referat defisiensi vitamin b
DESCRIPTION
referatTRANSCRIPT
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Referat
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
Defisiensi Vitamin B
Disusun oleh
Rahmatul Yasiro 0708015055
Pembimbing
dr. William, Sp.A
Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik pada
Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
Samarinda
2013
2
BAB 1
PENDAHULUAN
Defisiensi vitamin atau kurangnya jumlah vitamin di dalam tubuh untuk
menjalankan fungsinya dengan baik sehingga mempengaruhi sistem tubuh yang
lain. Defisiensi vitamin merupakan kasus yang cukup sering terjadi. Tidak hanya
kasus berat, gejalanya bahkan sering samar, bahkan beberapa defisiensi vitamin
yang ringan dapat menimbulkan efek yang berat. Defisiensi vitamin tersebar di
seluruh usia dan berkaitan dengan defisiensi mineral. Kelompok paling beresiko
ialah ibu hamil dan ibu menyusui, dan anak kecil, karena kebutuhannya yang
cukup banyak untuk pertumbuhan dan perkembangan.1
Vitamin B-kompleks merupakan ko-enzim dalam jalur metabolismee.
Sehingga, sedikitnya vitamin yang tersedia dapat mengganggu rantai proses
kimia, termasuk reaksi kimia yang bergantung pada vitamin jenis lain, hingga
menimbulkan suatu manifestasi klinis.
Referat ini bertujuan untuk menggambarkana beberapa kelainan dan
penatalaksanaan terhadap defisiensi vitamin B kompleks kepada mahasiswa
kedokteran pada khususnya sehingga dapat dijadikan salah satu sumber informasi
defisiensi vitamin B kompleks.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEFISIENSI VITAMIN B
1. DEFISIENSI VITAMIN
Defisiensi vitamin atau kurangnya jumlah vitamin di dalam tubuh untuk
menjalankan fungsinya dengan baik sehingga mempengaruhi sistem tubuh yang
lain. Defisiensi vitamin merupakan kasus yang cukup sering terjadi. Tidak hanya
kasus berat, gejalanya bahkan sering samar, bahkan beberapa defisiensi vitamin
yang ringan dapat menimbulkan efek yang berat. Defisiensi vitamin tersebar di
seluruh usia dan berkaitan dengan defisiensi mineral. Kelompok paling beresiko
ialah ibu hamil dan ibu menyusui, dan anak kecil, karena kebutuhannya yang
cukup banyak untuk pertumbuhan dan perkembangan. 1
Efek dari defisiensi vitamin berkaitan dengan mekanisme biological tubuh.
Bebrapa defisiensi yang sering terjadi ialah, defisiensi vitamin A, vitamin B,
foolat, dan vitamin D. 1
1.1. Fungsi dan Defisiensi Vitamin B
Diet yang kurang pada salah satu faktor vitamin B kompleks seringkali
sumber vitamin B lainnya jelek pula. Manifestasi klinis beberapa defisiensi
vitamin B ditemukan pada pasien yang sama, sehingga pengobatan pun dapat
menggunakan vitamin B kompleks. 2
Vitamin B-kompleks merupakan ko-enzim dalam jalur metabolismee.
Sehingga, sedikitnya vitamin yang tersedia dapat mengganggu rantai proses
kimia, termasuk reaksi kimia yang bergantung pada vitamin jenis lain, hingga
menimbulkan suatu manifestasi klinis. 3
Tiamin (Vitamin B1) – Beri-beri
Etiologi. Vitamin B1 (thiamin) dapat larut dalam air, seperti tahiamin
pirofosfat atau karboksilase, berfungsi sebagai koenzim metabolisme karbohidrat.
Thiamin diperlukan untuk sintesis asetilkolin, dan defisiensi berakibat gangguan
pada konduksi saraf. Transketolase berperan serta dalan shunt heksose monofsfat
yang menghasilkan nikotinamid adenine dinukleotida fosfat dan pentose.
4
ASI atau susu sapi, sayuran, tepung, buah-buahan, dan telur merupakan
sumber thiamin. Bayi yang sumber makanannya ASI dari ibu yang kekurangan
thiamin dapat menderita beri-beri. Thiamin mudah dirusak oleh panas dalam
media netral atau alkali dan dengan mudah diekstrak dari bahan makanan dengan
air masak. Faktor enzim yang bersifat menghancurkan thiamin ada dalam
beberapa ikan. Karena selaput biji gandum berisi paling banyak vitamin,
penggilingan akan mengurangi keberadaannya. Defisiensi thiamin banyak
dilaporkan terjadi di daerah pengungsian. Penyerapan thiamin berkurang pada
penyakit GIT atau hepar. Kebutuhan meningkat saat demam, pembedahan, atau
stress. Berdasarkan data epidemis, defisiensi tiamin pada anak yang dapat
mengancam jiwa didapatkan pada anak yang mengkosnumsi susu kedelai formula,
dimana pada susu tersebut tidak terdeteksi adanya kandungan tiamin. Hal ini
penting dalam untuk melakukan tindakan encegahan terhadap defisiensi thiamin. 2,3
Manifestasi klinis. Manifestasi klinis muncul dalam 2-3 bulan kekurangan
intake tiamin. Gejala awal yang muncul tidak spesifik, seperti fatig, apatis,
iritabilitas, depresi, letargi, gangguan konsentrasi, anoreksia, nausea, dan
abdominal discomfort. Sejalan dengan gejala tersebut, gejala khas beri-beri
seperti neuritis perifer (kesemutan, rasa panas, parastesi jari dan kaki), penurunan
refleks tendon, kehilangan sensasi getar, kelemahan, kram pada otot kaki, gagal
jantung kongestif, dan gangguan fisik lainnya mulai bermunculan. Pasien dapat
pula menjadi ptosis dan atrofi pada nervus optikus. Tanda yang khas dapat berupa
suara serak (hoarseness) atau afoni yang disebabkan oleh paralisis laringeus.
Atrofi muskulus dan kelemahan saraf bermanifestasi sebagai ataksia, gangguan
koordinasi, dan kehilangan sensasi raba dalam.
Gambaran klinis pada defisiensi tiamin terbagi atas tipe dry (neuritik) dan
tipe wet (kardial). Keduanya dibedakan berdasarkan edema, akibat gangguan
jantung atau ginjal, walaupun penyebab edema pada kasus ini belum banyak
diketahui. Banyak kasus defisiensi tiamin merupakan kombinasi dari kedua tipe
yang ada, sehingga disebut Defisiensi Tiamin dengan Kardiopati dan Neuropati
Perifer. Gejala paralisis lebih tampak pada orang dewasa dibandingkan anak-anak.
5
(Vit B def and exc). Pada beri-beri tipe kering, anak dapat tampak gemuk padat
tetapi pucat, lemas, dan dyspnea. Pada beri-beri basah, anak kurang gizi, pucat
dan edem dan dyspnea.
Studi klinis yang dilakukan pada pasien Wernicke Ensephalopathy dengan
anda awal perubahan status mental, gangguan ocular, ataksia, namun jarang
terjadi pada bayi dan anak kekurangan gizi. Keadaan lain yang mentyertai adalah
keganasan, infeksi,gangguan GIT, dan prematuritas. 3
Kematian akibat defisiensi tiamin disebakan oleh gangguan jantung. Tanda
awalnya ialah sianosis ringan dan dispneu, akan tetapitakikardi, pembesaran
hepar, penurunan kesadaran, dan kejang dapat muncul secara cepat. Sering
terjadoi pembesaran jantung kanan. Pada EKG menunjukkan pelebaran interval
Q-T dan T inverted. Kelainan ini, juga termasuk kardiomegali, dapat menjadi
normal kembali dengan terapi yang sesuai, namun jika tidak, akan terjadi gagal
jantung yang menyebabkan kematian. Pada kasus yang lebih berat, lesi beri-beri
dapat muncul di jantung, nervus perifer, jarring subkutaneus, dan kavum serosa.
Jantung membesar, penumpukan lemak pada miokard sering terjadi. Edema
generalisata dan edema pada kaki, efusi, dan kongesti vena mungkin ada. Nervus
perifer akan mengalami degenari myelin, bagian distal akan mengalami
degenerasi wallerian, sehingga ekstremitas bawah akan mengalami gangguan
pertama kali. Lesi pada otak akan menyebabkan dilatasi vascular dan perdarahan. 2,3
Diagnosis. Penegakan diagnosis didasarkan pada manifestasi klinis sejak
pertama kali dicurigai adanya gangguan nutrisi selain thiamin. Penampakan
rendahnya transketolase dalam sel darah merah dan nilai glioksilat darah atau urin
yang tinggi diusulkan sebagai uji diagnostik.
Pengobatan. Jika beri-beri terjadi pada bayi yang minum ASI, baik ibu
ataupun bayi diobati dengan pemberian thiamin tambahan. Dosis harian untuk
orang dewasa 50 mg dan untuk anak 10 mg atau lebih. Pemberian oral efketif
kecuali kalau gangguan GIT menghalangi penyerapan. Pengobatan demikian
disertai dengan perbaikan yang signifikan, walaupun pengobatan memerlukan
waktu beberapa minggu. 3 Anak dengan gagal jantung, kejang atau koma
6
diberikan 10 mg thiamin secara injeksi intramuskular atau untravena, setiap hari
selama 1 minggu, dilanjutkan dengan 3-5 mg thiamin per oral setiap hari minimal
selama 6 minggu. Perbaikan cepat terjadi pada jantung yang mengalami
gangguan, sedangkan gangguan nervus perifer akan berlangsung lebih lama.
Pasien dengan beri-beri biasanya disertai dengan defisiensi vitamin B kompleks
lainnya, sehingga pemberian vitamin B kompleks diperlukan. Gangguan defisensi
yang lebih berat memerlukan dosis yang lebih tinggi hingga 100-200 mg/ hari). 2
Riboflavin (Vitamin B2) - Ariboflavinosis
Defisiensi riboflavin jarang terjadi tanpa defisiensi vitamin B kompleks
yang lain. Riboflavin tahan terhadap panas dan asam namun rusak oleh sinar.
Koenzim mononukleotida dan flavin adenine dinukleotida (FAD) disintesis dari
riboflavin, membentuk kelompok prostetis beberapa enzim penting pada
pengangkutan electron. Riboflavin sangat penting untuk pertumbuhan dan
pernafasan jaringan, dan berperan dalam adapatasi cahaya yang diperlukan untuk
mengubah piridoksin menjadi piridoksin fosfat. Riboflavin banyak terkandung
dalam hati, ginjal, ragi pembuat bir, susu, keju, telur, dan sayuran berdaun; pada
susu sapi mengandung riboflavin lima kali lipat lebih banyak disbanding ASI. 3
Manifestasi klinik. Manifestasi klinis yang timbul ialah cheliosis
(perleche), glositis, keratitis, konjungtivitis, fotofobia, lakrimasi, vaskularisasi
kornea, dan dermatitis seboroik. Kheilois berawal dengan pucat pada sudut bibir,
disertai penipisan dan perlunakan (maserasi) epitelium. Fisura superfisal sering
tertutup dengan kerak kunik terjadi pada sudut mulut dan meluas ke radial ke
dalam kulit sekitar 1-2 cm. pada glositis, lidah menjadi halus, hilangnya struktur
papil lidah, anemia normokrom normositik sering terjadi, akibat gangguan
eritropoiesis. Rendahnya riboflavin dalam diet pada ibu hamil, beresiko
menyebabkan penyakit jantung kongenital, namun bukti dari teori ini masih
lemah. 2
Diagnosis. Kebanyakan diagnosis didasarkan pada manifestasi klinis yang
tampak, seperti munculnya kheilosis pada anak dengan malnutrisi. Keadaan
membaik setelah pemberian riboflavin. Ekskresi riboflavin dalam urin <30 g/24
jam menunjukkan defisiensi. 2
7
Pengobatan. Pengobatan terdiri atas pemberian oral 3-10 mg riboflavin
setiap hari. Jika tidak respon dalam bebrapa hari, pengobatan dilanjutkan dengan
riboflavin injeksi intramuskular 2 mg tiga kali per hari. Diberikan diet yang
mengandung banyak riboflavin dan komponen vitamin B kompleks lainnya.3
Niasin (Vitamin B3) – Pellagra
Etiologi. Niasin membentuk bagian dari 2 kofaktor enzim terpenting yaitu,
nikotinamid adenin dinukleotid (NAD) nikotinamid adenine dinukleotid fosfat
(NADP), yang berperan dalam beberapa reaksi biologi seperti rantai respiratori,
asam lemak, sintesis kortikosteroid, dan proses DNA. Niasin diabsorbsi segera di
lambung dan usus dan dapat disintetis dari triptofan dalam diet. Sumber niasin ada
pada daging, ikan, daging babi tanpa lemak, ungags, dan sayur berwarna hijau.
Pellagra terjadi terutama di negara dimana jagung merupakan sumber makanan
utama. Niasin bersifat stabil sehingga hanya sedikit yang hilang dalam proses
pemasakan.3
Patologi. Secara histologis, terjadi edema dan degenerasi kolagen
superfisial dermis. Pembuluh darah papilare kongestif, da nada ilnfiltrasi limfosit
perivaskuler dalam dermis. Epidermis adalah hiperkeratotik dan kemudian
menjadi atrofi. Perubahan pada kulit juga terjadi pada lidah, membrane mukosa
mulut, dan vagina. Perubahan-perubahan ini dapat disertai dengan infeksi
sekunder dan ulserasi. Dinding kolon menebal dan meradang dengan
pseudomembran; emudian mukosa atrofi. Perubahan dalam sistem saraf terjadi
relatif lambat pada penyakit dan terdiri atas daerah demielinasi tidak sempurna
dan degenerasi sel ganglion; demielinisasi dalam medulla spinalis dapat
melibatkan kolumna vertebralis posterior dan lateral.
Manifestasi klinis. Gejala awal pellagra tidak khas, seperti anorekaia,
kelemahan, rasa seperti terbakar, mati rasa, dan pusing. Setelah terjadi cukup
lama, akan muncul trias gejala klasik yaitu dermatitis, diare, dan demensia.
Dermatitis, merupakan gejala yang paling khas, dapat muncul mendadak dan
diinisisasi oleh bahan iritan seperti paparan cahaya yang kuat. Lesi yang pertama
uncul sebagai eritema simetris pada daerah yang terekspos sinar, tampak seperti
terbakar sinar matahari, namun bisa saja tak terlihat. Lesi berbatas tegas. Lesi
8
kadang berbentuk seperti sarung tangan atau stocking, jika terjadi di leher disebut
Casal necklace. Pada beberapa aksus terbentuk vesikula dan bulla atau dapat
bernanah di bawah epidermis yang bersisik, berkrusta, dan deskuamasi. Bagian
kulit yang sembuh akan tetap berpigmen. Lesi kadang didahului oleh stomatitis,
glositis, mjntah, dan diare. Pembengkakan dan kemerahan pada ujung dan tepi
lateral ludah, disertai kemerahan yang jelas diseluruh lidah dan papilla, bisa
terajdi ulserasi. Bisa disertai rasa nyeri pda bibir atau daerah lesi. Kulit menjadi
kering dan bersisik. 2
Gejala klasik pellagra biasanya tidak berkembang dengan baik di bayi dan
anak. Anoreksia, iritabilitas, kecemasan, dan apati sering ada pada keluarga
pellagara. Anak-anak jyang menderita pellagara sering mempunyai bukti adanya
defisiensi lain.
Diagnosis. Gejala klinis dan tanda fisik sudah dapat mendiagnosis
defsisensi. Respon klinik yang cepat terhadap pemberian niasin merupakan uji
konfirmasi yang tepat. 3
Terapi. Anak berespon dengan cepat pada terapi antipellagra. Diet bebas
dan berimbang harus ditambahkan dengan 50-300 mg/hari niasin; 100 mg dapat
diberikan secara intravena pada kssus berat atau gangguan absorbsi usus. Dosis
besar niasin dapat menyebabkan icterus dan hepatotoksisitas. Paparan sinar
matahari harus dihindari selama fase aktif.
Piridoksin (Vitamin B6)
Vitamin B6 meliputi piridoksal, piridoksm, dan piridoksamin. Bahan-baha
ini diubah menjadi piridoksal 5 fosfat (atau piridoksamin-5-fosfat), yang bekerja
sebagai koenzoim pada dekarboksilasi dan transaminase asam amino, seperti pada
dekarboksilasi-5-hidroksitriptofan dalam pembentukan serotonin dan metabolisme
glikogen dan asam lemak. Vitamin B6 juga penting dalam pemecahan kinurenin.
Bila pemecahan ini tidak terjadi, asam xanthurenat tampak dalam urin. Fungsi
saraf sangat bergantung pada piridoksin, sehingga defisiensi piridoksin dapat
meneyebabkan kejang dan neuropati perifer. Piridoksal fosfat merupakan koenzim
penting untuk dekarboksilase glutamat dan asam -aminobutirat htransaminase;
masing-masing diperlukan untuk metabolisme otak normal. Piridoksin berperan
9
serta dalam transport aktif asam amino melewati membrane sel, cheleates metals,
dan berperan serta dalam sintesis asam arakidonat dari asalam linoleat. Defisensi
vitamin B6, metabolisme glisin dapat menimbulkan oksaluria. Vitamin B6
diekskresikan di ruin dalam bentuk asam piridoksik. 2,3
Etiologi. Piridoksisn tersedia dalam ASI dan susu formula. Makanan yang
mengandung vitamin B6 antara lain sereal instan, daging, ikan, unggas, hati,
pisang, nasi, dan bebrapa sayuran. Proses pemanasan dengan temperature yang
tinggi dapat menghilangkan banyak piridoksin. Penyakit dengan malabsorbsi
seperti sindrom celiac, dapat turut menyebabkan defisiensi vitamin B6.(nelson).
Rasiko defisiensi meningkat pada seseorang yang menkonsumsi obat yang
menghambat aktivitas vitamin B6 (isoniazid, penisilamin, kortikosteroid,
antikonvulsan), pengguna kontrasepsi oral progesterone-estrogen, dan pasien
dialisis rutin. 2
Manifestasi Klinis. Gejala defisiensi piridoksin pada dewasa tidak
sesering pada anak. Empat gangguan klinik yang tampak berupa konvulsi pada
bayi, neuritis perifer, dermatitis, dan anemia.
Bayi yang minum susu formula yang kurang vitamin B6 selama 1-6 bulan
menunjukkan iritabilitas dan kejang menyeluruh. Dapat disertai gangguan
gastrointestinal. Lesi kluit berupa kheilosis, glositis, dan dermatitis seboroik
disekitar mata, hidung, dan mulut. Anemia mikrositik, okaluria, batu asam oksalat
dalam kandung kencing, hiperglisinemia, limfopenia, pembentukan antibody
menurun, dan infeksi juga terjadi. Pada anemia defisiensi B6, sel darah tampak
mikrositik dengan peningkatan kadar besi serum, saturasi protein pengikat besi,
dan kegagalan pengguanaan besi untuk mensitesis hemoglobin. Namun, anemia
ini jarang terjadi pada bayi.
Diagnosis. Bayi dengan kejang harus dicurigai kekurangan vitamin B6
atau ketergantungan vitamin B6. Setelah menyingkirkan penyebab kejang lain
yang lebih sering seperti hipokalsemia, hipoglikemi, dan infeksi, bayi ahrus
diinjeksi 100 mg piridoksin. Jika kejang berhenti, bayi harus dicurigai defisiensi
vitamin B6. Serupa halnya dengan anak yang lebih tua dengan gangguan kejang,
100 mg piridoksin dapat diinjeksikan secara intramuskular sementara EEG
10
direkam, jika didapatkan respon yang baik pada EEG, maka kesan defisiensi
piridoksin dapat ditegakkan. Glutamate piridoksin turun pada defisiensi
piridoksin, dimana penurunan ini dapat menjadi indicator status vitamin B6.
Pencegahan. Diet imbang biasanya berisis piridoksin cukup sehingga
jarang terjadi defisiensi. Anak yang sedang mendapat diet protein tinggi harus
disertai penambahan vitamin B6. Bayi yang ibunya telah mendapat dosis besar
piridoksin selama kehamilan, beresiko kejang akrena ketergantungan piridoksin.
Setiap anak yang mendapat antagonis piridoksin seperti isoniazid harus diamati
dengan baik manifestasi neurologis yang terjadi. Piridoksin 0.3-0.5 mg pada bayi,
o.5-0.15 mg pada anak, atau 1.5-2.0 mg pada orang dewasa dapat mencegah status
defisensi.
Pengobatan. Kejang karena defisiensi piridoksin diberikan 100 mg
piridoksin secara intramuskular. Untuk anak “tergantung pirdoksin”, diberikan 2-
10 mg intramuskular atau 10-100 mg oral per hari.
Biotin
Fungsi biotin ialah sebagai kofaktor enzim untuk reaksi karboksilase di
dalam dan di luar mitokondria, selanjutnya dalam proses katalisasi
gluconeogenesis, metabolism asam lemak, dan katabolisme asam amino. Avidin,
anatogis biotin, banyak ditemukan di putih telur telur mentah. Defisiensi biotin
jarang terjadi, tanda dan gejala defisiensi ditemukan pada seseorang yang sering
mengkonsumsi telur mentah dalam waktu yang lama. 2
Manifestasi Klinis. Dermatitis pada periorifisial, konjungtivitis, penipisan
rambut, dan alopesia. Kelainan sistem saraf pusat yang mungkin terjadi berupa
letargi, hipotonus, dan gangguan perilaku.2
Diagnosis dan Pengobatan. Manifestasi klinis yang berespon terhadap
pengobatan, menunjukan kesan defisiensi biotin. 3 Pasien defisisensi biotin
responsif dengan pemberian 1-10 mg biotin per oral setiap hari.intake yang
adekuat juga dapat membantu memperbaiki keadaan defisiensi biotin.
Folat
46.6 FolateH.P.S. Sachdev and Dheeraj Shah
11
Folate exists in a number of different chemical forms. Folic acid (pteroylglutamic acid) is the synthetic form used in fortified foods and supplements. Naturally occurring folates in foods retain the core chemical structure of pteroylglutamic acid but vary in their state of reduction, the single carbon moiety they bear, or the length of the glutamate chain. These polyglutamates are broken down and reduced in the small intestine to dihydro- and tetrahy- drofolates, which are involved as coenzymes in amino acid and nucleotide metabolisme as acceptors and donors of 1-carbon units.
Rice and cereals are rich dietary sources of folate, especially if enriched. Beans, leafy vegetables, and fruits such as oranges and papaya are good sources, too. The vitamin is readily absorbed from the small intestine and is broken down to monoglutamate derivatives by mucosal polyglutamate hydrolases. A high-affinity proton-coupled folate transporter (PCFT) seems to be essential for absorption of folate in intestine and in various cell types at low pH. The vitamin is also synthesized by the colonic bacteria, and the half-life of the vitamin is prolonged by enterohepatic recirculation.
DEFICIENCY
Because of its role in protein, DNA, and RNA synthesis, the risk of deficiency is increased during periods of rapid growth or increased cellular metabolisme. Folate deficiency can result from poor nutri- ent content in diet, inadequate absorption (celiac disease, inflam- matory bowel disease), increased requirement (sickle cell anemia, psoriasis, malignancies, periods of rapid growth as in infancy and adolescence), or inadequate utilization (long-term treatment with high-dose nonsteroidal anti-inflammatory drugs, anticonvul- sants such as phenytoin and phenobarbital, and methotrexate). Rare causes of deficiency are hereditary folate malabsorption, inborn errors of folate metabolisme (methylene tetrahydrofolate reductase, methionine synthase reductase, and glutamate formi- minotransferase deficiencies), and cerebral folate deficiency. A loss-of-function mutation in the gene coding for proton-coupled folate transporter (PCFT) is the molecular basis for hereditary folate malabsorption. A high-affinity blocking autoantibody against the membrane-bound folate receptor in the choroid plexus preventing its transport across the blood-brain barrier is the likely cause of the infantile cerebral folate deficiency.
Clinical Manifestations
Folic acid deficiency results in megaloblastic anemia and hyper- segmentation of neutrophils. Nonhematologic manifestations include glossitis, listlessness, and growth retardation not related to anemia. There is an association between low maternal folic acid status and neural tube defects, primarily spina bifida and anencephaly, and the role of periconceptional folic acid in their prevention is well established.
Hereditary folate malabsorption manifests at 1-3 mo of age with recurrent or
12
chronic diarrhea, failure to thrive, oral ulcer- ations, neurologic deterioration, megaloblastic anemia, and opportunistic infections. Cerebral folate deficiency manifests at 4-6 mo of age with irritability, microcephaly, developmental delay, cerebellar ataxia, pyramidal tract signs, choreoathetosis, ballis- mus, seizures, and blindness due to optic atrophy. 5-Methyltetra- hydrofolate levels are normal in serum and red blood cells (RBCs) but are markedly depressed in the cerebrospinal fluid (CSF).
Diagnosis
The diagnosis of folic acid deficiency anemia is made in the pres- ence of macrocytosis along with low folate levels in serum and/ or RBCs. Normal serum folic acid levels are 5-20 ng/mL; with deficiency, serum folic acid levels are <3 ng/mL. Levels of RBC folate are a better indicator of chronic deficiency. The normal RBC folate level is 150-600 ng/mL of packed cells. The bone marrow is hypercellular because of erythroid hyperplasia, and megaloblastic changes are prominent. Large, abnormal neutro- philic forms (giant metamyelocytes) with cytoplasmic vacuolation also are seen.
Cerebral folate deficiency is associated with low levels of 5-methyltetrahydrofolate in the CSF and normal folate levels in the plasma and red blood cells. Mutations in the PCFT gene are demonstrated in the hereditary folate malabsorption.
Chapter 46 Vitamin B Complex Deficiency and Excess n 197 Prevention
Breast-fed infants have better folate nutriture than non–breast- fed infants throughout infancy. Consumption of folate-rich foods and food-fortification programs are important to ensure adequate intake in children and in women of childbearing age. The DRIs for folate are 65 μg of dietary folate equivalent (DFE) for infants 0-6 mo and 80 μg of DFE for infants aged between 6 and 12 mo. (1 DFE = 1 μg food folate = 0.6 μg of folate from fortified food or as a supplement consumed with food = 0.5 μg of a supplement taken on an empty stomach.) For older children, the DRIs are 150 μg of DFE for ages 1-3 yr; 200 μg of DFE for ages 4-8 yr; 300 μg of DFE for ages 9-13 yr; and 400 μg of DFE for ages 14-18 yr. Providing iron and folic acid tablets for prevention of anemia in children and pregnant women is a routine strategy in at-risk populations. Health-education programs increase women’s knowledge and use of folate supplements to prevent birth defects.
Treatment
When the diagnosis of folate deficiency is established, folic acid may be administered orally or parenterally at 0.5-1.0 mg/day. Folic acid therapy should be continued for 3-4 wk or until a defi- nite hematologic response has occurred. Maintenance therapy with 0.2 mg of folate is adequate. Prolonged treatment with oral folinic acid is required in cerebral folate deficiency, and the response may be
13
incomplete. Treatment of hereditary folate mal- absorption may be possible with intramuscular folinic acid; some patients may respond to high-dose oral folinic acid therapy.
TOXICITY
No adverse effects have been associated with consumption of the amounts of folate normally found in fortified foods. Excessive intake of folate supplements might obscure and potentially delay the diagnosis of vitamin B12 deficiency. Massive doses given by injection have the potential to cause neurotoxicity.
46.7 Vitamin B12 (Cobalamin) H.P.S. Sachdev and Dheeraj Shah
Vitamin B12 in the form of deoxyadenosylcobalamin functions as a cofactor for isomerization of methylmalonyl-CoA to succinyl- CoA, an essential reaction in lipid and carbohydrate metabolisme. Methylcobalamin is another circulating form of vitamin B12 and is essential for methyl group transfer during the conversion of homocysteine to methionine. This reaction also requires a folic acid cofactor and is important for protein and nucleic acid biosynthesis.
Dietary sources of vitamin B12 are almost exclusively from animal foods. Organ meats, muscle meats, sea foods (mollusks, oysters, fish), poultry, and egg yolk are rich sources. Fortified ready-to-eat cereals and milk and their products are the important sources of the vitamin for vegetarians. Human milk is an adequate source for breast-feeding infants if the maternal serum B12 levels are adequate. The vitamin is absorbed from ileum at alkaline pH after binding with intrinsic factor. Enterohepatic circulation, direct absorption, and synthesis by intestinal bacteria are additional mechanisms helping to maintain the vitamin B12 nutriture.
DEFICIENCY
Defisiensi vitamin B12 terjadi pada seseorang yang melakukan diet vegetarian ketat, dimana kurangnya intake vitamin B12. Malabsorbsi vitamin B12 terjadi pada pasien anemia pernisiosa karena defisiensi faktor intrinsik, dan reseksi ileum, serta Crohn disease. Faktor resiko lain ialah bayi yang mendapatkan ASI dari ibu defisiensi vitamin B12. Dengan memeriksa asam methylmalonic pada darah bayi baru lahir dapat mengetahui defisiensi vitamin B12 maternal atau neonatal
Manifestasi Klinis
Manifestasi hematologi pada defisiensi vitamin B12 mirip dengan defisiensi folat. Iritabilitas, hipotoni, gangguan perkembangan, dan gerakan involunter merupakan gejala yang didapatkan pada bayi dan anak. Pada dewasa lebih sering ditemukan gejala gangguan sensoris, parestesi, dan neuritis perifer. Hiperpigmentasi pda jarin dan telapang tangan juga sering ditemukan pada anak defiiensi vitamin B12.
14
Clinical Manifestations
The hematologic manifestations of vitamin B12 deficiency are similar to manifestations of folate deficiency and are discussed in Chapter 448.2. Irritability, hypotonia, developmental delay, developmental regression, and involuntary movements are the common neurologic symptoms in infants and children, whereas sensory deficits, paresthesias, and peripheral neuritis are seen in adults. Hyperpigmentation of the knuckles and palms is another common observation with B12 deficiency in children.
Diagnosis
See Chapter 448.2.
Treatment
The hematologic symptoms respond promptly to parenteral administration of 1,000 μg vitamin B12. Oral administration has also been found to be equally effective in achieving hematologic and neurologic responses in adults, but the data are inadequate in children.
Prevention
The DRIs are 0.4 μg/day at age 0-6 mo, 0.5 μg/day at age 6-12 mo, 0.9 μg/day at age 1-3 yr, 1.2 μg/day at age 4-8 yr, 1.8 μg/day at age 9-13 yr, 2.4 μg/day at age 14-18 yr and in adults, 2.6 μg/day in pregnancy, and 2.8 μg/day in lactation. Pregnant and breastfeeding women should ensure an adequate consumption of animal products to prevent the deficiency in infants. Food fortification with the vitamin helps to prevent deficiency in predominantly vegetarian populations.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Griffiths J.K. Vitamin Deficiencies. Dalam: Hunter’s Tropical Medicine
and Emerging Infectious Disease. 2010
2. Behrman, dkk. Gangguan Nutrisi. Dalam: Ilmu Kesehatan Anak Nelson.
Jakarta: 2000. EGC
3. Shah , achdev H.P.S. Vitamin B Complex Defficiency and Excess. Dalam:
Nelson Textbook of Pediatric. 2010
16