epilepsi pada anak lapsus

29
LAPORAN KASUS INDIVIDU EPILEPSI Pembimbing : dr. Taufiqur Rahman, SpA Disusun Oleh : Lustyafa Inassani Alifia 201420401011115 1

Upload: inassani-alifia

Post on 13-Apr-2016

75 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

laporan kasus epilepsi anak

TRANSCRIPT

Page 1: epilepsi pada anak lapsus

LAPORAN KASUS INDIVIDU

EPILEPSI

Pembimbing :

dr. Taufiqur Rahman, SpA

Disusun Oleh :

Lustyafa Inassani Alifia

201420401011115

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH LAMONGAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2015

1

Page 2: epilepsi pada anak lapsus

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmatNya

penulis dapat menyelesaikan laporan kasus anak yang mengambil topik “Epilepsi”

Laporan ini disusun dalam rangka menjalani kepaniteraan klinik bagian Ilmu

Kesehatan Anak di RS Muhammadiyah Lamongan. Tidak lupa penulis ucapkan

terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan responsi

kasus ini, terutama kepada dr.Taufiqur Rahman, Sp.A selaku dokter pendamping

yang telah memberikan bimbingan kepada saya dalam penyusunan dan

penyempurnaan laporan kasus ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan kasus ini masih jauh dari

sempurna, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis

harapkan. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat dalam bidang kedokteran

khususnya Bagian Ilmu Kesehatan Anak.

Lamongan, 15 Oktober 2015

Penyusun2

Page 3: epilepsi pada anak lapsus

DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar.................................................................................................. 2

Daftar Isi........................................................................................................... 3

BAB 1. PENDAHULUAN............................................................................... 4

BAB 2. LAPORAN KASUS............................................................................ 6

BAB 3. PEMBAHASAN.................................................................................. 11

BAB 4. KESIMPULAN................................................................................... 18

Daftar Pustaka................................................................................................... 19

3

Page 4: epilepsi pada anak lapsus

BAB 1

PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan salah satu penyebab terbanyak morbiditas di bidang

neurologi anak,yang menimbulkan berbagai permasalahan antara lain kesulitan

belajar, gangguan tumbuh-kembang, dan menentukan kualitas hidup anak. Insidens

epilepsi pada anak dilaporkan dari berbagai negara dengan variasi yang luas, sekitar

4-6 per 1000 anak, tergantung pada desain penelitian dan kelompok umur populasi.

Di Indonesia terdapat paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus epilepsi dengan

pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40%-50%

terjadi pada anakanak. Sebagian besar epilepsi bersifat idiopatik, tetapi sering juga

disertai gangguan neurologi seperti retardasi mental, palsi serebral, dan sebagainya

yang disebabkankelainan pada susunan saraf pusat1.

Epilepsi merupakan diagnosis klinis, pemeriksaan EEG merupakan

pemeriksaan neurofisiologi yang diperlukan untuk melihat adanya fokus

epileptogenik, menentukan sindrom epilepsi tertentu, evaluasi pengobatan, dan

menentukan prognosis. Pemeriksaan pencitraan (neuroimaging) yang paling terpilih

adalah magnetic resonance imaging (MRI) untuk melihat adanya fokus epilepsi dan

kelainan struktural otak lainnya yang mungkin menjadi penyebab epilepsi. Ketika

anak sudah didiagnosis epilepsi, anak harus menjalani terapi dengan Obat Anti

Epilepsi (OAE) selama 2 tahun, dan pengobatan harus dilakukan rutin, hingga anak

tahun bebas kejang sejak kejang yang terakhir1.

4

Page 5: epilepsi pada anak lapsus

Tujuan dari laporan kasus ini adalah untuk membahas mengenai epilepsi pada

anak, diagnosis epilepsi, terapi epilepsi pada anak dan prognosis epilepsi pada anak

yang diterapi dengan obat anti epilepsi.

5

Page 6: epilepsi pada anak lapsus

BAB 2

LAPORAN KASUS

An. A usia 7 bulan dibawa ke IGD Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan

dengan keluhan kejang. Anak kejang 30 menit sebelum dibawa ke UGD. Sebelumnya

di rumah pasien kejang sebanyak 3 kali, sekali kejang 1 menit. Saat kejang seluruh

tubuh kaku, tangan mengepal, mata melirik ke atas dan mulut tidak mengeluarkan

busa. Ibu pasien mengatakan kejang seperti orang terkejut. Ketika kejang anak tidak

panas. Di antara kejang anak sadar dan menangis. Riwayat pernah kejang dengan

demam sebelunya disangkal. Panas sumer-sumer sebelumnya disangkal, batuk pilek

disangkal, diare (-), muntah (-). Riwayat trauma (-). BAK banyak, terakhir ganti

popok sore sebelum dibawa ke IGD. Satu minggu ini anak belum BAB.

Satu bulan sebelum pasien kejang, pasien berobat ke poli anak dengan

keluhan yang sama yaitu kejang, di mana saat itu merupakan kejang pertama yang

dialami pasien. Pasien juga sudah melakukan pemeriksaan EEG dengan hasil

abnormal dan kesimpulan epilepsi. Pasien kemudian diterapi epilesi dengan obat

lepsio sirup 2x1.2 cc, neurotam sirup 2x1.2 cc,dan maltofer 2x7 tetes. Pasien sudah

menjalani terapi ini selama 2 minggu, ibu mengatakan selalu meminumkan obatnya

secara rutin, namun kali ini kejang muncul kembali.

Di keluarga pasien ada yang pernah mengalami kejang yaitu kakak pasien,

yang saat ini berusia 7 tahun. Namun setelah terakhir kejang usia 1 tahun, kakak

pasien sudah tidak pernah kejang lagi. Riwayat persalinan pasien dulu anak lahir

secara normal dengan BBL 3000 gram, bayi lahir langsung menangis. Riwayat 6

Page 7: epilepsi pada anak lapsus

imunisasi pasien lengkap sampai usia 6 bulan. Riwayat tumbuh kembang anak saat

ini anak bisa tengkurap, namun belum bisa membalikkan tubuhnya sendiri. Anak juga

sudah mengoceh, namun belum membentuk kata-kata.

Hasil dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak lemah

kesadaran kompos mentis, GCS 456 dan kesan gizi cukup. Berat badan pada saat

periksa 7.8 kg. Pada pemeriksaan vital sign didapatkan: nadi 116x/menit (regular,

kuat), respiratory rate 30x/menit, suhu tubuh 37,10C, dan SpO2 100% tanpa oksigen

support. Pada pemeriksaan kepala dan leher, didapatkan anemis (-), sclera mata

ikterik (-), sianosis (-), dyspneu (-), mukosa bibir kering (-), pernapasan cuping

hidung (-). pembesaran kelenjar KGB (-). Pada pemeriksaan paru, didapatkan suara

nafas yang vesikuler pada kedua lapang paru. Tidak didapatkan rhonki ataupun

wheezing pada kedua lapang paru. Pada pemeriksaan jantung didapatkan S1 dan S2

tunggal tidak didapatkan murmur dan gallop. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan

abdomen flat, soepel, turgor kembali cepat, liver teraba normal, lien, dan renal tidak

teraba, meteorismus (-), dan bising usus (+) dalam batas normal. Pada pemeriksaan

akral teraba hangat, kering, merah. Status neurologis pada pasien ini kaku kuduk (-),

burdzinski I-IV (-), hipotonus, Reflek fisiologis BPR +2|+2, TPR +2|+2, KPR +2|+2,

APR +2|+2, Reflek patologis Babinski (-|-), chaddok (-|-) reflek cahaya +/+ pupil

bulat isokor Ф 3mm/3mm.

Hasil pemeriksaan laboratorium pasien ini: Eritrosit 5.24, Hb 10.3, Limfosit

43.6, Basofil 3.5, Eosinofil 1.0, Hematokrit 31.4, Leukosit 6.7, MCH 19.70, MCHC

7

Page 8: epilepsi pada anak lapsus

30.10, MCV 65.30, Monosit 12.4, MPV 5, Neutrofil 39.5, RDW 15, Trombosit 200,

GD 97.

Berdasarkan data di atas, didapatkan clue and cue sebagai berikut: Anak A,

laki-laki, usia 7 bulan, BB actual 7.8 kg, kejang 3x, lama kejang 1 menit, saat kejang

anak tidak panas, di antara kejang anak sadar, riwayat trauma (-), riwayat keluarga

kejang (+), riwayat kejang dengan demam (-), hasil EEG epilepsi, sudah terapi lepsio

dan neurotam selama 2 minggu. Problem list pada pasien ini adalah: (1) Kejang

berulang tanpa demam (2) Kejang tanpa provokasi (3) Kejang tanpa penurunan

kesadaran (4) Riwayat terapi epilepsi 2 minggu (5) Hasil EEG epilepsi (6) Defisit

neurologis (-).

Berdasarkan clue and cue dan problem list, maka pasien dapat didiagnosis

sebagai epilepsi. Adapun planning theraphy pada pasien ini akan dilakukan yaitu

IVFD KaEn 1B 850cc/24 jam, injeksi phenytoin loading 130 mg kemudian lanjut

phenytoin 3x50 mg, Injeksi diazepam 2.5 mg hanya jika kejang. Planning monitoring

yang dilakukan adalah keadaan umum pasien, tanda-tanda vital (nadi, respiratory

rate, suhu tubuh), serta observasi kejang berulang pada anak. Adapun prognosis

pasien pada kasus ini dalah quo ad vitam dubia ad bonam. Edukasi yang diberikan

pada keluarga pasien adalah menjelaskan kepada keluarga pasien tentang penyakit,

etiologi, pengobatan, serta prognosis.

8

Page 9: epilepsi pada anak lapsus

Tabel SOAP

Ther

apy

1.

-Inf

. KaE

n 1B

850c

c/24

jam

2.

Kut

oin

stop

3.

Lep

sio

2x 1

.3cc

4.

Neu

rota

m 2

x1.3

cc

5.

Mal

tofe

r 2x7

tete

s

Ass

esm

e

n Obs

.

Con

vuls

i

e.c

Epile

psi

Obj

ectiv

e

KU

lem

ah

GC

S 45

6 N

106

x/m

ntR

R 2

3x/m

ntT

36.6

°C L

K: 4

5cm

Kep

ala

:a(

-) i(

-) c

(-) d

(-)

Leh

er :

Perb

esar

an K

GB

(-)

Tho

rax

:pu

lmo

I: N

orm

oche

st, s

imet

ris ,r

etra

ksi d

indi

ng

dada

-, tr

akea

di t

enga

hP:

frem

itus d

bn, e

ksap

ansi

din

ding

dad

a si

met

ris d

bnP:

sono

r-so

nor

A: v

esik

uler

-ves

ikul

er R

h-/-,

Wh-

/-Ja

ntun

g :

I: Ik

tus c

ordi

s tid

ak ta

mpa

kP:

iktu

s tid

ak te

raba

P: b

atas

jant

ung

dbn

A: S

1 S2

tung

gal g

(-),

m (-

)A

bdom

en :

I: fla

tP:

sup

el, h

epar

, lie

n ta

k te

raba

, NT

(-)

P: ti

mpa

niA

: B U

(+) N

Ext

rim

itas

Akr

al H

KM

, CR

T 2’

Subj

ect

Kej

ang

(-)

Pana

s (-)

Sesa

k (-

)

ASI

(+) m

au.

Tang

gal

20

Des

emer

20

15

9

Page 10: epilepsi pada anak lapsus

Ther

apy

1.

Leps

io 2

x 1.

3cc

2.

Neu

rota

m 2

x1.3

cc

3.

Mal

tofe

r 2x7

tete

s

4.

Acc

KR

S

Ass

esm

e

n Epile

psi

Obj

ectiv

e

KU

lem

ah

GC

S 45

6 N

100

x/m

ntR

R 2

3x/m

ntT

37,3

°CL K

epal

a :

a(-)

i(-)

c(-

) d(-

)L

eher

:Pe

rbes

aran

KG

B (-

)T

hora

x :

pulm

oI:

Nor

moc

hest

, sim

etris

,ret

raks

i din

ding

da

da -,

trak

ea d

i ten

gah

P: fr

emitu

s dbn

, eks

apan

si d

indi

ng d

ada

sim

etris

dbn

P: so

nor-

sono

r A

: ves

ikul

er-v

esik

uler

Rh-

/-, W

h-/-

Jant

ung

:I:

Iktu

s cor

dis t

idak

tam

pak

P: ik

tus t

idak

tera

baP:

bat

as ja

ntun

g db

nA

: S1

S2 tu

ngga

l g (-

), m

(-)

Abd

omen

: I:

flat

P: s

upel

, hep

ar ,

lien

tak

tera

ba, N

T (-

)P:

tim

pani

A: B

U (+

) NE

xtri

mita

s

Akr

al H

KM

, CR

T 2’

Subj

ect

Kej

ang

(-)

Mun

tah

(-)

Pana

s (-)

ASI

(+) m

au

Tang

gal

21 Des

emer

20

15

10

Page 11: epilepsi pada anak lapsus

BAB 3

PEMBAHASAN

Pada kasus ini, seorang An. A usia 7 bulan datang dengan keluhan kejang.

Kejang pada pasien ini perlu dipikirkan berbagai macam penyebabnya, karena

kejang sendiri sebenarnya bukan suatu diagnosis, melainkan suatu manifestasi

lepasnya muatan listrik berlebihan di sel neuron otak. Hal ini penting karena

diagnosis etiologi dari kejang pada anak akan menentukan terapi, prognosis, serta

edukasi pada keluarga nantinya. Berdasarkan serangan kejang, kejang pada anak

dapat dibedakan serangan akut dan kronik berulang. Kondisi akut pada kejang ini

dapat melalui proses infeksi, gangguan metabolisme, maupun gangguan elektrolit.

Pada kondisi infeksi, kejang dapat dibagi dalam infeksi intrakrainal maupun

ekstrakrainal. Proses infeksi intrakranial yang menyebabkan kejang dapat berupa

meningitis, encephalitis, meningoencephalitis, dan abses otak. Sedangkan etiologi

non-infeksi dapat berupa adanya trauma, Space Occupying Process (SOP) seperti

perdarahan intrakranial. Kejang yang disebabkan oleh suatu proses intrakranial dapat

bermanifestasi berat pada anak, seperti panas tinggi, nyeri kepala, muntah,

penurunan kesadaran, serta didapatkan adanya defisit neurologis2. Pada pasien ini,

keluhan kejang tidak diikuti dengan penurunan kesadaran, panas tinggi maupun

muntah proyektil sehingga kemungkinan penyebab kejang berasal dari intracranial

dapat disingkirkan. Hal ini didukung pula dari hasil pemeriksaan fisik dimana

keadaan umum anak baik, GCS 456, suhu tubuh anak 37,1o C, meningeal sign (-),

tidak didapatkan defisit neurologis, serta dari hasil laboratorium tidak didapatkan 11

Page 12: epilepsi pada anak lapsus

pertanda infeksi. Pada pasien ini juga tidak didapatan adanya riwayat trauma

sehingga penyebab kejang karena trauma dapat disingkirkan. Lingkar kepala pada

anak ini adalah 45cm, dimana menurut kurva Neilhauss, ukuran anak laki-laki usia 7

bulan 45 cm termasuk normocephali. Sehingga kemungkinan adanya hidocephalus,

ataupun kondisi mikrocephali yang dapat menjadi salah satu penyebab kejang karena

kelainan anatomi dapat disingkirkan.

Adanya gangguan keseimbangan elektrolit maupun gangguan metabolisme

juga dapat mencetuskan serangan kejang. Keadaan-keadaan seperti muntah profuse,

maupun diare, dapat menyebabkan gangguan keseimbangan elektrolit yang dapat

mencetuskan terjadinya kejang. Keadaan gangguan keseimbangan elektrolit

menyebabkan perubahan konsentrasi ion di ekstraseluler. Sehingga keadaan ini akan

mencetuskan eksitasi dari sel neuron yang berlebihan sehingga akan menyebabkan

kejang. Dalam kasus ini, anak tidak mengalami pengeluaran cairan yang profuse yang

berpotensi membuat keseimbangan elektrolit pada anak terganggu, seperti muntah

ataupun diare. Pada pasien ini memang belum diperiksakan untuk serum

elektrolitnya, sehingga kemungkinan kejang karena gangguan keseimbangan

elektrolit atau gangguan keseimbanagn elektrolit sebagai faktor penyerta masih belum

dapat disingkirkan.

Selain penyebab intrakranial, penyebab kejang tersering pada anak <5 tahun

adalah proses ekstrakranial yaitu kejang demam. Pada kejang demam, kejang disertai

demam >38,5o C, kejang tanpa penurunan kesadaran, tanpa ada riwayat kejang tanpa

demam sebelumnya. Pada pasien ini secara umur dapat dipikirkan masuk ke dalam

kategori kejang demam, dan memang anak sadar di antara kejang. Namun pada 12

Page 13: epilepsi pada anak lapsus

pasien ini kejang tidak disertai demam, karena suhu tubuh anak 37,1o C, dan setiap

anak kejang tidak disertai peningkatan suhu tubuh, serta tidak didapatkan riwayat

kejang dengan demam sebelumnya. Sehingga dalam hal ini kejang demam bukan

sebagai diagnosis banding.

Dalam kasus ini, serangan kejang tidak hanya terjadi satu kali, melainkan

terjadi berulang, dan kejang terjadi tanpa pencetus. Dalam hal ini perlu dipikirkan

suatu epilepsi pada anak, di mana kejang pada epilepsi terjadi kronik dan berulang.

Bangkitan epilepsi muncul tanpa diprovokasi, bersifat tiba-tiba dan transient, dan

klinis bangkitan serupa (stereotipik). Etiologi epilepsi secara garis besar adalah

idiopatik, dapat pula terjadi karena infeksi SSP, yang dapat menyebabkan kelainan

bangkitan listrik jaringan saraf yang tidak terkontrol baik sebagian maupun

seluruh bagian otak. Epilepsi ditandai oleh bangkitan berulang yang diakibatkan

oleh aktivitas listrik yang berlebihan pada sebagian atau seluruh bagian otak.

Bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor eksitasi dan

inhibisi serebral, bangkitan akan muncul pada eksitabilitas yang tidak terkontrol1.

Dalam kasus ini seorang anak laki usia 7 bulan datang dengan keluhan kejang.

Menurut peneitian I Gusti (2011) mengenai Insiden dan Karakteristik Klinis Epilepsi

pada Anak, berdasarkan jenis kelamin, laki-laki mempunyai risiko lebih tinggi

menderita epilepsi, tetapi tidak ditemukan perbedaan ras. Pada pasien ini kejang

terjadi tiga kali, di mana di antara kejang anak sadar. Kejang sebanyak 3 kali, sekali

kejang 1 menit. Saat kejang seluruh tubuh kaku, tangan mengepal, mata tidak melirik

ke atas. Ketika kejang anak tidak panas. Di antara kejang anak sadar dan menangis.

Pasien tidak memiliki riwayat kejang dengan demam sebeumnya. Menurut penelitian 13

Page 14: epilepsi pada anak lapsus

I Gusti (2011), sebagian besar pasien epilepsi pada anak tidak mempunyai riwayat

kejang demam sebelumya. Selain itu pasien ini memiliki faktor resiko di keluarga

pasien ada yang pernah mengalami kejang yaitu kakak pasien, yang saat ini berusia 7

tahun. Sehingga pada pasien ini dapat didiagnosis sebagai suatu epilepsi.

Diagnosis epilepsi didasarkan atas gejala dan tanda klinis yang khas,

sehingga membuat diagnosis tidak hanya berdasarkan dengan beberapa hasil

pemeriksaan penunjang diagnostik saja, justru informasi diperoleh sesudah

melakukan anamnesis yang lengkap dengan pasien maupun saksi mata yang

mengetahui serangan kejang tersebut terjadi dan kemudian baru dilakukan

pemeriksaan fisik & neurologi3. Epilepsi merupakan diagnosis klinis, pemeriksaan

EEG merupakan pemeriksaan neurofisiologi yang diperlukan untuk melihat adanya

fokus epileptogenik, menentukan sindrom epilepsi tertentu, evaluasi pengobatan, dan

menentukan prognosis. Hasil rekaman EEG dipengaruhi oleh banyak faktor dan tidak

selalu gangguan fungsi otak dapat tercermin pada rekaman EEG. Gambaran EEG

normal dapat dijumpai pada anak dengan epilepsi, sebaliknya gambaran EEG

abnormal ringan dan tidak khas terdapat pada 15% populasi normal. Gambaran EEG

noral pada pasien dengan epilepsi dapat terjadi karena rekaman EEG dilakukan pada

saat anak sudah tidak kejang (inter-ictal). Di samping itu, hasil rekaman EEG yang

akan memberikan hasil yang positif memerlukan beberapa prosedur aktivasi,

misalnya tidur, hiperventilasi, dan stimulasi fotik. Pasien ini sudah melakukan

pemeriksaan EEG dengan hasil abnormal III dan kesimpulan epilepsy, sehingga pada

pasien ini dapat ditegakkan diagnosis epilepsi.

14

Page 15: epilepsi pada anak lapsus

Pasien kemudian diterapi epilesi dengan obat lepsio (asam valproat) sirup

dengan dosis 2x1.2 cc, neurotam (piracetam) sirup 2x1.2 cc, dan maltofer (zat besi)

2x7 tetes. Pemberian terapi epilepsi memang sebisa mungkin dengan obat tunggal

(monoterapi), dan dimulai dari dosis terkecil. Pemberian obat tunggal (monoterapi)

akan menurunkan risiko timbulnya efek samping, meningkatkan kepatuhan, dan

menghindari timbulnya interaksi obat. Pemberian obat tunggal juga lebih bernilai

ekonomis. Dengan terapi yang efektif, 80% kejang pasien epilepsi dapat dihentikan

dengan monoterapi. Dalam kasus ini, pasien sudah menjalani terapi ini selama 2

minggu, dan ibu mengatakan selalu meminumkan obatnya secara rutin, namun kali

ini kejang muncul kembali. Dalam penelitian Triono & Herini (2014) mengenai

Faktor Prognostik Kegagalan Terapi Epilepsi pada Anak dengan Monoterapi,

didapatkan kelompok prognosis sangat baik ditemukan pada 20%-30% dari semua

anak yang mengalami bangkitan kejang tanpa provokasi dan kemungkinan besar

remisi spontan. Kelompok prognosis baik ditemukan pada 30%-40% kasus, kejang

biasanya terkontrol dengan baik dengan OAE dan ketika remisi tercapai sifatnya

permanen dan OAE dapat dengan baik diturunkan atau dihentikan. Kelompok

tergantung OAE terdapat pada 10%-20% kasus, di mana kejang dapat ditekan dan

mengalami remisi, tetapi kemudian relaps jika OAE dihentikan.

Pada pasien ini, dosis asam valproat sirup yang diberikan adalah 2x 1.2cc.

Dosis asam valproat untuk anak adalah 15 mg/kgbb/hari. Berat badan anak 7.8kg.

Jika dibulatkan menjadi BB 8 kg, dosis asam valproat sirup yang dibutuhkan dalam

sehari adalah 120 mg, terbagi dalam 2 dosis. Kemasan asam valproat sirup adalah

250mg/5 mL, sehingga dosis yang dibutuhkan dalam satu kali minum 1.2 cc. 15

Page 16: epilepsi pada anak lapsus

Pemberian dosis asam valproat pada pasien ini tepat, namun mempertimbangkan anak

masih mengalami kejang kembali, sebenarnya untuk dosis asam valproat sendiri

dapat dinaikkan 5-10mg/kgBB/hari dengan selang waktu 1 minggu, dengan dosis

maksimal 60mg/kgBB/hari. Sehingga pada pasien ini ditingkatkan dosisnya menjadi

2x 1.3 cc dengan harapan tidak terjadi serangan kejang berulang kembali.

Pasien ini mendapatkan terapi epilepsi monoterapi asam valproat. Asam

valproat merupakan antiepilepsi yang luas digunakan di Indonesia dan tergolong

dalam obat dengan indeks terapi sempit yang memerlukan pengawasan pada

level obat dalam plasma dan penyesuaian dosis untuk mencegah timbulnya efek

toksik. Dalam penelitian Lingga dkk (2013) tentang Evaluasi Dosis Asam Valproat

pada Pasen Epilepsi Anak, dua puluh satu pasien epilepsi anak pada kelompok umur

≤ 12 tahun dengan monoterapi asam valproat mengalami durasi bebas kejang < 6

bulan. Pasien epilepsi anak pada kelompok umur ≤ 12 tahun dengan monoterapi

asam valproat yang mengalami durasi bebas kejang ≥ 6 bulan sebanyak 33

pasien.

Kesesuaian kadar asam valproat dalam serum terhadap kisar terapi sangat

penting, agar memberikan efek terapi yang optimal. Karena secara klinik kadar

obat yang berada pada kisar terapi telah dibuktikan berkorelasi dengan efek

terapi obat. Dalam kisar terapi dikenal istilah Minimum Effective Concentration

(MEC) atau sering disebut nilai ambang efek, dan MTC (minimum toxic

concentration) atau bisa disebut nilai ambang toksik (Hakim, 2012). Apabila

berdasarkan hasil perhitungan, perkiraan kadar asam valproat memberikan nilai

berada di bawah nilai MEC (50 mg/L), maka asam valproat tidak menimbulkan 16

Page 17: epilepsi pada anak lapsus

efek terapi. Selain itu juga adanya perbedaan tingkat keparahan epilepsi dan

kondisi masing-masing individu pasien dapat menyebabkan adanya perbedaan

outcome yang dicapai. Menurut Shargel dkk. (2005), outcome tidak tercapai juga

dapat disebabkan oleh adanya perubahan kepekaan pada reseptor dan kemungkinan

terjadi interaksi obat pada reseptor. Clinical outcome yang dilihat adalah durasi

bebas kejang yang ditetapkan selama 6 bulan. Outcome terapi dikatakan baik

apabila dalam jangka waktu 6 bulan berturut-turut setelah mendapat terapi asam

valproat pasien terbebas dari kejang, dan sebaliknya outcome terapi dikatakan tidak

baik apabila durasi bebas kejang kurang dari 6 bulan.

Selain dari sisi terapi epilepsi yang sedang dijalani pasien, kemungkinan

serangan kejang kembali yang dialami pasien adalah adanya fokus epileptogenik

yang baru. Serangan epilepsi diperkirakan dapat memicu terjadi serangan berikutnya

melalui fenomena fasilitasi. Konsep pembentukan epileptogenesis (fokus

epileptogenik baru) akibat serangan epilepsi berulang disebut sebagai kindling

hypothesis. Bangkitan elektrik pada sebuah fokus primer akan dapat menginduksi

daerah sekitarnya sehingga mencetuskan bangkitan paroksismal yang abnormal.

Status epileptikus adalah faktor prognostik kegagalan monoterapi. Kejang

berkepanjangan dan berulang dapat menyebabkan kerusakan otak akibat pacuan

asam amino eksitatorik yang toksik. Suatu fokus epileptogenik yang terlokalisasi

pada pemeriksaan EEG mungkin saja dapat berubah menjadi multifokus atau

menyebar secara difus pada pasien epilepsi anak.

17

Page 18: epilepsi pada anak lapsus

BAB IV

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan, An. A didiagnosis sebagai epilepsi, sehingga

memerlukan terapi OAE selama 2 tahun dengan harapan selama 2 tahun anak dapat

bebas kejang sejak kejang yang terakhir. Faktor yang menyebabkan timbunya kejang

kembali pada anak ini bisa disebabkan karena diperlukannya tambahan dosis asam

valproat yang diberikan, dan dapat disebabkan pula karena munculnya fokus

epileptogenik baru pada anak.

18

Page 19: epilepsi pada anak lapsus

DAFTAR PUSTAKA

1. Suwarba, I Gusti Ngurah Made. 2011. Insiden dan Karakteristik Epilepsi pada

Anak. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana RSUP Sanglah, Denpasar, Bali. Sari Pediatri, Vol. 13 No. 2, Agustus

2011.

2. Muzayyanah, Nur Laili, Sunartini Hapsara, Tunjung Wibowo, 2013. Kejang

Berulang dan Status Epileptikus pada Ensefalitis sebagai Faktor Resiko Epilepsi

Pascaensefalitis. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta RSUP Dr. Sardjito, Sari Pediatri Vol. 15,

No. 3, Oktober 2013.

3. Sunaryo, Utoyo. 2007. Diagnosis Epilepsi. Bagian Neurologi FK UWKS RSUD

Dr. Moh. Saleh Kota Probolinggo. Wijaya Kusuma, Volume 1, Nomor I, Januari

2007, 49-56.

4. Triono, Agung & Herini, Elisabeth. 2014. Faktor Kegagalan Monoterapi Epilepsi

pada Anak dengan Monoterapi. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas

Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP Dr.Sardjito, Yogyakarta. Sari Pediatri

Vol. 16, No. 4. Desember 2014.

5. Lingga, Herningtyas, Lukman Hakim, I Dewa Putu Pramantara. 2013. Evaluasi

Dosis Asam Valproat pada Pasien Epiepsi Anak. Jurnal Manajemen dan

Pelayanan Farmasi Vol. 3 No.2/ Juni 2013.

19