artikel kdrt

31
BENTUK-BENTUK PENYELESAIAN KASUS KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT ) TERHADAP PEREMPUAN Oleh : Yetniwati Dosen Fakultas Hukum Universitas Jambi Email: [email protected] ABSTRAK Penyelesaian kasus KDRT yang diatur dalam Undang- undang No.23 Tahun 2004 hanya berupa regulasi dalam hukum formil suatu tindak pidana yang litigasi, pada hal tindak pidana KDRT termasuk delik aduan maka ada peluang cara lain yang akan dilakukan korban.. Apabila pihak korban tidak melapor ke pihak Kepolisian maka penyelesaian dapat dilakukan secara non litigasi yaitu secara negosiasi atau mediasi penal. Jenis kekerasan psikis, kekerasan seksual, penelantaran rumah tangga dapat dilakukan secara non litigasi. Sedangkan penyelesaian secara litigasi dapat dilakukan apabila penyelesaian non litigasi tidak menghasilkan mufakad, atau penyelesaian non litigasi tidak pernah dilakukan mengingat beratnya resiko yang dialami korban. Kata kunci : penyelesaian, KDRT, negosiasi, mediasi, litigasi., non litigasi A. PENDAHULUAN Setiap manusia yang normal akan memerlukan kehidupan rumah tangga yang bahagia sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang No.1 Tahun 1974: ” Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri 1

Upload: hanif-fikriyantito

Post on 25-Jan-2016

29 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

nmnmnm

TRANSCRIPT

Page 1: Artikel Kdrt

BENTUK-BENTUK PENYELESAIAN KASUS KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT ) TERHADAP PEREMPUAN

Oleh : YetniwatiDosen Fakultas Hukum Universitas Jambi

Email: [email protected]

ABSTRAK

Penyelesaian kasus KDRT yang diatur dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004 hanya berupa regulasi dalam hukum formil suatu tindak pidana yang litigasi, pada hal tindak pidana KDRT termasuk delik aduan maka ada peluang cara lain yang akan dilakukan korban.. Apabila pihak korban tidak melapor ke pihak Kepolisian maka penyelesaian dapat dilakukan secara non litigasi yaitu secara negosiasi atau mediasi penal. Jenis kekerasan psikis, kekerasan seksual, penelantaran rumah tangga dapat dilakukan secara non litigasi. Sedangkan penyelesaian secara litigasi dapat dilakukan apabila penyelesaian non litigasi tidak menghasilkan mufakad, atau penyelesaian non litigasi tidak pernah dilakukan mengingat beratnya resiko yang dialami korban.

Kata kunci : penyelesaian, KDRT, negosiasi, mediasi, litigasi., non litigasi

A. PENDAHULUAN

Setiap manusia yang normal akan memerlukan kehidupan rumah tangga

yang bahagia sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang

No.1 Tahun 1974: ” Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Hal ini berarti tujuan perkawinan adalah membentuk rumah tangga yang bahagia

sudah ada landasan yuridisnya”.

Untuk mewujudkan rumah tangga yang bahagia itu akan dipengaruhi

oleh pelaksanaan hak dan kewajiban suami –istri . Pasal 33 Undang-undang

nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, menyatakan :” Antara suami-istri

mempunyai kewajiban untuk saling cinta –mencintai, hormat menghormati , setia

dan saling memberi bantuan lahir dan batin “. Kata “saling” dalam pasal tersebut

menunjukan hak dan kewajiban itu seimbang , setara. Hal ini telah diatur pada

1

Page 2: Artikel Kdrt

Pasal 31 ayat 1 Undang-undang Perkawinan : “ Hak dan kedudukan istri adalah

seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan

pergaulan hidup bersama dalam masyarakat “. Kedua pasal tersebut mengatur

adanya kesetaraan gender dalam rumah tangga.

Disamping Undang-undang Perkawinan mengatur tujuan perkawinan

diperlukan juga peraturan lain yang mengatur kehidupan dalam rumah tangga

yaitu larangan melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT )

diantaranya :

a. Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

b. Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga.

c. Undang-undang nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

Korban.

d. Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan

Kerja Sama Pemulihan Korban Dalam Rumah Tangga.

e. Keppres No. 181 tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan

Terhadap Perempuan.

f. Konvensi CEDAW yang ratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7

tahun 1984 tentang Pengesahan Mengenai Konvensi Penghapusan Segala

Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.

Meskipun telah banyak peraturan yang mengatur tentang larangan

kekerasan dalam rumah tangga,. Menurut data Komnas perempuan, pada akhir

tahun 2013 tercatat 11719 kasus KDRT (Komnas perempuan juga mencatat

sampai akhir September 2010 tercatat 189 Peraturan Daerah (Perda) dan

kebijakan lain berdalih moralitas dan diskriminasi terhadap perempuan (kompas

com , 23 Desember 2010) .

Kekerasan dalam rumah tangga atau yang disingkat dengan KDRT adalah

setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat

timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,

dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan

perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum

2

Page 3: Artikel Kdrt

dalam lingkup rumah tangga ( Pasal 1 butir 1 UU.No.23 Tahun 2004). Kekerasan

terhadap perempuan yang dimaksudkan dalam judul ini yaitu si istri, karena

banyaknya ditemukan kasus kekerasan yang dilakukan suami terhadap istrinya.

Pasal 28 G ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan : setiap

orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan

harta benda yang berada di bawah kekuasaanya, serta berhak dari rasa aman dan

perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesatu

yang merupakan hak asasi. Dan kemudian Pasal 28 H ayat (2) menyatakan ,

bahwa setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk

memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan

keadilan. Sebagai landasan konstitusi bagi peraturan selanjutnya, ketentuan ini

memberikan perlindungan hak asasi manusia, sebagai hak kodrat yang dibawa

sejak lahir.

Undang-undang nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang

lazim disingkat dengan HAM, dimana pada Pasal 9 ayat (2) menyatakan, bahwa

setiap orang berhak hidup tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir batin.

Undang-undang HAM bersifat universal, maka untuk larangan kekerasan dalam

rumah tangga secara khusus diatur pada Undang-undang nomor 23 Tahun 2004

tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Pengaturan penyelesaian dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga

dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004 hanya bersifat hukum publik saja,

pada hal masalah KDRT, terdapat juga masalah yang bersifat hukum perdata, hal

ini tidak diatur secara tegas dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004, maka

terdapat kekaburan norma dalam undang-undang tersebut.

Penyelesaian kasus dalam hukum pidana sering dihadapkan oleh sifat

hukum pidana yang: kontradiktif, dualistik, padoksal. Disatu pihak hukum pidana

bermaksud melindungi kepentingan/ benda hukum dan hak asasi manusia dengan

merumuskan norma-norma perbuatan yang dilarang, namun dilain pihak hukum

pidana menyerang kepentingan hukum/ hak asasi manusia (HAM) seseorang

dengan menggunakan sanksi kepada sipelanggar norma (Malkani, 2012, hlm.1).

3

Page 4: Artikel Kdrt

Banyaknya upaya penanggulangan KDRT yang dihentikan oleh penyidik,

disebabkan oleh karena sikorban sebagai pelapor menarik kembali pengaduannya.

Hasil penelitian dari Malkani tahun 2012 menunjukan penanggulangan kasus

KDRT di Bukitinggi lebih didominan diselesaikan secara mediasi, dimana

mediatornya adalah kepolisian. Adapun alasan pelapor yaitu pihak istri mencabut

kembali pengaduannya adalah karena mereka akan menyelesaikan kasus KDRT

secara damai, dan pihak suami berjanji tidak akan mengulangi perbuatan KDRT,

hal ini dilatar belakangi bahwa siistri masih memerlukan suaminya demi masa

depan anak-anak, siistri takut bercerai dengan suami karena pekerjaan pelapor

dominan adalah ibu rumahtangga saja, dan alasan suami melakukan KDRT

adalah untuk memberi pelajaran kepada siistri ( Malkani, 2012 hlm 5).

Tindak pidana KDRT termasuk pada delik aduan, artinya penyelesaian

kasus tindak pidana dilakukan oleh penegak hukum didasarkan pada pengaduan

sikorban dengan alat bukti yang kuat. Pengaduan yang telah dilaporan kepada

pihak kepolisian boleh ditarik kembali, akhirnya penyidikan dihentikan, para

pihak dapat membuat perjanjian perdamaian agar perbuatan KDRT tidak terulang

lagi.

Meskipun telah ada penarikan pengaduan dengan alasan perdamaian yang

dilakukan para pihak perlu ditinjau lagi, apakah tidak ada unsur intimidasi kepada

korban dan anak-anaknya, bagaimana peran perempuan dalam pengambilan

keputusan. Sebagaimana yang diutarakan oleh Nurherwati : “ upaya penyelesaian

kasus melalui mekanisme nonformal , seperti lembaga adat, warga yang

disegani, keluarga dan agama, juga tidak jauh berbeda dengan proses pengadilan

belum memenuhi rasa keadilan, karena korban terlihat sebagai pihak yang pasif ,

tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan ( kompas, 23 -12-2010}.

Menurut Joni Emirzon : bahwa penyelesaian kasus selain melalui pengadilan

dapat juga diselesaikan melalui alternative penyelesaian kasus yaitu ; negosiasi,

mediasi, konsiliasi, atau arbitrase ( Joni Emirzon, 2001,hal.39 ).

Dalam tulisan ini akan membahas:

1. Bentuk-bentuk penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan secara

non litigasi?

4

Page 5: Artikel Kdrt

2. Bentuk-bentuk penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan secara

litigasi ?

B. PEMBAHASAN

1. Penyelesaian Kasus KDRT Terhadap Perempuan Secara Non Litigasi

Kasus KDRT merupakan perselisihan yang terjadi dalam rumah tangga

yang berakibat penderitaan bagi korbannya karena perbuatan kekerasan fisik,

kekerasan seksual, kekerasan psikis, penelantaran rumah tangga yang dilakukan

oleh salah satu anggota keluarganya. Oleh karena itu kasus KDRT awalnya

bersifat interen, dan ada peluang KDRT meluas keranah publik akibat dari

perbuatan pidana, apabila tidak dicegah secara cepat dan tepat.

Penyelesaian secara non litigasi yaitu penyelesaian diluar pengadilan atau

dikenal dengan alternatif penyelesaian kasus. Undang-undang nomor 30 tahun

1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Kasus, pada Pasal 6 mengatur

bentuk alternatif penyelesaian kasus yaitu negosiasi paling lama 14 hari, dan

mediasi paling paling lama 30 hari. Hasil kesepakatan dari negosiasi atau mediasi

dituangkan dalam suatu kesepatan tertulis. Agar kesepakatan final , binding, dan

mempunyai kekuatan eksekutorial maka kesepakatan dapat didaftarkan pada

kepaniteraan Pengadilan Negeri (Pasal 6 ayat 7 U.U.No.30 Tahun 1999)

Kasus KDRT sangat banyak dialami oleh istri, hal ini disebabkan oleh

karena istri kedudukannya belum setara dengan suami atau dikenal dengan istilah

patriachis, siistri harus patuh kepada suami tanpa mempertimbangkan kebenaran

perilaku suami, ketergantungan ekonomi istri kepada suami, adanya anggapan

perempuan itu lemah, perilaku suami yang egois. Hasan Ramadhan mengatakan”

kekerasan kerapkali terjadi dikarenakan kuatnya dorongan maskulinitas

tradisional, yang mengakibatkan banyak pria terjerat dalam kontruksi sosial yang

patriarki , pria punya beban sosial yang lebih berat, harus tampil lebih kuat,

jantan, mengontrol, mampu secara ekonomi, dan bentuk-bentuk maskulin lainnya

( Hasan Ramadhan, kompas 12 Juni 2013).

Setiap perselisihan atau konflik dalam rumah tangga belum tentu akan

berakibat KDRT, apabila para pihak yang berselisih dapat mengatasinya secara

bijak dan musyawarah, konflik dapat diselesaikan secara baik. Namun tidak

5

Page 6: Artikel Kdrt

menutup kemunkinan konflik dapat menimbulan KDRT. Meskipun terjadi KDRT

banyak tingkatan resiko yang terjadi pada fisik korban diantaranya: psikis,

keadaan tidak berdaya (lemas tenaga), memar, luka ringan, luka berat, meninggal

dunia. Banyak upaya yang dapat dilakukan oleh para pihak untuk menyelesiakan

kasus KDRT sebelum diselesaikan melalui litigasi diantaranya:

a. Negosiasi

Negosiasi adalah cara menyelesaikan konflik oleh para pihak yang

bersenketa dengan cara berunding atau musyawarah. Joni Emirzon mengutip Alan

Fowler mengemukakan elemen-elemen dari negosiasi yaitu: 1. melibatkan dua

pihak atau lebih; 2. Pihak-pihak membutuhkan keterlibatan satu sama lain dalam

mencapai hasil; 3. Para-para pihak menganggap negosiasi sebagai cara yang lebih

memuaskan dari pada cara lain; 4. Ada kemunkinan untuk membujuk pihak lain

untuk memodifikasi posisi awal mereka; 5. Setiap pihak mempunyai harapan

akan sebuah hasil akhir yang mereka teerima; 6. Proses negosiasi secara lisan

lansung, walaupun kadang-kadang tertulis ( Joni Emirzon, 2001, hlm,46).

Negosiasi dapat juga melakukan pemaafan, yaitu membudayakan sikap

saling memaafkan dalam keluarga. Hal ini akan mendinginkan rasa emosional

anggota keluarga. Dalam Islam perbuatan saling memaafkan sebagaimana dalam

surat Ali Imran ayat (134) yang artinya: “orang-orang yang menafkahkan

(hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan

amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang

berbuat kebajikan”. Begitu juga selanjutnya dalam surat Ali Imran ayat (159)

yang artinya: “ Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah

lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,

tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah

mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka

dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka

bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang

bertawakkal kepada-Nya”. Hukum Islam menganjurkan perbuatan saling

memaafkan sebagai suatu yang dianjukan dan diridhoi Allah termasuk dalam hal

bernegosiasi.

6

Page 7: Artikel Kdrt

Penyelesaian kasus KDRT secara negosiasi, yaitu si korban dengan

pelaku KDRT bermusyawarah dua arah untuk menghasilkan mufakat, dan lebih

baik hasil kesepakatan dituangkan dalam surat perjanjian agar perbuatan

kekerasan tidak terulang lagi. Kelebihan penyelesaian sistim ini, dimana perkara

rumah tangga terjamin kerahasiaannya, hubungan keluarga bisa baik kembali

sehingga keutuhan rumah tangga bisa dipertahankan. Sedangkan kelemahan sistim

ini bisa saja musyawarah itu mengandung unsur ancaman atau tekanan. apalagi

pada masyarakat yang menganut paham patriakhis yang mana kedudukan

perempuan lebih rendah dari laki-laki, akan memberi peluang perempuan berada

dibawah ancaman laki-laki. Apabila kasus kekerasan fisik dilakukan pelaku

KDRT suami, penyelesaian dilakukan secara negosiasi dengan si korban (isteri)

yang tidak punya penghasilan, akan berakibat ada peluang suami pelaku KDRT

memberi ancaman atau tekanan bagi si korban sehingga kesetaraan gender tidak

terwujud.

Penyelesaian kasus KDRT secara negosiasi ini dapat dilakukan terhadap at

kekerasan berisiko rendah, jika kekerasan itu berisiko tinggi bagi istri jangan

dilakukan secara negosiasi. Penyelesaian secara negosiasi lebih cocok dipakai

untuk jenis kekerasan kondisinya tidak terlalu berbahaya bagi pisik seperti:

memar, kekerasan seksual, kekerasan psikis, penelantaran rumah tangga. Setelah

upaya negosiasi telah dilakukan namun tidak juga mewujudkan perdamaian maka

para pihak dapat mencari penengah atau mediator .

b. Mediasi

Menurut Folberg dan Taylor sebagaimna dikutip oleh Joni Emirzon,

mediasi adalah suatu proses di mana para pihak dengan bantuan seseorang atau

beberapa orang, secara sistematis menyelesaikan permasalahan yang disenketakan

untuk mencari alternatif dan mencapai penyelesaian yang dapat mengakomodasi

kebutuhan mereka (Joni Emirzon, 2001, hlm.68). Pihak ketiga yang membantu

penyelesaian disebut mediator.

Pada masyarakat adat penyelesaian sengketa pidana melalui mediasi

dikenal dengan berbagai istilah seperti pada masyarakat adat Banjar memakai

istilah badamai /baparbaik/bapatut, pada masyarakat adat Dayak penyelesaian

7

Page 8: Artikel Kdrt

melalui Dewan Adat yang mediatornya disebut”damang”, pada masyarakat Aceh

melalui geucik dan tetua gampong sebagai mediator, pada masyarakat adat

Ambon menyelesaikan sengketa melalui Raja sebagai mediator, pada masyarakat

adat Lombok Utara penyelesaian sengketa melalui Wet Tu Telu, pada masyarakat

adat Flores Nusa Tenggara Timur melalui lembaga adat mela sareka (Trisno

Raharjo, 2010 , hlm 492-519), masyarakat adat Minangkabau menyelesaikan

senketa melalui mediasi disebut secara badamai. Semua mediasi secara adat

merupakan sebagai suatu kearifan lokal, masyarakat menyelesaikan senketa

dengan memakai prinsip musyawarah untuk mufakat dan mengupayakan kondisi

hubungan para pihak bisa baik kembali, pelaku kejahatan berjanji tidak akan

mengulangi lagi perbuatan kekerasan dan kesalahan yang sama.

Penyelesaian kasus KDRT secara mediasi yaitu cara penyelesaian yang

dibantu oleh mediator (pihak ketiga) yang netral. Adapun elemen mediasi, yaitu:

1. Penyelesaian senketa sukarela, 2. Intervensi / bantuan, 3. Pihak ketiga yang

tidak berpihak, 4. Pengambilan keputusan secara konsensus, 5. Partisipasi aktif

mediator (Joni Emerzon, 2001, hal.69).

Siapa saja yang bisa menjadi mediator, hal ini tentu pihak ketiga yang

netral dan mampu membantu penyelesaian senketa KDRT. Mediator itu ada 3

tipe yaitu: 1. Mediator Otoritatif, dimana dalam proses mediasi dia memiliki

kewenangan yang besar dalam mengontrol dalam memimpin pertemuan para

pihak, dalam hal tertentu mediator ini dapat melakukan interogasi ; 2. Mediator

Sosial Network, adalah tipe mediator dimana ia mempunyai jaringan sosial yang

luas untuk mendukung kegiatannya dalam menyelesaikan kasus ; 3. Mediator

Independen, adalah tipe mediator dimana ia tidak terikat dengan lembaga sosial

atau institusi apapun dalam menyelesaiakan kasus para pihak, seperti tokoh adat,

tokoh ulama, tokoh masyarakat yang ikut menyelesaikan kasus ( Syahrizal Abbas,

2009, hlm,74-77).

Abraham Lincoln seorang filsuf yang telah menuangkan teori penyelesaian

kasus di luar pengadilan, “ perkecilah peran pengadilan, bujuklah tetangga anda

untuk berkompromi, sepanjang yang mampu anda lakukan. Tunjukan kepada

mereka, bagaimana orang yang hanya namanya saja disebut pemenang, tetapi

8

Page 9: Artikel Kdrt

sering di dalam kenyataannya lebih merupakan pihak yang nyata-nyata kalah,

yaitu kalah dalam biaya, pembayaran, pemborosan waktu. Sebagai seorang

pembuat perdamaian, para pengacara mempunyai suatu kesempatan yang luar

biasa untuk menjadi orang yang baik” ( Achmad Ali, 2009, hlm.445) . Abraham

Lincoln telah mengemukakan keuntungan penyelesaian senketa di luar pengadilan

atau secara non litigasi, hemat biaya, hemat waktu, dan mengurangi beban

pengadilan dalam menangani kasus yang telah menumpuk.

Untuk penyelesaian kasus KDRT secara mediasi, tidak ada` ketentuan

yang mengatur siapa yang akan menjadi mediator, hal ini tergantung pilihan

mereka yang berselisih misalnya: pihak kepolisian, pemuka adat, BP4, kepala

pemerintahan daerah setempat, kiyai/pemuka agama, pengacara, dosen, lembaga

swadaya masyarakat atau LSM, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan

Perempuan dan Anak atau P2TP2A, anggota keluarga yang mempunyai

kekerabatan dengan pelaku dan disegani pelaku, dan sebagainya mediator

sepanjang mempunyai kemampuan menengahi perkara, mampu merahasiakan

perkara dan tidak berpihak, berwibawa, dewasa. Sebagai mediator ia harus

mempunyai kemampuan menyelesaikan konflik. sifat mempunyai sifat adil, netral

dan berwibawa, sebagaimana surat Almaiidah ayat (8) yang artinya: “ Hai orang-

orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan

(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali

kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.

Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah

kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Dalam memimpin penyelesaian kasus mediator dapat melakukan

beberapa taktik diantaranya: 1. Taktik menyusun kerangka keputusan; 2. taktik

mendapatkan wewenang dan keerja sama; 3.taktik mengendalikan emosi dan

menciptakan suasan yang tepat; 4.taktik yang bersifat informatif; 5.taktik

pemecahan masalah; 6. Taktik menghidarkan rasa malu; 7. Taktik pemaksaan

untuk menghidari penyelesaian yang bertele-tele (Joni Emirzon, 2001, hlm.87-

88).

9

Page 10: Artikel Kdrt

Penyelesaian kasus KDRT secara mediasi atau lazim disebut mediasi penal

mempunyai keuntungan, karena adanya pihak penengah atau mediator yang akan

mengawasi musyawarah, untuk mencapai kesepakatan dalam proses pembuatan

surat perdamaian yang tidak mengandung unsur ancaman / tekanan, penipuan,

ataupun kekeliruan. Pada saat melakukan mediasi, mediator dapat pula

memberikan nasehat agar tindakan KDRT tidak terulang lagi, keharmonisan

rumah tangga bisa tercipta kembali. Mediator memberikan anjuran sebagia hasil

musyawarah bukan keputusan, anjuran tidak mempunyai kekuatan hukum. Hasil

musyawarah lebih baik dituangkan dalam suatu perjanjian secara tertulis, hal ini

berfungsi untuk mengingatkan kembali kepada pelaku KDRT tidak melakukan

perbuatan kekerasan lagi. Agar kesepakatan mempunyai kekuatan eksekutorial,

kesepakatan tertulis harus didaftarkan pada Pengadilan Negeri setempat ( Pasal 6

ayat 7 UU.No.30 tahun 1999).

Pertimbangan lain perlu adanya mediasi untuk tindak pidana KDRT ini

juga didasarkan pada ancaman pidana alternatif antara pidana penjara atau denda,

ini memberi peluang bagi hakim untuk tidak menjatuhkan pidana penjara,

mengingat penjara banyak mudaratnya dari pada manfaatnya, mengingat proses

pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan belum dapat berfungsi secara baik.

Dengan adanya ancaman yang bersifat alternatif ini, kiranya dapat memberikan

peluang atau dasar pertimbangan aturan secara informal, walaupun demikian

dasar hukum formal perlu difikirkan untuk masa yang akan datang (Liliana T dan

Krismi Tedjosaputra dan Krismiyarsi, 2012, hal.9).

Penyelesaian kasus KDRT diluar pengadilan baik secara negosiasi ataupun

mediasi atau penyelesaian secara alternatif memiliki kelebihan karena rahasia

rumah tangga tidak diketahui orang banyak, proses penyelesaian lebih cepat,

biaya relatif murah, kondisi hubungan para pihak bisa kondusif kembali. Namun

untuk memilih penyelesaian kasus KDRT secara alternatif sikorban harus

memperhatikan tingkat resiko kekerasan yang dialami sikorban, kesetaraan gender

dalam musyawarah, dan syarat syahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320

KUHPerdata , yaitu: 1) kesepakatan para pihak, 2) kecakapan para pihak yang

membuat perjanjian, 3) hal tertentu, 4) kausa yang halal.

10

Page 11: Artikel Kdrt

Pasal 1320 bila diaplikasikan dengan penyekesaian kasus KDRT , dimana

hasil musyawarah yang dituangkan dalam perjanjian harus memenuhi : 1. Adanya

kesepakatan secara sukarela dari suami dan istri untuk membuat perdamaian, tidak

ada unsure penipuan, ancaman, kekeliruan ; 2. Suami dan istri cakap hukum

dalam arti tidak sakit ingatan atau berada dibawah pengampuan; 3. Adanya isi

perjanjian berupa hak dan kewajiban suami istri untuk mewujudkan perdamaian

dalam rumah tangga, sehingga KDRT tidak terulang lagi; 4. Adanya tujuan

perjanjian tidak bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum, dan undang-

undang yang berlaku .

Penyelesaian kasus KDRT jenis kekerasan fisik tidak disaran penyelesaian

secara negosiasi atau mediasi, hal ini mengingat kondisi korban yang mengalami,

luka, memar, sakit yang sudah mengarah kepada perbuatan penganiayaan dan

bahkan sampai kepada perbuatan pembunuhan. Perbuatan tersebut adalah

termasuk tindak pidana dan akan diberi sanksi pidana sesuai ketentuan Kitab

Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang No.23 Tahun 2004.

Tapi perlu dicermati penyelesaian kasus di luar pengadilan yang memakai

prinsip musyawarah untuk mufakad itu jangan sampai mengenyampingkan

kesetaraan gender. Penyelesaian senketa secara alternatif diatur dalam Undang-

undang no.30 Tahun 1999, tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Kasus

terdapat pada Pasal 6, menentukan jangka waktu penyelesaian secara negosiasi

paling lama 14 hari, dan penyelesaian secara mediasi paling lama 30 hari. Jangka

waktu penyelesaian kasus KDRT secara negosiasi dan mediasi tidak perlu terikat

dengan ketentuan ini. Sebab apabila hasil kesepakatan tidak diperoleh, sikorban

akan meneruskan penyelesaian kasusnya melalui pengadilan atau litigasi, harus

berdasarkan pengaduan sikorban. Kapan sikorban akan mengadu kepihak

kepolisian tidak ada masa kadaluarsa pengaduan, yang penting saat pengaduan

alat bukti tindak kekerasan masih ada.

2. Penyelesaian Kasus KDRT Terhadap Perempuan Secara Litigasi

Apabila penyelesaian secara negosiasi atau mediasi tidak menghasilkan

mufakat dalam bentuk perdamaian, atau tidak pernah melakukan negosiasi dan

11

Page 12: Artikel Kdrt

mediasi, karena beratnya resiko yang dialami sikorban, maka penyelesaian kasus

KDRT dapat dilakukan secara litigasi.

Perbuatan kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu kejahatan atau

pidana, karena perbuatan tersebut mengandung unsur perbuatan yang merugikan,

mengancam nyawa, mengancam keamanan dalam rumah tangga, baik dengan

kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikis, ataupun penelantaran rumah

tangga terhadap anggota keluarga, maupun orang yang berada dalam satu

keluarga, karena tanggung jawab yang diberikan berdasarkan perjanjian ataupun

perundang-undangan.

Untuk penegakan hukum pidana diperlukan hukum formil yang mengatur

cara-cara penegak hukum bekerja dalam rangka penegakan hukum, atau

mempertahankan hukum materil, salah satu hukum formil itu adalah hukum acara

pidana. Hukum acara pidana diatur dalam bebagai perundang-undangan,

diantaranya:

1. Undang-undang No.8 Tahun1981 tentang Hukum Acara Pidana.

2. Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI.

3. Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.

4. Undang-undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Proses menyelesaian kasus pidana secara garis besar sebagaimana diatur

dalam undang-undang No. 8 Tahun 1981 adalah : 1. Penyelidikan; 2.

Penangkapan atau penahan; 3. Penyidikan; 4. Pelimpahan perkara kepada

Kejaksaan; 5. Pemeriksaan perkara di Pengadilan; 6. Keputusan; 7.Eksekusi.

Penanganan kasus KDRT yang merupakan delik aduan, maka sikorban

yang mengalami kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikis,

penelantaran dalam rumah tangga, yang tidak bisa diselesaikan secara non litigasi,

dan kekerasan yang berakibat luka berat, terlebih dahulu melakukan pengaduan

tentang kejadian yang dialaminya kepada pihak Kepolisian. Pengaduan adalah

pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada

pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah

melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya (Pasal 1 butir 25 UU.No.8

12

Page 13: Artikel Kdrt

tahun 1981). Pihak kepolisian akan mencatat pengaduan dan melakukan

penyelidikan lebih lanjut.

Kepolisian sebagai penyelidik sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-

undang no.8 Tahun 1981 mempunyai kwewenangan : 1. menerima laporan atau

pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; 2. mencari keterangan dan

barang bukti; 3. menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta

memeriksa tanda pengenal diri; 4. mengadakan tindakan lain menurut hukum

yang bertanggung-jawab. Sebagai pihak penyelidik atas perintah penyidik ia dapat

melakukan tindakan berupa: 1. penangkapan, larangan meninggalkan tempat,

penggeledahan dan penahanan; 2. pemeriksaan dan penyitaan surat; 3. mengambil

sidik jari dan memotret seorang; 4. membawa dan menghadapkan seorang pada

penyidik. Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan

tindakan kepada penyidik.

Untuk mencari ada atau tidaknya suatu tindak pidana maka pihak

kepolisian akan melakukan pemeriksaan terhadap saksi korban dan tersangka,

keterangan saksi-saksi lainnya, tersangka akan dipanggil berdasarkan surat

pemanggilan, apabila tersangka tidak datang secara patut menghadap kepolisian

maka akan dilakukan penangkapan tersangka berdasarkan surat penangkapan dan

penahanan.

Dalam tulisan Malkani menyatakan :” wewenang yang diberikan kepada

penyidik sedemikian rupa luasnya. Bersumber atas wewenang yang diberikan

undang-undang, penyidik berhak mengurangi hak asasi seseorang, asal ia masih

berpijak pada landasan hukum. Dan harus dihubungkan dengan landasan prinsip

hukum yang menjamin terpeliharanya harkat martabat kemanusiaan seseorang

serta tetap berpedoman pada landasan orientasi keseimbangan antara

perlindunggan kepentingan tersangka pada satu pihak dan kepentingan

masyarakat serta penegakan ketertiban hukum pada pihak lain” ( Malkani,2012,

hlm.4). Sehingga tujuan hukum dapat tercapai.

Menurut teori hukum timur, tujuan hukum adalah keharmonisan, dan

keharmonisan adalah kedamaian. Sedangkan menurut teori hukum barat, tujuan

13

Page 14: Artikel Kdrt

hukum adalah keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum. Indonesia masyarakat

berkultur timur, sementara hukum pidananya yang berasal dari Eropa Kontinental,

teori mana yang dipakai?, Satjipto Raharjo mengatakan Indonesia memiliki kultur

hukum timur, sebaliknya menggunakan paradigma hukum dan hukum formal

barat , sementara adil itu abstrak dan bersifat subjektif ( Achmad Ali, 2009 , hlm.

212).

Pihak kepolisian dalam melaksanakan tugasnya dalam proses penyelidikan

dan penyidikan haruslah adil. Teori keadilan mana yang akan dipakai oleh pihak

kepolisian , menurut peneliti adalah keadilan prosedural. Hal ini berarti aturan-

aturan seyogyanya tidak sekedar adil dan tidak memihak, tetapi juga dilaksanakan

secara jujur, sejalan dengan standar ‘prosedur yang semestinya’ dan tanpa peduli

akan ras, kelas, ataupun status sosial lainnya ( Acmad Ali, 2009, hlm, 231).

Makna ’prosedur yang semestinya’ ini adalah hukum acara atau hukum formil

yang berlaku. Keadilan procedural menurut peneliti bukanlah tujuan dari hukum,

melainkan keadilan dalam proses beracara untuk mencapai keadilan substantif,

hukum materil sebagai tujuan hukum.

Untuk pemeriksaan saksi korban kekerasan seksual yang umumnya adalah

perempuan, sebaiknya masalah ini diperiksa oleh polisi wanita. Tujuannya adalah

agar saksi korban lebih terbuka mengungkapkan persoalan yang dialaminya.

Setelah dilakukan penyidikan pihak kepolisian menduga adanya tindak

pidana KDRT didukung oleh alat bukti yang kuat, pihak kepolisian menyerahkan

perkara tersebut kepada kejaksaan sebagai penuntut umum. Penuntut umum

setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari da meneliti

dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah

penyidikan itu sudah lengkap atau belum. Apabila hasil penyidikan itu belum

lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kembali kepada penyidik

untuk dilengkapi, dalam waktu 14( empat belas hari ) sejak penerimaan berkas,

penyidik harus sudah menyampaikanya kembali kepada penuntut umum (Pasal

138 UU.No.8 Tahun1981).

Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan

karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan

14

Page 15: Artikel Kdrt

merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum

menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan. Isi surat ketetapan tersebut

diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib segera

dibebaskan.Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau

keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan

hakim ( Pasal 140 UU.No.8 Tahun 1981).

Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat

dilakukan penuntutan ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.

Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan, disertai surat dakwaan.

Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani

serta berisi : a.nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis

kelamin,kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka; b.uraian

secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan

dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Surat

dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan diatas akan berakibat batal demi hukum.

Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada

tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang

bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke Pengadilan

Negeri daerah hukum terdakwa bertempat tinggal atau di tempat pelaku ditahan

(Pasal 84 KUHAP).

Pengadilan Negeri setelah menerima perlimpahan perkara dari Kejaksaan

akan melakukan : pemanggilan terdakwa, pembacaan surat dakwaan, eksepsi

kalau ada, acara pemeriksaan, pembacaan surat tuntutan oleh Jaksa sebagai

penuntut umum, pembelaan atau pledoi, replik, duplik, acara pembacaan putusan.

Semua ketentuan acara tersebut harus memperhatikan asas-asas hukum acara

pidana, yaitu : asas legalitas, eguality before the law atau perlakuan yang sama

didepan hukum, presumption of innocent atau asas praduga tak bersalah, asas

peradilan cepat, sedernaha, dan biaya ringan, asas tersangka berhak mendapatkan

bantuan hukum, asas pengadilan memeriksa perkara dengan menghadirkan

terdakwa kecuali atas putusan vertek atau inabsentia . asas peradilan terbuka

untuk umum kecuali mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak

15

Page 16: Artikel Kdrt

( http;www.negarahukum.com/hukum/sumber-dan-asas-hukum-acara-

pidana.html).

Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum

apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum ( Pasal 195 KUHAP).

Kemudian ketentuan Pasal 196 menetapkan:

(1). Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal

undang-undang ini menentukan lain.

(2) Dalam hal terdapat lebih dari seorang terdakwa dalam satu perkara, putusan

dapat diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang ada.

(3) Segera sesudah putusan pemidanaan diucapkan, bahwa hakim ketua sidang

wajib memberitahukan kepada terdakwa tentang segala apa yang menjadi haknya,

yaitu :

a. hak segera menerima atau segera menolak putusan;

b. hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak

putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini;

c. hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang

ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia

menerima putusan;

d. hak. minta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang waktu

yang ditentukan oleh undang-undang ini, dalam hal ia menolak putusan;

e. hak mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam

tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini.

Selama proses pemeriksaan mulai dari penyelidikan setiap saksi dan

korban berhak mendapatkan perlindungan , sebagaimana diatur dalam Pasal 21

sampai Pasal 38 Undang-undang no.23 Tahun 2004 berupa:

1. perlindungan sementara di kantor kepolisian,

2. pelayanan kesehatan akibat KDRT,

3. mendapatkan tempat tinggal alternatif atau rumah aman,

4. mendapatkan pelayanan dari relawan pendamping,

5. mendapatkan pelayananan konseling dari pekerja sosial atau rohanian,

6. mendapatkan advokad,

16

Page 17: Artikel Kdrt

7. melaporkan secara lansung KDRT kepada Kepolisian,

8. memberikan surat kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk

melaporkan KDRT kepada Kepolisian.

Kemudian dengan diundangkannya Undang-undang no.13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban, pada Pasal 5 mengatur tentang hak korban:

a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta

bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan,

sedang, atau telah diberikannya;

b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan

dukungan keamanan;

c. memberikan keterangan tanpa tekanan;

d. mendapat penerjemah;

e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;

f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;

g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;

h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;

i. mendapat identitas baru;

j. mendapatkan tempat kediaman baru;

k. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;

l. mendapat nasihat hukum; dan/atau

m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan

berakhir.

Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/atau

korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan keputusan Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban yang lazim disebut LPSK. Biaya yang diperlukan

untuk pelaksanaan tugas LPSK dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara ( Pasal 27 UU no.13 Tahun 2006). Oleh sebab itu korban KDRT

yang ingin mendapatkan bantuan biaya perlindungan, harus terlebih dahulu

mengajukan permohonan secara tertulis ke LPSK.

Apabila penyelesaian kasus KDRT hanya secara litigasi saja, tentu akan

berakibat menumpuknya perkara di pengadilan, memerlukan biaya lebih banyak

17

Page 18: Artikel Kdrt

dari nonlitigasi, memerlukan waktu yang lebih lama, hubungan para pihak setelah

keputusan hakim tidak kondusif dan dapat berakibat perceraian, lagi pula sering

pihak yang kalah tidak merasa puas dengan keputusan hakim.

C. PENUTUP

Kesimpulan

1. Bentuk penyelesaian kasus KDRT secara non litigasi yaitu melalui negosiasi

atau mediasi penal, dapat dilakukan sebagai langkah awal penyelesaian kasus

kekerasan seksual, kekerasan psikis, penelantaran rumah tangga, sedangkan

penyelesaian kasus kekerasan fisik lebih baik diselesaikan secara litigasi,

karena kekerasan fisik termasuk salah satu tindak pidana penganiayaan.

Keuntungan penyelesaian secara non litigasi adalah rahasia rumah tangga

dapat tersimpan, waktu penyelesaian cepat, biaya relatif lebih murah,

hubungan suami istri bisa terbina baik kembali.

2. Bentuk penyelesaian kasus KDRT secara litigasi, dapat dilakukan dalam hal

penyelesaian secara non litigasi tidak memperoleh mufakad, atau tidak pernah

dilakukan penyelesaian secara non litigasi karena pertimbangan beratnya

resiko yang dialami korban, atau adanya unsur tindak pidana penganiayaan.

Proses penyelesaian secara litigasi berawal dari pengaduan pihak korban ke

Kepolisian sampai dengan adanya keputusan hakim yang mempunyai

kekuatan hukum yang tetap. Selama proses penyelesaian litigasi, sikorban

mendapatkan perlindungan hak yang diatur dalam Undang-undang no. 23

Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan

Undang-undang no.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Saran

1. Kepada dewan legislatif, agar dapat merevisi Undang-undang no. 23

Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,

dengan memuat norma hukum penyelesaian sengketa KDRT diluar

pengadilan dalam perundang-undangan.

2. Setiap peristiwa KDRT, sikorban terlebih dahulu memikirkan kemana ia

bisa menyelesaikan kasus yang dialaminya. perlu ada pertimbangan

18

Page 19: Artikel Kdrt

lembaga penyelesaian yang dipilih berdasarkan resiko yang dialami

sikorban, efektifitas berperkara, kesetaraan gender, hubungan suami istri

kedepannya.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan( Judicialprudence) Termasuk Interprestasi Undang-undang ( Legisprudence), Vol.1, Kencana Prenada Media Group, Jakarta ..

Joni Emirzon, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, PT. Gramedia Pustaka Utama , Jakarta.

Malkani, 2012, Dilematis Pemeriksaan Tersangka Oleh Penyidik Terhadap Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Polres Bukitinggi, Artikel Tesis. Program Kerjasama Pascasarjana Universitas Andalas Dengan Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat Padang.

Liliana T dan Krismi Tedjosaputra dan Krismiyarsi, 2012, Kebijakan penanggulangan Kejahatan Melalui Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Tindak Pidana KDRT, dalam Jurnal Kriminologi Indonesia Vol.8 No.1 Mei 2012: 052-063 .

Syahrizal Abbas,2011, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Lili Tedjosaputro dan Krismiyarsi, Kebijakan penanggulangan Kejahatan Melalui Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Tindak Pidana KDRT, dalam Jurnal Kriminologi Indonesia Vol.8 No.1 Mei 2012: 052-063

Nur Herawati, Penangan Kasus Kekerasan Belum Memenuhi Rasa Keadilan , Kompas, 23 Desember 2010,.

Trisno Raharjo, Mediasi Pidana Dalam Ketentuan Hukum Pidana Adat, Jurnal Hukum No.3 Vol.17 Juli 2010.

Satu Dasawarsa Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga (UU PKDRT) dapat diakses melalui

http://www.komnasperempuan.or.id/2014/09/satu-dasawarsa-undang-

undang-penghapusan-kekerasan-dalam-rumah-tangga-uu-pkdrt/

Hasan Ramadhan, Kekerasan Rumah Tangga, Maskulinitas Traditional Dorong Terjadi KDRT. Kompas 12 Juni 2013

19