case koas interna rsmm

35
BAB I KASUS STATUS PASIEN 1. IDENTITAS PASIEN Nama : Tn. A Umur : 23 Jenis Kelamin : laki-laki Alamat : jl. Kelor Utama Ujung RT 08/04, Kota Bogor Status : Belum Nikah Pekerjaan : Pelajar Agama : Islam Suku : - 2. ANAMANESIS LENGKAP Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada hari Selasa, 2 September 2014 pukul 07.30 WIB. Keluhan Utama Nyeri ulu hati sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit Keluhan Tambahan Mual (+) Pusing (+) 1

Upload: fardhian-zaenal

Post on 11-Dec-2015

49 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

kasus

TRANSCRIPT

Page 1: Case Koas Interna RSMM

BAB I

KASUS

STATUS PASIEN

1. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. A

Umur : 23

Jenis Kelamin : laki-laki

Alamat : jl. Kelor Utama Ujung RT 08/04, Kota Bogor

Status : Belum Nikah

Pekerjaan : Pelajar

Agama : Islam

Suku : -

2. ANAMANESIS LENGKAP

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada hari Selasa, 2 September 2014 pukul

07.30 WIB.

Keluhan Utama

Nyeri ulu hati sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit

Keluhan Tambahan

Mual (+)

Pusing (+)

Lemas (+)

a. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke UGD RSMM pada hari Minggu, 31 Agustus 2014 membawa

hasil pemeriksaan laboratorium dari Dinas Kesehatan dengan hasil pemeriksaan

widal positif. Pasien datang dengan keluhan nyeri ulu hati sejak 2 hari sebelum

masuk rumah sakit. Nyeri yang dirasakan pasien seperti ditusuk-tusuk. Keluhan 1

Page 2: Case Koas Interna RSMM

utama pasien disertai perut mual, badan lemas, dan kepala pusing. Pasien merasa

BAB tidak ada keluhan serta BAK tidak ada keluhan, dan tidak muntah. Pasien

menyangkal adanya demam selama keluhannya dan perdarahan spontan seperti

mimisan atau gusi berdarah. Pasien tidak sesak, tidak ada batuk pilek, dan tidak

ada nyeri dada.

b. Riwayat Penyakit Dahulu

DBD

c. Riwayat Penyakit Keluarga

Ayah : Diabetes Melitus, Hipertensi

Ibu : -

d. Riwayat Pribadi

Pasien tidak keluar kota dalam 6 bulan terakhir sebelum saki

Pasien terkadang membeli makanan-makanan di pinggir jalan.

e. Riwayat Pengobatan

-

2

Page 3: Case Koas Interna RSMM

3. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : Sedang

Kesadaran : Compos mentis

Keadaan Sakit : Tampak sakit sedang

Keadaan Gizi : Baik

Tanda Vital

o Tekanan Darah : 110/70 mmHg

o Nadi : 80x/menit

o Suhu : 35,9°C

o Pernapasan : 16x/menit

Status Generalis

o Kulit

Warna : Sawo matang

Keringat : Umum

Efloresensi : -

Jaringan Parut : -

Pigmentasi : -

Suhu raba : lenbab, hangat

Ikterus : -

o Kepala

Simetri muka: Simetris

Rambut: Hitam, distribusi normal

Deformitas: -

Nyeri: -

o Mata

Eksophtalmus/endophtalmus : -

Gerakan : Dalam batas normal

Tekanan bola mata : Dalam batas normal

Palpebra : Dalam batas normal

Konjungtiva : Anemis -/-

Sklera : Ikterik -/-

Kornea : Jernih

Lensa : Bening

Visus : Tidak dilakukan pemeriksaan

Lapang pandang : Tidak dilakukan pemeriksaan

3

Page 4: Case Koas Interna RSMM

o Telinga

Daun telinga : Deformitas -/-, hiperemis -/-, tofi -/-, nyeri tarik & tekan -/-

Retroaurikuler : hiperemis -/-, fistel -/-, nyeri tekan -/-

Liang telinga : serumen +/+, sekret -/-

Membran timpani : Tidak dilakukan pemeriksaan

o Hidung

Bentuk luar : Simetris

Abses/trauma/deformitas : -/-

Vestibulum nasi : sekret -/-

Nyeri tekan sinus paranasalis : -/-

o Mulut dan Tenggorokan

Bibir: Dalam batas normal

Lidah: kotor pada permukaan atas lidah

Mukosa mulut: Dalam batas normal

Arkus faring: Simetris

Faring: tidak hiperemis

Tonsil: T1-T1, kripta -/-, detritus -/-

o Leher

Tidak teraba perbesaran KGB leher

JVP dalam batas normal

o Thoraks

Pulmo

Inspeksi

Statis : Kanan dan kiri simetris, Barrel’s Chest (-)

Dinamis : Kanan dan kiri simetris saat inspirasi

Ruam/efloresensi : -

Sela iga: Dalam batas normal

Palpasi

Vocal Fremitus kuat dan simetris pada dinding thoraks kanan & kiri

Nyeri (-)

Perkusi

Sonor

Batas paru hepar setinggi ICS 6 dengan peranjakan setinggi ICS 7

Auskultasi

4

Page 5: Case Koas Interna RSMM

Suara napas vesikuler, kuat pada thoraks kanan & kiri

Ronkhi -/-, wheezing -/-

Cor

Inspeksi

Ictus cordis (-)

Palpasi

Ictus cordis (+) dengan punctum maksimum setinggi ICS 5 garis midclavikularis kiri

Perkusi

Batas jantung dalam batas normal

Auskultasi

Bunyi jantung I-II reguler

Murmur (-), Gallop (-)

o Abdomen

Inspeksi

Datar, jaringan parut (-)

Ruam/efloresensi (-)

Venektasi (-), ikterik (-)

Gerakan peristaltik tidak tampak

Palpasi

Generalis

Supel

Nyeri tekan epigastrium (+)

Hepar

Tidak teraba

Lien

Tidak teraba

Ginjal

Ballotement (-)

Lain-lain

(-)

Perkusi

Timpani pada seluruh lapang abdomen

Auskultasi

Bisuing Usus (+) Normal

o Punggung

Inspeksi

Deformitas (lordosis, skoliosis, kifosis) tidak ada5

Page 6: Case Koas Interna RSMM

Ruam/efloresensi (+)

Palpasi

Vocal Fremitus simetris, thoraks kanan dan kiri kuat

Perkusi

Sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi

Suara napas vesikuler, kuat pada thoraks kanan & kiri

Ronkhi -/-, wheezing -/-

Nyeri Ketok CVA

Negatif (-/-)

Gerakan

Dalam batas normal

Lain-lain

(-)

o Ekstremitas

Atas

Akral hangat (+/+)

Akral sianosis (-/-)

Ikterik (-/-)

Ruam/efloresensi (-/-)

Oedem (-/-)

Deformitas (-/-)

Krepitasi (-/-)

Nyeri (-/-)

Bawah

Akral hangat (+/+)

Akral sianosis (-/-)

Ikterik (-/-)

Ruam/efloresensi (-/-)

Oedem (-/-)

Deformitas (-/-)

Krepitasi (-/-)

Nyeri (-/-)

6

Page 7: Case Koas Interna RSMM

PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Laboratorium

Haematologi 31 – 8 – 2014 1 – 9 – 2014 2 – 9 – 2014

Haemoglobin 15,4 g/dl 15,1 g/dl 15,2 g/dl

Leukosit 7.870 /mm3 8.460 /mm3 6.720 /mm3

Trombosit 185.000 /mm3 167.000 /mm3 163.000 /mm3

Haematokrit 43 % 45 % 44 %

Kimia Darah

SGOT 37 U/I - -

SGPT 44 U/I - -

Ureum 23 mg/dl - -

Kreatinin 0,78 mg/dl - -

GDS 122 mg/dl - -

Serologi

Widal

O. Antigen

S, Typhosa + 1/320 - -

S. Paratyphii A + 1/160 - -

S. Paratyphii B + 1/160 - -

S. Paratyphii C Negatif - -

H. Antigen

S, Typhosa Negatif

S. Paratyphii A 1/320

S. Paratyphii B Negatif

S. Paratyphii C Negatif

7

Page 8: Case Koas Interna RSMM

4. RESUME Anamnesis

Pasien datang dengan keluhan nyeri ulu hati sejak 2 hari sebelum masuk rumah

sakit. Pasien datang membawa hasil pemeriksaan lab dengan hasil pemeriksaan

widal positif. Keluhan utama pasien disertai keluhan mual, badan lemas, dan

kepala pusing. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Pasien menyangkal adanya

demam selama keluhan utama.

Pemeriksaan Fisik Mulut : Lidah kotor Abdomen : Nyeri tekan epigastrium (+)

Pemeriksaan Penunjang

Serologi

Widal

O. Antigen

S, Typhosa + 1/320 - -

S. Paratyphii A + 1/160 - -

S. Paratyphii B + 1/160 - -

S. Paratyphii C Negatif - -

H. Antigen

S, Typhosa Negatif

S. Paratyphii A 1/320

S. Paratyphii B Negatif

S. Paratyphii C Negatif

8

Page 9: Case Koas Interna RSMM

5. MASALAH

Nyeri ulu hati

Pemeriksaan widal positif

6. PENGKAJIAN

Nyeri ulu hati

Mual (+)

Nyeri tekan Epigastrium (+)

Diagnosis Kerja : Sindroma Dispepsia

Diagnosis Banding : Gastroenteritis

Pemeriksaan Widal positif

Mual (+)

Pusing (+)

Badan lemas (+)

Lidah kotor (Typhoid tounge)

Diagnosis Kerja : Demam Typhoid

Diagnosis Banding : Demam Dengue

Malaria

7. RENCANA Non Medikamentosa

o Rawat inap

o Tirah baring

o Asupan cairan dan nutrisi yang cukup

o Menghindari makanan-makanan yang pedas, asam, dan bersantan.

9

Page 10: Case Koas Interna RSMM

Medikamentosa

o Ringer Laktat 500ml 4 kolf @30 TPM

o Lansoprazole 30 mg 1 x 1

o Levofloksasin 500 mg 1 x 1 No. VII

o Parasetamol 500mg 3 x 1

8. PROGNOSIS

Ad Vitam : ad Bonam

Ad Sanationam : ad Bonam

Ad Fungsionam : ad Bonam

9. KESIMPULAN

Pasien datang ke UGD RSMM dengan keluhan nyeri ulu hati disertai mual, badan

lemas dan kepala pusing.pasien datang membawa hasi pemeriksaan laboratorium

dengan hasil pemeriksaan widal positif. Pada pemeriksaan fisik didapatkan

gambaraan lidah kotor atau typhoid tounge dan nyeri tekan epigastrium positif. Pada

pasien ini terdiagnosis penyakit demam typhoid dan sindroma dispepsia. Pasien

diberlakukan rawat inap dan istirahat tirah baring dengan asupan gizi dan cairan yang

cukup. Pasien diberikan terapi cairan rumatan Ringer laktat, pengobatan simptomatik

seperti lansoprazole 30 mg dan paracetamol 500 mg, disertai pengobatan antibiotik

levofloksasin 500 mg selama 7 hari. Pada pasien ini diharapkan menuju prognosis

yang baik secara keseluruhan dilihat dari keadaan umum dan pengobatan yang

adekuat untuk pasien.

10

Page 11: Case Koas Interna RSMM

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

PEMBAHASAN

A. Etiologi

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gramnegatif, mempunyai

flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob. Mempunyai antigen

somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan

envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekular

lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan

endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan

dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.

B. Patogenesis

Bakteri salmonella typhi bersama makanan / minuman masuk ke dalam tubuh melalui

mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH < 2) banyak bakteri yang mati.

Keadaan-keadaan seperti aklorhidiria, gastrektomi, pengobatan dengan antagonis reseptor

histamin H2, inhibitor pompa proton atau antasida dalam jumlah besar, akan mengurangi dosis

infeksi. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus halus, bakteri melekat

pada sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan menembus dinding usus,

tepatnya di ileum dan yeyenum.

Setelah berada dalam usus halus, kuman mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus

halus (terutama plak peyer) dan jaringan limfoid mesentrika. Setelah menyebabkan

peradangan dan nekrosis setempat kuman lewat pembuluh limfe masuk ke darah (bakteremia

primer) menuju organ retikuloendotelial system (RES) terutama hati dan limfa. Di tempat ini,

kuman di fagosit oleh sel-sel fagosit RES dan kuman yang tidak difagosit akan berkembang

biak. Pada akhir masa inkubasi, berkisar 5 – 9 hari, kuman kembali masuk ke darah menyebar

ke seluruh tubuh (bakteremia sekunder), dan sebagian kuman masuk ke organ tubuh terutama

limpa, kandung empedu yang selanjutnya kuman tersebut dikeluarkan kembali dari kandung

empedu ke rongga usus dan menyebabkan reinfeksi di usus. Dalam masa baktremia ini,

kuman mengeluarkan endotoksin yang susunan kimianya sama dengan antigen somatik

11

Page 12: Case Koas Interna RSMM

(lipopolisakarida), yang semula di duga bertanggung jawab terhadap terjadinya gejala-gejala

dari demam tifoid.

Pada penelitian lebih lanjut terutama endotoksin hanya mempunyai peranan

membantu proses peradangan lokal. Pada keadaan tersebut, kuman ini berkembang.

Demam tifoid disebabkan oleh salmonella thyposa dan endotoksinnya yang

merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang.

Selanjutnya zat pirogen yang beredar di darah memengaruhi pusat termuregulator di

hipotalamus yang mengekibatkan timbulnya gejala demam.

Akhir-akhir ini beberapa peneliti mengajukan patogenesis terjadinya manifestasi

klinis sebagai berikut : makrofag pada penderita akan menghasilkan substansi aktif yang

disebut monokin, selanjutnya monokin ini dapat menyebabkan nekrosis seluler dan

merangsang sistem imun, instabilasi vaskuler, depresi sumsum tulang dan panas.

Perubahan histopatologi pada umumnya ditemukan infiltrasi jaringan oleh makrofag

yang mengandung eritrosit, kuman, limfosit yang sudah terdegenerasi yang dikenal sebagai

sel tifoid. Bila sel-sel ini beragregasi, terbentuklah nodul. Nodul ini sering didapatkan dalam

usus halus, jaringan limfe mesenterium, limpa, hati sumsum tulang dan organ-organ yang

terinfeksi.

Kelainan utama terjadi di ileum terminale dan plak peyer yang hiperplasi (minggu

pertama), nekrosis (minggu kedua) dan ulserasi (minggu ketiga) serta bila sembuh tanpa

adanya pembentukan jaringan parut. Sifat ulkus berbentuk bulat lonjong sejajar dengan

sumbu panjang usus dan ulkus ini dapat menyebabkan perdarahan bahkan perforasi.

Gambaran tersebut tidak didapatka pada kasus demam tofoid yang menyerang bayi maupun

tifoid kongenital.

C. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi bila

dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis,

akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak, terutama pada

penderita yang lebih muda, seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi.

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 – 20 hari, dengan masa inkubasi terpendek

3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan

jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum/status gizi serta status imunologis penderita.

12

Page 13: Case Koas Interna RSMM

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar gejala-

gejala yang timbul dapat dikelompokkan :

Demam satu minggu atau lebih.

Gangguan saluran pencernaan

Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada

umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi. Pada

pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Setelah minggu kedua,

gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati

dan limpa, perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai

berat.

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa,

kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat pula mendadak

tinggi dan remiten (39 – 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang

tifoid kongenital.

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda

antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal, di bagian belakang tampak lebih

pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit makin progresif, akan terjadi

deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen.

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua.

Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 – 4 mm, berwarna merah

pucat serta hilang pada penekanan.

Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya mengandung kuman salmonella,

dan terutama didapatkan di daerah perut, dada, kadang-kadang di bokong, ataupun bagian

fleksor lengan atas.

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus

dibedakan dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak

progresif dengan konsistensi lebih lunak.

Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 – 5 mm,

sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang

kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada

hari ke 7 – 10 dan bertahan selama 2 -3 hari.

13

Page 14: Case Koas Interna RSMM

D. Gambaran Darah Tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan

peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer, yang diduga karena

efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan leukopenia,

diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah.

Sering hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis, terutama bila disertai

komplikasi lain. Trombosit jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis didapatkan

limfositosis relatif, aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung

pada perjalanan penyakitnya.

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan mieloid sistem

normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.

E. Diagnosis

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah

inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan

kesadaran. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala

konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen,

pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental. Sembelit dapat merupakan

gangguan gastointestinal awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare. Diare hanya

terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi.

Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan,

nyeri abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium.

Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan

dewasa. Rose spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat timbul pada kulit dada dan

abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak

ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan

letargi menetap sampai 1-2 bulan.

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya

ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis

bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam

tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium

untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi,

14

Page 15: Case Koas Interna RSMM

bakteriologis, dan serologis. Dalam kepustakaan lain disebutkan bahwa pemeriksaan

laboratorium untuk menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam tiga kelompok, yaitu

Isolasi kuman penyebab demam tifoid melalui biakan kuman dari spesimen

penderita, seperti darah, sumsum tulang, urin, tinja, cairan duodenum dan rose

spot.

Berkaitan dengan patogenesis, maka kuman lebih mudah ditemukan di dalam

darah dan sumsum tulang di awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya

didalam urin dan tinja. Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid, namun

hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung beberapa

faktor. Faktor tersebut adalah (1) jumlah darah yang diambil, (2) perbandingan

volume darah dan media empedu, serta (3) waktu pengambilan darah. Untuk

menetralisir efek bakterisidal oleh antibodi atau komplemen yang dapat menghambat

kuman pertumbuhan kuman, maka darah harus diencerkan 5-10 kali. Waktu

pengambilan darah paling baik adalah pada saat demam tinggi atau sebelum

pemakaian antibiotik, karena 1-2 hari setelah diberi antibiotik kuman sudah sukar

ditemukan di dalam darah.

Biakan darah positif ditemukan pada 75-80% penderita pada minggu pertama

sakit, sedangkan pada akhir minggu ke-tiga, biakan darah positif hanya pada 10%

penderita. Setelah minggu ke-empat penyakit, sangat jarang ditemukan kuman di

dalam darah. Bila terjadi relaps, maka biakan darah akan positif kembali.

Biakan sumsum tulang sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan

menghilang pada fase penyembuhan.

Pengobatan antibiotik akan mematikan kuman di dalam darah beberapa jam

setelah pemberian, sedangkan kuman di dalam sumsum tulang lebih sukar dimatikan.

Oleh karena itu pemeriksaan biakan darah sebaiknya dilakukan sebelum pemberian

antibiotik.

Walaupun metoda biakan kuman S.typhi sebenarnya amat diagnostik namun

memerlukan waktu 3-5 hari. Biakan kuman ini sulit dilakukan di tempat pelayanan

kesehatan sederhana yang tidak memiliki sarana laboratorium lengkap.

Uji serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen S.typhi dan

menentukan adanya antigen spesifik dari Salmonella typhi.

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap

kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896. Pada uji Widal

15

Page 16: Case Koas Interna RSMM

terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut

aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda

ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi

maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan

aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum

penderita tersangka demam tifoid yaitu;

1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2. Aglutinin H (flagel kuman)

3. Aglutinin Vi (simpai kuman).

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk

diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan

terinfeksi kuman ini.

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O.

Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa

tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh,

aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap

lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya

menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi

cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis

infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi.

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai uji

widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit)

menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus

benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak

senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada

titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan.

Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau,

sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat

timbul positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif.

Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang berhubungan

dengan penderita dan faktor teknis.

16

Page 17: Case Koas Interna RSMM

a) Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu

1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid.

2. Gangguan pembentukan antibodi.

3. Saat pengambilan darah.

4. Daerah endemik atau non endemik.

5. Riwayat vaksinasi.

6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan

demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.

b) Faktor teknik, yaitu

1. Akibat aglutinin silang.

2. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.

3. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.

Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:

1. Negatif Palsu

Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya (ini kejadian paling sering

di negara kita, demam –> kasih antibiotika –> nggak sembuh dalam 5 hari –> tes

Widal) menghalangi respon antibodi.

Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan kultur darah.

2. Positif Palsu

Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S. paratyphi A, B, C)

memiliki antigen O dan H juga, sehingga menimbulkan reaksi silang dengan jenis

bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan hasil positif palsu (false positive).

Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan tifoid).

Pemeriksaan melacak DNA kuman S.typhi.

Akhir-akhir ini banyak dimunculkan beberapa jenis pemeriksaan untuk

mendeteksi antibodi S. typhi dalam serum, antigen terhadap S. Typhi dalam darah,

serum dan urin bahkan DNA S. typhi dalam darah dan feses. Polimerase chain

reaction telah digunakan untuk memperbanyak gen Salmonella ser. Typhi secara

sfesifik pada darah pasien dan hasil dapat diperoleh hanya dalam beberapa jam.

Metode ini spesifik dan lebih sensitif dibandingkan dengan biakan darah. Walaupun

laporan-laporan pendahuluan menunjukkan hasil yang baik namun sampai sekarang

tidak salah satupun dipakai secara luas.

17

Page 18: Case Koas Interna RSMM

F. Dignosis Banding

Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis dapat

menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis, bronkitis dan

bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraseluler

seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga

perlu dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat, sepsis, leukimia, limfoma dan penyakit

hodgkin dapat sebagai dignosis banding.

G. Penyulit (Komplikasi)

Perforasi usus halus dilaporkan dapat terjadi pada 0,5 – 3%, sedangkan perdarahan

usus pada 1 – 10% kasus dema tifoid anak. Penyulit ini biasanya terjadi pada minggu ke-3

sakit, walau pernah dilaporkan terjadi pada minggu pertama. Komplikasi di dahului dengan

penurunan suhu, tekanan darah dan peningkatan frekuensi nadi. Pada perforasi usus halus

ditandai oleh nyeri abdomen lokal pada kuadran kanan bawah akan tetapi dilaporkan juga

nyeri yang menyelubung. Kemudian akan diikuti muntah, nyeri pada perabaan abdomen,

defance muskulare, hilangnya keredupan hepar dan tanda-tanda peritonitis yang lain.

Beberapa kasus perforasi usus halus mempunyai manifestasi klinis yang tidak jelas.

Dilaporkan pada kasus dengan komplikasi neuropsikiatri. Sebagian besar

bermanifestasi gangguan kesadaran, disorientasi, delirium, obtundasi, stupor bahkan koma.

Beberapa penulis mengaitkan manifestasi klinis neuropsikiatri dengan prognosis buruk.

Penyakit neurologi lain adalah rombosis sereberal, afasia, ataksia sereberal akut, tuli, mielitis

tranversal, neuritis perifer maupun kranial, meningitis, ensefalomielitis, sindrom Guillain-

Barre. Dari berbagai penyakit neurologik yang terjadi, jarang dilaporkan gejala sisa yang

permanen (sekuele).

Miokarditis dapat timbul dengan manifestasi klinis berupa aritmia, perubahan ST-T

pada EKG, syok kardiogenik, infiltrasi lemak maupun nekrosis pada jantung. Hepatitis tifosa

asimtomatik dapat dijumpai pada kasus demam tifoid ditandai peningkatan kadar

transaminase yang tidak mencolok. Ikterus dengan atau tanpa disertai kenaikan kadar

transaminase, maupun kolesistitis akut juga dapat dijumpai, sedang kolesistitis kronik yang

terjadi pada penderita setelah mengalami demam tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu

empedu dan fenomena pembawa kuman (karies).

Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui urin

pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis bahkan pielonefritis dapat juga merupakan

18

Page 19: Case Koas Interna RSMM

penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis

yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sindrom nefrotik mempunyai

prognosis buruk. Pneumonia sebagai komplikasi sering dijumpai pada demam tifoid.

Keadaan ini dapat ditimbulkan oleh kuman Salmonella typhi, namun sering kali sebagai

akibat infeksi sekunder oleh kuman lain. Penyulit lain yang dapat dijumpai adalah

trombositopenia, koagulasi intrvaskular diseminata, Hemolytic Uremic Syndrome (HUS),

fokal infeksi di beberapa lokasi sebagai akibat bakteremia misalnya infeksi pada tulang, otak,

hati, limpa, otot, kelenjar ludah dan persendian.

Relaps yang didapat pada 5-10% kasus demam tifoid saat era pre antibiotik, sekarang

lebih jarang ditemukan. Apabila terjadi relaps, demam timbul kembali dua minggu setelah

penghentian antiboitik. Namun pernah juga dilaporkan relaps timbul saat stadium konvalsens,

saat pasien tidak demam akan tetapi gejala lain masih jelas dan masih dalam pengobatan

antibiotik. Pada umumnya relaps lebih ringan dibandingkan gejala demam tifoid sebelumnya

dan lebih singkat.

H. Penatalaksanaan

Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati dirumah dengan tirah baring, isolasi

yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik. Sedangkan

untuk kasus berat harus dirawat dirumah sakit agar pemenuhan kebutuhan cairan, elektrolit

serta nutrisi disamping observasi kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan dengan

seksama. Pengobatan antibiotik merupakan pengobatan utama karena pada dasarnya

patogenesis infeksi Salmonella typhi berhubungan dengan keadaan bakteriemia.

Obat-obat antimikroba yang sering digunakan antara lain :

Kloramfenikol

Meskipun telah dilaporkan adanya resistensi kuman Salmonella terhadap

Kloramfenikol di berbagai daerah, Kloramfenikol tetap digunakan sebagai obat pilihan pada

kasus demam tifoid. Sejak ditemukannya obat ini oleh Burkoder sampai saat ini belum ada

obat antimikroba lain yang dapat menurunkan demam lebih cepat disamping harganya murah

dan terjangkau oleh penderita. Kekurangan kloramfenikol antara lain ialah reaksi

hipersensitifitas, reaksi toksik, grey syndrome, kolaps, dan tidak bermanfaat untuk

pengobatan karier.

19

Page 20: Case Koas Interna RSMM

Dalam pemberian kloramfenikol tidak terdapat keseragaman dosis. Dosis yang

dianjurkan ialah 50 – 100 mg/kgBB/hari, selama 10 – 14 hari. Untuk neonatus, penggunaan

obat ini sebaiknya dihindari, dan bila terpaksa, dosis tidak boleh melebihi 25 mg/kgBB/hari,

selama 10 hari.

Tiamfenikol

Tiamfenikol mempunyai efek yang sama dengan Kloramfenikol karena susunan

kimianya hampir sama dan hanya berbeda pada gugusan R-nya. Dengan pemberian

Tiamfenikol, demam turun setelah 5 – 6 hari. Komplikasi hematologi pada penggunaan

Tiamfenikol jarang dilaporkan.

Dosis oral dianjurkan 50 – 100 mg/kgBB/hsri, selama 10 – 14 hari.

Kotrimoksasol

Pendapat mengenai Efektifitas kotrimksasol terhadap demam tifoid masih

kontroversial. Kelebihan kotrimoksasol antara lain dapat digunakan untuk kasus yang resisten

terhadap kloamfenikol, penyerapan di usus cukup baik, dan kemungkinan timbulnya

kakambuhan pengobatan pengobatan lebih kecil dibandingkan kloramfenikol. Kelemahannya

ialah dapat terjadi skin rash (1 – 15%), sindrom Steven Johnson, agranulositosis,

trombositopenia, anemia megaloblastik, hemolisis eritrosit terutama pada penderita G6PD,

Dosis oral yang dianjurkan adalah 30 – 40 mg/kgBB/hari. Sulfametoksazol dan 6 – 8

mg/kgBB/hari untuk Trimetoprim, diberikan dalam 2 kali pemberian, selama 10 – 14 hari.

Ampisilin dan Amoksisilin

Merupakan derivat Penisilin yang digunakan pada pengobatan demam tifoid, terutama

pada kasus yang resisten terhadap Kloramfenikol. Pernah dilaporkan adanya Salmonella yang

resisten terhadap Ampisilin di Thailand.

Ampisilin umumnya lebih lambat menurunkan demam bila dibandingkan dengan

Kloramfenikol, tetapi lebih efektif untuk mengobati karier serta kurang toksik.

Kelemahannya dapat terjadi skin rash (3 – 18%), dan diare (11%).

20

Page 21: Case Koas Interna RSMM

Ampisilin mempunyai daya antibakteri yang sama dengan Ampisilin, terapi

penyerapan peroral lebih baik sehingga kadar oabat yang tercapai 2 kali lebih tinggi, dan

lebih sedikit timbulnya kekambuhan (2 – 5%) dan karier (0 – 5%).

Dosis yang dianjurkan adalah :

o Ampisilin 100 – 200 mg/kgBB/hari, selama 10 – 14 hari.

o Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari, selama 10 – 14 hari.

Pengobatan demam tifoid yang menggunakan obat kombinasi tidak memberikan

keuntungan yang lebih baik bila diberikan obat tunggal.

Seftriakson

Dosis yang dianjurkan adalah 50 – 100 mg/kgBB/hari, tunggal atau dalam 2 dosis iv.

Sefotaksim

Dosis yang dianjurkan adalah 150 – 200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3- 4 dosis iv.

Siprofloksasin

Dosis yang dianjurkan adalah 2 x 200 – 400 mg oral pada anak berumur lebih dari 10 tahun.

Levofloksasin

Dosis yang dianjurkan adalah 1 x 500 mg oral selama 7 hari.

I. Prognosis

Prognosis demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan

sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Dinegara maju, dengan terapi antibiotik yang

adekuat, angka mortalitas < 1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya > 10%,

biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi

seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis dan

pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.

Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S. ser. Typhi ≥ 3

bulan setelah infeksi umumnya manjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada anak-anak

rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1 – 5% dari seluruh pasien

demam tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karier kronis dibanding

21

Page 22: Case Koas Interna RSMM

dengan populasi umum. Walaupun karier urin kronis juga dapat terjadi, hal ini jarang dan

dijumpai terutama pada individu dengan skistosomiasis.

J. Pencegahan

Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S.typhi, maka setiap

individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi.

Salmonella typhi di dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57°C untuk beberapa menit

atau dengan proses iodinasi/klorinasi.

Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57°C beberapa menit dan secara merata juga

dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu negara/daerah

tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah

serta tingkat kesadaran individu terhadap higiene pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu

menekan angka kejadian demam tifoid.

K. Vaksin Demam Tifoid

Saat sekarang dikenal tiga macam vaksin untuk penyakit demam tifoid, yaitu yang

berisi kuman yang dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi dari Salmonella typhi. Vaksin

yang berisi kuman Salmonella typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B yang dimatikan (TAB

Vaccine) telah puluhan tahun digunakan dengan cara pemberian suntikan subcutan; namun

vaksin ini hanya memberikan daya kekebalan yang terbatas, disamping efek samping lokal

pada tempat suntikan yang cukup sering. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi hidup

yang dilemahkan (Ty-21a) diberikan peroral tiga kali dengan interval pemberian selang

sehari, memberi daya perlindungan 6 tahun. Vaksin ini diberikan pada anak berumur diatas 2

tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun. Pada penelitian

dilapangan didapat hasil efikasi proteksi yang berbanding terbalik dengan derajat transmisi

penyakit. Vaksin yang berisi komponen Vi dari Salmonella typhi diberikan secara suntikan

intramuskular memberikan perlindungan 60-70% selama 3 tahun.

22

Page 23: Case Koas Interna RSMM

BAB III

KESIMPULAN

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan

oleh Salmonella typhi. Bakteri salmonella typhi bersama makanan / minuman masuk ke

dalam tubuh melalui mulut.

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar gejala-

gejala yang timbul adalah :

Demam satu minggu atau lebih.

Gangguan saluran pencernaan.

Gangguan kesadaran.

Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam

tiga kelompok, yaitu:

o Isolasi kuman penyebab demam tifoid melalui biakan kuman dari spesimen

penderita, seperti darah, sumsum tulang, urin, tinja, cairan duodenum dan rose

spot.

o Uji serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen S.typhi dan

menentukan adanya antigen spesifik dari Salmonella typhi.

o Pemeriksaan melacak DNA kuman S.typhi.

Kloramfenikol digunakan sebagai obat pilihan pada kasus demam tifoid.

Pencegahannya adalah higiene pribadi yang baik dan Imunisasi serta vaksinasi aktif dapat

membantu menekan angka kejadian demam tifoid.

23

Page 24: Case Koas Interna RSMM

DAFTAR PUSTAKA

Soedarmo, Poorwo, SS, dkk ; penyunting : Buku ajar Infeksi dan Pediatri Tropis; Edisi

kedua; Ikatan Dokter Anak Indonesia 2010, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI, Jakarta

: 2010.

Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa Indonesia: A

Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15- Jakarta: EGC, 1999.

Aru W, Sudoyo, dkk ; editor ; Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam; Jilid III, edisi IV;

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, Jakarta : 2007

Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics

Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : 2003

Rampengan. T H : Penyakit infeksi Tropis pada Anak ; edisi 2. Jakarta : EGC 2007.

24