anterior . selain itu abses dapat terjadi akibat
infeksi TBC pada kelenjar limfe retrofiring yang menyebar dari kelenjar limfe servikal.
Gejala Klinik
Gejala dari abses retrofaring berbeda pada dewasa, anak dan infant,
1. Gejala pada dewasa berupa nyeri tenggorok, demam, disfagia, odinofagia, nyeri leher
dan dyspnea
2. Gejala pada anak yang usianya lebih dari 1 tahun berupa nyeri tenggorok (84%), demam
(64%), kekakuan leher (64%), odinofagia (55%), batuk
3. Gejala pada infant berupa demam (85%), pembengkakan leher (97%), oral intake yang
sangat buruk (55%), rinorhea (55%), lethargy (38%), dan batuk (33%)
Pada bentuk yang kronis, perjalanan penyakit lambat dan tidak begitu khas sampai terjadi
pembengkakan yang besar dan menumbat hidung serta saluran nafas.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran napas bagian atas atau
trauma, gejala dan tanda klinik pada abses retrofaring. Pada pemeriksaan darah rutin akan
didapatkan hasil lekositosis. Hasil kultur specimen dari hasil aspirasi juga dapat menegakkan
diagnosis, serta pemeriksaan penunjang foto rontgen jaringan lunak leher lateral.
Pada foto rontgen akan tampak pelebaran ruang retrofaring (level C2) lebih dari 7 mm
pada anak dan dewasa serta pelebaran retrotrakeal (level C6) lebih dari 14 mm pada anak dan
16 | A b s e s L e h e r D a l a m
lebih dari 22 mm pada orang dewasa. Selain itu juga dapat terlihat berkurangnya lordosis
vertebra servikal akibat spasme dari otot prevertebral.
Radiografi jaringan lunak lateral leher menunjukkan bayangan jaringan lunak
yang jelas antara saluran udara faring dan korpus vertebra servikalis. Pada fase akut dapat
ditemukan air-fluid level dan gas. Pada fase kronis ditemukan bayangan homogenous pada
prevertebral. Laring dan trakea ditunjukkan dalam posisi ke arah depan. Jika terdapat
keraguan mengenai radiografi, maka dapat dipertegas dengan radiografi penelanan barium.
Pilihan lain bila hasil pemeriksaan rontgen belum jelas, dapat digunakan CT Scan dan
MRI.
Terapi
Terapi yang dapat dilakukan terbagi menjadi tiga langkah, yaitu:
1. Mempertahankan jalan napas yang adekuat:
a. Posisi pasien supine dengan leher ekstensi
b. Pemberian O2
c. Intubasi endotrakea dengan visualisasi langsung / intubasi fiber optic
d. Trakeostomi / krikotirotomi
2. Medika Mentosa
a. Antibiotik
Pemberian antibiotic secara parenteral sebaiknya diberikan secepatnya tanpa
menunggu hasil kultur pus. Antibiotic yang diberikan harus mencakup terhadap
kuman aerob dan anaerob, gram positif dan gram negative. Pilihan utama adalah
Klindamisisn yang dapat diberikan tersendiri atau kombinasi dengan sefalosporin
generasi kedua (seperti cefuroxime) atau beta lactamase – resistant penicillin seperti
ticarcillin / clavulanate, piperacillin / tazobactam, ampicillin / sulbactam. Pemberian
antibiotic biasanya dilakukan selama lebih kurang 10 hari.
b. Simptomatis
c. Bila terdapat dehidrasi, diberikan cairan untuk memperbaiki keseimbangan
d. Simtomatis
e. Bila terdapat dehidrasi, diberikan cairan untuk memperbaiki keseimbangan
f. Pada infeksi Tuberkulosis diberikan obat tuberkulostatika.
3. Operatif
17 | A b s e s L e h e r D a l a m
a. Aspirasi pus (needle aspiration)
b. Insisi dan drainase
Jalan napas harus dilindungi, kepala direndahkan sehingga pengeluaran pus tidak
akan di aspirasi, dan dengan menggunakan pisau scalpel tajam yang kecil dilakukan
insisi vertika yang pendek pada titik dimana pembengkakan paling besar.
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah (1) penjalaran ke ruang parafaring, ruang vaskuler
visera, (2) mediastinitis, (3) obstruksi jalan napas sampai asfiksia, (4) bila pecah spontan,
dapat menyebkan pneumonia dan abses paru. Asfiksia karena aspirasi debris septik dan
perdarahan merupakan komplikasi abses retrofaring yang ditakuti. Asfiksia terjadi waktu
memasukkan alat ke mulut untuk pemeriksaaan dan drainase atau akibat pecahnya abses yang
besar tiba-tiba, sehingga memenuhi laring dengan pus. Jika terjadi perdarahan, dapat
dilakukan ligasi arteri karotis interna pada sisi yang terkena untuk mengendalikan
perdarahan. Infeksi pada ruang ini dapat meluas ke mediastinum dengan akibatnya terjadi
mediastinitis. Dispnea, nyeri dada, takikardi, demam, dan mediastinum yang melebar
merupakan tanda-tanda mediastinitis.
2.5.3 ABSES PARAFARING
Etiologi
Abses parafaring dapat terjadi
setelah infeksi faring, tonsil, adenoid,
gigi, parotis, atau kelenjar limfatik. Pada
banyak kasus abses parafaring merupakan
perluasan dari abses leher dalam yang
berdekatan seperti; abses peritonsil, abses
submandibula, abses retrofaring maupun mastikator.
18 | A b s e s L e h e r D a l a m
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara:
(1) Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melaukan tonsilektomi dengan analgesia.
Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang telah terkontaminasi kuman menembus
lapisan otot tipis (M. Konstriktor Faring Superior) yang memisahkan ruang parafaring dari
fosa tonsilaris.
(2) Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus
paranasal, mastoid (mastoiditis sebagai komplikasi dari otitis media dengan penetrasi dari
digastric ridge/ abses Bezold. Pasien biasanya memiliki infeksi telinga dengan spasme dari
m.sternocleidomastoid dan kepala cenderung fleksi dan rotasi kea rah berlawanan) dan
vertebra servikalis dapat merupakan sumber infeksi untuk terjadinya abses ruang parafaring.
(3) Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula.
Gejala Klinik
Gejala dan tanda utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus
mandibula, demam tinggi, odinofagia, torticollis. Jika infeksi meluas dari faring ke ruang ini,
pasien akan menunjukkan trismus yang jelas. Hal ini disebabkan karena kompartemen
prestyloid terdapat kompartemen otot yang berdekatan dengan fossa tonsilaris secara medial
dan m.ptyerigoid interna. Sedangkan dinding faring lateral akan terdorong ke medial, seperti
pada abses peritonsilaris. Infeksi ini sebaiknya selalu dilakukan drainase melalui insisi
vertikal. Dalam melakukan insisi drainase abses peritonsilar harus dilakukan palpasi karena
pulsasi di daerah tersebut dapat menunjukkan adanya aneurisma dari a.karotid interna.
Pembengkakan di dinding lateral orofaring tanpa adanya inflamasi akut dan trimus tidak
selalu merupakan abses parafaring atau peritonsil, namun harus dicurigai tumor atau
aneurisma. Penyebab infeksi saluran pernafasan mungkin sudah terjadi resolusi ketika pasien
datang sehingga anamnesis onset kejadian penting.
19 | A b s e s L e h e r D a l a m
3.3.3. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda klinik.
Pemeriksaan penunjang berupa foto polos jaringan lunak leher dan tomografi komputer. Foto
jaringan lunak leher antero-posterior dan lateral merupakan prosedur diagnostik yang
penting. Pada pemeriksaan foto jaringan lunak leher pada kedua posisi tersebut dapat
diperoleh gambaran deviasi trakea, udara di daerah subkutis, cairan di dalam jaringan lunak
dan pembengkakan daerah jaringan lunak leher.
Keterbatasan pemerikasaan foto polos leher adalah tidak dapat membedakan antara
selulitis dan pembentukan abses. Pemeriksaan foto toraks dapat digunakan untuk
mendiagnosis adanya edema paru, pneumotoraks, pneumomediastinum atau pembesaran
kelenjar getah hilus. Pemeriksaan tomografi komputer dapat membantu menggambarkan
lokasi dan perluasan abses. Dapat ditemukan adanya daerah densitas rendah, peningkatan
gambaran kontras pada dinding abses dan edema jaringan lunak disekitar abses. Pemeriksaan
kultur dan tes resistensi dilakukan untuk mengetahui jenis kuman dan pemberian anitbiotika
yang sesuai. Bila meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto rontgen
jaringan lunak AP atau CT Scan.
Terapi
Untuk terapi diberi antibiotik dosis tinggi secara parenteral terhadap kuman aerob dan
anaerob. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan antibiotika
dalam 24-48 jam dengan cara eksplorasi insisi dari luar dan intra oral.
20 | A b s e s L e h e r D a l a m
Insisi dari luar dilakukan dua setengah jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara
tumpul eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior m.pterigoid interna mencapai ruang
parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di selubung karotis, insisi
dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horozontal ke bawah di depan
m.sternokleidomastoideus (cara Mosher)..
Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan memakai klem arteri
eksplorasi dilakukan dengan menembus m.konstriktor faring superior ke dalam ruang
parafaring anterior. Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan terhadap
insisi eksternal. Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.13 (idem)
Komplikasi
Komplikasi yang paling berbahaya pada ruang parafaring adalah terkenanya
pembuluh darah sekitarnya. Dapat terjadi romboflebitis septik vena jugularis. Juga dapat
terjadi perdarahan massif yang tiba tiba akibat dari erosi arteri karotis interna. Komplikasi ini
juga dapat memberikan kesan dengan adanya perdarahan awal yang kecil (perdarahan
tersamar). Jika diduga terjadi komplikasi ini dan rencana akan di buat untuk drainase dari
abses, maka identifikasi arteri karotis interna harus dilakukan. Dengan demikian, jika terjadi
perdarahanketika dilakukan drainase abses, maka dapat segera dilakukan ligase arteri karotis
interna atau arteri karotis komunis (boieis)
2.5.4 ABSES SUBMANDIBULA
Etiologi
Ruang potensial ini terletak berdekatan dengan spatium faringomaksilaris. Ruang ini
termasuk otot pterigoideus interna, otot maseter, dan ramus mandibula. Walaupun infeksi
pada spatium faringomaksilaris yang berdekatan terutama akibat infeksi pada faring, ruang
mastikator paling sering terkena sekunder dari infeksi yang berasal dari gigi. Penyebab
lainnya adalah infeksi pada kelenjar air liur dan sinus. Kuman dapat berupa aerob dan
anaerob.
Patogenesis
Penyebab abses ini yang paling sering adalah infeksi gigi. Nekrosis pulpa karena
karies dalam yang tidak terawat dan periodontal pocket dalam merupakan jalan bakteri untuk
mencapai jaringan periapikal. Karena jumlah bakteri yang banyak, maka infeksi yang terjadi
21 | A b s e s L e h e r D a l a m
akan menyebar ke tulang spongiosa sampai tulang cortical. Jika tulang ini tipis, maka infeksi
akan menembus dan masuk ke jaringan lunak. Penyebaran infeksi ini tergantung dari daya
tahan jaringan tubuh.
Odontogen dapat menyebar melalui jaringan ikat (perkontinuitatum), pembuluh darah
(hematogenous), dan pembuluh limfe (limfogenous). Yang paling sering terjadi adalah
penjalaran secara perkontinuitatum karena adanya celah/ruang di antara jaringan
yang berpotensi sebagai tempat berkumpulnya pus. Penjalaran infeksi pada rahang atas dapat
membentuk abses palatal, abses submukosa, abses gingiva, cavernous sinus thrombosis,
abses labial, dan abses fasial. Penjalaran infeksi pada rahang bawah dapat membentuk abses
subingual, abses submental, abses submandibular, abses submaseter, dan angina Ludovici.
Ujung akar molar kedua dan ketiga terletak di belakang bawah linea mylohyoidea (tempat
melekatnya m. mylohyoideus) yang terletak di aspek dalam mandibula, sehingga jika molar
kedua dan ketiga terinfeksi dan membentuk abses, pusnya dapat menyebar ke ruang
submandibula dan dapat meluas ke ruang parafaringal.
Selain infeksi gigi abses ini juga dapat disebabkan pericoronitis, yaitu suatu infeksi
gusi yang disebabkan erupsi molar ketiga yang tidak sempurna.
Linea mylohyoidea, tempat perlekatan m. mylohyoideus. Infeksi premolar dan molar menyebabkan perforasi, kemudian menyebar keruang-ruang yang dibatasi oleh
m.mylohyoideus.
22 | A b s e s L e h e r D a l a m
Infeksi pada ruang submental biasanya terbatas karena ada kesatuan yang keras dari
fasia servikal profunda dengan m. digastricus anterior dan tulang hyoid. Edema dagu dapat
terbentuk dengan jelas.
Infeksi pada ruang submaksilar biasanya terbatas di dalam ruang itu sendiri, tetapi
dapat pula menyusuri sepanjang duktus submaksilar Whartoni dan mengikuti struktur
kelenjar menuju ruang sublingual, atau dapat juga meluas ke bawah sepanjang m. hyoglossus
menuju ruang-ruang fasia leher.
Ruang submandibular terletak antara m. mylohyoid, fasia dan kulit. Ruang submandibular terinfeksi langsung oleh molar kedua dan ketiga.Ruang sublingual, terletak antara mukosa mulut dan m. mylohyoid. Ruang ini dapat terinfeksi yang berasal dari premolar dan molar
pertama.
Pada infeksi ruang sublingual, edema terdapat pada daerah terlemah dibagian superior
dan posterior, sehingga menghambat jalan nafas.
23 | A b s e s L e h e r D a l a m
Penyebaran pembengkakan akibat abses di ruang sublingual dan submandibular.
Gejala Klinik
Pembengkakan dan nyeri tekan terjadi di atas ramus mandibula demikian juga dengan
kekerasan yang timbul sepanjang lateral dasar mulut. Fetor ex ore, hipersalivasi, disfagia,
odinofagia, dan obstruksi jalan nafas juga ditemukan. Lidah tidak mungkin ditekan karena
pembengkakan dan edema dari dasar mulut.7 Trismus sering ditemukan.
Abses submandibula
Terapi
Infeksi pada ruang ini sebaiknya diobati dari awal dan cepat menggunakan antibiotika
yang sesuai. Antibiotik dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara
parenteral. Jika infeksi gagal diatasi setelah satu minggu dengan terapi antibiotik yang intesif,
maka perlu dilakukan pembedahan drainase. Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anestesi
lokal untuk abses yang dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak
abses dalam dan luas.
24 | A b s e s L e h e r D a l a m
Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hioid, tergantung
letak dan luas abses. Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda.
Komplikasi
Angina Ludovici merupakan infeksi berat dari lantai dasar mulut dan ruang submental dan
submandibular. Penyebaran melalui fascia dan bukan dari kelenjar limfe. Dari anamnesis
biasanya pasien mengalami inflamasi dari pencabutan gigi sebelumnya. Dapat terjadi sepsis
dan mengganggu jalan nafas yang dapat menyebabkan kematian.
2.5.5 ANGINA LUDOVICI
Angina Ludovici ialah infeksi ruang submandibula berupa selulitis atau flegmon yang
progresif dengan tanda khas berupa pembengkakan seluruh ruang submandibula, tidak
membentuk abses dan tidak ada limfadenopati, sehingga keras pada perabaan submandibula.
Peradangan ruang ini menyebabkan kekerasan yang berlebihan pada jaringan dasar mulut dan
mendorong lidah ke atas dan ke belakang. Dengan demikian dapat menyebabkan obstruksi
jalan napas secara potensial.
Etiologi
Angina Ludovici berawal dari infeksi odontogenik, khususnya dari molar dua atau
tiga bawah. Gigi-gigi ini mempunyai akar yang terletak pada tingkat otot myohyloid, dan
abses di sini akan menyebar ke ruang submandibula. Ada juga penyebab lain yang sedikit
dilaporkan antara lain adalah sialadenitis, abses peritonsilar, fraktur mandibula terbuka,
infeksi kista duktus thyroglossus, epiglotitis, injeksi obat intravena melalui leher, trauma oleh
karena bronkoskopi, intubasi endotrakeal, laserasi oral, luka tembus di lidah, infeksi saluran
pernafasan atas, dan trauma pada dasar atau lantai mulut. Organisme yang paling banyak
ditemukan pada penderita angina Ludwig melalui isolasi adalah Streptococcus viridians dan
Staphylococcus aureus.
Gejala Klinik
Terdapat nyeri tenggorokan dan leher, disertai pembengkakan di daerah
submandibula, yang tampak hiperemis dan keras pada perabaan (board-like), disfonia (hot
potato voice), hipersalivasi, dan disarthria. Dasar mulut membengkak, dapat mendorong lidah
ke atas belakang, sehingga menimbulkan sesak napas, karena sumbatan jalan napas.
25 | A b s e s L e h e r D a l a m
Takipnea, dispnea, dan stridor merupakan signal terganggunya jalan nafas.
Angina Ludwig
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat sakit gigi, mengorek atau cabut gigi,
dengan gejala dan tanda klinik. Ada lima kriteria yang dikemukakan Grodinsky untuk
membedakan angina Ludovici dengan bentuk lain dari infeksi leher dalam. Kriteria pada
infeksi pada angina Ludovici:
1. Proses selulitis dari ruang submandibula, bukan pembentukan abses
2. Melibatkan hanya ruang submandibula secara bilateral
3. Terdapat gangren serosanguis, infiltrasi pus sedikit/ tidak ada
4. Melibatkan jaringan ikat, fascia, dan muskulus tetapi tidak melibatkan glandula
5. Penyebaran secara langsung, bukan secara limfatik
Terapi
Setelah diagnosis angina Ludovici ditegakkan, maka penanganan yang utama adalah
menjamin jalan nafas yang stabil melalui trakeostomi yang dilakukan dengan anestesia lokal.
Trakeostomi dilakukan tanpa harus menunggu terjadinya dispnea atau sianosis karena tanda-
tanda obstruksi jalan nafas yang sudah lanjut. Jika terjadi sumbatan jalan nafas maka pasien
dalam keadaan gawat darurat.
Sebagai terapi diberikan dengan antibiotika dengan dosis tinggi, untuk kuman aerob
dan anaerob, dan diberikan secara parenteral. Antibiotik yang digunakan adalah Penicilin G
dosis tinggi, kadang-kadang dapat dikombinasikan dengan obat antistaphylococcus atau
Metronidazole. Jika pasien alergi penicillin, maka Clindamycin adalah pilihan yang
terbaik. Dexamethasone yang disuntikkan secara intravena, diberikan dalam 48 jam untuk
26 | A b s e s L e h e r D a l a m
mengurangi edem dan perlindungan jalan nafas.
Selain itu dilakukan eksplorasi yang dilakukan untuk tujuan dekompresi (mengurangi
ketegangan) dan evakuasi pus atau jaringan nekrosis. Perlu juga dilakukan pengobatan
terhadap infeksi gigi untuk mencegah kekambuhan. Pasien dirawat inap sampai infeksi reda.
Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi ialah
1) Sumbatan jalan napas
2) Penjalaran abses ke ruang leher dalam lain (abses parafaring dan retrofaring) dan
mediastinum
3) Aspirasi pneumonia
4) Sepsis.
Proses penjalaran ke mediastinum sebagai salah satu komplikasi angina ludovici
27 | A b s e s L e h e r D a l a m
BAB IV
KESIMPULAN
Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofiring, abses
parafaring, abse submandibular dan angina Ludovici. Abses leher dalam dapat terjadi
dikarenakan penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus
paranasal, telinga tengah dan leher. Kuman yang dapat menyebabkan abses dapat berupa
campuran kuman aerob dan anaerob. Kuman aerob yang paling dominan adalah stafilokokus
dan streptokokus. Kuman anaerob paling banyak adalah kuman gram negatif anaerob.
Manifestasi dari abses serupa dengan kejadian peradangan lainnya, namun harus
diperhatikan kondisi kondisi yang dapat mengancam jiwa akibat komplikasi-komplikasi
terjadinya abses yang dapat menyebabkan kondisi lain yang lebih serius seperti obstruksi
jalan napas, kelumpuhan saraf kranial, mediastinitis, dan kompresi hingga ruptur arteri
karotis interna. Lokasinya terletak di ruang potensial di antara dua fascia leher. Sumber
infeksi paling sering pada abses leher dalam berasal dari infeksi tonsil dan gigi.
28 | A b s e s L e h e r D a l a m
Untuk penanganan abses dapat dilakukan melalui dua jalan, pengobatan
medikametosa dengan antibiotik dosis tinggi, bila perlu dilakukan pula tindakan operatif,
selain punksi abses, dapat dilakukan pula insisi dan tonsilektomi.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
1. Ymr Andrina. Abses retrofaring. Universitas Sumatera Utara 2003; p 1-7.
2. Fachruddin D. Abses leher dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Teggorok. Edisi ke 6. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI.2007; p 185-8.
3. Novialdi, Rusli M. Pola kuman abses leher dalam. Available at
http://www.scribd.com/doc/48074146/POLA-KUMAN-ABSES-LEHER-DALAM.
June 28, 2013.
4. Gadre AK, Garde KC. Infection of deep space of the neck. In: Bailey BJ, Jhonson JT,
editors. Otolryngology Head and Neck Surgery. 4th ed. Philadelphia : JB. Lippincolt
Company 2006. P 666-81
5. Murray A.D. MD, Marcincok M.C.MD. Deep neck infection. 2009. Available at:
www.emedicinespecialties//Otolaryngology&facialplasticsurgery.com. In June 28,
2013.
29 | A b s e s L e h e r D a l a m
6. Poter MJ. Deep neck space infection smnr in otorhinolaryngology. 2005. Available at
http://www.sunzi.lib.hku.hk. In 28th juni 2013
7. Tan J Avarey.peritonsillar Abcess in emergency medicine. Medscape reference
(social online). April 30 2012 available at
http://emedicine.madspace.com/article/764188-overciece #90101
8. Peritosillar Abscess. Web MD (serial online). 2013 available at
www.webmd.com/one-nealtb/guide/peritonsillar-abcess.
9. Beriault m, Green J. Innovative Airway Management for peritonsillar Abscess
Cardiothoracic J Aresth 2006; 53:92-5
10. Novialdi, Prijadi Jon. Diagnosis & penatalaksanaan Abses Peritonsil. Universitas
Andalas. 2011 p:1-5
11. Kahn J. Retropharyngeal abscess. Emedicine journal. February 1, 2001, vol2.
Available at http://www.emedicine.com/EMERG/topic506.htm
12. Marques PM, Sprattey JE, Leal LM. Cardoso E, Santus M. Parapharyngeal abscess in
children: five year retrospective study. Braz J Otorhinolanyngl. Dec 2009: 75(6). 826-
30
13. Maran AGD. Disease of the nose, throat, ear. Ed 10 th. Singapore: p6 publishing ple
Ltd, (990, h 1045)
14. Berger TJ, Shahidi H. retrophanyngeal Abscess. emedicine journal. 2001, vol 2.
Available at: http://www.emedicine.com/ped/topic2682.html
15. L Adam George, Boies Lautence R. Abses Retrofaring. BOIEIS buku agat peny THT.
6th ed. Jakarta: e6d, 384, (320-355)
16. 16. Snow JB, Philip A. Ballenger’s Otorhinolaryngology: Head&neck Surgery USA:
PM PH 2009.
17. Porter MJ, Deep Neck Space Infection. Seminar in Otorhinolaryngology. 2005.
Available at: www.sunzi.lib.hku.hk in July 17, 2011.
18. Keat Jin Lee. Essential otolaryngology: head & neck surgery. McGraw-Hill
Professional. 2003.
19. Rosen, JE. Deep neck spaces and infections. 2002. Available at:
[http://www.utmb.edu/otoref/grnds/Deep-Neck-Spaces-2002-04/Deep-neck-spaces-2002-
04.pdf ] June 28, 2012.
30 | A b s e s L e h e r D a l a m