pbl blok 12.docx
TRANSCRIPT
Demam Tifoid
Benedictus Aldwin Ainsley
10-2010-134
D5
20 November 2011
Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana
1
Demam Tifoid
Benedictus Aldwin Ainsley
Citra garden 1 blok c 14 no 4, Kalideres, Jakarta Barat
PENDAHULUAN
Negara Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki banyak penyakit.
Seperti layaknya penyakit-penyakit tropis yang ada di negara-negara tropis yaitu malaria,
demam dengue, demam tifoid dan banyak lagi. Meskipun pemerintah telah berupaya untuk
membasmi kuman-kuman dan vektor pembawa kuman-kuman penyakit tropis, namun
tampaknya sampai sekarang tidak memberikan hasil yang signifikan. Oleh karena itu perlulah
kita mengetahui tentang penyakit tropis tersebut agar setidaknya kita dapat mencegah,
mengobati dan melindungi masyarakat supaya terhindar dari bibit penyakit. Tinjauan pustaka
ini akan membahas tentang demam tifoid. Yang akan dibahas adalah cara pendiagnosaan,
pemeriksaan lab, kuman patogen, bagaimana kuman menginfeksi dan juga pencegahan serta
penanganan. Juga akan dibahas penyebaran penyakit, komplikasinya jika tidak ditangani dan
prognosis dari penyakit tersebut.
ANAMNESA
Hal-hal yang kita tanyakan pada anamnesa adalah sebagai berikut:
1. Identitas pasien
Nama lengkap
Tempat /tanggal lahir
Status perkawinan
Pekerjaan
2
Alamat
Jenis kelamin
Umur
Agama
Suku bangsa
Pendidikan1
2. Keluhan utama
dalam kasus ini adalah penurunan kesadaran dan demam.
Sejak kapan mulai panas dan penurunan kesadaran1
3. Riwayat penyakit sekarang
Perjalanan riwayat panas (tiba-tiba atau mendadak)
Sifat panas (terus menerus , periodic)
Intensitas (panas sekali, hangat), serangan panas(terutama malam/ menetap
sepanjang hari)
Keluhan–keluhan lain : nyeri kepala,nyeri otot,kulit merah-
merah.diare.muntah.1
4. Riwayat penyakit dahulu
Pernah dirawat dirumah sakit.1
5. Riwayat kesehatan keluarga
6. Riwayat penyakit menahun keluarga
Alergi
Asma
Tuberculosis
Arthritis
Rematisme
Hipertensi
Jantung
Ginjal
Lambung
DM
Penyakit liver
Stroke1
GEJALA UMUM
3
1. Pada demam tifoid, timbulnya demam perlahan-lahan, yang dimulai dari rasa tidak
enak badan dan kurang nafsu makan selama beberapa hari.
2. Kemudian setelah 5-7 hari, baru timbul demam tinggi (berkisar 38 – 390C, bahkan ada
yang sampai 400C).
3. Lidah kotor dan tepian merah.
4. Karena bakteri Salmonella thypii menyerang saluran pencernaan, biasanya pasien
akan mengeluh susah buang air besar (bisa sampai tidak bisa buang air besar sampai
seminggu).
5. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembesaran organ hepar dan lien.
6. Timbulnya ulkus karena hiperplasia lempengan peyer dengan nekrosis dan
pengelupasan epitel yang menutupi.
7. Ditemukannya hiperplasia jaringan endotelial dengan proliferasi sel mononuklear.
8. Ditemukannya respons mononuklear pada sumsum tulang yang disertai nekrosis
fokal.
9. Ditemukan radang pada vesica felea.
10. Pasien menderita bronkhitis.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan rutin
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leucopenia,
dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi
walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia
ringan dan trombosipenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi
aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat
meningkat. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, teetapi akan kembali menjadi
normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan
khusus.
2. Uji widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibody terhadap kuman S.typhii. pada uji Widal
terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhii dengan antobodi yang
disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella
4
yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid, yaitu;
Aglutinin O (dari tubuh kuman)
Aglutinin H (flagella kuman)
Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
terinfeksi kuman ini.
Pembentukkan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian
meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-empat, dan tetap tinggi
selama beberapa minggu. Pada fase akut, mula – mula timbul aglutinin O, kemudian
diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap
dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12
bulan. Oleh karena itu uji Widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.1
Ada beberapa factor yang mempengaruhi uji Widal yaitu :
Pengobatan dini dengan antibiotic
Gangguan pembentukan antibody dan pemberian kortikosteroid
Waktu pengambilan darah
Daerah endemic atau non-endemik
Riwayat vaksinasi
Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam tifoid
akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi
Factor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan strain
Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
3. Kultur darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negative
tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal sebagai
berikut :
5
Telah mendapat terapi antibiotic. Bila pasien sebelum dlakukan kultur
darah telah mendapat antibiotic, pertumbuhan kuman dalam media biakan
terhambat dan hasil mungkin negative.
Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila
darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bias negative.
Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibody
dalam darah pasien. Antibody ini dapat menekan bakteremia hingga
biakan darah dapat negative.
Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin
semakin meningkat.
DIAGNOSIS
Ketelibatan biakan strain Salmonella biasanya merupakan dasar untuk diagnosis.
Biakan darah positif pada 40-60% penderita ditemukan pada awal perjalanan penyakit, dan
tinja serta biakan urin menjadi positif sesudah minggu pertama. Biakan tinja kadang-kadang
juga positif selama masa inkubasi. Karena bakteremia sebentar-sebentar dan ringan, biakan
ulang harus dilakukan. Biakan sumsum tulang sering positif selama stadium akhir penyakit,
ketika biakan darah mungkin steril; walaupun jarang dilakukan, biakan limfonodi
mesenterika, hati dan limpa dapat juga positif pada saat ini. Biakan sumsum tulang
merupakan satu metode diagnosis yang paling sensitif dan kurang dipengaruhi oleh terapi
antimikroba sebelumnya. Biakan tinja dan kadang-kadang biakan urin positif pada pengidap
kronis. Pada kasus yang dicurigai dengan biakan tinja negatif, biakan aspirasi cairan
duodenum atau kapsul bertali duodenum dapat membantu dalam mengkonfirmasi infeksi.2
Karena identifikasi S. thypi dari biakan biasanya membutuhkan sekurang-kurangnya
tiga hari, beberapa metode untuk mendiagnosis lebih awal sedang dikembangkan. Deteksi
langsung antigen S. thypi spesifik dalam serum atau antigen S. thypi Vi. S. thypi dalam urin
telah diupayakan dengan metode imunologis, sering dengan menggunakan antibodi
monoklonal. Reaksi rantai polimerase telah digunakan untuk memperbesar gen spesifik S.
thypi dalam darah penderita, sehingga memungkinkan diagnosis dalam beberapa jam.
Metode ini spesifik dan lebih sensitif daripada biakan darah yang dilakukan pada bakteremia
kadar rendah pada demam enterik. Pengalaman yang lebih lama pada metode baru ini
diperlukan sebelum mereka dapat didukung.2
6
Serologi sedikit membantu dalam menegakkan diagnosis, tetapi mungkin berguna
pada penelitian epidemiologi. Uji Widal klasik mengukur antibodi terhadap antigen O dan H
S. thypi. Karena banyak terjadi hasil positif-palsu dan negatif-palsu, diagnosis demam tifoid
dengan uji Widal saja cenderung salah. Pengalaman masih terbatas pada assay serologis
baru.2
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding untuk demam tifoid adalah deman dengue dan malaria. Dengan kemiripan
gejala sebagai berikut.
Malaria
Adanya demam yang turun naik atau intermitten disertai dengan menggigil,
d ia re , muntah , dan te rkadang ke jang merupakan beberapa ge ja la penyaki t
malaria. Akan tetapi pada pasien ini tidak didapatkan menggigil serta tidak adanya
riwayat keluar kota atau ke hutan.3
Demam berdarah dengue
Demam tinggi mendadak dan berlangsung terus-menerus selama 2-7 hari tanpa sebab
yang jelas. Pada umumnya demam akan menurun pada hari ke-3 sampai ke-4 yang kemudian
meningkat lagi pada hari ke-5 sampai ke-6, menunjukkan gambaran grafik suhu badan seperti
pelana kuda. Demam pada penyakit tifus biasanya tinggi terutama malam hari. Pada penderita
DBD sering ditemukan juga peningkatan hasil Widal. 3
ETIOLOGI
Etiologi dari demam tifoid adalah Salmonella typhii, basil gram negatif, berflagel,
dan tidak berspora. S. typhii memiliki 3 macam antigen yaitu antigen O (somatik berupa
kompleks polisakarida), antigen H (flagel), dan antigen Vi. Dalam serum penderita demam
tifoid akan terbentuk antibodi terhadap ketiga antigen tersebut. Kuman ini tumbuh dalam
suasana aerob dan fakultatif anaerob. Kuman ini mati pada suhu 560C dan pada keadaan
7
kering. Di dalam air dapat bertahan hidup selama 4 minggu dan hidup subur pada medium
yang mengandung garam empedu. 4
EPIDEMIOLOGI
Insiden, cara penyebaran, dan konsekuensi demam enterik sangat berbeda di negara
maju dan yang sedang berkembang. Insiden sangat menurun di negara maju. Di Amerika
Serikat, sekitar 400 kasus demam tifoid dilaporkan setiap tahun, memberikan insiden tahunan
kurang dari 0,2 per 100.000, yang serupa dengan insiden tahunan di Eropa Barat dan Jepang.
Di Eropa Selatan insiden tahunan adalah 4,3-14,5 per 100.000. Di negara yang sedang
berkembang S. typhi sering merupakan isolat Salmonella yang paling sering, dengan insiden
yang dapat mencapai 500 per 100.000 (0,5%) dan angka mortalitas tinggi. Organisasi
Kesehatan Sedunia (WHO) telah memperkirakan bahwa 12,5 juta kasus terjadi setiap tahun
di seluruh dunia (tidak termasuk Cina).2
Karena manusia merupakan satu-satunya reservoir alamiah S. typhi, kontak langsung
atau tidak langsung dengan orang yang terinfeksi diperlukan untuk infeksi. Penelanan
makanan atau air yang terkontaminasi dengan tinja manusia merupakan cara penularan yang
paling sering. Ledakan serangan yang disebarkan air karena sanitasi jelek dan penyebaran
fekal-oral karena ditemukan higiene personal jelek, terutama di negara yang sedang
berkembang. Kerang dan binatang kerang-kerangan lain yang ditanam di air yang
terkontaminasi oleh sampah juga merupakan sumber infeksi yang terbesar. Di Amerika
Serikat, sekitar 65% kasus akibat dari perjalanan internasional. Perjalanan ke Asia (terutanma
ke India) dan Amerika Tengah atau Selatan (terutama Meksiko) biasanya terlibat. Secara
domsetik demam enterik didapat paling sering di Amerika Serikat selatan dan barat dan
biasanya disebabkan oleh konsumsi makanan yang terkontaminasi oleh individu yang
merupakan pengidap kronis. Penyebaran demam enterik kongenital dapat terjadi melalui
infeksi transplasenta dari ibu bakteremia pada janinnya. Penyebaran intrapartum juga
mungkin, yang terjadi dengan jalan fekal-oral dari ibu pengidap.2
PATOFISIOLOGI
8
Invasi aliran darah oleh S. thypi atau kadang-kadang oleh serotip lain diperlukan
untuk menghasilkan sindrom demam enterik. Ukuran inokulum untuk menyebabkan penyakit
adalah 105-109 organisme S. thypi. Perkiraan ini mungkin lebih tinggi daripada infeksi yang
didapat secara alamiah karena pasien menelan organisme dalam susu; asiditas lambung
merupakan penentu penting kerentanan terhadap salmonella. Sesudah perlekatan terhadap
mikrovili tepi bersekat ileum, bakteri masuk epitel usus, tampaknya melalui lempengan
Peyer. Organisme diangkut ke folikel limfa usus, di mana multiplikasi terjadi dalam sel
mononuklear. Monosit tidak mampu menghancurkan basili pada awal proses penyakit,
membawa organisme ini ke dalam limfonodi mesenterika. Organisme kemudian mencapai
aliran darah melalui duktus torasikus, menyebabkan bakteremia sementara. Organisme yang
sedang bersirkulasi mencapai sel retikuloendotelial dalam hati, limpa dan sumsum tulang
serta dapat menumbuhi organ-organ lain. Sesudah proliferasi dalam sistem retikuloendotelial,
bakterermia kumat. Vesika felea terutama rentan terinfeksi dari aliran darah atau melalui
sistem biliaris. Multiplikasi lokal dalam dinding kandung empedu menghasilkan sejumlah
besar salmonella, yang selanjutnya mencapai usus melalui empedu.2
Beberapa faktor virulensi agaknya penting. Antigen Vi kapsul permukaan ditemukan
pada kebanyakan S. thypi dan cegah pengikatan C3 pada permukaan bakteri dan berkorelasi
dengan kemampuan invasi. Urut-urutan gen (Via-B) yang mengkode Vi, telah ditentukan.
Kemampuan organisme bertahan hidup dalam makrofag sesudah fagositosis merupakan sifat
virulensi penting yang dikode oleh regulon pho P-; kemampuan ini mungkin terkait dengan
pengaruh metabolik pada sel hospes. Endotoksin dalam sirkulasi, komponen lipopolisakarida
dinding sel bakteri, diduga menyebabkan demam dan gejala toksik demam enterik yang lama,
walaupun kadarnya rendah pada penderita yang bergejala. Pilihan lain, produksi sitokin
akibat-endotoksin pada makrofag manusia dapat menyebabkan gejala sistemik. Kadang-
kadang kejadian diare dapat dijelaskan oleh adanya toksin yang terkait dengan toksin kolera
dan enterotoksin E. coli labil panas. 2
Imunitas seluler adalah penting dalam melindungi hospes manusia terhadap demam
tifoid. Jumlah limfosit T yang terdapat pada penderita demam tifoid berat menurun. Pengidap
menunjukan gangguan reaktivitas seluler terhadap antigen S. thypi ada uji hambatan migrasi
leukosit. Pada pengidap, sejumlah besar basili virulen masuk ke dalam intestinum setiap hari
dan dieksresi di dalam tinja, tanpa masuk epitel hospes.2
MANIFESTASI KLINIK
9
Masa inkubasi biasanya 7-14 hari, tetapi dapat berkisar antara 3-30 hari, tergantung
terutama pada besar inokulum yang tertelan. Manifestasi klinis demam enterik tergantung
umur.2
Anak Usia-Sekolah dan Remaja. Mulainya gejala tersembunyi. Gejala awal demam,
malaise, anoreksia, mialgia, nyeri kepala dan nyeri perut berkembang selama 2-3 hari.
Walaupun diare berkonsistensi sop kacang mungkin ada selama awal perjalanan penyakit,
konstipasi kemudian menjadi gejala yang lebih mencolok. Mual dan muntah adalah jarang
dan memberi kesan komplikasi, terutama jika terjadi pada minggu kedua atau ketiga. Batuk
dan epistaksis mungkin ada. Kelesuan berat dapat terjadi pada beberapa anak. Demam yang
terjadi secara bertingkat menjadi tidak turun-turun dan tinggi dalam 1 minggu, sering
mencapai 400C (1040F). Selama minggu kedua penyakit, demam tinggi bertahan dan
kelelahan, anoreksia, batuk dan gejala-gejala perut bertambah parah. Penderita tampak sangat
sakit, bingung dan lesu. Mengigau dan pingsan mungkin ada. Tanda-tanda fisik adalah
bradikardia relatif, yang tidak seimbang dengan tingginya demam. Hepatomegali,
splenomegali dan perut kembung dengan nyeri difus amat lazim. Pada sekitar 50% penderita
dengan demam enterik, ruam makula atau makulopapular (yaitu bintik merah) tampak pada
sekitar hari ke 7 sampai hari ke 10. Lesi biasanya berciri sendiri, eritematosa, dan diameter 1-
5 mm, lesi agak timbul, dan pada penekanan pucat. Mereka tampak dalam kelompok 10-15
lesi pada dada bagian bawah dan abdomen dan berakhir 2 atau 3 hari. Pada penyembuhan
meninggalkan perubahan warna kulit kecoklatan. Biakan lesi 60% menghasilkan organisme
Salmonella. Ronki dan rales tersebar dapat terdengar pada auskultasi dada. Jika tidak terjadi
komplikasi, gejala-gejala dan tanda-tanda fisik sedikit demi sedikit sembuh dalam 2-4
minggu, tetapi malaise dan kelesuan dapat menetap selama 1-2 bulan lagi. Penderita mungkin
menjadi kurus pada akhir penyakit. Demam enterik yang disebabkan oleh Salmonella
nontifoid biasanya lebih ringan, dengan lama demam lebih pendek dan angka komplikasi
lebih rendah.2
Bayi dan Anak Muda (< 5 tahun). Demam enterik relatif jarang pada kelompok
umur ini. walaupun sepsis klinis dapat terjadi, penyakit pada saat datang sangat ringan,
membuatnya sukar didiagnosis dan mungkin tidak terdiagnosis. Demam ringan dan malaise,
salah interpretasi sebagai sindrom virus, ditemukan pada bayi dengan demam tifoid terbukti
secara biakan. Diare lebih lazim pada anak muda dengan demam tifoid daripada orang
10
dewasa, membawa pada diagnosis gastroenteritis akut. Yang lain dapat datang dengan tanda-
tanda dan gejala-gejala infeksi saluran pernapasan bawah.2
Neonatus. Disamping kemampuannya menyebabkan aborsi dan persalinan prematur,
demam enterik selama kehamilan dapat ditularkan secara vertikal. Penyakit neonatus
biasanya mulai dalam 3 hari persalinan. Muntah, diare, dan kembung sering ada. Suhu
bervariasi tetapi dapat setinggi 40,50C (1050F). Dapat terjadi kejang-kejang. Hepatomegali,
ikterus, anoreksia dan kehilangan berat badan mungkin nyata.2
PENGOBATAN
Terapi antimikroba sangat penting dalam mengobati demam enterik, terutama untuk
demam tifoid. Namun karena semakin bertambahnya resistensi antibiotik, pemilikah terapi
empirik merupakan masalah dan kadang-kadang kontroversial. Kebanyakan regimen
antibiotik disertai dengan 5-20% risiko kumat. Kloramfenikol (50 mg/kg/24 jam per oral atau
75 mg/kg/24 jam secara intravena dalam empat dosis yang sama), ampisilin (200 mg/kg/24
jam, secara intravena dalam empat sampai enam dosis), amoksilin (100 mg/kg/24 jam, secara
oral dalam tiga dosis), dan trimetoprim-sulfa-metoksasol (10 mg TMP dan 50 mg SMX/kg/24
jam, secara oral dalam dua dosis) telah memperagakan kemanjuran klinis baik. Walaupun
terapi kloramfenikol disertai dengan penurunan panas dan sterilisasi darah yang lebih cepat,
frekuensi kumat agak lebih tinggi, dan agen ini dapat secara potensial menyebabkan
pengaruh yang merugikan. Kebanyakan anak menjadi tidak demam dalam 7 hari; pengobatan
penderita tidak berkomplikasi harus dilanjutkan selama setidak-tidaknya 5-7 hari sesudah
demam turun. Pada anak dengan gangguan yang mendasari termasuk malnutrisi berat,
perluasan terapi antibiotik selama 21 hari dapat mengurangi angka komplikasi.2
Walaupun isolat S. thypi yang resisten antibiotik di Amerika Serikat relatif rendah (3-
4%), kebanyakan infeksi didapat diluar negeri, dimana terjadi resistensi. Frekuensi S. thypi
resisten antibiotik yang diperantarai plasmid telah dilaporkan dari Asia Tengara, Meksiko,
dan negara-negara tertentu di Timur Tengah. Laporan dari india menggambarkan banyak
resistensi pada kloramfenikol, ampisilin dan TMP-SMX pada 49-83% isolat S. thypi. Strain
resisten biasanya rentan terhadap sefalosporia generasi ketiga. Sefotaksim (200 mg/kg/24
jam, secara intravenosa dalam tiga sampai empat dosis) telah digunakan secara berhasil untuk
mengobati demam tifoid yang disebabkan oleh strain yang resisten, walaupun respons
11
terhadap seftriakson agak lebih baik. Aztreonam juga telah digunakan dengan berhasil.
Fluoroquinolon manjur, tetapi obat ini tidak disetujui untuk anak. Pada orang dewasa,
siprofloksasin dengan dosis 500 mg dua kali sehari selama 7-10 hari adalah efektif dan
disertai dengan angka kumat yang rendah. Pada penderita dengan strain yang dicurigai
resisten, dianjurkan dilakukan terapi empiri dengan seftriakson (atau sefotaksim) sampai pola
kerentanan antibiotik tersedia. 2
Disamping terapi antibiotik, pemberian cepat dekstametason, dengan menggunakan 3
mg/kg untuk dosis awal, disertai dengan 1mg/kg setiap 6 jam selama 48 jam, memperbaiki
angka ketahanan hidup penderita dengan syok, menjadi lemah, stupor, atau koma. Ini tidak
menambah insiden komplikasi jika terapi antibiotik cukup. Pengobatan pendukung dan
rumatan cairan dan keseimbangan elektrolit yang cukup sangat penting. Bila pendarahan usus
berat, transfusi darah diperlukan. Intervensi pembedahan dengan antibiotik spektrum luas
dianjurkan untuk perforasi usus. Transfusi trombosi telah disarankan untuk pengobatan
trombositopenia yang cukup berat untuk menyebabkan perdarahan usus pada penderita yang
padanya pembedahan dipertimbangkan. 2
Walaupun upaya untuk memberantas pengidap S. thypi kronis dianjurkan untuk
pertimbangan kesehatan masyarakat, pemberantasan sukar walaupun kerentanan in vitro
digunakan terhadap antibiotik. Pemberian 4-6 minggu ampisilin dosis tinggi (atau amoksilin)
ditambah probenacid atau TMP-SMX mengakibatkan angka penyembuhan pengidap sekitar
80% jika tidak ada penyakit saluran empedu. Siprofloksasin telah digunakan secara berhasil
pada orang dewasa. Bila ada kolelitiasis atau kolesistitis, antibiotik saja tidak mungkin
berhasil; kolesistektomi dalam 14 hari pengobatan antibiotik dianjurkan.2
Pengobatan non medika dapat dilakukan dengan merawat pasien di rumah sakit agar
dapat beristirahat secara lebih baik. Pemberian makanan dengan bubur saring, kemudian
bubur kasar, dan akhirnya nasi. Tahap pemberian ini dimaksudkan menghindari komplikasi
perdarahan usus atau perforasi usus, karena banyak pendapat mengatakan bahwa usus perlu
diistirahatkan.5
12
PROGNOSIS
Prognosis untuk penderita dengan demam enterik tergantung pada terapi segera, usai
penderita, keadaan kesehatan sebelumnya, serotip Salmonella penyebab, dan munculnya
komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antimikroba yang tepat, angka mortalitas dibawah
1%. Di negara yang sedang berkembang, angka mortalitas lebih tinggi dari pada 10%,
biasanya karena keterlambatan diagnosis, rawat inap di rumah sakit, dan pengobatan.2
Relaps sesudah respns klinis awal terjadi pada 4-8% penderita yang tidak diobati
dengan antibiotik. Pada penderita yang telah mendapat terapi antimikroba yang tepat,
manifestasi klinis relaps menjadi nyata sekitar 2 minggu sesudah penghentian antibiotik dan
menyerupai penyakit akut. Namun relaps, biasanya lebih ringan dan lebih pendek. Dapat
terjadi relaps berulang. Individu yang mengeksresi S. thypi 3 bulan atau lebih lama sesudah
infeksi biasanya pengeksresi 1 tahun dan ditetapkan sebagai pengidap kronis. Risiko menjadi
pengidap rendah pada anak dan bertambah pada semakin tua; dari semua penderita dengan
demam tifoid, 1-5% menjadi pengidap kronis. Insiden penyakit saluran empedu lebih tinggi
pada pengidap kronis daripada populasi umum. Walaupun pengidap saluran kencing kronis
dapat juga terjadi, pengidap ini jarang ditemukan terutama pada individu dengan
skistosomiasis.2
PENCEGAHAN
Pencegahan demam tifoid harus dimulai dari higiene perorangan dan lingkungan,
misalnya: mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, sesudah buang air, tidak buang air air
besar ataupun air kecil sembarangan, membuang sampah pada tempatnya, menutup hidangan
makanan sehingga terhindar dari lalat, mencuci lalapan atau buah-buahan segar secara
bersih.5
Saat ini vaksinasi demam tifoid tersedia 2 pilihan, yaitu vaksin hidup yang
dilemahkan (Ty21A) dan vaksin polisakarida Vi. Vaksinasi ini ditekankan bagi kita yang
tinggal di daerhan endemik ataupun bagi turis yang akan masuk ke daerah endemik.5
Vaksin-vaksin tifoid ini hanya memberikan perlindungan atas infeksi S. thypi tidak
pada bakteri lainnya. Namun, meskipun kita sudah diberi vaksin ini, tidak sepenuhnya
13
terbentuk perlindungan terhadap penyakit ini. kita masih tetap harus menghindari sumber
infeksi, karena daya lindung vaksin tifoid hanya sekitar 50%-70%.5
Vaksin Tifoid Oral. Vaksin Ty21A berupa kapsul yang diberikan kepada orang
dewasa dan anak berumur lebih dari 6 tahun. Cara pemberiannya adalah dengan 4 dosis,
selang 1 hari (hari 1-3-5-7), pemberian ulangan dilakukan tiap 5 tahun. Bagi turis yang
hendak masuk daerah endemik, vaksin diberikan 1 minggu sebelum berangkat. Respon imun
akan terbentuk 10 – 14 hari setelah dosis terakhir. Kapsul ditelan utuh sebelum makan dan
diminum dengan air dingin (suhunya tidak lebih dari 370C). Yang perlu diperhatikan dalam
pemberian vaksin ini adalah tidak boleh dilakukan saat sedang demam, tidak boleh dilakukan
pada orang dengan penurunan kekebalan tubuh (HIV, keganasan, sedang kemoterapi atau
sedang terapi streroid) dan riwayat reaksi anafilaksis (alergi) pada pemberian dosis pertama
serta tidak boleh kepada orang dengan alergi gelatin. Apabila seseorang sedang mengalami
mengalami gangguan pencernaan, pemberian vaksin harus ditunda. Pengunaan antibiotik
harus dihindari 7 hari sebelum atau sesudah pemberian vaksin. Obat antimalaria ditunda
pemberiannya sampai hari ke-3 setelah dosis terakhir. Selain itu vaksin tifoid oral tidak boleh
diberikan bersamaan dengan vaksin polio oral, jarak antarpemberian sebaiknya 2 minggu.5
Efek samping yang ditimbulkan oleh vaksin ini cukup ringan, yaitu berupa muntah,
diare, demam, dan sakit kepala. Dengan efektivitas vaksi yang lebih tinggi dan disertai efek
samping yang lebih rendah daripada jenis vaksin tifoid lainnya, maka vaksin tifoid oral ini
merupakan pilihan utama. Sayangnya, vaksin oral belum tersedia di Indonesia.5
Vaksin Tifoid Polisakarida Vi. Vaksin ini berasal dari polisakarida Vi dan kapsul S.
thypi. Cara pemberiannya cukup mudah, yaitu dosis 1 kali suntukan intramuskuler/dalam
otot, biasanya di lengan atas untuk orang dewasa atau di paha atas bagi anak-anak.
Sebaiknya, suntikan diberikan 2 minggu sebelum berkunjung ke daerah endemik dengan
ulangan pemberian setiap 3 tahun. Respon imunitas akan terbentuk dalam 15 hari sampai 3
minggu setelah imunisasi. Vaksin ini dapat diberikan pada orang dengan gangguan imunitas.
Keadaan yang dihindarkan saat pemberian vaksin adalah jangan diberikan sewaktu demam,
riwayat alergi, dan keadaan penyakit akut,5
Efek samping yang timbul berupa demam, pusing, sakit kepala, nyeri sendir, nyeri
otot tempat suntikan dan reaksi-reaksi alergi seperti timbul bintik kemerahan dan gatal.5
14
KOMPLIKASI
Komplikasi infeksi dapat terjadi perforasi atau pendarahan. Karena S. thypi terutama
menyerang organ tertentu, yaitu jaringan atau organ limfoid, seperti limpa yang membesar.
Juga jaringan limfoid di usus kecil, yaitu plaque Peyeri, terserang membesar. Membesarnya
plaque Peyeri ini tidak berarti ia tambah kuat; sebaliknya jaringan ini menjadi rapuh dan
mudah rusak oleh gesekan makanan yang melaluinya. 2
Komplikasi ini dan kebanyakan komplikasi lain biasanya terjadi sesudah 1 minggu
penyakit. Pendarahan, yang biasanya mendahului perforasi, ditampakkan oleh penurunan
suhu dan tekanan darah serta kenaikan frekuensi nadi. Perforasi biasanya sebesar ujung jarum
tetapi dapat sebesar beberapa sentimeter, khas terjadi pada ileum distal dan disertai dengan
penambaan nyeri perut yang mencolok, sakit, muntah dan tanda tanda peritonitis. Sepsis
dengan berbagai basili enterik Gram-negatif aerob dan anaerob dapat terjadi. Walaupun hasil
uji fungsi hati terganggu pada beberapa penderita dengan demam enterik, hepatitis dan
kolesistitis yang nyata dipandang merupakan komplikasi. Kenaikan kadar amilase serum
kadang-kadang dapat ditemukan pada pankreatitis yang jelas secara klinis.2
Pneumonia yang sering disebabkan oleh superinfeksi dengan organisme selain
Salmonella lebih sering pada anak daripada orang dewasa. Pada anak, pneumonia atau
bronkitis sering ada (sekitar 10%). Miokarditis toksik mungkin ditampakkan oleh aritmia,
blokade sinoatrial, perubahan ST-T pada elektrokardiogram, syok kardiogenik, infiltrasi
lemak, dan nekrosis miokardium. Trombosis dan flebitis jarang terjadi. Komplikasi
neurologis termasuk kenaikan tekanan intrakranial, trombosis serebral, ataksia serebelar akut,
khorea, afasia, ketulian, psikosis dan mielitis transversal. Neuritis perifer dan optik telah
dilaporkan. Sekuele permanen jarang. Komplikasi lain yang dilaporkan merupakan nekrosis
sumsum tulang yang mematikan, pielonefritis, sindroma nefrotik, menigitis, endokarditis,
parotitis, orkitis dan limfadenitis supuratid. Walaupun osteomielitis dan artrtitis septik dapat
terjadi pada hospes normal, mereka lebih sering ditemukan pada anak dengan
hemoglobinopati.2
15
Daftar Pustaka
1. Kurnia Y, Santoso M, Rumawas JSP, Winaktu GJMT, Sylaryo TS, Adam H.
Buku panduan keterampilan medic (skill lab) semester 3. Jakarta: FK UKRIDA;
2011.
2. Berhman RE, Kliegmann RM, Arvin AM. Ilmu kesehatan anak nelson. Edisi ke-2.
Jakarta, EGC: 2000; 970-3.
3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Ilmu penyakit dalam.
Edisi ke-5. Jakarta; Interna publishing; 2009.
4. Hasan R. Buku kuliah ilmu kesehatan anak. Infeksi Tropik. Jakarta, FK UI: 1985.
5. Cahyono JB, Lusi RA, Verawati, Sitorus R, Utami RC, Dameria K. Vaksinasi,
cara ampuh mencegah penyakit infeksi. Edisi ke-1. Yogyakarta, Kanisius: 2010;
94-7.
16