peran psikiatri dalam kdrt
DESCRIPTION
referat psikiatriTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram dan
damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Dalam rumah tangga
terdapat hubungan sosial antara anggotanya, keluarga juga merupakan unit terkecil
masyarakat yang merupakan pengayom kehidupan dan mempunyai fungsi
keagamaan, kebudayaan, perlindungan, pembinaan, reproduksi, cinta kasih serta
sosialisasi dan pendidikan, ekonomi dan pelestarian lingkungan. Masalah kekerasan
dalam rumah tangga bukanlah masalah yang baru. Data tentang tindak kekerasan
dalam rumah tangga masih belum banyak terekspos, berbagai kasus tersebut cukup
sering terjadi walaupun jarang mengemuka. Selama ini, dalam menyelesaikan kasus
kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan UU Perkawinan, sebagian besar korban
kekerasan memilih melakukan perceraian, hanya sedikit korban yang bersedia
membawa kasusnya diproses secara pidana. Pandangan masyarakat yang
menganggap bahwa masalah kekerasan dalam rumah tangga adalah urusan suami
isteri yang bersangkutan, yang harus diselesaikan oleh mereka berdua, juga turut
memperlambat proses perlindungan terhadap korban. Masyarakat juga berpendapat
bahwa campur tangan pihak lain seperti masyarakat maupun pemerintah dianggap
tidak lazim.1,2,3
Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan KeTuhanan yang
Maha Esa, dijamin oleh pasal 29 UUD Negara RI tahun 1945, dengan demikian
setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan kewajibannya
harus didasari oleh agama. Hal ini perlu ditumbuhkembangkan dalam rangka
membangun keutuhan rumah tangga. Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan
tersebut sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama
kadar kualitas perilaku dan pengendalian dari setiap orang dalam lingkup rumah
tangga tersebut. Negara menyatakan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama dalam
rumah tangga adalah pelanggaran hak azasi manusia dan kejahatan terhadap martabat
1
kemanusiaan serta bentuk diskriminasi. Untuk mencegah, melindungi korban dan
menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib
melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan
falsafah Pancasila dan UUD Negara RI tahun 1945. Menyadari kenyataan banyaknya
kasus kekerasan dalam rumah tangga dan perlunya perlindungan terhadap HAM,
maka Pemerintahan Indonesia telah melahirkan UU No.23 tahun 2004 tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Dengan disahkannya UU No. 23 tahun
2004 ini, diharapkan kaum perempuan bisa lebih leluasa mengaktualisasikan dirinya
tanpa bayang-bayang kekerasan. Undang-undang ini akan melengkapi dasar hukum
yang dipakai untuk menangani dan menyelesaikan kasus-kasus kekerasan dalam
rumah tangga yang selama ini banyak merugikan kaum perempuan. Undang-undang
tersebut akan merubah pandangan masyarakat terhadap masalah-masalah kekerasan
dalam rumah tangga.2,3,4
Dalam deklarasi HAM PBB ditegaskan bahwa setiap orang berhak atas hak
azasi dan kebebasan tanpa pembedaan ras dan jenis kelamin. HAM adalah hak yang
diberi Tuhan sehingga bersifat kodrati, dimana tidak ada suatu kekuasaan apapun di
dunia dapat mencabutnya. Meskipun demikian bukan bebarti orang dapat berbuat
semaunya, sebab bila seseorang telah melanggar hak azasi orang lain maka ia harus
mempertanggungjawabkannya, dan kekerasan dalam rumah tangga pada dasarnya
adalah tindakan melawan hak azasi manusia. Kekerasan dalam rumah tangga adalah
cerminan dari ketidakberhargaan perempuan dimata suaminya dan penghinaan
terhadap harkat dan martabat perempuan yang harus dijamin hak-hak azasinya. 2,3,4
2
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman
untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hokum dalam lingkup rumah tangga.2,3,4,5
2.2 Lingkup Rumah Tangga
Yang termasuk cakupan rumah tangga menurut Pasal 2 UUPKDRT adalah: 2,3,4,5
Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri).
Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana
disebutkan di atas karena hubungan darah, perkawinan (misalnya mertua,
menantu, ipar, dan besan), persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang
menetap dalam rumah tangga.
Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga
tersebut, dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang
bersangkutan.
2.3 Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga2,3,4,5
1. Kekerasan Fisik, yakni perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit,
atau luka berat (Pasal 6). Adapun kekerasan fisik dapat diwujudkan dengan
perilaku di antaranya: menampar, menggigit, memutar tangan, menikam,
mencekek, membakar, menendang, mengancam dengan suatu benda atau senjata,
dan membunuh. Perilaku ini dapat membuat anak-anak menjadi trauma sehingga
mereka merasa tidak nyaman dan aman dalam hidupnya.
3
2. Kekerasan Psikis, yakni perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya,
dan/ atau penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7). Adapun tindakan
kekerasan psikis dapat ditunjukkan dengan perilaku yang mengintimidasi dan
menyiksa, memberikan ancaman kekerasan, mengurung di rumah, penjagaan
yang berlebihan, ancaman untuk melepaskan penjagaan anaknya, pemisahan,
mencaci maki, dan penghinaan secara terus menerus.
3. Kekerasan Seksual, yakni setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan
seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak
disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial
dan/atau tujuan tertentu (pasal 8) yang meliputi:
Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap
dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
4. Penelantaran Rumah Tangga, yakni seseorang yang menelantarkan orang
dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya
atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,
perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran
juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi
dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam
atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut
(pasal 9). Penelantaran rumah tangga dapat dikatakan dengan kekerasan
ekonomik yang dapat diindikasikan dengan perilaku di antaranya seperti :
penolakan untuk memperoleh keuangan, penolakan untuk memberikan bantuan
yang bersifat finansial, penolakan terhadap pemberian makan dan kebutuhan
dasar, dan mengontrol pemerolehan layanan kesehatan, pekerjaan, dan
sebagainya.
4
2.4 Penyebab Terjadinya KDRT1,2,3
Zastrow & Browker (1984) menyatakan bahwa ada tiga teori utama yang
mampu menjelaskan terjadinya kekerasan, yaitu teori biologis, teori frustasi-agresi,
dan teori kontrol.
Pertama, teori biologis menjelaskan bahwa manusia, seperti juga hewan,
memiliki suatu insting agresif yang sudah dibawa sejak lahir. Sigmund Freud
menteorikan bahwa manusia mempunyai suatu keinginan akan kematian yang
mengarahkan manusia-manusia itu untuk menikmati tindakan melukai dan
membunuh orang lain dan dirinya sendiri. Robert Ardery yang menyarankan bahwa
manusia memiliki insting untuk menaklukkan dan mengontrol wilayah, yang sering
mengarahkan pada perilaku konflik antar pribadi yang penuh kekerasan. Konrad
Lorenz menegaskan bahwa agresif dan kekerasan adalah sangat berguna untuk
bertahan hidup. Manusia dan hewan yang agresif lebih cocok untuk membuat
keturunan dan bertahan hidup, sementara itu manusia atau hewan yang kurang agresif
memungkinkan untuk mati satu demi satu. Agresi pada hakekatnya membantu untuk
menegakkan suatu sistem dominan, dengan demikian memberikan struktur dan
stabilitas untuk kelompok. Beberapa ahli teori biologis berhipotesis bahwa hormon
sek pria menyebabkan perilaku yang lebih agresif. Di sisi lain, ahli teori belajar
verteori bahwa perbedaann perilaku agresif terutama disebabkan oleh perbedaan
sosialisasi terhadap pria dan wanita.
Kedua, teori frustasi-agresi menyatakan bahwa kekerasan sebagai suatu cara
untuk mengurangi ketegangan yang dihasilkan situasi frustasi. Teori ini berasal dari
suatu pendapat yang masuk akal bahwa sesorang yang frustasi sering menjadi terlibat
dalam tindakan agresif. Orang frustasi sering menyerang sumber frustasinya atau
memindahkan frustasinya ke orang lain, misalnya seorang remaja yang diejek oleh
orang lain mungkin membalas dendam. Seorang pengangguran yang tidak dapat
mendapatkan pekerjaan mungkin memukul istri dan anak-anaknya. Suatu persoalan
penting dengan teori ini, bahwa teori ini tidak menjelaskan mengapa frustasi
mengarahkan terjadinya tindakan kekerasan pada sejumlah orang, tidak pada orang
lain. Diakui bahwa sebagian besar tindakan agresif dan kekerasan nampak tidak
5
berkaitan dengan frustas, misalnya seorang pembunuh yang pofesional tidak harus
menjadi frustasi untuk melakukan penyerangan.
Walaupun teori frustasi-agresif sebagian besar dikembangkan oleh para
spikolog, beberapa sosiolog telah menarpkan teori untuk suatu kelompok besar.
Mereka memperhatikan perkampungan miskin dan kotor di pusat kota dan dihuni
oleh kaum minoritas telah menunjukkan angka kekerasan yang tinggi. Mereka
berpendapat bahwa kemiskinan, kekurangan kesempatan, dan ketidakadilan lainnya
di wilayah ini sangat membuat frustasi penduduknya. Penduduk semua menginginkan
semua benda yang mereka lihat dan dimiliki oleh orang lain, serta tak ada hak yang
sah sedikitpun untuk menggunakannya. Akibatnya, mereka frustasi dan berusaha
untuk menyerangnya. Teori ini memberikan penjelasan yang masuk akal terhadap
angka kekerasan yang tinggi bagi penduduk minoritas.
Ketiga, teori kontrol menjelaskan bahwa orang-orang yang hubungannya
dengan orang lain tidak memuaskan dan tidak tepat akan mudah untuk berbuat
kekerasan ketika usaha-usahnya untuk berhubungan dengan orang lain menghadapi
situasi frustasi. Teori ini berpegang bahwa orang-orang yang memiliki hubungan erat
dengan orang lain yang sangat berarti cenderung lebih mampu mengontrol dan
mengendalikan perilakunya yang impulsif. Travis Hirschi memberikan dukungan
kepada teori ini melalu temuannya bahwa remaja putera yang memiliki sejarah
prilaku agresif secara fisik cenderung tidak memiliki hubungan yang dekat dengan
orang lain. Selain itu juga dinyatakan bahwa kekerasan mengalami jumlah yang lebih
tinggi di antara para eks narapidana dan orang-orang lain yang terasingkan dari
teman-teman dan keluarganya daripada orang-orang Amerika pada umumnya. Setelah
memperhatikan ketiga teori tersebut, variasi kekerasan di masyarakat untuk
sementara ini disebabkan oleh tiga faktor tersebut. KDRT di Indonesia ternyata bukan
sekedar masalah ketimpangan gender. Hal tersebut sering disebabkan oleh karena :
Kurang komunikasi dan ketidakharmonisan.
Alasan ekonomi.
Ketidakmampuan mengendalikan emosi.
Ketidakmampuan mencari solusi masalah rumah tangga.
6
Kondisi mabuk karena minuman keras dan narkoba.
2.5 Pelaku dan Korban Kekerasan4,5
Perempuan sering dilukai dan mengalami kekerasan dalam lingkup personal,
baik dalam kaitannya dengan perannya sebagai istri atau anggota keluarga lain
(missal : anak, adik ipar). Meskipun demikian, kekerasan jenis ini merupakan salah
satu kekerasan yang sangat sulit diungkap antara lain karena:
1. Cukup banyak pihak yang menganggap hal demikian lumrah saja (bahkan
menjadi bagian dari pendidikan yang dilakukan suami pada istri).
2. Konflik dalam rumah tangga sangat sering dilihat sebagai masalah intern
keluarga yang tidak boleh dicampuri orang lain. Pandangan ini diyakini baik
oleh orang-orang luar maupun orang-orang di dalam keluarga itu sendiri.
3. Pelaku maupun korban sangat sering menutup-nutupi kejadian yang
sesungguhnya dari orang lain dengan alasan-alasan yang berbeda.
Pelaku menganggap apa yang terjadi dalam urusan keluarga dan hak
pribadinya orang lain tidak perlu tahu dan tidak berhak campur tangan, sementara
korban merasa sangat malu dengan hal yang terjadi akan menyebabkan kehilangan
kehormatannya bila aib sampai terbuka, oleh karena itu korban berusaha sekuat
tenaga untuk menutupinya bahkan terkesan membela orang yang telah melakukan
kekerasan padanya. Bila kekerasan seksual atau perkosaan oleh orang yang telah
dikenal atau berhubungan dekat dengan korban lebih mungkin terjadi berulang,
demikian pula tindak kekerasan fisik dan psikologis dalam keluarga dan hubungan
intim.
Kekerasan terhadap perempuan dalam hubungan intim mencakup usaha-usaha
dari pasangan untuk mengintimidasi, baik dengan ancaman atau melalui penggunaan
kekuatan fisik pada tubuh perempuan atau barang-barang miliknya. Tujuan dari
serangan tersebut adalah untuk mengendalikan tingkah laku si perempuan, atau untuk
memunculkan rasa takut. Hal yang mendasari semua bentuk kekerasan adalah
ketidakseimbangan kekuasaan dan kekuatan antara pelaku kekerasan dengan
korbannya.
7
1. Pelaku Kekerasan1,4,5
Pelaku adalah seseorang atau beberapa orang yang melakukan tindak
kekerasan dalam rumah tangga. Pelaku kekerasan rumah tangga (dalam berbagai
bentuk kekerasannya) ternyata tidak terbatas pada usia, tingkat pendidikan, agama,
status sosial-ekonomi, suku, kondisi psikopatologi, maupun hal-hal lain. Kekerasan
yang terjadi dalam lingkup rumah tangga sering memiliki persamaan dalam hal latar
belakang kehidupan pelaku dan kepribadian yang berkaitan dengan tingkah laku
agresif. Banyak pelaku kekerasan dalam rumah tangga berasal dari keluarga yang
biasa terjadi kekerasan dalam kehidupan sehari-harinya, karenanya pelaku belajar
dari keluarganya itu menjadi menganggap bahwa kekerasan sebagai bentuk
pengkambinghitaman, atau sekedar sebagai tumpahan frustasi, atau merupakan
bentuk penyelesaian konflik yang biasa dan dapat diterima. Salah satu karakteristik
penting pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah rendahnya harga diri. Seorang
suami atau laki-laki sering memiliki anggapan bahwa laki-laki harus menjadi
penguasa, pengambil keputusan, orang nomor satu, mungkin (diakui atau tidak)
merasa ia tidak dapat mencapai tuntutan itu atau sulit menggapainya, sehingga
merasa tidak kompeten, tidak cukup hebat, tidak cukup kuat, tidak cukup berhasil. Ia
kemudian melakukan penganiayaan pada pihak yang lebih lemah sebagai bentuk
mekanisme pertahanan dirinya, untuk mengatasi perasaan tidak berdayanya.
Pelaku KDRT dapat dibedakan menjadi tiga tipe:
Cyclically emotional volatile perpetrators. Pelaku KDRT jenis ini mempunyai
ketergantungan terhadap keberadaan pasangannya. Pada dirinya telah
berkembang suatu pola peningkatan emosi yang diikuti dengan aksi agresif
terhadap pasangan. Bila pelaku memulai dengan kekerasan psikologis, kekerasan
tersebut dapat berlanjut pada kekerasan fisik yang berat.
Over-controlled perpetrators. Pelaku jenis ini yaitu kelompok yang pada dirinya
telah terbentuk pola kontrol yang lebih mengarah kepada kontrol psikologis
daripada kekerasan fisik.
8
Psychopathic perpetrators. Pelaku yang pada dirinya tidak terbentuk hubungan
emosi atau rasa penyesalan, dan cenderung terlibat juga dalam kekerasan antar
pria ataupun perilaku criminal lainnya.
2. Perempuan (Istri) Sebagai Korban Kekerasan1,4,7
Korban adalah orang yang mengalami tindak kekerasan dalam lingkup rumah
tangga. Perempuan korban kekerasan, seperti juga pelaku kekerasannya dapat berasal
dari berbagai latar belakang usia, pendidikan, tingkat sosial ekonomi, agama dan suku
bangsa. Khusus untuk kekerasan dalam rumah tangga, korban kekerasan yang dapat
teridentifikasi adalah mereka yang mencari pertolongan dan datang ke lembaga-
lembaga yang mereka anggap dapat membantu mereka. Perempuan demikian tidak
jarang tampil sebagai perempuan yang sangat pasif yang menunjukkan ketakutan dan
kekhawatiran berlebihan, terkesan sangat emosional (labil, banyak menangis, histeris)
atau sebaliknya terkesan sulit diajak berkomunikasi dan terpaku pada pemikiran-
pemikirannya sendiri. Menanggapi hal ini, orang-orang yang tidak menekuni isu
kekerasan terhadap perempuan akan cenderung mengambil sikap blaming the victim
dengan menyatakan bahwa perempuan tersebut memang aneh, memiliki banyak
masalah pribadi atau mungkin sedikit terganggu sehingga pasangan hidupnya
kehilangan kesabaran menghadapinya. Sementara itu, konselor yang memahami isu
kekerasan terhadap perempuan, atau berpandangan feministik akan mengajukan atau
memandang gangguan atau patologi yang ditampilkan korban sebagai hal yang
mungkin muncul sebagai akibat kekerasan yang dialami bukan sebagai penyebab.
Studi terhadap perempuan-perempuan korban kekerasan domestik memang
menunjukkan bahwa perempuan dengan sejarah kekerasan yang panjang memang
cenderung menjadi sangat membatasi diri dan terisolasi. Mereka sering menarik diri
dari teman-teman dan keluarga karena merasa malu dan bersalah. Dapat dipahami
bila perempuan demikian akan menunjukkan respon penyesuaian sosial yang
canggung. Bahkan aneh dimata orang luar yang tidak memahami permasalahannya
secara mendalam. Banyak sekali pertanyaan dan keheranan : mengapa banyak
perempuan tetap tinggal dalam hubungan yang penuh kekerasan? Mengapa mereka
9
tidak meninggalkan suaminya?. Hal yang sering disebut dengan Battered Women
Syndrom, dimana seorang wanita korban kekerasa lebih memilih tetap bertahan pada
kekerasan oleh karena beberapa alasan antara lain :
a. Ketiadaan dukungan sosial yang sungguh memahami kompleksitas situasi yang
dihadapi perempuan.
Orang luar sering enggan bahkan dipersalahkan bila mencampuri urusan
keluarga orang lain, karena itu sulit menemukan dukungan yang dapat membantu.
Dilain pihak, perempuan itu sendiri juga menganggap apa yang terjadi padanya
adalah urusan keluarga atau pribadinya sendiri. Karena isunya sangat memalukan,
perempuan akan menutupi kejadian yang sesungguhnya, sehingga tidak dapat
memperoleh akses yang dibutuhkannya.
b. Citra diri yang negatif.
Cukup banyak korban, karena pengalaman dimasa kecilnya, yang diperkuat
dengan pengalaman kekerasan yang diterimanya, merasa kecil dan tidak berharga,
tidak akan dapat memberikan manfaat apapun bagi orang lain. Citra dirinya akan
terbantu bila ia dapat mengikat laki-laki karena kesendirian sebagai perempuan
dirasakan sebagai situasi yang menunjukkan dirinya tidak berharga.
c. Keyakinan bahwa suami akan berubah
Cukup banyak perempuan yang terus mempercayai suaminya pada dasarnya
baik, bahwa kekasarannya merupakan respon terhadap stress dan tekanan hidup, dan
bahwa waktu akan mengubah semuanya menjadi lebih baik.
d. Kesulitan ekonomi.
Banyak perempuan yang sepenuhnya bergantung kepada orang lain (suami)
untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk menghidupi anak-anak.
e. Kekhawatiran tidak dapat membesarkan anak dengan baik tanpa kehadiran
pasangan; atau keyakinan bahwa apapun yang terjadi keluarga dengan orangtua
lengkap masih lebih baik daripada keluarga dengan orangtua tunggal.
f. Keraguan bahwa mereka akan dapat bertahan dalam dunia yang kejam, karena
merasa suami yang selama ini baik padanya saja bisa berbuat jahat terhadapnya
apalagi lingkungan sosial yang tidak terlalu dikenalnya.
10
g. Kekhawatiran adanya pembalasan dan kekerasan yang lebih hebat yang akan
diterimanya dan dialami orang-orang yang dekat dan dicintainya bila dia
berusaha meninggalkan pasangannya.
3. Anak Sebagai Korban Kekerasan7
Dalam Undang-undang RI No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
pasal 1 menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun
termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Seorang anak haruslah dipandang sebagai mahluk yang harus dilindungi,
dikembangkan dan dijamin kelangsungan hidupnya. Bukan sebaliknya memandang
anak sebagai sasaran empuk tindak kekerasan. Perlindungan yang dapat dilakukan
yaitu kebutuhan jasmani, rohani dan sosial agar anak dapat tumbuh dan berkembang
secara wajar sehingga dapat melakukan cita-cita bangsa. Prof. Dr. Singgih D.
Gunarsa.menyatakan bahwa anak membutuhkan orang lain dalam perkembangannya
dan orang lain yang paling utama dan paling bertanggung jawab adalah orang tua
sendiri. Orang tua yang bertanggung jawab memperkembangkan keseluruhan
eksistensi si anak. (Gunarsa, 1995:28). Menurut Convention on the right of the child
(konvensi hak anak) pada tanggal 20 November 1989 yang telah diratifikasikan oleh
Indonesia disebutkan dalam pasal 1 pengertian anak adalah “semua orang yang
dibawah umur 18 tahun, kecuali undang-undang menetapkan kedewasaan dicapai
lebih awal”. Anak yang hidup dalam keluarga yang diwarnai kekerasan adalah anak
yang rentan dalam bahaya karena kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:
a. Laki-laki yang menganiaya istri dapat pula menganiaya anaknya.
b. Istri atau perempuan yang mengalami penganiayaan dari pasangan hidupnya
dapat mengarahkan kemarahan dan frustasinya pada anak-anaknya.
c. Anak-anak dapat cedera secara tidak sengaja ketika mencoba menghentikan
kekerasan dan melindungi ibunya.
d. Anak-anak yang biasa hidup dalam kekerasan akan belajar bahwa kekerasan
adalah cara penyelesaian masalah yang wajar. Anak laki-laki dapat berkembang
menjadi laki-laki dewasa yang juga menganiaya istri dan anak perempuan dapat
11
saja menjadi perempuan dewasa yang kembali terjebak menjadi korban
kekerasan. Anak-anak dari keluarga yang diwarnai kekerasan dapat
mengembangkan pemikiran bahwa:
Seorang suami boleh memukul istrinya.
Kekerasan merupakan cara untuk menenangkan perbedaan pendapat.
Perempuan adalah lemah, memiliki posisi lebih rendah, tidak mampu menjaga
dirinya sendiri dan tidak mampu menjaga anak-anaknya.
Laki-laki dewasa adalah pengganggu dan berbahaya.
Anak-anak dari keluarga demikian akan cenderung kurang mampu
menyatakan perasaan-perasaannya secara verbal, dan lebih terbiasa menunjukkan
kegelisahan, ketakutan dan kemarahan melalui perilakunya. Bila sikap diam karena
takut adalah hal lumrah pada keluarga yang diwarnai kekerasan dapat dimengerti
bahwa cara adaptasi seperti ini juga dipelajari oleh anak. Anak akan menekan
perasaan-perasaannya sendiri. Emosi-emosi negatif yang tidak dapat diberinya nama
dirasakan campur aduk; takut, marah, bingung, merasa bersalah, sedih, khawatir,
kecewa, ambivalen (bercampur aduk antara perasaan ingin mendekat, memerlukan
orangtua, sayang dan menggantungkan diri pada orangtua, tetapi juga marah, tidak
mengerti, kecewa takut dll.).
2.6 Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Tindak Kekerasan dalam Rumah
Tangga4,5
Faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga secara
teoritis maksudnya adalah faktor-faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam
lingkup rumah tangga yang dikategorikan berdasarkan pada suatu teori para ahli.
Beberapa ahli mendefinisikan kekerasan dalam rumah tangga sebagai pola perilaku
yang bersifat menyerang atau memaksa yang menciptakan ancaman atau mencederai
secara fisik yang dilakukan oleh pasangan atau mantan pasangannya, secara khusus
Neil Alan dkk. membatasi ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga kepada
Child Abuse (kekerasan kepada anak) dan wife abuse (kekerasan kepada isteri)
12
sebagai korban, namun secara umum pola tindak kekerasan terhadap anak maupun
isteri sesungguhnya sama. Penyebab tinggi angka kekerasan dalam rumah tangga
masih belum diketahui secara pasti karena kompleksnya permasalahan, tapi beberapa
ahli sudah melakukan penelitian untuk menemukan apa sebenarnya menjadi faktor
penyebab tindak kekerasan dalam rumah tangga.
Faktor-faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga
secara empiris maksudnya adalah faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan pengalaman, terutama yang diperoleh
dari penemuan percobaan atau pengamatan yang telah dilakukan. Masalah kekerasan
dalam rumah tangga bukanlah merupakan masalah yang baru, tetapi tetap aktual
dalam peredaran waktu dan tidak kunjung reda, malahan memperlihatkan
kecenderungan peningkatan. untuk mengungkap kasus kekerasan dalam rumah
tangga ini ternyata tidak segampang membalikkan tangan. Masih banyak kasus yang
sengaja ditutupi hanya karena takut menjadi aib keluarga. Padahal tindak kekerasan
yang dilakukan sudah tergolong tindak pidana. Malu mengungkapkan kasus
kekerasan dalam rumah tangga karena aib keluarga, atau persoalan anak dan perasaan
masih cinta merupakan hal yang kerap dirasakan korban kekerasan dalam rumah
tangga di negara kita.
2.7 Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga
1. Dampak Pada Perempuan/ istri.4,6,7
Rasa takut adalah perasaan yang paling mendominasi korban. Rasa takut
tersebut mengendalikan perilakunya dan mewarnai segala tindak tanduk bahkan dapat
mengganggu tidurnya sehingga memunculkan insomnia dan mimpi-mimpi buruk.
Gangguan tidur dapat memunculkan ketergantungan kepada obat-obat tidur dan obat
penenang. Pasangannya dapat mengancam keselamatan dirinya, bahkan akan
mengancam jiwanya kalau ia berusaha membuka mulut atau bila ia berusaha
meninggalkan lelaki itu, dengan dasar dominasi perasaan takut, respon dan
pengalaman psikologis yang sering muncul dari korban kekerasan domestik maka
muncul sikap seperti:
13
a. Meminimalkan kejadian kekerasan yang dialami, karena beberapa alasan:
Ketakutannya bahwa membicarakan kekerasan tersebut akan
membuatnyaberada dalam situasi lebih buruk.
Kurangnya informasi akurat mengenai apa yang sesungguhnya terjadi
padanya, siapa yang sesungguhnya bermasalah dan menjadi korban.
Kebutuhannya untuk meyakini itu tidak seberat yang dibayangkan adalah cara
beradaptasi terhadap kekerasan yang dialami, sampai ia siap menghadapi
realitas dan mampu mengambil tindakan-tindakan pengamanan.
Perasaan malu dan kebingungannya menghadapi kekerasan.
Keyakinannya bahwa ia bertanggungjawab atas kejadian tersebut.
b. Terisolasi
Perempuan korban kekerasan memiliki akses sangat sedikit akan jaringan dan
dukungan personal. Ketakutannya bahwa orang-orang yang disayanginya akan
menjadi sasaran dan berada dalam bahaya akan membuatnya menutup mulutnya.
Rasa malu dan kebingungannya menghadapi pemukulan-pemukulan membuatnya
menjaga jarak dari orang lain, sedikit kenalan dan teman yang mengenalnya jarang
tahu teror yang dihadapinya di rumahnya sendiri. Jika ia berupaya berhubungan
dengan orang lain pasangannya akan mematahkan usahanya dengan
mengendalikan aktivitasnya dan membatasi kontaknya dengan orang-orang di luar
perkawinan. Ia mungkin secara sengaja bersikap kasar pada keluarga dan teman-
teman perempuan tersebut. Perempuan korban jarang punya hubungan positif
dengan tempat-tempat yang dapat menyediakan pekerjaan yang baik, tempat
penitipan anak, ataupun aktivitas-aktivitas terapetik, rekreasi dan pendidikan yang
dapat meningkatkan harga dirinya. Isolasi sosialnya juga menyebabkan sangat
sedikit memperoleh umpan balik mengenai kondisinya, suatu hal yang
sesungguhnya dapat mengubah persepsinya. 4,6,7
c. Perasaan tidak berdaya.
Perempuan korban kekerasan sering berada dalam situasi learned helplessness
fenomena yang dideskripsikan secara detil oleh Lenore Walker (1979) adalah
mereka belajar bahwa upaya-upaya mereka untuk mengendalikan, menghindari
14
atau melarikan diri dari situasinya ternyata tidak berhasil, akhirnya yang muncul
adalah perasaan tidak berdaya (powerlessness) dan keyakinan bahwa tiada suatu
pun dapat dilakukannya untuk mengubah keadaannya.
d. Menyalahkan diri (internalizes blame)6,7
Perempuan korban kekerasan sering mempercayai mitos-mitos tentang
kekerasan dalam hubungan intim dan dalam rumah tangga. Ia berpikir dialah yang
menyebabkan kekerasan terjadi karena pasangannya tidak jarang bertanya:”
Mengapa kamu membuat saya terpaksa memukuli kamu? Kalau kamu melakukan
apa yang saya inginkan, yang seperti ini tidak akan terjadi.” Sementara itu orang
luar juga mungkin bertanya:” Suamimu lelaki yang baik, apa sih yang kamu
lakukan sampai ia memukul kamu?”. Ia berusaha untuk menjadi makin sempurna,
tidak menyadari bahwa kekerasan tersebut sesungguhnya lekat dan menjadi
tanggung jawab pelaku.
e. Ambivalensi4,6,7
Pasangan yang melakukan kekerasan tidak setiap saat melakukan kekerasan,
kadang ada saat bahwa ia merasa pasangannya adalah laki-laki yang baik dan
mencintainya. Inilah yang menjadi ambivalensi dan kebingungan korban. Ia ingin
kekerasan itu berakhir tetapi tidak perkawinannya. Ia sangat berharap pasangannya
akan berubah dan ia ingin mempercayai janji-janji pasangannya. Ia berpikir bahwa
ia mencintai laki-laki itu. Ia juga sangat takut membayangkan hidup sendiri.
Perpisahan dengan pasangan mungkin akan menyebabkan banyak sekali
perubahan hidup. Bila sebelumnya tinggal di rumah sepanjang hari mengurus
anak, mungkin ia harus bekerja, menitip anak, atau malahan harus meminta
bantuan. Untuk perempuan dari kelas menengah atas, menurun drastisnya tingkat
kehidupan memerlukan banyak sekali penyesuaian.
f. Harga diri rendah.6,7
Akhir dari kekerasan yang berulang adalah rusaknya harga diri. Perasaan
berharga dan keyakinan diri, kepercayaan akan kemampuan diri dirusakkan. Yang
sangat merendahkan adalah bahwa ia mendapat kekerasan dari orang yang dipilih
menjadi pasangan, orang yang seharusnya menyayangi, menghormati dan
15
menyenangkannya. Perempuan korban kekerasan merasakannya sebagai pukulan
yang paling parah, pengkhianatan paling besar. Semakin parah kekerasan yang
dialami, dan semakin lama berlangsung, semakin buruklah citra diri yang dimiliki
korban. Ia mempercayai panggilan-panggilan yang ditujukan pasangannya
padanya: buruk, tidak mampu, bodoh, tidak menarik, dst.
g. Harapan. 4,6,7
Perempuan yang menjadi korban berharap suaminya akan berubah, akan
menjadi pasangan seperti yang diimpikannya, adalah penting bahwa konselor
menghormati mimpi-mimpinya akan kehidupan rumah tangga yang bahagia.
Mimpinya tidak aneh, mimpi tersebut umum diimpikan orang. Sering kita
menyalahkan perempuan dengan pertanyaan: “Kenapa sih dia masih terus bertahan
dalam situasi demikian?”, kembali mempersalahkannya. Kita perlu melihatnya
secara lebih positif, lebih bermanfaat untuk menganggapnya sebagai perempuan
pemberani yang dapat bertahan meskipun adanya banyak permasalahan, dengan
kata lain seharusnya kita bertanya: “Bagaimana ia dapat memperoleh kekuatan
untuk terus bertahan dalam hubungan penuh kekerasan demikian?” (Luhulima,
2000 : 37). Berdasarkan kenyataan di seluruh dunia, istri yang menjadi korban
kekerasan dalam rumah tangga berasal dari semua golongan masyarakat dari
berbagai lapisan sosial, golongan pekerjaan, suku, bangsa, budaya, agama,
maupun tentang usia telah tertimpa musibah kekerasan.
Perlakuan kejam yang dialami para korban itu mengakibatkan timbulnya
berbagai macam penderitaan seperti:
Jatuh sakit akibat stres seperti sakit kepala, asma, sakit perut, dll.
Menderita kecemasan, depresi, dan sakit jiwa akut.
Berkemungkinan untuk bunuh diri atau membunuh pelaku.
Kemampuan menyelesaikan masalah rendah.
Kemungkinan keguguran dua kali lebih tinggi bagi korban yang hamil.
Bagi yang menyusui, ASI sering kali terhenti akibat tekanan jiwa.
16
Lebih berkemungkinan bertindak kejam terhadap anak karena tidak dapat
menguasai diri akibat penderitaan yang berkepanjangan dan tidak menemukan
jalan keluar.
2. Dampak Pada Anak-anak.7
Penderitaan akibat penganiayaan dalam rumah tangga tidak terbatas kepada
istri saja, tetapi menimpa anak-anak juga. Anak-anak bisa mengalami penganiayaan
secara langsung atau merasakan penderitaan akibat menyaksikan penganiayaan yang
dialami ibunya. Setengah dari anak-anak yang hidup di dalam rumah tangga yang di
dalamnya terjadi kekerasan juga mengalami perlakuan kejam. Sebagian besar
diperlakukan kejam secara fisik, sebagian lagi secara emosional maupun seksual.
Kehadiran anak di rumah tidak membuat suami tidak menganiaya istrinya, bahkan
dalam banyak kasus lelaki penganiaya memaksa anaknya menyaksikan pemukulan
ibunya. Sebagian menggunakan perbuatan itu sebagai cara tambahan untuk menyiksa
dan menghina pasangannya.
Menyaksikan kekerasan merupakan pengalaman yang sangat traumatis bagi
anak-anak. Mereka sering kali diam terpaku, ketakutan, dan tidak mampu berbuat
sesuatu ketika sang ayah menyiksa ibu mereka. Sebagian berusaha menghentikan
tindakan sang ayah atau meminta bantuan orang lain. Menurut data yang terkumpul
dari seluruh dunia, ada anak-anak yang sudah besar yang akhirnya membunuh
ayahnya setelah bertahun-tahun tidak bisa membantu ibunya yang diperlakukan
kejam. Akibat kekerasan tidak sama pada semua anak. Diantara ciri-ciri anak yang
menyaksikan atau mengalami kekerasan dalam rumah tangga adalah:7
a. Sering gugup.
b. Suka menyendiri.
c. Cemas.
d. Sering ngompol.
e. Gelisah.
f. Gagap.
g. Sering menderita gangguan perut.
17
h. Sakit kepala dan asma.
i. Kejam pada binatang.
j. Ketika bermain meniru bahasa dan perilaku kejam
k. Suka memukul teman
Kekerasan dalam rumah tangga ternyata merupakan pelajaran kepada anak
bahwa kekejaman dalam bentuk penganiayaan adalah bagian yang wajar dari sebuah
kehidupan. Anak akan belajar bahwa cara menghadapi tekanan adalah dengan
melakukan kekerasan. Menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan
adalah sesuatu yang biasa dan baik-baik saja. Kekerasan dalam rumah tangga
memberi pelajaran kepada anak lelaki untuk tidak menghormati kaum perempuan
Mengingat bahwa orangtua lebih sibuk dengan permasalahan dan ketegangannya
sendiri, sering terjadi bahwa orangtua tidak memberikan perhatian pada kebutuhan
anak khususnya kebutuhan psikologisnya untuk merasa aman, dicintai, dan
didengarkan, karena itu banyak hal dapat muncul, seperti :2,3,4,7
a. Usia pra sekolah
Keluhan fisik, seperti sakit kepala, sakit perut.
Adanya gangguan tidur seperti insomnia, takut gelap, dan ngompol.
Kecemasan berlebihan bila berpisah dari orangtua.
b. Usia sekolah
Lebih umum (meskipun tidak eksklusif) pada anak perempuan: keluhan-
keluhan somatik, perilaku menarik diri, pasif, tidak dapat mandiri, sangat
bergantung kepada ingin diterima orang lain, toleransi frustasi rendah, atau
justru kesabaran berlebihan, sikap penolong, khususnya perhatian untuk dapat
membantu ibu.
Lebih umum (meskipun tidak eksklusif) pada anak laki-laki: toleransi frustasi
rendah, perilaku agresif, mengganggu, menggertak, berlagak jagoan,
tempertantrums (mudah sekali marah dengan ekspresi fisik yang berlebihan,
seperti menendang-nendang, berteriak-teriak, dan berguling-guling, dsb).
18
Anak mengalami gangguan konsentrasi dan belajar, sering membolos, kikuk,
sering celaka, dianggap lambat, atau mengalami masalah belajar.
Anak sebagai kompensasi justru menampilkan prestasi menonjol, perfeksionis
dan rasa tanggung jawab berlebihan.
c. Remaja7
Remaja sangat mungkin menampilkan perilaku melarikan diri dan merusak
diri sendiri. Beberapa hal yang mungkin dilakukan adalah lari dari kenyataan dengan
mengkonsumsi obat-obat adiktif dan alkohol, kabur dari rumah, perilaku seksual
bebas, agresivitas dan aktivitas kriminal.
d. Dewasa2,3,4,7
Anak yang menyaksikan kejadian kekerasan berulang-ulang di rumahnya dan
menyaksikan ibu (perempuan) menjadi korban dapat mengembangkan pola hubungan
yang sama dimasa dewasanya. Cukup banyak laki-laki pelaku kekerasan terhadap
pasangan berasal dari keluarga abusive dimasa kanaknya biasa menyaksikan
kekerasan yang dilakukan ayah pada ibu, tidak jarang ia sendiri juga menjadi korban
kekerasan ayah. Sementara itu, perempuan yang dimasa kanaknya berada dalam
suasana keluarga demikian juga akan melihat dan belajar untuk meyakini bahwa laki-
laki adalah makhluk yang memang harus menang, keras kepala, egois, dan harus
serba dilayani. Sementara perempuan adalah makhluk yang harus melayani,
menyesuaikan diri, mencoba menyenangkan laki-laki dengan berbagai cara. Dimasa
dewasa ia akan lebih mudah terjebak dalam pola hubungan yang sama karena
pengalaman hidupnya tidak memberinya paparan mengenai peran-peran orang
dewasa dan hubungan laki-laki dan perempuan yang lebih sehat, lebih setara, dan lebih
membahagiakan.
2.8 Peranan Psikiatri9
Dalam melaksanakan tugas dan profesinya seorang dokter sering kali dimintai
bantuan oleh POLRI untuk melakukan pemeriksaan dan perawatan korban tindak
pidana. Bermacam-macam tindak pidana terhadap manusia yang tentunya dilakukan
juga oleh manusia, jadi dalam hal ini manusia sebagai pelaku dan korban, dan tidak
19
menutup kemungkinan korban tersebut adalah pasien kita. Dengan diundangkannya
Undang-Undang Republik Indonesia No: 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) pada tanggal 22 September 2004 yang
merupakan Hukum Publik yang memuat ancaman pidana penjara atau denda bagi
yang melanggarnya maka masyarakat khususnya kepala rumah tangga terutama kaum
lelaki sebaiknya mengetahui apa itu kekerasan dalam rumah tangga, demikian juga
seorang dokter yang juga disebabkan tugas dan profesinya harus menangani korban
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Kasus KDRT menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Usaha
penghapusan KDRT mengalami berbagai rintangan, dari segi budaya terutama di
Indonesia karena kejadian KDRT merupakan urusan intern rumah tangga dan
memalukan jika diketahui orang banyak dan KDRT tidak dianggap sebagai
pelanggaran terhadap hak asasi manusia sehingga perlu ditutup rapat-rapat.
1. Tugas Dan Wewenang Dalam Menangani Kasus KDRT
Pasal 21 UU RI No 23 Tahun 2004 9
1) Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban, tenaga kesehatan harus:
a. Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya.
b. Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et
repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang
memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti
2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di sarana
kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah atau masyarakat.
Pasal 40 UU RI No 23 Tahun 2004
1) Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesinya.
2) Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib memulihkan
dan merehabilitasi kesehatan korban.
20
Maka jelas disini bahwa dalam kasus KDRT seorang dokter, harus:
a. Memberikan pelayanan kesehatan terhadap korban termasuk memeriksa dan
mengobati serta merawat korban baik di rumah sakit ataupun di klinik milik
swasta atau pribadi.
b. Membuat visum et repertum atas dasar SPVR (Surat Permohonan Visum et
Repertum) dari pihak kepolisian.
c. Berusaha memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban.
Untuk membuat Visum et Repertum kalau bisa tergantung atau sesuai dengan
keahlian/spesialisasinya. Misalkan kekerasan fisik oleh dokter bedah, kekerasan mata
oleh dokter mata, kekerasan psikis oleh psikiater, kekerasan seksual oleh dokter
obstetri & ginekologi. Hal ini akan sulit dilakukan didaerah terpencil karena dokter
spesialis tidak banyak sehingga dokter umum pun diperbolehkan melakukannya.
2. Terapi Modalitas
Terapi modalitas yang disarankan untuk wanita yang teraniaya adalah terapi
individual, terapi kolompok dan terapi keluarga.
a. Terapi Individual :
Diskusikan gaya hidup dan situasi wanita.
Eksplorasi pola-pola kekerasan yang sedang terjadi.
Bicarakan tentang riwayat korban, termasuk asal keluarga, dan bagaimana ia
membentuk hubungan dengan orang lain.
Kaji sifat korban yang mudah diserang.
Upayakan untuk mengubah pola pikir dan ide-ide tidak sehat yang berhubungan
dengan harga diri rendah . dorong korban untuk berhenti memandang dirinya
sebagai orang yang lebih rendah dari pasangannya.
Anjurkan korban untuk mendapatkan kembali perasaan control dan sikap
mental asertif supaya dapat mengembangkan kekuatan pribadinya.
Jelaskan bahwa korban mampu melindungi dan memlihara diri sendiri.
Diskusikan dan dukung rencana korban untuk berubah.
21
Anjurkan korban untuk mengevaluasi dan merevisi rencana untuk berubah guna
memenuhi kebutuhan diri wanita.
b. Terapi kelompok :
Dorong korban untuk berinteraksi dengan anggota kelompok, berbagi rasa
tentang situasi yang dihadapi, rasa takut dan kekhawatirannya.
Kuatkan rasa kemanusiaan korban dan fakta-fakta bahwa ia tidak sendirian
dalam berjuang melawan pasangan yang suka menganiaya.
Bantu korban untuk menjadi kuat dan secara bertahap mulai mengambil alih
kendali kehidupannya.
Dorong anggota kelompok untuk mempraktik dan memperkuat penyelesaian
masalah dan pengambilan kepetusan mereka.
c. Terapi keluarga :
Fokuskan pada kebutuhan dan rasa sakit setiap anggota keluarga.
Dorong tiap anggota untuk mengkomunikasikan, mendengar, mendukung dan
berusaha memahami perspektif setiap anggota keluarga pada situasi keluarga.
Dorong untuk mengekspresikan perasaan.
Jelaskan bahwa keluarga tidak dapat mengubah pelaku aniaya; sebaliknya,
orang tersebut perlu bertanggung jawab atas perilakunya.
BAB III
22
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaraan rumah tangga termasuk ancaman
untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Ruang lingkup rumah tangga meliputi Suami, istri dan anak, Orang-orang
yang mempunyai hubungan keluarga karena hubungan darah, perkawinan, pesusuan,
pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga, Orang yang bekerja
membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Kasus KDRT menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Usaha
penghapusan KDRT mengalami berbagai rintangan, dari segi budaya terutama di
Indonesia karena kejadian KDRT merupakan urusan intern rumah tangga dan
memalukan jika diketahui orang banyak dan KDRT tidak dianggap sebagai
pelanggaran terhadap hak asasi manusia sehingga perlu ditutup rapat-rapat.
DAFTAR PUSTAKA
23
1. Hariadi A, Hoediyanto, Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal,
Edisi 7 Tahun 2011. Departemen Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya.
2. Undang-Undang Republik Indonesia No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak. Cetakan ke IV Mei 2008, penerbit Asa Mandiri. Jakarta.
3. Undang-Undang Republik Indonesia No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Cetakan ke IV Mei 2008, penerbit Asa Mandiri
Jakarta.
4. Lembaga Bantuan Hukum untuk Peremouan dan Keadilan (LBH APIK) Jakarta,
(2002), Angka Kekerasan di Jakarta tahun 1998-2002, Jakarta: LBH APIK.
5. At-Thahirah, Almira, Kekerasan Rumah Tangga Produk Kapitalisme (Kritik Atas
Persoalan KDRT), 2006, Bandung: UIN.
6. Carlson, B.E. 'Children's observations of inter-parental violence' in: Battered
Women and Their Families, ed. A.R. Roberts, 1984, Springer, New York. .
7. Christopoulos, C., Cohn, D., Shaw, D., Joyce, S., Sullivan-Hanson, J., Kraft, S.
and Emery, R. (1987), 'Children of abused women: adjustmenet at time of shelter
residence', Journal of the Marriage and the Family, vol. 49, pp. 611-19.
8. Departemen Hukum dan Ham, (2004), Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), Jakarta.
9. Hoediyanto. Peranan Dokter Pada Penanganan Korban KDRT. Buletin MIMBAR
RSUD Soetomo Surabaya, Januari 2012, No. 16, Vol.1.
24