pbl 6 30 sesha
DESCRIPTION
ghgdgfTRANSCRIPT
Makalah PBL-6 Blok 30
Etika Profesi Kedokteran
Alessandrasesha Santoso*
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6 Kebon Jeruk, Jakarta 11510
Email : [email protected]
BAB I
Pendahuluan
Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat
luas, yang sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada informed
consent, wajib simpan rahasia kedokteran, profesionalisme, dll. Bahkan di dalam
praktek kedokteran, aspek etik seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek
hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik yang telah diangkat menjadi norma
hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etika.
Aspek etik kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar
profesi mengakibatkan penilaian perilaku etik seseorang dokter yang diadukan tidak
dapat dipisahkan dengan penilaian perilaku profesinya. Etik yang memiliki sanksi
moral dipaksa berbaur dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang
bersifat administratif.
Selain Kode Etik Profesi di, praktek kedokteran juga berpegang kepada
prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam
membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar-
salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral. Pengetahuan
etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika
biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis
yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis.1
BAB II
Pembahasan
I. Etika Kedokteran
1
Etik dan hukum memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mengatur tertib dan
tenteramnya pergaulan hidup dalam masyarakat. Namun pengertian etik dan hukum
berbeda. Etik berasal dari kata Yunani ethos, yang berarti “yang baik, yang layak.” Ini
merupakan norma-norma, nilai-nilai atau pola tingkah laku kelompok profesi tertentu
dalam memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat. Landasan etik kedokteran
adalah sebagai berikut:2,3
1. Sumpah Hippokrates (460-377 SM)
2. Deklarasi Geneva (1948)
3. International Code of Medical Ethics (1949)
4. Lafal Sumpah Dokter Indonesia (1960)
5. Kode Etik Kedokteran Indonesia (1983)
6. Pernyataan-pernyataan (Deklarasi) Ikatan Dokter Sedunia
(World Medical Association, WMA), yaitu antara lain :
7. Deklarasi Geneva (1948) tentang Lafal Sumpah Dokter
8. Deklarasi Helsinki (1964) tentang Riset Klinik
9. Deklarasi Sydney (1968) tentang Saat Kematian
10. Deklarasi Oslo (1970) tentang Pengguguran Kandungan atas
Indikasi Medik.
11. Deklarasi Tokyo (1975) tentang Penyiksaan
Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar-salahnya
suatu sikap dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas.
Penilaian baik-buruk dan benar-salah dari sisi moral tersebut menggunakan
pendekatan teori etik yang cukup banyak jumlahnya. Terdapat dua teori etika yang
paling banyak dianut orang adalah teori deontologi dan teleologi. Deontology lebih
mendasarkan kepada ajaran agama, tradisi, dan budaya, sedangkan teleology lebih kea
rah penalaran (reasoning) dan pembenaran (justifikasi) kepada azas manfaat (aliran
utilitarian).1
Di dalam menentukan tindakan di bidang kesehatan atau kedokteran, selain
mempertimbangkan keempat kebutuhan dasar di atas, keputusan hendaknya juga
mempertimbangkan hak-hak asasi pasien. Pelanggaran atas hak pasien akan
mengakibatkan juga pelanggaran atas kebutuhan dasar di atas terutama kebutuhan
kreatif. Etika adalah displin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar salah suatu
sikap dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas.
2
Penilaian baik buruk dan benar salah dari sisi moral tersebut menggunakan
pendekatan teori etika yang cukup banyak jumlahnya. Terdapat dua teori etika yang
paling banyak dianut orang adalah teori deontology dan teleology. Secara irngkas
dapat dikatakan bahwa, deontology mengajarkan bahwa baik buruknya suatu
perbuatan harus dilihat dari perbuatannya itu sendiri, sedangkan teleology
mengajarkan untuk menilai baik buruk tindakan dengan melihat hasil atau akibatnya.
Deontology lebih mendasarkan kepada ajaran agama, tradisi, dan budaya, sedangkan
teleology lebih kea rah penalaran dan pembenaran kepada azas manfaat.1
Beauchamp dan Childress, 1994, menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu
keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar moral dan beberapa rules di bawahnya. Ke-4
kaidah dasar moral tersebut adalah:1
1. Prinsip otonomi yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien,
terutama hak otonomi pasien. Prinsip moral inilah yang kemudian
melahirkan doktrin informed consent.
2. Prinsip beneficene yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan
ditujukan ke kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal
perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya
lebih besar daripada sisi buruknya.
3. Prinsip non maleficence yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai primum non
nocere atau above all do no harm.
4. Prinsip justice yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan
keadilan dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya.
Sedangkan rules derivatnya adalah veracity, privacy, confidentiality, dan
fidelity. Selain prinsip atau kaidah dasar moral di atas yang harus dijadikan pedoman
dalam mengambil keputusan klinis, profesional kedokteran juga mengenal etika
profesi sebagai panduan dalam bersikap dan berprilaku. Perbuatan keputusan etik,
terutama dalam situasi klinik, dapat juga dilakukan dengan pendekatan yang berbeda
dengan pendekatan kaidah dasar moral di atas. Jonsen, Siegler, dan Winslade
mengembangkan teori etik yang menggunakan 4 topik yang esensial dalam pelayanan
klinik, yaitu:1
1. Medical indication
2. Patient preferences
3
3. Quality of life
4. Contextual features
Ke dalam topic medical indication dimasukkan semua prosedur diagnostic dan
terapi yang sesuai untuk mengevaluasi keadaan pasien dan mengobatinya. Penilaian
aspek indikasi medis ditinjau dari sisi etiknya, terutama menggunakan kaidah
beneficence dan non maleficence. Pertanyaan etika pada topic ini adalah serupa
dengan seluruh informasi yang selayaknya disampaikan kepada pasien pada doktrin
informed consent.
Pada topic patient preference kita memperhatikan nilai dan penilaian pasien
tentang manfaat dan beban yang akan diterimanya, yang berarti cerminan kaidah
otonomi. Pertanyaan etiknya meliputi pertanyaan tentang kompetensi pasien, sifat
volunteer, sikap dan keputusannya, pemahaman atas informasi, siapa pembuat
keputusan bila pasien tidak kompeten, nilai dan keyakinan yang dianut pasien.
Topic quality of life merupakan aktualisasi salah satu tujuan kedokteran, yaitu
memperbaiki, menjaga atau meningkatkan kualitas hidup insane. Apa, siapa dan
bagaimana melakukan penilaian kualitas hidup merupakan pertanyaan etik sekitar
prognosis, yang berkaitan dengan beneficence, non maleficence dan otonomi. Dalam
contextual features dibahas pertanyaan etik seputar aspek non medis yang
mempengaruhi keputusan, seperti faktor keluarga, ekonomi, agama, budaya,
kerahasiaan, alokasi sumber daya dan faktor hukum.1
Dalam peran negative gatekeeper, yaitu pada system kesehatan pra bayat atau
kapitasi, dokter diharapkan untuk membatasi akses pasien ke layanan medis. Pada
peran ini jelas terjadi konflik moral pada dokter dengan tanggungjawab tradisionalnya
dalam membela kepentingan pasien dengan tanggungjawab barunya sebagai pengawal
sumber daya masyarakat atau komunitas. Meskipun demikian, peran negative
gatekeeper ini secara moral mungkin masih dapat dijustifikasi. Tidak seperti peran
negative yang banyak dideskripsikan secara terbuka, peran positive gatekeeper dokter
sangat tertutup dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Dalam peran ini
dokter diberdayakan untuk menggunakan fasilitas medis dan jenis layanan hi-tech
demi kepentingan profit. Bagi mereka yang mampu membayar disediakan fasilitas
diagnostic dan terapi yang paling mahal dan muktahir, layanan didasarkan pada
keinginan pasar dan bukan kepada kebutuhan medis. Upaya meningkatkan demand
atas layanan yang sophisticated dijadikan tujuan yang implicit dan dokter jadi
4
salesmannya. Mereka berbagi profit secara langsung apabila mereka pemilik atau
investor layanan tersebut, atau mereka memperoleh penghargaan berupa kenaikan
honorarium atau tunjangan apabila mereka hanya berstatus pegawai atau pelaksana.1,4
Sifat hubungan antara dokter dengan pasien berkembang dari sifat paternalistic
hingga ke sifat kontraktual dan fiduciary. Pada masa sebelum tahun 1950-an
paternalistik dianggap sebagai sifat hubungan yang paling tepat, dimana dokter
menentukan apa yang akan dilakukan terhadap pasien berdasarkan prinsip
beneficence (semua yang terbaik untuk kepentingan pasien, dipandang dari
kedokteran). Prinsip ini telah mengabaikan hak pasien untuk turut menentukan
keputusan. Sampai kemudian tahun 1970-an dikembangkan sifat hubungan
kontraktual antara dokter dengan pasien yang menitikberatkan kepada hak otonomi
pasien dalam menentukan apa-apa yang boleh dilakukan terhadapnya. Kemudian
hubungan dokter-pasien tersebut dikoreksi oleh para ahli etika kedokteran menjadi
hubungan ficuiary (atas niat baik dan kepercayaan), yaitu hubungan yang
menitikberatkan nilai-nilai keutamaan (virtue ethics). Sifat hubungan kontraktual
dianggap meminimalkan mutu hubungan karena hanya melihatnya dari sisi hukum
dan peraturan saja, dan disebut sebagai bottom line ethics.4
Otonomi pasien dianggap sebagai cerminan konsep self governance, liberty
rights, dan individual choices. Immanuel Kant mengatakan bahwa setiap orang
memiliki kapasitas untuk memutuskan nasibnya sendiri, sedangkan Johns S. Mills
berkata bahwa kontrol sosial atas seorang individu hanya sah apabila dilakukan
karena terpaksa untuk melindungi hak orang lain.
Salah satu hak pasien yang disahkan dalam Declaration of Lisbon dari World
Medical Association (WMA) adalah “the rights to accept or to refuse treatment after
receiving aduquate information”. Secara implicit amandemen UUD 45 pasal 28G ayat
(1) juga menyebutkan demikian “Setiap orang berhak atas perlindungan diri
pribadi,....dst”. Selanjutnya UU No 23/1992 tentang Kesehatan juga memberikan
persetujuan atas tindakan medis yang akan dilakukan terhadapnya. Hak ini kemudian
diuraikan di dalam Permenkes tentang Persetujuan Tindakan Medis. Suatu tindakan
medis terhadap seseorang pasien tanpa memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari
pasien tersebut dapat dianggap sebagai penyerangan atas hak orang lain atau
perbuatan melanggar hukum.
5
Prinsip otonomi pasien ini dianggap sebagai dasar dari doktrin informed consent.
Tindakan medis terhadap pasien harus mendapat persetujuan (otorisasi) dari pasien
tersebut, setelah ia menerima dan memahami informasi yang diperlukan. Informed
consent dapat dianggap sebagai a patient with substantial understanding and ini
substantial absence control by others, intentionally authorizes a professional to do
something.1,4
I.I. Kaidah Dasar Bioetik
a. Autonomy
The principle of autonomy recognizes the rights of individuals to self
determination.Prinsip autonomi mengakui hak-hak individu untuk menentukan nasib
sendiri. This is rooted in society's respect for individuals' ability to make informed
decisions about personal matters.Hal ini berakar pada masyarakat hormat untuk
kemampuan individu untuk membuat keputusan tentang hal-hal pribadi. Autonomy
has become more important as social values have shifted to define medical quality in
terms of outcomes that are important to the patient rather than medical
professionals.Autonomi telah menjadi lebih penting sebagai nilai-nilai sosial telah
bergeser untuk mendefinisikan kualitas medis dalam hal hasil yang penting bagi
pasien daripada medis profesional. The increasing importance of autonomy can be
seen as a social reaction to a “ ” tradition within healthcare. [ ] Some have questioned
whether the backlash against historically excessive paternalism in favor of patient
autonomy has inhibited the proper use of to the detriment of outcomes for some
patients . Menghormati otonomi adalah dasar informed consent dan petunjuk terlebih
dahulu.1
Autonomy is a general indicator of health.By considering Autonomy as a
gauge parameter for (self) health care, the medical and ethical perspective both
benefit from the implied reference to Health.Dengan mempertimbangkan autonomi
sebagai parameter gauge untuk (diri) perawatan kesehatan, perspektif medis dan etika
baik manfaat dari referensi tersirat untuk Kesehatan. Psychiatrists are often asked to
evaluate a patient's competency for making life-and-death decisions at the end of life.
Psikiater sering diminta untuk mengevaluasi kemampuan pasien untuk membuat
keputusan hidup dan mati pada akhir kehidupan. Persons with a psychiatric condition
such as delirium or clinical depression may not have the capacity to make end-of-life
6
decisions. Orang dengan kondisi jiwa seperti depresi klinis delirium atau mungkin
tidak memiliki kapasitas untuk membuat keputusan akhir-kehidupan. Therefore, for
these persons, a request to refuse treatment may be ignored. Oleh karena itu, untuk
orang-orang ini, permintaan untuk menolak pengobatan mungkin diabaikan. Unless
there is a clear advance directive to the contrary, persons who lack mental capacity
are generally treated according to their best interests. Kecuali ada advance directive
jelas sebaliknya, orang-orang yang tidak memiliki kapasitas mental umumnya
diperlakukan sesuai dengan kepentingan terbaik mereka. On the other hand, persons
who have the mental capacity to make end-of-life decisions have the right to refuse
treatment and choose an early death if that is what they truly want. Di sisi lain, orang
yang memiliki kapasitas mental untuk membuat akhir-keputusan hidup memiliki hak
untuk menolak perawatan dan memilih kematian dini jika itu yang mereka inginkan.
In such cases, psychiatrists should be a part of protecting that right. Dalam kasus
tersebut, psikiater harus menjadi bagian dari melindungi hak itu.4
b. BeneficenceBeneficence merupakan tindakan dokter yang
mengutamakanThe term beneficence refers to actions that promote
the wellbeing of others.Beneficence merupakan tindakan dokter yang
mengutamakanThe term beneficence refers to actions that promote
the wellbeing of others.
Beneficence merupakan tindakan dokter yang mengutamakan Beneficence
merupakan tindakan dokter yang mengutamakanThe term beneficence refers to
actions that promote the wellbeing of others.Beneficence merupakan tindakan dokter
yang mengutamakanThe term beneficence refers to actions that promote the wellbeing
of others.Beneficence merupakan tindakan dokter yang mengutamakanThe term
beneficence refers to actions that promote the wellbeing of others.kebaikan kepada
pasien dibandingkan kepentingan sendiri. Beneficence merujuk pada tindakan yang
mempromosikan kesejahteraan orang lain. In the medical context, this means taking
actions that serve the best interests of patients. Dalam konteks medis, ini berarti
mengambil tindakan yang melayani kepentingan terbaik pasien. However, uncertainty
surrounds the precise definition of which practices do in fact help patients. Namun,
ketidakpastian mengelilingi definisi yang tepat yang praktek lakukan dalam
membantu pasien sebenarnya. and in Principle of Biomedical Ethics (1978) identify
beneficence as one of the core values of health care ethics.James Childress dan Tom
7
Beauchamp dalam Prinsip Etika Biomedis mengidentifikasi kebaikan sebagai salah
satu nilai inti dari etika pelayanan kesehatan. Some scholars, such as , argue that
beneficence is the only fundamental principle of medical ethics. Beberapa sarjana,
seperti Edmund Pellegrino, berpendapat bahwa kebaikan adalah satu-satunya prinsip
fundamental etika medis. They argue that healing should be the sole purpose of
medicine, and that endeavors like , and fall beyond its purview.Mereka berpendapat
penyembuhan yang harus menjadi tujuan tunggal obat, dan bahwa usaha-usaha seperti
operasi kosmetik, kontrasepsi dan euthanasia jatuh di luar bidang tersebut.4
c. Non-MaleficenceThe concept of non-maleficence is embodied by the
phrase, "first, do no harm," or the Latin,
.Non maleficence adalah suatu tindakan dokter yang tidak mencelakakan atau
memperburuk keadaan pasien. Banyak menganggap bahwa harus menjadi
pertimbangan utama atau primer bahwa lebih penting untuk tidak membahayakan
pasien, daripada berbuat baik kepada mereka. This is partly because enthusiastic
practitioners are prone to using treatments that they believe will do good, without first
having evaluated them adequately to ensure they do no (or only acceptable levels of)
harm.Hal ini sebagian karena praktisi antusias rentan terhadap perawatan
menggunakan bahwa mereka percaya akan berbuat baik, tanpa terlebih dahulu harus
dievaluasi secara memadai untuk memastikan mereka tidak melakukan (atau hanya
tingkat yang dapat diterima dari) membahayakan. Much harm has been done to
patients as a result.Banyak yang telah dilakukan kepada pasien sebagai hasilnya. It is
not only more important to do no harm than to do good; it is also important to know
how likely it is that your treatment will harm a patient. Hal ini tidak hanya lebih
penting untuk tidak membahayakan daripada berbuat baik, namun juga penting untuk
mengetahui seberapa besar kemungkinan bahwa perawatan Anda akan
membahayakan pasien.1So a physician should go further than not prescribing
medications they know to be harmful - he or she should not prescribe medications (or
otherwise treat the patient) unless s/he knows that the treatment is unlikely to be
harmful; or at the very least, that patient understands the risks and benefits, and that
the likely benefits outweigh the likely risks.
In practice, however, many treatments carry some risk of harm.Dalam
prakteknya, bagaimanapun, banyak perawatan membawa beberapa risiko bahaya. In
some circumstances, eg in desperate situations where the outcome without treatment
8
will be grave, risky treatments that stand a high chance of harming the patient will be
justified, as the risk of not treating is also very likely to do harm. Dalam beberapa
keadaan, misalnya dalam situasi putus asa mana hasil tanpa pengobatan akan kubur,
pengobatan berisiko yang memiliki kesempatan tinggi merugikan pasien akan
dibenarkan, sebagai risiko tidak memperlakukan juga sangat mungkin untuk
melakukan kejahatan. So the principle of non-maleficence is not absolute, and
balances against the principle of (doing good), as the effects of the two principles
together often give rise to a double effect (further described in next section). Jadi
prinsip non-sifat mencelakakan tidak mutlak, dan saldo terhadap prinsip kebaikan
(berbuat baik), sebagai dampak dari dua prinsip bersama sering menimbulkan efek
ganda (lebih lanjut dijelaskan dalam bagian berikutnya).4
"Non-maleficence" is defined by its cultural context."Non-maleficence"
ditentukan oleh konteks budayanya. Every culture has its own cultural collective
definitions of 'good' and 'evil'.Setiap budaya memiliki definisi sendiri kolektif budaya
'baik' dan 'jahat'. Their definitions depend on the degree to which the culture sets its
cultural values apart from nature.Definisi mereka tergantung pada sejauh mana
budaya set nilai-nilai budaya, terpisah dari alam. In some cultures the terms "good"
and "evil" are absent: for them these words lack meaning as their experience of nature
does not set them apart from nature. Dalam beberapa kebudayaan istilah "baik" dan
"jahat" tidak hadir: bagi mereka kata-kata ini kurangnya pengalaman mereka arti
sebagai alam tidak membedakan mereka dari alam. Other cultures place the humans
in interaction with nature, some even place humans in a position of dominance over
nature. budaya lain menempatkan manusia dalam interaksi dengan alam, beberapa
manusia tempat bahkan di posisi dominasi atas alam. The religions are the main
means of expression of these considerations. Agama-agama adalah sarana utama
ekspresi pertimbangan.Depending on the cultural consensus conditioning (expressed
by its religious, political and legal social system) the legal definition of Non-
maleficence differs. Tergantung pada pengkondisian konsensus budaya (dinyatakan
oleh agama, politik dan hukum sistem sosial perusahaan) definisi hukum Non-
maleficence berbeda.
d. Justice
Justice yaitu prinsip moral yang memetingkan fairness dan keadilan dalam
mendistribusikan sumber daya (disrtributive justce).1,5 Empat prinsip bioethical yang
9
sering digunakan dalam analisis etika medis otonomi, kebaikan, non-sifat
mencelakakan dan keadilan.1,5
Dimana prinsip-prinsip ini dipanggil mereka harus benar digunakan
dan didefinisikan.
Metode lain analisis dapat menghasilkan pendekatan yang lebih
holistik dan tiga-dimensi terhadap masalah.4 Sedangkan rules
derivatnya adalah veracity (berbicara benar, jujur dan terbuka),
privacy (menghormati hak privasi pasien), confidentiality (menjaga
kerahasiaan pasien) dan fidelity (loyalitas dan promise keeping).
II. Informed Consent
Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004
Pasal 45 serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. maka
Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien
atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai
tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Menurut
Lampiran SKB IDI No. 319/P/BA/88 dan Permenkes no 585/MenKes/Per/IX/1989
tentang Persetujuan Tindakan Medis Pasal 4 ayat 2 menyebutkan dalam memberikan
informasi kepada pasien atau keluarganya, kehadiran seorang perawat atau paramedik
lainnya sebagai saksi adalah penting. Tujuan Informed Consent antara lain:
1.Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya
tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan
tanpa sepengetahuan pasiennya.
2.Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat
negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan
medik ada melekat suatu resiko.
Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat digolongkan sebagai
tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351. Menurut Pasal 5
Permenkes No. 290/MenKes/PER/III/2008, persetujuan tindakan kedokteran dapat
dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan, sebelum dimulainya
tindakan (Ayat 1). Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran harus dilakukan
secara tertulis oleh yang memberi persetujuan (Ayat 2).1
Informed consent memiliki 3 elemen, yaitu:1,4
10
Threshold elements
Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena
sifatnya lebih ke arah syarat, yaitu pemberian consent haruslah seseorang yang
kompeten. Kompeten disini diartikan sebagai kapasitas untuk membhat keputusan
(medis). Kompetensi manusia untuk membuat keputusan sebenarnya merupakan suatu
kontinuum, dari sama sekali tidak memiliki kompetensi yang penuh. Diantara terdapat
berbagai tingkat kompetensi membuat keputusan tertentu (keputusan yang reasonable
berdasarkan alasan yang reasonable). Dewasa diartikan sebagi usia yang telah
mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang
dianggapm tidak kompeten adalah apabila ia mempunyai penyakit mental sedemikian
rupa atau perkembangan mentalnya terbelakang sedemikian rupa, sehingga
kemampuan membuat keputusannya terganggu.
Informatif elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan) dan
udnderstanding (pemahaman). Pengertian ‘berdasarkan pemahaman yang adekuat’
membawa konsekuensi kepada tenaga medis untuk memberikan informasi
(disclosure) sedemikian rupa agar pasien dapat mencapai pemahaman yang adekuat.
Dalam hal ini seberapa baik, informasi harus diberikan kepada pasien, dapat
dilihat dari 3 standar:
Standar praktek profesi. Bahwa kewajiban memberikan informasi dan
kriteria keadekuatan informasi ditentukan bagaimana biasanya
dilakukan dalam komunitas tenaga medis (constumary practise of a
professional community - Faden an Beauchamp, 1986). Standar ini
terlalu mengacu kepada nilai-nilai yang ada didalam komunitas
kedokteran, tanpe kemampuan pemahaman individu yang diharapkan
menerima informasi tersebut.
Standar subyektif. Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai
yan dianut oleh oleh pasien secara pribadai, sehingga informasi yang
diberikan harus memadai pasien tersebut dalam mengambil
keputusan. Adalah mstahil bagi tenaga medis untuk memahami nilai-
nilai yang secar individual dianut oleh pasien.
Standar pada reasonable person. Standar ini merupakan hasil
kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap cukup
11
apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan pada
umumnya orang awam. Sub elemen pemahaman (understanding)
dipengaruhi oleh penyakitnya, irrasionalis, dan imaturitas. Banyak
ahli mengatakan bahwa apabila elemen ini tidak lalai melaksanankan
tugasnya memberi informasi yang adekuat.
Consent Elements
Elemen ini juga terdiri dari dua bagian, yaitu voluntariness (kesukarelaan,
kebebasan) dan authorization (persetujuan). Kesukarelaan mengharuskan tidak adanya
tipuan, misrepresentasi ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas dari tekanan yang
dilakukan oleh tenaga medis yang bersifat seolah-olah akan dibiarkan apabila tidak
menyetujui tawaran. Banyak ahli berpendapat bahwa melakukan persuasi yang tidak
berlebihan masih dapat dibenarkan secara moral. Some acts cannot legally take place
because of a lack of informed consent.Beberapa tindakan tidak dapat secara legal
terjadi karena kurangnya informed consent. In cases where an individual is considered
unable to give informed consent, another person is generally authorized to give
consent on his behalf, eg, parents or of a and caregivers for the mentally ill . Dalam
kasus di mana seorang individu dianggap tidak mampu memberikan informed
consent, orang lain umumnya berwenang untuk memberikan persetujuan atas
namanya, misalnya, orang tua atau wali sah dari seorang anak dan pengasuh untuk
sakit mental. However, if a severely injured person is brought to a hospital in an
unconscious state and no-one is available to give informed consent, doctors will give
whatever treatment is necessary to save their life (according to the Hippocratic oath ),
which might involve major surgery, eg, . Namun, jika orang terluka parah dibawa ke
rumah sakit dalam keadaan tidak sadar dan tidak ada yang tersedia untuk memberikan
informed consent, dokter akan memberikan apa pun perawatan yang diperlukan untuk
menyelamatkan hidup mereka (sesuai dengan sumpah Hippocrates ), yang mungkin
melibatkan utama operasi, misalnya, amputasi.In cases where an individual is
provided insufficient information to form a reasoned decision, serious ethical issues
arise. Dalam kasus di mana seorang individu diberikan informasi yang cukup untuk
membentuk suatu keputusan yang beralasan, isu-isu etis yang serius muncul. Such
cases in a in are anticipated and prevented by an ethics committee or Institutional
Review Board . Kasus-kasus seperti dalam percobaan klinis dalam penelitian medis
yang diantisipasi dan dicegah oleh komite etika atau Kelembagaan Review Board.1
12
Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang
efektif antara dokter dengan pasien, bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan
apa yang tidak akan dilakukan terhadap pasien. Consent dapat diberikan secara:1
a. Dinyatakan (expressed)
Dinyatakan secara lisan
Dinyatakan secara tertulis. Pernyataan tertulis diperlukan apabila
dibutuhkan bukti di kemudian hari, umumnya pada tindakan yang
invasive atau yang berisiko memengaruhi kesehatan pasien secara
bermakna. Permenkes tentang persetujuan tindakan medis
menyatakan bahwa semua jenis tindakan operatif harus
memperoleh persetujuan tertulis.
b. Tidak dinyatakan (implied). Pasien tidak menyatakannya, baik secara
lisan maupun tertulis, namun melakukan tingkah laku (gerakan) yang
menunjukkan jawabannya. Meskipun consent jenis ini tidak memiliki
bukti, namun consent jenis inilah yang paling banyak dilakukan dalam
praktek sehari-hari. Misalnya, adalah seseorang yang menggulung
lengan bajunya dan mengulurkan lengannya ketika akan di ambil
darahnya.1
Informed consent memiliki lingkup terbatas pada hal-hal yang telah
dinyatakan sebelumnya, tidak dapat dianggap sebagai persetujuan atas semua
tindakan yang akan dilakukan. Dokter dapat bertindak melebihi yang telah disepakati
hanya pabila gawat darurat dan keadaaan tersebut membutuhkan waktu yang singkat
untuk mengatasinya.
Proxy-consent adalah consent yang diberikan oleh orang bukan si pasien itu
sendiri, dengan syarat bahwa pasien tidak mempu memberikan consent sendiri, dan
consent tersebut harus mendekati apa yang sekiranya akan diberikan oleh pasien
apabila ia mampu memberikannya. Umumnya urutan orang yang dapat memberikan
proxy-consent adalah suami/istri, anak, orang tua, saudara kandung, dan lain-lain.1
III. Rahasia Kedokteran
Penggunaan kata privasi, kerahasiaan dan keamanan seringkali tertukar. Akan
tetapi terdapat beberapa perbedaan yang penting, diantaranya:
13
Privasi adalah "hak individu untuk dibiarkan sendiri, termasuk bebas dari campur
tangan atau observasi terhadap hal-hal pribadi seseorang serta hak untuk
mengontrol informasi-informasi pribadi tertentu dan informasi kesehatan".
Kerahasiaan merupakan "pembatasan pengungkapan informasi pribadi tertentu.
Dalam hal ini mencakup tanggungjawab untuk menggunakan, mengungkapkan,
atau mengeluarkan informasi hanya dengan sepengetahuan dan ijin individu".
(Informasi yang bersifat rahasia dapat berupa tulisan ataupun verbal.
Keamanan meliputi "perlindungan fisik dan elektronik untuk informasi berbasis
komputer secara utuh, sehingga menjamin ketersediaan dan kerahasiaan.
Termasuk ke dalamnya adalah sumber-sumber yang digunakan untuk
memasukkan, menyimpan, mengolah dan menyampaikan, alat-alat untuk
mengatur akses dan melindungi informasi dari pengungkapan yang tak disengaja
maupun yang disengaja.
Kerahasiaan rekam medis diatur di dalam UU praktik kedokteran pasal 47
ayat (2) yang menyatakan bahwa "rekam medis harus disimpan dan dijaga
kerahasiannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana kesehatan". Hal yang
sama dikemukakan dalam pasal 11 peraturan pemerintah No 10 tahun 1966 tentang
wajib simpan rahasia kedokteran. Selanjutnya, pasal 1 PP yang sama menyatakan
bahwa "yang dimaksud dengan rahasia kedokteran adalah segala sesuatu yang
diketahui oleh orang-orang dalam pasal 3 pada waktu atau selama melakukan
pekerjaannya dalam lapangan kedokteran".
Selanjutnya UU praktik kedokteran memberikan peluang pengungkapan
informasi kesehatan secara terbatas, yaitu dalam pasal 48 ayat (2):
untuk kepentingan kesehatan pasien
untuk memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka
penegakan hukum
permintaan pasien sendiri
berdasarkan ketentuan undang-undang
Sedangkan pasal 12 Permenkes 749a menyatakan bahwa:
pemaparan isi rekam medis hanya boleh dilakukan oleh dokter yang
merawat pasien dengan ijin tertulis pasien.
14
Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dapat memaparkan isi rekam medis
tanpa seijin pasien berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Di bidang keamanan rekam medis, Permenkes No. 749a/
MenKes/PER/XII/1989 menyatakan dalam pasal 13, bahwa pimpinan sarana
kesehatan bertanggungjawab atas (a) hilangnya, rusaknya, atau pemalsuan rekam
medis, (b) penggunaan oleh orang atau badan yang tidak berhak.6
III.I. Rahasia Jabatan dan Pembuatan SKA atau VetR
Peraturan pemerintah No 26 tahun 1960 tentang lafal sumpah dokter
Saya bersumpah/berjanji bahwa:
Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan Saya
akan menjalankan tugas saya dengan cara yang terhormat dan bersusila, sesuai
dengan martabat pekerjaan saya.
Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan
kedokteran.
Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya
dan karena keilmuan saya sebagai dokter........ dst.
Peraturan pemerintah no 10 tahun 1966 tentang wajib simpan rahasia
kedokteran, antara lain:
Pasal 1 PP No 10/1966
Yang dimaksud dengan rahasia kedokteran ialah segala sesuatu yang diketahui
oleh orang-orang tersebut dalam pasal 3 pada waktu atau selama melakukan
pekerjaannya dalam lapangan kedokteran.
Pasal 2 PP No 10/1966
Pengetahuan tersebut pasal l harus dirahasiakan oleh orang-orang yang tersebut
dalam pasal 3, kecuali apabila suatu peraturan lain yang sederajat atau lebih
tinggi dari pada PP ini menentukan lain.
Pasal 3 PP No 10/1966
Yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksud dalam pasal 1 ialah:
a. tenaga kesehatan menurut pasal 2 UU tentang tenaga kesehatan.
15
b. Mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan,
pengobatan dan atau perawatan, dan orang lain yang ditetapkan oleh menteri
kesehatan.
Pasal 4 PP No 10/1966
Terhadap pelanggaran ketentuan mengenai wajib simpan rahasia kedokteran yang
tidak atau tidak dapat dipidana menurut pasal 322 atau pasal 112 KUHP, menteri
kesehatan dapat melakukan tindakan administratip berdasarkan pasal UU tentang
tenaga kesehatan.
Pasal 5 PP No 10/1966
Apabila pelanggaran yang dimaksud dalam pasal 4 dilakukan oleh mereka yang
disebut dalam pasal 3 huruf b, maka menteri kesehatan dapat mengambil tindakan-
tindakan berdasarkan wewenang dan kebijaksanaannya.
Pasal 6 PP No 10/1966
Dalam pelaksanaan peraturan ini, menteri kesehatan dapat mendengar Dewan
Pelindung Susila Kedokteran dan atau badan-badan lain bilamana perlu.
Pasal 322 KUHP
(1) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena
jabatan atau pencariannya baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling
banyak sembilan ribu rupiah.
(2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya
dapat dituntut atas pengaduan orang itu.
Pasal 48 KUHP
Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana.
MA I17/K/Kr/1968 2 Juli 1969, dalam "noodtoestand" harus dilihat adanya:
1. Pertentangan antara dua kepentingan hukum
2. Pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum
3. Pertentangan antara dua kewajiban hukum
Pasal 49 KUHP
(1) Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri
sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri
16
maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat
pada saat itu yang melawan hukum.
(2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan kegun-
cangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak
dipidana.
Pasal 50 KUHP
Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-
undang, tidak dipidana.
Pasal 51 KUHP
(1) Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang
diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.7
(2) Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali
jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perinlah diberikan dengan
wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.7,8
IV. Aspek Hukum
Persetujuan tindakan medik menurut peraturan menteri kesehatan No.
585/MenKes/IX/1989 tentang persetujuan tindakan medik adalah:
Pasal 1. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
a. Persetujuan tindakan medic atau informed consent adalah persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenal tindakan
medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut
b. Tindakan medik adalah suatu tindakan yang dilakukan terhadap pasien berupa
diagnostik atau terapeutik
c. Tindakan invasif adalah tindakan medik yang langsung dapat mempengaruhi
keutuhan jaringan tubuh
d. Dokter adalah dokter umur atau dokter spesialis dan dokter gigi atau dokter gigi
spesialis yang bekerja di rumah sakit, puskesmes, klinik atau praktek perorangan
atau bersama.
Pasal 2. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
(1) Semua tindakan medik yg akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat
persetujuan.
17
(2) Persetujuan dapat diberikan secara tertulis maupun lisan.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta
resiko yang dapat ditimbulkannya.
(4) Cara penyampaian dan isi informasi harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan
serta kondisi dan situasi pasien
Pasal 3. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
(1) Setiap tindakan medik yang mengandung risiko tinggi harus dengan persetujuan
tertulis yang ditanda tangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
Pasal 4. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
(1) Informasi tentang tindakan medik harus diberikan kepada pasien, baik diminta
maupun tidak diminta.
(2) Dokter harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya, kecuali bila dokter
menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien
atau pasien menolak diberikan informasi.
Pasal 5. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
(1) Informasi yang diberikan mencakup keuntungan dan kerugian dari tindakan
medik yang akan dilakukan, baik diagnostik maupun terapeutik.
Pasal 6. Permenkes No 58#MenKes/Per/IX/1989
(1) Dalam hal tindakan bedah (operasi) atau tindakan invasif lainnya, informasi
harus diberikan oleh dokter yang akan melakukan operasi itu sendiri.
Pasal 7. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
(1) Informasi juga harus diberikan jika ada kemungkinan perluasan operasi.
(2) Perluasan operasi yang tidak dapat diduga sebelumnya, dapat dilakukan untuk
menyelamatkan jiwa pasien.
(3) Setelah perluasan operasi sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan, dokter harus
memberikan informasi kepada pasien atau keluarganya.
Pasal 12. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
(1) Dokter bertanggung jawab atas pelaksanaan ketentuan tentang persetujuan tin-
dakan medik.
18
Pasal 14. Permenkes No 585/Men Kes/Per/IX/1989
Dalam hal tindakan medik yang harus dilaksanakan sesuai dengan program
pemerintah dimana tindakan medik tersebut untuk kepentingan masyarakat banyak,
maka persetujuan tindakan medik tidak diperlukan.
Pasal 15. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
Hal-hal yang bersifat teknis yang belum diatur dalam. Peraturan Menteri
ditetapkan oleh direktur jenderal pelayanan medik.5
IV.1. Membuka Rahasia Kedokteran Yang Tidak Dipidana
Pasal 48 UU No. 29 tahun 2004
Tentang praktek kedokteran ditetapkan sebagai berikut:
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktek kedokteran wajib
menyimpan rahasia kedokteran.
(2) Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien,
memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan
hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-
undangan.
Pasal 10 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan No 269/Menkes/Per/III/2008
Tentang rekam medis sebagai berikut: informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat
penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat pengobatan dapat dibuka dalam hal:
a. Untuk kepentingan kesehatan pasien
b. Memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan
hukum atas perintah pengadilan
c. Permintaan dan/atau persetujuan pasien sendiri
d. Permintaan institusi/ lembaga berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan
e. Untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan audit medis, sepanjang tidak
menyebutkan identitas pasien.
Pasal 48 KUHP
Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana.
MA 117/K/Kr/1968 2 Juli 1969, dalam “noostoestand” harus dilihat adanya:
1. Pertentangan antara dua kepentingan hukum
2. Pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum
19
3. Pertentangan antara dua kewajiban hukum
Pasal 49 KUHP
(1) Tidak dipidana, barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk
diri sendiri maupun orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri
maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat
dekat pada saat itu yang melawan hukum.
(2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan
keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu,
tidak dipidana.
Pasal 50 KUHP
Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang
tidak dipidana.
Pasal 51 KUHP
(1) Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang
diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
(2) Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana,
kecuali jika yang diperintah, dengan iktikad baik mengira bahwa perintah
diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan
pekerjaannya.
IV.I.I. Dampak Hukum
Setiap tindakan medis mempunyai indikasi, resiko, keuntungan dan kerugiannya
tersendiri. Dalam tindakan pengobatan pasien penderita gonorrhea, penting untuk
diketahui riwayat hubungan seksual, sudah menikah atau belum, apakah melakukan
persetubuhan dengan lebih dari satu orang. Penting bagi dokter untuk mengingat
bahwa ‘ping-pong phenomene’ dapat terjadi pada kasus gonorrhea, maka penting
untuk mengobati kedua orang yang sudah berhubugan seksual, khususnya jika sudah
menikah.
20
V. Tindakan Dokter
Kewajiban Dokter – Penjelasan Tindakan Medis
Pada kasus tersebut, pasien laki-laki harus dijelaskan mengenai keuntungan
dan kerugian jika ia menjalani pengobatan tanpa mengobati juga sang istri yang
kemungkinan sudah terkena gonorrhea. Jika dokter tidak meberikan penjelasan
terlebih dahulu, dokter tersebut tidak memenuhi kewajiban dokter yang tercantum
dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989, yang menuntut
dokter untuk menjelaskan atau memberikan informasi yang adekuat kepada pasien
sebelum melakukan tindakan medis.
Rahasia Kedokteran
Di lain pihak, jika dokter tidak menjelaskan kepada pasien bahwa penting
untuk memberitahu kepada istri pasien untuk menjalani pengobatan, tetapi dokter
tersebut yang menyampaikan informasi secara langsung kepada istri pasien tanpa
persetujuan dari pasien, dokter telah melanggar hak pasien atas rahasia rekam medis
pasien.
Pasal 322 KUHP:
(1) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena
jabatan atau pencariannya baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling
banyak sembilan ribu rupiah.
(2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya
dapat dituntut atas pengaduan orang itu.
Pasal 12 – KODEKI:
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Seorang dokter tidak hanya dituntut bisa mengobati penyakit fisik pasien,
namun juga harus bisa membangun komunikasi yang baik dengan pasien, dan
menyelenggarakan praktek yang tidak hanya bersifat individual. Hal ini tentu juga
berkaitan dengan fungsi dokter sebagai dokter keluarga.
Dalam mengobati pasien, dokter harus mempertimbangkan aspek bioetik
kedokteran, tentunya dengan mempertimbangkan apa yang baik buat pasien, bukan
21
untuk orang lain. Selain itu, dokter juga harus menjaga rahasia pasien sesuai dengan
sumpah dokter dan kode etik kedokteran.
Berkaitan dengan kasus diatas, dimana dokter mendapatkan pasien laki-laki
dengan GO dan pasien telah berhubungan dengan istrinya, maka sebagai dokter kita
harus mengobati keduanya. Dokter juga harus mempertimbangkan hak autonomi
pasien dimana dia mengatakan bahwa dia takut ketahuan oleh istrinya. Namun
kembali kita harus mempertimbangkan apa yang terbaik untuk pasien, karena jika kita
tidak mengobati keduanya, maka penyakit GO pasien akan menjadi lingkaran setan
yang bukan tidak mungkin akan menular lagi pada orang lain jika pasien atau istrinya
berhubungan dengan orang lain. Dalam hal ini, sebagai dokter yang harus dikatakan
pada pasien adalah tetap menyuruh dia untuk mengajak istrinya berobat, karena
dokter harus member yang terbaik untuk pasien agar pasien dan istrinya sehat
kembali. Hal yang sama juga dilakukan jika ternyata pasien tersebut adalah orang
dengan AIDS. Yang bisa kita lakukan lebih kearah mencegah supaya pasien tidak
menularkan AIDS pada istrinya, yaitu dengan cara memkakai kondom bila melakukan
hubungan suami istri.
Pada akhirnya, dalam melakukan komunikasi dokter pasien perlu
mempertimbangkan hak pasien, tapi dokter juga mempunyai kewajiban untuk
membuat pasien sehat. Pasien juga harus dibuat mengerti semua tindakan yang
dilakukan dokter juga untuk kebaikan pasien sendiri.
BAB III
Penutup
Dalam menghadapi kasus seperti ini, kita harus tetap menjalankan kaidah
moral etika kedokteran. Paling penting pada kasus ini adalah kaidah moral non-
maleficence dan autonomy. Kita harus memikirkan bagaimana cara agar pasien kita
tidak bertambah buruk keadaannya karena efek ping-pong phenomenon dari penyakit
gonorrhea tetapi kita juga harus tetap menjaga rahasia penyakit pasien. Oleh sebab itu,
sebagai dokter kita harus berlaku bijak dengan menyarankan agar pasien membawa
serta isterinya bila kembali berobat kepada kita.
22
BAB IV
Daftar Pustaka
1. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran pengantar
bagi mahasiswa kedokteran dan hukum. Cetakan ke-2. Jakarta : Pustaka Dwipar ;
2007. h29-39, 77-83.
2. Ali MM, Sidi IPS dan Zahir H. Komunikasi efektif dokter pasien. Jakarta : Konsil
Kedokteran Indonesia ; 2006. h1-40.
3. Pedoman pelaksanaan kode etik kedokteran indonesia - majelis kehormatan etik
kedokteran indonesia (MKEK) ikatan dokter indonesia. Sumatera : Fakultas
Kedokteran USU ; 2006.
4. Hanafiah HJ. Pernyataan IDI tentang informed consent. Dalam: etika kedokteran
dan hukum kesehatan. Edisi ke-3. Jakarta : EGC ; 1999. h279.
5. Staf pengajar bagian kedokteran forensik FKUI. Peraturan perundang-undangan
bidang kedokteran. Cetakan ke-2. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia ; 1994. H11-8, 20-3, 17-42,
6. Kode etik kedokteran indonesia. Diunduh dari:
http://fkunhas.com/kode-etik-kedokteran-indonesia-kodeki-20100926791.html, 15
Januari 2013.
7.MKEK. Kode etik kedokteran indonesia. UGM. Diunduh dari:
http://www.google.co.id/ luk.staff.ugm.ac.id/atur/sehat/ Kode - Etik - Kedokteran .pdf , 15
Januari 2013.
8. Praktek kedokteran. 2004. Diunduh dari: http://www.ilunifk83.com/t93-uu-ri-no-
29-tahun-2004-tentang-praktik-kedokteran, 15 Januari 2013.
23