referat epilepsi

31
BAB I PENDAHULUAN Epilepsi dapat terjadi pada siapa saja di seluruh dunia tanpa ada batasan ras dan sosio-ekonomi. Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang dibanding dengan negara industri. Hal ini belum diketahui penyebanya, diduga terdapat beberapa faktor ikut berperan, misalnya perawatan ibu hamil, keadaan waktu melahirkan, trauma lahir, kekurangan gizi dan penyakit infeksi. 1 Dari banyak penelitian menunjukkan bahwa angka kejadian epilepsi cukup tinggi, diperkirakan prevalensinya berkisar antara 0,5-4%. Rata-rata prevalensi epilepsi sekitar 8,2 per 1.000 penduduk. Sedangkan angka insidensi epilepsi di negara berkembang mencapai 50-70 kasus per 100.000 penduduk. Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 220 juta maka diperkirakan jumlah pasien epilepsi berkisar antara 1,1-8,8 juta. Berdasarkan grafik, usia pasien epilepsi menunjukkan pola bimodal. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi, menurun pada usia dewasa muda dan pertengahan, kemudian meningkat lagi pada usia lanjut. 2 Sedangkan menurut jenis kelamin, epilepsi mengenai laki-laki 1,1-1,5 kali lebih banyak dari perempuan. 3 1

Upload: fathul-yasin

Post on 23-Dec-2015

17 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Semoga bermanfaat

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Epilepsi

BAB I

PENDAHULUAN

Epilepsi dapat terjadi pada siapa saja di seluruh dunia tanpa ada batasan ras dan sosio-

ekonomi. Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang dibanding

dengan negara industri. Hal ini belum diketahui penyebanya, diduga terdapat beberapa faktor

ikut berperan, misalnya perawatan ibu hamil, keadaan waktu melahirkan, trauma lahir,

kekurangan gizi dan penyakit infeksi.1

Dari banyak penelitian menunjukkan bahwa angka kejadian epilepsi cukup tinggi,

diperkirakan prevalensinya berkisar antara 0,5-4%. Rata-rata prevalensi epilepsi sekitar 8,2

per 1.000 penduduk. Sedangkan angka insidensi epilepsi di negara berkembang mencapai 50-

70 kasus per 100.000 penduduk. Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 220 juta maka

diperkirakan jumlah pasien epilepsi berkisar antara 1,1-8,8 juta. Berdasarkan grafik, usia

pasien epilepsi menunjukkan pola bimodal. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak

cukup tinggi, menurun pada usia dewasa muda dan pertengahan, kemudian meningkat lagi

pada usia lanjut.2 Sedangkan menurut jenis kelamin, epilepsi mengenai laki-laki 1,1-1,5 kali

lebih banyak dari perempuan.3

Gambar 1. Gambaran Epidemiologi Epilepsi Menurut Usia

Selain itu di kalangan masyarakat awam sendiri masih terdapat pandangan yang salah

mengenai penyakit epilepsi, antara lain dianggap sebagai penyakit kutukan, guna-guna,

kerasukan, gangguan jiwa dan penyakit menular melalui air liur. Hal ini tentu saja akan

1

Page 2: Referat Epilepsi

berpengaruh negatif terhadap pelayanan untuk tatalaksana penyakit epilepsi. Beberapa

masalah lain yang telah diidentifikasi sebagai penghambat tatalaksana penyakit epilepsi

adalah keterbatasan tenaga medis, sarana layanan kesehatan, dana dan kemampuan

masyarakat. Keterbatasan tersebut akan menurunkan optimalisasi penatalaksanaan penyakit

epilepsi.2

Tidak jarang penyakit epilepsi ini menimbulkan kematian. Angka kematian pertahun

adalah 2 per 100.000. Hal ini dapat berhubungan langsung dengan kejang, misalnya ketika

terjadi serangkaian kejang yang tidak terkontrol, dan di antara serangan pasien tidak sadar,

atau jika terjadi cedera akibat kecelakaan atau trauma. Fenomena kematian mendadak yang

terjadi pada penderita epilepsi (Sudden Unexplained Death In Epilepsy) diasumsikan

berhubungan dengan aktivitas kejang dan kemungkinan besar karena disfungsi

kardiorespirasi.3

Selain itu epilepsi berpotensi menimbulkan masalah sosio-ekonomi dan medikolegal

yang secara keseluruhan dapat menurunkan kualitas hidup pasien epilepsi. Masalah tersebut

meliputi kesempatan untuk memperoleh hak pekerjaan/karier, pendidikan dan perkawinan,

memperoleh tanggungan asuransi, dan memperoleh Surat Ijin Mengemudi (SIM). Aspek

medikolegal epilepsi juga harus diperhatikan oleh dokter karena kelalaian dan rekam medik

yang kurang lengkap akan dapat menyeret dokter ke meja hijau.2

Menurut beberapa keterangan tersebut di atas, ditambah betapa variatifnya penyebab

dari penyakit epilepsi sangat penting bagi kita klinisi kesehatan untuk membahas penyakit

epilepsi lebih mendalam dan ketepatan dalam mendiagnosisnya karena penyakit ini

membutuhkan tatalaksana yang komprehensif. Jika tidak penyakit epilepsi makin tidak

tertangani dan akan membuat dampak buruk bagi pasien sendiri, serta lingkungan keluarga

dan sosialnya.4

2

Page 3: Referat Epilepsi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure)

berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermiten, yang disebabkan

oleh lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara paroksismal, dan

disebabkan oleh berbagai etiologi.2

Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa

(streotipik), berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa perubahan

kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak, bukan

disebabkan oleh suatu penyakit otak aku (unprovoked).2

Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinik epilepsi yang terjadi

secara bersama-sama yang berhubungan dengan etiologi, umur, awitan (onset), jenis

bangkitan, factor pencetus, dan kronisitas.2

2.2 Klasifikasi

Dalam mendiagnosis penyakit epilepsi perlu adanya suatu klasifikasi mengingat

tatalaksana tiap bangkitan berbeda. Klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi yang telah

ditetapkan oleh International League Againts Epilepsy (ILAE) tahun 1981 yang terdiri dari

dua jenis, yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi dan klasifikasi untuk sindrom

epilepsi.2

Berikut ini adalah klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi.

Tabel 1. ILAE Classification of Epileptic Seizures

I. Partial (focal) seizures   A. Simple partial seizures (consciousness not impaired)

3

Page 4: Referat Epilepsi

1. With motor signs (including jacksonian, versive, and postural)2. With sensory symptoms (including visual, somatosensory, auditory, olfactory,

gustatory, and vertiginous)

3. With psychic symptoms (including dysphasia, dysmensic, hallucinatory, and affective changes)

4. With autonomic symptoms (including epigastric sensation, pallor, flushing, pupillary changes)

B. Complex partial seizures (consciousness is impaired)1. Simple partial onset followed by impaired consciousness2. With impairment of consciousness at onset

3. With automatisms

C. Partial seizures evolving to secondarily generalized seizures

II. Generalized seizures of nonfocal origin (convulsive or nonconvulsive)A. Absence seizures

1. With impaired consciousness only2. With one or more of the following: atonic components, tonic components,

automatisms, autonomic components

B. Myoclonic seizures       Myoclonic jerks (single or multiple)

C. Tonic-clonic seizures (may include clonic-tonic-clonic seizures)

D. Tonic seizures

E. Atonic seizures

III. Unclassified epileptic seizures

Adapted from Commission on Classification and Terminology of the International League

Against Epilepsy. Proposal for revised clinical and electroencephalographic classification of

epileptic seizures. Epilepsia 1981;22:489–501.4

Ternyata dalam mendiagnosis pasien epilepsi, mengklasifikasikan jenis epilepsi pada

seorang pasien justru lebih penting daripada mendeskripsikan kejangnya (kejang parsial atau

4

Page 5: Referat Epilepsi

kejang general), karena informasi klinis pada pasien ternyata juga memiliki makna klinis

yang relevan pada penyakit epilepsinya. Seperti pada anamnesis, terdapatnya riwayat trauma

kepala, atau riwayat keluarga yang pernah mengalami kejang), kelainan pada pemeriksaan

neurologis, serta hasil electroencephalography (EEG) dan laboratorium.4

ILAE akhirnya mengklasifikasikan kembali epilepsi menurut penyebabnya (idiopatik,

simptomatik, ataukah kriptogenik). Tiap penyebab kemudian dikelompokkan kembali

menurut usia pasien serta kemungkinan anatomi otak yang terkena. Klasifikasi sindrom

epilepsi ini kurang berhasil, bahkan menjadi kontroversial daripada klasifikasi serangan. Hal

ini dikarenakan pembagian sindrom epilepsi tersebut masih empiris. Pengelompokkan hanya

berdasarkan data klinis dan hasil EEG yang mencakup informasi anatomi, patologik atau

etilogi spesifik lainnya. Namun klasifikasi ini berguna untuk beberapa sindrom yang mudah

dikenali seperti infantile spasms dan benign partial childhood with central-midtemporal

spikes, dimana keduanya memiliki tatalaksana serta prognosis yang berbeda.4

Selain itu terdapat beberapa sindrom epilepsi yang tergolong idiopatik namun

memiliki kesamaan gejala klinis dengan golongan kriptogenik. Pada akhirnya penggolongan

sindrom epilepsi ini tetap penting, dalam usaha tatalaksana pasien epilesi secara tepat dan

maksimal.

TABEL. 2 Modified Classification of Epileptic Syndromes

I. Idiopathic epilepsy syndromes (focal or generalized)

A. Benign neonatal convulsions      1. Familial      2. Nonfamilial

5

Page 6: Referat Epilepsi

B. Benign childhood epilepsy      1. With central midtemporal spikes      2. With occipital spikesC. Childhood/juvenile absence epilepsyD. Juvenile myoclonic epilepsy (including generalized tonic-clonic seizures on awakening)E. Idiopathic epilepsy, otherwise unspecified

II. Symptomatic epilepsy syndromes (focal or generalized)

A. West syndrome (infantile spasms)B. Lennox-Gastaut syndromeC. Early myoclonic encephalopathyD. Epilepsia partialis continua      1. Rasmussen syndrome (encephalitic form)      2. Restricted formE. Acquired epileptic aphasia (Landau-Kleffner syndrome)F. Temporal lobe epilepsyG. Frontal lobe epilepsyH. Post-traumatic epilepsy I. Other symptomatic epilepsy, focal or generalized, not specified

III. Other epilepsy syndromes of uncertain or mixed classification

A. Neonatal seizuresB. Febrile seizureC. Reflex epilepsyD. Other unspecified

2.3 Etiologi

Penyebab penyakit epilepsi dibagi menjadi tiga golongan, yaitu idiopatik, kriptogenik

dan simptomatik. Sebagian besar penyebab timbulnya epilepsi adalah idiopatik yang tidak

diketahui penyebabnya, umumnya mempunyai predisposisi genetik. Sedangkan penyebab

epilepsi kriptogenik dianggap suatu simtomatik yang penyebabnya belum diketahui, termasuk

di sini adalah sindrom west, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran

klinis sesuai dengan ensefalopati difus. Etiologi epilepsi yang terakhir yaitu simtomatik

disebabkan oleh kelainan/lesi susunan saraf pusat, misalnya cedera kepala, infeksi susunan

saraf pusat (SSP), kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak,

toksik (alkohol, obat), metabolik, dan kelainan neurodegeneratif.2

Pada epilepsi yang terjadi sejak masa anak-anak maka saat dewasa mencari etiologi

tak begitu penting, dengan pengertian proses penyebab tak aktif lagi. Bila epilepsi baru

terjadi saat dewasa, terutama diatas usia 30 tahun maka mencari etiologi menjadi penting,

6

Page 7: Referat Epilepsi

karena mungkin petanda suatu proses patologis yang masih progresif dan mungkin

memerlukan tindakan bedah saraf. Anamnesis yang baik, pemeriksaan fisik dan penunjang

akan mengarahkan kepada etiologi dari epilepsi.4

2.4 Epidemiologi

Data dari seluruh dunia, didapatkan hampir 40 juta manusia menderita epilepsi.2

Menurut WHO prevalensi epilepsi ini lebih tinggi pada wanita daripada pria. Angka

prevalensi untuk pria 0.32:1000 dan wanita 0.46: 1000. Data di Indonesia pada tahun 2000

didapatkan hasil dari rawat inap yaitu 3.949 kasus epilepsi, dimana dari 34.514 pasien dengan

penyakit susunan saraf (11.44%), sedangkan dari rawat jalan didapatkan 65.696 dari 351.290

(18.70%) dari jumlah kunjungan dengan penyakit susunan saraf.5

2.5 Patogenesis Epilepsi

Kemajuan yang pesat dalam pengobatan epilepsi menjadi tanda bahwa pengetahuan

tentang kejadian dan kendali terhadap kejang-kejang epileptik telah sangat maju. Meskipun

demikian pengetahuan tentang patogenesis pada epilepsi berkembang pesat jauh sesudah

obat-obat anti epilepsi ditemukan.

Mc.Namara (1994) dan peneliti lainnya mengajukan konsep-konsep baru mengenai

patofisiologi yang terjadi pada proses epileptik, yaitu adanya gangguan di tingkat

seluler/neuronal dalam keseimbangan antara faktor-faktor eksitasi dan inhibisi neuronal, baik

yang bersifat seluler tunggal maupun dalam bentuk network. Dengan demikian konsep

pengobatan dalam tahap eksperimental ini, melangkah kepada tingkat intervensi

farmakologik dalam meredam hipereksitabilitas dan hipersinkronisasi neuronal atau

meningkatkan inhibisi merupakan sasaran pengendalian proses epileptik (Rho dan Sankar

1999).

Dalam hal ini, pada patogenesis epilepsi, peran neurotransmitter GABA, glutamat dan

kainat serta reseptor-reseptornya dapat diungkapkan. Selain itu mungkin patofisiologi

serangan epileptik dapat melibatkan juga gangguan pada saluran ion (channelopathy) atau

proses remodelling dari jaringan-jaringan (network) neuron-neuron tersebut, sebagai bagian

dari proses biologi molekuler yang mendasari serangan epileptik tersebut.

7

Page 8: Referat Epilepsi

Dari hasil penelitian klinis dan juga dari binatang percobaan dapat disimpulkan bahwa

proses epileptogenesis pada manusia bersifat kompleks dan multifaktorial serta dapat

berlangsung dalam kurun waktu beberapa hari sampai beberapa tahun. Proses dapat dimulai

oleh suatu ‘’Precipitative event’’. Melihat bahwa epilepsi merupakan suatu spektrum

penyakit yang tidak homogen, tapi terdiri dari berbagai jenis, maka faktor-faktor presipitatif

yang berperan pada masing-masing jenis mungkin berbeda. Faktor-faktor pencetus dapat

bermacam-macam; trauma waktu kecil, antenatal hipoksia, radang terutama infeksi virus.

Faktor-faktor pencetus ini, bersama-sama dengan pengaruh faktor-faktor yang belum

jelas yang mungkin bersifat genetik, kemudian menyebabkan perubahan-perubahan struktural

pada sel-sel neuron, yang dapat secara berangsur-angsur atau secara cepat menimbulkan

kejang pertama.

Kejang yang pertama kali, kemudian dapat berkembang lebih cepat atau secara

berangsur-angsur, mendorong lebih lanjut perubahan-perubahan struktural /fungsional pada

sel neuron tertentu (atau segolongan neuron tertentu) yang menyebabkan kejang-kejang

tersebut dapat berulang dan muncullah penyakit epilepsi.

Persoalan yang masih belum diketahui sekarang adalah pada saat mana, bagaimana

timbulnya dan substrat mana yang terkena pada proses perkembangan timbulnya epilepsi

adalah pertanyaan-pertanyaan yang belum dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan neurosains

mengenai genesis dari epilepsi.

Lado dan Mosche (2002) mengatakan bahwa peningkatan frekuensi kejang demam

pada usia 1 sampai usia 5 tahun merupakan faktor risiko yang penting pada genesis epilepsi

lobus temporalis.

2.6 Mekanisme Dasar Epilepsi

Epilepsi adalah penyakit paroksismal yang disebabkan karena cetusan listrik neuronal

yang abnormal yang ditimbulkan oleh cetusan yang sinkron dari segolongan neuron

(synchoronous discharge of neuronal network).

Dengan demikian epilepsi dapat disebabkan oleh letupan listrik karena gangguan

membran dari neuron atau ketidakseimbangan antara pengaruh eksitatorik dan inhibitorik

8

Page 9: Referat Epilepsi

(Browne dan Holmes 1997). Peningkatan faktor eksitatorik dan menurunnya faktor

inhibitorik ini akan mengakibatkan ketidakseimbangan aktivitas potensial listrik di tingkat

neuronal.

Berdasarkan penelitian klinis timbulnya kejang epileptik pada model percobaan

binatang adalah didahului oleh depolarisasi membran sewaktu periode interiktal, yaitu

membran sel neuron yang berdekatan dengan badan sel mengalami kenaikan potensial listrik

sebesar 10-15 mV dengan masa depolarisasi yang relatif memanjang (100-200 msec) yang

disertai dengan aktivitas gelombang-gelombang paku lambat. Pada keadaan depolarisasi yang

panjang ini menimbulkan beberapa potensial aksi yang timbul pada akson, beriringan

menjauhi badan sel. Depolarisasi yang cukup kuat ini disebut sebagai “paroxysmal

depolarization shift” (PDS). Keadaan ini sesuai dengan patofisiologi epilepsi kronik pada

manusia, dimana sering ditemukan gelombang-gelombang paku pada EEG pada periode

interiktal.1

Sesuai dengan mekanisme dasar epilepsi, PDS timbul akibat gangguan fungsi

membran sel pada segolongan neuron atau karena input eksitatorik yang meningkat tajam

atau sebaliknya, fungsi inhibitorik yang menurun tajam. Selama periode interiktal pada fokus

tertentu diamati pada studi epilepsi eksperimental pada neokorteks kucing, melalui aplikasi

penicillin secara fokal, terjadi proses depolarisasi yang berkepanjangan yang disertai letupan-

letupan potensial aksi pada fase tonik, diikuti osilasi membran potensial dan letupan-letupan

potensial aksi yang diselingi dengan “silent periode” yang khas untuk fase klonik. Silent

periode ini menandakan hyperpolarisasi temporer yang memblok PDS.1

Perubahan patofisiologi yang mendasari proses interiktal menjadi proses iktal dengan

manifestasi kejang epilepsi tidak diketahui dengan pasti. Gangguan stabilitas membran sel

neuron dan pengaruh dari neurotransmitter eksiatatorik atau inhibitorik. Perubahan ini tidak

terjadi hanya pada satu neuron saja tapi melibatkan neuron yang lebih jauh jaraknya melalui

mekanisme sinaps hingga timbullah aktivitas epilepsi pada segolongan neuron (neuronal

network) atau kemudian menyebar ke seluruh permukaan kortek melalui serabut

talamokortikal.1

Sebagaimana proses epilepsi dari saat interiktal menjadi proses iktal yang masih

belum jelas semikian juga pada proses berhentinya suatu aktivitas epilepsi. Kejang akan

9

Page 10: Referat Epilepsi

berhenti sendiri sesuai dengan aktivitas yang meningkat dari proses inibisi serta bokade

depolarisasi yang ditandai dengan supresi aktivitas EEG postiktal.1

2.7 Patogenesis kejang umum

Pada epilepsi bangkitan kejang umum, kenaikan depalorisasi membran berasal dari

neuron neuron yang berada di daerah garis tengah otak. Secara bersamaan dan dalam waktu

yang singkat keadaan depolarisasi yang panjang ini akan menimbulkan beberapa potensial

aksi yang timbul pada akson, beriringan menjauhi badan sel dan menyebar ke seluruh bagian

korteks lainnya.4

Patogenesis kejang umum.4

Kejang umum ini terbagi menjadi :

- Kejang umum tonik klonik

Pada jenis bangkitan ini terjadi gangguan kesadaran dan terjadi kekakuan pada dada

dan tungkai (fase tonik), pada fase ini sering disertai dengan adanya suara yang keras akibat

dorongan kuat dari udara yang melewati pita suara (epilepsi cry). Fase tonik ini akan diikuti

gerakan berulang pada seluruh otot (fase klonik). Pada fase postiktal, kebanyakan pasien akan

merasa lelah, letargi dan bingung bahkan sampai tertidur. Pada beberapa pasien sering

terdapat gejala sindrom epilepsi yang muncul sebelum terjadinya bangkitan. Gejala gejala

tersebut dapat berupa rasa cemas, mudah tersinggung, penurunan konsentrasi, sakit kepala,

atau perasaan yang tidak nyaman.3

10

Page 11: Referat Epilepsi

Penurunan kesadaran yang terjadi pada fase post iktal ini diperkirakan karena

peningkatan metabolisme otak pada fase iktal. Metabolisme yang meningkat ini

membutuhkan oksigen yang tinggi dan tidak mampu dipenuhi oleh sistem respirasi sehingga

terjadi penimbunan laktat dan asam piruvat pada bangkitan yang lama dan menimbulkan

keadaan hipoksik pada otak.4

1. Bangkitan Lena

Pada bangkitan lena (petit mal seizure) terjadi kehilangan kesadaran dalam waktu

yang singkat dan terjadi penghentian gerakan dan seluruh aktivitas. Bangkitan lena ini terjadi

secara tiba-tiba tanpa adanya periode postiktal. Pada bangkitan lena ini sering juga dijumpai

kejang mioklonik pada mata dan otot muka, beberapa tonus otot yang hilang serta

automatisme. Jika fase awal dan akhir dari bangkitan ini tidak dapat dibedakan atau pada saat

fase kejang terdapat kejang tonik serta gejala otonom, maka digunakan terminology kejang

atipikal. Kejang atipikal ini biasanya terjadi pada anak dengan retradasi mental seperti

sindrom Lennox-Gastaut.3

2. Bangkitan umum klonik

Bangkitan umum klonik ini ditandai dengan adanya gerakan berulang pada otot, dapat

bilateral ataupun unilateral. Gerakan otot ini juga dapat terjadi sinkron ataupun asinkron.

Kejang mioklonik ini dapat bervariasi mulai dari gerakan kecil pada otot muka, lengan atau

tungkai sampai gerakan masif bilateral pada kepala, extremitas dan dada.3

3. Bangkitan umum atonik

Pada bangkitan atonik ini ditandai dengan hilangnya tonus otot yang terjadi secara

tiba-tiba Karena hilangnya seluruh tonus otot, para penderita akan jatuh sehingga sering

terjadi cedera.3

2.8 Patogenesis kejang parsial

Pada kejang parsial ini cetusan listrik yang abnormal berasal dari area tertentu pada korteks.4

11

Page 12: Referat Epilepsi

Patogenesis kejang parsial.4

Secara experimental telah dipastikan bahwa timbulnnya fokus epilepsi disebabkan

oleh proses “kindling” yaitu akibat dari stimulus yang subkonvusif pada beberapa struktur

otak dan menyebabkan struktur tersebut menjadi bersifat elektroensefalografi seizure yang

berarti sel neuron yang tadinya normal menjadi bersifat epilepsi dan jika terus menerus

dilakukan perangsangan berulang akan menimbulkan kejang.

Pada bangkitan parsial yang menjadi kejang umum sekunder, kejang fokal

ditimbulkan dari cetusan listrik berasal dari dari satu area dari korteks lalu menyebar ke

seluruh korteks serebri yang menghasilkan kejang tonik klonik.

Fenomena yang terjadi pada kejang parsial kompleks tergantung dari lokasi lesi

epileptogenic, gejala yang sangat jelas terlihat terjadi apabila lesi yang mengalami gangguan

adalah gyrus presentral. Gangguan yang mungkin terjadi jika lesi epileptogenik berada di

daerah gyrus presentral dapat berupa kejang motorik fokal, yang terjadi pada wajah dan

tungkai kontralateral dari lesi serta kejang sensori fokal berupa perasaan tidak

menyenangkan, nyeri ringan samapai rasa panas pada wajah dan extremitas kontralateral dari

lesi. Pada lesi epileptogenik yang terjadi pada lobus frontal dapat menimbulkan kejang pada

mata, kepala dan leher kontralateral serta gerakan fleksi dan ekstensi pada bahu. Lesi

12

Page 13: Referat Epilepsi

epiletogenik yang terjadi di daerah temporal dapat menimbulkan gangguan pada fungsi lobus

temporal seperti memori, daya pembau dan mengecap.4

Lokasi epileptogenik dan jenis bangkitan parsial yang terjadi4

2.9 Diagnosis

Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinik dalam bentuk

bangkitan epilepsi berulang (minimum 2 kali) yang ditunjang oleh gambaran epileptiform

pada EEG. Secara lengkap urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis adalah sebagai

berikut: 2

1. Anamnesis (auto dan alo-anamnesis)

a. Pola/bentuk bangkitan

b. Lama bangkitan

c. Gejala sebelum, selama, dan pasca bangkitan

d. Frekuensi bangkitan

e. Faktor pencetus

f. Ada/tidak adanya penyakit lain yang diderita sekarang

g. Usia pada saat terjadinya bangkitan pertama

13

Page 14: Referat Epilepsi

h. Riwayat pada saat dalam kandungan, persalinan/kelahiran dan perkembangan

bayi/anak

i. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya

j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologik

Hal-hal yang perlu diperiksa antara lain adanya tanda-tanda dari gangguan yang

berhubungan dengan epilepsi, misalnya trauma kepala, infeksi telinga atau sinus,

gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, kecanduan alcohol atau

obat terlarang, dan kanker.

3. Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan bukti-bukti klinik dan/atau indikasi,

serta bila keadaan memungkinkan untuk pemeriksaan penunjang.

a. Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG)

Rekaman EEG sebaiknya dilakukan pada saat bangun, tidur, dengan stimulasi

fotik, hiperventilasi, stimulasi tertentu sesuai pencetus bangkitan (pada epilepsi

reflex). Bila EEG pertama menunjukkan hasil normal sedangkan persangkaan

epilepsi sangat tinggi, maka dapat dilakukan EEG ulangan dalam 24-48 jam

setelah bangkitan atau dilakukan dengan persyaratan khusus.

Indikasi pemeriksaan EEG:

- Membantu menegakkan diagnosis epilepsi

- Menentukan prognosis pada kasus tertentu

- Pertimbangan dalam penghentian obat anti epilepsi

- Membantu dalam menentukan letak fokus

- Bila ada perubahan bentuk bangkitan (berbeda dengan bangkitan sebelumnya)

b. Pemeriksaan pencitraan otak

Indikasi:

- Semua kasus bangkitan pertama yang diduga ada kelainan struktural

- Adanya perubahan bentuk bangkitan

- Terdapat defisit neurologik fokal

- Epilepsi dengan bangkitan parsial

14

Page 15: Referat Epilepsi

- Bangkitan pertama di atas usia 25 tahun

- Untuk persiapan tindakan pembedahan

Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan prosedur pencitraan pilihan

untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan

Computed Tomography Scan (CT-scan). MRI dapat mendeteksi sklerosis

hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa. Pemeriksaan

MRI diindikasikan untuk epilepsi yang sangat mungkin memerlukan terapi

pembedahan.

c. Pemeriksaan laboratorium

- Pemeriksaan darah, meliputi hemoglobin, leukosit, hematokrit, trombosit, apus

darah tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium), kadar gula,

fungsi hati (SGOT, SGPT, gamma GT, alkali fosfatase), ureum, kreatinin, dan

lain-lain atas indikasi.

- Pemeriksaan cairan serebrospinal, bila dicurigai adanya infeksi SSP.

- Pemeriksaan lain dilakukan atas indikasi misalnya ada kelainan metabolik

bawaan.

2.10 Diagnosis Banding

Diagnosis banding pada kasus epilepsi ini dibedakan berdasarkan umur penderita.

1. Pada neonatus dan bayi

a. Jittering

b. Apneic spell

2. Pada anak

a. breth holding spells

b. sinkope

c. Migren

d. Bangkitan psikogenik/konversi

e. Prolonged QT syndrome

f. Night terror

g. Tic

h. Hypersianotic attack

15

Page 16: Referat Epilepsi

3. Pada dewasa

a. Sinkope

b. Serangan iskemik sepintas

c. Vertigo

d. Transient global amnesia

e. Narkolepsi

f. Bangkitan panic, psikogenik

g. Sindrom Menier

h. Tics

2.11 Tatalaksana

Tujuan utama terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien, sesuai

dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya.

Prinsip terapi farmakologi: 2

1. OAE mulai diberikan bila:

a. Diagnosis epilepsi telah ditentukan

b. Setelah pasien atau keluarganya menerima penjelasan tujuan pengobatan

c. Pasien dan keluarganya telah diberitahu tentang kemungkinan efek

samping yang timbul

1. Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan

jenis bangkitan dan sindrom epilepsi.

2. Pemberian obat dimulai dengan dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis

efektif tercapai atau timbul efek samping, kadar obat plasma ditentukan bila

bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif.

3. Bila dengan penggunaan dosis maksimum obat pertama tidak dapat mengontrol

bangkitan, maka perlu ditambahkan OAE kedua. Bila OAE telah mencapai kadar

terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan

4. Penambahan obat ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat

diatasi dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama.

16

Page 17: Referat Epilepsi

Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, efek samping OAE, interaksi antarobat epilepsi. 2

Pemilihan OAE berdasarkan jenis bangkitan2

Jenis Bangkitan OAE Lini Pertama

OAE Lini Kedua

OAE Lain yang dapat dipertimbangkan

OAE yang sebaiknya dihindari

Bangkitan umum tonik klonik

Sodium Valproate

Lamotrigine

Topiramate

Carbamazepine

Clobazam

Levetiracetam

Oxcarbazepine

Clonazepam

Phenobarbital

Phenytoin

Acetazolamide

Bangkitan lena Sodium Valproate

Lamotrigine

Clobazam

Topiramate

Carbamazepine

Gabapentin

Oxcarbazepine

Bangkitan mioklonik

Sodium Valproate

Topiramate

Clobazam

Topiramate

Levetiracetam

Lamotrigine

Piracetam

Carbamazepine

Gabapentin

Oxcarbazepine

Bangkitan tonik Sodium Valproate

Lamotrigine

Clobazam

Levetiracetam

Topiramate

Phenobarbital

Phenytoin

Carbamazepine

Oxcarbazepine

Bangkitan atonik Sodium Valproate

Lamotrigine

Clobazam

Levetiracetam

Topiramate

Phenobarbital

Acetazolamide

Carbamazepine

Oxcarbazepine

Phenytoin

Bangkitan fokal dengan/tanpa

Carbamazepine Clobazam Clonazepam

17

Page 18: Referat Epilepsi

umum sekunder Oxcarbazepine

Sodium Valproate

Topiramate

Lamotrigine

Gabapentin

Levetiracetam

Phenytoin

Tiagabine

Phenobarbital

Acetazolamide

Dosis obat anti epilepsi untuk orang dewasa2

Obat Dosis Awal (mg/hari)

Dosis Rumatan (mg/hari)

Jumlah Dosis Per Hari

Waktu Paruh Plasma (Jam)

Waktu Tercapainy Steady State (Hari)

Carbamazepine 400-600 400-1600 2-3x 15-35 2-7

Phenytoin 200-300 200-400 1-2x 10-80 3-15

Asam valproat 500-1000 500-2500 2-3x 12-18 2-4

Phenobarbital 50-100 50-200 1 50-170

Clonazepam 1 4 1 atau 2 20-60 2-10

Clobazam 10 10-30 2-3x 10-30 2-6

Oxcarbazepine 600-900 600-3000 2-3x 8-15

Levatiracetam 1000-2000 1000-3000 2x 6-8 2

Topiramate 100 100-400 2x 20-30 2-5

Gabapentin 900-1800 900-3600 2-3x 5-7 2

Lamotrigine 50-100 20-200 1-2x 15-35 2-6

Efek samping obat anti epilepsi klasik: 2

Obat Efek Samping

Terkait Dosis Idiosinkrasi

Carbamazepine Diplopia, dizziness, nyeri kepala, mual, mengantuk, netropenia, hiponatremia

Ruam morbiliform, agranulositosis, anemia aplastik, hepatotoksik, SSJ, teratogenik

18

Page 19: Referat Epilepsi

Phenytoin Nistagmus, ataksia, mual, muntah, hipertropi gusi, depresi, mengantuk, paradoxical increase in seizure, anemia megaloblastik

Jerawat, coarse facies, hirsutism, lupus like syndrome, ruam, SSJ, Dupuytren’s contracture, hepatotoksik, teratogenik

Asam valproat Tremor, berat badan naik, dyspepsia, mual, muntah, kebotakan, teratogenik

Pankreatitis akut, hepatotoksik, trombositopenia, ensefalopati, udem perifer

Phenobarbital Kelelahan, restlegless, depresi, insomnia (anak), distracatibility (anak), hiperkinesia (anak), irritability (anak)

Ruam makulopapular, eksfoliasi, NET, hepatotoksik, arthritic changes, Dupuytren’s contracture, teratogenik

Clonazepam Kelelahan, sedasi, mengantuk, dizziness, agresi (anak), hiperkinesia (anak)

Ruam, trombositopenia

Untuk menghentikan pemberian OAE pada penderita yang sudah lama mengkonsumsi OAE

ada beberapa syarat yang harus dipenuhi.2

1. Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai berikut:

a. Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah

bebas bangkitan selama minimal 2 tahun

b. Gambaran EEG normal

c. Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dosis semula, setiap bulan

dalam jangka waktu 3-6 bulan.

d. Penghentian dimulai dari satu OAE yang bukan utama.

2. Kekambuhan setelah penghentian OAE lebih besar kemungkinannya pada keadaan sebagai

berikut:

a. Semakin tua usia

b. Epilepsi simtomatik

c. Gambaran EEG abnormal

d. Semakin lama adanya bangkitan sebelum dapat dikendalikan

e. Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita

19

Page 20: Referat Epilepsi

f. Penggunaan lebih dari satu OAE

g. Masih mendapatkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi

h. Mendapat terapi 10 tahun atau lebih

3. Kemungkinan untuk kambuh lebih kecil pada pasien yang telah bebas dari bangkitan

selama 3-5 tahun, atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan

dosis efektif terakhir (sebelum pengurangan dosis OAE), kemudian dievaluasi kembali.

20

Page 21: Referat Epilepsi

DAFTAR PUSTAKA

1. Lumbantobing SM. Epilepsi (ayan). Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, 2006; p.1-3.

2. Harsono, Kustiowati E, Gunadharma S, editors. Pedoman tatalaksana epilepsi. Edisi ke-3.

Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2008; p.1-48.

3. Ginsberg L. Lecture notes neurologi. Edisi ke-8. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005; p.79-88.

4. Bazil CW, Morrell MJ, Pedley TA. Epilepsy. In : Rowland LP, editor. Merritt’s neurology.

11th ed. New York : Lippincott Williams&Wilkins, 2005.

5. Misbach J. Patofisiologi epilepsi. Dalam: Simposium updates in epilepsy. 14 Desember

2002. Jakarta.

6. https://tspace.library.utoronto.ca/bitstream/1807/6933/1/jp06020.pdf

21