Download - PBL 6 dina
Laki-laki yang menderita GO dan telah berhubungan dengan istrinya
Alvin Rodolf Diaz
10.2008.145
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara no.6 – Jakarta Barat
Bab I
Pendahuluan
Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas, yang
sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada informed consent, wajib simpan
rahasia kedokteran, profesionalisme, dll. Bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek etik
seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik yang
telah diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-
nilai etika.
Aspek etik kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi
mengakibatkan penilaian perilaku etik seseorang dokter yang diadukan tidak dapat dipisahkan
dengan penilaian perilaku profesinya. Etik yang memiliki sanksi moral dipaksa berbaur dengan
keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat administratif.
Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa standar
prosedur dan standar pelayanan medis dianggap sebagai domain hukum, padahal selama ini
profesi menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap
profesional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran etik
dan juga sekaligus pelanggaran hukum.
Bab II
Isi
II.1 Skenario
II.2Etika Profesi Kedokteran
A. Etika kedokteran
Di dalam menentukan tindakan dibidang kesehatan atau kedokteran, selain
mempertimbangkan keempat kebutuhan dasar di atas, keputusan hendaknya juga
mempertimbangkan hak – hak asasi pasien. Pelanggaran atas hak pasien akan mengakibatkan
juga pelanggaran atas kebutuhan dasar di atas, terutama kebutuhan kreatif dan spiritual pasien.1
Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar-salahnya suatu sikap
dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas. Penilaian baik buruk
dan benar-salah dari sisi moral tersebut menggunakan pendekatan teori etika yang cukup banyak
jumlahnya. Terdapat dua teori etika yang paling banyak dianut orang adalah teori deontology dan
teleology. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa, deontology mengajarkan bahwa baik-buruknya
suatu perbuatan harus dilihat dari perbuatannya itu sendiri (I Kant), sedangkan teologi
mengajarkan untuk menilai baik buruk tindakan dengan melihat hasilnya atau akibatnya (D
Hume, J Bentham, JS Mills). Deontology lebih mendasarkan kepada ajaran agama, tradisi dan
budaya, sedangkan teologi lebih kea rah penalaran (reasoning) dan pemebenaran (justifikasi)
kepada azas manfaat (aliran utilitarian).1
Seorang pasien laki-laki datang ke praktek dokter. Pasien ini dan keluarganya adalah pasien lama
dokter tersebut, dan sangat akrab serta selalu mendiskusikan kesehatan keluarganya dengan dokter
tersbut. Kali ini pasien laki-laki ini datang sendirian dan mengaku telah melakukan hubungan dengan
wanita lain seminggu yang lalu. Sesudah itu ia masih tetap berhubungan dengan istrinya. Dua hari
terakhir ia mengeluh bahwa alat kemaluannya mengeluarkan nanah dan terasa nyeri. Setelah diperiksa
ternyata ia menderita GO. Pasien tidak ingin istrinya tahu, karena bisa terjadi pertengkaran diantara
keduanya. Dokter tahu bahwa mengobati penyakit tersebut pada pasien ini tidaklah sulit, tetapi oleh
karena ia telah berhubungan juga dnegan istrinya maka mungkin istrinya juga sudah tertular. Istrinya
juga harus diobati
Beauchamp and childrea (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu keputusan
etik diperlukan 4 kaidah dasar moral (moral principle) dan beberapa rules dibawahnya. Ke-4
kaidah dasar moral tersebut adalah :1
1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati ha-hak pasien, terutama hak
otonomi pasien (the rights to self determination). Prinsip moral inilah yang kemudian
melahirkan doktrin informed consent;
2. Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan
ke kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan
saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar daripada sisi
buruknya (mudharat);
3. Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “premium non nocere” atau
“above all do no harm”.
4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice).
Sedangkan rules derivatnya adalah veracity (berbicara benar, jujur dan terbuka), privacy
(menghormati hak privasi pasien), confidentiality (menjaga kerahasiaan pasien) dan fidelity
(loyalitas dan promise keeping).1
Selain prinsip atau kaidah dasar moral di atas yang harus dijadikan pedoman dalam
mengambil keputusan klinis, profesional kedokteran juga mengenal etika profesi sebagai
panduan dalam bersikap dan berperilaku (code of ethical cinduct). Sebagaimana diuraikan
pada pendahuluan, nilai-nilai dalam etika profesi tercermin di dalam sumpah doketr dank ode
etik kedokteran. Sumpah dokter berisikan suatu “kontrak moral” anatar dokter dengan Tuhan
sang penciptanya, sedangkan kode etik kedokteran berisikan “kontrak kewajiban moral”
antara dokter dengn peer-groupnya, yaitu masyarakat profesinya.1
Baik sumpah dokter maupun kode etik kedokteran berisikan sejumlah kewajiban moral
yang melekat kepada para dokter. Meskipun keewajiban tersebut bukanlah kewajiban secara
hukum sehingga tidak dapat dipaksakan secara hokum, namun kewajiban moral tersebut
haruslah menjadi “pemimpin” dari kewajiban dalam hukum kedokteran. Hukum kedokteran
yang baik haruslah hukum yang etis.1
II.2 Informed Consent
“Informed Consent” terdiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti telah mendapat
penjelasan atau keterangan (informasi), dan “consent” yang berarti persetujuan atau memberi
izin. Jadi “informed consent” mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah
mendapat informasi. Dengan demikian “informed consent” dapat didefinisikan sebagai
persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai
tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan
dengannya.Suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3
(tiga) unsure sebagai berikut :1
Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter
Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan
Kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan persetujuan.
Di Indonesia perkembangan “informed consent” secara yuridis formal, ditandai dengan
munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang “informed consent” melalui SK
PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No.
585 tahun 1989 tentang “Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent”. Hal ini tidak
berarti para dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia tidak mengenal dan melaksanakan
“informed consent” karena jauh sebelum itu telah ada kebiasaan pada pelaksanaan operatif,
dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari pihak pasien atau keluarganya sebelum tindakan
operasi itu dilakukan.Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan
medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan
medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu:2
1. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko
besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3
ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis
yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah
sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan
medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);
2. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif
dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;
3. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan
disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai
tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.
Tujuan Pelaksanaan Informed Consent
Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan medis (pasien),
maka pelaksanaan “informed consent”, bertujuan :1
1. Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala tindakan
medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa
tindakan medis yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang bertentangan dengan
hak asasi pasien dan standar profesi medis, serta penyalahgunaan alat canggih yang
memerlukan biaya tinggi atau “over utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan tidak
ada alasan medisnya;
2. Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari tuntutan-
tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak terduga dan
bersifat negatif, misalnya terhadap “risk of treatment” yang tak mungkin dihindarkan
walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan standar profesi
medik.
Perlunya dimintakan informed consent dari pasien karena informed consent mempunyai
beberapa fungsi sebagai berikut :1
1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia
2. promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri
3. untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien
4. menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
5. mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
6. mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
7. sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan.
Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat digolongkan sebagai tindakan
melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351 ( trespass, battery, bodily assault ).
Menurut Pasal 5 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008, persetujuan tindakan
kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang member persetujuan, sebelum
dimulainya tindakan ( Ayat 1 ). Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran harus dilakukan
secara tertulis oleh yang member persetujuan ( Ayat 2 ).3
Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan
tindakan kedokteran adalah:3
1. Dalam keadaan gawat darurat ( emergensi ), dimana dokter harus segera bertindak untuk
menyelamatkan jiwa.
2. Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi situasi
dirinya. Ini tercantum dalam PerMenKes no 290/Menkes/Per/III/2008.3
Aspek Hukum Informed Consent
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien)
bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan
“jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi
orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya
diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak. Dalam masalah
“informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping terikat oleh
KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri
dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang
hal itu dapat diterapkan. Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata,
tolok ukur yang digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan
kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum
berlaku adagium “barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi”. Sedangkan
pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah “kesalahan berat” (culpa
lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum
dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.2
Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan
medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien),
sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan, maka dokter
sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu
perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter
dan harus menghormatinya;Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi
dengan adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan.
Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan
pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan
medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan
pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.2
Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa “informed
consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien
dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang
seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari informed consent
ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau
belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar
teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam
lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.2
Contoh Inform Consent:
SURAT PERSETUJUAN/PENOLAKAN MEDIS KHUSUS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : (L/P)
Umur/Tgl Lahir :
Alamat :
Telp :
Menyatakan dengan sesungguhnya dari saya sendiri/*sebagai orang tua/*suami/*istri/*anak/*wali dari :
Nama : (L/P)
Umur/Tgl Lahir :
Dengan ini menyatakan SETUJU/MENOLAK untuk dilakukan Tindakan Medis berupa…………………
………………………………………………………….
Dari penjelasan yang diberikan, telah saya mengerti segala hal yang berhubungan dengan penyakit terseb
ut, serta tindakan medis yang akan dilakukan dan kemungkinana pasca tindakan yang dapat terjadisesuai
penjelasan yang diberikan.
Jakarta,………………….20……
Dokter/Pelaksana, Yang membuat pernyataan,
Ttd ttd
(……………………) (…………………………..)
*Coret yang tidak perlu
Informed consent untuk tes HIV/AIDS
Tes HIV adalah tes darah yang digunakan untuk memastikan apakah seseorang sudah positif
terinfeksi HIV atau tidak, yaitu dengan cara mendeteksi adanya antibodi HIV di dalam sampel
darah orang tersebut. Hal ini perlu dilakukan setidaknya agar seseorang bisa mengetahui secara
pasti status kesehatan dirinya, terutama menyangkut risiko dari perilakunya selama ini.4
Tes HIV bersifat :4
Sukarela : bahwa seseorang yang akan melakukan tes HIV haruslah berdasarkan atas
kesadarannya sendiri, bukan atas paksaan atau tekanan orang lain, ini juga berarti bahwa
dirinya setuju untuk di tes setelah mengetahui hal-hal apa saja yang mencakup dalam tes
itu, apa keuntungan dan kerugian dari tes HIV, serta apa saja implikasi dari hasil positif
ataupun negatif.
Rahasia : apapun hasil tes ini (baik positif maupun negatif) hasilnya hanya boleh
diberitahu langsung kepada orang yang bersangkutan, tidak boleh diwakilkan kepada
siapapun, baik orang tua atau pasangan, atasan, atau siapapun.
Aspek Etik dan Legal tes HIV
Informed consent adalah persetujuan yang diberikan pasien atau keluarga atas dasar
penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.
Dasar dari informed consent yaitu :4
Asas menghormati otonomi pasien setelah mendapatkan informasi yang memadai pasien
bebas dan berhak memutuskan apa yang akan dilakukan terhadapnya.
Kepmenkes 1239/Menkes/SK/XI/2001 pasal 16
Dalam melaksanakan kewenangannya perawat wajib menyampaikan informasi dan
meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan.
PP No.32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan pasal 22 ayat 1
Bagi tenaga kesehatan dalam menjalankan tugas wajib memberikan informasi dan
meminta persetujuan.
UU No.23 Tahun 1992 tentang Tenaga Kesehatan pasal 15 ayat 2
Tindakan medis tertentu hanya bisa dilakukan dengan persetujuan yang bersangkutan
atau keluarga.
II.3 Rahasia Kedokteran
Pengertian rahasia kedokteran menurut PP no 10 tahun 1966 ialah:5
Pasal 1 : “Yang dimaksud dengan rahasia kedokteran ialah segala sesuatu yang diketahui oleh
orang-orang tersebut dalam pasal 3 pada waktu atau selama melakukan pekerjaannya
dalam lapangan kedokteran.”
Pasal 2 : “Pengetahuan tersebut pasal 1 harus dirahasiakan oleh orang-orang yang tersebut dalam
pasal 3, kecuali apabila suatu peraturan lain yang sederajat atau lebih tinggi daripada
Peraturan Pemerintah ini menentukan lain.
Pasal 3 : “Yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksud dalam pasal 1 ialah:
a.tenaga kesehatan menurut pasal 2 Undang-undang tentang Tenaga Kesehatan
(Lembaran Negara tahun 1963 No. 79).
b.mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan,
pengobatan dan/atau perawatan, dan orang lain yang ditetapkan oleh Menteri
Kesehatan.”
Yang wajib menyimpan Rahasia Kedokteran
1. Pasal 2 UU Tentang Tenaga Kesehatan yaitu Tenaga Kesehatan Sarjana, seperti :
dokter,dokter gigi, apoteker dan sarjana lain dibidang kesehatan dan Tenaga Kesehatan
Sarjana Muda ,menengah dan Rendah, seperti : asisiten apoteker, bidan, perawat,
nutrisionis , dan lain lain6
2. Mahasiswa Kedokteran , murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan , pengobatan
dan atau perawatan orang lain yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.6
Kewajiban Dokter untuk Menyimpan Rahasia Kedokteran
Salah satu di antara beberapa kewajiban dokter adalah menyimpan rahasia kedokteran.
Kewajiban menyimpan rahasia kedokteran tersebut adalah merupakan rahasia jabatan yang harus
dipegang teguh oleh dokter dan merupakan syarat yang senantiasa harus dipenuhi untuk
menciptakan suasana saling mempercayai yang mutlak dibutuhkan dalam hubungan dokter
dengan pasien. Rahasia jabatan dokter dimaksudkan untuk rnelindungi rahasia penyakit pasien
sehingga tetap terpelihara kepercayaan pasien terhadap dokternya. Kewajiban para dokter untuk
merahasiakan hal-ha1 yang diketahui karena jabatannya atau pekerjaannya adalah berpijak pada
norma-norma kesusilaan, yang pada hakekatnya merupakan suatu kewajiban moral, dan norma
hukum. Norma-norma kesusilaan tersebut tidak mencukupi karena banyak tergantung sifat dan
kelakuan perseorangan yang tentunya berbeda-beda dan tidak selalu baik. Selain daripada itu
apabila terjadi pelanggaran norma kesusilaan sanksinya tidak tegas yaitu berupa sanksi social
dari masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu norma hukum, sehingga dapat lebih
melindungi kepentingan manusia dan sanksinya lebih tegas jika terjadi pelanggaran.7
Norma – norma kesusilaan dan norma hukum tadi dicantumkan dalam berbagai peraturan dan
undang-undang yang merupakan pedoman seorang dokter dalam menjalankan tugas dan
profesinya. 7
II.4 Dampak Hukum
Pengaturan kewajiban menyimpan rahasia kedokteran
Seperti yang telah diketahui, bahwa dalam transaksi terapeutik terdapat hak dan kewajiban
kepada masing-masing pihak secara timbal balik. Adapun salah satu kewajiban dokter adalah
berkewajiban menyimpan rahasia kedokteran yang dimiliki pasiennya.7
Dibidang etika kedokteran, sepanjang dapat ditelesuri masalah rahasia kedokteran mulai
diatur dalam sumpah hippocrates pada abad 469-399 SM yang berbunyi “apa yang saya melihat
atau mendengar sewaaktu dalam menjalankan praktek atau tidak, tentang kehidupan seseorang
yang seharusnya tidak diungkapkan akan saya perlakukan sebagai rahasia.” Selain di dalam
sumpah hippocrates keewajiban menyimpan rahasia kedokteran juga terdapat pada :7
a. Declaratioon of geneva
Declaration of geneva adalah versi sumpah hipocrates yang dimodernisasi yang
diintroduksikan oleh world medical association. Khusus yang mengenai rahasia
kedokteran berbunyi : “I will respect the secrets which are confided in me, even after
the patient has died.”
b. International code of medichal ethics
Pada tahun 1968 di sydney diadakan perubahan pada declaration of geneva yang
kemudian menjadi pedoman dasar untuk terbitnya International code of medichal ethics
ini. khusus yang mengenai rahasia kedokteran berbunyi “ a doctor shall preserve
absolute secrecy on all the knows about his patient because the confidence entrusted in
him.”
c. Peraturan pemerintah nomor 26 tahun 1966 yang memuat lafal sumpah dokter indonesia
Dalam sumpah ini khususnya di dalam penjelasan pasal 1 kode etik kedokteran
indonesia terdapat uraian yang berkenaan dengan rahasia kedokteran yang berbunyi
“saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan
karena kelimuan saya sebagai dokter.”
d. Kode etik kedokteran indonesia
Pasal 13 tercantum kalimat sebagai berikut :”setiap dokter wajib merahasiakan segala
sesuatu yang diktehauinya tentang seorang penderita, bahkan juga setelah penderita itu
meninggal dunia.”
Sumpah dalam hubungannya dengan rahasia kedokteran ini jika ditinjau secara yuridis tidak
mempunyai arti. Sumpah hanyalah merupakan suatu ikrar, suatu pernyataan kehendak secara
sepihak yang pelaksanaannya tergantung pada hati nurani si pelaku itu sendiri. Oleh karena itu
suatu sumpah tidak dapat dipergunakan sebagai dasar hukum untuk penuntutan. Demikian pula
kode etik kedokteran indonesia (KODEKI) yang termasuk bidang etik yang sifatnya self imposed
regulations. Suatu kode etik ini bersifat intern dimana sanksi hanya dapat dijatuhkan dalam
kaitan organisasi dan oleh organisasi itu sendiri. Suatu KODEKI juga tidak memiliki nilai
yuridis, shingga tidak mempunyai akibat hukum.7
Adapun dasar yuridis untuk menuntut yang menyangkut rahasia kedokteran terdapat pada:7
a. Hukum perdata
1. Perjanjian terapeutik antara dokter dengan pasien
2. Pasalnya 1909, 3e KUHPerdata “segala siapa yang karena kedudukannya,
pekerjaannya, atau jabatannya menurut undang-undang diwajibkan merahasiakan
sesuatu, namun hanyalah semata-mata mengenai hal-hal yang pengetahuannya
dipercayakan kepadanya sebagai demikian.”
3. Pasal 1365 KUHPerdata “Tiap-tiap perbuatan melanaggar hukum yang membawa
kerugian terhadap orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya, menerbitkan
kerugian itu, menggantikan kerugian tersebut”
b. Hukum pidana
1. Pasal 322 KUHP
1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau
pencariannya baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilanribu rupiah.
2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya
dapatdituntut atas pengaduan orang itu
2. Pasal 224 KUHP
Barangsiapa yang dipanggil menurut undang-undang untuk menjadi saksi, ahli
atau jurubahasa, dengan sengaja tidak melakukan suatu kewajiban yang menurut
undang-undangia harus melakukannnya:
1. Dalam perkara pidana dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 9 bulan.
2. Dalam perkara lain, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 6 bulan.
c. Hukum acara pidana
1. Pasal 170 KUHAP
1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan
menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi
keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.
2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.
2. Pasal 179 KUHAP
1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau
dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.
2) Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang
memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan
sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan sebenar-
benarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.
d. Hukum acara perdata
1. Pasal 146 ayat 3 HIR
Sekalian orang yang karena kedudukan, pekerjaan atau jabatannya yang sah,
diwajibkan menyimpan rahasia, tetapi semata-mata hanya tentang hal yang
diberitahukan kepadanya karena kedudukan, pekerjaan atau jabatannya itu.
2. Pasal 174 RBg
(1) Mereka yang dapat membebaskan diri dari pemberian kesaksian adalah :
(KUHperd. 1909.)
1) saudara-saudara laki-laki atau perempuan dan ipar-ipar laki-laki atau
perempuan dari salah satu pihak;
2) saudara-saudara sedarah dalam garis lurus dan saudara-saudara laki-laki atau
perempuan dari suami atau istri salah satu pihak;
3) mereka yang karena kedudukan, pekerjaan atau jabatan resmi, diharuskan
menyimpan rahasia tetapi hanya dan semata-mata mengenai hal-hal yang
pengetahuannya dipercayakan kepadanya dalam kedudukannya tersebut.
(2) Ada tidaknya kewajiban menyimpan rahasia yang dikemukakan oleh yang
bersangkutan dapat dinilai oleh pengadilan negeri.
e. Hukum administrasi
Peraturan pemerintah nomor 10 tahun 1996 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran.
Pada peraturan tersebut diperluas berlakunya wajib simpan rahasia kedokteran, juga
bagi tenaga kesehatan lainnya, seperti perawat, bidan, mahawsiswa kedokteran, ahli
farmasi, analis laboratorium, radiologi dan lain-lainnya.
Gugurnya kewajiban dokter untuk menyimpan rahasia kedokteran
Kewajiban menyimpan rahasia kedokteran ini tidak mutlak sifatnya. Artinya dalam situasi-
situasi tertentu hal tersebut dapat diterobos. Dengan kata lain, kewajiban dokter untuk
menyimpan rahasia kedokteran tersebut dapat gugur sehingga dokter tidak dikenai sanksi hukum.
Seorang dokter dapat dibebaskan dari sanksi hukum dalam hal ia mengungkapkan rahasia
kedokteran jika terdapat faktor-faktor atau hal-hal sebagai berikut :7
a. Adanya ijin dari pasien
Pasien adalah satu-satunya orang yang berhak memutuskan boleh tidaknya
konfidensialitas tentang dirinya diungkapkan. Namun apabila pasien telah memberikan
ijin untuk mengungkapkan rahasia atas dirinya, maka dokter terbebas dari kewajiban
menyimpan rahasia tersebut dan tidak dapat dikenai sanksi. Ijin dari pasien ini dapat
diberikan secara lisan ataupun tertulis ataupun secara diam-diam/anggapan. Pemberian
ijin itu bisa secara terbatas, yaitu dalam arti terbatas pada orang-orang tertentu saja.
Dapat juga dibatasi oleh ruang lingkup rahasia itu sendiri, misalnya terbatas hanya
kepada apa yang diperlukan saja. Pemeberian ijin secara diam-diam/anggapan, misalnya
pasien yang dirawat inap dirumah sakit dapat dianggap telah memberikan ijin kepada
dokter yang merawatnya untuk mengadakan konsultasi kepada dokter ahli tentang
penyakitnya.7
b. Adanya keadaan mendesak atau memaksa
Dii dalam keadaan terpaksa, juga tanpa ijin pasien, dokter dapat mengungkapkan rahasia
kedokteran. Keadaan terpaksa yang dimaksud adalah suatu situasi di mana suatu norma
dapat dilanggar demi suatu kepentingan yang lebih besar. Seperti pada pasal 48 KUHP
“siapapun tak terpidana jika melakukan perbuatan karena terdorong oleh keadaan
terpaksa.”7
c. Adanya peraturan perundang-undangan
Seorang dokter yang membuka rahasia kedokteran tidak dapat dipidana karena
melaksanakan ketentuan undang-undang. Hal tersebut tersimpul dalam ketentuan pasal
50 KUHP yang berbunyi : “barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan
ketentuan undang-undang tidak dipidana.” Dalam hal ini dapat dianggap bahwa secara
materiil oleh undang-undang telah dipertimbangkan, bahwa terdapat kepentingan yang
lebih besar.7
d. Adanya perintah jabatan
Sebagai dasar pembenar lain untuk melanggar kewajiban dokter untuk menyimpan
rahasia kedokteran adalah adanya perintah jabatan yang diatur dalam ketentuan pasal 51
KUHP. Pasal ini mengatur tentang seorang dokter yang mempunyai jabatan rankap
seperti militer atau dokter tentang penguji kesehatan.7
e. Demi kepentingan umum atau kepentingan yang lebih tinggi
Alasan ini timbul berdasaarkan kebiasaan praktek, karena pasien tersebut merupakan
“public figure”, seorang tokoh atau pemimpin yang dianggap penting oleh masyarakat.7
f. Adanya Presumed Consent dari pasien
Adanya Presumed Consent yaitu pasien telah mengetahui atau seharusnya mengetahui
bahwa data tentang dirinya akan diketahui oleh orang atau instansi selain dokter.7
Bab III
Kesimpulan
Dokter telah menjalankan tugasnya sesuai etika profesi kedokteran dengan menjaga Rahasia
Jabatan atau rahasia pasien. Dalam skenario ini dokter menjaga rahasia pasien mengenai
penyakit kelamin yang dideritanya dari orang lain terutama dari istri pasien itu sendiri.
Berdasarkan prinsip otonomi dan sumpah Dokter serta kode etik seperti yang tertera pada PP No.
10 Tahun 1966 dan peraturan lainnya. Bila dokter membuka rahasia tersebut makan dokter akan
dikenakan pidana penjara paling lama sembilan bulan dan denda paling banyak sembila puluh
ribu rupiah (Pasal 322 KUHP) dan sanksi lainnya. Selain itu dokter juga memberikan penjelasan
mengenai penyakit yang diderita pasien. Dokter juga meminta persetujuan pasien berupa
informed consent untuk melakukan prosedur pemeriksaan, dalam skenario ini terutama meminta
kesediaan pasien untuk membuka celana, palpasi alat kelamin, dan sebagainya. Pasien juga
berwenang pebuh untuk menentukan pengobatan yang akan diterima sesuai dengan anjuran dan
penjelasan dokter setelah mempertimbangkan efek samping yang dapat timbul dari pengobatan.
Untuk istri pasien, dokter juga memberikan penjelasan mengenai penyakit kelaminnya, yaitu
penyakit infeksi yang mengenai alat kelamin yang bisa didadapatkan melalui beberapa media,
tanpa membuka rahasia suaminya. Pada istri pasien diberikan juga informed consent untuk
persetujuan menjalankan prosedur pemeriksaan. Dan juga menangani penyakit pasien dengan
memegang prinsip beneficence.
Daftar Pustaka
1. Sampurna, Budi, Syamsu Zulhasmar, Siswaja Tjeptjep D. Bioetik dan hukum kedokteran
pengantar bagi mahasiswa kedokteran dan hukum cetakan pertama. Jakarta: Pustaka
Dwipar. 2005.
2. Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Peraturan Perundang-Undangan Bidang Kedokteran
Edisi I Cetakan Kedua. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik FKUI. 1994. Hal 20-22.
3. Kode Etik Kedokteran diunduh dari: http://www.ilunifk83.com/t130-kode-etik-
kedokteran-indonesia pada tanggal 18 Januari 2012.
4. Informed Consent pada Penderita HIV diunduh dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20964/4/Chapter%20II.pdf pada tanggal
18 Januari 2012.
5. Rahasia Kedokteran diunduh dari http://hukum.unsrat.ac.id/pp/pp_10_1966.htm pada
tanggal 18 Januari 2012.
6. Rahasia Kedokteran diunduh dari
http://www.fk.uwks.ac.id/elib/Arsip/Departemen/Hukum_Kedokteran/RAHASIA
%20KEDOKTERAN%20(14).pdf pada 18 Januari 2012
7. Aspek Hukum Kewajiban Menyimpan Rahasia Kedookteran oleh Ahdiana Yuni Lestari
dikutip dari Jurnal Hukum Respublica no.4 vol.2 Tahun 2003 : 131-141.