pengaruh kdrt terhadap psikolog anak

Upload: may-syarah

Post on 12-Oct-2015

27 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

credit to the owner

TRANSCRIPT

Pengaruh KDRT terhadap psikologanak

Oleh:1. Suci Agustin2. Marissa Andarini3. Ramadhana Ari Pratama

Madrasah AliyahNegeri 2 Model Pekanbaru2013-2014

Kata PengantarAssalamualaikumwarahmatullahwabarakatuh.Pujisyukur kami haturkankehadirat Allah SWT, karenadengankarunia-Nya kami dapatmenyelesaiakankaryailmiah yang berjudul Pengaruh KDRT TerhadapPsikologAnak.Meskipunbanyakhambatan yang kami alamidalam proses pengerjaannya, tapi kami berhasilmenyelesaikankaryailmiahinitepatpadawaktunya.

Tidaklupa kami sampaikanterimakasihkepada gurupembimbing yang telahmembantudanmembimbing kami dalammengerjakankaryailmiahini.Kami jugamengucapkanterimakasihkepadateman-teman yang jugasudahmemberikontribusibaiklangsungmaupuntidaklangsungdalampembuatankaryailmiahini.

Tentunyaadahal-hal yang ingin kami berikankepadamasyarakatdarihasilkaryailmiahini.Karenaitu kami berharapsemogakaryailmiahinidapatmenjadisesuatu yang bergunabagikitabersama.

Penulismenyadaribahwadalammenyusunkaryatulisinimasihjauhdarikesempurnaan, untukitupenulissangatmengharapkankritikdan saran yang bersifatmembangungunasempurnanyamakalahini.Penulisberharapsemogakaryatulisinibisabermanfaatbagipenuliskhususnyadanbagipembacapadaumumnya.

Pekanbaru , 27 April 2014

BAB 1PENDAHULUANA. LatarbelakangBeberapa tahun terakhir ini kita dikejutkat oleh pemberitaan media cetak serta elektronik tentang kasus-kasus kekerasan pada anak, dan beberapa di antara nya harus mengembuskan napasnya yang terakhir.Menurut data pelanggaran hak anak yang dikumpulkan Komisi NasionalPerlindunganAnak . Dari data induklembagaperlindungananak yang ada di 30 provinsi di Indonesia danlayananpengaduanlembagatersebut, padatahun 2006 jumlahkasuspelanggaranhakanak yang terpantausebanyak 13.447.921 kasusdanpada 2007 jumlahnyameningkat 40.398.625 kasus. DisampingituKomnasAnakjugamelaporkanbahwaselamaperiodeJanuari-Juni 2008 sebanyak 12.726 anakmenjadikorbankekerasanseksualdari orang terdekat mereka seperti orang tuakandung/tiri/angkat, guru, paman, kakekdantetangga. Data statistiktersebut, ditambahdengan data-data tentangjumlahkasuspenculikananak, kasusperdagangananak, anak yang terpaparasaprokok, anak yang menjadikorbanperedarannarkoba, anak yang tidakdapatmengaksessaranapendidikan, anak yang belumtersentuhlayanankesehatandananak yang tidakpunyaaktakelahiran, memperjelasgambaranmuramtentangpemenuhanhak-hakanak Indonesia. Kenakalananakadalahhal yang paling seringmenjadipenyebabkemarahan orang tua, sehinggaanakmenerimahukumandanbiladisertaiemosimakaorangtuatidakseganuntukmemukulataumelakukankekerasanfisik. Bilahaliniseringdialamiolehanakmakaakanmenimbulkanluka yang mendalampadafisikdanbatinnya. Sehinggaakanmenimbulkankebencianpada orang tuanyadan trauma padaanak. Akibat lain darikekerasananakakanmerasarendahhargadirinyakarenamerasapantasmendapathukumansehinggamenurunkanprestasianakdisekolahatauhubungansosialdanpergaulandenganteman - temannyamenjaditerganggu, haliniakanmempengaruhi rasa percayadirianak yang seharusnyaterbangunsejakkecil. Apa yang dialaminyaakanmembuatanakmenirukekerasandanbertingkahlakuagresifdengancaramemukulataumembentakbilatimbul rasa kesaldidalamdirinya. Akibat lain anakakanselalucemas,mengalamimimpiburuk, depresiataumasalah-masalahdisekolah.

B. Rumusan Masalah1. Apa pengaruh KDRT terhadap perkembangan anak ?2. Mengapa KDRT terjadi pada masa sekarang ini ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui seberapa besar peran orangtua membimbing anaknya dalam urusan rumah tangga baik di saat dalam kesulitan maupun ada sedikit beban masalah.

D. Manfaat penelitianManfaat yang diperoleh dalam penyusunan karya tulis ini adalah

1. Sebagai informasi tentang peran dan perlindungan anak dibawah umur.

2. Sebagai bentuk kajian dalam rangka meminimalisasi tindak kekerasan pada anak dibawah umur.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan teori1. Kekerasan dalam rumah tangga adalah perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik. Kekerasan dalam rumah tangga juga dapat diartikan kekerasan atau penganiayaan baik secara fisik maupun secara psikologis yang bertujuan menyakiti remaja atau anak-anak dan dilakukan secara sengaja oleh orang tuanya atau orang dewasa lainnya. Masalah kekerasan dalam hal ini tidak saja diartikan sebagai suatu tindakan yang mengakibatkan gangguan fisik dan mental namun juga mengakibatkan gangguan social, karena kekerasan bukan saja dalam bentuk emosional, seksual dan fisik namun juga dalam hal ekonomi, seperti halnya dipaksa jadi pelacur, pembantu, pengamen dan lain sebagainya. Begitupun sang pelaku bukan saja dilakukan oleh oleh orang-orang terdekat dalam keluarga (KDRT/domestic violence) namun juga di lakukan oleh orang luar, dengan kata lain bukan saja kekerasan tapi sudah masuk kejahatan dan modusnyapun semakin berkembang. Kekerasan domestik (kekerasan dalam rumah tangga) oleh sebagian masyarakat kita tidak dianggap sebagai kejahatan. Faktanya Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Anak (KDRTA ) hanya dilaporkan atau dianggap sebagai masalah jika berakibat cedera parah atau meninggal. Hanya kasus dramatis dan berdarah-darah baru dinilai kejahatan. Luka memar yang terjadi pada anak atau anak berkepribadian pemalu karena di rumah selalu menghadapi tekanan orang tua tidak dianggap kejahatan. Lainnya, banyak masih menilai KDRTA sebagai persoalan individu per individu atau melokalisir tempat kejadian. Dalam kondisi dan situasi bagaimanapun anak tetap harus dilindungi, anak harus tetap disayangi, anak harus tetap dibina dalam nilai-nilai yang bijaksana. Kepentingan yang terbaik bagi anak, haruslah menjadi pertimbangan dan perhatian kita dalam setiap tindakan kepada anak.Masalahnya lagi, kita sering tidak mempercayai anak. Laporan anak tidak ditanggapi, keluhan anak diabaikan, anak sebelum berbicara malah sudah disuruh diam dengan bentakan atau pukulan. Apalagi jika pelaku kekerasan itu orang tuanya, kita yang mendengar sering berkata: dasar kamu bandel, kamu yang salah, itu untuk mendidik kamu, makanya kamu nurut sama orang tua. Jarang kita bertanya, mengapa dia diperlakukan seperti itu, apalagi memberikan jalan keluar. Inilah masalah sosial kita. 2. Kekerasan rumah tangga pada anak di zaman sekarang ini cenderung semakin meningkat. Banyak sekali penyebabnya, tetapi hal yang paling besar pengaruhnya adalah karena adanya kebutuhan ekonomi yang semakin hari kian meningkat. Bahkan kasus kekerasan yang dilakukan keluarga dalam banyak kasus termasuk kategori berat dan berakibat fatal bagi anak, seperti pembunuhan, penyiksaan hingga menyebabkan cacat seumur hidup atau bahkan meninggal. Banyak masyarakat yang menganggap KDRTA adalah bagian "dapur" rumah tangga bagi keluarga tersebut, jadi orang lain tidak boleh mencampuri urusannya, akan tetapi jika hal ini semakin lama semakin dibiarkan tentunya si anak akan berkembang dengan keadaan psikologis yang tidak baik. Orang tua yang menganggap ini sebagian dari cara mendidik anak, sangatlah tidak benar. 3. Angka KDRT dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang semakin meningkat. Upaya pemerintah maupun lembaga-lembaga sosial untuk menekan angka KDRT tidak kurang-kurangnya. UUPKDRT UU No 23 Tahun 2004 seakan tak banyak daya untuk menekan lajunya angka KDRT. Saat ini baru sampai tahapan istilah-istilah KDRT menjadi istilah yang cukup akrab digunakan oleh masyarakat, walau pemahaman KDRT masih sebatas kekerasan fisik. 4. Menurut laporan tahunan yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan angka KDRT pada dari tahun 2001 sampai 2007 tercatat 98.564 Kekerasan terhadap perempuan, dimana 95% dari KDRT tersebut berakhir pada perceraian. Walau sebenarnya UUPKDRT disusun untuk mencegah terjadinya angka angka Kekerasan Dalam Rumah Tangga, bukan kemudian UUPKDRT tersebut memberi jalan pada perceraian. Demikian juga Komnas Anak telah merilis Kompilasi Pantauan Pelanggaran Hak Anak dalam bentuk Kekerasan, bahwa pada tahun 2007 terdapat 5.892 dan pada tahun 2008 terdapat 4.393 bentuk kekerasan terhadap anak, yang berupa kekerasan fifik, seksual, psikis dan aborsi. 5. Beberapa waktu dalam berita CyberNews (12 maret 2010) merilis bahwa berdasarkan data badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kebumen, 40% KDRT di Kebumen dialami anak-anak. Dalam berita tersebut disebut disebutkan pada tahun 2009 terjadi 86 kasus. dari jumlah tersebut 52 kasus atau 60% dialami orang dewasa dan 34 atau 40% dialami oleh anak-anak. Masih menurut berita tersebut khusus kasus KDRT pada anak, 94% menimpa anak perempuan dan 6% menimpa anak laki-laki. Jika angka-angka tersebut sebagai cerminan angka-angka KDRT di daerah lain, maka hal ini tentu sangat memprihatinkan. Anak-anak yang seharusnya mendapat perlindungan dari kedua orang tua, justru mengalami kekerasan yang tentu sangat berpengaruh bagi tumbuh kembang, serta kehidupannnya kelak. UU Perlindungan Anak juga menegaskan bahwa seorang anak selama dalam masa pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan kekejaman,kekerasan dan penganiayaan. Jika hal ini terjadi maka orang tua atau wali atau pengasuh anak melakukannya, maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman. 6. Ada sebagian orang tua masih menganggap bahwa pola pendidikan pada anak dengan pola menghukum dan memberi efek jera. Hal ini tidak sepenuhnya salah, apalagi jika pola menghukum juga disertai dengan pola pemberian penghargaan ketika anak tersebut mendapatkan prestasi. Yang menyebabkan salah adalah jika pola memberi hukuman tadi diaplikasikan dalam memberi hukuman kekerasan fisik. Kalau hal ini dilakukan, maka tujuan menghukum tadi agar anak dapat memperbaiki menjadi tidak terjadi, tetapi yang didapatkan adalah selain rasa sakit fisik juga rasa sakit psikis (dendam) anak pada orang tuanya. Selama ini data yang ada di peradilan agama, masih menampilkan data-data tentang kekerasan pada pasangannya, belum memilah secara khusus KDRT terhadap anak. Demikian juga hakim dalam memeriksa perkara masih banyak mendapati perceraian yang disebabkan oleh KDRT antar pasangan, masih sangat kecil mendapatkan KDRT terhadap anak sebagai alasan perceraian. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena ketika membuat gugatan, semua terfokus pada relasi suami istri semata, Ada kekhawatiran jika KDRT terhadap anak dijadikan alasan penyebab perceraian, gugatan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima. Atau ada juga walau tergambar sepintas dalam gugatan, tetapi yang kemudian menjadi alasan utama adalah relasi suami istri yang sudah sulit dirukunkan sehingga akan berujung pada perceraian. Seharusnya kekhawatiran tersebut tidak perlu terjadi, karena pada dasarnya KDRT terhadap anak bisa dijadikan alasan perceraian, apabila dikaitkan dengan pelanggaran terhadap Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan tentunya Undang-Undang No 1 tahun 1974. Dengan dasar tadi, tentu tak perlu kekhawatiran bagi para orang tua yang anaknya menjadi korban KDRT untuk mengajukan perceraian dengan alasan telah terjadi KDRT terhadap anak. Tentu ini bukan himbauan untuk bercerai, tapi hal ini menjadi wajib dilakukan jika berbagai upaya penghentian tindak KDRT telah diupayakan. Dengan dijadikannya alasan KDRT terhadap anak sebagai alasan perceraian, diharapkan semakin menyadarkan para orang tua untuk menghentikan upaya-upaya kekerasan fisik terhadap anak dalam perkawinan walau dengan dalih pendidikan. Faktor penyebab terjadinya kekerasan pada anak dan perempuan, secara keumuman disebabkan oleh suatu teori yang di kenal behubungan dengan stress dalam keluarga (family stress). Stres dalam keluarga tersebut bisa berasal dari anak, orang tua (suami atau Istri), atau situasi tertentu. Stres berasal dari anak misalnya anak dengan kondisi fisik, mental, dan perilaku yang terlihat berbeda dengan anak pada umumnya. Bayi dan usia balita, serta anak dengan penyakit kronis atau menahun juga merupakan salah satu penyebab stres. Stres yang berasal dari suami atau istri misalnya dengan gangguan jiwa (psikosis atau neurosa), orang tua sebagai korban kekerasan di masa lalu, orang tua terlampau perfek dengan harapan pada anak terlampau tinggi, orang tua yang terbiasa dengan sikap disiplin. Stres berasal dari situasi tertentu misalnya terkena suami/istri terkena PHK (pemutusan hubungan kerja) atau pengangguran, pindah lingkungan, dan keluarga sering bertengkar. Namun tentunya teori tersebut hanya melingkupi kekerasan dalam rumah tangga. Penyebab utama lainnya adalah, kemiskinan, masalah hubungan social baik keluarga atau komunitas, penyimpangan prilaku social (masalah psikososial). Lemahnya kontrol social primer masyarakat dan hukum dan pengaruh nilai sosial kebudayaan di lingkungan social tertentu. Namun bagi penulis penyebab utama terjadinya masalah ini adalah hilangnya nilai Agama (terutama Islam), karena tentunya hanya dengan agama yang bisa mengatur masalah social berbasis kesadaran individu. Diantara dampak kekerasan pada anak dan perempuan adalah stigma buruk yang melekat pada korban diantaranya, Pertama, Stigma Internal yaitu, Kecenderungan korban menyalahkan diri, menutup diri, menghukum diri, menganggap dirinya aib, hilangnya kepercayaan diri, dan terutama adalah trauma sehingga seperti halnya perempauan tidak mau lagi berkeluaraga setelah dirinya trauma menerima kekerasan dari suaminya. Kedua, Stigma Eksternal yaitu, kecenderungan masyarakat menyalahkan korban, media informasi tanpa empati memberitakan kasus yang dialami korban secara terbuka dan tidak menghiraukan hak privasi korban. Selain stigma buruk yang melekat pada korban, kejahatan pada anak dan perempuan juga dapat menghancurkan tatanan nilai etika dan social seperti halnya dampak buruk dari human trafficking. Untuk mencegah dan menghentikan kekerasan pada anak dan perempuan dibutuhkan beberapa pendekatan diantaranya, pendekatan individu, yaitu dengan cara menambah pemahaman agama, karena tentunya seorang yang mempunyai pemahaman agama yang kuat (terutama Islam) akan lebih tegar menghadapi situasi-situasi yang menjadi factor terjadinya kekerasan. Terlebih Islam telah mengajarkan aturan hidup dalam berumah tangga, baik sikap kepada Istri atau kepada anak dan juga mengajarkan interaksi sosial yang baik. Islam sangat mengutuk segala macam bentuk kekerasan, Islam memperbolehkan bercerai jika ada kekerasan dalam rumah tangga sebagai mana hadis dari Aisyah RA berkata, bahwasanya Habibah binti Sahl, istri Tsabit bin Qais dipukul suaminya sampai memar. Keesokan paginya Habibah melaporkan tindakan kekerasan suaminya kepada Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah memanggil Tsabit. Sabdanya, ''Ambillah sebagian hartanya (maharnya) dan ceraikanlah ia!'' Tsabit bertanya, ''Apakah hal itu sebagai penyelesaiannya ya Rasulullah?'' Jawab Rasulullah, ''Ya betul.'' Tsabit berkata lagi, ''Sesungguhnya saya sudah memberinya dua kali lipat, dan keduanya berada di tangannya.'' Kata Rasulullah lagi, ''Ambillah kedua bagian tersebut, dan ceraikan ia!'' Lalu Tsabit pun melaksanakan perintah tersebut. (HR. Imam Abu Dawud). Pendekatan sosial melingkupi pendekatan partisipasi masyarakat dalam melaporkan dan waspada setiap tindakan kejahatan, terutama human trafficking. Pendekatan medis, untuk memberikan pelayanan dan perawatan baik secara pisik atau kejiwaan, juga memberikan penyuluhan terhadap orang tua tentang bagaimana mengasuh anak dengan baik dan benar. Dan terakhir adalah pendekatan hukum, tentunya yang bertanggung jawab masalah ini adalah pemerintah untuk selalu mencari dan menanggapi secara sigap terhadap setiap laporan ataupenemuan kasus kekerasan dan kejahatan dan menghukumnya dengan ketentuan hukum yang berlaku. Seorang psikolog dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara Dra. Henny E. Wirawan, M.Hum., Psi, QIA.,menyatakan bahwa, Anak yang melihat langsung ibu atau ayahnya dipukul bisa mengalami shock dan ketakutan, terutama pada anak balita. Jika kekerasan ini disaksikan setiap hari besar kemungkinan anak menjadi traumatis, cenderung pendiam, sering marah hingga menangis. Dan lama kelamaan sifatnya menjadi general, artinya bukan hanya melihat teriakan atau pukulan orangtuanya saja, tetapi juga saat ia melihat hal itu dilakukan orang lain. Bahkan bukan tidak mungkin ia akan marah dengan orang lain yang belum tentu ada hubungannya dengan dia. Dalam kondisi dan situasi bagaimanapun anak tetap harus dilindungi, anak harus tetap disayangi, anak harus tetap dibina dalam nilai-nilai yang bijaksana. Apa yang mesti kita lakukan dengan hal ini?1. Selalu lah ingatkan bahwa mendidik anak dengan kekerasan (dipukul, dijewer, dicubit, dan lain sebagainya) merupakan hal yang salah dalam cara mendidik anak, karena anak akan bertingkah liar dan keadaan psikologisnya pun akan tidak baik. 2. Hukum harus sangat ditingkatkan dan berpihak kepada yang lemah harus segera ditindaklanjuti hal-hal yang berhubungan dengan kekerasan pada anak. 3. Sebaiknya hindari pertengkaran dengan selalu menjalin komunikasi dengan pasangan. Dengan begitu rasa saling pengertian akan terjalin. 4. Sebelum menikah hendaklah peka melihat reaksi pasangan, apakah ia mudah untuk melontarkan kata-kata kasar atau bahkan memukul. B. Penelitian relevan

BAB III

Metode penelitian

BAB IVHasil dan Pembahasan

KESIMPULANSaat ini kekerasan fisik terhadap anak sudah sedemikian memprihatinkan. Angka-angka yang merilis jumlah tersebut menunjukkan trend untuk meningkat. Harusnya ini tidak perlu terjadi, karena seharusnya semakin maju peradaban suatu kaumsemakin menurunkan kecendrungan untuk menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Orang tua yang menghadapi kekerasan terhadap anaknya, harus punya tanggung jawab agar anak tersebut terhindar dari kekerasan fisik dan harus dilakukan upaya-upaya prefentif sehingga kekerasan tersebut tak perlu terjadi. Walaupun upaya tersebut tidak berhasil, lebih baik dirinya mengambil sikap untuk berpisah dengan pasangan hidupnya, dibanding anaknya mengalami kekerasan fisik yang menghancurkan masa depan anak tersebut.