tr defisiensi vitamin a
DESCRIPTION
kjTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Defisiensi vitamin A merupakan masalah kesehatan masyarakat utama yang terdapat
di 60-78 negara berkembang, dan diperkirakan 78-253 juta anak usia presekolah
dipengaruhi oleh defisiensi vitamin A.
Setelah malnutrisi protein dan energi serta anemia karena defisiensi zat besi,
defisiensi vitamin A merupakan persoalan gizi yang paling serius dan paling sering
ditemukan diantara anak-anak kecil di awal tahun 1990-an. World Health Organization
(WHO) memperkirakan bahwa secara global terdapat hampir 14 juta anak yang setiap
tahunnya terkena xeroftalmia dan 190 juta anak yang mendapat resiko mengalami
defisiensi vitamin A subklinis.
Defisiensi vitamin A merupakan penyebab kebutaan yang paling sering ditemukan
pada anak-anak. Lebih kurang 150 juta anak lainnya menghadapi resiko yang meningkat
untuk meninggal dalam usia anak-anak karena penyakit infeksi yang disebabkan oleh
defisiensi vitamin A.
Di negara industri lebih dua per tiga asupan vitamin A di dapat dari sumber makanan
hewani, sementara di negara berkembang masyarakatnya bergantung terutama pada
senyawa karotenoid provitamin A yang berasal dari sumber nabati.
Vitamin A adalah nutrisi esensial yang diperlukan untuk memelihara fungsi imun,
berperan penting dalam pengaturan imunitas yang cell-mediated dan dalam respon
antibodi humoral. Kekurangan vitamin A adalah masalah kesehatan umum yang luas.
Anak usia prasekolah dan wanita di usia reproduktif merupakan dua kelompok populasi
yang paling berisiko. Suplementasi vitamin A menunjukkan adanya pengurangan insiden
campak, diare, dan kematian, serta meningkatkan beberapa aspek kesehatan mata.
1.2 Tujuan
Untuk mengetahui dan memahami etiologi patofisiologi, gejala dan penanganan
penderita kasus defisiensi vitamin A.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Metabolisme Vitamin A
Saat dikonsumsi, provitamin A (betakaroten) akan dilepaskan dari protein di lambung.
Retinil ester akan di hidrolase menjadi retinol di usus halus, karena bentuk ini akan
mudah diserap.
Kira-kira 50-90 % retinol yang telah dicerna akan diserap melalui usus halus dan
diangkut, bersama dengan kilomikron, ke hati, tempat retinol mulai disimpan sebagai
retinil palmitat. Ketika diperlukan retinol akan dilepaskan ke dalam darh sebagai retinol
dalam gabungan dengan retinol binding protein (RBP), suatu protein pengangkut spesifik
yang diurai oleh hati. Dalam serum, kompleks RBP- retinol bergabung dengan transiterin,
suatu protein besar yang juga disintesis di hati. Retinol kemudian dipindahkan dari serum
dan digunakan oleh sel sasaran, seperti fotoreseptor retina dan sel epitel.
Di dalam jaringan, retinol diikat oleh protein -protein sel pengikat retinoid, yaitu
cellular retinoid-binding protein I (CRBPI) dan cellular retinoid-binding protein II
(CRBPII). Pada kompleks ini, retinol bisa saja diesterifikasi atau dioksidasi lebih lanjut
dengan retinol menjadi asam retinoik. dimana akhirnya terikat pada satu set faktor
transkripsi di dalam nukleus. Retinol intraseluler di jaringan perifer juga bisa
berkombinasi dengan protein plasma pengikat retinol di dalam jaringan atau tergabung
menjadi ester retinyl di lipoprotein. Siklus antara organ penyimpanan utama seperti hepar
dan jaringan epitel yang membutuhkan vitamin A untuk diferensiasi seluler merupakan
siklus yang luas dan efisien.
Vitamin A yang tidak diabsorpsi di saluran cerna, diekskresikan di feses, dan derivat
metabolisme yang inaktif diekskresikan di urin. Ketika asupan vitamin A rendah,
efisiensi absorpsi tetap tinggi, pemecahan karotenoid dipertinggi, plasma transport tetap
ada di level normal, mekanisme penggunaan dan recycling menjadi lebih efisien, dan
ekskresi menurun dengan nyata. Ketika asupan vitamin A tinggi, efisiensi absorpsi
dikurangi, transportasi vitamin A dalam plasma tetap sama, recycling menjadi kurang
efisien, oksidasi vitamin A meningkat, ekskresi bilier meningkat dengan jelas, ekskresi
urin dan fekal diaugmentasi.
2
Seorang anak dengan gizi dan asupan vitamin A yang minimal mempunyai simpanan
vitamin A yang sangat terbatas. Penurunan yang tiba-tiba baik yang disebabkan akibat
perubahan pola makan atau gangguan absorbsi (seperti pada gastroenteritis), atau
peningkatan tiba-tiba dari kebutuhan metabolik (demam, khususnya campak, atau
lonjakan pertumbuhan) akan menyebabkan penurunan yang cepat dari cadaangan yang
terbatas itu. Jika simpanan retinol hati sangat tingg, manusia dapat bertahan selama
berbulan- bulan tanpa vitamin A dan tidak menderita penyakit yang serius.
Adanya vitamin A yang tersimpan tergantung juga pada status gizi anak secara
umum. Anak dengan defisiensi protein dan malnutrisi berat mengikat protein pengikat
retinol dengan kecepatan yang sangat rendah. Oleh karena itu kadar retinol serum dapat
subnormal, walaupun simpanan di hati tinggi. Selain itu, bila hati dalam keadaan sakit,
tidak dapat menyimpan retinol, atau membuat protein pengikat retinol sebanyak hati
normal.
Gambar 1. Skema metabolisme
vitamin A
2.2 Definisi Defisiensi Vitamin A
3
Defisiensi vitamin A adalah suatu keadaan, ditandai rendahnya kadar Vitamin
A dalam jaringan penyimpanan (hati) dan melemahnya kemampuan adaptasi terhadap
gelap dan sangat rendahnya konsumsi atau masukan karotin dari Vitamin A. Keadaan ini
ditunjukan dengan kadar serum retinol dalam darah kurang dari 20μg/dl.
Peranan nyata vitamin A adalah pada fungsi penglihatan mata, yaitu ketika jaringan
retinol kehilangan vitamin A, fungsi sel rod (batang) dan sel cone (kerucut) pada mata
mengalami kegagalan. Hal inilah yang menyebabkan gangguan kemampuan adaptasi
gelap mata. VitaminA juga berperan dalam pertumbuhan, reproduksi, sintesa
glycoprotein, stabilisasi membrandan kekebalan tubuh. Defisiensi Vitamin A terjadi jika
kebutuhan vitamin A tidak tercukupi. Kebutuhan vitamin A tergantung golongan umur,
jenis kelamin dan kondisi tertentu. Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan adalah seperti
pada tabel berikut:
Tabel 1. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan untuk Vitamin A
Pada anak-anak, kekurangan vitamin A berakibat lebih parah dibandingkan dewasa. Pertumbuhan
badan terganggu dan kekebalan terhadap penyakit infeksi berkurang. Sering ditemukan hubungan
peningkatan defisiensi vitamin A terjadi seiring peningkatan angka kesakitan khususnya pada penyakit
infeksi. Konsumsi vitamin A dan provitamin A yang rendah (di bawah kecukupan konsumsi vitamin A
yang dianjurkan), berlangsung dalam waktu lama, akan mengakibatkan suatu keadaan yang dikenal
dengan defisiensi vitamin A.
4
2.3 Epidemiologi
Estimasi yang dibuat oleh WHO adalah lebih dari 250 juta anak mengalami
kekurangan penyimpanan vitamin A. Prevalensi defisiensi yang tertinggi ditemukan pada
anak pra sekolah, ibu hamil dan menyusui. Namun tingkat defisiensi vitamin A subklinik
juga terlihat banyak pada anak sekolah dan dewasa di beberapa lokasi.
Kekurangan vitamin A dalam makanan sehari-hari menyebabkan setiap tahunnya sekitar
1 juta anak balita di seluruh dunia menderita penyakit mata tingkat berat (xeropthalmia)
¼ diantaranya menjadi buta dan 60 % dari yang buta ini akan meninggal dalam beberapa bulan.
Kekurangan vitamin A menyebabkan anak berada dalam resiko besar mengalami kesakitan, tumbuh
kembang yang buruk dan kematian dini. Terdapat perbedaan angka kematian sebesar 30 % antara anak-
anak yang mengalami kekurangan vitamin A dengan rekan-rekannya yang tidak kekurangan vitamin A.
Angka kebutaan di Indonesia tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Berdasarkan survai kesehatan
indera penglihatan dan pendengaran tahun 1993-1996 menunjukkan angka kebutaan di Indonesia 1,5 %
dari jumlah penduduk atau setara dengan 3 juta orang. Berdasarkan riset kesehatan dasar tahun 2010
pada pasca persalinan, atau masa nifas, ibu yang mendapat kapsul vitamin A hanya 52,2 persen (rentang:
33,2% di Sumatera Utara dan 65,8% di Jawa Tengah). Berdasarkan tingkat pendidikan, cakupan Ibu
nifas yang tidak sekolah mendapat kapsul vitamin A hanya 31 persen dibanding yang tamat PT (62,5%).
Persentase distribusi kapsul vitamin A untuk anak umur 6-59 bulan sebesar 69,8%. Persentase
tersebut bervariasi antar provinsi dengan persentase terendah di Papua Barat (49,3%) dan tertinggi di
DiYogyakarta (91,1%).
2.4 Etiologi
Ada banyak faktor yang berkontribusi terhadap defiiensi vitamin A. Penyebab paling
penting dari defisiensi vitamin A pada anak adalah rendahnya asupan makanan yang
mengandung vitamin A (termasuk pemberian ASI yang tidak memadai) dan infeksi yang
berulang, khususnya campak, diare, dan infeksi pernafasan.
Asupan makanan kaya vitamin A yang kurang memadai,
Infeksi berulang, khususnya campak, diare, dan infeksi pernapasan akut
Pemberian ASI yang tidak memadai dalam jangka lama
5
Pemberian makanan pelengkap yang tidak sesuai waktunya (seperti
pengenalan makanan padat yang rendah nilai gizinya)
Tingkat pendidikan keluarga yang rendah
Kurangnya kewaspadaan dan pengetahuan tentang peran penting vitamin A
terhadap kesehatan anak
2.5 Faktor Resiko
Semua orang yang memiliki akses terbatas terhadap makanan kaya vitamin A,
berisiko untuk menderita defisiensi vitamin A. Beberapa kelompok lebih rentan untuk
menderita defisiensi vitamin A dibanding yang lainnya. Kelompok ini terdiri dari:
A. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan bayi prematur
Bayi BBLR adalah bayi dengan berat badan ketika lahir kurang dari 2500
gram. Bayi prematur adalah bayi yang lahir sebelum usia kehamilan 38 minggu.
Karena bayi ini lahir sebelum waktunya, berat badannya ketika lahir seringkali
sangat rendah. Bayi-bayi ini lahir dengan cadangan vitamin A tubuh yang rendah
sehingga berisiko untuk menderita defisiensi vitamin A.
B. Bayi dan anak dengan infeksi berulang
Bayi dan anak dengan infeksi berisiko untuk menderita defisiensi vitamin A
karena banyak infeksi, khususnya campak dan diare meningkatkan kebutuhan
tubuh terhadap vitamin A. Tetapi, anak yang sakit sering menolak untuk makan,
sehingga asupan vitamin A anak cenderung lebih rendah dari yang dibutuhkan.
Oleh karena itulah umumnya anak yang sakit cenderung menderita defisiensi
vitamin A, khusunya jika infeksi muncul berulang.
C. Bayi dan anak dengan malnutrisi
Sebagian besar anak yang malnutrisi berisiko dalam menderita defisiensi
vitamin A oleh karena diet makanan yang jelek, dimana asupan energi , protein,
dan berbagai zat gizi yang tidak memadai, termasuk vitamin A
2.6 Patofisiologi
Defisiensi vitamin A adalah suatu penyakit sistemik yang mempengaruhi sel dan
organ seluruh tubuh, hasil perubahan arsitektur epitel tersebut disebut dengan metaplasia
6
keratinisasi. Metaplasia keratinisasi pada saluran napas dan saluran kemih serta
perubahan epitel intestinal yang saling terkait mungkin timbul pada awal penyakit,
bahkan sebelum timbulnya perubahan mata yang dapat dideteksi secara klinis. Walaupun
demikian, karena perubahan nonokular ini sebagian besar tidak terlihat, maka perubahan
ini tidak memberikan suatu dasar yang kuat untuk diagnosis klinik spesifik. Oleh karena
itu, diantara populasi dengan dengan defisiensi vitamin A, maka anak-anak dengan
campak, penyakit saluran napas, diare, atau malnutrisi energi protein yang nyata harus
dicurigai memiliki defisiensi vitamin A dan diberi pengobatan yang sesuai.
Defisiensi vitamin A menekan imunitas humoral dan imunitas cell-mediated. Efek
utama dari inadekuatnya vitamin A pada fungsi imun bisa jadi karena konsekuensi dari
terganggunya pertumbuhan dan diferensiasi jaringan myeloid. Vitamin A secara khusus
sangat penting untuk menjaga integritas epitel dan pemeliharaan sekresi di mukosa, yang
mana, jika terganggu, bisa meningkatkan paparan terhadap mikroorganisme dan risiko
infeksi.
Jaringan epitel di mata, paru-paru, dan usus menjadi rusak pada keadaan defisiensi
vitamin A. Pada jaringan-jaringan tersebut, turnover atau pergantian sel epitel tinggi.
Pada manusia, berbagai penelitian menunjukkan bahwa level vitamin A yang rendah di
sirkulasi berhubungan dengan meningkatnya risiko kerusakan epitel di mata, Rusaknya
integritas epitel dan barier mukosa akan memfasilitasi translokasi mikrooeganisme dan
berkontribusi terhadap meningkatnya derajat infeksi.
Vitamin A memiliki dua peran di metabolisme okuler. Pertama di retina, vitamin A
tersedia sebagai prekursor terhadap pigmen visual fotesensitif yang berpartisipasi dalam
inisiasi impuls saraf dari fotoreseptor. Kedua, vitamin A dibutuhkan untuk sintesis RNA
dan glikoprotein sel epitel konjungtiva, yang membantu memelihara stroma kornea, dan
mukosa konjungtiva.
Pada retina terdapat 2 sistem fotoreseptor yang berbeda, sel kerucut dan sel batang.
Sel batang bertanggung jawab terhadap penglihatan dalam situasi cahaya yang redup atau
rendah, sedangkan sel kerucut bertanggung jawab penglihatan berwarna dan situasi
cahaya yang terang. Vitamin A merupakan kekuatan utama dari pigmen visual kedua
macam sel ini. Perbedaannya terletak pada jenis protein yang terikat pada retinol. Pada sel
batang, bentuk aldehid dari vitamin A (retinol) dan protein opson bergabung membentuk
rhodopsin yang merupakan pigmen fotosensitif.
7
Buta senja merupakan gejala klinis spesifik yang paling awal pada defisiensi vitamin
A dan biasanya menjadi stadium xeroftalmia yang paling prevalen. Kejadian ini
mencerminkan kegagalan sel-sel batang fotoreseptor dalam retina untuk mempertahankan
penglihatan perifer dalam keadaan cahaya yang kurang terang. Opsin yang merupakan
protein akan terikat secara kovalen ddengan senyawa 11-cis-retinal untuk membentuk
rhodopsin (pigmen visual berwarna ungu). Pajanan cahaya, sekalipun dengan intensitas
yang rendah pada bagian posterior mata akan membuat rhodopsin menjadi putih. Reaksi
ini mengawali impuls elektrokimia disepanjang nervus optikus hingga otak menghasilkan
penglihatan. Siklus visual akan selesai ketika vitamin A aldehid tersebut kembali menjadi
sel-sel batang dalam segmen paling luar untuk membentuk rhodopsin. Kekurangan
vitamin A membuat siklus tersebut tidak dapat diselesaikan sehinggga timbul gangguan
penglihatan pada cahaya yang kurang terang dan jika keadaannya cukup berat, gangguan
tersebut menyebabkan buta senja.
2.7 Manifestasi Klinis
Defisiensi vitamin A subklinis biasanya tidak memiliki gejala, namun resiko
terjadinya infeksi saluran pernapasan, diare, dan pertumbuhan terhambat
Defisiensi vitamin A adalah suatu penyakit sistemik yang mempengaruhi sel dan
organ seluruh tubuh, hasil perubahan arsitektur epitel tersebut disebut dengan metaplasia
keratinisasi. Metaplasia keranisasi pada saluran napas dan saluran kemih serta perubahan
epitel intestinal yang saling terkait mungkin timbul pada awal penyakit, bahkan sebelum
timbulnya perubahan mata yang dapat dideteksi secara klinis.
Vitamin A juga berperan dalam menjaga fungsi epitel. Pada saluran cerna dalam
keadaan normal sel epitel mensekresi mukus yang berguna sebagai barrier terhadap
patogen yang dapat menyebabkan diare. Pada saluran pernafasan epitel mensekresi
mukus berguna untuk membuang zat-zat asing dan toksik yang masuk kedalam saluran
pernafasan. Perubahan epitel pada saluran pernafasan dapat menyebabkan obstruksi
bronkial.
Pada keadaan defisiensi vitamin A perubahan-perubahan pada epitel meliputi
proliferasi sel basal, hiperkeratosis dan stratifikasi dari epitel squamous. Metaplasia sel
squamous di renal, ureter, epitel vaginal, pankreas dan saluran saliva dapat meningkatkan
resiko infeksi di lokasi tersebut.
8
Pada kandung kemih gangguan epitel dapat menyebabkan terjadinya pyuria dan
hematuria.
Perubahan epitel pada kulit akibat defisiensi vitamin A menyebabkan kulit menjadi
kering, bersisik, terbentuknya hiperkeratosis yang biasanya ditemukan di lengan, tungkai,
bahu dan bokong.
1. Mata
Xeroftalmia merupakan manifestasi klinis defisiensi vitamin A yang paling spesifik
dan mudah dikenali, dan dipakai secara pasti untuk menilai status vitamin A.
Penurunan penyimpanan vitamin A secara bertahap dan tanpa komplikasi dapat,
mengakibatkan peningkatan kehebatan xeroftalmia, bermanifestasi sebagai rabun
senja, xerosis konjungtiva, dan bercak Bitot, xerosis kornea, dan ulserisasi
kornea/keratomalasia.
Rabun Senja (XN)
Defisiensi vitamin A dapat mengganggu produksi rodopsin sehingga
mengganggu penglihatan saat senja. buta senja umumnya merupakan manifestasi
defisiensi vitamin A yang paling awal. Buta senja terjadi akibat gangguan pada sel
batang retina.
Pada keadaan ringan, sel batang retina sulit beradaptasi di ruang yang remang-
remang setelah lama berada di cahaya terang. Penglihatan menurun pada senja hari,
dimana penderita tak dapat melihat di lingkungan yang kurang cahaya, sehingga
disebut buta senja.
Xerosis konjungtiva (X1A)
Tanda-tanda :
- Selaput lendir bola mata tampak kurang mengkilat atau
terlihat sedikit kering, berkeriput, dan berpigmentasi
dengan permukaan kasar dan kusam.
- Orang tua sering mengeluh mata anak tampak kering
atau berubah warna kecoklatan.
Xerosis konjungtiva dengan bercak bitot (X1B)
Tanda-tanda :
9
- Tanda-tanda xerosis kojungtiva (X1A) ditambah bercak bitot yaitu bercak putih
seperti busa sabun atau keju terutama di daerah celah mata sisi luar.
- Bercak ini merupakan penumpukan keratin dan sel epitel yang merupakan tanda
khas pada penderita xeroftalmia, sehingga dipakai sebagai kriteria penentuan
prevalensi kurang vitamin A dalam masyarakat
Xerosis Kornea (X2)
- Kekeringan pada konjungtiva berlanjut sampai kornea.
- Kornea tampak suram dan kering dengan permukaan
tampak kasar.
- Keadaan umum anak biasanya buruk (gizi buruk dan
menderita, penyakit infeksi dan sistemik lain)
Ulkus Kornea/Keratomalasia (X3A, X3B)
- Kornea melunak seperti bubur dan dapat terjadi ulkus.
- Tahap X3A : bila kelainan mengenai kurang dari 1/3
permukaan kornea.
- Tahap X3B : Bila kelainan mengenai semua atau lebih
dari 1/3 permukaan kornea.
- Keadaan umum penderita sangat buruk.
- Pada tahap ini dapat terjadi perforasi kornea (kornea
pecah)
Jaringan Parut Kornea (XS)
Gejala sisa yang terjadi setelah sembuh dari penyakit
kornea terdahulu yang berkaitan dengan defisiensi vitamin A
termasuk opasitas atau jaringan parut dengan bermacam-
macam identitas/kepadatan (nebula, makula, leukoma),
kelemahan dan outpouching (penonjolan) lapisan kornea
yang tersisa.
Fundus Xerophtalmik (XF)
Lesi retinal kecil putih yang muncul pada beberapa
kasus defisiensi vitamin A. Lesi tersebut dapat disertai
dengan konstriksi lapangan pandang dan akan menghilang
dalam 2-4 bulan setelah diberikan terapi vitamin A.
10
Anak-anak dengan suspek atau beresiko xerophtalmia harus diperiksa dengan
cahaya luar yang terang pada kedua mata sambil membelakangi matahari atau
dengan bantuan senter dan lup. Namun, karena adanya nyeri dan reflex
blepharospasmik pada keterlibatan kornea, anak biasanya akan menutup matanya.
Bila perlu, kepala anak dapat distabilkan oleh orang tua atau asisten sementara
dokter pemeriksa perlahan-lahan memisahkan kelopak mata dengan speculum
kelopak.
2. Kulit
Hiperkeratosis follikularis pada defisiensi vitamin A
disebut sebagai Phrynoderma merupakan suatu bentuk
manifestasi pada kulit berupa "kulit katak", ditandai dengan
adanya plak keratotik pada folikel rambut yang biasanya
terdapat pada ekstremitas bagian dorsal dan ventral, dapat
berwarna sama dengan kulit atau sedikit hiperpigmentasi
disekitarnya.
2.8 Diagnosa Defisiensi Vitamin A
1. Anamnesis
Ibu mengeluh anaknya tidak bisa melihat pada sore hari (buta senja) atau ada
kelainan pada matanya. Kadang-kadang keluhan utama tidak berhubungan dengan
kelainan pada mata seperti demam. Riwayat penyakit terdahulu juga perlu ditanyakan
seperti pernah menderita Campak, Pneumonia, cacingan, atau Tuberculosis.
Tanyakan apakah anak ditimbang secara teratur mendapatkan imunisasi, mendapat
suplementasi kapsul vitamin A dosis tinggi dan memeriksakan kesehatan baik di
posyandu atau puskesmas (cek dalam buku KIA/KMS anak), serta riwayat pola
pemberian makan dan ASI.
2. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit-penyakit yang terkait langsung
maupun tidak langsung dengan timbulnya xeroftalmia seperti gizi buruk, penyakit
infeksi, dan kelainan fungsi hati. Yang terdiri dari :
Antropometri
- Pengukuran berat badan dan tinggi badan
11
- Penilaian Status gizi
- Apakah anak menderita gizi kurang atau gizi buruk
- Bila BB/TB : > -3 SD - < -2 SD, anak menderita gizi kurang atau kurus
- Bila BB/TB : £ 3, anak menderita gizi buruk atau sangat kurus.
Periksa matanya apakah ada tanda-tanda xeroftalmia.
Kelainan pada kulit : kering, bersisik.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Lab
Defisiensi vitamin A dapat dicurigai dengan karakteristik manifestasi klinis dan
dikonfirmasi dengan pemeriksaan kadar vitamin A serum yang kurang dari
200ug/L dan karotennoid kurang dari 500ug/L. Dark adaptation test dapat berguna
dalam diagnosis. Xerosis konjungtiva dapat dideteksi dengan pemeriksaan
mikroskopik. Pemeriksaan apusan mata direkomendasikan untuk diagnostik.
Vitamin A dan serum retinol diperiksa menggunakan High Performance Liquid
Cromatography (HPLC).
b. Pemeriksaan Radiologi
Pada anak-anak, film radiografi tulang panjang mungkin berguna saat evaluasi
sedang dibuat untuk pertumbuhan tulang dan untuk deposisi berlebihan tulang
periosteal.
2.9 Penatalaksanaan
a. Terapi
Tatalaksana pada tabel dibawah dapat digunakan kepada individu dengan semua
stadium xeroftalmia, seperti rabun senja, dan xerosis konjungtiva dengan bintik bitot.
Xerosis kornea, ulkus kornea, dan keratomalasia. Dosis awal dapat dimulai segera
setelah didiagnosis ditegakkan. Setelah itu individu dengan lesi kornea akut segera
dirujuk ke rumah sakit untuk dilakukan tatalaksana emergensi.
Anak dengan diare dapat mengalami penurunan absorbsi vitamin A, namun masih
dapat menyerap lebih dari cukup untuk mengatasi defisiensi jika dosis rekomendasi
diberikan. Dosis tambahan dapat digunakan terhadap grup yang rentan ini.
12
Antibiotik topikal seperti tetrasiklin atau kloramfenikol dapat diberikan untuk
mengatasi atau mencegah infeksi bakteri sekunder. Salap mata yang mengandung
steroid jangan diberikan dalam keadaan ini.
Tabel 3 : Jadwal Terapi Xeroftalmia
Waktu Pemberian Dosis Vitamin A
Segera setelah diagnosis:
Usia < 6 bulan
Usia 6-12 bulan
Usia > 12 bulan
Hari berikutnya
Minimal 2 minggu berikutnya
50 000 IU
100 000 IU
200 000 IU
Sama sesuai dosis diatas
Sama sesuai dosis diatas
Untuk mengcegah trauma terhadap kornea yang lemah akibat ulkus, mata harus
dilindungi. Pada kasus anak , sebaiknya tangan diikat agar tidak bergerak. Xerosis
kornea berespon terhadap terapi vitamin A dalam waktu 2-5 hari, dengan kornea yang
kembali normal dengan waktu 1-2 minggu.
Anak dengan xeroftalmia, terutama rabun senja, seringkali sakit berat, malnutrisi,
dan dehidrasi. Tatalaksana umum, rehidrasi, dan diet tinggi protein yang mudah
diserap (jika diperlukan via pipa nasogastik) akan membantu memperbaiki
keadaannya. Penyakit penyerta, seperti infeksi respiratori dan gastrointestinal,
tuberkulosis, cacing, dan amobasis dapat ditatalaksana dengan obat yang sesuai
(antibiotik , anticacing, dan lain-lain).
Perawatan mata diberikan salap antiobiotik spektrum luas setiap 8 jam untuk
mengurangi resiko infeksi bakteri. Pada infeksi yang nyata dibutuhkan terapi sistemik
yang adekuat, pemberian antibiotik spektrum luas khususnya terhadap Staphylococcus
dan Pseudomonas dapat diberikan sebelum kuman penyebab infeksi teridentifikasi
(Contoh: Basitrasin dan gentamisin topikal, ditambah gentamisin dan metisilin
subkonjungtiva dan sistemik).
b. Pencegahan Rekurensi
13
Ibu dan care giver diperlukan untuk memastikan anak mendapatkan diet kaya vitamin
A.
Tabel 4.: Makanan Vitamin A
Sumber Makanan
Kelompok
Usia Wortel Ubi jalar Sayuran Hijau Mangga
Usia anak
0-5 bulan
6-11 bulan
1-2 tahun
2-6 tahun
ASI Eksklusif
1 ½ sdm
1 ½ sdm
2 sdm / 25 mg
1 sdm
1 sdm
1 ½ sdm
½ cup
½ cup
½ cup
50 mg
50 mg
70 mg
c. Campak
Anak dengan defisiensi vitamin A bersamaan dengan campak dapat menglami
komplikasi yang serius, dan segera terapi vitamin A dapat secara signifikan
menurunkan resiko fatal.
Terhadap semua anak dengan penyakit campak pada populasi yang diketahui
banyak menderita defisiensi vitamin A, atau case fatality rates campak diatas 1%
harus mendapatkan dosis terapi vitamin A yang sama dengan mereka yang menderita
xeroftalmia ( dosis sesuai usia) selama dua hari berturu-turut. Anak ini diasumsikan
mengalami defisiensi vitamin A, tanpa memperhatikan tampilan anak dengan campak
dalam keadaan berat, komplikasi, ataupun mengancam nyawa.
Anak yang menderita penyakit campak dibawah usia 2 tahun sebaiknya diberi
terapi vitamin A meskipun tidak merupakan kelompok resiko tinggi.
d. Resiko Tinggi Lainnya
Anak yang mengalami malnutrisi energi protein berat atau penyakit seperti diare
kronik, penyakit saluran pernapasan bawah, dan otitis akut, yang berasal dari populasi
yang diketahui tedapat defisiensi vitamin A, juga meningkatkan resiko defisiensi.
14
Anak harus mendapatkan terapi vitamin A yang tepat sesuai kondisi dan usianya. Jika
penyakit yang menderita tersebut menetap, tambahan vitamin A dapat diberikan pada
interval 1-3 bulan.
Tabel 5. Terapi Anak Defisiensi Vitamin A dengan resiko tinggi
Kelompok Dosis
Anak dan dewasa dengan malnutrisi
energi protein berat
Anak dengan campak
Anak dengan diare, penyakit infeki
akut lainnya
Terapi sesuai tabel 3 dilanjutkan
dengan program preventif
Dosis tunggal atau ganda sesuai
jadwal terapi tabel 3
Dosis 200 000 IU per oral satu kali
dilanjutkan dengan program
profilaksis
2.10 Pencegahan
a) Meningkatkan asupan makanan yang mengandung vitamin A
Asupan makanan yang inadekuat terhadap vitamin A dapat dimulai dengan
cepatnya penghentian pemberian ASI, kemudian disusul dengan kurangnya asupan
makanan yang kaya karoten atau Vitamin A. Dengan pemberian ASI kemudian
setelah usia 6 bulan anak diberi makanan kaya provitamin A seperti buah mangga,
pepaya, sayuran berdaun hijau gelap, dan dari sumber hewani seperti kuning telur,
ayam dan hati akan secara signifikan mengurangi terjadinya defisiensi vitamin A.
b) Suplementasi Vitamin A
Suplementasi secara periodik dapat bermanfaat untuk memberikan kuantitas
vitamin A yang besar yang dapat disimpan sebagai cadangan di hepar.Suplementasi
oral retinil palmitat 110 mg atau 66 mg retinil asetat (200.000 IU vitamin A) dan
setengah dosis untuk anak usia 6-11 tahun setiap 4-6 bulan dapat melindungi anak
dari defisiensi vitamin A.
Vitamin A dapat diberikan sebagai kapsul atau cairan. Kecuali pada anak yang
mengalami xerophtalmia, kurang energi protein (kwashiorkor) dan beberapa
penyakit berat, penting untuk dipastikan vitamin A tidak diberikan melebihi batas
15
dosis yang aman. Pada saat ini, interval pemberian vitamin A yang telah ditetapkan
adalah 4-6 bulan, walaupun telah disarankan bahwa jarak pemberian ini bisa
dikurangi jadi 3 bulan.
Tabel 6. Jadwal Vitamin A dosis Profilaksis
Individu Dosis Oral Waktu
Usia 0-6 bulan
Usia 6-11 bulan
Usia > 12 bulan
27,5 mg retinil palmitat
(25 000 IU)
55 mg retinil palmitat
(100 000 IU)
110 mg retinil palmitat
(200 000 IU)
1-3 kali hingga usia 6
bulan
Sekali tiap 4-6 bulan
Sekali tiap 4-6 bulan
Sasaran Dosis Frekuensi
Bayi 6-11 bulan Kapsul Biru (100.000 SI) 1 kali
Anak Balita 12-59 bulan Kapsul Merah (200.000
SI)
2 kali
Ibu Nifas (0-42 hari) Kapsul Merah (200.000
SI)
2 kali
2.11 Prognosis
Prognosis tergantung pada gejala defisiensi vitamin A. Pada pasien dengan buta
senja, xerosis konjungtiva, bitot spot, dan xerosis kornea (XN-X2) dapat sembuh
dengan sempurna dengan terapi pemberian vitamin A. Gejala defisiensi vitamin A yang
sangat berat, seperti keratomalasia dan xeroftalmia scar tidak dapat kembali normal
walaupun telah diterapi dengan pemberian vitamin A. Prognosis dapat bertambah buruk
jika terdapat penyakit lain yang menyertai defesiensi vitamin A, seperti infeksi dan
KEP.
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Defisiensi vitamin A adalah suatu keadaan, ditandai rendahnya kadar Vitamin
A dalam jaringan penyimpanan (hati) dan melemahnya kemampuan adaptasi terhadap
gelap dan sangat rendahnya konsumsi atau masukan karotin dari Vitamin A. Keadaan ini
ditunjukan dengan kadar serum retinol dalam darah kurang dari 20μg/dl. Defisiensi ini
disebabkan oleh berbagai factor. Manifestasi klinis ditunjukkan pada mata (xeroftalmia)
dan kulit (phrynoderma). Defisiensi vitamin A dapat didiagnosis dengan karakteristik
manifestasi klinis dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan kadar vitamin A serum yang
kurang dari 200ug/L dan karotennoid kurang dari 500ug/L. Penatalaksanaan utamanya
yaitu vitamin A dosis tinggi sesuai umur atau terapi lainnya berdasarnya penyakit yang
mendasari atau penyertanya.
17
DAFTAR PUSTAKA
Abdoerrachman M, et al. 1985. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Gibney, J Michael, et al. 2009. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC.
Guyton and Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Ilyas, Sidarta dan Yulianti, Sri Rahayu. 2014. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Kelima. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Mansjoer A, Suprohita, dkk. Kurang Vitamin A. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media
Aesculapitus; 2000.
18