pbl 6 dina

27
Laki-laki yang menderita GO dan telah berhubungan dengan istrinya Alvin Rodolf Diaz 10.2008.145 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara no.6 – Jakarta Barat [email protected] Bab I Pendahuluan Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas, yang sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada informed consent, wajib simpan rahasia kedokteran, profesionalisme, dll. Bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek etik seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etika. Aspek etik kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi mengakibatkan penilaian perilaku etik seseorang dokter yang diadukan tidak dapat dipisahkan dengan penilaian perilaku profesinya. Etik yang memiliki sanksi moral dipaksa berbaur dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat administratif.

Upload: alphyn-wayan

Post on 20-Jan-2016

9 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

pblan

TRANSCRIPT

Page 1: PBL 6 dina

Laki-laki yang menderita GO dan telah berhubungan dengan istrinya

Alvin Rodolf Diaz

10.2008.145

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Arjuna Utara no.6 – Jakarta Barat

[email protected]

Bab I

Pendahuluan

Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas, yang

sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada informed consent, wajib simpan

rahasia kedokteran, profesionalisme, dll.  Bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek etik

seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik yang

telah diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-

nilai etika.

Aspek etik kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi

mengakibatkan penilaian perilaku etik seseorang dokter yang diadukan tidak dapat dipisahkan

dengan penilaian perilaku profesinya. Etik yang memiliki sanksi moral dipaksa berbaur dengan

keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat administratif.

Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa standar

prosedur dan standar pelayanan medis dianggap sebagai domain hukum, padahal selama ini

profesi menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap

profesional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran etik

dan juga sekaligus pelanggaran hukum.

Page 2: PBL 6 dina

Bab II

Isi

II.1 Skenario

II.2Etika Profesi Kedokteran

A. Etika kedokteran

Di dalam menentukan tindakan dibidang kesehatan atau kedokteran, selain

mempertimbangkan keempat kebutuhan dasar di atas, keputusan hendaknya juga

mempertimbangkan hak – hak asasi pasien. Pelanggaran atas hak pasien akan mengakibatkan

juga pelanggaran atas kebutuhan dasar di atas, terutama kebutuhan kreatif dan spiritual pasien.1

Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar-salahnya suatu sikap

dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas. Penilaian baik buruk

dan benar-salah dari sisi moral tersebut menggunakan pendekatan teori etika yang cukup banyak

jumlahnya. Terdapat dua teori etika yang paling banyak dianut orang adalah teori deontology dan

teleology. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa, deontology mengajarkan bahwa baik-buruknya

suatu perbuatan harus dilihat dari perbuatannya itu sendiri (I Kant), sedangkan teologi

mengajarkan untuk menilai baik buruk tindakan dengan melihat hasilnya atau akibatnya (D

Hume, J Bentham, JS Mills). Deontology lebih mendasarkan kepada ajaran agama, tradisi dan

budaya, sedangkan teologi lebih kea rah penalaran (reasoning) dan pemebenaran (justifikasi)

kepada azas manfaat (aliran utilitarian).1

Seorang pasien laki-laki datang ke praktek dokter. Pasien ini dan keluarganya adalah pasien lama

dokter tersebut, dan sangat akrab serta selalu mendiskusikan kesehatan keluarganya dengan dokter

tersbut. Kali ini pasien laki-laki ini datang sendirian dan mengaku telah melakukan hubungan dengan

wanita lain seminggu yang lalu. Sesudah itu ia masih tetap berhubungan dengan istrinya. Dua hari

terakhir ia mengeluh bahwa alat kemaluannya mengeluarkan nanah dan terasa nyeri. Setelah diperiksa

ternyata ia menderita GO. Pasien tidak ingin istrinya tahu, karena bisa terjadi pertengkaran diantara

keduanya. Dokter tahu bahwa mengobati penyakit tersebut pada pasien ini tidaklah sulit, tetapi oleh

karena ia telah berhubungan juga dnegan istrinya maka mungkin istrinya juga sudah tertular. Istrinya

juga harus diobati

Page 3: PBL 6 dina

Beauchamp and childrea (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu keputusan

etik diperlukan 4 kaidah dasar moral (moral principle) dan beberapa rules dibawahnya. Ke-4

kaidah dasar moral tersebut adalah :1

1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati ha-hak pasien, terutama hak

otonomi pasien (the rights to self determination). Prinsip moral inilah yang kemudian

melahirkan doktrin informed consent;

2. Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan

ke kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan

saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar daripada sisi

buruknya (mudharat);

3. Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang

memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “premium non nocere” atau

“above all do no harm”.

4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam

bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice).

Sedangkan rules derivatnya adalah veracity (berbicara benar, jujur dan terbuka), privacy

(menghormati hak privasi pasien), confidentiality (menjaga kerahasiaan pasien) dan fidelity

(loyalitas dan promise keeping).1

Selain prinsip atau kaidah dasar moral di atas yang harus dijadikan pedoman dalam

mengambil keputusan klinis, profesional kedokteran juga mengenal etika profesi sebagai

panduan dalam bersikap dan berperilaku (code of ethical cinduct). Sebagaimana diuraikan

pada pendahuluan, nilai-nilai dalam etika profesi tercermin di dalam sumpah doketr dank ode

etik kedokteran. Sumpah dokter berisikan suatu “kontrak moral” anatar dokter dengan Tuhan

sang penciptanya, sedangkan kode etik kedokteran berisikan “kontrak kewajiban moral”

antara dokter dengn peer-groupnya, yaitu masyarakat profesinya.1

Baik sumpah dokter maupun kode etik kedokteran berisikan sejumlah kewajiban moral

yang melekat kepada para dokter. Meskipun keewajiban tersebut bukanlah kewajiban secara

hukum sehingga tidak dapat dipaksakan secara hokum, namun kewajiban moral tersebut

haruslah menjadi “pemimpin” dari kewajiban dalam hukum kedokteran. Hukum kedokteran

yang baik haruslah hukum yang etis.1

Page 4: PBL 6 dina

II.2 Informed Consent

“Informed Consent” terdiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti telah mendapat

penjelasan atau keterangan (informasi), dan “consent” yang berarti persetujuan atau memberi

izin. Jadi “informed consent” mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah

mendapat informasi. Dengan demikian “informed consent” dapat didefinisikan sebagai

persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai

tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan

dengannya.Suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3

(tiga) unsure sebagai berikut :1

Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter

Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan

Kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan persetujuan.

Di Indonesia perkembangan “informed consent” secara yuridis formal, ditandai dengan

munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang “informed consent” melalui SK

PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No.

585 tahun 1989 tentang “Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent”. Hal ini tidak

berarti para dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia tidak mengenal dan melaksanakan

“informed consent” karena jauh sebelum itu telah ada kebiasaan pada pelaksanaan operatif,

dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari pihak pasien atau keluarganya sebelum tindakan

operasi itu dilakukan.Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan

medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan

medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu:2

1. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko

besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3

ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis

yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah

sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan

medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);

2. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif

dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;

Page 5: PBL 6 dina

3. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan

disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai

tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.

Tujuan Pelaksanaan Informed Consent

Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan medis (pasien),

maka pelaksanaan “informed consent”, bertujuan :1

1. Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala tindakan

medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa

tindakan medis yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang bertentangan dengan

hak asasi pasien dan standar profesi medis, serta penyalahgunaan alat canggih yang

memerlukan biaya tinggi atau “over utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan tidak

ada alasan medisnya;

2. Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari tuntutan-

tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak terduga dan

bersifat negatif, misalnya terhadap “risk of treatment” yang tak mungkin dihindarkan

walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan standar profesi

medik.

Perlunya dimintakan informed consent dari pasien karena informed consent mempunyai

beberapa fungsi sebagai berikut :1

1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia

2. promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri

3. untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien

4. menghindari penipuan dan misleading oleh dokter

5. mendorong diambil keputusan yang lebih rasional

6. mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan

7. sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan.

Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat digolongkan sebagai tindakan

melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351 ( trespass, battery, bodily assault ).

Menurut Pasal 5 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008, persetujuan tindakan

kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang member persetujuan, sebelum

Page 6: PBL 6 dina

dimulainya tindakan ( Ayat 1 ). Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran harus dilakukan

secara tertulis oleh yang member persetujuan ( Ayat 2 ).3

Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan

tindakan kedokteran adalah:3

1. Dalam keadaan gawat darurat ( emergensi ), dimana dokter harus segera bertindak untuk

menyelamatkan jiwa.

2. Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi situasi

dirinya. Ini tercantum dalam PerMenKes no 290/Menkes/Per/III/2008.3

Aspek Hukum Informed Consent

Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien)

bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan

“jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi

orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya

diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak. Dalam masalah

“informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping terikat oleh

KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri

dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang

hal itu dapat diterapkan. Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata,

tolok ukur yang digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan

kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan

pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum

berlaku adagium “barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi”. Sedangkan

pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah “kesalahan berat” (culpa

lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum

dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.2

Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan

medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien),

sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan, maka dokter

sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu

perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang

Page 7: PBL 6 dina

Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter

dan harus menghormatinya;Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi

dengan adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan.

Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan

pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan

medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan

pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.2

Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa “informed

consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien

dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang

seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari informed consent

ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau

belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar

teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam

lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.2

Contoh Inform Consent:

SURAT PERSETUJUAN/PENOLAKAN MEDIS KHUSUS

 Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama :                       (L/P)

Umur/Tgl Lahir :

Page 8: PBL 6 dina

Alamat :

Telp :

 Menyatakan dengan sesungguhnya dari saya sendiri/*sebagai orang tua/*suami/*istri/*anak/*wali dari :

Nama :                        (L/P)

Umur/Tgl Lahir :

 Dengan ini menyatakan SETUJU/MENOLAK untuk dilakukan Tindakan Medis berupa…………………

………………………………………………………….

Dari penjelasan yang diberikan, telah saya mengerti segala hal yang berhubungan dengan penyakit terseb

ut, serta tindakan medis yang akan dilakukan dan kemungkinana pasca tindakan yang dapat terjadisesuai 

penjelasan yang diberikan.

                                                                                    Jakarta,………………….20……

Dokter/Pelaksana,                                                        Yang membuat pernyataan,

                       

Ttd                                                                                           ttd

(……………………)                                                  (…………………………..)

*Coret yang tidak  perlu

Informed consent untuk tes HIV/AIDS

Tes HIV adalah tes darah yang digunakan untuk memastikan apakah seseorang sudah positif

terinfeksi HIV atau tidak, yaitu dengan cara mendeteksi adanya antibodi HIV di dalam sampel

darah orang tersebut. Hal ini perlu dilakukan setidaknya agar seseorang bisa mengetahui secara

pasti status kesehatan dirinya, terutama menyangkut risiko dari perilakunya selama ini.4

Tes HIV bersifat :4

Page 9: PBL 6 dina

Sukarela : bahwa seseorang yang akan melakukan tes HIV haruslah berdasarkan atas

kesadarannya sendiri, bukan atas paksaan atau tekanan orang lain, ini juga berarti bahwa

dirinya setuju untuk di tes setelah mengetahui hal-hal apa saja yang mencakup dalam tes

itu, apa keuntungan dan kerugian dari tes HIV, serta apa saja implikasi dari hasil positif

ataupun negatif.

Rahasia : apapun hasil tes ini (baik positif maupun negatif) hasilnya hanya boleh

diberitahu langsung kepada orang yang bersangkutan, tidak boleh diwakilkan kepada

siapapun, baik orang tua atau pasangan, atasan, atau siapapun.

Aspek Etik dan Legal tes HIV

Informed consent adalah persetujuan yang diberikan pasien atau keluarga atas dasar

penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.

Dasar dari informed consent yaitu :4

Asas menghormati otonomi pasien setelah mendapatkan informasi yang memadai pasien

bebas dan berhak memutuskan apa yang akan dilakukan terhadapnya.

Kepmenkes 1239/Menkes/SK/XI/2001 pasal 16

Dalam melaksanakan kewenangannya perawat wajib menyampaikan informasi dan

meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan.

PP No.32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan pasal 22 ayat 1

Bagi tenaga kesehatan dalam menjalankan tugas wajib memberikan informasi dan

meminta persetujuan.

UU No.23 Tahun 1992 tentang Tenaga Kesehatan pasal 15 ayat 2

Tindakan medis tertentu hanya bisa dilakukan dengan persetujuan yang bersangkutan

atau keluarga.

II.3 Rahasia Kedokteran

Pengertian rahasia kedokteran menurut PP no 10 tahun 1966 ialah:5

Pasal 1 : “Yang dimaksud dengan rahasia kedokteran ialah segala sesuatu yang diketahui oleh

orang-orang tersebut dalam pasal 3 pada waktu atau selama melakukan pekerjaannya

dalam lapangan kedokteran.”

Page 10: PBL 6 dina

Pasal 2 : “Pengetahuan tersebut pasal 1 harus dirahasiakan oleh orang-orang yang tersebut dalam

pasal 3, kecuali apabila suatu peraturan lain yang sederajat atau lebih tinggi daripada

Peraturan Pemerintah ini menentukan lain.

Pasal 3 : “Yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksud dalam pasal 1 ialah:

a.tenaga kesehatan menurut pasal 2 Undang-undang tentang Tenaga Kesehatan

(Lembaran Negara tahun 1963 No. 79).

b.mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan,

pengobatan dan/atau perawatan, dan orang lain yang ditetapkan oleh Menteri

Kesehatan.”

Yang wajib menyimpan Rahasia Kedokteran

1. Pasal 2 UU Tentang Tenaga Kesehatan yaitu Tenaga Kesehatan Sarjana, seperti :

dokter,dokter gigi, apoteker dan sarjana lain dibidang kesehatan dan Tenaga Kesehatan

Sarjana Muda ,menengah dan Rendah, seperti : asisiten apoteker, bidan, perawat,

nutrisionis , dan lain lain6

2. Mahasiswa Kedokteran , murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan , pengobatan

dan atau perawatan orang lain yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.6

Kewajiban Dokter untuk Menyimpan Rahasia Kedokteran

Salah satu di antara beberapa kewajiban dokter adalah menyimpan rahasia kedokteran.

Kewajiban menyimpan rahasia kedokteran tersebut adalah merupakan rahasia jabatan yang harus

dipegang teguh oleh dokter dan merupakan syarat yang senantiasa harus dipenuhi untuk

menciptakan suasana saling mempercayai yang mutlak dibutuhkan dalam hubungan dokter

dengan pasien. Rahasia jabatan dokter dimaksudkan untuk rnelindungi rahasia penyakit pasien

sehingga tetap terpelihara kepercayaan pasien terhadap dokternya. Kewajiban para dokter untuk

merahasiakan hal-ha1 yang diketahui karena jabatannya atau pekerjaannya adalah berpijak pada

norma-norma kesusilaan, yang pada hakekatnya merupakan suatu kewajiban moral, dan norma

hukum. Norma-norma kesusilaan tersebut tidak mencukupi karena banyak tergantung sifat dan

kelakuan perseorangan yang tentunya berbeda-beda dan tidak selalu baik. Selain daripada itu

apabila terjadi pelanggaran norma kesusilaan sanksinya tidak tegas yaitu berupa sanksi social

dari masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu norma hukum, sehingga dapat lebih

melindungi kepentingan manusia dan sanksinya lebih tegas jika terjadi pelanggaran.7

Page 11: PBL 6 dina

Norma – norma kesusilaan dan norma hukum tadi dicantumkan dalam berbagai peraturan dan

undang-undang yang merupakan pedoman seorang dokter dalam menjalankan tugas dan

profesinya. 7

II.4 Dampak Hukum

Pengaturan kewajiban menyimpan rahasia kedokteran

Seperti yang telah diketahui, bahwa dalam transaksi terapeutik terdapat hak dan kewajiban

kepada masing-masing pihak secara timbal balik. Adapun salah satu kewajiban dokter adalah

berkewajiban menyimpan rahasia kedokteran yang dimiliki pasiennya.7

Dibidang etika kedokteran, sepanjang dapat ditelesuri masalah rahasia kedokteran mulai

diatur dalam sumpah hippocrates pada abad 469-399 SM yang berbunyi “apa yang saya melihat

atau mendengar sewaaktu dalam menjalankan praktek atau tidak, tentang kehidupan seseorang

yang seharusnya tidak diungkapkan akan saya perlakukan sebagai rahasia.” Selain di dalam

sumpah hippocrates keewajiban menyimpan rahasia kedokteran juga terdapat pada :7

a. Declaratioon of geneva

Declaration of geneva adalah versi sumpah hipocrates yang dimodernisasi yang

diintroduksikan oleh world medical association. Khusus yang mengenai rahasia

kedokteran berbunyi : “I will respect the secrets which are confided in me, even after

the patient has died.”

b. International code of medichal ethics

Pada tahun 1968 di sydney diadakan perubahan pada declaration of geneva yang

kemudian menjadi pedoman dasar untuk terbitnya International code of medichal ethics

ini. khusus yang mengenai rahasia kedokteran berbunyi “ a doctor shall preserve

absolute secrecy on all the knows about his patient because the confidence entrusted in

him.”

c. Peraturan pemerintah nomor 26 tahun 1966 yang memuat lafal sumpah dokter indonesia

Dalam sumpah ini khususnya di dalam penjelasan pasal 1 kode etik kedokteran

indonesia terdapat uraian yang berkenaan dengan rahasia kedokteran yang berbunyi

“saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan

karena kelimuan saya sebagai dokter.”

Page 12: PBL 6 dina

d. Kode etik kedokteran indonesia

Pasal 13 tercantum kalimat sebagai berikut :”setiap dokter wajib merahasiakan segala

sesuatu yang diktehauinya tentang seorang penderita, bahkan juga setelah penderita itu

meninggal dunia.”

Sumpah dalam hubungannya dengan rahasia kedokteran ini jika ditinjau secara yuridis tidak

mempunyai arti. Sumpah hanyalah merupakan suatu ikrar, suatu pernyataan kehendak secara

sepihak yang pelaksanaannya tergantung pada hati nurani si pelaku itu sendiri. Oleh karena itu

suatu sumpah tidak dapat dipergunakan sebagai dasar hukum untuk penuntutan. Demikian pula

kode etik kedokteran indonesia (KODEKI) yang termasuk bidang etik yang sifatnya self imposed

regulations. Suatu kode etik ini bersifat intern dimana sanksi hanya dapat dijatuhkan dalam

kaitan organisasi dan oleh organisasi itu sendiri. Suatu KODEKI juga tidak memiliki nilai

yuridis, shingga tidak mempunyai akibat hukum.7

Adapun dasar yuridis untuk menuntut yang menyangkut rahasia kedokteran terdapat pada:7

a. Hukum perdata

1. Perjanjian terapeutik antara dokter dengan pasien

2. Pasalnya 1909, 3e KUHPerdata “segala siapa yang karena kedudukannya,

pekerjaannya, atau jabatannya menurut undang-undang diwajibkan merahasiakan

sesuatu, namun hanyalah semata-mata mengenai hal-hal yang pengetahuannya

dipercayakan kepadanya sebagai demikian.”

3. Pasal 1365 KUHPerdata “Tiap-tiap perbuatan melanaggar hukum yang membawa

kerugian terhadap orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya, menerbitkan

kerugian itu, menggantikan kerugian tersebut”

b. Hukum pidana

1. Pasal 322 KUHP

1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau

pencariannya baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana

penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilanribu rupiah.

Page 13: PBL 6 dina

2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya

dapatdituntut atas pengaduan orang itu

2. Pasal 224 KUHP

Barangsiapa yang dipanggil menurut undang-undang untuk menjadi saksi, ahli

atau jurubahasa, dengan sengaja tidak melakukan suatu kewajiban yang menurut

undang-undangia harus melakukannnya:

1. Dalam perkara pidana dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 9 bulan.

2. Dalam perkara lain, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 6 bulan.

c. Hukum acara pidana

1. Pasal 170 KUHAP

1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan

menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi

keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.

2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.

2. Pasal 179 KUHAP

1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau

dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.

2) Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang

memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan

sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan sebenar-

benarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.

d. Hukum acara perdata

1. Pasal 146 ayat 3 HIR

Sekalian orang yang karena kedudukan, pekerjaan atau jabatannya yang sah,

diwajibkan menyimpan rahasia, tetapi semata-mata hanya tentang hal yang

diberitahukan kepadanya karena kedudukan, pekerjaan atau jabatannya itu.

2. Pasal 174 RBg

(1) Mereka yang dapat membebaskan diri dari pemberian kesaksian adalah :

(KUHperd. 1909.)

Page 14: PBL 6 dina

1) saudara-saudara laki-laki atau perempuan dan ipar-ipar laki-laki atau

perempuan dari salah satu pihak;

2) saudara-saudara sedarah dalam garis lurus dan saudara-saudara laki-laki atau

perempuan dari suami atau istri salah satu pihak;

3) mereka yang karena kedudukan, pekerjaan atau jabatan resmi, diharuskan

menyimpan rahasia tetapi hanya dan semata-mata mengenai hal-hal yang

pengetahuannya dipercayakan kepadanya dalam kedudukannya tersebut.

(2) Ada tidaknya kewajiban menyimpan rahasia yang dikemukakan oleh yang

bersangkutan dapat dinilai oleh pengadilan negeri.

e. Hukum administrasi

Peraturan pemerintah nomor 10 tahun 1996 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran.

Pada peraturan tersebut diperluas berlakunya wajib simpan rahasia kedokteran, juga

bagi tenaga kesehatan lainnya, seperti perawat, bidan, mahawsiswa kedokteran, ahli

farmasi, analis laboratorium, radiologi dan lain-lainnya.

Gugurnya kewajiban dokter untuk menyimpan rahasia kedokteran

Kewajiban menyimpan rahasia kedokteran ini tidak mutlak sifatnya. Artinya dalam situasi-

situasi tertentu hal tersebut dapat diterobos. Dengan kata lain, kewajiban dokter untuk

menyimpan rahasia kedokteran tersebut dapat gugur sehingga dokter tidak dikenai sanksi hukum.

Seorang dokter dapat dibebaskan dari sanksi hukum dalam hal ia mengungkapkan rahasia

kedokteran jika terdapat faktor-faktor atau hal-hal sebagai berikut :7

a. Adanya ijin dari pasien

Pasien adalah satu-satunya orang yang berhak memutuskan boleh tidaknya

konfidensialitas tentang dirinya diungkapkan. Namun apabila pasien telah memberikan

ijin untuk mengungkapkan rahasia atas dirinya, maka dokter terbebas dari kewajiban

menyimpan rahasia tersebut dan tidak dapat dikenai sanksi. Ijin dari pasien ini dapat

diberikan secara lisan ataupun tertulis ataupun secara diam-diam/anggapan. Pemberian

ijin itu bisa secara terbatas, yaitu dalam arti terbatas pada orang-orang tertentu saja.

Dapat juga dibatasi oleh ruang lingkup rahasia itu sendiri, misalnya terbatas hanya

kepada apa yang diperlukan saja. Pemeberian ijin secara diam-diam/anggapan, misalnya

pasien yang dirawat inap dirumah sakit dapat dianggap telah memberikan ijin kepada

Page 15: PBL 6 dina

dokter yang merawatnya untuk mengadakan konsultasi kepada dokter ahli tentang

penyakitnya.7

b. Adanya keadaan mendesak atau memaksa

Dii dalam keadaan terpaksa, juga tanpa ijin pasien, dokter dapat mengungkapkan rahasia

kedokteran. Keadaan terpaksa yang dimaksud adalah suatu situasi di mana suatu norma

dapat dilanggar demi suatu kepentingan yang lebih besar. Seperti pada pasal 48 KUHP

“siapapun tak terpidana jika melakukan perbuatan karena terdorong oleh keadaan

terpaksa.”7

c. Adanya peraturan perundang-undangan

Seorang dokter yang membuka rahasia kedokteran tidak dapat dipidana karena

melaksanakan ketentuan undang-undang. Hal tersebut tersimpul dalam ketentuan pasal

50 KUHP yang berbunyi : “barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan

ketentuan undang-undang tidak dipidana.” Dalam hal ini dapat dianggap bahwa secara

materiil oleh undang-undang telah dipertimbangkan, bahwa terdapat kepentingan yang

lebih besar.7

d. Adanya perintah jabatan

Sebagai dasar pembenar lain untuk melanggar kewajiban dokter untuk menyimpan

rahasia kedokteran adalah adanya perintah jabatan yang diatur dalam ketentuan pasal 51

KUHP. Pasal ini mengatur tentang seorang dokter yang mempunyai jabatan rankap

seperti militer atau dokter tentang penguji kesehatan.7

e. Demi kepentingan umum atau kepentingan yang lebih tinggi

Alasan ini timbul berdasaarkan kebiasaan praktek, karena pasien tersebut merupakan

“public figure”, seorang tokoh atau pemimpin yang dianggap penting oleh masyarakat.7

f. Adanya Presumed Consent dari pasien

Adanya Presumed Consent yaitu pasien telah mengetahui atau seharusnya mengetahui

bahwa data tentang dirinya akan diketahui oleh orang atau instansi selain dokter.7

Bab III

Kesimpulan

Dokter telah menjalankan tugasnya sesuai etika profesi kedokteran dengan menjaga Rahasia

Jabatan atau rahasia pasien. Dalam skenario ini dokter menjaga rahasia pasien mengenai

Page 16: PBL 6 dina

penyakit kelamin yang dideritanya dari orang lain terutama dari istri pasien itu sendiri.

Berdasarkan prinsip otonomi dan sumpah Dokter serta kode etik seperti yang tertera pada PP No.

10 Tahun 1966 dan peraturan lainnya. Bila dokter membuka rahasia tersebut makan dokter akan

dikenakan pidana penjara paling lama sembilan bulan dan denda paling banyak sembila puluh

ribu rupiah (Pasal 322 KUHP) dan sanksi lainnya. Selain itu dokter juga memberikan penjelasan

mengenai penyakit yang diderita pasien. Dokter juga meminta persetujuan pasien berupa

informed consent untuk melakukan prosedur pemeriksaan, dalam skenario ini terutama meminta

kesediaan pasien untuk membuka celana, palpasi alat kelamin, dan sebagainya. Pasien juga

berwenang pebuh untuk menentukan pengobatan yang akan diterima sesuai dengan anjuran dan

penjelasan dokter setelah mempertimbangkan efek samping yang dapat timbul dari pengobatan.

Untuk istri pasien, dokter juga memberikan penjelasan mengenai penyakit kelaminnya, yaitu

penyakit infeksi yang mengenai alat kelamin yang bisa didadapatkan melalui beberapa media,

tanpa membuka rahasia suaminya. Pada istri pasien diberikan juga informed consent untuk

persetujuan menjalankan prosedur pemeriksaan. Dan juga menangani penyakit pasien dengan

memegang prinsip beneficence.

Page 17: PBL 6 dina

Daftar Pustaka

1. Sampurna, Budi, Syamsu Zulhasmar, Siswaja Tjeptjep D. Bioetik dan hukum kedokteran

pengantar bagi mahasiswa kedokteran dan hukum cetakan pertama. Jakarta: Pustaka

Dwipar. 2005.

2. Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Peraturan Perundang-Undangan Bidang Kedokteran

Edisi I Cetakan Kedua. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik FKUI. 1994. Hal 20-22.

3. Kode Etik Kedokteran diunduh dari: http://www.ilunifk83.com/t130-kode-etik-

kedokteran-indonesia pada tanggal 18 Januari 2012.

4. Informed Consent pada Penderita HIV diunduh dari

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20964/4/Chapter%20II.pdf pada tanggal

18 Januari 2012.

5. Rahasia Kedokteran diunduh dari http://hukum.unsrat.ac.id/pp/pp_10_1966.htm pada

tanggal 18 Januari 2012.

6. Rahasia Kedokteran diunduh dari

http://www.fk.uwks.ac.id/elib/Arsip/Departemen/Hukum_Kedokteran/RAHASIA

%20KEDOKTERAN%20(14).pdf pada 18 Januari 2012

Page 18: PBL 6 dina

7. Aspek Hukum Kewajiban Menyimpan Rahasia Kedookteran oleh Ahdiana Yuni Lestari

dikutip dari Jurnal Hukum Respublica no.4 vol.2 Tahun 2003 : 131-141.