peran psikiatri dalam kdrt

39
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Dalam rumah tangga terdapat hubungan sosial antara anggotanya, keluarga juga merupakan unit terkecil masyarakat yang merupakan pengayom kehidupan dan mempunyai fungsi keagamaan, kebudayaan, perlindungan, pembinaan, reproduksi, cinta kasih serta sosialisasi dan pendidikan, ekonomi dan pelestarian lingkungan. Masalah kekerasan dalam rumah tangga bukanlah masalah yang baru. Data tentang tindak kekerasan dalam rumah tangga masih belum banyak terekspos, berbagai kasus tersebut cukup sering terjadi walaupun jarang mengemuka. Selama ini, dalam menyelesaikan kasus kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan UU Perkawinan, sebagian besar korban kekerasan memilih melakukan perceraian, hanya sedikit korban yang bersedia membawa kasusnya diproses secara pidana. Pandangan masyarakat yang menganggap bahwa masalah kekerasan dalam rumah tangga adalah urusan suami isteri yang bersangkutan, yang harus diselesaikan oleh mereka berdua, juga turut memperlambat proses perlindungan terhadap korban. Masyarakat juga berpendapat 1

Upload: dokterlebay

Post on 26-Oct-2015

133 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

referat psikiatri

TRANSCRIPT

Page 1: Peran psikiatri dalam KDRT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram dan

damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Dalam rumah tangga

terdapat hubungan sosial antara anggotanya, keluarga juga merupakan unit terkecil

masyarakat yang merupakan pengayom kehidupan dan mempunyai fungsi

keagamaan, kebudayaan, perlindungan, pembinaan, reproduksi, cinta kasih serta

sosialisasi dan pendidikan, ekonomi dan pelestarian lingkungan. Masalah kekerasan

dalam rumah tangga bukanlah masalah yang baru. Data tentang tindak kekerasan

dalam rumah tangga masih belum banyak terekspos, berbagai kasus tersebut cukup

sering terjadi walaupun jarang mengemuka. Selama ini, dalam menyelesaikan kasus

kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan UU Perkawinan, sebagian besar korban

kekerasan memilih melakukan perceraian, hanya sedikit korban yang bersedia

membawa kasusnya diproses secara pidana. Pandangan masyarakat yang

menganggap bahwa masalah kekerasan dalam rumah tangga adalah urusan suami

isteri yang bersangkutan, yang harus diselesaikan oleh mereka berdua, juga turut

memperlambat proses perlindungan terhadap korban. Masyarakat juga berpendapat

bahwa campur tangan pihak lain seperti masyarakat maupun pemerintah dianggap

tidak lazim.1,2,3

Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan KeTuhanan yang

Maha Esa, dijamin oleh pasal 29 UUD Negara RI tahun 1945, dengan demikian

setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan kewajibannya

harus didasari oleh agama. Hal ini perlu ditumbuhkembangkan dalam rangka

membangun keutuhan rumah tangga. Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan

tersebut sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama

kadar kualitas perilaku dan pengendalian dari setiap orang dalam lingkup rumah

tangga tersebut. Negara menyatakan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama dalam

rumah tangga adalah pelanggaran hak azasi manusia dan kejahatan terhadap martabat

1

Page 2: Peran psikiatri dalam KDRT

kemanusiaan serta bentuk diskriminasi. Untuk mencegah, melindungi korban dan

menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib

melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan

falsafah Pancasila dan UUD Negara RI tahun 1945. Menyadari kenyataan banyaknya

kasus kekerasan dalam rumah tangga dan perlunya perlindungan terhadap HAM,

maka Pemerintahan Indonesia telah melahirkan UU No.23 tahun 2004 tentang

penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Dengan disahkannya UU No. 23 tahun

2004 ini, diharapkan kaum perempuan bisa lebih leluasa mengaktualisasikan dirinya

tanpa bayang-bayang kekerasan. Undang-undang ini akan melengkapi dasar hukum

yang dipakai untuk menangani dan menyelesaikan kasus-kasus kekerasan dalam

rumah tangga yang selama ini banyak merugikan kaum perempuan. Undang-undang

tersebut akan merubah pandangan masyarakat terhadap masalah-masalah kekerasan

dalam rumah tangga.2,3,4

Dalam deklarasi HAM PBB ditegaskan bahwa setiap orang berhak atas hak

azasi dan kebebasan tanpa pembedaan ras dan jenis kelamin. HAM adalah hak yang

diberi Tuhan sehingga bersifat kodrati, dimana tidak ada suatu kekuasaan apapun di

dunia dapat mencabutnya. Meskipun demikian bukan bebarti orang dapat berbuat

semaunya, sebab bila seseorang telah melanggar hak azasi orang lain maka ia harus

mempertanggungjawabkannya, dan kekerasan dalam rumah tangga pada dasarnya

adalah tindakan melawan hak azasi manusia. Kekerasan dalam rumah tangga adalah

cerminan dari ketidakberhargaan perempuan dimata suaminya dan penghinaan

terhadap harkat dan martabat perempuan yang harus dijamin hak-hak azasinya. 2,3,4

2

Page 3: Peran psikiatri dalam KDRT

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang

terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara

fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman

untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara

melawan hokum dalam lingkup rumah tangga.2,3,4,5

2.2 Lingkup Rumah Tangga

Yang termasuk cakupan rumah tangga menurut Pasal 2 UUPKDRT adalah: 2,3,4,5

Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri).

Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana

disebutkan di atas karena hubungan darah, perkawinan (misalnya mertua,

menantu, ipar, dan besan), persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang

menetap dalam rumah tangga.

Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga

tersebut, dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang

bersangkutan.

2.3 Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga2,3,4,5

1. Kekerasan Fisik, yakni perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit,

atau luka berat (Pasal 6). Adapun kekerasan fisik dapat diwujudkan dengan

perilaku di antaranya: menampar, menggigit, memutar tangan, menikam,

mencekek, membakar, menendang, mengancam dengan suatu benda atau senjata,

dan membunuh. Perilaku ini dapat membuat anak-anak menjadi trauma sehingga

mereka merasa tidak nyaman dan aman dalam hidupnya.

3

Page 4: Peran psikiatri dalam KDRT

2. Kekerasan Psikis, yakni perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya

rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya,

dan/ atau penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7). Adapun tindakan

kekerasan psikis dapat ditunjukkan dengan perilaku yang mengintimidasi dan

menyiksa, memberikan ancaman kekerasan, mengurung di rumah, penjagaan

yang berlebihan, ancaman untuk melepaskan penjagaan anaknya, pemisahan,

mencaci maki, dan penghinaan secara terus menerus.

3. Kekerasan Seksual, yakni setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan

seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak

disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial

dan/atau tujuan tertentu (pasal 8) yang meliputi:

Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap

dalam lingkup rumah tangga tersebut.

Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah

tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

4. Penelantaran Rumah Tangga, yakni seseorang yang menelantarkan orang

dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya

atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,

perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran

juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi

dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam

atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut

(pasal 9). Penelantaran rumah tangga dapat dikatakan dengan kekerasan

ekonomik yang dapat diindikasikan dengan perilaku di antaranya seperti :

penolakan untuk memperoleh keuangan, penolakan untuk memberikan bantuan

yang bersifat finansial, penolakan terhadap pemberian makan dan kebutuhan

dasar, dan mengontrol pemerolehan layanan kesehatan, pekerjaan, dan

sebagainya.

4

Page 5: Peran psikiatri dalam KDRT

2.4 Penyebab Terjadinya KDRT1,2,3

Zastrow & Browker (1984) menyatakan bahwa ada tiga teori utama yang

mampu menjelaskan terjadinya kekerasan, yaitu teori biologis, teori frustasi-agresi,

dan teori kontrol.

Pertama, teori biologis menjelaskan bahwa manusia, seperti juga hewan,

memiliki suatu insting agresif yang sudah dibawa sejak lahir. Sigmund Freud

menteorikan bahwa manusia mempunyai suatu keinginan akan kematian yang

mengarahkan manusia-manusia itu untuk menikmati tindakan melukai dan

membunuh orang lain dan dirinya sendiri. Robert Ardery yang menyarankan bahwa

manusia memiliki insting untuk menaklukkan dan mengontrol wilayah, yang sering

mengarahkan pada perilaku konflik antar pribadi yang penuh kekerasan. Konrad

Lorenz menegaskan bahwa agresif dan kekerasan adalah sangat berguna untuk

bertahan hidup. Manusia dan hewan yang agresif lebih cocok untuk membuat

keturunan dan bertahan hidup, sementara itu manusia atau hewan yang kurang agresif

memungkinkan untuk mati satu demi satu. Agresi pada hakekatnya membantu untuk

menegakkan suatu sistem dominan, dengan demikian memberikan struktur dan

stabilitas untuk kelompok. Beberapa ahli teori biologis berhipotesis bahwa hormon

sek pria menyebabkan perilaku yang lebih agresif. Di sisi lain, ahli teori belajar

verteori bahwa perbedaann perilaku agresif terutama disebabkan oleh perbedaan

sosialisasi terhadap pria dan wanita.

Kedua, teori frustasi-agresi menyatakan bahwa kekerasan sebagai suatu cara

untuk mengurangi ketegangan yang dihasilkan situasi frustasi. Teori ini berasal dari

suatu pendapat yang masuk akal bahwa sesorang yang frustasi sering menjadi terlibat

dalam tindakan agresif. Orang frustasi sering menyerang sumber frustasinya atau

memindahkan frustasinya ke orang lain, misalnya seorang remaja yang diejek oleh

orang lain mungkin membalas dendam. Seorang pengangguran yang tidak dapat

mendapatkan pekerjaan mungkin memukul istri dan anak-anaknya. Suatu persoalan

penting dengan teori ini, bahwa teori ini tidak menjelaskan mengapa frustasi

mengarahkan terjadinya tindakan kekerasan pada sejumlah orang, tidak pada orang

lain. Diakui bahwa sebagian besar tindakan agresif dan kekerasan nampak tidak

5

Page 6: Peran psikiatri dalam KDRT

berkaitan dengan frustas, misalnya seorang pembunuh yang pofesional tidak harus

menjadi frustasi untuk melakukan penyerangan.

Walaupun teori frustasi-agresif sebagian besar dikembangkan oleh para

spikolog, beberapa sosiolog telah menarpkan teori untuk suatu kelompok besar.

Mereka memperhatikan perkampungan miskin dan kotor di pusat kota dan dihuni

oleh kaum minoritas telah menunjukkan angka kekerasan yang tinggi. Mereka

berpendapat bahwa kemiskinan, kekurangan kesempatan, dan ketidakadilan lainnya

di wilayah ini sangat membuat frustasi penduduknya. Penduduk semua menginginkan

semua benda yang mereka lihat dan dimiliki oleh orang lain, serta tak ada hak yang

sah sedikitpun untuk menggunakannya. Akibatnya, mereka frustasi dan berusaha

untuk menyerangnya. Teori ini memberikan penjelasan yang masuk akal terhadap

angka kekerasan yang tinggi bagi penduduk minoritas.

Ketiga, teori kontrol menjelaskan bahwa orang-orang yang hubungannya

dengan orang lain tidak memuaskan dan tidak tepat akan mudah untuk berbuat

kekerasan ketika usaha-usahnya untuk berhubungan dengan orang lain menghadapi

situasi frustasi. Teori ini berpegang bahwa orang-orang yang memiliki hubungan erat

dengan orang lain yang sangat berarti cenderung lebih mampu mengontrol dan

mengendalikan perilakunya yang impulsif. Travis Hirschi memberikan dukungan

kepada teori ini melalu temuannya bahwa remaja putera yang memiliki sejarah

prilaku agresif secara fisik cenderung tidak memiliki hubungan yang dekat dengan

orang lain. Selain itu juga dinyatakan bahwa kekerasan mengalami jumlah yang lebih

tinggi di antara para eks narapidana dan orang-orang lain yang terasingkan dari

teman-teman dan keluarganya daripada orang-orang Amerika pada umumnya. Setelah

memperhatikan ketiga teori tersebut, variasi kekerasan di masyarakat untuk

sementara ini disebabkan oleh tiga faktor tersebut. KDRT di Indonesia ternyata bukan

sekedar masalah ketimpangan gender. Hal tersebut sering disebabkan oleh karena :

Kurang komunikasi dan ketidakharmonisan.

Alasan ekonomi.

Ketidakmampuan mengendalikan emosi.

Ketidakmampuan mencari solusi masalah rumah tangga.

6

Page 7: Peran psikiatri dalam KDRT

Kondisi mabuk karena minuman keras dan narkoba.

2.5 Pelaku dan Korban Kekerasan4,5

Perempuan sering dilukai dan mengalami kekerasan dalam lingkup personal,

baik dalam kaitannya dengan perannya sebagai istri atau anggota keluarga lain

(missal : anak, adik ipar). Meskipun demikian, kekerasan jenis ini merupakan salah

satu kekerasan yang sangat sulit diungkap antara lain karena:

1. Cukup banyak pihak yang menganggap hal demikian lumrah saja (bahkan

menjadi bagian dari pendidikan yang dilakukan suami pada istri).

2. Konflik dalam rumah tangga sangat sering dilihat sebagai masalah intern

keluarga yang tidak boleh dicampuri orang lain. Pandangan ini diyakini baik

oleh orang-orang luar maupun orang-orang di dalam keluarga itu sendiri.

3. Pelaku maupun korban sangat sering menutup-nutupi kejadian yang

sesungguhnya dari orang lain dengan alasan-alasan yang berbeda.

Pelaku menganggap apa yang terjadi dalam urusan keluarga dan hak

pribadinya orang lain tidak perlu tahu dan tidak berhak campur tangan, sementara

korban merasa sangat malu dengan hal yang terjadi akan menyebabkan kehilangan

kehormatannya bila aib sampai terbuka, oleh karena itu korban berusaha sekuat

tenaga untuk menutupinya bahkan terkesan membela orang yang telah melakukan

kekerasan padanya. Bila kekerasan seksual atau perkosaan oleh orang yang telah

dikenal atau berhubungan dekat dengan korban lebih mungkin terjadi berulang,

demikian pula tindak kekerasan fisik dan psikologis dalam keluarga dan hubungan

intim.

Kekerasan terhadap perempuan dalam hubungan intim mencakup usaha-usaha

dari pasangan untuk mengintimidasi, baik dengan ancaman atau melalui penggunaan

kekuatan fisik pada tubuh perempuan atau barang-barang miliknya. Tujuan dari

serangan tersebut adalah untuk mengendalikan tingkah laku si perempuan, atau untuk

memunculkan rasa takut. Hal yang mendasari semua bentuk kekerasan adalah

ketidakseimbangan kekuasaan dan kekuatan antara pelaku kekerasan dengan

korbannya.

7

Page 8: Peran psikiatri dalam KDRT

1. Pelaku Kekerasan1,4,5

Pelaku adalah seseorang atau beberapa orang yang melakukan tindak

kekerasan dalam rumah tangga. Pelaku kekerasan rumah tangga (dalam berbagai

bentuk kekerasannya) ternyata tidak terbatas pada usia, tingkat pendidikan, agama,

status sosial-ekonomi, suku, kondisi psikopatologi, maupun hal-hal lain. Kekerasan

yang terjadi dalam lingkup rumah tangga sering memiliki persamaan dalam hal latar

belakang kehidupan pelaku dan kepribadian yang berkaitan dengan tingkah laku

agresif. Banyak pelaku kekerasan dalam rumah tangga berasal dari keluarga yang

biasa terjadi kekerasan dalam kehidupan sehari-harinya, karenanya pelaku belajar

dari keluarganya itu menjadi menganggap bahwa kekerasan sebagai bentuk

pengkambinghitaman, atau sekedar sebagai tumpahan frustasi, atau merupakan

bentuk penyelesaian konflik yang biasa dan dapat diterima. Salah satu karakteristik

penting pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah rendahnya harga diri. Seorang

suami atau laki-laki sering memiliki anggapan bahwa laki-laki harus menjadi

penguasa, pengambil keputusan, orang nomor satu, mungkin (diakui atau tidak)

merasa ia tidak dapat mencapai tuntutan itu atau sulit menggapainya, sehingga

merasa tidak kompeten, tidak cukup hebat, tidak cukup kuat, tidak cukup berhasil. Ia

kemudian melakukan penganiayaan pada pihak yang lebih lemah sebagai bentuk

mekanisme pertahanan dirinya, untuk mengatasi perasaan tidak berdayanya.

Pelaku KDRT dapat dibedakan menjadi tiga tipe:

Cyclically emotional volatile perpetrators. Pelaku KDRT jenis ini mempunyai

ketergantungan terhadap keberadaan pasangannya. Pada dirinya telah

berkembang suatu pola peningkatan emosi yang diikuti dengan aksi agresif

terhadap pasangan. Bila pelaku memulai dengan kekerasan psikologis, kekerasan

tersebut dapat berlanjut pada kekerasan fisik yang berat.

Over-controlled perpetrators. Pelaku jenis ini yaitu kelompok yang pada dirinya

telah terbentuk pola kontrol yang lebih mengarah kepada kontrol psikologis

daripada kekerasan fisik.

8

Page 9: Peran psikiatri dalam KDRT

Psychopathic perpetrators. Pelaku yang pada dirinya tidak terbentuk hubungan

emosi atau rasa penyesalan, dan cenderung terlibat juga dalam kekerasan antar

pria ataupun perilaku criminal lainnya.

2. Perempuan (Istri) Sebagai Korban Kekerasan1,4,7

Korban adalah orang yang mengalami tindak kekerasan dalam lingkup rumah

tangga. Perempuan korban kekerasan, seperti juga pelaku kekerasannya dapat berasal

dari berbagai latar belakang usia, pendidikan, tingkat sosial ekonomi, agama dan suku

bangsa. Khusus untuk kekerasan dalam rumah tangga, korban kekerasan yang dapat

teridentifikasi adalah mereka yang mencari pertolongan dan datang ke lembaga-

lembaga yang mereka anggap dapat membantu mereka. Perempuan demikian tidak

jarang tampil sebagai perempuan yang sangat pasif yang menunjukkan ketakutan dan

kekhawatiran berlebihan, terkesan sangat emosional (labil, banyak menangis, histeris)

atau sebaliknya terkesan sulit diajak berkomunikasi dan terpaku pada pemikiran-

pemikirannya sendiri. Menanggapi hal ini, orang-orang yang tidak menekuni isu

kekerasan terhadap perempuan akan cenderung mengambil sikap blaming the victim

dengan menyatakan bahwa perempuan tersebut memang aneh, memiliki banyak

masalah pribadi atau mungkin sedikit terganggu sehingga pasangan hidupnya

kehilangan kesabaran menghadapinya. Sementara itu, konselor yang memahami isu

kekerasan terhadap perempuan, atau berpandangan feministik akan mengajukan atau

memandang gangguan atau patologi yang ditampilkan korban sebagai hal yang

mungkin muncul sebagai akibat kekerasan yang dialami bukan sebagai penyebab.

Studi terhadap perempuan-perempuan korban kekerasan domestik memang

menunjukkan bahwa perempuan dengan sejarah kekerasan yang panjang memang

cenderung menjadi sangat membatasi diri dan terisolasi. Mereka sering menarik diri

dari teman-teman dan keluarga karena merasa malu dan bersalah. Dapat dipahami

bila perempuan demikian akan menunjukkan respon penyesuaian sosial yang

canggung. Bahkan aneh dimata orang luar yang tidak memahami permasalahannya

secara mendalam. Banyak sekali pertanyaan dan keheranan : mengapa banyak

perempuan tetap tinggal dalam hubungan yang penuh kekerasan? Mengapa mereka

9

Page 10: Peran psikiatri dalam KDRT

tidak meninggalkan suaminya?. Hal yang sering disebut dengan Battered Women

Syndrom, dimana seorang wanita korban kekerasa lebih memilih tetap bertahan pada

kekerasan oleh karena beberapa alasan antara lain :

a. Ketiadaan dukungan sosial yang sungguh memahami kompleksitas situasi yang

dihadapi perempuan.

Orang luar sering enggan bahkan dipersalahkan bila mencampuri urusan

keluarga orang lain, karena itu sulit menemukan dukungan yang dapat membantu.

Dilain pihak, perempuan itu sendiri juga menganggap apa yang terjadi padanya

adalah urusan keluarga atau pribadinya sendiri. Karena isunya sangat memalukan,

perempuan akan menutupi kejadian yang sesungguhnya, sehingga tidak dapat

memperoleh akses yang dibutuhkannya.

b. Citra diri yang negatif.

Cukup banyak korban, karena pengalaman dimasa kecilnya, yang diperkuat

dengan pengalaman kekerasan yang diterimanya, merasa kecil dan tidak berharga,

tidak akan dapat memberikan manfaat apapun bagi orang lain. Citra dirinya akan

terbantu bila ia dapat mengikat laki-laki karena kesendirian sebagai perempuan

dirasakan sebagai situasi yang menunjukkan dirinya tidak berharga.

c. Keyakinan bahwa suami akan berubah

Cukup banyak perempuan yang terus mempercayai suaminya pada dasarnya

baik, bahwa kekasarannya merupakan respon terhadap stress dan tekanan hidup, dan

bahwa waktu akan mengubah semuanya menjadi lebih baik.

d. Kesulitan ekonomi.

Banyak perempuan yang sepenuhnya bergantung kepada orang lain (suami)

untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk menghidupi anak-anak.

e. Kekhawatiran tidak dapat membesarkan anak dengan baik tanpa kehadiran

pasangan; atau keyakinan bahwa apapun yang terjadi keluarga dengan orangtua

lengkap masih lebih baik daripada keluarga dengan orangtua tunggal.

f. Keraguan bahwa mereka akan dapat bertahan dalam dunia yang kejam, karena

merasa suami yang selama ini baik padanya saja bisa berbuat jahat terhadapnya

apalagi lingkungan sosial yang tidak terlalu dikenalnya.

10

Page 11: Peran psikiatri dalam KDRT

g. Kekhawatiran adanya pembalasan dan kekerasan yang lebih hebat yang akan

diterimanya dan dialami orang-orang yang dekat dan dicintainya bila dia

berusaha meninggalkan pasangannya.

3. Anak Sebagai Korban Kekerasan7

Dalam Undang-undang RI No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak

pasal 1 menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun

termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Seorang anak haruslah dipandang sebagai mahluk yang harus dilindungi,

dikembangkan dan dijamin kelangsungan hidupnya. Bukan sebaliknya memandang

anak sebagai sasaran empuk tindak kekerasan. Perlindungan yang dapat dilakukan

yaitu kebutuhan jasmani, rohani dan sosial agar anak dapat tumbuh dan berkembang

secara wajar sehingga dapat melakukan cita-cita bangsa. Prof. Dr. Singgih D.

Gunarsa.menyatakan bahwa anak membutuhkan orang lain dalam perkembangannya

dan orang lain yang paling utama dan paling bertanggung jawab adalah orang tua

sendiri. Orang tua yang bertanggung jawab memperkembangkan keseluruhan

eksistensi si anak. (Gunarsa, 1995:28). Menurut Convention on the right of the child

(konvensi hak anak) pada tanggal 20 November 1989 yang telah diratifikasikan oleh

Indonesia disebutkan dalam pasal 1 pengertian anak adalah “semua orang yang

dibawah umur 18 tahun, kecuali undang-undang menetapkan kedewasaan dicapai

lebih awal”. Anak yang hidup dalam keluarga yang diwarnai kekerasan adalah anak

yang rentan dalam bahaya karena kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:

a. Laki-laki yang menganiaya istri dapat pula menganiaya anaknya.

b. Istri atau perempuan yang mengalami penganiayaan dari pasangan hidupnya

dapat mengarahkan kemarahan dan frustasinya pada anak-anaknya.

c. Anak-anak dapat cedera secara tidak sengaja ketika mencoba menghentikan

kekerasan dan melindungi ibunya.

d. Anak-anak yang biasa hidup dalam kekerasan akan belajar bahwa kekerasan

adalah cara penyelesaian masalah yang wajar. Anak laki-laki dapat berkembang

menjadi laki-laki dewasa yang juga menganiaya istri dan anak perempuan dapat

11

Page 12: Peran psikiatri dalam KDRT

saja menjadi perempuan dewasa yang kembali terjebak menjadi korban

kekerasan. Anak-anak dari keluarga yang diwarnai kekerasan dapat

mengembangkan pemikiran bahwa:

Seorang suami boleh memukul istrinya.

Kekerasan merupakan cara untuk menenangkan perbedaan pendapat.

Perempuan adalah lemah, memiliki posisi lebih rendah, tidak mampu menjaga

dirinya sendiri dan tidak mampu menjaga anak-anaknya.

Laki-laki dewasa adalah pengganggu dan berbahaya.

Anak-anak dari keluarga demikian akan cenderung kurang mampu

menyatakan perasaan-perasaannya secara verbal, dan lebih terbiasa menunjukkan

kegelisahan, ketakutan dan kemarahan melalui perilakunya. Bila sikap diam karena

takut adalah hal lumrah pada keluarga yang diwarnai kekerasan dapat dimengerti

bahwa cara adaptasi seperti ini juga dipelajari oleh anak. Anak akan menekan

perasaan-perasaannya sendiri. Emosi-emosi negatif yang tidak dapat diberinya nama

dirasakan campur aduk; takut, marah, bingung, merasa bersalah, sedih, khawatir,

kecewa, ambivalen (bercampur aduk antara perasaan ingin mendekat, memerlukan

orangtua, sayang dan menggantungkan diri pada orangtua, tetapi juga marah, tidak

mengerti, kecewa takut dll.).

2.6 Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Tindak Kekerasan dalam Rumah

Tangga4,5

Faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga secara

teoritis maksudnya adalah faktor-faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam

lingkup rumah tangga yang dikategorikan berdasarkan pada suatu teori para ahli.

Beberapa ahli mendefinisikan kekerasan dalam rumah tangga sebagai pola perilaku

yang bersifat menyerang atau memaksa yang menciptakan ancaman atau mencederai

secara fisik yang dilakukan oleh pasangan atau mantan pasangannya, secara khusus

Neil Alan dkk. membatasi ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga kepada

Child Abuse (kekerasan kepada anak) dan wife abuse (kekerasan kepada isteri)

12

Page 13: Peran psikiatri dalam KDRT

sebagai korban, namun secara umum pola tindak kekerasan terhadap anak maupun

isteri sesungguhnya sama. Penyebab tinggi angka kekerasan dalam rumah tangga

masih belum diketahui secara pasti karena kompleksnya permasalahan, tapi beberapa

ahli sudah melakukan penelitian untuk menemukan apa sebenarnya menjadi faktor

penyebab tindak kekerasan dalam rumah tangga.

Faktor-faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga

secara empiris maksudnya adalah faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya

kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan pengalaman, terutama yang diperoleh

dari penemuan percobaan atau pengamatan yang telah dilakukan. Masalah kekerasan

dalam rumah tangga bukanlah merupakan masalah yang baru, tetapi tetap aktual

dalam peredaran waktu dan tidak kunjung reda, malahan memperlihatkan

kecenderungan peningkatan. untuk mengungkap kasus kekerasan dalam rumah

tangga ini ternyata tidak segampang membalikkan tangan. Masih banyak kasus yang

sengaja ditutupi hanya karena takut menjadi aib keluarga. Padahal tindak kekerasan

yang dilakukan sudah tergolong tindak pidana. Malu mengungkapkan kasus

kekerasan dalam rumah tangga karena aib keluarga, atau persoalan anak dan perasaan

masih cinta merupakan hal yang kerap dirasakan korban kekerasan dalam rumah

tangga di negara kita.

2.7 Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga

1. Dampak Pada Perempuan/ istri.4,6,7

Rasa takut adalah perasaan yang paling mendominasi korban. Rasa takut

tersebut mengendalikan perilakunya dan mewarnai segala tindak tanduk bahkan dapat

mengganggu tidurnya sehingga memunculkan insomnia dan mimpi-mimpi buruk.

Gangguan tidur dapat memunculkan ketergantungan kepada obat-obat tidur dan obat

penenang. Pasangannya dapat mengancam keselamatan dirinya, bahkan akan

mengancam jiwanya kalau ia berusaha membuka mulut atau bila ia berusaha

meninggalkan lelaki itu, dengan dasar dominasi perasaan takut, respon dan

pengalaman psikologis yang sering muncul dari korban kekerasan domestik maka

muncul sikap seperti:

13

Page 14: Peran psikiatri dalam KDRT

a. Meminimalkan kejadian kekerasan yang dialami, karena beberapa alasan:

Ketakutannya bahwa membicarakan kekerasan tersebut akan

membuatnyaberada dalam situasi lebih buruk.

Kurangnya informasi akurat mengenai apa yang sesungguhnya terjadi

padanya, siapa yang sesungguhnya bermasalah dan menjadi korban.

Kebutuhannya untuk meyakini itu tidak seberat yang dibayangkan adalah cara

beradaptasi terhadap kekerasan yang dialami, sampai ia siap menghadapi

realitas dan mampu mengambil tindakan-tindakan pengamanan.

Perasaan malu dan kebingungannya menghadapi kekerasan.

Keyakinannya bahwa ia bertanggungjawab atas kejadian tersebut.

b. Terisolasi

Perempuan korban kekerasan memiliki akses sangat sedikit akan jaringan dan

dukungan personal. Ketakutannya bahwa orang-orang yang disayanginya akan

menjadi sasaran dan berada dalam bahaya akan membuatnya menutup mulutnya.

Rasa malu dan kebingungannya menghadapi pemukulan-pemukulan membuatnya

menjaga jarak dari orang lain, sedikit kenalan dan teman yang mengenalnya jarang

tahu teror yang dihadapinya di rumahnya sendiri. Jika ia berupaya berhubungan

dengan orang lain pasangannya akan mematahkan usahanya dengan

mengendalikan aktivitasnya dan membatasi kontaknya dengan orang-orang di luar

perkawinan. Ia mungkin secara sengaja bersikap kasar pada keluarga dan teman-

teman perempuan tersebut. Perempuan korban jarang punya hubungan positif

dengan tempat-tempat yang dapat menyediakan pekerjaan yang baik, tempat

penitipan anak, ataupun aktivitas-aktivitas terapetik, rekreasi dan pendidikan yang

dapat meningkatkan harga dirinya. Isolasi sosialnya juga menyebabkan sangat

sedikit memperoleh umpan balik mengenai kondisinya, suatu hal yang

sesungguhnya dapat mengubah persepsinya. 4,6,7

c. Perasaan tidak berdaya.

Perempuan korban kekerasan sering berada dalam situasi learned helplessness

fenomena yang dideskripsikan secara detil oleh Lenore Walker (1979) adalah

mereka belajar bahwa upaya-upaya mereka untuk mengendalikan, menghindari

14

Page 15: Peran psikiatri dalam KDRT

atau melarikan diri dari situasinya ternyata tidak berhasil, akhirnya yang muncul

adalah perasaan tidak berdaya (powerlessness) dan keyakinan bahwa tiada suatu

pun dapat dilakukannya untuk mengubah keadaannya.

d. Menyalahkan diri (internalizes blame)6,7

Perempuan korban kekerasan sering mempercayai mitos-mitos tentang

kekerasan dalam hubungan intim dan dalam rumah tangga. Ia berpikir dialah yang

menyebabkan kekerasan terjadi karena pasangannya tidak jarang bertanya:”

Mengapa kamu membuat saya terpaksa memukuli kamu? Kalau kamu melakukan

apa yang saya inginkan, yang seperti ini tidak akan terjadi.” Sementara itu orang

luar juga mungkin bertanya:” Suamimu lelaki yang baik, apa sih yang kamu

lakukan sampai ia memukul kamu?”. Ia berusaha untuk menjadi makin sempurna,

tidak menyadari bahwa kekerasan tersebut sesungguhnya lekat dan menjadi

tanggung jawab pelaku.

e. Ambivalensi4,6,7

Pasangan yang melakukan kekerasan tidak setiap saat melakukan kekerasan,

kadang ada saat bahwa ia merasa pasangannya adalah laki-laki yang baik dan

mencintainya. Inilah yang menjadi ambivalensi dan kebingungan korban. Ia ingin

kekerasan itu berakhir tetapi tidak perkawinannya. Ia sangat berharap pasangannya

akan berubah dan ia ingin mempercayai janji-janji pasangannya. Ia berpikir bahwa

ia mencintai laki-laki itu. Ia juga sangat takut membayangkan hidup sendiri.

Perpisahan dengan pasangan mungkin akan menyebabkan banyak sekali

perubahan hidup. Bila sebelumnya tinggal di rumah sepanjang hari mengurus

anak, mungkin ia harus bekerja, menitip anak, atau malahan harus meminta

bantuan. Untuk perempuan dari kelas menengah atas, menurun drastisnya tingkat

kehidupan memerlukan banyak sekali penyesuaian.

f. Harga diri rendah.6,7

Akhir dari kekerasan yang berulang adalah rusaknya harga diri. Perasaan

berharga dan keyakinan diri, kepercayaan akan kemampuan diri dirusakkan. Yang

sangat merendahkan adalah bahwa ia mendapat kekerasan dari orang yang dipilih

menjadi pasangan, orang yang seharusnya menyayangi, menghormati dan

15

Page 16: Peran psikiatri dalam KDRT

menyenangkannya. Perempuan korban kekerasan merasakannya sebagai pukulan

yang paling parah, pengkhianatan paling besar. Semakin parah kekerasan yang

dialami, dan semakin lama berlangsung, semakin buruklah citra diri yang dimiliki

korban. Ia mempercayai panggilan-panggilan yang ditujukan pasangannya

padanya: buruk, tidak mampu, bodoh, tidak menarik, dst.

g. Harapan. 4,6,7

Perempuan yang menjadi korban berharap suaminya akan berubah, akan

menjadi pasangan seperti yang diimpikannya, adalah penting bahwa konselor

menghormati mimpi-mimpinya akan kehidupan rumah tangga yang bahagia.

Mimpinya tidak aneh, mimpi tersebut umum diimpikan orang. Sering kita

menyalahkan perempuan dengan pertanyaan: “Kenapa sih dia masih terus bertahan

dalam situasi demikian?”, kembali mempersalahkannya. Kita perlu melihatnya

secara lebih positif, lebih bermanfaat untuk menganggapnya sebagai perempuan

pemberani yang dapat bertahan meskipun adanya banyak permasalahan, dengan

kata lain seharusnya kita bertanya: “Bagaimana ia dapat memperoleh kekuatan

untuk terus bertahan dalam hubungan penuh kekerasan demikian?” (Luhulima,

2000 : 37). Berdasarkan kenyataan di seluruh dunia, istri yang menjadi korban

kekerasan dalam rumah tangga berasal dari semua golongan masyarakat dari

berbagai lapisan sosial, golongan pekerjaan, suku, bangsa, budaya, agama,

maupun tentang usia telah tertimpa musibah kekerasan.

Perlakuan kejam yang dialami para korban itu mengakibatkan timbulnya

berbagai macam penderitaan seperti:

Jatuh sakit akibat stres seperti sakit kepala, asma, sakit perut, dll.

Menderita kecemasan, depresi, dan sakit jiwa akut.

Berkemungkinan untuk bunuh diri atau membunuh pelaku.

Kemampuan menyelesaikan masalah rendah.

Kemungkinan keguguran dua kali lebih tinggi bagi korban yang hamil.

Bagi yang menyusui, ASI sering kali terhenti akibat tekanan jiwa.

16

Page 17: Peran psikiatri dalam KDRT

Lebih berkemungkinan bertindak kejam terhadap anak karena tidak dapat

menguasai diri akibat penderitaan yang berkepanjangan dan tidak menemukan

jalan keluar.

2. Dampak Pada Anak-anak.7

Penderitaan akibat penganiayaan dalam rumah tangga tidak terbatas kepada

istri saja, tetapi menimpa anak-anak juga. Anak-anak bisa mengalami penganiayaan

secara langsung atau merasakan penderitaan akibat menyaksikan penganiayaan yang

dialami ibunya. Setengah dari anak-anak yang hidup di dalam rumah tangga yang di

dalamnya terjadi kekerasan juga mengalami perlakuan kejam. Sebagian besar

diperlakukan kejam secara fisik, sebagian lagi secara emosional maupun seksual.

Kehadiran anak di rumah tidak membuat suami tidak menganiaya istrinya, bahkan

dalam banyak kasus lelaki penganiaya memaksa anaknya menyaksikan pemukulan

ibunya. Sebagian menggunakan perbuatan itu sebagai cara tambahan untuk menyiksa

dan menghina pasangannya.

Menyaksikan kekerasan merupakan pengalaman yang sangat traumatis bagi

anak-anak. Mereka sering kali diam terpaku, ketakutan, dan tidak mampu berbuat

sesuatu ketika sang ayah menyiksa ibu mereka. Sebagian berusaha menghentikan

tindakan sang ayah atau meminta bantuan orang lain. Menurut data yang terkumpul

dari seluruh dunia, ada anak-anak yang sudah besar yang akhirnya membunuh

ayahnya setelah bertahun-tahun tidak bisa membantu ibunya yang diperlakukan

kejam. Akibat kekerasan tidak sama pada semua anak. Diantara ciri-ciri anak yang

menyaksikan atau mengalami kekerasan dalam rumah tangga adalah:7

a. Sering gugup.

b. Suka menyendiri.

c. Cemas.

d. Sering ngompol.

e. Gelisah.

f. Gagap.

g. Sering menderita gangguan perut.

17

Page 18: Peran psikiatri dalam KDRT

h. Sakit kepala dan asma.

i. Kejam pada binatang.

j. Ketika bermain meniru bahasa dan perilaku kejam

k. Suka memukul teman

Kekerasan dalam rumah tangga ternyata merupakan pelajaran kepada anak

bahwa kekejaman dalam bentuk penganiayaan adalah bagian yang wajar dari sebuah

kehidupan. Anak akan belajar bahwa cara menghadapi tekanan adalah dengan

melakukan kekerasan. Menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan

adalah sesuatu yang biasa dan baik-baik saja. Kekerasan dalam rumah tangga

memberi pelajaran kepada anak lelaki untuk tidak menghormati kaum perempuan

Mengingat bahwa orangtua lebih sibuk dengan permasalahan dan ketegangannya

sendiri, sering terjadi bahwa orangtua tidak memberikan perhatian pada kebutuhan

anak khususnya kebutuhan psikologisnya untuk merasa aman, dicintai, dan

didengarkan, karena itu banyak hal dapat muncul, seperti :2,3,4,7

a. Usia pra sekolah

Keluhan fisik, seperti sakit kepala, sakit perut.

Adanya gangguan tidur seperti insomnia, takut gelap, dan ngompol.

Kecemasan berlebihan bila berpisah dari orangtua.

b. Usia sekolah

Lebih umum (meskipun tidak eksklusif) pada anak perempuan: keluhan-

keluhan somatik, perilaku menarik diri, pasif, tidak dapat mandiri, sangat

bergantung kepada ingin diterima orang lain, toleransi frustasi rendah, atau

justru kesabaran berlebihan, sikap penolong, khususnya perhatian untuk dapat

membantu ibu.

Lebih umum (meskipun tidak eksklusif) pada anak laki-laki: toleransi frustasi

rendah, perilaku agresif, mengganggu, menggertak, berlagak jagoan,

tempertantrums (mudah sekali marah dengan ekspresi fisik yang berlebihan,

seperti menendang-nendang, berteriak-teriak, dan berguling-guling, dsb).

18

Page 19: Peran psikiatri dalam KDRT

Anak mengalami gangguan konsentrasi dan belajar, sering membolos, kikuk,

sering celaka, dianggap lambat, atau mengalami masalah belajar.

Anak sebagai kompensasi justru menampilkan prestasi menonjol, perfeksionis

dan rasa tanggung jawab berlebihan.

c. Remaja7

Remaja sangat mungkin menampilkan perilaku melarikan diri dan merusak

diri sendiri. Beberapa hal yang mungkin dilakukan adalah lari dari kenyataan dengan

mengkonsumsi obat-obat adiktif dan alkohol, kabur dari rumah, perilaku seksual

bebas, agresivitas dan aktivitas kriminal.

d. Dewasa2,3,4,7

Anak yang menyaksikan kejadian kekerasan berulang-ulang di rumahnya dan

menyaksikan ibu (perempuan) menjadi korban dapat mengembangkan pola hubungan

yang sama dimasa dewasanya. Cukup banyak laki-laki pelaku kekerasan terhadap

pasangan berasal dari keluarga abusive dimasa kanaknya biasa menyaksikan

kekerasan yang dilakukan ayah pada ibu, tidak jarang ia sendiri juga menjadi korban

kekerasan ayah. Sementara itu, perempuan yang dimasa kanaknya berada dalam

suasana keluarga demikian juga akan melihat dan belajar untuk meyakini bahwa laki-

laki adalah makhluk yang memang harus menang, keras kepala, egois, dan harus

serba dilayani. Sementara perempuan adalah makhluk yang harus melayani,

menyesuaikan diri, mencoba menyenangkan laki-laki dengan berbagai cara. Dimasa

dewasa ia akan lebih mudah terjebak dalam pola hubungan yang sama karena

pengalaman hidupnya tidak memberinya paparan mengenai peran-peran orang

dewasa dan hubungan laki-laki dan perempuan yang lebih sehat, lebih setara, dan lebih

membahagiakan.

2.8 Peranan Psikiatri9

Dalam melaksanakan tugas dan profesinya seorang dokter sering kali dimintai

bantuan oleh POLRI untuk melakukan pemeriksaan dan perawatan korban tindak

pidana. Bermacam-macam tindak pidana terhadap manusia yang tentunya dilakukan

juga oleh manusia, jadi dalam hal ini manusia sebagai pelaku dan korban, dan tidak

19

Page 20: Peran psikiatri dalam KDRT

menutup kemungkinan korban tersebut adalah pasien kita. Dengan diundangkannya

Undang-Undang Republik Indonesia No: 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) pada tanggal 22 September 2004 yang

merupakan Hukum Publik yang memuat ancaman pidana penjara atau denda bagi

yang melanggarnya maka masyarakat khususnya kepala rumah tangga terutama kaum

lelaki sebaiknya mengetahui apa itu kekerasan dalam rumah tangga, demikian juga

seorang dokter yang juga disebabkan tugas dan profesinya harus menangani korban

kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Kasus KDRT menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Usaha

penghapusan KDRT mengalami berbagai rintangan, dari segi budaya terutama di

Indonesia karena kejadian KDRT merupakan urusan intern rumah tangga dan

memalukan jika diketahui orang banyak dan KDRT tidak dianggap sebagai

pelanggaran terhadap hak asasi manusia sehingga perlu ditutup rapat-rapat.

1. Tugas Dan Wewenang Dalam Menangani Kasus KDRT

Pasal 21 UU RI No 23 Tahun 2004 9

1) Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban, tenaga kesehatan harus:

a. Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya.

b. Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et

repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang

memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti

2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di sarana

kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah atau masyarakat.

Pasal 40 UU RI No 23 Tahun 2004

1) Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesinya.

2) Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib memulihkan

dan merehabilitasi kesehatan korban.

20

Page 21: Peran psikiatri dalam KDRT

Maka jelas disini bahwa dalam kasus KDRT seorang dokter, harus:

a. Memberikan pelayanan kesehatan terhadap korban termasuk memeriksa dan

mengobati serta merawat korban baik di rumah sakit ataupun di klinik milik

swasta atau pribadi.

b. Membuat visum et repertum atas dasar SPVR (Surat Permohonan Visum et

Repertum) dari pihak kepolisian.

c. Berusaha memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban.

Untuk membuat Visum et Repertum kalau bisa tergantung atau sesuai dengan

keahlian/spesialisasinya. Misalkan kekerasan fisik oleh dokter bedah, kekerasan mata

oleh dokter mata, kekerasan psikis oleh psikiater, kekerasan seksual oleh dokter

obstetri & ginekologi. Hal ini akan sulit dilakukan didaerah terpencil karena dokter

spesialis tidak banyak sehingga dokter umum pun diperbolehkan melakukannya.

2. Terapi Modalitas

Terapi modalitas yang disarankan untuk wanita yang teraniaya adalah terapi

individual, terapi kolompok dan terapi keluarga.

a. Terapi Individual :

Diskusikan gaya hidup dan situasi wanita.

Eksplorasi pola-pola kekerasan yang sedang terjadi.

Bicarakan tentang riwayat korban, termasuk asal keluarga, dan bagaimana ia

membentuk hubungan dengan orang lain.

Kaji sifat korban yang mudah diserang.

Upayakan untuk mengubah pola pikir dan ide-ide tidak sehat yang berhubungan

dengan harga diri rendah . dorong korban untuk berhenti memandang dirinya

sebagai orang yang lebih rendah dari pasangannya.

Anjurkan korban untuk mendapatkan kembali perasaan control dan sikap

mental asertif supaya dapat mengembangkan kekuatan pribadinya.

Jelaskan bahwa korban mampu melindungi dan memlihara diri sendiri.

Diskusikan dan dukung rencana korban untuk berubah.

21

Page 22: Peran psikiatri dalam KDRT

Anjurkan korban untuk mengevaluasi dan merevisi rencana untuk berubah guna

memenuhi kebutuhan diri wanita.

b. Terapi kelompok :

Dorong korban untuk berinteraksi dengan anggota kelompok, berbagi rasa

tentang situasi yang dihadapi, rasa takut dan kekhawatirannya.

Kuatkan rasa kemanusiaan korban dan fakta-fakta bahwa ia tidak sendirian

dalam berjuang melawan pasangan yang suka menganiaya.

Bantu korban untuk menjadi kuat dan secara bertahap mulai mengambil alih

kendali kehidupannya.

Dorong anggota kelompok untuk mempraktik dan memperkuat penyelesaian

masalah dan pengambilan kepetusan mereka.

c. Terapi keluarga :

Fokuskan pada kebutuhan dan rasa sakit setiap anggota keluarga.

Dorong tiap anggota untuk mengkomunikasikan, mendengar, mendukung dan

berusaha memahami perspektif setiap anggota keluarga pada situasi keluarga.

Dorong untuk mengekspresikan perasaan.

Jelaskan bahwa keluarga tidak dapat mengubah pelaku aniaya; sebaliknya,

orang tersebut perlu bertanggung jawab atas perilakunya.

BAB III

22

Page 23: Peran psikiatri dalam KDRT

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang

terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara

fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaraan rumah tangga termasuk ancaman

untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara

melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Ruang lingkup rumah tangga meliputi Suami, istri dan anak, Orang-orang

yang mempunyai hubungan keluarga karena hubungan darah, perkawinan, pesusuan,

pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga, Orang yang bekerja

membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

Kasus KDRT menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Usaha

penghapusan KDRT mengalami berbagai rintangan, dari segi budaya terutama di

Indonesia karena kejadian KDRT merupakan urusan intern rumah tangga dan

memalukan jika diketahui orang banyak dan KDRT tidak dianggap sebagai

pelanggaran terhadap hak asasi manusia sehingga perlu ditutup rapat-rapat.

DAFTAR PUSTAKA

23

Page 24: Peran psikiatri dalam KDRT

1. Hariadi A, Hoediyanto, Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal,

Edisi 7 Tahun 2011. Departemen Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya.

2. Undang-Undang Republik Indonesia No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak. Cetakan ke IV Mei 2008, penerbit Asa Mandiri. Jakarta.

3. Undang-Undang Republik Indonesia No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Cetakan ke IV Mei 2008, penerbit Asa Mandiri

Jakarta.

4. Lembaga Bantuan Hukum untuk Peremouan dan Keadilan (LBH APIK) Jakarta,

(2002), Angka Kekerasan di Jakarta tahun 1998-2002, Jakarta: LBH APIK.

5. At-Thahirah, Almira, Kekerasan Rumah Tangga Produk Kapitalisme (Kritik Atas

Persoalan KDRT), 2006, Bandung: UIN.

6. Carlson, B.E. 'Children's observations of inter-parental violence' in: Battered

Women and Their Families, ed. A.R. Roberts, 1984, Springer, New York. .

7. Christopoulos, C., Cohn, D., Shaw, D., Joyce, S., Sullivan-Hanson, J., Kraft, S.

and Emery, R. (1987), 'Children of abused women: adjustmenet at time of shelter

residence', Journal of the Marriage and the Family, vol. 49, pp. 611-19.

8. Departemen Hukum dan Ham, (2004), Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), Jakarta.

9. Hoediyanto. Peranan Dokter Pada Penanganan Korban KDRT. Buletin MIMBAR

RSUD Soetomo Surabaya, Januari 2012, No. 16, Vol.1.

24