referat epilepsi pada anak

52
REFERAT EPILEPSI PADA ANAK Pembimbing dr. Diah Hari S, Sp.S Disusun Oleh : Sigit Dwi Mulyo 201420401011116 Rika Hadriyanti Dahlia 201420401011093 Frida Neila Rahmatika 201420401011082 SMF ILMU PENYAKIT SARAF RSU HAJI SURABAYA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

Upload: frida-neila-rahmatika

Post on 03-Dec-2015

238 views

Category:

Documents


87 download

DESCRIPTION

pilepsi

TRANSCRIPT

REFERAT

EPILEPSI PADA ANAK

Pembimbing

dr. Diah Hari S, Sp.S

Disusun Oleh :

Sigit Dwi Mulyo 201420401011116

Rika Hadriyanti Dahlia 201420401011093

Frida Neila Rahmatika 201420401011082

SMF ILMU PENYAKIT SARAF

RSU HAJI SURABAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

MALANG

2015

Referat dengan judul Epilepsi Pada Anak telah diperiksa dan disetujui sebagai

salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter Muda di

bagian Ilmu Penyakit Saraf.

Surabaya, Juni 2015

Pembimbing

dr. Diah Hari S, Sp.S

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

EPILEPSI PADA ANAK

Lembar Pengesahan ........................................................................................... 2

Daftar Isi ............................................................................................................ 3

Kata Pengantar .................................................................................................. 4

Bab 1 Pendahuluan ............................................................................................ 5

1.1 Latar Belakang........................................................................................ 5

2.1 Tujuan Penulisan ................................................................................. 5

Bab 2 Tinjauan Pustaka...................................................................................... 6

2.1 Definisi .................................................................................................. 6

2.2 Epidemiologi.......................................................................................... 6

2.3 Etiologi................................................................................................ 7

2.4 Faktor Resiko ........................................................................................ 7

2.5 Patofisiologi ........................................................................................ 8

2.6 Klasifikasi............................................................................................... 9

2.7 Diagnosis.... ........................................................................................ 12

2.7.1 Anamnesis ...................................................................................... 12

2.7.2 Pemeriksaan Fisik ......................................................................... 13

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang ................................................................. 13

2.7.4 Alur Diagnosis................................................................................ 14

2.8 Penatalaksanaan ............. ..................................................................... 15

2.9 Diagnosis Banding ............................................................................... 20

2.10 Komplikasi.... ................................................................................... 21

2.11Prognosis............. .............................................................................. 21

Bab 3 Penutup ................................................................................................. 22

Daftar Pustaka ................................................................................................. 24

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT,

atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul

Epilepsi Pada Anak. Penyusunan tugas ini merupakan salah satu tugas yang

penulis laksanakan selama mengikuti kepaniteraan di SMF Ilmu Penyakit Saraf

RSU Haji Surabaya.

Penulis mengucapkan terima kepada dr. Diah Hari S, Sp.S selaku dokter

pembimbing dalam penyelesaian tugas referat ini, terima kasih atas bimbingan

dan waktunya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini.

Akhirnya, penulis berharap semoga referat ini dapat memberikan manfaat

pada pembaca. Penulis menyadari bahwa penyusunan tugas ini masih jauh dari

kesempurnaan. Dalam kesempatan ini penulis mengharapkan kritik dan saran

yang dapat membangun demi kesempurnaan laporan ini.

Surabaya, Juni 2015

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kata epilepsi berasal dari Yunani Epilambanmein yang berarti

serangan. Epilepsi sebetulnya sudah dikenal sekitar tahun 2000 sebelum

Masehi. Hippokrates adalah orang pertama yang mengenal epilepsi sebagai

gejala penyakit dan menganggap bahwa epilepsi merupakan penyakit yang

didasari oleh adanya gangguan di otak. Epilepsi merupakan kelainan neurologi

yang dapat terjadi pada setiap orang di seluruh dunia.1

Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum

terjadi, sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini.

Angka epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di negara

maju ditemukan sekitar 50:100,000 sementara di negara berkembang

mencapai 100:100,000. Di Indonesia belum ada data epidemiologis yang pasti

tetapi diperkirakan ada 900.000 - 1.800.000 penderita, sedangkan

penanggulangan penyakit ini belum merupakan prioritas dalam Sistem

Kesehatan Nasional., karena cukup banyaknya penderita epilepsi dan luasnya

aspek medik dan psikososial, maka epilepsi tetap merupakan masalah

kesehatan masyarakat sehingga ketrampilan para dokter dan paramedis

lainnya dalam penatalaksanaan penyakit ini perlu ditingkatkan.2,3

Salah satu masalah dalam penanggulangan epilepsi ialah menentukan

dengan pasti diagnosis epilepsi oleh karena sebelum pengobatan dimulai

diagnosis epilepsi harus ditegakkan dulu. Diagnosis dan pengobatan epilepsi

tidak dapat dipisahkan sebab pengobatan yang sesuai dan tepat hanya dapat

dilakukan dengan diagnosis epilepsi yang tepat pula. Diagnosis epilepsi

berdasarkan atas gejala dan tanda klinis yang karakteristik. Jadi membuat

diagnosis tidak hanya berdasarkan dengan beberapa hasil pemeriksaan

penunjang diagnostik saja, justru informasi yang diperoleh sesudah

melakukan wawancara yang lengkap dengan pasien maupun saksi mata yang

mengetahui serangan kejang tersebut terjadi dan kemudian baru dilakukan

pemeriksaan fisik dan neurologi. Begitu diperkirakan diagnosis epilepsi telah

dibuat barulah dilanjutkan pemeriksaan tambahan untuk memastikan

diagnosis dan mencari penyebabnya, lesi otak yang mendasari , jenis serangan

kejang dan sindrom epilepsi.4,5

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi,

etiologi, klasifikasi, patofisiologi, diagnosis, gejala klinis, terapi, komplikasi

dan prognosis epilepsi pada anak.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Epilepsi bukanlah suatu penyakit, tetapi sekumpulan gejala yang

manifestasinya adalah lewat serangan epileptik yang berulang. Epilepsi

merupakan gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh terjadinya serangan

(seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan berkala.

Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak

dan sepintas, yang berasal dari sekelompok besar sel-sel otak, bersifat sinkron dan

berirama. Serangan dapat berupa gangguan motorik, sensorik, kognitif atau psikis.

Istilah epilepsi tidak boleh digunakan untuk serangan yang terjadi hanya sekali

saja, serangan yang terjadi selama penyakit akut berlangsung dan occasional

provokes seizures misalnya kejang atau serangan pada hipoglikemia.21,22,23

Epilepsi didefinisikan sebagai gangguan kronis yang ditandai adanya

bangkitan epileptik berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermiten yang

terjadi oleh karena lepas muatan listrik abnormal neuron-neuron secara

paroksismal akibat berbagai etiologi.24 Bangkitan epilepsi adalah manifestasi

klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) yang berlebihan dan abnormal,

berlangsung secara mendadak dan sementara, dengan atau tanpa perubahan

kesadaran , disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf diotak yang

bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked).25

Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang

terjadi bersama-sama meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan,

faktor pencetus, kronisitas.

Epilepsi merupakan suatu gangguan kronik yang tidak hanya ditandai oleh

berulanya kejang, tetapi juga berbagai implikasi medis dan psikososial. 3

Gangguan fungsi otak yang bisa menyebabkan lepasnya muatan listrik berlebihan

di sel neuron saraf pusat, bisa disebabkan oleh adanya faktor fisiologis,

biokimiawi, anatomis atau gabungan faktor tersebut. Tiap-tiap penyakit atau

kelainan yang dapat menganggu fungsi otak, dapat menyebabkan timbulnya

bangkitan kejang. 4

2.2 Epidemiologi

World Health Organization menyebutkan, insidens epilepsi di negara maju

berkisar 50 per 100.000 penduduk, sedangkan di negara berkembang 100 per

100.000 ribu. Salah satu penyebab tingginya insidens epilepsi dinegara

berkembang adalah suatu kondisi yang dapat menyebabkan kerusakan otak

permanen. Kondisi tersebut di antaranya: infeksi, komplikasi prenatal, perinatal,

serta post natal.

Di Indonesia, diperkirakan, jumlah penderita epilepsi sekitar 1 - 4 juta

jiwa. Di Bagian llmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta

didapatkan sekitar 175 - 200 pasien baru per tahun, dan yang terbanyak pada

kelompok usia 5 -12 tahun masing-masing 43,6% dan 48,670.5 Penelitian di RSU

dr. Soetomo Surabaya selama satu bulan mendapatkan 86 kasus epilepsi pada

anak. Penderita terbanyak pada golongan umur 1 - 6 tahun (46,5%), kemudian 6 -

10 tahun (29,1%), 10 - 18 tahun (16,28%) dan 0 - 1 tahun (8,14%). Studi

prevalensi epilepsi pernah dilakukan di Yogyakarta pada tahun 1984 dengan

sampel 1 wilayah. Hasil studi didapatkan prevalensi epilepsi sebesar 4,87 per

1000 penduduk.

2.3 Etiologi

ETIOLOGI (Anonymous 2003, Kustiowati dkk 2003, Sirven, Ozuna 2005)

1. Idiopatik epilepsi : biasanya berupa epilepsi dengan serangan kejang

umum, penyebabnya tidak diketahui. Pasien dengan idiopatik epilepsi

mempunyai inteligensi normal dan hasil pemeriksaan juga normal dan

umumnya predisposisi genetik.

2. Kriptogenik epilepsi : Dianggap simptomatik tapi penyebabnya belum

diketahui. Kebanyakan lokasi yang berhubungan dengan epilepsi tanpa

disertai lesi yang mendasari atau lesi di otak tidak diketahui. Termasuk

disini adalah sindroma West, Sindroma Lennox Gastaut dan epilepsi

mioklonik. Gambaran klinis berupa ensefalopati difus.

3. Simptomatik epilepsi : Pada simptomatik terdapat lesi struktural di otak

yang mendasari, contohnya oleh karena sekunder dari trauma kepala,

infeksi susunan saraf pusat, kelainan kongenital, proses desak ruang di

otak, gangguan pembuluh darah diotak, toksik (alkohol, obat), gangguan

metabolik dan kelainan neurodegeneratif.

2.4 Faktor Resiko

Epilepsi dapat dianggap sebagai suatu gejala gangguan fungsi otak yang

penyebabnya bervariasi terdiri dari berbagai faktor. Epilepsi yang tidak diketahui

factor penyebabnya disebut idiopatik. Umumnya factor genetik lebih berperan

pada epilepsi idiopatik. Sedang epilepsi yang dapat ditentukan faktor

penyebabnya disebut epilepsi simtomatik.

Beberapa factor resiko terjadinya epilepsy antara lain :

1. Faktor Prenatal

a. Usia ibu saat hamil

b. Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi

c. Kehamilan primipara / multipara

d. Pemakaian bahan toksik

2. Faktor Natal

a. Afiksia

b. BBL

c. Kehamilan premature / postmatur

d. Partus lama

e. Persalinan dengan alat ( forsep, vakum, SC )

f. Perdarahan intrakranial

3. Faktor Postnatal

a. Kejang demam

b. Trauma kepala

c. Infeksi SSP

d. Epilepsy akibat toksik

e. Gangguan metabolik

4. Faktor keturunan

5. Kelainan Genetik

2.5 Patofisiologi

Serangan epilepsi terjadi apabila prose eksitasi di dalam otak lebih dominan dari

pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi,

dan pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage- gated ion channel

openening, dan menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalm hal

inisiasi dan perambatan aktivitas epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh

konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan imtraseluler, dan oleh gerakan

keluar masuk ion-ion menembus membran neuron.2,3

Lima buah elemen fisiologi dari neuron-neuron tertentu pada korteks

serebri penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:

1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam

merespon depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan

inaktivasi konduksi Ca2+ secara perlahan.

2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection),

yang memungkinkan adanyan umpan balik positif yang menyebarkan dan

membangkitkan aktivitas kejang.

3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel

piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hipocampus,

yang bisa dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas

kejang. Hal ini menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian

memicu aktifitas penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.

4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk jga merekrut

respon NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptok di korteks.

5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor

rekuren dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.

Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal

mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan

potensial aksi secara tepat dan berulnag-ulang. Cetusan listrik abnormal ini

kemudian melibatkan neuron-neuron yang terkait di dalam proses. Secara

klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah

neuron abniormal muncul secar bersama-sama, membentuk suatu badai

aktifitas listrik di dalam otak.2,6

Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang

berbeda (lebih dari 20 macam), bergantuk pada daerah dan fungsi otak yang

terkena dan terlibat.2,3

Sebagi penyebab terjadinya epilepsi, terdiri dari 3 kategori yaitu :2,7

1. Non Spesifik Predispossing Factor (NPF)

membedakan seorang peka tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding

orang lain. Setiap orang sebetulnya dapat dimunculkan bangkitan epilepsi

hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda.

2. Spesific Epileptogenic Disturbances (SED)

Kelainan ini dapat diwariskan maupun didapat dan inilah yang

bertanggung jawab atas timbulnya epileptiform activyti di otak. Timbulnya

bangkitan epilepsi merupakan kerja sama SED dan NPF.

3. Presipitating Factor (PF)

Merupakan faktor pencetus terjadinya bnagkitan epilepsi pada penderita

epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF dapat

membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.

Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal

dasar.

Hipotesis secara seluler dan molekular yang banyak dianut sekarang adalah :

membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion klaium dan ion

klorida, tetapi sangat sulit dilalui ion natrium dan kalsium. Dengan demikian

konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel (intraseluler), dan konsentrasi ion

natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori Dean (Sodium

pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki

sel, keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium.2,3

Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak

yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.

Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara

serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.2,3

1. fungsi jaringan neuron penghamabat (neurotransmiter GABA dan Glisin)

kurang optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara

berlebihan.

2. keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan Aspirin)

berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.

Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimaal antara lain bila konsentrasi

GABA (gamma aminobutyric acid) tdak normal. Pada otak manusia yang

menderita epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA

dalam bentuk inhibisi potensial presinaptik (IPSPs = inhibitory post synaptic

potentials) adalah lewat reseptor GABA.

Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron sekelompok besar

atau seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok

neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. Secara

teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal

(GABA) sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara

itu fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat) berlebihan.

Berbagai penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan

antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan herediter, kongenital,

hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat

mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meninkatnya fungsi neuron

eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada serangan yang memadai.2,3

Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain

di hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan

eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya

menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak

penderita epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus.

Oleh karena itu tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial fokus

asalnya berada di lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan

tempat asal epilepsi dapatan.

Pada bayi dn anak-anak sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena

efek traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya.

Efek ini dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sek glia atau

kerusakan pada neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat memebuat neuron

glia atau lingkungan neuronal epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma,

infeksi, gangguan metabolisme dan sebagainya, semuanya dapat mengembagkan

epilepsi. Akan tetapi anak tanpa brain demage dapat juga terjadi epilepsi, dalam

hal ini faktorgenetik dia diadan nggap penyebabnya, khususnya grand mal dan

petit mal serta benigne centrotempora epilepsy. Walaupun demikian proses yang

mendasari serangan epilepasi idiopatik, melalui mekanisme yang sama.

2.6 Klasifikasi

KLASIFIKASI ILAE 1981

Untuk tipe serangan kejang/bangkitan epilepsi (Kustiowati dkk 2003, Sirven,

Ozuna 2005).

Serangan parsial

Serangan parsial sederhana (kesadaran baik).

- Motorik

- Sensorik

- Otonom

- Psikis

Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu)

- Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran.

- Gangguan kesadaran saat awal serangan.

Serangan umum sekunder

- Parsial sederhana menjadi tonik klonik.

- Parsial kompleks menjadi tonik klonik

- Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik klonik.

Serangan umum.

- Absans (lena)

- Mioklonik

- Klonik

- Tonik

- Atonik.

Tak tergolongkan.

KLASIFIKASI ILAE 1989 untuk sindroma epilepsi (Kustiowati dkk 2003)

Berkaitan dengan letak fokus

Idiopatik (primer)

- Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal

(Rolandik benigna)

- Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital

- Primary reading epilepsy“.

Simptomatik (sekunder)

- Lobus temporalis

- Lobus frontalis

- Lobus parietalis

- Lobus oksipitalis

- Kronik progesif parsialis kontinua

Kriptogenik

Umum

Idiopatik (primer)

- Kejang neonatus familial benigna

- Kejang neonatus benigna

- Kejang epilepsi mioklonik pada bayi

- Epilepsi absans pada anak

- Epilepsi absans pada remaja

- Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga.

- Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak.

Kriptogenik atau simptomatik.

- Sindroma West (Spasmus infantil dan hipsaritmia).

- Sindroma Lennox Gastaut.

- Epilepsi mioklonik astatik

- Epilepsi absans mioklonik

Simptomatik

- Etiologi non spesifik

- Ensefalopati mioklonik neonatal

- Sindrom Ohtahara

- Etiologi / sindrom spesifik.

- Malformasi serebral.

- Gangguan Metabolisme.

Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum.

Serangan umum dan fokal

- Serangan neonatal

- Epilepsi mioklonik berat pada bayi

- Sindroma Taissinare

- Sindroma Landau Kleffner

Tanpa gambaran tegas fokal atau umum

Epilepsi berkaitan dengan situasi

- Kejang demam

- Berkaitan dengan alkohol

- Berkaitan dengan obat-obatan

- Eklampsi.

- Serangan berkaitan dengan pencetus spesifik (reflek epilepsi)

2.7 Diagnosis

2.7.1 Anamnesis

Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil

pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat

serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.

Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena

pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita.

Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan

sesudahserangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi

yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga

memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran,

meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan

tertentu.

Anamnesi (auto dan aloanamnesis), meliputi:

- Pola / bentuk serangan

- Lama serangan

- Gejala sebelum, selama dan paska serangan

- Frekwensi serangan

- Faktor pencetus

- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang

- Usia saat serangan terjadinya pertama

- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan

- Riwayat penyakit, penyebab

dan terapi sebelumnya

- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

Adapun beberapa pertanyaan adalah sebagai berikut (Ahmed, Spencer 2004, Hadi

1993, Harsono 2001, Kustiowati dkk 2003).

1. Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini?

Usia serangan dapat memberi gambaran klasifikasi dan penyebab kejang.

Serangan kejang yang dimulai pada neonatus biasanya penyebab sekunder

gangguan pada masa perinatal, kelainan metabolik dan malformasi

kongenital. Serangan kejang umum cenderung muncul pada usia anak-

anak dan remaja. Pada usia sekitar 70 tahunan muncul serangan kejang

biasanya ada kemungkinan mempunyai kelainan patologis di otak seperti

stroke atau tumor otak dsb.

2. Apakah pasien mengalami semacam peringatan atau perasaan tidak enak

pada waktu serangan atau sebelum serangan kejang terjadi? Gejala

peringatan yang dirasakan pasien menjelang serangan kejang muncul

disebut dengan “aura” dimana suatu “aura” itu bila muncul sebelum

serangan kejang parsial sederhana berarti ada fokus di otak. Sebagian “

aura” dapat membantu dimana letak lokasi serangan kejang di otak. Pasien

dengan epilepsi lobus temporalis dilaporkan adanya “déjà vu” dan atau ada

sensasi yang tidak enak di lambung, gringgingen yang mungkin

merupakan epilepsi lobus parietalis. Dan gangguan penglihatan sementara

mungkin dialami oleh pasien dengan epilepsi lobus oksipitalis. Pada

serangan kejang umum bisa tidak didahului dengan “aura” hal ini

disebabkan terdapat gangguan pada kedua hemisfer , tetapi jika “aura”

dilaporkan oleh pasien sebelum serangan kejang umum, sebaiknya dicari

sumber fokus yang patologis.

3. Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung? Bila pasien bukan

dengan serangan kejang sederhana yang kesadaran masih baik tentu pasien

tidak dapat menjawab pertanyaan ini, oleh karena itu wawancara

dilakukan dengan saksi mata yang mengetahui serangan kejang

berlangsung. Apakah ada deviasi mata dan kepala kesatu sisi? Apakah

pada awal serangan kejang terdapat gejala aktivitas motorik yang dimulai

dari satu sisi tubuh? Apakah pasien dapat berbicara selama serangan

kejang berlangsung? Apakah mata berkedip berlebihan pada serangan

kejang terjadi? Apakah ada gerakan “automatism” pada satu sisi ?

Apakah ada sikap tertentu pada anggota gerak tubuh? Apakah lidah

tergigit? Apakah pasien mengompol ? Serangan kejang yang berasal dari

lobus frontalis mungkin dapat menyebabkan kepala dan mata deviasi

kearah kontralateral lesi. Serangan kejang yang berasal dari lobus

temporalis sering tampak gerakan mengecapkan bibir dan atau gerakan

mengunyah. Pada serangan kejang dari lobus oksipitalis dapat

menimbulkan gerakan mata berkedip yang berlebihan dan gangguan

penglihatan. Lidah tergigit dan inkontinens urin kebanyakan dijumpai

dengan serangan kejang umum meskipun dapat dijumpai pada serangan

kejang parsial kompleks.

4. Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung? Periode

sesudah serangan kejang berlangsung adalah dikenal dengan istilah “post

ictal period ” Sesudah mengalami serangan kejang umum tonik klonik

pasien lalu tertidur. Periode disorientasi dan kesadaran yang menurun

terhadap sekelilingnya biasanya sesudah mengalami serangan kejang

parsial kompleks. Hemiparese atau hemiplegi sesudah serangan kejang

disebut “Todd’s Paralysis“ yang menggambarkan adanya fokus patologis

di otak. Afasia dengan tidak disertai gangguan kesadaran menggambarkan

gangguan berbahasa di hemisfer dominan. Pada “Absens“ khas tidak ada

gangguan disorientasi setelah serangan kejang.

5. Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari? Serangan kejang

tonik klonik dan mioklonik banyak dijumpai biasanya pada waktu terjaga

dan pagi hari. Serangan kejang lobus temporalis dapat terjadi setiap waktu,

sedangkan serangan kejang lobus frontalis biasanya muncul pada waktu

malam hari.

6. Apakah ada faktor pencetus ? Serangan kejang dapat dicetuskan oleh

karena kurang tidur, cahaya yang berkedip,menstruasi, faktor makan dan

minum yang tidak teratur, konsumsi alkohol, ketidakpatuhan minum obat,

stress emosional, panas, kelelahan fisik dan mental, suara suara tertentu,

“drug abuse”, “ reading & eating epilepsy”. Dengan mengetahui faktor

pencetus ini dalam konseling dengan pasien maupun keluarganya dapat

membantu dalam mencegah serangan kejang.

7. Bagaimana frekwensi serangan kejang ? Informasi ini dapat membantu

untuk mengetahui bagaimana respon pengobatan bila sudah mendapat

obat obat anti kejang .

8. Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang ? Pertanyaan

ini mencoba untuk mencari apakah sebelumnya pasien sudah mendapat

obat anti kejang atau belum dan dapat menentukan apakah obat tersebut

yang sedang digunakan spesifik bermanfaat ?

9. Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam? Dengan

menanyakan tentang berbagai jenis serangan kejang dan menggambarkan

setiap jenis serangan kejang secara lengkap.

10. Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan serangan

kejang? Pertanyaan ini penting mengingat pasien yang mengalami luka

ditubuh akibat serangan kejang ada yang diawali dengan “aura“ tetapi

tidak ada cukup waktu untuk mencegah supaya tidak menimbulkan luka

ditubuh akibat serangan kejang atau mungkin ada “aura“ , sehingga

dalam hal ini informasi tersebut dapat dipersiapkan upaya upaya untuk

mengurangi bahaya terjadinya luka.

11. Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat darurat? Dengan

mengetahui gambaran pasien yang pernah datang ke unit gawat darurat

dapat mengidentifikasi derajat beratnya serangan kejang itu terjadi yang

mungkin disebabkan oleh karena kurangnya perawatan pasien,

ketidakpatuhan minum obat, ada perubahan minum obat dan penyakit lain

yang menyertai.

Riwayat medik dahulu.

Dengan mengetahui riwayat medik yang dahulu dapat memberikan informasi

yang berguna dalam menentukan etiologinya. Lokasi yang berkaitan dengan

serangan kejang dan pengetahuan tentang lesi yang mendasari dapat membantu

untuk pengobatan selanjutnya (Ahmed, Spencer 2004).

1. Apakah pasien lahir normal dengan kehamilan genap bulan maupun

proses persalinannya?

2. Apakah pasien setelah lahir mengalami asfiksia atau “respiratory

distress”?

3. Apakah tumbuh kembangnya normal sesuai usia?

4. Apakah ada riwayat kejang demam? Risiko terjadinya epilepsi sesudah

serangan kejang demam sederhana sekitar 2 % dan serangan kejang

demam kompleks 13 %.

5. Apakah ada riwayat infeksi susunan saraf pusat seperti meningitis,

ensefalitis? atau penyakit infeksi lainnya seperti sepsis, pneumonia yang

disertai serangan kejang. Dibeberapa negara ada yang diketahui didapat

adanya cysticercosis.

6. Apakah ada riwayat trauma kepala seperti fraktur depresi kepala,

perdarahan intra serebral, kesadaran menurun dan amnesia yang lama?

7. Apakah ada riwayat tumor otak?

8. Apakah ada riwayat stroke?

Riwayat sosial.

Ada beberapa aspek sosial yang langsung dapat mempengaruhi pasien epilepsi

dan ini penting sebagai bagian dari riwayat penyakit dahulu dan sekaligus untuk

bahan evaluasi (Ahmed, Spencer 2004).

1. Apa latar belakang pendidikan pasien? Tingkat pendidikan pasien epilepsi

mungkin dapat menggambarkan bagaimana sebaiknya pasien tersebut

dikelola dengan baik. Dan juga dapat membantu mengetahui tingkat

dukungan masyarakat terhadap pasien dan bagaimana potensi pendidikan

kepada pasien tentang cara menghadapi penyakit yang dialaminya itu.

2. Apakah pasien bekerja? Dan apa jenis pekerjaannya? Pasien epilepsi yang

seragan kejangnya terkendali dengan baik dapat hidup secara normal dan

produktif. Kebanyakan pasien dapat bekerja paruh waktu atau penuh

waktu. Tetapi bila serangan kejangnya tidak terkendali dengan baik untuk

memperoleh dan menjalankan pekerjaan adalah merupakan suatu

tantangan tersendiri. Pasien sebaiknya dianjurkan memilih bekerja

dikantoran, sebagai kasir atau tugas - tugas yang tidak begitu berisiko,

tetapi bagi pasien yang bekerja di bagian konstruksi, mekanik dan

pekerjaan yang mengandung risiko tinggi diperlukan penyuluhan yang

jelas untuk memodifikasikan pekerjaan itu agar supaya tidak

membahayakan dirinya.

3. Apakah pasien mengemudikan kendaraan bermotor? Pasien dengan

epilepsi yang serangan kejangnya tidak terkontrol serta ada gangguan

kesadaran sebaiknya tidak mengemudikan kendaraan bermotor. Hal ini

bisa membahayakan dirinya maupun masyarakat lainnya. Dibeberapa

negara mempunyai peraturan sendiri tentang pasien epilepsi yang

mengemudikan kendaraan bermotor.

4. Apakah pasien menggunakan kontrasepsi oral? Apakah pasien

merencanakan kehamilan pada waktu yang akan datang? Pasien epilepsi

wanita sebaiknya diberi penyuluhan terlebih dahulu tentang efek

teratogenik obat-obat anti epilepsi, demikian juga beberapa obat anti

epilepsi dapat menurun efeknya bila pasien juga menggunakan kontrasepsi

oral seperti fenitoin, karbamasepin dan fenobarbital. Dan bagi pasien yang

sedang hamil diperlukan obat tambahan seperti asam folat untuk

mengurangi risiko terjadinya “ neural tube defects“ pada bayinya.

5. Apakah pasien peminum alkohol? Alkohol merupakan faktor risiko

terjadinya serangan kejang umum, sebaiknya tidak dianjurkan minum-

minuman alkohol. Selain berinteraksi dengan obat-obat anti epilepsi tetapi

dapat juga menimbulkan ekstraserbasi serangan kejang khususnya sesudah

minum alkohol .

Riwayat keluarga.

Mengetahui riwayat keluarga adalah penting untuk menentukan apakah ada

sindrom epilepsi yang spesifik atau kelainan neurologi yang ada kaitannya dengan

faktor genetik dimana manifestasinya adalah serangan kejang. Sebagai contoh

“Juvenile myoclonic epilepsy (JME)“,“ familial neonatal convulsion“,“ benign

rolandic epilepsy“ dan sindrom serangan kejang umum tonik klonik disertai

kejang demam plus (Ahmed, Spencer 2004).

Riwayat allergi.

Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan seperti antiepilepsi, perlu

dibedakan apakah ini suatu efek samping dari gastrointestinal atau efek reaksi

hipersensitif. Bila terdapat semacam ”rash“ perlu dibedakan apakah ini terbatas

karena efek fotosensitif yang disebabkan eksposur dari sinar matahari atau karena

efek hipersensitif yang sifatnya lebih luas? (Ahmed, Spencer 2004)

Riwayat pengobatan.

Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan antiepilepsi, perlu ditanyakan

bagaimana kemanjuran obat tersebut, berapa kali diminum sehari dan berapa

lama sudah diminum selama ini, berapa dosisnya, ada atau tidak efek sampingnya.

(Ahmed, Spencer 2004)

Riwayat Pemeriksaan penunjang lain.

Perlu ditanyakan juga kemungkinan apa pasien sudah dilakukan pemeriksaan

penunjang seperti elektroensefalografi atau CT Scan kepala atau MRI. (Ahmed,

Spencer 2004)

2.7.2 Pemeriksaan Fisik

PEMERIKSAAN FISIK DAN NEUROLOGI.

Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,

seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan

neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab

terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai

pegangan. Pada anak - anak pemeriksa harus memperhatikan adanya

keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara

anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.

Pemeriksaan fisik harus menapis sebab sebab terjadinya serangan kejang

dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien

yang berusia lebih tua sebaiknya dilakukan auskultasi didaerah leher untuk

mendeteksi adanya penyakit vaskular. pemeriksaan kardiovaskular sebaiknya

dilakukan pada pertama kali serangan kejang itu muncul oleh karena banyak

kejadian yang mirip dengan serangan kejang tetapi penyebabnya kardiovaskular

seperti sinkop kardiovaskular. Pemeriksaan kulit juga untuk mendeteksi apakah

ada sindrom neurokutaneus seperti “ café au lait spots “ dan “ iris hamartoma”

pada neurofibromatosis, “ Ash leaf spots” , “shahgreen patches” , “ subungual

fibromas” , “ adenoma sebaceum” pada tuberosclerosis, “ port - wine stain “

( capilarry hemangioma) pada sturge-weber syndrome. Juga perlu dilihat apakah

ada bekas gigitan dilidah yang bisa terjadi pada waktu serangan kejang

berlangsung atau apakah ada bekas luka lecet yang disebabkan pasien jatuh akibat

serangan kejang, kemudian apakah ada hiperplasi ginggiva yang dapat terlihat

oleh karena pemberian obat fenitoin dan apakah ada “dupytrens contractures”

yang dapat terlihat oleh karena pemberian fenobarbital jangka lama. (Ahmed,

Spencer 2004, Harsono 2001, Oguni 2004).

Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, “gait“ , koordinasi, saraf

kranialis, fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit

neurologi seperti hemiparese ,distonia, disfasia, gangguan lapangan pandang,

papiledema mungkin dapat menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi struktur di

area otak yang terbatas. Adanya nystagmus , diplopia atau ataksia mungkin oleh

karena efek toksis dari obat anti epilepsi seperti karbamasepin,fenitoin,

lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin terjadi pada waktu serangan kejang terjadi.”

Dysmorphism “ dan gangguan belajar mungkin ada kelainan kromosom dan

gambaran progresif seperti demensia, mioklonus yang makin memberat dapat

diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif. Unilateral automatism bisa

menunjukkan adanya kelainan fokus di lobus temporalis ipsilateral sedangkan

adanya distonia bisa menggambarkan kelainan fokus kontralateral dilobus

temporalis.(Ahmed, Spencer 2004, Harsono 2001, Oguni 2004, Sisodiya, Duncan

2000).

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang

PEMERIKSAAN LABORATORIUM.

3. Pemeriksaan penunjang

a. Elektro ensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan

pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan

diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan

adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG

menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman

EEG dikatakan abnormal.

1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua

hemisfer otak.

2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding

seharusnya misal gelombang delta.

3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya

gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang

lambat yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu mempunyai

gambaran EEG yang khas, misalnya spasme infantile mempunyai gambaran EEG

hipsaritmia, epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3

siklus per detik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG

gelombang paku / tajam / lambat dan paku majemuk yang timbul secara serentak

(sinkron).

b. Rekaman video EEG

Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang

mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber

serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis

dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis

yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang

penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus

epilepsi refrakter.

Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan

pada persiapan operasi.

c. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat

struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka

MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat

untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri.

Hiponatremia , hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik ensefalopati

dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit

bersama dengan glukose, kalsium, magnesium, “ Blood Urea Nitrogen” , kreatinin

dan test fungsi hepar mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna.

Pemeriksaan toksikologi serum dan urin juga sebaiknya dilakukan bila dicurigai

adanya “ drug abuse” (Ahmed, Spencer 2004, Oguni 2004).

PEMERIKSAAN ELEKTROENSEFALOGRAFI.

Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan

elektroensefalografi (EEG). Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan

perekaman pada wktu sadar dalam keadaan istirahat, pada waktu tidur, dengan

stimulasi fotik dan hiperventilasi. Pemeriksaam EEG ini adalah pemeriksaan

laboratorium yang penting untuk membantu diagnosis epilepsi dengan beberapa

alasan sebagai berikut (Duncan, Kirkpatrick, Harsono 2001, Oguni 2004)

1. Pemeriksaan ini merupakan alat diagnostik utama untuk mengevaluasi

pasien dengan serangan kejang yang jelas atau yang meragukan. Hasil

pemeriksaan EEG akan membantu dalam membuat diagnosis,

mebgklarifikasikan jenis serangan kejang yang benar dan mengenali

sindrom epilepsi.

2. Dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan fisik dan neurologi, pola

epileptiform pada EEG (spikes and sharp waves) sangat mendukung

diagnosis epilepsi. Adanya gambaran EEG yang spesifik seperti “3-Hz

spike-wave complexes“ adalah karakteristik kearah sindrom epilepsi yang

spesifik.

3. Lokalisasi dan lateralisasi fokus epileptogenik pada rekaman EEG dapat

menjelaskan manifestasi klinis daripada“aura“ maupun jenis serangan

kejang. Pada pasien yang akan dilakukan operasi, pemeriksaan EEG ini

selalu dilakukan dengan cermat.

Sebaliknya harus diketahui pula bahwa terdapat beberapa alasan keterbatasan

dalam menilai hasil pemeriksaan EEG ini yaitu :

1. Pada pemeriksaan EEG tunggal pada pertama kali pasien dengan

kemungkinan epilepsi didapat sekitar 29-50 % adanya gelombang

epileptiform, apabila dilakukan pemeriksaan ulang maka persentasinya

meningkat menjadi 59-92 %. Sejumlah kecil pasien epilepsi tetap

memperlihatkan hasil EEG yang normal, sehingga dalam hal ini hasil

wawancara dan pemeriksaan klinis adalah penting sekali.

2. Gambaran EEG yang abnormal interiktal bisa saja tidak menunjukkan

adanya epilepsi sebab hal demikian dapat terjadi pada sebagian kecil

orang-orang normal oleh karena itu hasil pemeriksaan EEG saja tidak

dapat digunakan untuk menetapkan atau meniadakan diagnosis epilepsi.

3. Suatu fokus epileptogenik yang terlokalisasi pada pemeriksaan EEG

mungkin saja dapat berubah menjadi multifokus atau menyebar secara

difus pada pasien epilepsi anak.

4. Pada EEG ada dua jenis kelainan utama yaitu aktivitas yang lambat dan

epileptiform, bila pada pemeriksaan EEG dijumpai baik gambaran

epileptiform difus maupun yang fokus kadang-kadang dapat

membingungkan untuk menentukan klasisfikasi serangan kejang kedalam

serangan kejang parsial atau serangan kejang umum.

PEMERIKSAAN VIDEO-EEG

Pemeriksaan ini dilakukan bila ada keraguan untuk memastikan diagnosis

epilepsi atau serangan kejang yang bukan oleh karena epilepsi atau bila pada

pemeriksaan rutin EEG hasilnya negatif tetapi serangan kejang masih saja terjadi,

atau juga perlu dikerjakan bila pasien epilepsi dipertimbangkan akan dilakukan

terapi pembedahan. Biasanya pemeriksaan video-EEG ini berhasil membedakan

apakah serangan kejang oleh karena epilepsi atau bukan dan biasanya selama

perekaman dilakukan secara terus-menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70%

dari hasil rekaman dapat menunjukkan gambaran serangan kejang epilepsi

(Kirpatrick, Sisodiya, Duncan 2000, Stefan, 2003).

PEMERIKSAAN RADIOLOGI

Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic

Resonance Imaging) kepala adalah untuk melihat apakah ada atau tidaknya

kelainan struktural diotak (Harsono 2003, Oguni 2004)

Indikasi CT Scan kepala adalah: (Kustiowati dkk 2003)

- Semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan dugaan ada

kelainan struktural di otak.

- Perubahan serangan kejang.

- Ada defisit neurologis fokal.

- Serangan kejang parsial.

- Serangan kejang yang pertama diatas usia 25 tahun.

- Untuk persiapan operasi epilepsi.

CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi namun demikian

pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk

epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan.

Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis

kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang

sangat mungkin dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI kepala ini

biasanya meliputi:T1 dan T2 weighted“ dengan minimal dua irisan yaitu irisan

axial, irisan coronal dan irisan saggital (Duncan, Kirkpatrick, Kustiowati dkk

2003).

PEMERIKSAAN NEUROPSIKOLOGI

Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan

pertimbangan akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya

memperhatikan apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian juga

dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada dugaan serangan kejang yang

bukan epilepsi (Oguni 2004, Sisodiya 2000).

2.8 Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan adalah untuk mengatasi kejang dengan dosis optimal

terendah. Yang terpenting adalah kadar obat antiepilepsi bebas yang dapat

menembus sawar darah otak dan mencapai reseptor susunan saraf pusat.6

Serangan epilepsi dapat dihentikan oleh obat dan dapat pula dicegah agar

tidak kambuh. Obat tersebut disebut sebagai obat antikonvulsi atau obat

antiepilepsi. 6

Prinsip pengobatan epilepsi: 6

1. Mendiagnosis secara pasti, menentukan etiologi, jenis serangan dan sindrom

epilepsi

2. Memulai pengobatan dengan satu jenis obat antiepilepsi

3. Penggantian obat antiepilepsi secara bertahap apabila obat antiepilepsi yang

pertama gagal

4. Pemberian obat antiepilepsi sampai 1-2 tahun bebas kejang.

OAE pilihan pertama dan kedua : 6

1. Serangan parsial (sederhana, kompleks dan umum sekunder)

OAE I : Karbamazepin, fenobarbital, primidon, fenitoin

OAE II : Benzodiazepin, asam valproat

2. Serangn tonik klonik

OAE I :Karbamazepin, fenobarbital, primidon, fenitoin, asam valproat

OAE II : Benzodiazepin, asam valproat

3. Serangan absens

OAE I : Etosuksimid, asam valproat

OAE II : Benzodiazepin

4. Serangan mioklonik

OAE I : Benzodiazepin, asam valproat

OAE II : Etosuksimid

5. Serangan tonik, klonik, atonik

Semua OAE kecuali etosuksinid

Syarat penghentian obat anti epilepsi: 6

1. Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah

minimal 2 tahun bebas bangkitan

2. Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula,

setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan

3. Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari satu

OAE yang bukan utama

Penderita epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan bebas serangan paling

sedikit 2 tahun. Bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir, obat dihentikan

dan penderita tidak mengalami kejang lagi, dapat dikatakan bahwa penderita telah

mengalami remisi. 30% penderita tidak akan mengalami remisi walau sudah

minum obat teratur.

Faktor yang mempengaruhi remisi adalah lamanya kejang, etiologi, tipe

kejang, umur awal terjadi kejang, kejang tonik-klonik, kejang parsial kompleks

akan mengalami remisi pada hampir lebih dari 50% penderita. Makin muda usia

awal terjadinya kejang, remisi lebih sering terjadi.6

Umur onset yang relatif lambat sesudah usia 2 atau 3 tahun, juga merupakan

faktor yang menguntungkan. Resiko kekambuhan setelah penghentian pengobatan

tergantung pada faktor yang sama dengan remisi kejang. 6

2.8 Diagnosis Banding

Terdapat banyak kondisi dengan gejala dan tanda yang mirip dengan

asma.Selain asma, penyebab umum lain dari gejala batuk berulang pada asma

meliputi rhinosinusitis dan gastro-esophageal reflux (GER).

GER merupakan silent-disease pada anak, sedangkan pada anak dengan

sinusitis kronik tidak memiliki gejala yang khas seperti dewasa dengan adanya nyeri

tekan local pada daerah sinus yang terkena. Selain itu, kedua penyakit ini merupakan

penyakit komorbid yang sering pada asma, sehingga membuat terapi spesifik pada

asma tidak diberikan dengan tepat.Pada masa-masa awal, batuk kronis dan mengi

dapat terjadi pada keadaan aspirasi, tracheobronchomalacia, abnormalitas jalan

napas congenital, fibrosis kistik dan displasia bronkopulmoner. Pada anak usia 3

bulan, mengi biasanya ditemukan pada keadaan infeksi, malformasi paru dan

kelainan jantung dan gastrointestinal. Pada bayi dan batita, bronkiolitis yang

disebabkanoleh respiratory syncitial virus merupakan penyebab mengi yang

umum. Pada anak yang lebih besar, mengi berulang dapat terjadi pada disfungsi

pita suara. Selain itu, batuk berulang jug dapat ditemukan pada tuberculosis

terutama pada daerah dengan penyebaran tinggi Tuberculosis. Berikut ini

diagnosis banding dari asma yang sering pada anak –

- Rhinosinobronkitis

- Refluks gastroesofageal

- Infeksi respiratorik bawah viral berulang

- Bronkiolitis

- Displasia bronkopulmoner

- Tuberkulosis

- Malformasi kongenital yang menyebabkan penyempitan saluran

respiratorik Intratorakal

- Aspirasi benda asing

- Sindrom diskinesia silier primer Defisiensi imun

- Penyakit jantung bawaan

2.9 Komplikasi

Bila serangan asma sering terjadi dan berlangsung lama, maka akan terjadi

emfisema dan mengakibatkan perubahan bentuk thoraks yaitu thoraks

membungkuk kedepan dan memanjang. Pada foto rontgen thoraks terlihat

diafragma letaknya rendah, gambaran jantung menyempit, corakan hilus kiri

kanan bertambah. Pada asma kronis dan berat dapat terjadi bentuk dada burung

dara dan tampak sulkus horrison.

Bila secret banyak dan kental, salah satu bronkus dapat tersumbat sehingga

dapat terjadi atelectasis pada lobus segmen yang sesuai. Mediastinum tertarik

kearah atelectasis. Bila atelectasis berlangsung lama dapat berubah menjadi

bronkiektasis, dan bila ada infeksi akan terjadi bronkopneumonia. Serangan asma

yang terus menerus dan berlangsung beberapa hari serta berat dan tidak dapat

diatasi dengan obat – obatan disebut status asmatikus. Bila tidak ditolong dengan

semestinya dapat menyebabkan kematian, kegagalan penrnafasan dan kegaga;an

jantung.

2.10 Prognosis

Pada kasus asma, prognosis penyakit sangat tergantung terhadap intesitas

tejdinya serangan dimana intesitas serangan ini dapat dikuranggi dengan cara

menghindari factor pencetus ataupun pengendalian aktifitas sehari – hari.

Penanganan pada kasus asma saat serangan merupakan factor penting penentuan

prognosis.

BAB 3

PENUTUP

Asma merupakan penyakit kronik yang tersebar diseluruh belahan dunia.

Asma memberi dampak negatif bagi kehidupan pengidapnya, seperti

menyebabkan anak sering tidak masuk sekolah dan membatasi kegiatan olahraga

serta aktivitas seluruh keluarga.

Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran respiratorik

dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil dan limfosit.

Asma adalah wheezing dan atau batuk persisten dengan karakteristik

sebagai berikut: timbul secara episodik dan atau kronik, cenderung pada

malam/dini hari (noktural), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas

fisik dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan, serta

adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/keluarganya, sedang sebab-sebab

lain sudah disingkirkan.

Penyebab asma masih belum jelas, diduga yang memegang peranan utama

ialah terjadi obstruksi saluran nafas, penebalan dinding pernafasan, peningkatan

produksi secret dan perubahan fungsional lainnya akibat mediator inflamasi.

Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya serangan asma, kejadian asma,

berat ringannya penyakit serta kematian akibat asma seperti olahraga (exercise),

alergen, infeksi, perubahan suhu udara yang mendadak, atau pajanan terhadap

iritan respiratorik seperti asap rokok, dan lain-lain. Selain itu berbagai faktor turut

mempengaruhi tinggi rendahnya prevalens asma di suatu tempat, misalnya usia,

jenis kelamin, ras, sosio-ekonomi dan faktor lingkungan.

Asma dapat digolongkan berdasarkan derajat penyakit dan derajat

serangan yaitu :

Asma berdasarkan derajat penyakit :

- Asma episodik jarang

- Asma episodik sering

- Asma persisten

Asma berdasarkan derajat serangan :

- Serangan asma ringan

- Serangan asma sedang

- Serangan asma berat

Untuk diagnosis penyakit anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

laboratorium harus dilakukan dengan cermat agar didapatkan riwayat penyakit

yang tepat untuk asma.

Tatalaksana kasus asma pada asma sangat penting diketahui setiap orang

tua oleh karena itu edukasi penangganan sangat penting diberikan agar dapat

mendapatkan hasil yang baik. Setiap kondisi asma memiliki penanganan yang

berbeda pada setiap jenisnya.

Terdapat banyak kondisi dengan gejala dan tanda yang mirip dengan asma

diantarannya : Rhinosinobronkitis, Refluks gastroesofageal, Infeksi respiratorik

bawah viral berulang, Bronkiolitis, Displasia bronkopulmoner, Tuberkulosis,

Malformasi kongenital yang menyebabkan penyempitan saluran respiratorik

Intratorakal, Aspirasi benda asing, Sindrom diskinesia silier primerDefisiensi

imun, Penyakit jantung bawaan.

Bila serangan asma tidak ditangani dengan baik dan berlangsung lama

dapat mengakibatkan kerusakan pada sistem pernafasan anak tersebut hingga

dapat mengakibatkan kematian.

Pada kasus asma, prognosis penyakit sangat tergantung terhadap intesitas

tejadinya serangan dimana intesitas serangan ini dapat dikuranggi dengan cara

menghindari faktor pencetus ataupun pengendalian aktifitas sehari – hari.

Penanganan pada kasus asma saat serangan merupakan faktor penting penentuan

prognosis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Tjahjadi Petrus, Dikot Yustiani, Gunawan Dede. Gambaran Umum

Mengenai Epilepsi. Dalam: Harsono, penyunting. Kapita Selekta

Neurologi. Edisi-2. Yogyakarta: Gajahmada University Press; 2007:

h.119-133.

2. Syeban Zakiah, Markam S, Harahap Tagor. Epilepsi. Dalam: Markam

Soemarmo, penyunting. Penuntun Neurologi. Edisi-1. Tangerang:

Binarupa Akasara; 2009: h. 100-102.

3. Passat Jimmy. Epidemiologi Epilepsi. Dalam: Soetomenggolo Taslim,

Ismael Sofyan, Penyunting. Neurologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit

IDAI; 1999: h.190-197.

4. Sunaryo utoyo.2007. Diagnosis Epilepsi. Surabaya; Bagian neurologi

Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma .

5. PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakarta. 2008

6. Markam S, Gunawan S, Indrayana, Lazuardi S. Diagnostik Epilepsi.

Dalam: Markam Soemarmo, penyunting. Penuntun Neurologi. Edisi-1.

Tangerang: Binarupa Akasara; 2009: h. 103-113.

7. Busquets JM, Hwang PH. Nonpolypoid rhinosinusitis: Classification,

diagnosis and treatment. In Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, eds.

Head & Neck Surgery – Otolaryngology. 4th ed. Vol 1. Philadelphia:

Lippincott Williams & Wilkins, 2006; 406-416.

8. Mangunkusumo E, Rifki N. sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar NH

(eds). Buku ajar Ilmu Kesehatan THT-KL, edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit

FKUI; 2001. Hal 120-4.

9. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus Paranasal. Dalam: Soepardi EA dkk

(eds). Buku ajar ilmu kesehatan THT-KL, edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit

FKUI; 2007. Hal 145-9.

10. Lund VJ. Anatomi of the nose and Paranasal Sinuses. In: Jones A (Ed).

Scott-Brown’s Otolaryngology. 7th ed. London Hoddler Arnold, 2008;

2:2493-2521.2.

11. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Editor Irawati S,

edisi 11. Jakarta: Balai Pnerbit EGC; 2008. Hal 345-6