mkn-sep2006- sup (10)

10
Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006 243 Anemia dan Transfusi Sel Darah Merah pada Pasien Kritis Achsanuddin Hanafie SMF-Anestesi dan Reanimasi FK-USU/RSUP Hají Adam Malik, Medan, RSU Dr. Pirngadi Medan Abstrak: Anemia sering terdapat pada pasien kritis, dengan insiden antara 29% sampai 37%. Pasien dengan penyakit jantung iskhemia mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk menderita akibat konsekwensi dari keadaan anemia. Penelitian secara random dengan jelas menunjukkan bahwa strategi membatasi transfusi dapat menurunkan kebutuhan dalam pemberian transfusi sel darah merah dan tidak mengakibatkan konsekwensi klinis yang berubah. Penelitian lebih lanjut diperlukan bagi populasi dengan resiko tinggi (seperti pasien dengan sindroma koroner akut dan syok septik dini) dan juga pada anak-anak. Abstract: Anemia is very common among critically ill patients, ranking in incidence from 29% to 37%. Patients with ischemic heart disease may appear to be at increased risk for adverse consequences from anemia. Randomized trials clearly indicate that restrictive transfusion strategies decreased the need for red blood cell transfusion and do not result in adverse clinical consequences. Further studies are required in high-risk populations (acute coronary syndromes and early septic shock) as well as children. PENDAHULUAN Anemia adalah masalah yang sering terjadi pada pasien kritis yang dirawat di ruangan intensip (ICU). Pada penelitian “cross- sectional”, 29% pasien dengan kadar Hb di bawah nilai normal dan 37% pasien membutuhkan transfusi sel darah merah. Keputusan untuk pemberian transfusi sel darah merah (RBC) dalam pengobatan karena anemia dan perdarahan membutuhkan pengertian yang jelas tentang resiko dan keuntungan. Walaupun telah dikembangkan lebih jelas tentang resiko infeksi dan immunomodulasi dari transfusi sel darah merah selama dua dekade lalu, resiko anemia dan keuntungan transfusi RBC masih belum mempunyai kharakteristik yang jelas. Dugaan bahwa resiko anemia adalah berhubungan dengan buruknya kapasitas transport oksigen dan penurunan volume plasma. Konsekuensi keadaan klinis yang memburuk akibat anemia bergantung kepada kapasitas individu dalam mengkompensasi perubahan keadaan diatas.Keuntungan tambahan dari manfaat transfusi sel darah merah selain memperbaiki resiko tersebut diatas adalah meningkatkan oksigen transport diatas normal. Kerangka acuan tertentu ada yang mengenai konsep resiko dan manfaat. Dengan adanya pengecualian pada pasien yang menolak transfusi darah oleh karena alasan religius, adalah tidak mungkin, di luar pengujian secara acak, untuk menghilangkan secara jelas diantara pertentangan resiko dan manfaat terhadap si pasien. 1 ANEMIA YANG TIDAK TERKOREKSI Sejumlah besar penelitian laboratorium menyatakan adanya hemodilusi ekstrem dapat ditoleransi dengan baik pada hewan- hewan yang sehat. Hewan- hewan dengan hemodilusi akut mentoleransi penurunan kadar Hb hingga 50 – 30 g/L, dengan adanya perubahan elektrokardiografik iskemik dan fungsi ventrikel yang tertekan, yang mana terjadi masing- masing pada tingkat kadar Hb ini. Memang, hemodilusi akut kurang tertoleransi pada model hewan percobaan dengan stenosis koroner, dengan perubahan- perubahan elektrokardiografik iskemik dan penekanan fungsi jantung yang terjadi pada kadar Hb antara 70 dan 100 g/L. Pada manusia batas toleransi anemia adalah tidak adekwat dan kadang-kadang bertentangan. Leung dkk menemukan perubahan TINJAUAN PUSTAKA

Upload: eko-nur-pujiyanto

Post on 23-Oct-2015

8 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: mkn-sep2006- sup (10)

Harris Hasan dkk. Hubungan Mikroalbuminuria dengan Penyakit…

Suplemen Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 243

Anemia dan Transfusi Sel Darah Merah pada Pasien Kritis

Achsanuddin Hanafie SMF-Anestesi dan Reanimasi

FK-USU/RSUP Hají Adam Malik, Medan, RSU Dr. Pirngadi Medan

Abstrak: Anemia sering terdapat pada pasien kritis, dengan insiden antara 29% sampai 37%. Pasien dengan penyakit jantung iskhemia mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk menderita akibat konsekwensi dari keadaan anemia. Penelitian secara random dengan jelas menunjukkan bahwa strategi membatasi transfusi dapat menurunkan kebutuhan dalam pemberian transfusi sel darah merah dan tidak mengakibatkan konsekwensi klinis yang berubah. Penelitian lebih lanjut diperlukan bagi populasi dengan resiko tinggi (seperti pasien dengan sindroma koroner akut dan syok septik dini) dan juga pada anak-anak. Abstract: Anemia is very common among critically ill patients, ranking in incidence from 29% to 37%. Patients with ischemic heart disease may appear to be at increased risk for adverse consequences from anemia. Randomized trials clearly indicate that restrictive transfusion strategies decreased the need for red blood cell transfusion and do not result in adverse clinical consequences. Further studies are required in high-risk populations (acute coronary syndromes and early septic shock) as well as children. PENDAHULUAN

Anemia adalah masalah yang sering terjadi pada pasien kritis yang dirawat di ruangan intensip (ICU). Pada penelitian “cross- sectional”, 29% pasien dengan kadar Hb di bawah nilai normal dan 37% pasien membutuhkan transfusi sel darah merah. Keputusan untuk pemberian transfusi sel darah merah (RBC) dalam pengobatan karena anemia dan perdarahan membutuhkan pengertian yang jelas tentang resiko dan keuntungan. Walaupun telah dikembangkan lebih jelas tentang resiko infeksi dan immunomodulasi dari transfusi sel darah merah selama dua dekade lalu, resiko anemia dan keuntungan transfusi RBC masih belum mempunyai kharakteristik yang jelas. Dugaan bahwa resiko anemia adalah berhubungan dengan buruknya kapasitas transport oksigen dan penurunan volume plasma. Konsekuensi keadaan klinis yang memburuk akibat anemia bergantung kepada kapasitas individu dalam mengkompensasi perubahan keadaan diatas.Keuntungan tambahan dari manfaat transfusi sel darah merah selain memperbaiki resiko tersebut diatas adalah meningkatkan oksigen transport diatas normal.

Kerangka acuan tertentu ada yang mengenai konsep resiko dan manfaat. Dengan adanya pengecualian pada pasien yang menolak transfusi darah oleh karena alasan religius, adalah tidak mungkin, di luar pengujian secara acak, untuk menghilangkan secara jelas diantara pertentangan resiko dan manfaat terhadap si pasien.1 ANEMIA YANG TIDAK TERKOREKSI

Sejumlah besar penelitian laboratorium menyatakan adanya hemodilusi ekstrem dapat ditoleransi dengan baik pada hewan- hewan yang sehat. Hewan- hewan dengan hemodilusi akut mentoleransi penurunan kadar Hb hingga 50 – 30 g/L, dengan adanya perubahan elektrokardiografik iskemik dan fungsi ventrikel yang tertekan, yang mana terjadi masing- masing pada tingkat kadar Hb ini. Memang, hemodilusi akut kurang tertoleransi pada model hewan percobaan dengan stenosis koroner, dengan perubahan- perubahan elektrokardiografik iskemik dan penekanan fungsi jantung yang terjadi pada kadar Hb antara 70 dan 100 g/L. Pada manusia batas toleransi anemia adalah tidak adekwat dan kadang-kadang bertentangan. Leung dkk menemukan perubahan

TINJAUAN PUSTAKA

Page 2: mkn-sep2006- sup (10)

Tinjauan Pustaka

Suplemen Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 244

pada elektrokardiografik yang mungkin menunjukkan miokardial iskemi pada 3 dari 55 sukarelawan yang didapati adanya hemodilusi isovolemik akut dengan kadar Hb 50 g/L.2

Bila diteliti respon fisiologis manusia terhadap anemia akut, data percoban di atas sangat terbatas artinya dalam aplikasinya untuk keadaan perioperatif, yang mana banyak faktor- faktor yang mempengaruhi konsumsi oksigen termasuk perubahan-perubahan pada aktifitas otot, suhu tubuh, frekuensi nadi, aktifitas simpatetik, dan keadaan metabolik. Karena itu, kita harus menentukan resiko penundaan transfusi sel darah merah saat perioperatif. Dari sebuah tinjauan sistematik yang lengkap oleh Canadian Guidelines on Red cells, Herbert dkk mengidentifikasi banyak laporan anemia berat yang cukup tertoleransi pada pasien- pasien bedah. Laporan- laporan tambahan atau banyak kasus menggambarkan hasil yang sukses pada pasien anemia kronis sebagai akibat dari gagal ginjal. Akhirnya, penelitian deskriptif pada pasien yang menolak transfusi sel darah merah dan dari bagian- bagian yang mengalami keterbatasan suplai darah telah menunjukkan bahwa pasien- pasien bisa bertahan terhadap intervensi bedah dengan kadar Hb serendah 45 g/L.3

Di dalam memeriksa beberapa penelitian ini secara lebih detil, telah muncul hubungan antara Hb pre- bedah, kehilangan darah pada saat operasi, dan mortalitas post- operasi. Sebenarnya, tidak ada kematian yang dilaporkan pada lebih dari 100 pasien yang sedang mengalami bedah mayor elektif saat Hb pra- bedah > 80 g/L dan perkiraan kehilangan darah < 500 ml. Pada suatu pusat penelitian ada 542 kasus pasien- pasien Jehovah’s yang menjalani prosedur bedah jantung, tingkat kematian seluruhnya adalah 10,7% ; hanya 2,2% kematian yang dianggap sebagai konsekuensi anemia. Laporan terakhir, Viele dan Weiskopf melaporkan 134 pasien Jehovah’s dengan Hb < 80 g/L atau Ht < 24% yang diobati untuk berbagai kondisi medis dan bedah tanpa pemberian transfusi darah ataupun komponen darah. Dilaporkan 50 kasus kematian, yang mana 23 kasus dihubungkan dengan anemia (kematian dengan kadar Hb < 50 g/L). Bagi pasien yang meninggal karena anemia,

60% adalah yang berusia di atas 50 tahun. 27 kasus yang selamat dengan Hb < 50 g/L, 65% adalah yang berusia di bawah 50 tahun. Walaupun bias publikasi harus diyakini, di dalam pemeriksaan data- data ini, pasien muda yang sehat dapat bertahan tanpa transfusi pada kadar Hb di kisaran 50 g/L. Dari data ini, jelas bahwa anemia yang ekstrim sering ditoleransi pada saat perioperatif, tapi juga menunjukkan meningkatnya resiko kematian. Penelitian ini tidak boleh diartikan sebagai untuk mendukung terhadap strategi restriktif atau konservatif, terutama karena kebanyakan literatur berhubungan dengan toleransi anemia tidak menjelaskan karakteristik pasien dengan kemungkinan hasil yang buruk terhadap keadaan anemia yang sedang sampai berat.5

ANEMIA PADA KELOMPOK RISIKO TINGGI

Sejumlah faktor resiko mengenai akibat buruk yang berhubungan dengan anemia telah diidentifikasi dalam penuntun praktis klinis dan tinjauannya. Anemia diyakini sedikit ditoleransi pada pasien yang lebih tua usianya, pada yang berpenyakit parah, dan pada pasien dengan kondisi klinis tertentu, seperti penyakit pembuluh darah, penyakit serebrovaskular, ataupun penyakit pernafasan. Begitupun, tidak ada bukti klinis yang mengkonfirmasi bahwa faktor- faktor diatas berhubungan dengan meningkatnya resiko hasil yang buruk. Satu laporan penelitian dari bedah jantung - vaskular resiko tinggi menyatakan bahwa ada peningkatan terjadinya resiko gangguan jantung post-operatif akibat kejadian anemia. Pada dua laporan penelitian perioperatif dan pasien yang kritis, telah mencatat bahwa peningkatan derajat anemia berkaitan dengan peningkatan yang tidak sesuai dalam tingkat kematian pada sub grup pasien dengan penyakit jantung. Pada tahun 1958, pasien Jehovah’s, pergeseran odds kematian meningkat dari 2,3 (95% interval konfiden, 1,4 - 4,0) sampai dengan 12,3 (95% interval konfiden, 2,5 – 62,1) sebagaimana kadar Hb preoperatif menurun dari (100 – 109 g/L) – (60 - 69g/L) pada pasien dengan penyakit jantung (gambar-1).4,5

Page 3: mkn-sep2006- sup (10)

Achsanuddin Hanafie Anemia dan Transfusi Sel Darah Merah...

Suplemen Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 245

Gambar 1. Odds rasio terkoreksi mengenai kematian oleh karena penyakit kardiovaskular dan Hb

preoperatif (Hgb)

Tidak ada peningkatan bermakna dalam mortalitas pada pasien non kardiak dengan perbandingan pada tingkat anemianya. Pada penelitian yang terpisah mengenai penyakit yang kritis, yang berpenyakit jantungdan Hb < 95 g/L umumnya meningkatkan angka mortalitas (55% banding 42% ; p= 0.09) sebagaimana dibandingakn dengan pasien- pasien anemia dengan diagnosa yang lain. Walaupun penelitian cohort tersebut bersifat retrospektif dan tidak mempunyai kontrol terhadap sejumlah temuan yang baru, bukti menyatakan bahwa anemia meningkatkan resiko kematian pada pasien- pasien dengan penyakit jantung yang bermakna.6

Beratnya penyakit juga merupakan faktor resiko pada pasien yang sakit kritis. Dua laporan penelitian retrospektif menunjukkan bahwa banyaknya kehilangan darah berhubungan dengan mortalitas perioperatif. Tetapi, tidak ada penelitian yang meneliti kontribusi independen usia, penyakit serebrovaskular, dan penyakit paru di dalam meningkatkan resiko kematian pada pasien- pasien anemia. Hubungan ini mungkin cukup kompleks, terkait usia dan penyakit serebrovaskular merupakan faktor- faktor resiko yang berkaitan dengan penyakit arteri koronaria. Penyakit paru yang berhubungan dengan merokok mungkin punya kemiripan dengan penyakit jantung. Sehingga, hubungan antara anemia dengan peningkatan hasil yang buruk ini merupakan suatu spekulatif . 8 RISIKO DAN MANFAAT DARI TRANSFUSI

Empat penelitian besar yang secara khusus dibuat untuk membandingkan akibat klinis pada kadar Hb yang beragam pada pasien yang ditransfusi dan pasien yang tidak ditransfusi yang telah dilakukan di berbagai tempat klinis. Pada awal dari semua ini, Hébert dan kawan- kawan

menggunakan desain retrospektif dan cohort prospektif untuk meneliti 4470 pasien kritis yang diopname di 6 ICU tingkat tertier di Canada selama tahun 1993. Pada pasien dengan diagnosa jantung (penyakit jantung iskemi, aritmia, henti jantung atau prosedur bedah vascular dan jantung), ada sebuah tren kenaikan mortalitas saat kadar Hb < 95 g/L. Selanjutnya, analisa sub grup 202 pasien dengan anemia, dengan nilai Acute Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE) II lebih besar dari 20, dan diagnosa jantung menyatakan bahwa transfusi 1 – 3 unit atau 4 – 6 unit sel darah merah dikaitkan dengan tingkat kematian yang lebih rendah secara bermakna dibandingkan dengan pasien- pasien yang tidak mendapatkan transfusi (55% [tanpa transfusi] dibanding 35% [1 – 3 unit] atau 32% [4 – 6 unit] ; p=0.01). Walaupun desain analisa bertujuan untuk mencari hubungan dari beratnya penyakit, jumlah transfusi dan derajat anemia telah menghasilkan hubungan yang erat antara diagnosa kardiovaskular dengan laporan resiko kematian akibat anemia.7

Wu dkk secara retrospektif meneliti 78.974 pasien yang berusia di atas 65 tahun yang dirawat dengan diagnosa miokard infark akut. Penulis kemudian mengkategorikan pasien menurut kadar Ht saat masuk. Walaupun anemia, yang digambarkan dalam penelitian dengan Ht di bawah 39%, yang terdapat pada hampir pada setengah jumlah pasien, hanya 3680 pasien yang menerima transfusi sel darah merah. Kadar rendahnya Ht dikaitkan dengan meningkatnya tingkat kematian pada 30 hari, dengan tingkat mortalitas mendekati 50% diantara pasien dengan Ht 27% atau lebih rendah yang tidak mendapat transfusi sel darah merah. Sayangnya, penelitian ini tidak memiliki data apapun pada Hb nadir dan hubungannya dengan kematian. Menariknya , transfusi sel darah merah dikaitkan dengan menurunnya angka kematian 30 hari pada pasien yang

Page 4: mkn-sep2006- sup (10)

Tinjauan Pustaka

Suplemen Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 246

memperoleh sedikitnya satu unit transfusi darah bila pada waktu masuknya keruangan dengan kadar hematokrit 33%, sementara transfusi sel darah merah berhubungan dengan meningkatnya angka kematian 30 hari pada pasien yang pada waktu masuk ke ruangan dengan kadar hematokrit 36,1% atau lebih tinggi. Dalam analisa, hubungan ini ada bahkan saat perubahan dibuat pada faktor klinis si pasien, termasuk nilai APACHE II, lokasi dari miokard infark, dan adanya gagal jantung kongesti serta faktor terapi, termasuk pemakaian reperfusi terapi, aspirin, dan pengahambat beta adrenergik.9

Dalam penelitian yang hanya memfokuskan pada periode perioperatif, Carson dan serikatmengusahakan untuk mendeterminasikan efek transfusi perioperatif pada 30 dan 90 hari post operatif mortalitas dengan penelitian kohort retrospektif yang melibatkan 8787 pasien dengan fraktur panggul yang sedang mengalami perbaikan antara tahun 1983 – 1993 di 20 rumah sakit yang berbeda di Amerika. Ini merupakan suatu populasi yang besar, beresiko tinggi, lebih tua (usia median 80,3 tahun) dengan penyakit yang muncul berbarengan secara ekstensif dan dengan keseluruhan tingkat kematian 30 hari sebesar 4,6%. Keseluruhan 3699 pasien (42%) menerima transfusi perioperatif dalam 7 hari perbaikan pra bedah. Setelah mengendalikan pemicu kadar Hb, penyakit kardiovaskular , dan faktor resiko kematian lainnya, hasilnya menyatakan bahwa pasien dengan kadar Hb 80 g/L dan tidak mendapat transfusi tidak akan segera meninggal dibanding dengan yang mendapat transfusi (dengan Hb < 80 g/L, hampir semua pasien mendapat transfusi , sehingga penyidik tidak mampu mengambil kesimpulan mengenai efek transfusi pada Hb yang lebih rendah ini). Memang, seperti yang ditegaskan penulis, selain sampel yang besar, kekuatan yang tidak adekuat masih menjelaskan ketidakmampuan untuk mendeteksi suatu reduksi kematian yang berkaitan dengan transfusi dan mereka menghitung bahwa penelitian akan memerlukan 10 kali lebih besar untuk mendeteksi 10% perbedaan dalam mortalitas 30 hari dengan kekuatan 80%.

Yang lebih baru lagi, Vincent dan rekan melengkapi penelitian “ cross- sectional” dengan pengamatan prospektif yang melibatkan 3534 pasien di 146 ICU di Eropa Barat selama periode 2 minggu pada November 1999. 37% pasien mendapat transfusi sel darah merah selama di ICU, dengan tingkat transfusi keseluruhan meningkat hingga 41,6% dalam 28 hari. Bagi pasien yang mendapat transfusi, kadar

Hb rata- rata per transfusi 84 ± 13 g/L. Dalam usaha mengontrol faktor- faktor yang berbarengan ada yang diakibatkan penyakit yang parah dan kebutuhan transfusi, penyidik- penyidik ini memakai suatu strategi pencocokan pasien yang ditransfusi dan yang tidak ditransfusi, berdasarakan propensitas untuk menerima transfusi, yakni pembedaan 2 grup yang balansnya bagus (516 pasien, masing- masing grup) untuk mendeterminasi pengaruh transfusi sel darah merah terhadap mortalitas. Pemakaian pendekatan ini, kaitan resiko kematian yang mendapat transfusi walaupun turun pada 33% pasien yang mendapat transfusi daripada yang mana pasien tersebut tidak mendapat transfusi. Tetapi, seperti yang ditunjukkan, akibat mungkin telah dibedakan bila nilai propensitas dibedakan secara terpisah kategori kadar Hb per transfusi (contoh : < 80, 80 – 100, dan > 100g/L) selain Hb di ICU. Contohnya : bila seseorang dipertimbangkan grup pasien dengan Hb per transfusi < 60 g/L, adalah tidak sama dengan yang 33% yang meningkat dalam hal mortalitas yang akan terus nyata ataupun tidak akan pernah direkomendasikan untuk transfusi.

Sayang sekali, seperti yang dibuktikan oleh tinjauan sistematik yang baru, terdapat pausitas uji klinik yang membandingkan restriktif tehadap penelitian transfusi liberal untuk menyidik efikasi transfusi sel darah merah. Carson dan rekan (gambar- 2) mampu mengetahui hanya 10 uji klinis acak dari kualitas metodologik adekuat yang berbeda dari pemicu transfusi sela darah merah yang dinilai tersebut. Termasuk 1780 pasien bedah, pasien trauma, dan pasien ICU yang berperan dalam uji yang diperkuat dalam 40 tahun terakhir. Pemicu transfusi dinilai dalam beragam uji ini antara 70 dan 100 g/L. data mortalitas atau lama opname tersedia hanya 6 dari uji- uji ini. Pemicu transfusi konservatif (Hb rendah) tidak berhubungan dengan kenaikan tingkat kematian, pada rerata, tingkat kematian adalah 1/5 resiko yang lebih rendah (resiko relatif, 0.80; 95% Cl, 0,63 – 1,02) dengan konservatif daripada dengan pemicu transfusi liberal. Seperti, morbiditas jantung dan lama tinggal (opname) di rumah sakit tidak tanpak secara buruk dipengaruhi tingkat lebih rendah dari transfusi sel darah merah. Ada data yang tidak cukup, dalam hal akibat klinis yang relevan secara potensial, seperti stroke, tromboembolisme, gagal multiorgan, delirium, infeksi dan luka yang tidak sembuh untuk dilakukan pooling analisa manapun. Carson dan rekan menyatakan adanya

Page 5: mkn-sep2006- sup (10)

Achsanuddin Hanafie Anemia dan Transfusi Sel Darah Merah...

Suplemen Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 247

data yang pincang mengenai resiko penuh dan manfaat yang dikaitkan dengan ambang transfusi yang berbeda, khususnya pada pasien yang ada penyakit sebelumnya. Mereka juga mencatat bahwa analisa meta- nya didominasi oleh uji tunggal: uji Kebutuhan Transfusi pada

Rawatan Kritis (TRICC) yang melibatkan 838 pasien dan hanya uji individual yang diidentifikasi secara adekuat diperkuat untuk menilai dampak strategi transfusi yang berbeda strategi transfusi pada mortalitas dan morbiditas.

Gambar 2. Efek restriktif dari transfusi yang bisa memicu pemakaian transfusi darah alogenik (Carson,

et al, 2002, p. 187-199) Penelitian TRICC mencatat keseluruhan

trend yang tidak bermakna terhadap penurunan mortalitas 30 hari (18,7% banding 23,3%; p=0,11) dan penurunan yang bermakna dalam mortalitas diantara pasien- pasien yang penyakitnya kurang akut (8,7% banding 16,1% ; p=0,03) dalam kelompok yang diobati memakai pemicu transfusi Hb 70 g/L dibandingkan dengan kelompok transfusi yang lebih liberal

pada kelompok yang mendapat lebih banyak transfusi sel darah merah sebanyak 54%. Penyidik juga mencatat bahwa tingkat kematian 30 hari lebih rendah secara bermakna dengan adanya strategi trnasfusi restriktif diantara pasien- pasien yang kurang akut penyakitnya (nilai APACHE II <20) dan diantara pasien yang lebih muda usia (<55 tahun) (Gambar 3).

Page 6: mkn-sep2006- sup (10)

Tinjauan Pustaka

Suplemen Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 248

Gambar 3. Tingkat kelangsungan hidup di ICU dalam 30 hari pada penelitian pasien pada kelompok-

kelompok strategi transfusi sel darah merah alogenik yang liberal maupun restriktif. (A) kurva kelangsungan hidup Kaplan-Meier pada semua pasien di kedua grup. Ada sebuah tren mortalitas yang lebih rendah pada pasien grup restriktif (garis bertitik) yang dibandingkan dengan grup liberal (garis lurus) (p=0,10). (B) pada subgrup dengan nilai APACHE II < 20, lebih sedikit pasien yang meninggal di restriktif grup dibandingkan dengan liberal grup (p=0,02). (C) terdapat juga perbedaan yang bermakna pada ketahanan diantara kedua grup pada subgrup dengan usia di bawah 55 tahun (p=0,02)

Page 7: mkn-sep2006- sup (10)

Achsanuddin Hanafie Anemia dan Transfusi Sel Darah Merah...

Suplemen Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 249

Gambar 4. Waktu yang tersisa pada ventilasi mekanik pada 283 pasien yang memerlukan ventilasi

mekanik lebih dari satu minggu. Waktu untuk berhasil berhenti dari ventilasi mekanik diilustrasikan menggunakan kurva bertahan dari Kaplan-Meier pada pasien yang memerlukan ventilasi mekanik lebih dari satu minggu. Keberhasilan berhenti diartikan sebagai tersisanya ventilasi mekanik, sekali diekstubasi, selama 30 hari penelitian. Garis bertitik diartikan sebagai restriktif grup dan garis padat sebagai liberal grup. Kurva pertahanan tidak berbeda secara statistik ketika dibandingkan menggunakan tes log rank (p=0,08)

Sejumlah pertanyaan tambahan bermunculan dari uji TRICC. Penyidik tertarik khususnya dalam resiko dan manfaat anemia dan transfusi pada pasien dengan penyakit kardiovaskular dan pada pasien yang sedang berusaha bertahan dengan ventilasi mekanis. Pada analisa sub grup pertama ini, 357 pasien (43%) diketahui ada penyakit kardiovaskular. Dari antaranya, 160 pasien telah digrupkan pada grup transfusi sel darah merah restriktif dan 197 pada transfusi liberal. Dua grup cukup serupa keseimbangannya terhadap lini dasar ciri dan terapi yang ada, berbarengan dengan sedikit pengecualian : ada sedikit pemakaian diuretik pada grup restriktif (43% banding 58% ; p=<0,01)dan pemakaian anestesi epidural adalah lebih besar pada grup restriktif (8% banding 2% ; p=<0,01). Keseluruhan, pada analisa sub grup ini, tidak ada perbedaan yang bermakna pada tingkat kematian antara 2 grup yang sedang dalam pengobatan. Tetapi, ada penurunan yang tidak signifikan (p=0,3) pada keseluruhan tingkat kematian dalam grup restriktif bagi pasien dengan penyakit jantung iskemik, penyakit vaskular perifer yang buruk, atau penyakit penyerta jantung yang berat.11,12

Analisa sub grup pasien yang sedang mendapat ventilasi mekanis adalah terbatas hingga 713 (85% dari 838 pasien pada uji TRICC yang membutuhkan ventilator mekanik yang invasif). Dari antaranya, 357 telah

dimasukkan dalam grup transfusi restriktif dan 358 lagi dalm grup liberal. Lama rata- rata ventilasi mekanis adalah 8,3 ± 8,1 hari pada grup restriktif dan 8,8 ± 8,7 hari pada grup liberal (p=0,48). Hari bebas ventilator adalah 17,5 ± 10,9 dan 16,1 ± 11,4 pada grup resrtiktif dan grup liberal (p=0,09). Delapan puluh dua persen pasien grup transfusi restriktif dipertimbangkan berhasil bertahan dan diekstubasi paling tidak 24 jam dibandingkan pada 78% pasien grup liberal (p=0,19). Diantara 219 pasien yang memerlukan ventilator mekanis di atas 7 hari, tidak ada perbedaan masa untuk berhasil bertahan (Gambar 4).

Efek independen transfusi sel darah merah dan kadar Hb juga disidik. Tiap transfusi tambahan dikaitkan dengan kenaikan lama ventilasi mekanis (RR= 1,10 ; 95% Cl, 1,14 – 1,06 ; p<0,01) setelah penyetelan terhadap efek umur, nilai APACHE II, dan penyakit penyerta. Kadar Hb tidak mempengaruhi lam ventilasi mekanis (RR= 0,99 ; 95% Cl ; 1,01 – 0,98 ; p=0,45). Penyulit, termasuk penyalit paru dan sindrom pernapasan akut adalah meningkatkan pada pasien grup liberal.

Bahkan sejumlah uji terkendali acak telah diselesaikan, sejumlah pertanyaan masih belum terjawab. Salah satu pertanyaan paling penting adalah mengapa strategi transfusi liberal sel darah merah gagal menaikkan tingkat kematian 30 hari dan tingkat kegagalan organ pada pasien

Page 8: mkn-sep2006- sup (10)

Tinjauan Pustaka

Suplemen Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 250

kritis. Diyakini bahwa jumlah yang besar dari sel darah merah allogenik grup liberal menekan secara bermakna respon imun inang atau diakibatkan perubahan aliran mikro- sirkulasi sebagai sebuah konsekuensi masa penyimpanan yang diperpanjang.

Di bawah keadaan publikasi uji TRICC, sebuah penelitian yang dipublikasi oleh Rivers dan rekan mencatat bahwa pemakaian tujuan langsung dini berbasis rawatan pada saturasi vena sentral campuran menurunkan mortalitas dari 46,5 % dalam grup kendali menjadi 30,5% pada grup terapi tujuan langsung (p= 0,009). Sebagaimana salah satu dari banyak intervensi pada pasien syok septik dini, kadar Ht meningkat >30% bila saturasi vena sentral turun <70%. Sebagai konsekuensi dari terapi tujuan langsung, 64% pasien dibanding dengan 18,5% grup kontrol yang mendapat transfusi sel darah merah (p<0,0001). Perbedaan bermakna pada populasi pasien diteliti oleh Rivers dan rekan serta uji TRICC yang mungkin dengan jelasnya memfokuskan pada akibat yang bertentangan antara penelitian- penelitian ini. Penemuan baru penelitian terapi bertujuan langsung dini menekankan kepentingan pada kebutuhan melakukan penelitian- penelitian tambahan pada sub populasi pasien yang kritis.13

ALTERNATIF BAGI TRANSFUSI

Banyak strategi telah diteliti dan direkomendasikan untuk menurunkan atau menghilangkan perlunya transfusi darah selama bedah mayor dan penyakit berat. Beberapa strategi relatif ringan menentangnya, tapi yang lain menentang secara berat dengan resiko tersendiri akibat menentang pemberian transfusi tersebut. Alternatif- alternatif mencakup : pengurangan pemakaian medikasi yang berakibat perdarahan peri operatif (seperti : obat anti inflamasi non steroid dan asam asetilsalisilat), menghindari phlebotomi yang tidak perlu dan pemakaian strategi konservasi darah (seperti : pediatric test tubes dan set infus kateter arteri), pemberian obat untuk mengurangi perdarahan yang hilang (seperti : agen- agen anti fibrinolitik), dan pemberian obat-obatan untuk menaikkan produksi Hb. Sebagai tambahan, dari strategi yang membatasi transfusi, ada 2 pendekatan yang paling berguna dalam mengurangi transfusi sel darah merah pada pasien yang berat penyakitnya adalah teknik konservasi darah, seperti mengurangi phlebotomi dan terapi eritropoetin. Strategi terapetik lainnya adalah lebih ditujukan pada

pasien yang sedang menjalani prosedur bedah beresiko tinggi.

Menurunnya produksi sel darah merah adalah salah satu penyebab anemia pada penyakit berat. Pastinya, pada pasien kritis terjadi penurunan produksi dan respon dari eritropoeitin.. Hal ini akibat dari inhibisi gene eritropoetin oleh mediator- mediator inflamasi; juga terdapat cytokine inflamasi secara langsung menghambat produksi sel darah merah di sumsum tulang dan menghasilkan kelainan pada metabolisme besi. Pada pasien yang gagal multiorgan, pemberian terapi eritropoetin manusia rekombinan (600 IU/kg) dapat menstimulasi proses eritropoeisis. Pada suatu penelitian (160 pasien), terapi dengan eritropoetin manusia rekombinan memberikan hasil penurunan hampir 50% penurunan transfusi sel darah merah yang dibandingkan dengan pasien- pasien yang diterapi dengan plasebo. Eritropoetin diberikan dengan dosis 300 IU/kg/hari selama 5 hari diikuti dengan dosis selang sehari sampai pasien keuar dari ICU. Selain berkurangnya transfusi sel darah merah, pasien kelompok yang mendapat terapi eritropoetin manusia rekombinan mempunyai kenaikan Ht yang lebih besar secara bermakna.14

Akhir-akhir ini, efikasi pemberian eritropoetin manusia rekombinan pada pasien kritis diteliti pada 1302 pasien. Dalam penelitian ini, eritropoetin manusia rekombinan diberi per minggu dengan dosis 40.000 unit. Semua pasien yang mendapat dosis 3 minggu, dan pasien yang masih dirawat di ICU pada penelitian hari ke- 21 mendapatkan dosis ke- 4. Pengobatan dengan eritropoetin manusia rekombinan mengalami keberhasilan sebesar 10% menurunkan jumlah pasien yang menerima transfusi sel darah merah. Penulis melaporkan sebesar 60,4% membutuhkan transfusi pada plasebo di banding 50% pada kelompok yang mendapat eritropoetin manusia rekombinan (OR, 0,67 ; 95% Cl ; 0,54- 0,83 ; p<0,0004) dan 20% penurunan dalam jumlah total unit sel darah merah yang ditransfusikan ke pasien yang sedang mendapatkan eritropoetin manusia rekombinan (p<0,001).15

Semua hasil klinis termasuk tingkat kematian, tingkat gagal organ, dan lama rawatan di ICU dan rumah sakit, dapat diperbandingkan antara kelompok- kelompok (semua p bernilai >0,05). Dalam hal ini, penelitian- penelitian ini menggambarkan terapi eritropoetin manusia rekombinan pada pasien yang berat penyakitnya dapat menurunkan transfusi sel darah merah dan peningkatan kadar Hb. Hal ini sesuai dengan

Page 9: mkn-sep2006- sup (10)

Achsanuddin Hanafie Anemia dan Transfusi Sel Darah Merah...

Suplemen Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 251

hipotese bahwa anemia pada pasien dengan penyakit kritis adalah mirip dengan pasien yang menderita penyakit kronis dengan kharakteristik terdapat defisiensi relatif eritropoeitin. Karena eritropoetin mahal dan tidak adanya keuntungan klinis yang diperoleh dari penelitian tersebut, maka belum ada rekomendasi strategi ini dalam praktek sehari-hari praktek. 16,17

KESIMPULAN Di samping seringnya pemberian transfusi sel

darah merah, hanya ada satu penelitian yang meneliti pemberian sel darah merah pada perioperatif dan pasien kritis. Begitupun penelitian TRICC tidak cukup memberikan bukti untuk menentukan protokol pemberian transfusi secara optimal pada postoperatif, pada anak- anak yang sakit kritis, pada situasi keadaan septik syok, ataupun pada pasien dengan miokard infark atau sindroma koronarius akut. Sebagai tambahan, kebanyakan penuntun praktis transfusi dipublikasikan sebelum penelitian dari TRICC, dan membutuhkan pendapat ahli dengan bukti yang klinis yang berbeda. Pada beberapa tahun mendatang, beberapa penelitian akan memberikan bukti tambahan dalam hal mendukung keputusan pemberian transfusi. Contohnya, dua penelitian transfusi akan menilai pemicu diberikannya transfusi, satu kasus pada bayi yang prematur dan yang lain pada anak- anak yang sakit berat. Dalam hal kegentingan ini, bukti klinis yang berkualitas tinggi belumlah ada untuk berbagai keputusan yang berkaitan dengan transfusi sel darah merah dan alternatif- alternatif, seperti : eritropoetin manusia rekombinan. Diharapkan resiko dan keuntungan transfusi sel darah merah dan alternatif terapi akan di publikasikan pada tahun- tahun mendatang. REKOMENDASI 1. Ambil suatu batasan transfusi sebesar 70 g/L

pada pasien kritis yang dilakukan resusitasi cairan, termasuk pasien dengan riwayat penyakit arteri koronaria.

2. Tujuannya adalah untuk mempertahankan kadar Hemoglobin pasien antara 70 dan 90 g/L.

3. Berikan transfusi satu unit saja dan evaluaisi bila anemia ataupun perdarahan masih tetap terdapat.

4. Pengecualian terhadap rekomendasi diatas adalah kasus- kasus pasien dengan sindroma koroner akut (miokard akut dan angina tidak stabil) dan pasien- pasien dengan renjatan septik dini.

5. Belum diperoleh bukti yang cukup untuk merekomendasikan pemakaian rutin

eritropoetin pada pasien dengan penyakit kritis.

DAFTAR PUSTAKA 1. Vincent Jl, Baron J-F, Reinhart K, et al:

Anemia and blood transfusion in critically ill patients. JAMA 2002;288:1499-1507.

2. Carson JL, Spence RK, Poses RM, Bonavita G: Severity of anemia and operative mortality and morbidity. Lancet 1988;1:727-729.

3. Spence RK, Carson JA, Poses R, et al: Elective Surgery without transfusion: influence of preoperative hemoglobin level and blood loss on mortality. Am J Surg 1990;159:320-324.

4. Nelson AH, Fleisher LA, Rosenbaum SH: Relationship between post-operative anemia and cardiac morbidity in high risk vascular patients in the intensive care unit. Crit Care Med 1993;21:860-866.

5. Viele MK, Weiskopf RB: What can we learn about the need for transfusion from patients who refuse blood? The experience with Jehovah’s Witnesses. Transfusion 1994;34:396-401.

6. Audet AM, Goodnough LT: Practice strategies for elective red blood cell transfusion. An Intern Med 1992;116;403-406.

7. American Society of Anesthesiologists Task Force on Blood Component Therapy; Practice Guidelines for Blood Component Therapy. Anesthesiology 1996;84:732-747.

8. Hebert PC, Wells G, Tweeddale M, et al: Does transfusion affect mortality in critically ill patient? Am J Respir Crit Care Med 1997;155:1618-1623.

9. Wu WC, Rathore SS, Wang Y, et al: Blood transfusion in elderly patients with acute myocardial infarction. N Engl J Med 2001;345:1230-1236.

10. Hebert PC, Fergusson DA: Red blood cell transfusion in critically ill patients. JAMA 2002;288:1525-1526.

11. Hebert PC, Wells G, Blajhman MA, et al: A multicenter, randomized, controlled clinical trial of transfusion requirements in critically care. N Engl J Med 1999;340:409-417.

12. Hebert PC, Yetisir E, Martin C, et al: Is a low transfusion threshold save in critically

Page 10: mkn-sep2006- sup (10)

Tinjauan Pustaka

Suplemen Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 252

ill patients with cardiovascular disease?. Crit Care Med 2001;29:227-234.

13. Rivers E, Nguyen B, Hevstad MA, et al: Early goal-directed therapy in the treatment of severe sepsis and septic shock. N Engl J Med 2001;345:1366-1377.

14. Corwin HL, Gettinger A, Rodriguez RM, et al: Efficacy of recombinant human erythropoietin in the critically ill patient: A randomized, double-blind, placebo-controlled trial. Crit Care Med 1999;27:2346-2350.

15. Corwin HL, Gettinger A, Pearl RG, et al: Efficacy of recombinant human erythropoietin in critically ill patient: A randomized controlled trial. JAMA 2002;288:2827-2835.

16. Corwin HL, Krantz SB: Anemia of the critically ill: “Acute” anemia of chronic disease. Crit Care Med 2000;28:3098-3099.

17. Silver MJ, Bazzan A, Corwin HL, et al: A randomized, double-blind, placebo-controlled trial of recombinant human erythropoietin in long term acute care patients. Crit Care Med 2003;31:A167.