usulan perbaikan atas ruu anti kdrt yang diusulkan oleh...

33
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net www.parlemen.net USULAN PERBAIKAN Atas RUU Anti KDRT yang diusulkan oleh Badan Legislatif DPR Perumusan difasilitasi oleh: Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Forum Parlemen Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan 6 Mei 2003 sekretariat: JI Latuharhari 4B Jakarta Pusat, Telp/Fax: 021-3903963/021-3903922

Upload: phungtuong

Post on 08-May-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

USULAN PERBAIKAN

Atas

RUU Anti KDRT yang diusulkan oleh

Badan Legislatif DPR

Perumusan difasilitasi oleh:

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap

Perempuan

dan

Forum Parlemen Indonesia untuk

Kependudukan dan Pembangunan

6 Mei 2003

sekretariat: JI Latuharhari 4B Jakarta Pusat,

Telp/Fax: 021-3903963/021-3903922

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Pengantar

Rumusan Perbaikan atas RUU Anti KDRT versi Baleg ini merupakan has il kerja dari tim kecil yang dibentuk oleh Komnas Perempuan dan Forum Parlemen Indonesia Untuk Kependudukan dan Pembangunan, sejak 21 Januari 2003 sampai 27 April 2003. Tim Kecil terdiri dari:

01 Hj. Aisyah Hamid Baidlowi Komisi VII – DPR RI

02 Dr. Surya Candra Surapaty Komisi VII – DPR RI

03 Rochmulyati Komisi VII – DPR RI

04 Suparno, SH Mahkamah Agung

05 Abdul Wahid Departemen Kehakiman dan HAM

06 Mahmud Azis (Departemen Kehakiman dan HAM – pengganti)

07 Syafril Nazar Kantor Menteri Pemberdayaan Perempuan

08 AKPB. Herti Sudinar Mabes Polri

09 Evi Permatasari Mitra Perempuan

10 Rahmadiana Mitra Perempuan – pengganti

11 Ratna Bataramunti LBH Apik Jakarta

12 Rita Serena Kolibonso Komnas Perempuan

13 Mely G Tan Komnas Perempuan

14 Ermalena Forum Parlemen Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan

15 Dr. Sulistyowati Irianto Akademisi F Hukum Universitas Indonesia

Kesekretariatan

1 Wiharti Komnas Perempuan

2 Dannielle Samsoeri Komnas Perempuan

3 Elda Forum Parlemen Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan

Dan beberapa pihak lain yang turut mendukung pembahasan rumusan ini. Kepadanya kami sampaikan terima kasih. Jakarta, 6 Mei 2003

Komnas Perempuan

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR ... TAHUN... TENTANG

ANTI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa setiap warga negara berhak merasa aman dan bebas dari segala bentuk

kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang -Undang Dasar 1945 serta cita-cita untuk penghapusan segala bentuk kekerasan, khususnya kekerasan dalam rumah tangga, di bumi Indonesia;

b. bahwa segala bentuk kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap eksistensi kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus sesuai dengan Konvensi Internasional maupun Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak-hak asasi manusia dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan;

c. bahwa perempuan yang merupakan jumlah korban terbesar dari kekerasan dalam rumah tangga, mempunyai hak atas rasa aman dan mendapatkan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu;

d. bahwa perempuan berhak bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia berdasarkan asas penghormatan terhadap hak-hak perempuan, asas keadilan dan kesetaraan gender, serta asas anti diskriminasi;

e. bahwa dalam kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi, sedangkan sistem hukum dan sistem sosial budaya di Indonesia tidak menjamin perlindungan terhadap perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga;

f. bahwa dengan adanya globalisasi, terbukanya informasi, dan kemajuan teknologi jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga yang tercatat bertambah;

g. bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga memiliki tiga hak utama yakni hak atas kebenaran, keadilan, dan reparasi;

h. bahwa ber dasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g, perlu dibentuk Undang-undang tentang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga;

Mengingat: 1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D,

Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, dan Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Republik Indonesia II Nomor 9) jo. Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660) yang telah beberapa kali diubah dan ditambah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3849)

3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019);

4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 304) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3890);

5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209);

6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3277);

7. Undan g-undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera (Lembaran Negara Republik Tahun 1992 Indonesia Nomor 35 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3475);

8. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 164, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3783);

9. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);

10. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindung an Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4235);

Dengan persetujuan bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG ANTI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA.

BABI KETENTUAN UMUM

Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seorang perempuan

dan pihak yang tersubordinasi Iainnya, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, ekonomi dan atau psikologis, termasuk ancaman untuk

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, dalam Iingkup rumah tangga.

2. Kekerasan fisik adalah setiap perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, cedera, Iuka atau carat pada tubuh seseorang, gugurnya kandungan, pingsan dan atau menyebabkan kematian.

3. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

4. Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pelecehan seksual, pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar atau tidak disukai, pemaks aan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu.

5. Pelecehan seksual adalah setiap perbuatan berupa menyampaikan gurauan tidak senonoh pada seseorang yang dirasakan sangat menyakitkan hati dan membuat malu; mengajukan pertanyaan tentang kehidupan seksual atau kehidupan pribadi seseorang; menyenggol, meraba atau memegang bagian tubuh seseorang tanpa seizin yang bersangkutan dalam berbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaannya.

6. Kekerasan ekonomi adalah setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian secara ekonomi dan terlantarnya anggota keluarga dan atau menciptakan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja di dalam atau di luar rumah, tidak memberi nafkah, meniadakan akses dan kontrol terhadap sumber-sumber ekonomi, dan menelantarkan anggota keluarga.

7. Lingkup rumah tangga adalah: a. pasangan atau mantan pasangan di dalam maupun di luar perkawinan; b. orang -orang yang mempunyai hubungan keluarga karena darah, perkawinan,

adopsi dan hubungan adat dan atau agama; c. orang yang bekerja membantu kehidupan rumah tangga orang lain yang menetap

atau tidak di sebuah rumah tangga; d. orang yang masih tinggal dan atau pernah tinggal bersama.

8. Pelaku adalah orang yang melakukan perbuatan kekerasan dalam lingkup rumah tangga. 9. Korban adalah seorang perempuan dan atau pihak lain yang tersubordinasi dalam rumah

tangga sebagaimana dimaksud pada pasal 1 butir 7 mengalami kekerasan dalam lingkup rumah tangga.

10. Rumah aman adalah tempat tinggal sementara yang digunakan untuk memberikan perlindungan terhadap korban sesuai standar rumah aman berdasarkan tujuan Undang-undang ini.

11. Tempat tinggal alternatif adalah tempat tinggal korban yang terpaksa ditempatkan untuk dipisahkan dan atau dijauhkan dari pelaku.

12. Tempat tinggal bersama adalah tempat tinggal korban dan pelaku yang sedang atau pernah tinggal bersama.

13. Perintah perlindungan adalah perintah yang dikeluarkan oleh Pengadilan untuk memberikan perlindungan pada korban.

14. Perlindungan adalah segala perbuatan yang ditujukan untuk memberikan rasa aman yang dilakukan oleh pihak kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga sosial, atau pihak lain yang mengetahui atau mendengar akan atau telah terjadi kekerasan dalam rumah tangga.

15. Perlindungan sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan atau lembaga sosial atau pihak lain sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

16. Perintah pembatasan gerak sementara adalah perintah yang dikeluarkan oleh pengadilan untuk membatasi gerak pelaku sebelum pemeriksaan dilakukan guna mencegah berlangsungnya tindakan kekerasan dalam rumah tangga.

17. Pendampingan adalah seluruh upaya yang terpadu untuk memulihkan kondisi korban meliputi konseling, terapi dan advokasi, guna penguatan dirinya.

18. Pendamping adalah orang dari kepolisian, kejaksaan, advokat, petugas medis, konselor, pekerja sosial, pekerja sosial kesehatan atau relawan pendamping, yang mempunyai keahlian untuk melakukan pendampingan korban.

19. Pemohon adalah korban, kepolisian, penyedia layanan pendampingan , atau pendamping korban, yang mengajukan permohonan perintah perlindungan.

20. Saksi adalah setiap orang yang melihat, mendengar dan atau mengalami akan atau telah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, dan atau pelayan kesehatan, pendamping atau orang yang ahli di bidangnya berkaitan dengan penanganan kekerasan dalam rumah tangga.

21. Pengadilan adalah pengadilan negeri yang berwenang memeriksa dan memutus perbuatan kekerasan dalam rumah tangga.

22. Pelayanan darurat adalah pelayanan yang diberikan sesegera mungkin kepada korban ketika melihat, mendengar dan mengetahui akan, sedang atau telah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

23. Pekerja sosial adalah orang yang memberikan pelayanan pemulihan korban, kesehatan dan atau konseling di pusat kesehatan atau di pusat krisis yang disediakan oleh pemerintah dan atau masyarakat (non pemerintah).

24. Pekerja sosial kesehatan adalah pekerja sosial yang memberikan konseling di unit-unit kesehatan.

25. Relawan pendamping adalah orang atau pekerja sosial di masyarakat yang mempunyai keahlian untuk melakukan pendampingan bagi korban kekerasan.

BAB II

ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2 (1) Asas yang melandasi Undang-undang ini adalah:

a. penghormatan terhadap perempuan; b. kesetaraan dan keadilan gender; c. anti diskriminasi; dan

d. perlindungan bagi korban. (2) Tujuan Undang-undang ini adalah:

a. menyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan;

b. menegaskan hak-hak korban dan kewajiban serta tanggung jawab pemerintah dan masyarakat;

c. menghapus kekerasan dalam rumah tangga sebagai upaya penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan; dan

d. memajukan tindakan afirmatif terhadap berbagai aspek kehidupan perempuan.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

BAB III

LARANGAN PERBUATAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Pasal 3

Setiap orang dilarang melakukan perbuatan dalam rum ah tangga berupa kekerasan fisik yang dapat mengakibatkan:

a. rasa sakit; b. cedera; c. luka; d. cacat; e. gugur kandungan; f. pingsan; dan atau

g. kematian,

Pasal 4

Setiap orang dilarang melakukan perbuatan dalam rumah tangga berupa kekerasan psikis yang mengakibatkan: a. ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan rasa

tidak berdaya; dan atau b. penderitaan psikis berat atau gangguan jiwa pada korban .

Pasal 5 Setiap orang dilarang melakukan kekerasan seksual dalam rumah tangga yang berupa: a. pelecehan seksual;

b. pemaksaan hubungan seksual; c. pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai; d. pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan

tertentu; atau e. perusakan organ reproduksi perempuan.

Pasal 6

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan ekonomi dalam rumah tangga yang dapat mengakibatkan: a. kerugian ekonomi; b. ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja di

dalam atau di luar rumah; c. terjadinya eksploitasi di dal am atau di luar rumah;

d. terlantarnya anggota keluarga .

BAB IV HAK-HAK KORBAN

Pasal 7

(1) Korban berhak mendapatkan perlindungan dari individu, kelompok atau lembaga baik pemerintah maupun swasta di tingkat lokal, nasional maupun internasional.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

(2) Korban berhak melakukan tuntutan dan atau gugatan hukum melalui pengadilan dan atau lembaga lainnya yang ada di tingkat lokal, baik nasional maupun internasional.

(3) Korban berhak mendapatkan pelayanan darurat dan pelayanan lainnya. (4) Korban berhak mendapatkan penanganan secara rahasia.

(5) Korban berhak atas informasi dan terlibat dalam setiap proses pengambilan keputusan berkaitan dengan pendampingan dan penanganan kasusnya.

(6) Korban berhak untuk mendapatkan jaminan atas haknya yang berkaitan dengan statusnya sebagai istri, ibu atau anak dan anggota rumah tangga lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7.

(7) Korban berhak untuk mendapatkan pendampingan secara psikologis oleh pekerja sosial dan bantuan hukum yang dilakukan advokat pada setiap tingkat proses peradilan.

(8) Advokat korban dapat mewakili korban di dalam dan di luar pengadilan . (9) Korban berhak mendapatkan kompensasi atas kerugian yang dialaminya.

Pasal 8

Pelayanan darurat sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (3) meliputi:

a. pelayanan medis berupa pemeriksaan kesehatan dan laporan tertulis hasil pemeriksaan berupa visum atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sah sebagai alat bukti;

b. konseling krisis; c. informasi hukum tentang hak korban, kewajiban polisi dan peradilan dalam kaitannya

dengan korban;

d. rumah aman yang memenuhi standar; e. sarana transportasi segera dari rumah korban ke pusat kesehatan, tempat berlindung,

yaitu rumah aman atau tempat tinggal alternatif; dan f. pelayanan darurat lain yang dipandang perlu.

Pasal 9 Pelayanan lainnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (3) meliputi:

a. bimbingan psikologi jangka panjang melalui konseling; b. penitipan anak; c. tunjan gan dan pemberdayaan ekonomi;

d. biaya pendidikan; e. bantuan hukum; f. rujukan ke instansi yang dibutuhkan oleh korban, dan g. pelayanan lain yang dipandang perlu.

BAB V

KEWAJIBAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT

Bagian Kesatu

Kewajiban Pemerintah

Pasal 10

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

(1) Pemerintah berkewajiban:

a. memfasilitasi tersedianya pendamping, pelayanan darurat, dan pelayanan lainnya secara cuma-cuma;

b. memfasilitasi tersedianya ruang pemeriksaan khusus di setiap polisi resort kabupaten atau kota;

c. memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi-saksi keluarga, anggota komunitas dan teman korban ;

d. memfasilitasi tersedianya aparat termasuk konselor, pekerja medis dan pekerja sosial dan pekerja sosial kesehatan;

e. menyelenggarakan pelatihan dan pendidikan sensitif gender dan isu kekerasan terhadap perempuan bagi aparat sebagaimana dimaksud dalam huruf d;

f. membuat akreditasi dan standar pelayanan yang sensitif jender; g. membuat dan mengembangkan sistem dan mekanisme kerjasama program

pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban; h. menyediakan pembiayaan penyediaan fasilitas pelayanan di dalam Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;

i. menjamin sepenuhnya hak korban untuk mendapatkan kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (9).

(2) Penyediaan pelayanan dapat dilakukan bekerjasama dengan program pelayanan non pemerintah.

(3) Ketentuan mengenai akreditasi dan standar pelayanan yang sensitif gender sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f diatur lebih Ianjut dengan peraturan pemerintah.

Bagian Kedua

Kewajiban Masyarakat

Pasal 11 Setiap orang yang menyaksikan dan mendengar terjadinya kekerasan dalam rumah tangga berkewajiban: a. segera memberikan perlindungan kepada korban; b. mendampinginya untuk mendapatkan pelayanan darurat dan pelayanan-pelayanan Iainnya;

c. melaporkan peristiwanya; dan d. membantu proses permohonan dikeluarkannya perintah perlindungan .

Pasal 12 Masyarakat berkewajiban merumus kan dan mengembangkan mekanisme kelembagaan dan standar etika pendampingan bagi korban.

BAB VI

BENTUK PERLINDUNGAN DAN PELAYANAN

Bagian Kesatu

Perlindungan dan Pelayanan Pihak Kepolisian

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Pasal 13

(1) Dalam waktu 1 X 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban tanpa diskriminasi.

(2) Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari.

(3) Dalam waktu 1 X 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.

(4) Perintah perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib disampaikan dalam waktu 1 X 24 (satu kali dua puluh empat) jam kepada korban dan pendampingnya.

Pasal 14

Dalam memberikan perlindungan sementara kepolisian bekerjasama dengan lembaga penyedia Iayanan pendampingan korban.

Pasal 15 Kepolisian wajib memberitahu dengan bahasa yang mudah dimengerti tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan.

Pasal 16 Dalam waktu 1 X 24 (satu kali dua puluh empat) jam kepolisian wajib menyampaikan surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan kepada korban dan pendampingnya.

Pasal 17 Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

Pasal 18

Kepolisian wajib menyampaikan kepada korban dengan bahasa yang mudah dimengerti tentang: a. identitas petugas kepolisian; b. pengertian kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan terhadap kemanusiaan; c. hak-hak korban dan kewajiban-kewajiban kepolisian.

Pasal 19 Dalam memberikan perlindungan dan pelayanan, kepolisian wajib: a. menyediakan sarana transportasi ke rumah sakit atau sarana kesehatan terdekat dan

mendampingi korban untuk mendapatkan pelayanan medis; b. menyediakan sarana transportasi dan mengantar korban ke rumah aman atau tempat

tinggal alternatif;

c. menjamin korban untuk mendapatkan perlindungan dari segala bentuk intimidasi; d. mendampingi dan menjamin korban untuk mendapatkan barang-barang milik korban dan

mengamankan harta bersama dari tindakan penghilangan, pengrusakan dan pengambilan paksa;

e. menjamin dan melindungi barang bukti dari tindakan penghilangan, pengrusakan, dan pengambilan secara paksa;

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

f. melakukan tindakan terhadap pelaku yang melakukan pelanggaran terhadap perintah perlindungan; dan

g. menjamin kerahasiaan dan keselamatan para saksi.

Pasal 20 Dalam hal penyelidikan atau penyidikan kekerasan dalam rumah tangga sedang berlangsung, kepolisian harus mendahulukan penyelesaian perkara kekerasan dalam rumah tangga tersebut, walaupun ada tuntutan balik yang diajukan oleh pelaku.

Bagian Kedua

Perlindungan dan Pelayanan Petugas Medis

Pasal 21 Dalam memberikan perlindungan dan pelayanan petugas medis, wajib: a. memeriksa kesehatan korban; b. membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan dan penyebab dari kondisi korban kekerasan

dalam rumah tangga berupa visum ata u surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagal alat bukti;

c. melaporkan kepada polisi adanya dugaan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga; dan

d. melakukan koordinasi terpadu dalam memberikan layanan kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga-lembaga layanan yang dibutuhkan korban.

Bagian Ketiga

Perlindungan dan Pelayanan Pekerja Sosial

dan Pekerja Sosial Kesehatan

Pasal 22 Dalam memberikan perlindungan dan pelayanan, pekerja sosial dan pekerja sosial kesehatan wajib: a. melakukan konseling krisis untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban; b. memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari

kepolisian dan perintah perlindungan dari pengadilan; c. mengantarkan korban ke rumah aman atau rumah alternatif; d. melaporkan kepada polisi adanya dugaan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga;

dan e. melakukan koordinasi terpadu dalam memberikan Iayanan kepada korban dengan pihak

kepolisian, dinas sosial, lembaga-lembaga Iayanan yang dibutuhkan korban.

Bagian Keempat

Perlindungan dan Pelayanan Relawan Pendamping

Pasal 23

Dalam memberikan perlindungan dan pelayanan, relawan pendamping dapat:

a. menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau beberapa orang pendamping;

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

b. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban untuk secara objektif dan Iengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya;

c. mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban merasa aman didampingi oleh pendamping;

d. memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan phisik kepada korban; e. memantau tindak lanjut polisi, terutama mencermati pasal yang dipilih dalam menyusun

berita acara pem eriksaan, dan dapat memberikan saran kepada polisi bilamana pasal dalam berita acara pemeriksaan dinilai kurang tepat.

f. memantau tindak lanjut Penuntut Umum/Kejaksaan, terutama mencermati pasal yang digunakan penuntut umum dalam penyusunan dakwaan dan tuntutan dan memberikan saran agar korban tidak dirugikan.

g. menggalang dukungan publik melalui media komunikasi bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang layak mendapatkan pidana yang setimpal; dan

h. melakukan koordinasi yang terpadu dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga penyedia Iayanan pendampingan korban dan atau lembaga lain yang dibutuhkan korban.

Bagian Kelima

Peran Advokat dalam Perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Pasal 24

Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan, advokat wajib: a. memberikan konsultasi hukum yang m encakup informasi mengenai hak-hak korban dan

proses peradilan;

b. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara Iengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya;

c. memantau tindak lanjut polisi terutama mencermati pasal -pasal yang digunakan polisi dalam Berita Acara Pemeriksaan;

d. memantau tindak lanjut Penuntut Umum terutama mencermati pasal-pasal yang digunakan Penuntut Umum dalam menyusun dakwaan;

e. melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum lainnya dan relawan pendamping, untuk memastikan agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya.

Bagian Keenam Peran Penuntut Umum dalam Perkara Kekerasan dalam Rumah Tangga

Pasal 25

Dalam hal diajukannya perkara Kekerasan dalam Rumah Tangga, Penuntut Umum wajib: a. menyusun surat dakwaan yang rnemperhatikan dan mengutamakan kepentingan korban

dalam mendapatkan keadilan; b. menunjukkan sikap keberpihakan kepada korban dan tidak mengabaikan kepentingan

korban sesama persidangan berlangsung;

c. mengupayakan semaksimal mungkin dalam mengajukan tuntutan hukum agar mencerminkan rasa keadilan dan keberpihakan kepada korban;

d. menggunakan upaya hukum yang ada, untuk memastikan terpenuhinya tuntutan hukum untuk kepentingan korban;

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

e. memastikan dilaksanakannya putusan pengadilan dalam waktu sesegera mungkin; dan

f. melakukan koordinasi dengan pendamping dan kepolisian selama proses peradilan agar berjalan sebagaimana mestinya.

Bagian Ketujuh Peran Hakim dalam Perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Pasal 26 Dalam memeriksa perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Hakim wajib: a. menggali lebih jauh tindakan kekerasan dalam rumah tangga, ketika mendengarkan

keterangan korban; b. memastikan bahwa korban telah mendapatkan haknya untuk memperoleh

pendampingan dan perlindungan selama proses persidangan.

Pasal 27 Dalam hal kasus perceraian yang diakibatkan kekerasan dalam rumah tangga, maka hakim dalam menganjurkan perdamaian harus memperhatikan adanya jaminan perlindungan bagi korban.

BAB VII TATA CARA PELAPORAN

Pasal 28 (1) Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga ke

kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.

(2) Korban dapat memberi kuasa kepada keluarga, atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah ta ngga kepada pihak kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.

Pasal 29

Petugas pelayanan kesehatan milik pemerintah atau swasta, dapat melaporkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh korban kepada pihak kepolisian di tempat pelayanan kesehatan itu berada.

Pasal 30

Dalam hal korban belum mencapai umur dewasa, maka laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh atau anak yang bersangkutan.

BAB VIII PERINTAH PERLINDUNGAN

Pasal 31 Ketua pengadilan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain.

Pasal 32

Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat diajukan oleh:

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

a. korban atau keluarga korban;

b. teman korban atau orang lain yang terkait dengan korban; c. kepolisian; d. penyedia layanan; atau e. relawan pendamping.

Pasal 33

(1) Permohonan perintah perlindungan disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan. (2) Dalam hal permohonan diajukan secara lisan, maka panitera pengadilan negeri setempat

wajib mencatat permohonan tersebut. (3) Dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan oleh keluarga, teman, orang lain,

kepolisian atau relawan pendamping, maka korban h arus memberikan persetujuannya. (4) Dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan korban.

Pasal 34

Pengadilan tidak boleh menunda dikeluarkannya surat perintah perlindungan karena adanya penundaan perkara, atau adanya kepentingan untuk mendapatkan penjelasan tentang dikeluarkannya surat perintah perlindungan.

Pasal 35 Surat penetapan perintah perlindungan harus memuat paling kurang hal sebagai berikut: a. penunjukan pihak tertentu untuk memberikan layanan dan perlindungan bagi korban dan

pemeliharaan sementara bagi anak korban; b. bentuk perlindungan dan pihak pemberi perlindungan; c. jenis pembatasan gerak pelaku dalam waktu tertentu selama menunggu pemeriksaan

pokok perkara kekerasan dalam rumah tangga di pengadilan yang meliputi: d. larangan memasuki tempat tinggal bersama; e. larangan memasuki tempat tinggal sementara korban; f. larangan mendekati tempat tinggal korban dalam radius 500 (lima ratus) meter;

g. larangan membuntuti, mengawasi, mengintimidasi korban baik dilakukan oleh pelaku sendiri maupun dengan menyuruh orang lain.

h. perintah kepada pelaku untuk melaksanakan kewajibannya memberikan nafkah kepada korban;

i. pemberian hak mengunjungi anak kepada orang tua, kecuali kunjungan tersebut dapat mengakibatkan keselamatan anak terancam;

j. pembatasan dan pengawasan kunjungan orang tua kepada anak antara lain berkenaan dengan waktu, tempat, lama kunjungan atau penolakan kunjungan, dalam hal kunjungan tersebut akan membahayakan keselamatan anak.

k. Penyediaan tenaga pengawas untuk mengawasi keselamatan anak, jika pengadilan menilai keamanan korban atau anak terancam atas kunjungan tersebut.

l. pemberian izin sementara atas kepemilikan harta bersama kepada korban dan pembatasan kepada kedua belah pihak untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama tersebut.

m . perintah untuk melaporkan kepada pengadilan terhadap semua pemindahan, pengaturan keuangan, beban, dan pembayaran berkaitan dengan harta bersama.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Pasal 36

(1) Perintah Perlindungan diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun (2) Perintah Perlindungan dapat diperpanjang atas penetapan pengadilan (3) Permohonan perpanjangan Perintah Perlindungan diajukan 7 (tujuh) hari sebelum

berakhir masa berlakunya

BAB IX

PERUBAHAN PERINTAH PERLINDUNGAN

Pasal 37 (1) Atas permintaan korban, pengadilan dapat mengubah perintah perlindungan, yaitu:

a. mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus dari perintah perlindungan; b. menetapkan suatu kondisi khusus;

c. mengubah atau membatalkan kesepakatan mengenai harta bersama. (2) Perubahan perintah perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan

bersama-sama dengan proses pengajuan perkara kekerasan dalam rumah tangga.

Pasal 38 (1) Pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan perintah perlindungan.

(2) Dalam pemberian tambahan perintah perlindungan, pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari korban, petugas medis, pekerja sosial, pekerja sosial kesehatan, dan atau relawan pendamping.

BAB X

PELANGGARAN TERHADAP

PERINTAH PERLINDUNGAN

Bagian Kesatu Kewenangan Untuk Menahan

Pasal 39

(1) Kepolisian dapat menangkap untuk selanjutnya melakukan penahanan tanpa surat perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi itu bertugas.

(2) Penangkapan dan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberikan surat-perintah penangkapan dan penahanan setelah 1 X 24 (satu kali dua puluh empat) jam.

(3) Penangguhan penahanan tidak berlaku terhadap penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

Pasal 40

Pihak kepolisian dalam melakukan penahanan wajib mempertimbangkan hal sebagai berikut: a. risiko terhadap keselamatan setiap orang yang dilindungi kalau penahanan tersebut tidak

dilakukan;

b. keseriusan dari pelanggaran yang dituduhkan terhadap pelaku atas perintah perlindungan tersebut;

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

c. lamanya penahanan sejak pelanggaran yang dinyatakan itu terjadi;

d. pengaruh penahanan terhadap orang atau keadaan lain.

Bagian Kedua Tata Cara Pelaporan

Pelanggaran Perintah Perlindungan

Pasal 41 (1) Korban, polisi, penyedia layanan, atau relawan pendamping dapat mengajukan laporan

secara tertulis tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap perintah perlindungan. (2) Dalam hal pengadilan mendapatkan laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), maka pelaku diperintahkan menghadap dalam waktu 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam guna dilakukan pemeriksaan.

(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh pengadilan di daerah mana pelaku pernah tinggal bersama korban pada waktu pelanggaran diduga terjadi.

Pasal 42

(1) Apabila Pengadilan mengetahui bahwa pelaku telah melanggar perintah perlindungan dan diduga akan melakukan pelanggaran Iebih lanjut, maka Pengadilan dapat rnewajibkan pelaku untuk membuat pernyataan tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan

(2) Apabila pelaku tetap tidak mengindahkan surat pernyataan tertulis tersebut sebagimana,dimaksud pada ayat (1), pengadilan dapat menahan pelaku paling lama 30 hari

(3) Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai surat perintah penahanan

BAB XI

HUKUM ACARA

Pasal 43

Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap kekerasan dalam rumah tangga dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.

BAB XII

PEMBUKTIAN DALAM PERKARA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Pasal 44 Alat bukti yang sah adalah: a. keterangan saksi:

b. keterangan ahli; c. surat;

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

d. petunjuk;

e. keterangan terdakwa; dan f. barang bukti.

Pasal 45 (1) Saksi terdiri dari:

a. korban,

b. pendamping korban, c. saksi Iainnya

(2) Keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah Iainnya.

Pasal 46

Saksi Ahli terdiri dari: a. dokter, b. psikolog,

c. konselor, d. psikiater, atau e. ahli Iainnya.

BAB XIII

PENGGABUNGAN PERKARA

GUGATAN GANTI KERUGIAN

Pasal 47 (1) Korban dapat mengajukan gugatan ganti kerugian dalam pemeriksaan perkara

kekerasan dalam rumah tangga. (2) Jika suatu perbuatan dalam perkara kekerasan dalam rumah tangga menimbulkan

kerugian bagi korban maka atas permintaan korban, Hakim Ketua sidang dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan tersebut kepada perkara kekerasan dalam rumah tangga.

BAB XIV

KOMPENSASI

Pasal 48

(1) Korban, ahli waris korban, wali korban atau kuasa yang ditunjuk baik secara individual maupun kelompok, berhak menuntut ganti kerugian kepada pelaku atau orang yang bertanggung jawab atas kerugian dan penderitaan yang dialami korban.

(2) Korban, ahli waris korban, wali korban atau kuasa yang ditunjuk berhak menuntut ganti kerugian kepada pemerintah negara Republik Indonesia c.q. instansi yang berwenang dalam penanganan kekerasan dalam rumah tangga, dalam hal tidak terpenuhinya hak korban.

(3) Hak korban atas ganti kerugian berupa kompensasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (9), Pasal 43 ayat (1) dan (2) berdasarkan perhitungan:

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

a. biaya pengobatan dan perawatan medis;

b. harta benda yang diambil, dirusak atau dihancurkan; c. biaya yang diperlukan sebelum tinggal di rumah aman (shelter); d. biaya transportasi dan pemindahan; e. biaya transportasi selama pendampingan dan penanganan kasus hingga selesai; f. biaya yang dibutuhkan untuk pemulihan korban dalam jangka panjang termasuk

ekonomi;

g. kesakitan atau penderitaan korban, sebagai kerugian immaterial; dan atau h. biaya lain yang diakibatkan dari perbuatan kekerasan dalam rumah tangga

tersebut.

BAB XV

KETENTUAN SANKSI

Bagian Kesatu Jenis Sanksi dan Daluwarsa

Pasal 49

Sanksi terhadap kejahatan kekerasan dalam rumah tangga berupa: a. Pidana pokok yaitu:

1) pidana penjara;

2) pidana kurungan; dan 3) pidana denda.

b. Pidana tambahan berupa:

1) pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;

2) menetapkan pelaku mengikuti program konseIing di bawah pengawasan lembaga tertentu;

3) menetapkan pelaku untuk membayar kompensasi kepada korban.

Pasal 50 Pidana bersyarat dalam pelepasan bersyarat tidak berlaku bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga.

Pasal 51

Ketentuan mengenai daluwarsa tidak berlaku untuk kejahatan dalam rumah tangga.

Bagian Kedua Sanksi Pidana

Pasal 52

Setiap orang yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam:

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

a. Pasal 3 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda paling sedikit Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);

b. Pasal 3 huruf b atau huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah) dan paling banyak Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah);

c. Pasal 3 huruf d, huruf e, atau huruf f dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda paling sedikit Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);

d. Pasal 3 huruf g dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 15 (lima belas) tahun, atau penjara seumur hidup dan denda paling sedikit Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.00 0,00 (seratus juta rupiah);

Pasal 53

Setiap orang yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana dim aksud dalam: a. Pasal 4 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling

lama 4 (empat) tahun dan denda paling sedikit Rp. 4,000,000,00 (empat juta rupiah) dan paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);

b. Pasal 4 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 4.000.000,00 (em pat juta rupiah) dan paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah);

Pasal 54

Setiap orang yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam: a. Pasal 5 huruf a atau huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat)

tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah) dan paling banyak Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);

b. Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah) dan paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);

c. Pasal 5 huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah) dan paling banyak Rp.75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah);

d. Pasal 5 huruf d dan huruf e dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) ta hun dan denda paling sedikit Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah) dan paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah);

Pasal 55

Setiap orang yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam: a. Pasal 6 huruf a dipidana dengan pida na denda paling sedikit Rp. 4.000.000,00 (empat

juta rupiah) dan paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); b. Pasal 6 huruf b dipidana dengan pidana denda paling sedikit Pp. 4.000.000,00 (empat

juta rupiah) dan paling banyak Rp.75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah); c. Pasal 6 huruf c dan huruf d dipidana dengan pidana denda paling sediki t Rp.

4.000.000,00 (empat juta rupiah) dan paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah);

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Pasal 56

Jika putusan pidana denda sebagaimana diatur dalam undang-undang ini tidak dapat dibayar oleh pelaku, wajib diganti dengan pidana kurungan penganti denda paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun.

Pasal 57

Penjatuhan pidana terhadap segala tindakan kekerasan dalam rumah tangga dalam Undang-undang ini kecuali yang dijatuhi pidana kurungan atau denda tidak lebih dari Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dapat pula dipidana denda dengan pidana tambahan berupa: a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban

dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak -hak dari pelaku; b. menetapkan pelaku wajib mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga

tertentu; dan atau

c. menetapkan pelaku untuk membayar kompensasi kepada korban.

Bagian Ketiga Sanksi Administrasi

Pasal 58

Dalam hal diabaikannya hak korban berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 7, pejabat yang berwenang dapat dikenakan sanksi administrasi paling kurang berupa penurunan pangkat dan jabatan satu tingkat.

BAB XVI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 59

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal ........ PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MEGAWATI SOEKARNOPUTERI

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal ............... SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, BAMBANG KESOWO

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR...

RANCANGAN PENJELASAN

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR....

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

ATAS

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ............. TAHUN .............

TENTANG ANTI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

I. UMUM

Dalam setiap masyarakat yang menganut ideologi patriarkhi, dimana ada relasi gender

yang timpang antara laki-perempuan hampir dapat dipastikan terjadi banyak kasus kekerasan terhadap perempuan termasuk kekerasan dalam rumah tangga. Peluang kekerasan terhadap perempuan ini terjadi oleh karena nilai budaya dan ajaran/tafsir agama yang kemudian dibakukan melalui hukum negara, mendoktrin perempuan (istri, anak perempuan) menjadi subordinat di hadapan laki-laki. Mereka harus tunduk dan patuh melayani suami di dalam rumah tangga. Kondisi inilah yang menyebabkan suami seolah punya "kekuasaan" untuk melakukan kekerasan terhadap pasangannya, terutama ketika isteri dianggap tidak patuh (durhaka/nusyuz). Dengan adanya situasi seperti demikian, tidak heran jika kasus kekerasan dalam rumah tangga terus terjadi dan jumlahnya semakin meningkat dari hari ke hari, sebagaimana yang diberitakan di media elektronik maupun media cetak, juga yang tercatat dalam lembaga-lembaga yang peduli dan menangani kasus-kasus tersebut. Jumlah tersebut belum termasuk kasus-kasus yang tidak dilaporkan karena dianggap sebagai persoalan pribadi atau persoalan rumah tangga, sehingga tidak Iayak dicampuri orang lain termasuk aparat negara (polisi).

Banyak studi juga menunjukan bahwa penganiayaan istri oleh suami berkaitan dengan kedudukan subordinatif kaum perempuan di dalam masyarakat. Perbuatan ini dikategorikan dalam kejahatan seksual yang termasuk sebagai kejahatan terhadap seseorang karena ia berjenis kelamin perempuan. Oleh karena itu kejahatan ini disebut juga sebagai "gender based violence".

Sementara itu seharusnya sistem nilai yang universal yang dianut dalam hukum adalah keadilan, kebenaran, kepastian hukum, kesetaraan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. lagi pula hukum yang dibuat oleh negara seharusnya bukan merupakan produk politik tertentu. Namun kenyataannya, kondisinya tidaklah demikian, karena hukum pidana yang berlaku masih hukum warisan Jaman penjajahan Belanda yang masih menganut system nilai yang patriarkis. Dan pemerintah Indonesia sampai sekarang; walaupun sudah hampir dua dekade meratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan belum mengubah hukum -hukum yang ada untuk disesuaikan sebagaimana yang diharuskan dalam konvensi tersebut.

Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa pada tahun 1993 merupakan rujukan yang tepat untuk membenahi peraturan yang terkait dengan kekerasan terhadap perempuan pada umumnya dan kekerasan dalam rumah tangga khususnya. Dalam bagian menimbang deklarasi tersebut dikemukakan beberapa hal yang melatar belakangi Deklarasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan di tingkat internasional. Di antara hal-hal tersebut, yang utama adalah tentang "perlunya definisi yang jelas dan menyeluruh tentang kekerasan terhadap perempuan".

Adapun Pasal-pasal yang penting untuk dirujuk dan berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga mengemukakan: 1. mengenai definisi yang memang bukan spesifik definisi kekerasan, ada unsur atau

kalimat kunci yang penting yang dapat digunakan dalam memberikan definisi kekerasan dalam undang-undang ini, yaitu unsur atau kalimat kunci yang dimaksud adalah: "penderitaannya secara fisik, seksual dan atau psikologis".

2. batasan yang lebih rinci mengenai wujud perbuatannya dan lokasi perbuatan dilakukan.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

3. hak perempuan untuk memperoleh perlindungan di berbagai bidang kehidupan dan tidak mengalami penganiayaan atau kekejaman lain, perlakuan atau penyiksaan secara tidak manusiawi atau sewenang-wenang.

4. memberikan kewajiban pada negara untuk mengutuk kekerasan terhadap perempuan dan secepatnya membuat kebijakan untuk menghapuskannya.

5. memberikan batasan rinci dan lokasi rinci tentang terjadinya kekerasan terhadap perempuan harus dilakukan karena peraturan yang mengatur kekerasan dalam rumah tangga harus mempunyai perspektif ke depan, yakni kehidupan yang akan datang dimana perempuan akan mendapatkan kesempatan kerja semakin besar di bidang publik, maka kemungkinan di rumah menjadi lebih kecil dan kekerasan non fisik atau psikologis lebih besar kemungkinannya.

Memberikan batasan rinci dan lokasi rinci tentang terjadinya kekerasan terhadap

perempuan harus dilakukan karena peraturan yang mengatur kekerasan dalam rumah tangga harus mempunyai perspektif ke depan, yakni kehidupan yang akan datang dimana perempuan akan mendapatkan kesempatan kerja semakin besar di bidang publik, maka kemungkinan di rumah menjadi lebih kecil dan kekerasan non fisik atau psikologis lebih besar kemungkinannya.

Secara implisit pasal -pasal dalam Undang-Undang Dasar yang telah diamandemen dapat digunakan sebagai rujukan untuk perlindungan terhadap perempuan, seperti Pasal 28G ayat (1) tentang hak atas "rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat", Pasal 28 H ayat (2) tentang hak untuk "memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan"; hak atas "bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu". Untuk melaksanakan hal itu Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) mengamanatkan tentang upaya pembaharuan hukum dengan mengubah hukum-hukum nasional yang diskriminatif terhadap perempuan dan yang mengandung ketidakadilan gender.

Pembaharuan hukum yang berpihak pada perempuan memang sangat diperlukan dengan banyaknya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, salah satunya adalah pembaharuan hukum pidana yang selama ini masih menggunakan hukum warisan kolonial sehingga dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat. Berhubung sangat spesifiknya kekerasan dalam rumah tangga ini maka sebaiknya bentuk kekerasan ini dikeluarkan dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan diatur dengan Undang-undang tersendiri sebagaimana dilakukan oleh banyak negara lain. Spesifik karena kekerasan ini terjadi dalam keluarga, berkait dengan masalah-masalah hubungan dalam perkawinan atau keluarga khususnya hubungan dengan isteri pasangan, anak-anak, pembantu rumah tangga maupun anggota keluarga lain (extended family) . Pendekatan yang semata-mata berorientasi pada penghukuman akan menyebabkan kaum perempuan semakin tidak berani melaporkan kekerasan yang dialaminya. Selain itu perlu upaya untuk melakukan perubahan di tingkat aparat penegak hukum agar mereka lebih sensitif dan responsif terhadap kepentingan perempuan harus dilakukan dengan lebih sistematik dan menyeluruh.

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka sudah saatnya disusun Undang-undang tentang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang secara rinci, jelas dan tegas melindungi dan berpihak kepada korban, yakni anggota keluarga terutama perempuan atau pihak-pihak lain yang tersubordinasi dalam lingkup rumah tangga, dengan memperhatikan berbagai situasi yang dihadapi oleh perempuan dan segala kepentingannya. Oleh karenanya dalam undang-undang tersebut harus memperhatikan hal -hal sebagai berikut:

a. Definisi kekerasan Definisi kekerasan dalam rumah tangga secara rinci dan jelas.

b. Lingkup rumah tangga

Batasan atau lingkup rumah tangga juga harus rinci dan secara jelas, serta dapat mencakup kasus-kasus nyata yang terjadi sehari -hari. Sosial budaya masyarakat di Indonesia menunjukkan bahwa yang tinggal di dalam satu rumah tangga bukan

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

hanya keluarga inti, melain ada pembantu rumah tangga, keponakan, adik, ibu mertua dan pihak-pihak lain. Selain itu, berdasarkan adat di berbagai daerah, ada hubungan-hubungan yang secara fisik tidak satu rumah (satu atap) tapi secara psikis dan emosional merupakan satu lingkup rumah tangga.

c. Asas dan tujuan Asas yang melingkupi undang -undang ini merupakan dasar yang harus dicantumkan agar pasal-pasal yang mengatur di dalamnya tidak menyimpang dari asas yang sudah ada. Untuk melindungi korban kekerasan, maka asas-asas berikut merupakan asas-asas yang diharapkan dapat digunakan untuk menjadi pedoman perumusan pasal-pasal, interpretasi dan penegakan hukumnya, nanti. Asas-asas yang dimaksud adalah: penghormatan terhadap perempuan, kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi serta perlindungan bagi korban. Tujuan utama dari undang-undang ini adalah untuk memberikan penyadaran bagi masyarakat maupun aparat bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Tujuan berikutnya adalah penegasan hak-hak korban dan kewajiban serta tanggung jawab pemerintah. Terakhir tujuan utamanya adalah upaya penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.

d. Hak-hak korban Hak-hak korban harus rinci supaya koban punya dasar untuk mengupayakan tidak berlanjutnya kekerasan yang dialami dalam jangka waktu pendek dan pemulihan kehidupannya pada jangka panjang.

e. Kewajiban pemerintah dan masyarakat

Perlindungan terhadap korban tidak akan tercapai tanpa pemerintah memberikan fasilitas -faslitas yang dibutuhkannya. Kewajiban pemerintah ini sebagai konsekuensi dari dua hal: pertama, dari kewajiban yang dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar; kedua, kewajiban ketika meratifikasi konvensi internasional. Dalam pada itu kewajiban pemerintah harus pula bersamaan dengan kewajiban masyarakat, karena aparat pemerintah punya keterbatasan personil untuk dapat mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

f. Tata cara pelaporan Tata cara pengajuan laporan dan tuntutan harus pula diatur dengan cermat dan rinci karena dalam hukum acara yang berlaku belum dapat digunakan untuk mengajukan tuntutan korban kekerasan dalam rumah tangga dengan mudah.

g. Perintah perlindungan Perintah perlindungan merupakan hal baru dalam hukum pidana Indonesia. Selama ini tidak ada peraturan yang mengatur tentang hal tersebut. Padahal dalam kasus -kasus kekerasan dalam rumah tangga, hal tersebut sangat perlu, untuk menghentikan berlanjutnya kekerasan yang dialami korban. Memisahkan pelaku dari korban adalah sangat penting, karena mereka tinggal bersama dalam satu tempat tinggal atau palin g tidak keduanya mempunyai kesempatan untuk dengan mudah dapat bertemu atau berhubungan.

h. Kewenangan menahanan tanpa surat perintah Kewenangan segera menahan tanpa surat perintah hanya berlaku jika pelaku diketahui telah melanggar perintah perlindungan dari pengadilan. Kenyataannya, menunggu surat perintah perlindungan dari pengadilan menempuh prosedur yang relatif Iebih lama (lebih dari tiga hari). Sehingga dikhawatirkan korban tidak dapat diselamatkan dari ancam an berlanjutnya perbuatan pelaku yang mempunyai hubungan dekat dan sangat mudah menjangkau korban.

i. Kompensasi Korban kekerasan dalam rumah tangga seringkali istri atau anggota rumah tangga yang lain yang tidak mempunyai posisi tawar dalam ekonomi keluarga. Kalau tidak diatur tentang kemungkinannya untuk memperoleh kompensasi karena kerugian

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

yang dialaminya, fisik maupun psikis atau tidak adanya kekuasaan terhadap pemilikan harta bersama dalam perkawinan tersebut karena posisinya yang selalu subordinat, sehingga kehidupan selanjutnya akan terlantar. Ap alagi jika ada anggota keluarga lain yang harus ditanggung, misalnya anak, orang tua yang sudah jompo dan pihak-pihak lain yang tergantung kepadanya.

Dengan berbagai perhatian tersebut yang kemudian dieksplisitkan ke dalam pasal-pasal,

diharapkan undang-undang ini dapat memenuhi tujuannya untuk memberikan perlindungan bagi korban dan mengupayakan menghapusan kekerasan terhadap perempuan.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1 Cukup jelas

Pasal 2

Ayat (1) Huruf a

Penghormatan terhadap perempuan adalah penghormatan terhadap harkat dan martabatnya. Penghormatan tersebut sesuai dengan berbagai konvensi internasional dan deklarasi perserikatan bangsa-bangsa yang bertujuan untuk menghapuskan kekerasan yang dialami oleh perempuan;

Huruf b Keadilan adalah apabila setiap orang diperlakukan sama dan memperoleh kesempatan yang sama guna mendapatkan kesempatan, serta kesejahteraan;

Kesetaraan gender adalah sebagai kesamaan hak, kesempatan, manfaat dan pengambilan keputusan antara perempuan dan laki-laki termasuk dalam memasuki k esempatan kerja baik di sektor formal maupun informal;

Huruf c

Cukup Jelas Huruf d

Perlindungan bagi korban merupakan hal yang utama dalam Undang-undang ini, di samping memberikan sanksi kepada pelaku dan mencegah supaya pelaku tidak melakukan kembali kejahatannya.

Ayat (2)

Huruf a Cukup jelas

Huruf b

Cukup jelas Huruf c

Cukup jelas

Huruf d Yang dimaksud dengan tindakan afirmatif adalah suatu upaya proaktif yang dilakukan guna memperbaiki penempatan tenaga kerja atau peluang pendidikan dari anggota kelompok minoritas dan kaum perempuan.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Pasal 3

Yang dimaksud dengan rasa sakit adalah kondisi seseorang mengalam i penderitaan dan menjadi tidak berdaya paling singkat dalam waktu 1 X 24 (satu kali dua puluh empat) jam.

Pasal 4

Huruf a Cukup jelas

Huruf b Yang dimaksud dengan penderitaan psikis berat adalah kondisi yang menunjuk pada terhambatnya kemampuan untuk menikmati hidup, mengembangkan konsepsi positif tentang diri dan orang lain, kegagalan menjalankan fungsi-fungsi manusiawi, sampai pada dihayatinya masalah -masalah psikis serius, misalnya depresi, gangguan trauma, destruksi diri, bahkan hilangnya kontak dengan realitas.

Pasal 5 Huruf a

Cukup jelas

Huruf b Cukup jelas

Huruf c Cukup jelas

Huruf d Yang dimaksud dengan tujuan komersial dan atau tujuan tertentu adalah pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain yang ditujukan untuk mencari keuntungan secara ekonomi, misalnya memaksa isteri atau korban menjadi PSK (pekerja sek komersial)

Huruf e

Yang dimaksud dengan 'perusakan organ reproduksi perempuan' adalah perusakan terhadap organ-organ reproduksi perempuan yang menyebabkan tidak berfungsinya organ tersebut sebagaimana mestinya, misalnya tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 6

Cukup jelas Pasal 7

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2)

Hak ini tidak sampai memberikan hak untuk tidak menuntut pelaku karena kualifikasi dari perbuatan pelaku adalah kejahatan, sehingga penuntutannya bukan jenis delik aduan.

Ayat (3) Cukup jelas

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan penanganan rahasia adalah penanganan untuk melindungi korban ketika proses penuntutan, penyelidikan, penyidikan, pengadilan dan pemutusan belum selesai dilaksanakan, karena dikhawatirkan selama proses tersebut pelaku akan terus melakukan kejahatannya.

Ayat (5) Hak untuk mendapatkan informasi dan terlibat dalam setiap proses ini dapat dipergunakan untuk kepentingan yang menguntungkan korban, tetapi tidak boleh digunakan untuk menarik tuntutannya sepanjang ada bukti bahwa kekerasan dalam rumah tangga tersebut telah terjadi, walaupun dengan alasan demi keharmonisan rumah tangga.

Ayat (6) Cukup jelas

Ayat (7) Pekerja sosial dibolehkan mendampingi korban pada tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan

Ayat (8) Cukup jelas

Ayat (9) Cukup jelas

Pasal 8

Huruf a Cukup jelas

Huruf b

Cukup jelas Huruf C

Cukup Jelas Huruf d

Cukup jelas Huruf e.

yang dimaksud dengan tempat tinggal alternatif misalnya rumah sanak saudara, teman atau pihak lain yang berpihak pada korban.

Pasal 9

Cukup jelas. Pasal 10

Ayat (1) Huruf a

Cukup jelas

Huruf b Cukup jelas

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Huruf c

Perlindungan bagi pendamping diperlukan, karena dalam kenyataan pendamping sering mendapatkan intimidasi atau kekerasan dari pelaku atau keluarga atau teman atau pihak-pihak lain yang berpihak kepada pelaku.

Huruf d Cukup jelas

Huruf e Pelatihan dan pendidikan sensitif gender dan isu kekerasan terhadap perempuan diperlukan untuk Iebih memberikan keahlian dalam mendampingi atau memberikan pelayanan terhadap korban karena kekhususan dan rumitnya permasalahan korban termasuk hubungannya dengan pelaku.

Huruf f

Cukup jelas Huruf g

Cukup jelas

Huruf h Cukup jelas.

Huruf I Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan `Program layanan non pemerintah' adalah pelayanan yang diberikan oleh lembaga sosial masyarakat misalnya Women Crisis Center yang memberikan layanan bagi perempuan korban kekerasan dan lembaga sosial keagamaan. Disamping lembaga sosial masyarakat yang memberikan pelayanan bagi korban KDRT termasuk pula pihak lain, misalnya, tetangga teman kerja dan lain-lain.

Ayat (3)

Cukup jelas Pasal 11

kewajiban yang diberikan bagi setiap orang dalam pasal ini sangat penting karena, nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat mempersepsikan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah urusan dalam rumah tangga tersebut, orang lain tidak berhak turut campur. Persepsi yang demikian harus diubah dengan mensosialisasikan kewajiban masyarakat sebagaimana diatur dalam pasal ini.

Pasal 12 Kewajiban masyarakat dalam merumuskan dan mengembangkan mekanisme tersebut merupakan partisipasinya dalam melindungi korban secara preventif.

Setiap orang atau sekelompok orang boleh menjadi atau membentuk lembaga untuk melakukan pendampingan, karena, pembentukan lembaga pendampingan bukan monopoli pemerintah.

Pasal 13

Cukup jelas

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Pasal 14

Cukup jelas Pasal 15

Yang dimaks ud dengan bahasa yang mudah dimengerti adalah pemberitahuan hak korban dengan cara yang pasti dapat dimengerti oleh pihak korban, misalnya menggunakan bahasa isyarat bagi korban yang tuna rungu.

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas

Pasal 18

Cukup jelas Pasal 19

Cukup jelas

Pasal 20

Yang dimaksud dengan tuntutan balik adalah pelaporan batik pelaku yang membuat korban tidak mau melaporkan kasusnya, karena korban tidak mempunyai saksi atau alat bukti yang lain.

Pasal 21 Yang dimakaud dengan "petugas medis" adalah dokter baik dokter spesialis forensik maupun dokter lainnya yang berwenang untuk mengeluarkan visum atau keterangan medis lainnya.

Pasal 22

Cukup jelas

Pasal 23

Cukup jelas

Pasal 24

Cukup jelas

Pasal 25

Cukup jelas Pasal 26

Cukkup jelas

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Pasal 27

Cukup jelas Pasal 28

Cukup jelas Pasal 29

Cukup jelas Pasal 30

Cukup jelas Pasal 31

Cukup jelas Pasal 32

Cukup jelas Pasal 33

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4) Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" misalnya korban dalam keadaan pingsan, koma atau sangat terancam jiwanya

Pasal 34 Yang dimaksud dengan "adanya kepentingan" adalah apabila pengadilan mencari bukti tentang terjadinya kekerasan sebagai dasar untuk mengeluarkan surat perintah perlindungan yang akan memperlama keluarnya surat perintah tersebut, sehingga kalau hal itu terjadi dikhawatirkan korban akan Iebih menderita atau terancam mati.

Pasal 35 Cukup jelas

Pasal 36

Cukup jelas

Pasal 37 Cukup jelas

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Pasal 38

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Ketentuan tidak diberikannya penangguhan penahanan baik berupa jaminan orang maupun uang sebagai bukti bahwa tindak kejahatan dalam rumah tangga yang merupakan tindak kejahatan terhadap kemanusiaan atau pelanggaran HAM.

Pasal 30 Cukup jelas

Pasal 40 Ayat (1)

Cukup jelas Ayat (2)

Apabila pelaku tidak datang untuk memenuhi perintah, polisi wajib menjemput untuk dilakukan pemeriksaan.

Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42 Dalam pasal ini barang bukti ditetapkan sebagai alat bukti, sehingga mempunyai kedudukan yang sama dengan alat bukti yang lain. Tujuannya adalah agar memperkuat dilakukannya pembuktian, mengingat dalam kenyataan kejahatan dalam rumah tangga merupakan kejahatan yang sulit dibuk.tikan.

Pasal 43

Ayat (1) Huruf a

Penempatan korban sebagai salah satu alat bukti saksi merupakan suatu hal yang perlu dilakukan, karena seringkali kekerasan dalam rumah tangga terus berlangsung walaupun korban telah memperoleh pendampingan. Khususnya dalam hal ini kejahatan dipandang sebagai perbuatan berlanjut (voortgezette handeling).

Huruf b Cukup jelas

Huruf c Cukup jelas

Ayat (2)

Kesaksian seorang korban dalam perkara kekerasan dalam rumah tangga sudah cukup sebagai dasar pembuktian bahwa pelaku (terdakwa) bersalah melakukan

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, namun demikian untuk mengambil putusan (vonis) hakim masih memerlukan alat bukti lainnya.

Pasal 44

Cukup jelas. Pasal 45

Maksud penggabungan gugatan perdata pada perkara pidana kejahatan dalam rumah tangga bertujuan agar gugatan tersebut diperiksa dan diputus sekaligus pada saat yang bersamaan. Ketentuan ini merupakan pelaksanaan dari asas peradilan cepat, sederhana dan berbiaya murah.

Pasal 46

Ayat (1) Hak korban untuk menuntut ganti kerugian kepada pelaku atau orang yang bertangung jawab atas kerugian dan penderitaan yang dialaminya merupakan upaya penempatan posisi korban secara proporsional, karena hingga saat ini dalam hukum pidana korban cenderung hanya diposisikan sebag ai saksi, bukan sebagai pihak. Apabila pelaku perbuatan pidana mendapat perlindungan dengan dalih hak asasi manusia, sementara kepentingan korban yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan pelaku diabaikan. Ini merupakan tindakan yang tidak adil. Oleh karena itu dalam ayat (1) ini pos isi korban ditempatkan secara proporsional di dalam proses hukum pidana yang rrrerupakan bentuk pernyataan bahwa negara juga memperhatikan kepentingan korban.

Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 47

Ayat (1)

Cukup jelas Ayat (2)

Jenis pidana tambahan pada ketentuan ini merupakan cerminan kekhususan kejahatan dalam rumah tangga yang perlu diantisipasi dengan sanksi yang khusus pula

Yang dimaksud dengan "lembaga tertentu" adalah lembaga yang menyediakan konseling layanan bagi pelaku. Misalnya rumah sakit, klinik, kelompok konselor atau dokter yang mempunyai keahlian memberikan konseling bagi pelaku kekerasan selama jangka waktu tertentu .

Pasal 48

Kejahatan dalam rumah tangga bukanlah satu-satunya tindak pidana yang pelakunya tidak diberikan pelepasan bersyarat. Masih ada tindak pidana lain yang pelakunya tidak diberikan pelepasan bersyarat, misalnya tindak pidana korupsi, penyelundupan, perjudian, dan narkotika, karena tindak pidana tersebut dapat menimbulkan keresahan masyarakat.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Pasal 49

Ketentuan tidak diberlakukannya daluwarsa bagi kejahatan dalam rumah tangga didasarkan pada alasan bahwa seringkali kejahatan dalam rumah tangga baru terungkap sekian lama setelah korban mengalaminya. Hal ini disebabkan pada waktu mengalami kejahatan tersebut, korban belum sepenuhnya memahami dampak dari peristiwa yang menimpa dirinya.

Pasal 50 Dalam hukum pidana ada hal-hal yang memperberat ancaman pidana, baik itu yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus. Rumah tangga sebagai lingkup dilakukannya kejah atan merupakan hal yang sifatnya khusus, dan inilah yang dijadikan dasar untuk memperberat ancaman pidananya karena rumah tangga pada dasarnya diharapkan dapat melindungi anggota keluarga, tapi malah dijadikan tempat dilakukannya perbuatan pidana. Oleh karena itu sanksi yang diancamkan kepada pelaku tergolong berat. Lagi pula pada kenyataannya pelaku sering melakukan perbuatannya tidak hanya sekali, tapi selalu berulang kali.

Pasal 52

Cukup jelas.

Pasal 53

Cukup jelas. Pasal 54

Adakalanya keterbatasan kemampuan ekonomi rnelatarbelakangi kesulitan terpidana rnemenuhi kewajibannya untuk membayar denda. Pidana kurungan pengganti merupakan suatu alternatif bagi pem ecahan masalah tersebut.

Pasal 55

Cukup jelas Pasal 56

Prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal ini mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku

Pasal 57 Cukup jelas

Pasal 58 Cukup jelas

Pasal 59

Cukup jelas