pbl 6 30 sesha

37
Makalah PBL-6 Blok 30 Etika Profesi Kedokteran Alessandrasesha Santoso* Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No.6 Kebon Jeruk, Jakarta 11510 Email : [email protected] BAB I Pendahuluan Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas, yang sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada informed consent, wajib simpan rahasia kedokteran, profesionalisme, dll. Bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek etik seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai- nilai etika. Aspek etik kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi mengakibatkan penilaian perilaku etik seseorang dokter yang diadukan tidak dapat dipisahkan dengan penilaian perilaku profesinya. Etik yang memiliki sanksi moral dipaksa berbaur dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat administratif. Selain Kode Etik Profesi di, praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat 1

Upload: sari-prasili-suddin

Post on 13-Feb-2015

54 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ghgdgf

TRANSCRIPT

Page 1: PBL 6 30 SESHA

Makalah PBL-6 Blok 30

Etika Profesi Kedokteran

Alessandrasesha Santoso*

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No.6 Kebon Jeruk, Jakarta 11510

Email : [email protected]

BAB I

Pendahuluan

Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat

luas, yang sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada informed

consent, wajib simpan rahasia kedokteran, profesionalisme, dll.  Bahkan di dalam

praktek kedokteran, aspek etik seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek

hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik yang telah diangkat menjadi norma

hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etika.

Aspek etik kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar

profesi mengakibatkan penilaian perilaku etik seseorang dokter yang diadukan tidak

dapat dipisahkan dengan penilaian perilaku profesinya. Etik yang memiliki sanksi

moral dipaksa berbaur dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang

bersifat administratif.

Selain Kode Etik Profesi di, praktek kedokteran juga berpegang kepada

prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam

membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar-

salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral. Pengetahuan

etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika

biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis

yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis.1

BAB II

Pembahasan

I. Etika Kedokteran

1

Page 2: PBL 6 30 SESHA

Etik dan hukum memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mengatur tertib dan

tenteramnya pergaulan hidup dalam masyarakat. Namun pengertian etik dan hukum

berbeda. Etik berasal dari kata Yunani ethos, yang berarti “yang baik, yang layak.” Ini

merupakan norma-norma, nilai-nilai atau pola tingkah laku kelompok profesi tertentu

dalam memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat. Landasan etik kedokteran

adalah sebagai berikut:2,3

1. Sumpah Hippokrates (460-377 SM)

2. Deklarasi Geneva (1948)

3. International Code of Medical Ethics (1949)

4. Lafal Sumpah Dokter Indonesia (1960)

5. Kode Etik Kedokteran Indonesia (1983)

6. Pernyataan-pernyataan (Deklarasi) Ikatan Dokter Sedunia

(World Medical Association, WMA), yaitu antara lain :

7. Deklarasi Geneva (1948) tentang Lafal Sumpah Dokter

8. Deklarasi Helsinki (1964) tentang Riset Klinik

9. Deklarasi Sydney (1968) tentang Saat Kematian

10. Deklarasi Oslo (1970) tentang Pengguguran Kandungan atas

Indikasi Medik.

11. Deklarasi Tokyo (1975) tentang Penyiksaan

Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar-salahnya

suatu sikap dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas.

Penilaian baik-buruk dan benar-salah dari sisi moral tersebut menggunakan

pendekatan teori etik yang cukup banyak jumlahnya. Terdapat dua teori etika yang

paling banyak dianut orang adalah teori deontologi dan teleologi. Deontology lebih

mendasarkan kepada ajaran agama, tradisi, dan budaya, sedangkan teleology lebih kea

rah penalaran (reasoning) dan pembenaran (justifikasi) kepada azas manfaat (aliran

utilitarian).1

Di dalam menentukan tindakan di bidang kesehatan atau kedokteran, selain

mempertimbangkan keempat kebutuhan dasar di atas, keputusan hendaknya juga

mempertimbangkan hak-hak asasi pasien. Pelanggaran atas hak pasien akan

mengakibatkan juga pelanggaran atas kebutuhan dasar di atas terutama kebutuhan

kreatif. Etika adalah displin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar salah suatu

sikap dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas.

2

Page 3: PBL 6 30 SESHA

Penilaian baik buruk dan benar salah dari sisi moral tersebut menggunakan

pendekatan teori etika yang cukup banyak jumlahnya. Terdapat dua teori etika yang

paling banyak dianut orang adalah teori deontology dan teleology. Secara irngkas

dapat dikatakan bahwa, deontology mengajarkan bahwa baik buruknya suatu

perbuatan harus dilihat dari perbuatannya itu sendiri, sedangkan teleology

mengajarkan untuk menilai baik buruk tindakan dengan melihat hasil atau akibatnya.

Deontology lebih mendasarkan kepada ajaran agama, tradisi, dan budaya, sedangkan

teleology lebih kea rah penalaran dan pembenaran kepada azas manfaat.1

Beauchamp dan Childress, 1994, menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu

keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar moral dan beberapa rules di bawahnya. Ke-4

kaidah dasar moral tersebut adalah:1

1. Prinsip otonomi yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien,

terutama hak otonomi pasien. Prinsip moral inilah yang kemudian

melahirkan doktrin informed consent.

2. Prinsip beneficene yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan

ditujukan ke kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal

perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya

lebih besar daripada sisi buruknya.

3. Prinsip non maleficence yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang

memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai primum non

nocere atau above all do no harm.

4. Prinsip justice yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan

keadilan dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya.

Sedangkan rules derivatnya adalah veracity, privacy, confidentiality, dan

fidelity. Selain prinsip atau kaidah dasar moral di atas yang harus dijadikan pedoman

dalam mengambil keputusan klinis, profesional kedokteran juga mengenal etika

profesi sebagai panduan dalam bersikap dan berprilaku. Perbuatan keputusan etik,

terutama dalam situasi klinik, dapat juga dilakukan dengan pendekatan yang berbeda

dengan pendekatan kaidah dasar moral di atas. Jonsen, Siegler, dan Winslade

mengembangkan teori etik yang menggunakan 4 topik yang esensial dalam pelayanan

klinik, yaitu:1

1. Medical indication

2. Patient preferences

3

Page 4: PBL 6 30 SESHA

3. Quality of life

4. Contextual features

Ke dalam topic medical indication dimasukkan semua prosedur diagnostic dan

terapi yang sesuai untuk mengevaluasi keadaan pasien dan mengobatinya. Penilaian

aspek indikasi medis ditinjau dari sisi etiknya, terutama menggunakan kaidah

beneficence dan non maleficence. Pertanyaan etika pada topic ini adalah serupa

dengan seluruh informasi yang selayaknya disampaikan kepada pasien pada doktrin

informed consent.

Pada topic patient preference kita memperhatikan nilai dan penilaian pasien

tentang manfaat dan beban yang akan diterimanya, yang berarti cerminan kaidah

otonomi. Pertanyaan etiknya meliputi pertanyaan tentang kompetensi pasien, sifat

volunteer, sikap dan keputusannya, pemahaman atas informasi, siapa pembuat

keputusan bila pasien tidak kompeten, nilai dan keyakinan yang dianut pasien.

Topic quality of life merupakan aktualisasi salah satu tujuan kedokteran, yaitu

memperbaiki, menjaga atau meningkatkan kualitas hidup insane. Apa, siapa dan

bagaimana melakukan penilaian kualitas hidup merupakan pertanyaan etik sekitar

prognosis, yang berkaitan dengan beneficence, non maleficence dan otonomi. Dalam

contextual features dibahas pertanyaan etik seputar aspek non medis yang

mempengaruhi keputusan, seperti faktor keluarga, ekonomi, agama, budaya,

kerahasiaan, alokasi sumber daya dan faktor hukum.1

Dalam peran negative gatekeeper, yaitu pada system kesehatan pra bayat atau

kapitasi, dokter diharapkan untuk membatasi akses pasien ke layanan medis. Pada

peran ini jelas terjadi konflik moral pada dokter dengan tanggungjawab tradisionalnya

dalam membela kepentingan pasien dengan tanggungjawab barunya sebagai pengawal

sumber daya masyarakat atau komunitas. Meskipun demikian, peran negative

gatekeeper ini secara moral mungkin masih dapat dijustifikasi. Tidak seperti peran

negative yang banyak dideskripsikan secara terbuka, peran positive gatekeeper dokter

sangat tertutup dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Dalam peran ini

dokter diberdayakan untuk menggunakan fasilitas medis dan jenis layanan hi-tech

demi kepentingan profit. Bagi mereka yang mampu membayar disediakan fasilitas

diagnostic dan terapi yang paling mahal dan muktahir, layanan didasarkan pada

keinginan pasar dan bukan kepada kebutuhan medis. Upaya meningkatkan demand

atas layanan yang sophisticated dijadikan tujuan yang implicit dan dokter jadi

4

Page 5: PBL 6 30 SESHA

salesmannya. Mereka berbagi profit secara langsung apabila mereka pemilik atau

investor layanan tersebut, atau mereka memperoleh penghargaan berupa kenaikan

honorarium atau tunjangan apabila mereka hanya berstatus pegawai atau pelaksana.1,4

Sifat hubungan antara dokter dengan pasien berkembang dari sifat paternalistic

hingga ke sifat kontraktual dan fiduciary. Pada masa sebelum tahun 1950-an

paternalistik dianggap sebagai sifat hubungan yang paling tepat, dimana dokter

menentukan apa yang akan dilakukan terhadap pasien berdasarkan prinsip

beneficence (semua yang terbaik untuk kepentingan pasien, dipandang dari

kedokteran). Prinsip ini telah mengabaikan hak pasien untuk turut menentukan

keputusan. Sampai kemudian tahun 1970-an dikembangkan sifat hubungan

kontraktual antara dokter dengan pasien yang menitikberatkan kepada hak otonomi

pasien dalam menentukan apa-apa yang boleh dilakukan terhadapnya. Kemudian

hubungan dokter-pasien tersebut dikoreksi oleh para ahli etika kedokteran menjadi

hubungan ficuiary (atas niat baik dan kepercayaan), yaitu hubungan yang

menitikberatkan nilai-nilai keutamaan (virtue ethics). Sifat hubungan kontraktual

dianggap meminimalkan mutu hubungan karena hanya melihatnya dari sisi hukum

dan peraturan saja, dan disebut sebagai bottom line ethics.4

Otonomi pasien dianggap sebagai cerminan konsep self governance, liberty

rights, dan individual choices. Immanuel Kant mengatakan bahwa setiap orang

memiliki kapasitas untuk memutuskan nasibnya sendiri, sedangkan Johns S. Mills

berkata bahwa kontrol sosial atas seorang individu hanya sah apabila dilakukan

karena terpaksa untuk melindungi hak orang lain.

Salah satu hak pasien yang disahkan dalam Declaration of Lisbon dari World

Medical Association (WMA) adalah “the rights to accept or to refuse treatment after

receiving aduquate information”. Secara implicit amandemen UUD 45 pasal 28G ayat

(1) juga menyebutkan demikian “Setiap orang berhak atas perlindungan diri

pribadi,....dst”. Selanjutnya UU No 23/1992 tentang Kesehatan juga memberikan

persetujuan atas tindakan medis yang akan dilakukan terhadapnya. Hak ini kemudian

diuraikan di dalam Permenkes tentang Persetujuan Tindakan Medis. Suatu tindakan

medis terhadap seseorang pasien tanpa memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari

pasien tersebut dapat dianggap sebagai penyerangan atas hak orang lain atau

perbuatan melanggar hukum.

5

Page 6: PBL 6 30 SESHA

Prinsip otonomi pasien ini dianggap sebagai dasar dari doktrin informed consent.

Tindakan medis terhadap pasien harus mendapat persetujuan (otorisasi) dari pasien

tersebut, setelah ia menerima dan memahami informasi yang diperlukan. Informed

consent dapat dianggap sebagai a patient with substantial understanding and ini

substantial absence control by others, intentionally authorizes a professional to do

something.1,4

I.I. Kaidah Dasar Bioetik

a. Autonomy

The principle of autonomy recognizes the rights of individuals to self

determination.Prinsip autonomi mengakui hak-hak individu untuk menentukan nasib

sendiri. This is rooted in society's respect for individuals' ability to make informed

decisions about personal matters.Hal ini berakar pada masyarakat hormat untuk

kemampuan individu untuk membuat keputusan tentang hal-hal pribadi. Autonomy

has become more important as social values have shifted to define medical quality in

terms of outcomes that are important to the patient rather than medical

professionals.Autonomi telah menjadi lebih penting sebagai nilai-nilai sosial telah

bergeser untuk mendefinisikan kualitas medis dalam hal hasil yang penting bagi

pasien daripada medis profesional. The increasing importance of autonomy can be

seen as a social reaction to a “ ” tradition within healthcare. [ ] Some have questioned

whether the backlash against historically excessive paternalism in favor of patient

autonomy has inhibited the proper use of to the detriment of outcomes for some

patients . Menghormati otonomi adalah dasar informed consent dan petunjuk terlebih

dahulu.1

Autonomy is a general indicator of health.By considering Autonomy as a

gauge parameter for (self) health care, the medical and ethical perspective both

benefit from the implied reference to Health.Dengan mempertimbangkan autonomi

sebagai parameter gauge untuk (diri) perawatan kesehatan, perspektif medis dan etika

baik manfaat dari referensi tersirat untuk Kesehatan. Psychiatrists are often asked to

evaluate a patient's competency for making life-and-death decisions at the end of life.

Psikiater sering diminta untuk mengevaluasi kemampuan pasien untuk membuat

keputusan hidup dan mati pada akhir kehidupan. Persons with a psychiatric condition

such as delirium or clinical depression may not have the capacity to make end-of-life

6

Page 7: PBL 6 30 SESHA

decisions. Orang dengan kondisi jiwa seperti depresi klinis delirium atau mungkin

tidak memiliki kapasitas untuk membuat keputusan akhir-kehidupan. Therefore, for

these persons, a request to refuse treatment may be ignored. Oleh karena itu, untuk

orang-orang ini, permintaan untuk menolak pengobatan mungkin diabaikan. Unless

there is a clear advance directive to the contrary, persons who lack mental capacity

are generally treated according to their best interests. Kecuali ada advance directive

jelas sebaliknya, orang-orang yang tidak memiliki kapasitas mental umumnya

diperlakukan sesuai dengan kepentingan terbaik mereka. On the other hand, persons

who have the mental capacity to make end-of-life decisions have the right to refuse

treatment and choose an early death if that is what they truly want. Di sisi lain, orang

yang memiliki kapasitas mental untuk membuat akhir-keputusan hidup memiliki hak

untuk menolak perawatan dan memilih kematian dini jika itu yang mereka inginkan.

In such cases, psychiatrists should be a part of protecting that right. Dalam kasus

tersebut, psikiater harus menjadi bagian dari melindungi hak itu.4

b. BeneficenceBeneficence merupakan tindakan dokter yang

mengutamakanThe term beneficence refers to actions that promote

the wellbeing of others.Beneficence merupakan tindakan dokter yang

mengutamakanThe term beneficence refers to actions that promote

the wellbeing of others.

Beneficence merupakan tindakan dokter yang mengutamakan Beneficence

merupakan tindakan dokter yang mengutamakanThe term beneficence refers to

actions that promote the wellbeing of others.Beneficence merupakan tindakan dokter

yang mengutamakanThe term beneficence refers to actions that promote the wellbeing

of others.Beneficence merupakan tindakan dokter yang mengutamakanThe term

beneficence refers to actions that promote the wellbeing of others.kebaikan kepada

pasien dibandingkan kepentingan sendiri. Beneficence merujuk pada tindakan yang

mempromosikan kesejahteraan orang lain. In the medical context, this means taking

actions that serve the best interests of patients. Dalam konteks medis, ini berarti

mengambil tindakan yang melayani kepentingan terbaik pasien. However, uncertainty

surrounds the precise definition of which practices do in fact help patients. Namun,

ketidakpastian mengelilingi definisi yang tepat yang praktek lakukan dalam

membantu pasien sebenarnya. and in Principle of Biomedical Ethics (1978) identify

beneficence as one of the core values of health care ethics.James Childress dan Tom

7

Page 8: PBL 6 30 SESHA

Beauchamp dalam Prinsip Etika Biomedis mengidentifikasi kebaikan sebagai salah

satu nilai inti dari etika pelayanan kesehatan. Some scholars, such as , argue that

beneficence is the only fundamental principle of medical ethics. Beberapa sarjana,

seperti Edmund Pellegrino, berpendapat bahwa kebaikan adalah satu-satunya prinsip

fundamental etika medis. They argue that healing should be the sole purpose of

medicine, and that endeavors like , and fall beyond its purview.Mereka berpendapat

penyembuhan yang harus menjadi tujuan tunggal obat, dan bahwa usaha-usaha seperti

operasi kosmetik, kontrasepsi dan euthanasia jatuh di luar bidang tersebut.4

c. Non-MaleficenceThe concept of non-maleficence is embodied by the

phrase, "first, do no harm," or the Latin,

.Non maleficence adalah suatu tindakan dokter yang tidak mencelakakan atau

memperburuk keadaan pasien. Banyak menganggap bahwa harus menjadi

pertimbangan utama atau primer bahwa lebih penting untuk tidak membahayakan

pasien, daripada berbuat baik kepada mereka. This is partly because enthusiastic

practitioners are prone to using treatments that they believe will do good, without first

having evaluated them adequately to ensure they do no (or only acceptable levels of)

harm.Hal ini sebagian karena praktisi antusias rentan terhadap perawatan

menggunakan bahwa mereka percaya akan berbuat baik, tanpa terlebih dahulu harus

dievaluasi secara memadai untuk memastikan mereka tidak melakukan (atau hanya

tingkat yang dapat diterima dari) membahayakan. Much harm has been done to

patients as a result.Banyak yang telah dilakukan kepada pasien sebagai hasilnya. It is

not only more important to do no harm than to do good; it is also important to know

how likely it is that your treatment will harm a patient. Hal ini tidak hanya lebih

penting untuk tidak membahayakan daripada berbuat baik, namun juga penting untuk

mengetahui seberapa besar kemungkinan bahwa perawatan Anda akan

membahayakan pasien.1So a physician should go further than not prescribing

medications they know to be harmful - he or she should not prescribe medications (or

otherwise treat the patient) unless s/he knows that the treatment is unlikely to be

harmful; or at the very least, that patient understands the risks and benefits, and that

the likely benefits outweigh the likely risks.

In practice, however, many treatments carry some risk of harm.Dalam

prakteknya, bagaimanapun, banyak perawatan membawa beberapa risiko bahaya. In

some circumstances, eg in desperate situations where the outcome without treatment

8

Page 9: PBL 6 30 SESHA

will be grave, risky treatments that stand a high chance of harming the patient will be

justified, as the risk of not treating is also very likely to do harm. Dalam beberapa

keadaan, misalnya dalam situasi putus asa mana hasil tanpa pengobatan akan kubur,

pengobatan berisiko yang memiliki kesempatan tinggi merugikan pasien akan

dibenarkan, sebagai risiko tidak memperlakukan juga sangat mungkin untuk

melakukan kejahatan. So the principle of non-maleficence is not absolute, and

balances against the principle of (doing good), as the effects of the two principles

together often give rise to a double effect (further described in next section). Jadi

prinsip non-sifat mencelakakan tidak mutlak, dan saldo terhadap prinsip kebaikan

(berbuat baik), sebagai dampak dari dua prinsip bersama sering menimbulkan efek

ganda (lebih lanjut dijelaskan dalam bagian berikutnya).4

"Non-maleficence" is defined by its cultural context."Non-maleficence"

ditentukan oleh konteks budayanya. Every culture has its own cultural collective

definitions of 'good' and 'evil'.Setiap budaya memiliki definisi sendiri kolektif budaya

'baik' dan 'jahat'. Their definitions depend on the degree to which the culture sets its

cultural values apart from nature.Definisi mereka tergantung pada sejauh mana

budaya set nilai-nilai budaya, terpisah dari alam. In some cultures the terms "good"

and "evil" are absent: for them these words lack meaning as their experience of nature

does not set them apart from nature. Dalam beberapa kebudayaan istilah "baik" dan

"jahat" tidak hadir: bagi mereka kata-kata ini kurangnya pengalaman mereka arti

sebagai alam tidak membedakan mereka dari alam. Other cultures place the humans

in interaction with nature, some even place humans in a position of dominance over

nature. budaya lain menempatkan manusia dalam interaksi dengan alam, beberapa

manusia tempat bahkan di posisi dominasi atas alam. The religions are the main

means of expression of these considerations. Agama-agama adalah sarana utama

ekspresi pertimbangan.Depending on the cultural consensus conditioning (expressed

by its religious, political and legal social system) the legal definition of Non-

maleficence differs. Tergantung pada pengkondisian konsensus budaya (dinyatakan

oleh agama, politik dan hukum sistem sosial perusahaan) definisi hukum Non-

maleficence berbeda.

d. Justice

Justice yaitu prinsip moral yang memetingkan fairness dan keadilan dalam

mendistribusikan sumber daya (disrtributive justce).1,5 Empat prinsip bioethical yang

9

Page 10: PBL 6 30 SESHA

sering digunakan dalam analisis etika medis otonomi, kebaikan, non-sifat

mencelakakan dan keadilan.1,5

Dimana prinsip-prinsip ini dipanggil mereka harus benar digunakan

dan didefinisikan.

Metode lain analisis dapat menghasilkan pendekatan yang lebih

holistik dan tiga-dimensi terhadap masalah.4 Sedangkan rules

derivatnya adalah veracity (berbicara benar, jujur dan terbuka),

privacy (menghormati hak privasi pasien), confidentiality (menjaga

kerahasiaan pasien) dan fidelity (loyalitas dan promise keeping).

II. Informed Consent

Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004

Pasal 45 serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. maka

Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien

atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai

tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Menurut

Lampiran SKB IDI No. 319/P/BA/88 dan Permenkes no 585/MenKes/Per/IX/1989

tentang Persetujuan Tindakan Medis Pasal 4 ayat 2 menyebutkan dalam memberikan

informasi kepada pasien atau keluarganya, kehadiran seorang perawat atau paramedik

lainnya sebagai saksi adalah penting. Tujuan Informed Consent antara lain:

1.Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya

tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan

tanpa sepengetahuan pasiennya.

2.Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat

negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan

medik ada melekat suatu resiko.

Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat digolongkan sebagai

tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351. Menurut Pasal 5

Permenkes No. 290/MenKes/PER/III/2008, persetujuan tindakan kedokteran dapat

dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan, sebelum dimulainya

tindakan (Ayat 1). Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran harus dilakukan

secara tertulis oleh yang memberi persetujuan (Ayat 2).1

Informed consent memiliki 3 elemen, yaitu:1,4

10

Page 11: PBL 6 30 SESHA

Threshold elements

Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena

sifatnya lebih ke arah syarat, yaitu pemberian consent haruslah seseorang yang

kompeten. Kompeten disini diartikan sebagai kapasitas untuk membhat keputusan

(medis). Kompetensi manusia untuk membuat keputusan sebenarnya merupakan suatu

kontinuum, dari sama sekali tidak memiliki kompetensi yang penuh. Diantara terdapat

berbagai tingkat kompetensi membuat keputusan tertentu (keputusan yang reasonable

berdasarkan alasan yang reasonable). Dewasa diartikan sebagi usia yang telah

mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang

dianggapm tidak kompeten adalah apabila ia mempunyai penyakit mental sedemikian

rupa atau perkembangan mentalnya terbelakang sedemikian rupa, sehingga

kemampuan membuat keputusannya terganggu.

Informatif elements

Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan) dan

udnderstanding (pemahaman). Pengertian ‘berdasarkan pemahaman yang adekuat’

membawa konsekuensi kepada tenaga medis untuk memberikan informasi

(disclosure) sedemikian rupa agar pasien dapat mencapai pemahaman yang adekuat.

Dalam hal ini seberapa baik, informasi harus diberikan kepada pasien, dapat

dilihat dari 3 standar:

Standar praktek profesi. Bahwa kewajiban memberikan informasi dan

kriteria keadekuatan informasi ditentukan bagaimana biasanya

dilakukan dalam komunitas tenaga medis (constumary practise of a

professional community - Faden an Beauchamp, 1986). Standar ini

terlalu mengacu kepada nilai-nilai yang ada didalam komunitas

kedokteran, tanpe kemampuan pemahaman individu yang diharapkan

menerima informasi tersebut.

Standar subyektif. Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai

yan dianut oleh oleh pasien secara pribadai, sehingga informasi yang

diberikan harus memadai pasien tersebut dalam mengambil

keputusan. Adalah mstahil bagi tenaga medis untuk memahami nilai-

nilai yang secar individual dianut oleh pasien.

Standar pada reasonable person. Standar ini merupakan hasil

kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap cukup

11

Page 12: PBL 6 30 SESHA

apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan pada

umumnya orang awam. Sub elemen pemahaman (understanding)

dipengaruhi oleh penyakitnya, irrasionalis, dan imaturitas. Banyak

ahli mengatakan bahwa apabila elemen ini tidak lalai melaksanankan

tugasnya memberi informasi yang adekuat.

Consent Elements

Elemen ini juga terdiri dari dua bagian, yaitu voluntariness (kesukarelaan,

kebebasan) dan authorization (persetujuan). Kesukarelaan mengharuskan tidak adanya

tipuan, misrepresentasi ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas dari tekanan yang

dilakukan oleh tenaga medis yang bersifat seolah-olah akan dibiarkan apabila tidak

menyetujui tawaran. Banyak ahli berpendapat bahwa melakukan persuasi yang tidak

berlebihan masih dapat dibenarkan secara moral. Some acts cannot legally take place

because of a lack of informed consent.Beberapa tindakan tidak dapat secara legal

terjadi karena kurangnya informed consent. In cases where an individual is considered

unable to give informed consent, another person is generally authorized to give

consent on his behalf, eg, parents or of a and caregivers for the mentally ill . Dalam

kasus di mana seorang individu dianggap tidak mampu memberikan informed

consent, orang lain umumnya berwenang untuk memberikan persetujuan atas

namanya, misalnya, orang tua atau wali sah dari seorang anak dan pengasuh untuk

sakit mental. However, if a severely injured person is brought to a hospital in an

unconscious state and no-one is available to give informed consent, doctors will give

whatever treatment is necessary to save their life (according to the Hippocratic oath ),

which might involve major surgery, eg, . Namun, jika orang terluka parah dibawa ke

rumah sakit dalam keadaan tidak sadar dan tidak ada yang tersedia untuk memberikan

informed consent, dokter akan memberikan apa pun perawatan yang diperlukan untuk

menyelamatkan hidup mereka (sesuai dengan sumpah Hippocrates ), yang mungkin

melibatkan utama operasi, misalnya, amputasi.In cases where an individual is

provided insufficient information to form a reasoned decision, serious ethical issues

arise. Dalam kasus di mana seorang individu diberikan informasi yang cukup untuk

membentuk suatu keputusan yang beralasan, isu-isu etis yang serius muncul. Such

cases in a in are anticipated and prevented by an ethics committee or Institutional

Review Board . Kasus-kasus seperti dalam percobaan klinis dalam penelitian medis

yang diantisipasi dan dicegah oleh komite etika atau Kelembagaan Review Board.1

12

Page 13: PBL 6 30 SESHA

Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang

efektif antara dokter dengan pasien, bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan

apa yang tidak akan dilakukan terhadap pasien. Consent dapat diberikan secara:1

a. Dinyatakan (expressed)

Dinyatakan secara lisan

Dinyatakan secara tertulis. Pernyataan tertulis diperlukan apabila

dibutuhkan bukti di kemudian hari, umumnya pada tindakan yang

invasive atau yang berisiko memengaruhi kesehatan pasien secara

bermakna. Permenkes tentang persetujuan tindakan medis

menyatakan bahwa semua jenis tindakan operatif harus

memperoleh persetujuan tertulis.

b. Tidak dinyatakan (implied). Pasien tidak menyatakannya, baik secara

lisan maupun tertulis, namun melakukan tingkah laku (gerakan) yang

menunjukkan jawabannya. Meskipun consent jenis ini tidak memiliki

bukti, namun consent jenis inilah yang paling banyak dilakukan dalam

praktek sehari-hari. Misalnya, adalah seseorang yang menggulung

lengan bajunya dan mengulurkan lengannya ketika akan di ambil

darahnya.1

Informed consent memiliki lingkup terbatas pada hal-hal yang telah

dinyatakan sebelumnya, tidak dapat dianggap sebagai persetujuan atas semua

tindakan yang akan dilakukan. Dokter dapat bertindak melebihi yang telah disepakati

hanya pabila gawat darurat dan keadaaan tersebut membutuhkan waktu yang singkat

untuk mengatasinya.

Proxy-consent adalah consent yang diberikan oleh orang bukan si pasien itu

sendiri, dengan syarat bahwa pasien tidak mempu memberikan consent sendiri, dan

consent tersebut harus mendekati apa yang sekiranya akan diberikan oleh pasien

apabila ia mampu memberikannya. Umumnya urutan orang yang dapat memberikan

proxy-consent adalah suami/istri, anak, orang tua, saudara kandung, dan lain-lain.1

III. Rahasia Kedokteran

Penggunaan kata privasi, kerahasiaan dan keamanan seringkali tertukar. Akan

tetapi terdapat beberapa perbedaan yang penting, diantaranya:

13

Page 14: PBL 6 30 SESHA

Privasi adalah "hak individu untuk dibiarkan sendiri, termasuk bebas dari campur

tangan atau observasi terhadap hal-hal pribadi seseorang serta hak untuk

mengontrol informasi-informasi pribadi tertentu dan informasi kesehatan".

Kerahasiaan merupakan "pembatasan pengungkapan informasi pribadi tertentu.

Dalam hal ini mencakup tanggungjawab untuk menggunakan, mengungkapkan,

atau mengeluarkan informasi hanya dengan sepengetahuan dan ijin individu".

(Informasi yang bersifat rahasia dapat berupa tulisan ataupun verbal.

Keamanan meliputi "perlindungan fisik dan elektronik untuk informasi berbasis

komputer secara utuh, sehingga menjamin ketersediaan dan kerahasiaan.

Termasuk ke dalamnya adalah sumber-sumber yang digunakan untuk

memasukkan, menyimpan, mengolah dan menyampaikan, alat-alat untuk

mengatur akses dan melindungi informasi dari pengungkapan yang tak disengaja

maupun yang disengaja.

Kerahasiaan rekam medis diatur di dalam UU praktik kedokteran pasal 47

ayat (2) yang menyatakan bahwa "rekam medis harus disimpan dan dijaga

kerahasiannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana kesehatan". Hal yang

sama dikemukakan dalam pasal 11 peraturan pemerintah No 10 tahun 1966 tentang

wajib simpan rahasia kedokteran. Selanjutnya, pasal 1 PP yang sama menyatakan

bahwa "yang dimaksud dengan rahasia kedokteran adalah segala sesuatu yang

diketahui oleh orang-orang dalam pasal 3 pada waktu atau selama melakukan

pekerjaannya dalam lapangan kedokteran".

Selanjutnya UU praktik kedokteran memberikan peluang pengungkapan

informasi kesehatan secara terbatas, yaitu dalam pasal 48 ayat (2):

untuk kepentingan kesehatan pasien

untuk memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka

penegakan hukum

permintaan pasien sendiri

berdasarkan ketentuan undang-undang

Sedangkan pasal 12 Permenkes 749a menyatakan bahwa:

pemaparan isi rekam medis hanya boleh dilakukan oleh dokter yang

merawat pasien dengan ijin tertulis pasien.

14

Page 15: PBL 6 30 SESHA

Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dapat memaparkan isi rekam medis

tanpa seijin pasien berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Di bidang keamanan rekam medis, Permenkes No. 749a/

MenKes/PER/XII/1989 menyatakan dalam pasal 13, bahwa pimpinan sarana

kesehatan bertanggungjawab atas (a) hilangnya, rusaknya, atau pemalsuan rekam

medis, (b) penggunaan oleh orang atau badan yang tidak berhak.6

III.I. Rahasia Jabatan dan Pembuatan SKA atau VetR

Peraturan pemerintah No 26 tahun 1960 tentang lafal sumpah dokter

Saya bersumpah/berjanji bahwa:

Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan Saya

akan menjalankan tugas saya dengan cara yang terhormat dan bersusila, sesuai

dengan martabat pekerjaan saya.

Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan

kedokteran.

Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya

dan karena keilmuan saya sebagai dokter........ dst.

Peraturan pemerintah no 10 tahun 1966 tentang wajib simpan rahasia

kedokteran, antara lain:

Pasal 1 PP No 10/1966

Yang dimaksud dengan rahasia kedokteran ialah segala sesuatu yang diketahui

oleh orang-orang tersebut dalam pasal 3 pada waktu atau selama melakukan

pekerjaannya dalam lapangan kedokteran.

Pasal 2 PP No 10/1966

Pengetahuan tersebut pasal l harus dirahasiakan oleh orang-orang yang tersebut

dalam pasal 3, kecuali apabila suatu peraturan lain yang sederajat atau lebih

tinggi dari pada PP ini menentukan lain.

Pasal 3 PP No 10/1966

Yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksud dalam pasal 1 ialah:

a. tenaga kesehatan menurut pasal 2 UU tentang tenaga kesehatan.

15

Page 16: PBL 6 30 SESHA

b. Mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan,

pengobatan dan atau perawatan, dan orang lain yang ditetapkan oleh menteri

kesehatan.

Pasal 4 PP No 10/1966

Terhadap pelanggaran ketentuan mengenai wajib simpan rahasia kedokteran yang

tidak atau tidak dapat dipidana menurut pasal 322 atau pasal 112 KUHP, menteri

kesehatan dapat melakukan tindakan administratip berdasarkan pasal UU tentang

tenaga kesehatan.

Pasal 5 PP No 10/1966

Apabila pelanggaran yang dimaksud dalam pasal 4 dilakukan oleh mereka yang

disebut dalam pasal 3 huruf b, maka menteri kesehatan dapat mengambil tindakan-

tindakan berdasarkan wewenang dan kebijaksanaannya.

Pasal 6 PP No 10/1966

Dalam pelaksanaan peraturan ini, menteri kesehatan dapat mendengar Dewan

Pelindung Susila Kedokteran dan atau badan-badan lain bilamana perlu.

Pasal 322 KUHP

(1) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena

jabatan atau pencariannya baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam

dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling

banyak sembilan ribu rupiah.

(2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya

dapat dituntut atas pengaduan orang itu.

Pasal 48 KUHP

Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana.

MA I17/K/Kr/1968 2 Juli 1969, dalam "noodtoestand" harus dilihat adanya:

1. Pertentangan antara dua kepentingan hukum

2. Pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum

3. Pertentangan antara dua kewajiban hukum

Pasal 49 KUHP

(1) Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri

sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri

16

Page 17: PBL 6 30 SESHA

maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat

pada saat itu yang melawan hukum.

(2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan kegun-

cangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak

dipidana.

Pasal 50 KUHP

Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-

undang, tidak dipidana.

Pasal 51 KUHP

(1) Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang

diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.7

(2) Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali

jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perinlah diberikan dengan

wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.7,8

IV. Aspek Hukum

Persetujuan tindakan medik menurut peraturan menteri kesehatan No.

585/MenKes/IX/1989 tentang persetujuan tindakan medik adalah:

Pasal 1. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

a. Persetujuan tindakan medic atau informed consent adalah persetujuan yang

diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenal tindakan

medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut

b. Tindakan medik adalah suatu tindakan yang dilakukan terhadap pasien berupa

diagnostik atau terapeutik

c. Tindakan invasif adalah tindakan medik yang langsung dapat mempengaruhi

keutuhan jaringan tubuh

d. Dokter adalah dokter umur atau dokter spesialis dan dokter gigi atau dokter gigi

spesialis yang bekerja di rumah sakit, puskesmes, klinik atau praktek perorangan

atau bersama.

Pasal 2. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

(1) Semua tindakan medik yg akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat

persetujuan.

17

Page 18: PBL 6 30 SESHA

(2) Persetujuan dapat diberikan secara tertulis maupun lisan.

(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat

informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta

resiko yang dapat ditimbulkannya.

(4) Cara penyampaian dan isi informasi harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan

serta kondisi dan situasi pasien

Pasal 3. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

(1) Setiap tindakan medik yang mengandung risiko tinggi harus dengan persetujuan

tertulis yang ditanda tangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.

Pasal 4. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

(1) Informasi tentang tindakan medik harus diberikan kepada pasien, baik diminta

maupun tidak diminta.

(2) Dokter harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya, kecuali bila dokter

menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien

atau pasien menolak diberikan informasi.

Pasal 5. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

(1) Informasi yang diberikan mencakup keuntungan dan kerugian dari tindakan

medik yang akan dilakukan, baik diagnostik maupun terapeutik.

Pasal 6. Permenkes No 58#MenKes/Per/IX/1989

(1) Dalam hal tindakan bedah (operasi) atau tindakan invasif lainnya, informasi

harus diberikan oleh dokter yang akan melakukan operasi itu sendiri.

Pasal 7. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

(1) Informasi juga harus diberikan jika ada kemungkinan perluasan operasi.

(2) Perluasan operasi yang tidak dapat diduga sebelumnya, dapat dilakukan untuk

menyelamatkan jiwa pasien.

(3) Setelah perluasan operasi sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan, dokter harus

memberikan informasi kepada pasien atau keluarganya.

Pasal 12. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

(1) Dokter bertanggung jawab atas pelaksanaan ketentuan tentang persetujuan tin-

dakan medik.

18

Page 19: PBL 6 30 SESHA

Pasal 14. Permenkes No 585/Men Kes/Per/IX/1989

Dalam hal tindakan medik yang harus dilaksanakan sesuai dengan program

pemerintah dimana tindakan medik tersebut untuk kepentingan masyarakat banyak,

maka persetujuan tindakan medik tidak diperlukan.

Pasal 15. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

Hal-hal yang bersifat teknis yang belum diatur dalam. Peraturan Menteri

ditetapkan oleh direktur jenderal pelayanan medik.5

IV.1. Membuka Rahasia Kedokteran Yang Tidak Dipidana

Pasal 48 UU No. 29 tahun 2004

Tentang praktek kedokteran ditetapkan sebagai berikut:

(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktek kedokteran wajib

menyimpan rahasia kedokteran.

(2) Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien,

memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan

hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-

undangan.

Pasal 10 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan No 269/Menkes/Per/III/2008

Tentang rekam medis sebagai berikut: informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat

penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat pengobatan dapat dibuka dalam hal:

a. Untuk kepentingan kesehatan pasien

b. Memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan

hukum atas perintah pengadilan

c. Permintaan dan/atau persetujuan pasien sendiri

d. Permintaan institusi/ lembaga berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan

e. Untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan audit medis, sepanjang tidak

menyebutkan identitas pasien.

Pasal 48 KUHP

Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana.

MA 117/K/Kr/1968 2 Juli 1969, dalam “noostoestand” harus dilihat adanya:

1. Pertentangan antara dua kepentingan hukum

2. Pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum

19

Page 20: PBL 6 30 SESHA

3. Pertentangan antara dua kewajiban hukum

Pasal 49 KUHP

(1) Tidak dipidana, barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk

diri sendiri maupun orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri

maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat

dekat pada saat itu yang melawan hukum.

(2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan

keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu,

tidak dipidana.

Pasal 50 KUHP

Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang

tidak dipidana.

Pasal 51 KUHP

(1) Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang

diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.

(2) Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana,

kecuali jika yang diperintah, dengan iktikad baik mengira bahwa perintah

diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan

pekerjaannya.

IV.I.I. Dampak Hukum

Setiap tindakan medis mempunyai indikasi, resiko, keuntungan dan kerugiannya

tersendiri. Dalam tindakan pengobatan pasien penderita gonorrhea, penting untuk

diketahui riwayat hubungan seksual, sudah menikah atau belum, apakah melakukan

persetubuhan dengan lebih dari satu orang. Penting bagi dokter untuk mengingat

bahwa ‘ping-pong phenomene’ dapat terjadi pada kasus gonorrhea, maka penting

untuk mengobati kedua orang yang sudah berhubugan seksual, khususnya jika sudah

menikah.

20

Page 21: PBL 6 30 SESHA

V. Tindakan Dokter

Kewajiban Dokter – Penjelasan Tindakan Medis

Pada kasus tersebut, pasien laki-laki harus dijelaskan mengenai keuntungan

dan kerugian jika ia menjalani pengobatan tanpa mengobati juga sang istri yang

kemungkinan sudah terkena gonorrhea. Jika dokter tidak meberikan penjelasan

terlebih dahulu, dokter tersebut tidak memenuhi kewajiban dokter yang tercantum

dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989, yang menuntut

dokter untuk menjelaskan atau memberikan informasi yang adekuat kepada pasien

sebelum melakukan tindakan medis.

Rahasia Kedokteran

Di lain pihak, jika dokter tidak menjelaskan kepada pasien bahwa penting

untuk memberitahu kepada istri pasien untuk menjalani pengobatan, tetapi dokter

tersebut yang menyampaikan informasi secara langsung kepada istri pasien tanpa

persetujuan dari pasien, dokter telah melanggar hak pasien atas rahasia rekam medis

pasien.

Pasal 322 KUHP:

(1) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena

jabatan atau pencariannya baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam

dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling

banyak sembilan ribu rupiah.

(2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya

dapat dituntut atas pengaduan orang itu.

Pasal 12 – KODEKI:

Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang

seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.

Seorang dokter tidak hanya dituntut bisa mengobati penyakit fisik pasien,

namun juga harus bisa membangun komunikasi yang baik dengan pasien, dan

menyelenggarakan praktek yang tidak hanya bersifat individual. Hal ini tentu juga

berkaitan dengan fungsi dokter sebagai dokter keluarga.

Dalam mengobati pasien, dokter harus mempertimbangkan aspek bioetik

kedokteran, tentunya dengan mempertimbangkan apa yang baik buat pasien, bukan

21

Page 22: PBL 6 30 SESHA

untuk orang lain. Selain itu, dokter juga harus menjaga rahasia pasien sesuai dengan

sumpah dokter dan kode etik kedokteran.

Berkaitan dengan kasus diatas, dimana dokter mendapatkan pasien laki-laki

dengan GO dan pasien telah berhubungan dengan istrinya, maka sebagai dokter kita

harus mengobati keduanya. Dokter juga harus mempertimbangkan hak autonomi

pasien dimana dia mengatakan bahwa dia takut ketahuan oleh istrinya. Namun

kembali kita harus mempertimbangkan apa yang terbaik untuk pasien, karena jika kita

tidak mengobati keduanya, maka penyakit GO pasien akan menjadi lingkaran setan

yang bukan tidak mungkin akan menular lagi pada orang lain jika pasien atau istrinya

berhubungan dengan orang lain. Dalam hal ini, sebagai dokter yang harus dikatakan

pada pasien adalah tetap menyuruh dia untuk mengajak istrinya berobat, karena

dokter harus member yang terbaik untuk pasien agar pasien dan istrinya sehat

kembali. Hal yang sama juga dilakukan jika ternyata pasien tersebut adalah orang

dengan AIDS. Yang bisa kita lakukan lebih kearah mencegah supaya pasien tidak

menularkan AIDS pada istrinya, yaitu dengan cara memkakai kondom bila melakukan

hubungan suami istri.

Pada akhirnya, dalam melakukan komunikasi dokter pasien perlu

mempertimbangkan hak pasien, tapi dokter juga mempunyai kewajiban untuk

membuat pasien sehat. Pasien juga harus dibuat mengerti semua tindakan yang

dilakukan dokter juga untuk kebaikan pasien sendiri.

BAB III

Penutup

Dalam menghadapi kasus seperti ini, kita harus tetap menjalankan kaidah

moral etika kedokteran. Paling penting pada kasus ini adalah kaidah moral non-

maleficence dan autonomy. Kita harus memikirkan bagaimana cara agar pasien kita

tidak bertambah buruk keadaannya karena efek ping-pong phenomenon dari penyakit

gonorrhea tetapi kita juga harus tetap menjaga rahasia penyakit pasien. Oleh sebab itu,

sebagai dokter kita harus berlaku bijak dengan menyarankan agar pasien membawa

serta isterinya bila kembali berobat kepada kita.

22

Page 23: PBL 6 30 SESHA

BAB IV

Daftar Pustaka

1. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran pengantar

bagi mahasiswa kedokteran dan hukum. Cetakan ke-2. Jakarta : Pustaka Dwipar ;

2007. h29-39, 77-83.

2. Ali MM, Sidi IPS dan Zahir H. Komunikasi efektif dokter pasien. Jakarta : Konsil

Kedokteran Indonesia ; 2006. h1-40.

3. Pedoman pelaksanaan kode etik kedokteran indonesia - majelis kehormatan etik

kedokteran indonesia (MKEK) ikatan dokter indonesia. Sumatera : Fakultas

Kedokteran USU ; 2006.

4. Hanafiah HJ. Pernyataan IDI tentang informed consent. Dalam: etika kedokteran

dan hukum kesehatan. Edisi ke-3. Jakarta : EGC ; 1999. h279.

5. Staf pengajar bagian kedokteran forensik FKUI. Peraturan perundang-undangan

bidang kedokteran. Cetakan ke-2. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia ; 1994. H11-8, 20-3, 17-42,

6. Kode etik kedokteran indonesia. Diunduh dari:

http://fkunhas.com/kode-etik-kedokteran-indonesia-kodeki-20100926791.html, 15

Januari 2013.

7.MKEK. Kode etik kedokteran indonesia. UGM. Diunduh dari:

http://www.google.co.id/ luk.staff.ugm.ac.id/atur/sehat/ Kode - Etik - Kedokteran .pdf , 15

Januari 2013.

8. Praktek kedokteran. 2004. Diunduh dari: http://www.ilunifk83.com/t93-uu-ri-no-

29-tahun-2004-tentang-praktik-kedokteran, 15 Januari 2013.

23