laporan fitoremediasi fiks

30
Laporan Praktikum IPA Dosen Pengampu : Prof. dr. Sugiyarto, M.Si JUDUL FITOREMEDIASI TANAMAN ECENG GONDOK DAN KAYU APU TERHADAP LIMBAH DETERJEN DAN PELET PADA PERLAKUAN KONDISI POPULASI YANG BERBEDA Oleh : Y. Prian Budi Purwanto NIM : S 831502058 Pendidikan Sains ( Minat IPA ) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SAINS P R O G R A M P A S C A S A R J A N A UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Upload: yohanes-prian

Post on 10-Sep-2015

841 views

Category:

Documents


116 download

TRANSCRIPT

Laporan Praktikum IPADosen Pengampu : Prof. dr. Sugiyarto, M.SiJUDUL

FITOREMEDIASI TANAMAN ECENG GONDOK DAN KAYU APU TERHADAP LIMBAH DETERJEN DAN PELET PADA PERLAKUAN KONDISI POPULASI YANG BERBEDAOleh :

Y. Prian Budi Purwanto

NIM : S 831502058

Pendidikan Sains ( Minat IPA )PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SAINS

P R O G R A M P A S C A S A R J A N A

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2015A. PENDAHULUAN

1. Latar BelakangAir merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan, tanpa air tidak akan ada kehidupan. Dalam kenyataannya air bukan hanya dibutuhkan manusia saja, air juga merupakan bahan yang mutlak harus ada baik untuk, tumbuhan, hewan, maupun mikroorganisme, oleh karena air berfungsi dalam pertumbuhan dan perkembangan mahluk hidup di bumi. Saat ini , banyak muncul industri rumah tangga seperti laundry yang banyak dijumpai baik diwilayah di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Pertumbuhan industry laundry ini memiliki efek samping yang kurang baik, sebab industri-industri kecil tersebut sebagian besar langsung membuang limbahnya ke selokan atau badan air tanpa pengolahan terlebih dulu. Dengan banyaknya usaha laundry di berbagai wilayah, maka deterjen yang digunakan atau dibuang juga semakin banyak. Dalam menangani limbah cair yang ada di lingkungan dapat digunakan beberapa metode, antara lain secara fisika, kimia dan biologi. Metode fisika dan kimia didasarkan pada Dissolved Oxygen (DO), Biologycal Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), pH dan sebagainya. Metode yang lain yaitu secara biologis dengan menggunakan tumbuhan air yaitu kayu apu, genjer, kiambang, kangkung, Azolla pinnata serta eceng gondok (Eichhornia crassipes). Eceng gondok itu sendiri memiliki kemampuan untuk menurunkan kandungan BOD, COD, NH3, phospat, dan padatan tersuspensi yang merupakan tolak ukur pencemaran oleh zat-zat organic(Suardhana, 2009) Eceng gondok mampu menyerap berbagai zat yang terkandung di dalam air, baik terlarut maupun tersuspensi. Kecepatan penyerapan zat pencemar dari dalam air limbah oleh eceng gondok dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya komposisi dan kadar zat yang terkandung dalam air limbah, kerapatan eceng gondok, dan waktu tinggal eceng gondok dalam air limbah(Ardiwinata,1985).Hasil observasi yang dilakukan di Rawa Jombor, Klaten terdapat beberapa ikan yang mati. Pada badan air Rawa Jombor terdapat 30% lebih luas wilayah rawa difungsikan sebagai tempat pembesaran ikan (kolam) yang di kapling. Pada rawa Jombor terdapat 20% lebih luas wilayah juga di dirikan rumah makan apung. Para pemilik rumah makan membuang limbah sisa-sia makanan juga ke dalam rawa. Selain itu pada rawa Jombor juga ditumbuhi tanaman eceng gondok dan beberapa kayu apu yang memenuhi 40% lebih wilayah rawa. Salah satu kondisi air Inlet yang masuk ke badan air rawa Jombor juga menunjukkan keadaan air yang keruh. Dan pada salah satu kondisi air pada outlet menunjukkan keadaan air lebih jernih dibandingkan keadaan pada inlet.2. Tujuan PraktikumMengetahui bagaimana tingkat efektivitas dari tanaman eceng gondok dan kayu apu sebagai fitoremediator dengan perlakuan control, limbah deterjen, dan limbah pelet.3. Alat dan Bahan yang Diperlukan

a) 9 ember

b) Air 4 litr/emberc) Deterjen 1 sendok makand) Eceng Gondok

e) Kayu Apu

f) Ikan

g) Termoneterh) Neraca Pegas

i) Senter

4. Dasar Teori

Fitoremediasi (phytoremediation) merupakan suatu sistem tanaman tertentu bekerjasama dengan mikroorganisme dalam media (tanah, koral dan air) dapat mengubah zat kontaminan (pencemar/polutan) menjadi kurang atau tidak berbahaya bahkan menjadi bahan yang berguna secara ekonomi(Departemen Permukiman dan Prasaran Wilayah Jakarta, 2003) Penentuan tanaman yang dapat digunakan pada penelitian fitoremediasi dipilih tanaman yang mempunyai sifat cepat tumbuh, mampu mengkonsumsi air dalam jumlah yang banyak pada waktu yang singkat, mampu meremediasi lebih dari satu polutan, dan toleransi yang tinggi terhadap polutan(Wesley M.Johnson & John A.Maxwell. 1981 dalam Yola, Holis, & Ida. 2014)Istilah fitoremediasi berasal dari kata inggris phytoremediation, kata ini tersusun atas dua bagian kata, yaitu phyto yang berasal dari kata Yunani phyton (tumbuhan) dan remediation yang berasal dari kata latin remedium (menyembuhkan), dalam hal ini juga berarti menyelesaikan masalah dengan cara memperbaiki kesalahan atau kekurangan. Dengan demikian fitoremediasi merupakan penggunaan tanaman untuk menghilangkan, memindahkan, menstabilkan atau menghancurkan bahan pencemar baik itu senyawa organik maupun anorganik. Fitoremediasi merupakan suatu teknik yang menjanjikan dapat mengatasi pencemaran dengan murah, efektif, dan dapat digunakan secara langsung di tempat yang tercemar, serta dapat digunakan secara langsung di tempat yang terkena pencemaran dengan menggunakan pepohonan, tanaman pangan dan tanaman berbunga. (Fahruddin, 2010 dalam Aulia,dkk, 2013)

Menurut (Youngman, 1999 dalam Aulia,dkk, 2013) untuk menentukan tanaman yang dapat digunakan pada penelitian fitoremediasi dipilih tanaman yang mempunyai sifat: a) Cepat tumbuh, b) Mampu mengkonsumsi air dalam jumlah yang banyak pada waktu yang singkat, c) Mampu meremediasi lebih dari satu polutan, d) Toleransi yang tinggi terhadap polutan. Eceng Gondok (Eichornia Crassipes) merupakan tumbuhan air yang mengapung dengan perakaran yang tergantung di dalam air sedangkan daun-daunnya yang berwarna hijau cerah berada di atas permukaan air, dengan bunga warna ungu dan diduga eceng gondok berasal dari Brazil daerah Amazone yang kemudian menyebar keseluruh dunia (Polprasert, 1989 dan Becker et al, 1989 dalam Aulia,dkk, 2013).Klasifikasi eceng gondok menurut Pancho dan Soerjani (1978) dalam dalam Aulia,dkk, (2013) eceng gondok termasuk dalam divisi Spermatophyta, kelas Monocotyledons, ordo Farinosae, famili Pontederiaceae, genus Eichornia, dan spesies : Eichornia crassipes. Tanaman ini mempunyai daya adaptasi lebih besar dibandingkan dengan tumbuhan air lainnya dan umumnya hidup di sungai dank anal. Nama lain eceng gondok dalam bahasa melayu adalah etjeng padi dan keladi bunting (Waterhause, 1994 dalam dalam Aulia,dkk, 2013). Menurut Mitchell 1974 dalam dalam Aulia,dkk, 2013) eceng gondok tergolong pleuston, tumbuhan air yang terbesar yang hidup mengapung bebas di permukaan air atau dapat tumbuh di tanah basah sebagai obligate acropleusphyte (Dinges, 1982 dalam Salundik, 1998 dalam Aulia,dkk, 2013) dan kebanyakan hidup di perairan yang tenang atau mengalir lambat (Soerjani dan Widyanto, 1977 dalam Aulia,dkk, 2013).

Suhu optimum untuk pertumbuhannya adalah berkisar antara 27-30C. pertumbuhan terhenti pada suhu di bawah 10C atau di atas 40C dan akan mati pada suhu dibawah 0C atau pada 45C dalam 48 jam. Faktor lainnya yang mempengaruhi pertumbuhan eceng gondok adalah pH. Kisaran pH optimum untuk pertumbuhannya adalah 6-8. Eceng gondok masih dapat tumbuh dalam keadaan miskin unsur hara dan pada perairan yang subur dapat berkembang biak dengan cepat (Gopal dan Sharma, 1981 dalam Aulia,dkk, 2013).

Menurut Santiago (1973 dalam Aulia,dkk, 2013) eceng gondok dapat tumbuh di kedalaman 0-30 cm. Pertumbuhan optimal terdapat pada perairan dangkal sehingga tumbuhan dapat mengapung dengan akar mencapai dasar perairan yang berlumpur. Eceng gondok berakar serabut yang tak bercabang, mempunyai tudung akar yang mencolok. Sistem perakaran eceng gondok umumnya lebih dari 50% dari seluruh biomassa tumbuhan. Akar berfungsi untuk mengisap atau menyerap makanan dan sebagai pegangan bagi yang tumbuh di tempat-tempat yang dangkal (Schulthorpe, 1967 dalam Aulia,dkk, 2013).

Kemungkinan penggunaan tanaman air dalam pengolahan air limbah sudah banyak dilakukan baik skala laboratorium maupun industri. Kayu apu dan genjer merupakan jenis gulma air yang sangat cepat tumbuh dan mempunyai daya adaptasi terhadap lingkungan baru yang sangat besar sehingga merupakan gangguan kronis dan sulit dikendalikan (Tjitrosoepomo, 2000 dalam Evrina,dkk 2005). Pada umumnya tumbuhan akan menyerap unsur-unsur hara yang larut dalam air dan dari tanah melalui akar-akarnya. Semua tumbuhan mempunyai kemampuan menyerap yang memungkinkan pergerakan ion menembus membran sel, mulai dari unsur yang berlimpah sampai dengan unsur yang sangat kecil dibutuhkan tanaman dan ternyata dapat diakumulasikan oleh tanaman (Wolverton dan Mcknown, 1975, dalam Evrina,dkk 2005). Oleh sebab itu kayu apu dan genjer dapat dimanfaatkan untuk melakukan penjernihan air. Umumnya tanaman air sangat tahan terhadap kadar unsur hara yang sangat rendah dalam air tetapi responnya terhadap kadar hara yang tinggi juga sangat besar. Tanaman air menyerap senyawa organik maupun anorganik terlarut ke dalam strukturnya sehingga pada umumnya limbah yang polutannya sudah dibersihkan oleh tumbuhan saat dialirkan ke lingkungan akibat kerusakannya lebih kecil (Lusianty dan Soerjani, 1974, dalam Evrina,dkk 2005).

Limbah merupakan bahan buangan yang berbentuk cair, gas dan padat yang mengandung bahan kimia yang sukar untuk dihilangkan dan berbahaya sehingga air limbah tersebut harus diolah agar tidak mencemari dan tidak membahayakan kesehatan lingkungan. Jenis limbah cair pada dasarnya ada 2 yaitu limbah industri dan limbah rumah tangga. Limbah cair yang termasuk limbah rumah tangga pada dasarnya hanya mengandung zat zat organik yang dengan pengolahan yang sederhana atau secara biologi dapat menghilangkan polutan yang terdapat di dalamnya (Ginting, 1992 dalam Aulia,dkk, 2013). Menurut (Sugiharto 1987 dalam Aulia,dkk, 2013), Limbah cair rumah tangga adalah air yang telah digunakan yang berasal dari rumah tangga atau permukiman, perdagangan, daerah kelembagaan dan daerah rekreasi, meliputi air buangan dari kamar mandi, WC, tempat cuci atau tempat memasak. Limbah cair domestik pada umumnya berasal dari limbah cair toilet yang dikenal sebagai black water dan limbah cair rumah tangga yang berasal dari dapur, laundry, dan kamar mandi yang dikenal sebagai grey water (Lange dan Otterpohl, 1997 dalam Aulia,dkk, 2013). Limbah cair dari rumah pada umumnya berasal dari toilet (33,3 %), kegiatan mandi (33,33 %) dan sisanya berasal dari aktifitas mencuci makanan, minuman serta pakaian. Limbah cair rumah tangga disusun atas karbohidrat, lemak, protein, urea, garam phospat, bakteri serta logam berat (Bahlo dan Wach, 1992 dalam Aulia,dkk, 2013). Secara prinsip air limbah domestik terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu air limbah yang terdiri dari air buangan tubuh manusia yaitu tinja dan urine (black water) dan air limbah yang berasal dari buangan dapur dan kamar mandi (gray water), yang sebagian besar merupakan bahan organik ( Veenstra, 1995 dalam Aulia,dkk, 2013). Menurut Hammer 1977 dalam Aulia,dkk, 2013), volume limbah cair dari daerah perumahan bervariasi, dari 200 400 liter per orang per hari, tergantung pada tipe rumah. Aliran terbesar berasal dari rumah keluarga tunggal yang mempunyai beberapa kamar mandi, mesin cuci otomatis, dan peralatan lain yang menggunakan air. Angka volume limbah cair sebesar 400 liter / orang / hari biasa digunakan untuk limbah cair rumah tangga yang mencakup limbah cair dari perumahan dan perdagangan, ditambah dengan rembesan air tanah.Dengan menggunakan teknik fitoremediasi dengan menggunakan tanaman eceng gondok dan kayu apu diharapkan dapat mengurangi akndungan kontaminan atau limbah pada pencemaran air. Teknologi ini potensial untuk diaplikasikan, aman digunakan dengan dampak negatif kecil, memberikan efek positif yang multiguna terhadap kebijakan pemerintah, komunitas masyarakat dan lingkungan, biaya relatif rendah, mampu mereduksi volume kontaminan, dan memberikan keuntungan langsung bagi kesehatan masyarakat. Keuntungan paling besar dalam penggunaan fitoremediasi adalah biaya operasi yang lebih murah. (Fahruddin, 2010 dalam Aulia,dkk, 2013)

Keuntungan utama dari aplikasi teknik fitoremediasi dibandingkan dengan system remediasi lainnya adalah kemampuannya untuk menghasilkan buangan sekunder yang lebih rendah sifat toksiknya, lebih bersahabat dengan lingkungan serta lebih ekonomis. Kelemahan fitoremediasi adalah dari segi waktu yang dibutuhkan lebih lama dan juga terdapat kemungkinan masuknya kontaminan ke dalam rantai makanan melalui konsumsi hewan dari tanaman tersebut (Pratomo dkk, 2004 dalam Aulia,dkk, 2013).

B. TEMPAT DAN WAKTU PRAKTIKUM

Tempat Praktikum : Rawa Jombor, Klaten dan Kampus Pasca Sarjana Pendidikan Sins Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Waktu Praktikum : 1. Rowo Jombor, 11 Juni 2015.

2. Kampus Pasca Sarjana Pendidikan Sins Universitas Sebelas Maret Surakarta, 19 s/d 30 Juni 2015.C. METODE PRAKTIKUM

Pada praktikum Fitoremediasi ini menggunakan tiga populasi yang berbeda yaitu: (1) populasi air di dalam ember tidak diisi dengan tanaman(2) populasi air di dalam ember diisi eceng gondok(3) populasi air di dalam ember diisi eceng gondok + kayu apu.Pada ketiga populasi tersebut diberikan tiga perlakuan yang berbeda yaitu :Perlakuan1 : kontrol,

Perlakuan 2 : limbah 1(deterjen)Perlakuan 3 : limbah 2 (pelet)

Untuk lebih jelasnya dapat dijelaskan pada tabel 1 dan gambar 1 dibawah ini :

Tabel 1.

NoPerlakuanPopulasi 1Populasi 2Populasi 3

1.Kontrol

2.Limbah 1

3.Limbah 2

Gambar 1.

Pada praktikum ini dibagi menjadi 3 kelompok pengamatan. Pembagian kelompok pengematan dijeaskan sebagai berikut:

Kelompok 1: Mengamati Populasi 1 dengan ketiga perlakuan (control, limbah 1, limbah 2).NoPerlakuanPopulasi 1

1.Kontrol

2.Limbah 1

3.Limbah 2

Kelompok 2: Mengamati populasi 2 dengan ketiga perlakuan (control, limbah 1, limbah 2)NoPerlakuanPopulasi 2

1.Kontrol

2.Limbah 1

3.Limbah 2

Kelompok 3: Mengamati populasi 3 dengan ketiga perlakuan (control, limbah 1, limbah 2)

NoPerlakuanPopulasi 3

1.Kontrol

2.Limbah 1

3.Limbah 2

Proses pengamatan praktikum ini dilaksanakan selama 11 hari. Untuk jadwal pengamatan ketiga kelompok, untuk masing-masing populasi hasil data pengamatan dituangkan ke dalam tabel 3 dibawah ini : Tabel 3.

PERLAKUAN

HariVARIABEL YANG DIAMATIKontrol

Limbah 1

Limbah2

Intensitas Cahaya

pH

Suhu

Warna

Bau

Intensitas Cahaya

pH

Suhu

Warna

Bau

Intensitas Cahaya

pH

Suhu

Warna

Bau

Untuk pengamatan massa tanaman eceng gondok dan kayu apu disajikan dalam tabel 4 dibawah ini:Tabel 4.

HARIPERLAKUANPOPULASI 1

TANPA TANAMAN

(gram)POPULASI 2

TANAMAN ENCENG GONDOK

(gram)POPULASI 3

TANAMAN ENCENG GONDOK DAN KAYU APU(gram)

Kontrol

Detergen

Pelet

Untuk pengamatan terhadap kondisi ikan pada masing-masing populasi yang dimasukkan pada hari ke 9, 10, dan 11 disajikan dalam tabel 5 dibawah ini:

PERLAKUAN

HariVARIABEL YANG DIAMATIKontrol

Limbah 1

Limbah2

KONDISI IKAN

D. DATA HASIL PENGAMATAN

E. ANALISA DATA1. Analisa Perbandingan Intensitas Cahaya

Setelah melakukan pengamatan selama 11 hari dapat dijelaskan perbandingan perubahan Intensitas cahaya dari setiap populasi dan perlakuan yang dilakukan

PopulasiHari keIntensitas Cahaya pada Perlakuan

kontroldetergenpelet

Populasi 10533

3523

6523

9432

10422

11422

Populasi 20533

3522

6523

9523

10422

11422

Populasi 30525

3522

6522

9523

10522

11513

Perbandingan intensitas cahaya masing-masing perlakuan pada tiga populasi yang berbeda.Rata-rata intensitas cahaya dengan perlakuan control pada populasi 1 = 4.5

Rata-rata intensitas cahaya dengan perlakuan control pada populasi 2 = 4.67Rata-rata intensitas cahaya dengan perlakuan control pada populasi 3 = 5

Rata-rata intensitas cahaya dengan perlakuan deterjen pada populasi 1 = 2.33Rata-rata intensitas cahaya dengan perlakuan deterjen pada populasi 2 = 2.16Rata-rata intensitas cahaya dengan perlakuan deterjen pada populasi 3= 1.83

Rata-rata intensitas cahaya dengan perlakuan pelet pada populasi 1 = 2.5Rata-rata intensitas cahaya dengan perlakuan pelet pada populasi 2= 2.5Rata-rata intensitas cahaya dengan perlakuan pelet pada populasi 3 = 2.83

Dari analisa perbandingan intensitas cahaya dapat dijelaskan bahwa intensitas cahaya pada perlakuan control dan pelet menunjukkan pola yang hampir sama yaitu intensitas rata-rata cahaya pada populasi 3 > Intensitas rata-rata cahaya pada populasi 1. Sedangkan intensitas cahaya pada perlakuan deterjen menunjukkan pola yang berbeda yaitu Intensitas rata-rata cahaya pada populasi 1 > Intensitas rata-rata cahaya pada populasi 2 > Intensitas rata-rata cahaya pada populasi 3.2. Analisa Perbedaan Suhu

Setelah melakukan pengamatan selama 11 hari dapat dijelaskan perbandingan perubahan suhu dari setiap populasi dengan tiga perlakuan yang dilakukan.PopulasiHari keSuhu pada Perlakuan

Control (0C)Detergen (0C)Pelet (0C)

Populasi 10282828

3242424

6232323

9252626

10262626

11252525

Populasi 20282828

3242424

6232323

9262626

10262626

11252525

Populasi 30282828

3242424

6232323

9252525

10262626

11252525

Perbandingan suhu dengan masing-masing perlakuan pada tiga populasi yang berbeda

Rata-rata suhu dengan perlakuan kontrol pada populasi 1 = 25.16Rata-rata suhu dengan perlakuan kontrol pada populasi 2 = 25.33Rata-rata suhu dengan perlakuan kontrol pada populasi 3 = 25.16

Rata-rata suhu dengan perlakuan deterjen pada populasi 1= 25.33Rata-rata suhu dengan perlakuan deterjen pada populasi 2= 25.33Rata-rata suhu dengan perlakuan deterjen pada populasi 3 = 25.16

Rata-rata suhu dengan perlakuan pelet pada populasi 1= 2533Rata-rata suhu dengan perlakuan pelet pada populasi 2= 25.33Rata-rata suhu dengan perlakuan pelet pada populasi 3= 25.16

Dari hasil analisa ketiga grafik diatas maka dapat dijelaskan bahwa nilai suhu rata-rata dengan masing-masing perlakuan pada populasi yang berbeda menunjukkan nilai yang hampir sama.3. Analisa Hubungan Massa Tanaman dengan Intensitas Cahaya pada Masing-masing Populasi dengan Perlakuan yang Berbeda

PerlakuanMassa Pada Populasi 2 (gram)Intensitas Cahaya Pada Populasi 2

kontrol71.254.67

deterjen49.582.16

pelet70.412.5

PerlakuanMassa Pada Populasi 3 (gram)Intensitas Cahaya Pada Populasi 3

kontrol355

deterjen24.51.83

pelet48.52.83

Pada grafik hubungan Hubungan Massa Tanaman dengan Intensitas Cahaya pada Masing-masing Populasi dengan Perlakuan yang Berbeda menunjukkan pola yang sam yaitu pada masing masing populasi 2 dan 3 dengan perlakuan deterjen mengalami penurunan nilai rata-rata massa dan intensitas cahaya.F. PEMBAHASAN

Dari hasil analisa data maka dapat dijelaskan bagaimana proses fitoremediasi yang dilakukan oleh tanaman eceng gondok dan kayu apu dilihat dari segi intensitas cahaya, suhu, dan massa dengan perbedaan perlakuan pada tiga populasi yang berbeda.Pada analisa perbandingan nilai rata-rata intensitas cahaya dengan perlakuan menggunakan deterjen menunjukkan pola grafik yang linear menjorok ke bawah dari populasi 1 ke populasi 2 ke populasi 3. Salah satu penyebab hal ini adalah saat hari pertama pengamatan dengan perlakuan menggunakan deterjen massa dan intensitas cahaya tanaman yang diberikan pada populasi 2 dan 3 lebih sedikit jumlahnya jika dibandingkan dengan perlakuan menggunakan pelet massa tanaman yang diberikan pada populasi 2 dan 3PerlakuanPopulasi 1

Tanpa tanaman

(gram)Populasi 2

Tanaman enceng gondok

(gram)Populasi 3

Tanaman enceng gondok dan kayu apu

(gram)

Pelet7055

7055

7055

Sedangkan pada perlakuan deterjen perbandingan menunjukkan

PerlakuanPopulasi 1

Tanpa tanaman

(gram)Populasi 2

Tanaman enceng gondok

(gram)Populasi 3

Tanaman enceng gondok dan kayu apu

(gram)

Detergen-42,522,5

-42,522,5

-42,522,5

Perbandingan massa pada perlakuan deterjen dan perlakuan pelet : (70+55) : (42,5 +22,5) = 125 : 65 (massa pada perlakuan pelet > massa pada perlakuan deterjen). Sehingga daya fitoremediasi dari tanaman eceng gondok dan kayu apu dengan menggunakan perlakuan pelet lebih besar dibandingkan daya fitoremediasi dari tanaman eceng gondok dan kayu apu dengan menggunakan perlakuan pelet.Pada analisa perbandingan nilai rata-rata suhu dengan masing-masing perlakuan menunjukkan pola grafik sejajar dan menunjukkan nilai pangkal suhu pada setiap populasi sama dengan 25 (0C). Hal ini dikarenakan tempat penyimpanan ember di dalam ruangan yang sama. Tidak ada pengaruh suhu dari lingkungan yang cukup signifikan.

Pada analisa hubungan massa tanaman dengan intensitas cahaya pada masing-masing populasi dengan perlakuan yang berbeda memiliki pola yang sama, yaitu pada perlakuan menggunakan deterjen baik pada populasi 2 dan populasi 3 mengalami penurunan nilai rata rata massa dan intensitas cahaya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa massa dari populasi tanaman fitoremediator (eceng gondok dan kayu apu) menentukan besar kecilnya tingkat fitoremediasi pada air yang keruh. Semakin besar massa tanaman akan fitoremediator akan semakin besar pula tingkat fitoremediasi pada populasi yang terkontaminasi.G. KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULANDari Hasil Praktikum fitoremediasi tanaman eceng gondok dan kayu apu terhadap limbah deterjen dan pelet pada perlakuan kondisi populasi yang berbeda dijelaskan kesimpulan sebagai berikut:1. Faktor yang memperngaruhi tingkat fitoremediasi salah satunya adalah jumlah massa tanaman.

2. Tanaman Eceng gondok dan Kayu apu efektif dalam melakukan fitoremediasi, terbukti pada perlakuan control dan perlakuan pelet pada populasi 1, 2 dan 3 memiliki nilai rata-rata intensitas cahaya masing-masing (4,5 ke 4.67 ke 5) dan (2.5 ke 2.5 ke 2.83). Hal ini dapat diasumsikan bahwa tanaman eceng gondok yang tumbuh 40% di badan air Rawa Jombor dari luas wilayah rawa berfungsi sebagai agen fitoremediasi dari air inlet yang keruh menjadi air outlet yang lebih jernih.SARANBagi para kalangan pencinta IPA biologi jika ingin melakukan praktikum sebaiknya jumlah massa tanaman pada masing-masing populasi besarnya sama jika tujuan praktikum ingin membandingkan perbedaan perlakuan dari populasi yang berbeda. Hal ini akan memudahkan dalam menganalisa data.H. DAFTAR PUSTAKA

Suardhana IW. Pemanfaatan Eceng Gondok (Eichhornia crassipes (Mart) Solm) Sebagai Teknik Alternatif dalam Pengolahan Biologis Air Limbah Asal Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Pesanggaran, Denpasar Bali. Jurnal Biologi; 2009 Desember: 9(6): 759-760.Ardiwinata RO. Musuh Dalam Selimut di Rawa Pening. Kementrian Pertanian; 1985.Departemen Permukiman dan Prasaran Wilayah Jakarta, 2003. Fitoremediasi. Available:http://digilibampl.net/file/pdf/fitoremediasi.pdf. [ Diakses tanggal 5 Juli 2015].

Wesley M.Johnson & John A.Maxwell. 1981. Rock And Mineral Analysis.Second Edition. New York. Interscience Publication. 93-105. Dalam Yola, Holis, & Ida. 2014. Pemanfaatan Tanaman Eceng-Ecengan (Ponteridaceae) sebagai Agen Fitoremediasi dalam Pengolahan Limbah Krom Industri Penyamakan Kulit. Jurnal. Volume1. No1.Hal 27. Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran.Ervina Hermawati, Wiryanto, Solichatun.2005. Fitoremediasi Limbah Detergen Menggunakan Kayu Apu (Pistia stratiotes L. ) dan Genjer (Limnocharis flava L.). Jurnal Volume 7. No.2. Hal 115. Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Aulia Nurmitha A. Lawalenna Samang, Achmad Zubair. 2013. Fitoremediasi Pengolahan Limbah Cair Rumah Tangga Dengan Memanfaatkan Eceng Gondok. Jurnal. Hal.2-3. Staf Pengajar Jurusan Sipil Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin.Populasi 2 limbah 1

Populasi 3 limbah 1

Populasi 1 limbah 1

populasi 1 kontrol

Populasi 2 kontrol

Populasi 3 kontrol

Populasi 1 limbah 2

Populasi 2 limbah 2

Populasi 3 limbah 2