blok 30 makalah pbl 5

28
KARSINOMA KOLON TERMINAL Nama : Tiara Sari Irianti Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Email : [email protected] PENDAHULUAN Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas, yang sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada informed consent, wajib simpan rahasia kedokteran, profesionalisme, dll. Bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek etik seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etika. 1 Euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus Euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim

Upload: neng-nurmalasari

Post on 29-Dec-2015

31 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Blok 30 Makalah Pbl 5

KARSINOMA KOLON TERMINAL

Nama : Tiara Sari Irianti

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Email : [email protected]

PENDAHULUAN

Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas, yang sering

tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada informed consent, wajib simpan rahasia

kedokteran, profesionalisme, dll.  Bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek etik seringkali

tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik yang telah

diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai

etika.1

Euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar

biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan

meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang

sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus

Euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit

keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan

ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena

keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan

sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi.

Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter

menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin

sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi

ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi

Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah

dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh.

Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat

Page 2: Blok 30 Makalah Pbl 5

mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan

dapat mempercepat kematiannya .

Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan merupakan

hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun dalam praktiknya

dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala. Pertama, dokter terikat

dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankan penderitaan pasien Tapi

di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik kedokteran

itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara

mana pun.

KASUS

Seoarang pasien berusia 62 tahun dating kerumah sakit dengan karsinoma kolon yang telah

terminal. Pasien masih culup sadar berpenidikan cukup tinggi. Ia memahami benar posisi

kesehatannya dan ketebatasan kemampuan ilmu kedokteran saat ini ia juga memiliki pengalaman

pahit sewaktu kakaknya menjelang ajalnya dirawat di ICU dengan peralataan bermacam-macam

tampak sangat menderita, dan alat-alat tersebut tampaknya hanya memperpanjang

penderitaannya saja. Oleh karena itu ia meminta kepada dokter apabila dia mendekati ajaalnya

agar menerima terapi yang minimal saja ( tanpa antibiotika, tanpa peralatan ICU dll) dan ia ingin

mati dengan tenang dan wajar. Namun ia tetap setuju apabila ia menerima obat-obatan

penghilang rasa sakit bila memang dibutuhkan.

ASPEK HUKUM

Persetujuan Tindakan Medik2

Pasal 1.Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

a. Persetujuan tindakan medik/informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh

pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan

dilakukan terhadap pasien tersebut;

Page 3: Blok 30 Makalah Pbl 5

b. Tindakan medik adalah suatu tindakan yang dilakukan terhadap pasien berupa diagnostik

atau terapeutik;

c. Tindakan invasif adalah tindakan medik yang langsung dapat mempengaruhi keutuhan

jaringan tubuh;

d. Dokter adalah dokter umum/ dokter spesialis dan dokter gigi/dokter gigi spesialis yang

bekerja di rumah sakit, puskesmas, klinik atau praktek perorangan/ bersama.

Pasal 2.Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

(1) Semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan.

(2) Persetujuan dapat diberikan secara tertulis maupun lisan.

(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat informasi

yang adekuat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta resiko yang dapat

ditimbulkannya.

(4) Cara penyampaian dan isi informasi harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan serta

kondisi dan situasi pasien

Pasal 3.Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

(1) Setiap tindakan medik yang mengandung risiko tinggi harus dengan persetujuan tertulis

yang ditanda tangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.

(2) Tindakan medik yang tidak termasuk sebagaimana dimaksud dalam pasal ini tidak

diperlukan persetujuan tertulis, cukup persetujuan lisan

(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat diberikan secara nyata-nyata atau

secara diam-diam.

Pasal 4.Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

(1) Informasi tentang tindakan medik harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun

tidak diminta.

(2) Dokter harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya, kecuali bila dokter menilai

bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau pasien

menolak diberikan informasi.

Page 4: Blok 30 Makalah Pbl 5

(3) Dalam hal- hal sebagaimana dimaksud ayat (2) dokter dengan persetujuan pasien dapat

memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat dengan didampingi oleh

seorang perawat/ paramedik lainnya sebagai saksi.

Pasal 5.Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

(1) Informasi yang diberikan mencakup keuntungan dan kerugian dari tindakan medik yang

akan dilakukan, baik diagnostik maupun terapeutik.

(2) Informasi diberikan secara lisan.

(3) Informasi harus diberikan secara jujur dan benar kecuali bila dokter menilai bahwa hal itu

dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien.

(4) Dalam hal-hal sebagaimana dimaksud ayat (3) dokter dengan persetujuan pasien dapat

memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat pasien.

Pasal 6.Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

(1) Dalam hal tindakan bedah (operasi) atau tindakan invasif lainnya, informasi harus

diberikan oleh dokter yang akan melakukan operasi itu sendiri.

(2) Dalam keadaan tertentu dimana tidak ada dokter sebagaimana dimaksud ayat (1),

informasi harus diberikan oleh dokter lain dengan pengetahuan atau petunjuk dokter yang

bertanggung jawab.

(3) Dalam hal tindakan yang bukan bedah (operasi) dan tindakan yang tidak invasif lainnya,

informasi dapat diberikan oleh dokter lain atau perawat, dengan pengetahuan atau

petunjuk dokter yang bertanggung jawab.

Pasal 7.Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

(1) Informasi juga harus diberikan jika ada kemungkinan perluasan operasi.

(2) Perluasan operasi yang tidak dapat diduga sebelumnya, dapat dilakukan untuk

menyelamatkan jiwa pasien.

(3) Setelah perluasan operasi sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan, dokter harus

memberikan informasi kepadan pasien atau keluarganya

Pasal 8.Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

Page 5: Blok 30 Makalah Pbl 5

(1) Persetujuan diberikan oleh pasien dewasa yang berada dalam keadaan sadar dan sehat

mental.

(2) Pasien dewasa sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah yang telah berumur 21 tahun (dua

puluh satu) tahun atau telah menikah

Pasal 9.Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

(1) Bagi pasien dewasa yang berada di bawah pengampuan (cura tele) persetujuan diberikan

oleh wali/curator.

(2) Bagi pasien dewasa yang menderita gangguan mental, persetujuan diberikan oleh orang

tua/wli/curator

Pasal 10.Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

Bagi pasien di bawah umur 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak mempunyai orang

tua/wali dan atau orang tua/wali berhalangan, persetujuan diberikan oleh keluarga

terdekat atau induk semang (guardian).

Pasal 11.Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

Dalam hal pasien tidak sadar/ pingsan serta tidak didampingi oleh keluarga terdekat dan

secara medik berada dalam keadaan gawat dan atau darurat yang memerlukan tindakan

medik segera untuk kepentingannya, tidak diperlukan persetujuan dari siapapun.

Pasal 12.Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

(1) Dokter bertanggung jawab atas pelaksanaan ketentuan tentang persetujuan tindakan

medik.

(2) Pemberian persetujuan tindakan medik yang dilaksanakan di rumah sakit/ klinik, maka

rumah sakit/ klinik yang bersangkutan ikut bertanggung jawab.

Pasal 13.Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

Terhadap dokter yang melakukan tindakan medik tanpa adanya persetujuan dari pasien

atau keluarganya dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan surat izin

prakteknya.

Page 6: Blok 30 Makalah Pbl 5

Pasal 14.Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

Dalam hal tindakan medik yang harus dilaksanakan sesuai dengan program pemerintah

dimana tindakan medik tersebut untuk kepentingan masyarakat banyak, maka persetujuan

tindakan medik tidak diperlukan.

Pasal 15.Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

Hal-hal yang bersifat teknis yang belum diatur dalam Peraturan Menteri ini, ditetapkan

oleh Direktur Jenderal Pelayanan Medik.2

KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA

Merupakan pedoman bagi dokter Indonesia anggota IDI dalam melaksanakan praktek

kedokteran.

Tertuang dalam SK PB IDI no 221/PB/A.4/04/2002 tanggal 19 April 2002 tentang penerapan

Kode Etik Kedokteran Indonesia.

Kode Etik Kedokteran Indonesia pertama kali disusun pada tahun 1969 dalam Musyawarah

Kerja Susila Kedokteran Indonesia.

Dan sebagai bahan rujukan yang dipergunakan pada saat itu adalah Kode Etik Kedokteran

Internadional yang telah disempurnakan pada tahun 1968 melalui Muktamar Ikatan Dokter

Sedunia ke 22, yang kemudian disempurnakan lagi pada MuKerNas IDI XIII, tahun 1983.3

KEWAJIBAN UMUM

Pasal1

Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah Dokter.

Pasal2

Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standard

profesi yang tertinggi.

Pasal3

Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu

Page 7: Blok 30 Makalah Pbl 5

yang mengakibatkan

hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.

Pasal4

Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.

Pasal5

Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik hanya

diberikan untuk kepentingan

dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien.

Pasal6

Setiap dokter harus senantiasa berhati hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap

penemuan tehnik atau pengobatan

baru yang belum diuji kebenarannya dan hal hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.

Pasal7

Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri

kebenarannya..

Pasal7a

Seorang dokter harus, dalam setiappraktek medisnya, memberikan pelayanan medis yang

kompeten dengan kebebasan

teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang ( compassion ) dan penghormatan atas

martabat manusia.

Pasal7b

Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dansejawatnya, dan

berupaya untuk mengingatkan

sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang

melakukan penipuan atau

penggelapan, dalam menangani pasien.

Page 8: Blok 30 Makalah Pbl 5

Pasal7c

Seorang dokter harus menghormati hak hak pasien, hak hak sejawatnya, dan hak tenaga

kesehatan lainnya, dan harus

menjaga kepercayaan pasien.

Pasal7d

Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup mahluk insani.

Pasal8

Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat

dan memperhatikan semua

aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh ( promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif ),

baik fisik maupun psiko-sosial,

serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar benarnya.

Pasal9

setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat dibidang kesehatan dan bidang lainnya

serta masyarakat, harus

saling menghormati.3

KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP PASIEN

Pasal10

Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan ketrampilannya

untuk kepentingan pasien.

Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas

persetujuan pasien, ia wajib

merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.

Pasal11

Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berhubungan

dengan keluarga dan

penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya.

Page 9: Blok 30 Makalah Pbl 5

Pasal12

Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien,

bahkan juga setelah

pasien itu meninggal dunia.

Pasal13

Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali

bila ia yakin ada

orang lain bersedia dan mampu memberikannya.

KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP TEMAN SEJAWAT

Pasal14

Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.

Pasal15

Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan persetujuan

atau berdasarkan

prosedur yang etis.2

KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP DIRI SENDIRI

Pasal16

Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.

Pasal17

Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi

kedokteran/kesehatan.

Hak dan Kewajiban Dokter atau Dokter Gigi

Pasal 50 Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak : a.

memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi

dan standar prosedur operasional; b. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan

standar prosedur operasional;

Page 10: Blok 30 Makalah Pbl 5

c. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan d. menerima

imbalan jasa.

Pasal 51 Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai

kewajiban :

a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional

serta kebutuhan medis pasien; b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang

mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu

pemeriksaan atau pengobatan; c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien,

bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia; d. melakukan pertolongan darurat atas dasar

perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya;

dan e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau

kedokteran gigi.

Hak dan Kewajiban Pasien

Pasal 52 Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak: a.

mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 45 ayat (3); b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain; c. mendapatkan pelayanan

sesuai dengan kebutuhan medis; d. menolak tindakan medis; dan e. mendapatkan isi rekam

medis.

Pasal 53 Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban :

a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya; b. mematuhi

nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi; c. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana

pelayanan kesehatan; dan d. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. 3

INFORM CONSERNT

Informed consernt adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara dokter

dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan

Page 11: Blok 30 Makalah Pbl 5

dilakukan terhadap pasien. Informed consernt dilihat dari aspek hukum bukanlah sebagai

perjanjian antara dua pihak melainkan lebih kearah persetujuan sepihak atas layanan yang

ditawarkan pihak lain: 4

Infirmed consernt memiliki 3 element, yaitu:

1. Threshold elements

Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai element, oleh karena sifatnya lebih

kearah syarat, yaitu pemberi consernt haruslah seorang yang kompeten. Kompeten disini

diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan (medis). Kompetensi manusia untuk

membuat keputusan sebenarnya merupakan suatu continuum, dari sama sekali tidak

memiliki kompetensi hingga memiliki kompetensi yang penuh. Diantaranya terdapat

berbagai tingkat kompetensi membuat keputusan tertentu ( keputusan yang reasonable

berdasarkan alas an yang reasonable).

Secara hukum seseorang dianggap cakap ( kompeten) adalah apabila telah dewasa, sadar dan

berada dalam keadaan mental yang tidak dibawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai

usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang

dianggap tidak kompeten adalah apabila ia mempunyai penyakit mental sedemikian rupa

atau perkembangan mentalnya terbelakang sedemikian rupa, sehingga kemampuan membuat

keputusan terganggu.

2. Information elemens

Elemen ini terdiri dari dua bagian, yaitu disclosure (pengungkapan) dan Undestanding

(pemahaman). Pengertian “berdasarkan pemahaman yang adekuat” membawa konsekuensi

kepada tenaga medis untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa agar pasien

dapat mencapai pemahaman yang adekuat.

Dalam hal ini seberapa “baik” informasi harus diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari 3

standart, yaitu:

Standar Praktek Profesi

Bahwa memberikan informasi dan criteria ke-adekua-an infomasi ditentukan bagaimana

biasanya dilakukan dalam komunitas tenaga medis (constumary practice of a

professional community- Faden and Beauchamp, 1986). Standar ini terlalu mengacu

pada nilai-nilai yang ada didalam komunitas kedokteran tanpa memeperhatikan

Page 12: Blok 30 Makalah Pbl 5

keingintahuan dan kemampuan pemahaman individu yang diharapkan menerima

informasi tersebut.

Dalam standar nilai ada kemungkinan bahwa kebiasaan tersebut diatas tidak sesuai

dengan nilai-nilai social setempat, misalnya: risiko yang “tidak bermakna” ( menurut

medis) tidak diinformasikan, padahal mungkin bermakna dari sisi social/ pasien.

Standart Subyektif

Bahwa keputusan harus didasrkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi,

sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut dalam

membuat keputusan. Sebaiknya dari standar sebelumnya, standar ini sangat ulit

dilaksanakan atau hamper mustahil. Adalah mustahil bagi tenaga medis untuk

memahami nilai-nilai yang secara individual dianut oleh pasien.

Standart pada reasonable person

Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap

cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan pada umumnya

orang awam.

Sub-elemen pemahaman (understanding) dipengaruhi oleh penyakitnya, irrasionalis dan

imaturitas.

Banyak ahli yang mengatakan bahwa apabila elemen ini tidak dilakukan maka dokter

dianggap telah lalai melaksanakan tugasnya member informasi yang adekuat.

3. Consent Elements

Elemen ini terdiri dari dua bagian, yaitu voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) dan

authorization (persetujuan).

Kesukarelaan mengharuskan tidak adanya tipuan, misrepresentasi ataupun paksaan.

Pasien juga harus bebas dari “ tekanan” yang dilakukan tenaga medis yang bersikap

seolah-olah akan “dibiarkan” apabila tidak menyetujui tawarannya.

Banyak ahli masih berpendapat bahwa melakukan persuasi yang :tidak berlebihan” masih

apat dibenarkan secara moral.

Consernt dapat diberikan:

a. Dinyatakan (expressedI)

o Dinyatakan secara lisan

Page 13: Blok 30 Makalah Pbl 5

o Dinyatakan secara tertulis. Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan bukti

dikemudian hari, umumnya pada tindakan yang invasive atau yang beresiko

mempengaruhi kesehatan pasien secara bermakna. Permenkes tentang persetujuan

tindakan medis menyatakan bahwa semua jenis tindakan operatif harus

memperoleh persetujuan tertulis.

b. Tidak dinyatakan (implied)

Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis, namun melakukan

tingkah laku ( gerakan) yang menunjukan jawabannya.

Meskipun consernt jenis ini tidak memiliki bukti, namun consernt jenis inilah yang

paling banyak dilakukan dalam praktek sehari-hari.

Misalnya adalah seseorang yang menggulung lengan bajunya dan mengulurkan

lengannya ketika akan diambil darahnya.

Informed consernt memiliki lingkup terbatas pada hal-hal yang telah dinyatakan sebelumnya

tidak dapat dianggap sebagai persetujuan atas semua tindakan yang akan dilakukan. Dokter dapat

bertindak melebihi yang telah disepakati hanya apabila gawat darurat dan keadaan tersebut

membutuhkan waktu yang singkat untuk mengatasinya.

Proxy-consernt adalah consernt yang diberikan oleh orang yang bukan si pasien itu sendiri

dengan syarat bahwa pasien tidak mampu memberikan concern secara pribadi dan consernt

tersebut harus mendekati apa yang sekiranya akan diberikan oleh pasien apabiala ia mampu

memberikannya (baik buat pasien, bukan baik buat orang banyak). Umumnya urutan orang yang

dapat memberikan proxy-consernt adalah suami/isteri, anak orang tua, saudara sekandung dll.

Hak menolak terapi lebih sukar diterima oleh profesi kedokteran daripada hak menyetujui terapi.

Banyak ahli yang mengatakan bahwa hak menolak terapi bersifat tidak absolute, artinya masih

dapat ditolak atau tidak diterimaoleh dokter. Hal ini karena dokter akan mengalami konflik moral

dengan kewajiban menghormati kehidupan, kewajiban untuk mencegah perbuatan yang bersifat

bunuh diri atau self inflicted, kewajiban melindungi pihak ketiga dan integritas etis profesi

dokter.4

REKAM MEDIS

Page 14: Blok 30 Makalah Pbl 5

Rekam Medis adalah kumpulan berkas yang berisikan segala sesuatu yang berhubungan dengan

perawatan pasien di institusi pelayanan kesehatan. Bayangkan ketika kita datang ke dokter,

klinik, rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan lainnya, maka yang ditanyakan pertama

adalah identitas kita. Selanjutnya dokter atau tenaga kesehatan lainnya akan menanyakan apa

keluhan dan yang berkaitan dengan keluhan kita. Ini adalah awal dari proses rekam medis.

Proses selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik, seperti tensi darah atau ukur suhu tubuh. Semua

yang dilakukan dan terapi yang diberikan dicatat dalam suatu lembar kertas, kartu ataupun media

lainnya (Inilah yang disebut rekam medis).5

Perkembangan Rekam Medis sangat cepat seiring dengan kemajuan bidang kedokteran,

kesadaran hukum dan teknologi informasi. Sehingga perubahan paradigma dari rekam medis

menjadi rekam kesehatan sudah harus kita terima.

Peraturan tentang penyelenggaraan Rekam Medis  dimulai Tahun 1989, dengan dikeluarkannya

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.749a/Menkes/PER/XII/ 1989 tentang

Rekam Medis, yang mana pengaturannya masih mencakup rekam medis berbasis kertas

(konvensional). Sementara saat ini Rekam medis konvensional kurang tepat lagi untuk

digunakan disaat mana kita sudah menggunakan informasi secara intensif dan lingkungan yang

berorientasi pada otomatisasi pelayanan kesehatan dan bukan terpusat pada unit kerja semata.

Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang melanda dunia

telah berpengaruh besar bagi perubahan pada semua bidang, termasuk bidang kesehatan. Salah

satu penggunaan teknologi informasi (TI) di bidang kesehatan yang menjadi tren dalam

pelayanan kesehatan secara global adalah rekam kesehatan elektronik (Electronic Medical

Record).  Selama ini rekam medis mengacu pada Pasal 46 dan Pasal 47 UU No.29 Tahun 2004

tentang Praktik Kedokteran dan Permenkes No.269/Menkes/PER/III/2008 tentang Rekam Medis

sebagai pengganti dari Peraturan Menteri Kesehatan No.749a/Menkes/PER/XII/1989.

Undang-undang No.29 Tahun 2004 sebenarnya telah diundangkan saat EMR sudah banyak

digunakan, namun belum mengatur mengenai EMR. Begitu pula Peraturan Menteri Kesehatan

No.269/Menkes/PER/III/2008 tentang Rekam Medis belum sepenuhnya mengatur mengenai

EMR. Hanya pada Bab II pasal 2 ayat 1 dijelaskan bahwa “Rekam medis harus dibuat secara

Page 15: Blok 30 Makalah Pbl 5

tertulis, lengkap dan jelas atau secara elektronik”. Secara tersirat pada ayat tersebut memberikan

ijin kepada sarana pelayanan kesehatan membuat rekam medis secara elektronik (EMR).5

ETIKA

Etika Kedokteran 5

Di dalam menentukan tindakan di bidang kesehataan atau kedokteran, selain mempertimbangkan

keempat kebutuhan dasar diatas keputusan hendaknya juga memepertimbangkan hak-hak asasi

pasien. Pelanggaran atas hak pasien akan mengakibatkan juga pelanggaran atas kebutuhan dasar

diatas terutama kebutuhan kreatif dan spiritual pasien.

Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar-salahnya suatu sikap dan atau

perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas. Penilaian baik-buruk dan benar-

salah dari sisi moral tersebut menggunakan pendekatan teori etika yang cukup banyak

jumlahnya. Terdapat dua teori etika yang paling banyak dianut orang adalah teori deontology

dan teleologi. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa, Deontologi mengajarkan bahwa baik-

buruknya suatu perbuatan harus dilihat dari perbuatannya itu sendiri (I Kant), sedangkan

Teleologi mengajarkan untuk menilai baik-buruk tindakan dengan melihat hasilnya atau atau

akibatnya (D Hume, J Bentham, JS Mills). Deontologi lebih mendasarkan kepada ajaran agama,

tradisi dan budaya, sedangkan teleology lebih kearah penalaran (reasoning) dan pembenaran

(justifikasi) kepada azas manfaat ( aliran utilitarian).

Beauchamp and Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu keputusan etik

diperlukan 4 kaidah dasar moral ( moral principle) dan beberapa rules dibawahnya. Ke-4 kaidah

dasar moral tersebut adalah:

1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien terutama hak

otonomi pasien (the rights to self determination). Prinsip moral inilah yang kemudian

melahirkan doktrin informed consert.

2. Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke

kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan saja,

melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya ( manfaat) lebih besar dari pada sisi buruknya

(mudharat).

Page 16: Blok 30 Makalah Pbl 5

3. Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk

keadaan pasien, Prinsip ini dikenal sebagai “primum non nocere” atau ”above all do no

harm”

4. Prinsip justice yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam bersikap

maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice).

Sedangkan rules deviratnya adalah veracity (berbicara benar, jujur dan terbuka), privacy

(menghormati hak privasi pasien), confidentiality (menjaga kerahasiaan pasien) dan fidelity

(loyalitas dan promise keeping).

Selain prinsip atau kaidah dasar moral diatas yang harus dijadikan pedoman dakam mengambil

keputusan klinis, professional kedokteran juga mengenal etika profesi sebagai panduan dalam

bersikap dan berperilaku (code of ethical conduct). Sebagaimana diuraikan pada pendahuluan,

nilai-nilai dalam etika profesi tercermin didalam sumpah dokter dank ode etik kedokteran.

Sumpah dokter berisikan suatu “kontrak moral” antara dokter dengan Tuhan sang penciptanya,

sedangkan kode etik kedokteran berisikan “ kontrak kewajiban moral” antara dokter dengan

peer-groupnya yaitu manyarakat profesinya.

Baik sumpah dokter maupun kode etik kedokteran berisikan sejumlah kewajiban moral yang

melekat kepada para dokter . meskipun kewajiban tersebut bukanlah kewajiban hukum sehingga

tidak dapat dipaksakan secara hukum, namun kewajiban moral tersebut haruslah menjadi

“pemimpin” dari kewajiban dalam hukum kedokteran. Hukum kedokteran yang baik haruslah

hukum yang etis.

Etika Klinik 5

Pembuatan keputusan etik. Terutama dalam situasi klinik dapat juga dilakukan dengan

pendekatan yang berbeda dengan pendekatan kaidah dasar moral diatas. Jonsen, Siegler dan

Winslade (2002) mengembangkan teori etik yang menggunakan 4 topik yang essensial dalam

pelayanan klinik yaitu:

1. Medical indikasi

2. Patient preferences

3. Quality of life

Page 17: Blok 30 Makalah Pbl 5

4. Contextual features

Kedalam topic medical indikasi dimasukkan semua prosedur diagnostic dan terapi yang sesuai

untuk mengevaluasi keadaan pasien dan mengobatinya. Penilaian aspek indikasi medis ini

ditinjau dari sisi etikanya, terutama menggunakan kaidah beneficence dan nonmaleficence,

pertanyaan etika pada topic ini adalah serupa dengan seluruh informasi yang selayaknya

disampaikan kepada pasien pada doktrin informed consernt.

Pada topic patient preference kita memperlihatkan nilai (value) dan penilaian pasien tentang

manfaat dan beban yang akan diterimanya, yang berarti cerminan kaidah autonomy.pernyataan

etiknya meliputi pernyataan tentang kompetensi paien, sifat volunteer sikap dan

keputusannya,pemahaman atas informasi, siapa pembuatan keputusan bila pasien tidak

kompeten, nilai dan keyakinan yang dianut pasien, dll.

Topic quality of life merupakan aktualisasi salah satu tujuan kedoteran, yaitu memperbaiki,

menjaga atau meningkatkan kualitas hidup insane. Apa, siapa dan bagaimana melakukan

penilaian kualitas hidup merupakan pernyataan etik sekitar prognosis, yang berkaitan dengan

beneficence, noonmaleficence, dan autonomy.

Dalam contextual featurs dibahas pernyataan etik seputas aspek nonmedis yang mempengaruhi

keputusan, seperti factor keluarga, ekonomi, agama, budaya, kerahasiaan, alokasi sumber daya

dan factor hukum.

Etik dalam Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan

Didalam praktek, peran professional kesehatan khususnya dokter dapat terbagi ke dalam 3

model penjaga gawang yaitu peran tradisional, peran negative gatekeeper dan peran positive

gatekeeper.

Dalam peran tradisionalnya, dokter memikul beban moral sebagai penjaga gawang

penyelenggaraan layanan kesehatan dan medis. Mereka harus menggunakan pengetahuan

mereka untuk berpraktek secara kompeten dan rasional ilmiah. Petunjukknya harus diagnostic

elegance (termasuk menggunakan cara yang memiliki tingkat ekonomi yang sesuai dalam

mendiagnosis) dan therapeutic persinomy (memberikan terapi hanya yang secara nyata

Page 18: Blok 30 Makalah Pbl 5

bermanfaat dan efektif). Mereka harus mencegah adanya resiko yang tidak diperlukan kepada

pasien yang berasal dari terapi yang meragukan dan menjaga sumber daya financial pasien.

Dalam peran negative gatekeeper yaitu pada system kesehatan prabayar atau kapitasi, dokter

diharapkan untuk membatasi akses pasien ke layanan medis. Pada peran ini jelag terjadi konflik

moral pada dokter dengan tanggungjawab tradisionalnya dalam membela kepentingan pasien

(prinsip beneficence ) dengan tanggungjawab barunya sebagai pengawal sumberdaya

masyarakat/komunitas. Meskipun demikian, peran negative gatekeeper ini secara moral

mungkin masih dapat di justifikasi.

Tidak seperti peran negative yang banyak dideskripsikan secara terbuka, peran positive

gatekeeper dokter sangat tertutup dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Dalam

peran ini dokter diberdayakan untuk menggunakan fasiliatas medis dan jenis layanan hi-tech

demi kepentingan profit. Bagi mereka yang mampu membayar disediakan fasilitas diagnostic

dan terapi yang paling mahal dan mutakhir, layanan didasarkan kepada “ keinginan pasar” dan

bukan kepada kebutuhan medis. Upaya meningkatkan demand atas layanan yang sophisticated

dijadikan tujuan yang implicit, dan dokter menjadi salesmannya. Mereka berbagi profit secara

langsung apabila mereka pemilik atau inverstor layanan tersebut, atau mereka memperoleh

penghargaan berupa kenaikan honorarium atau tunjangan apabila mereka hanya berstatus

pegawai atau pelaksana.

Tidak disangkal lagi bahwa peran positive gatekeeper telah “membudaya” bagi para dokter di

kota-kota besar di Indonesia. Transaksi antara pasien dengan dokter menjadi transaksi komoditi

biasa. Dokter menjadi entrepreneur atau sebagai agen dari sang entrepreneur. Etik para

professional kesehatan menjadi menurun hingga ke bottom li ne ethics dan bukan lagi

menjunjung tinggi nilai-nilai keutamaan (virtue ethics). Pertanyaan “apa yang harus saya

lakukan agar pasien bebas dari tuntutan” menjadi dasar kerja dokter sebagai pengganti

pertanyaan “ apa yang harus saya lakukan agar pasien memperoleh manfaat danlayanan profesi

yang optimal”. Orang yang sakit, dependen, gelisah, kurang pengetahuan, dan vulnerable

dieksploitasi untuk keuntungan pribadi orang-orang tertentu. 5

KESIMPULAN

Page 19: Blok 30 Makalah Pbl 5

Euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit

keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan euthanasia dari sudut

kemanusiaan dibenarkan dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat

disembuhkan.Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada

dua kendala. Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu

meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain yang

berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang

lain merupakan tindak pidana di negara mana pun.

DAFTAR PUSTAKA

1. Idries AM. Penerapan ilmu kedokteran forensik dalam proses penyidikan.Jakarta: Sagung

Seto.2013. h.243-57.

2. Peraturan Perundang-Undangan Bidang Kedokteran. Edisi Pertama. Jakarta: Bagian

Kedokteran Forensik FKUI. 1994.

3. Etika Kedokteran Indonesia. Diunduh dari:

http://www.freewebs.com/etikakedokteranindonesia/. 8 Januari 2014.

4. Hanafiah HJ. Pernyataan IDI tentang informed consent. Dalam: Etika Kedokteran dan

Hukum Kesehatan. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1999; hal. 279.

5. Sampurna Budi, et all. Bioetik dan Hukum Kedokteran. Jakarta: Jakarta: Bagian

Kedokteran Forensik FKUI. 2007.