mini project

39
LAPORAN KEGIATAN F 7. MINI PROJECT KARAKTERISTIK PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK) DI PUSKESMAS NGASEM PERIODE JULI - OKTOBER 2015 DISUSUN OLEH: dr. SYUKRON CHALIM INTERNSIP DOKTER INDONESIA PUSKESMAS NGASEM KABUPATEN BOJONEGORO PERIODE JULI 2015 - OKTOBER 2015

Upload: andicayoga

Post on 14-Apr-2016

75 views

Category:

Documents


14 download

DESCRIPTION

ppok mini project

TRANSCRIPT

Page 1: mini project

LAPORAN KEGIATAN

F 7. MINI PROJECT

KARAKTERISTIK PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK) DI PUSKESMAS NGASEM PERIODE JULI - OKTOBER 2015

DISUSUN OLEH:

dr. SYUKRON CHALIM

INTERNSIP DOKTER INDONESIA

PUSKESMAS NGASEM KABUPATEN BOJONEGORO

PERIODE JULI 2015 - OKTOBER 2015

Page 2: mini project

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Usaha Kesehatan Masysrakat

Laporan F7. Mini Project

Topik :

KARAKTERISTIK PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK) DI PUSKESMAS NGASEM PERIODE JULI - OKTOBER 2015

Diajukan dan dipresentasikan dalam rangka praktik klinis dokter internship sekaligus sebagai bagian dari persyaratan menyelesaikan program internship dokter Indonesia di

Puskesmas Pringsurat Kabupaten Temanggung

Telah diperiksa dan disetujui pada tanggal Oktober 2015

Dokter Internsip

dr. Syukron Chalim

Mengetahui,

Dokter Pendamping

dr. Tri Vera Handayani

NIP.

Page 3: mini project

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit paru yang dapat

dicegah dan diobati yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara ini yang sifatnya

progresif dan terkait dengan respon inflamasi paru akibat gas atau partikel berbahaya

(GOLD, 2007). Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah klasifikasi luas dari

gangguan, yang mencakup bronkitis kronis, bronkiektasis, emfisema, dan asma. Gejala

utamanya adalah sesak napas, batuk, dan produksi sputum yang meningkat (PDPI, 2011).

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan penyebab kematian kelima terbesar di

Amerika Serikat.Penyakit ini menyerang lebih dari 25% populasi dewasa.(Smeltzer &

Bare, 2001)

World health organization (WHO) memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020

prevalensi PPOK akan meningkat. Data dari World Health Organization (WHO)

mengemukakan bahwa pada tahun 2010 PPOK menempati peringkat keempat sebagai

penyebab kematian setelah penyakit jantung, kanker dan penyakit serebro vascular

sehingga menarik untuk dibicarakan karena prevalensi dan angka mortalitas yang terus

meningkat. Peningkatan ini berbanding lurus dengan semakin tingginya prevalensi

merokok di berbagai negara, polusi udara dan bahan bakar biomasa lainnya yang menjadi

faktor risiko utama PPOK. Biaya yang dikeluarkan untuk penyakit ini mencapai 24 Miliyar

per tahunnya (Sudoyo et al, 2007). PPOK merupakan salah satu masalah besar di bidang

kesehatan dengan prevalensi 4-6% pada penduduk dewasa di Eropa dengan prevalensi

didominasi jenis kelamin laki-laki dan meningkat seiring dengan bertambahnya usia

(Hackett, 2010).

Di Asia Tenggara diperkirakan prevalensi PPOK sebesar 6,3% dengan prevalensi

tertinggi ada di negara Vietnam (6,7%) dan RRC (6,5%). Di Indonesia diperkirakan

terdapat 4,8 juta pasien dengan prevalensi 5,6%. Angka ini meningkat dengan makin

banyaknya jumlah perokok karena 90% pasien PPOK adalah perokok atau mantan perokok

(PDPI, 2011). Pada Riset Kesehatan tahun 2013, Jawa Timur menduduki peringkat ke 10

dalam jumlah penderita PPOK dari seluruh propinsi di Indonesia (Riskesdas, 2013).

Sedangkan menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, hasil survei Direktorat

Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (PPM&PL) di 5

Page 4: mini project

rumah sakit propinsi di Indonesia yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung,

dan Sumatera Selatan pada tahun 2004 menunjukkan bahwa PPOK menempati urutan

pertama penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti asma bronkial bronkial (33%),

kanker paru (30%) dan lainnya (2%) .

Merokok adalah suatu kebiasaan yang memiliki daya rusak yang cukup besar

terhadap kesehatan (Kusuma, 2011). Data dari WHO memperkirakan 1,25 miliar orang

penduduk dunia adalah perokok dan dua pertiganya terdapat di negara-negara maju

(Sajinadiyasa et al, 2010). Angka kejadian perokok di Amerika Serikat dan Inggris pada

laki-laki yaitu 26% dan 27% dan pada wanita adalah 21% dan 25% (Thomson et al, 2004).

Indonesia menduduki peringkat ke-4 jumlah perokok terbanyak di dunia dengan jumlah

sekitar 141 juta orang (Gondodiputro, 2007).

B. PERUMUSAN MASALAH

Bagaimana Karakteristik Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) Di

Puskesmas Ngasem Periode Juli - Oktober 2015?

C. TUJUAN

1. Tujuan Umum

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Karakteristik Pasien Penyakit

Paru Obstruksi Kronik (PPOK) Di Puskesmas Ngasem Periode Juli - Oktober

2015.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui jumlah penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) Periode Juli -

Oktober 2015

b. Mengetahui jumlah penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) berdasarkan

jenis kelamin.

c. Mengetahui jumlah penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) berdasarkan

usia.

Page 5: mini project

d. Mengetahui jumlah penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) berdasarkan

kebiasaan merokok

D. MANFAAT

1. Sebagai tambahan informasi ilmiah karakteristik pasien Penyakit Paru Obstruksi

Kronik (PPOK) di Puskesmas Ngasem Periode Juli - Oktober 2015

2. Sebagai masukan kepada Dinas Kesehatan Kota Surabaya dalam perancanaan tindakan

lanjut bagi upaya menurunkan angka Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)

3. Sebagai bahan informasi untuk pengembangan penelitian yang serupa dan berkelanjutan

tentang pelaksanaan surveilans epidemiologi.

Page 6: mini project

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)

2.1.1 Definisi Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) atau juga dikenali sebagai Chronic

Obstructive Pulmonary Disease (COPD) merupakan obstruksi saluran pernafasan yang

progresif dan ireversibel; terjadi bersamaan bronkitis kronik, emfisema atau kedua-duanya.

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) bukanlah penyakit tunggal, tetapi merupakan satu

istilah yang merujuk kepada penyakit paru kronis yang mengakibatkan gangguan pada

sistem pernafasan (Snider, 2003).

Secara klinis, bronkitis kronik didefinisikan sebagai manifestasi batuk kronik yang

produktif selama 3 bulan sepanjang dua tahun berturut-turut. Sementara emfisema

didefinisikan sebagai pembesaran alveolus di hujung terminal bronkiol yang permanen dan

abnormal disertai dengan destruksi pada dinding alveolus serta tanpa fibrosis yang jelas.

The Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) guidelines

mendefinisikan PPOK sebagai penyakit yang ditandai dengan gangguan pernafasan yang

ireversibel, progresif, dan berkaitan dengan respon inflamasi yang abnormal pada paru

akibat inhalasi partikel-partikel udara atau gas-gas yang berbahaya (Kamangar, 2010).

Sementara menurut Affyarsyah Abidin, Faisal Yunus dan Wiwien Heru Wiyono

(2009), PPOK adalah penyakit paru kronik yang tidak sepenuhnya reversibel, progresif,

dan berhubungan dengan respon inflamasi yang abnormal terhadap partikel dan gas yang

berbahaya. Kata “progresif” disini berarti semakin memburuknya keadaan seiring

berjalannya waktu (National Heart Lung and Blood Institute, 2009) .

2.1.2 Gejala-gejala PPOK

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) sering dikaitkan dengan gejala eksaserbasi

akut dimana kondisi pasien mengalami perburukan dari kondisi sebelumnya dan bersifat

akut. Eksaserbasi akut ini dapat ditandai dengan gejala yang khas, seperti sesak nafas yang

semakin memburuk, batuk produktif dengan perubahan volume atau purulensi sputum atau

dapat juga memberikan gejala yang tidak khas seperti malaise, kelelahan dan gangguan

Page 7: mini project

tidur. Gejala klinis PPOK eksaserbasi akut ini dapat dibagikan menjadi dua yaitu gejala

respirasi dan gejala sistemik. Gejala respirasi berupa sesak nafas yang semakin bertambah

berat, peningkatan volume dan purulensi sputum, batuk yang semakin sering, dan nafas

yang dangkal dan cepat. Gejala sistemik ditandai dengan peningkatan suhu tubuh,

peningkatan denyut nadi serta gangguan status mental pasien (Riyanto, Hisyam, 2006).

Diagnosis PPOK dipertimbangkan apabila pasien mengalami gejala batuk, sputum

yang produktif, sesak nafas, dan mempunyai riwayat terpajan faktor risiko. Diagnosis

memerlukan pemeriksaan spirometri untuk mendapatkan nilai volume forced expiratory

maneuver (FEV 1) dan force vital capacity (FVC). Jika hasil bagi antara FEV 1 dan FVC

kurang dari 0,7, maka terdapat pembatasan aliran udara yang tidak reversibel sepenuhnya

(Fahri, Sutoyo, Yunus, 2009). Pada orang normal volume forced expiratory maneuver

(FEV 1) adalah 28ml per tahun, sedangkan pada pasien PPOK adalah 50 - 80 ml. Menurut

National Population Health Study (NPHS), 51% penderita PPOK mengeluhkan bahwa

sesak nafas yang mereka alami menyebabkan keterbatasan aktivitas di rumah, kantor dan

lingkungan social (Abidin, Yunus, Wiyono, 2009).

2.1.3 Faktor- faktor risiko PPOK

a) Merokok

Pada tahun 1964, penasihat Committee Surgeon General of the United States

menyatakan bahwa merokok merupakan faktor risiko utama mortalitas bronkitis kronik

dan emfisema. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dalam waktu satu detik setelah

forced expiratory maneuver (FEV 1), terjadi penurunan mendadak dalam volume ekspirasi

yang bergantung pada intensitas merokok. Hubungan antara penurunan fungsi paru dengan

intensitas merokok ini berkaitan dengan peningkatan kadar prevalensi PPOK seiring

dengan pertambahan umur. Prevalansi merokok yang tinggi di kalangan pria menjelaskan

penyebab tingginya prevalensi PPOK dikalangan pria. Sementara prevalensi PPOK

dikalangan wanita semakin meningkat akibat peningkatan jumlah wanita yang merokok

dari tahun ke tahun (Reily, Edwin, Shapiro, 2008).

PPOK berkembang pada hampir 15% perokok. Umur pertama kali merokok,

jumlah batang rokok yang dihisap dalam setahun, serta status terbaru perokok

memprediksikan mortalitas akibat PPOK. Individu yang merokok mengalami penurunan

pada FEV1 dimana kira-kira hampir 90% perokok berisiko menderita PPOK (Kamangar,

2010).

Second-hand smoker atau perokok pasif berisiko untuk terkena infeksi sistem

Page 8: mini project

pernafasan, dan gejala-gejala asma. Hal ini mengakibatkan penurunan fungsi paru

(Kamangar, 2010). Pemaparan asap rokok pada anak dengan ibu yang merokok

menyebabkan penurunan pertumbuhan paru anak. Ibu hamil yang terpapar dengan asap

rokok juga dapat menyebabkan penurunan fungsi dan perkembangan paru janin semasa

gestasi.

b) Hiperesponsif saluran pernafasan

Menurut Dutch hypothesis, asma, bronkitis kronik, dan emfisema adalah variasi

penyakit yang hampir sama yang diakibatkan oleh faktor genetik dan lingkungan.

Sementara British hypothesis menyatakan bahwa asma dan PPOK merupakan dua kondisi

yang berbeda; asma diakibatkan reaksi alergi sedangkan PPOK adalah proses inflamasi

dan kerusakan yang terjadi akibat merokok. Penelitian yang menilai hubungan tingkat

respon saluran pernafasan dengan penurunan fungsi paru membuktikan bahwa peningkatan

respon saluran pernafasan merupakan pengukur yang signifikan bagi penurunan fungsi

paru (Reily, Edwin, Shapiro, 2008).

Meskipun begitu, hubungan hal ini dengan individu yang merokok masih belum

jelas. Hiperesponsif salur pernafasan ini bisa menjurus kepada remodeling salur nafas yang

menyebabkan terjadinya lebih banyak obstruksi pada penderita PPOK (Kamangar, 2010).

c) Infeksi saluran pernafasan

Infeksi saluran pernafasan adalah faktor risiko yang berpotensi untuk

perkembangan dan progresi PPOK pada orang dewasa. Dipercaya bahwa infeksi salur

nafas pada masa anak-anak juga berpotensi sebagai faktor predisposisi perkembangan

PPOK. Meskipun infeksi saluran nafas adalah penyebab penting terjadinya eksaserbasi

PPOK, hubungan infeksi saluran nafas dewasa dan anak-anak dengan perkembangan

PPOK masih belum bisa dibuktikan (Reily, Edwin, Shapiro, 2008).

d) Pemaparan akibat pekerjaan

Peningkatan gejala gangguan saluran pernafasan dan obstruksi saluran nafas juga

bisa diakibatkan pemaparan terhadap abu dan debu selama bekerja. Pekerjaan seperti

melombong arang batu dan perusahaan penghasilan tekstil daripada kapas berisiko untuk

mengalami obstruksi saluran nafas. Pada pekerja yang terpapar dengan kadmium pula,

FEV 1, FEV 1/FVC, dan DLCO menurun secara signifikan (FVC, force vital capacity;

DLCO, carbon monoxide diffusing capacity of lung). Hal ini terjadi seiring dengan

peningkatan kasus obstruksi saluran nafas dan emfisema. Walaupun beberapa pekerjaan

yang terpapar dengan debu dan gas yang berbahaya berisiko untuk mendapat PPOK, efek

Page 9: mini project

yang muncul adalah kurang jika dibandingkan dengan efek akibat merokok (Reily, Edwin,

Shapiro, 2008).

e) Polusi udara

Beberapa peneliti melaporkan peningkatan gejala gangguan saluran pernafasan

pada individu yang tinggal di kota daripada desa yang berhubungan dengan polusi udara

yang lebih tinggi di kota. Meskipun demikian, hubungan polusi udara dengan terjadinya

PPOK masih tidak bisa dibuktikan. Pemaparan terus-menerus dengan asap hasil

pembakaran biomass dikatakan menjadi faktor risiko yang signifikan terjadinya PPOK

pada kaum wanita di beberapa negara. Meskipun begitu, polusi udara adalah faktor risiko

yang kurang penting berbanding merokok (Reily, Edwin, Shapiro, 2008).

f) Faktor genetik

Defisiensi α1-antitripsin adalah satu-satunya faktor genetik yang berisiko untuk

terjadinya PPOK. Insidensi kasus PPOK yang disebabkan defisiensi α1-antitripsin di

Amerika Serikat adalah kurang daripada satu peratus. α1-antitripsin merupakan inhibitor

protease yang diproduksi di hati dan bekerja menginhibisi neutrophil elastase di paru.

Defisiensi α1-antitripsin yang berat menyebabkan emfisema pada umur rata-rata 53 tahun

bagi bukan perokok dan 40 tahun bagi perokok (Kamangar, 2010).

2.1.4 Patogenesis PPOK

Perubahan patologis pada PPOK terjadi di saluran pernafasan, bronkiolus dan

parenkim paru. Peningkatan jumlah leukosit polimorfonuklear yang diaktivasi dan

makrofag yang melepaskan elastase tidak dapat dihalangi secara efektif oleh antiprotease.

Hal ini mengakibatkan destruksi paru. Peningkatan tekanan oksidatif yang disebabkan oleh

radikal-radikal bebas di dalam rokok dan pelepasan oksidan oleh fagosit, dan leukosit

polimorfonuklear menyebabkan apoptosis atau nekrosis sel yang terpapar. Penurunan usia

dan mekanisme autoimun juga mempunyai peran dalam patogenesis PPOK (Kamangar,

2010)

a) Bronkitis kronik

Pembesaran kelenjar mukus, perubahan struktur pada saluran pernafasan termasuk

atrofi, metaplasia sel squamous, abnormalitas silia, hiperplasia otot lurik, proses inflamasi,

dan penebalan dinding bronkiolus adalah tanda-tanda bronkitis kronik. Neutrofilia terjadi

di lumen saluran pernafasan dan infiltrasi neutrofil berkumpul di submukosa. Di

bronkiolus, terjadi proses inflamasi mononuklear, oklusi lumen oleh mukus, metaplasia sel

goblet, hiperplasia otot lurik, dan distorsi akibat fibrosis. Semua perubahan ini

Page 10: mini project

dikombinasikan bersama kehilangan supporting alveolar attachments menyebabkan

pernafasan yang terbatas akibat penyempitan lumen saluran pernafasan dan deformitas

dinding saluran pernafasan (Kamangar, 2010).

b) Emfisema

Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal dan

disertai kerusakan dinding alveoli. Terdapat 3 jenis emfisema menurut morfologinya:

1. Centriacinar Emphysema dimulai dengan destruksi pada bronkiolus dan meluas ke

perifer, mengenai terutamanya bagian atas paru. Tipe ini sering terjadi akibat kebiasaan

merokok yang telah lama.

2. Panacinar Emphysema (panlobuler) yang melibatkan seluruh alveolus distal dan

bronkiolus terminal serta paling banyak pada bagian paru bawah. Emfisema tipe ini adalah

tipe yang berbahaya dan sering terjadi pada pasien dengan defisiensi α1-antitripsin.

3. Paraseptal Emphysema yaitu tipe yang mengenai saluran napas distal, duktus dan sakus.

Proses ini terlokalisir di septa fibrosa atau berhampiran pleura (Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia, 2003).

2.1.5 Komplikasi PPOK

Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal nafas yang digolongkan

menjadi gagal nafas kronik dan gagal nafas akut. Pada gagal nafas kronik ditandai dengan

sesak nafas dengan atau tanpa sianosis, sputum bertambah dan puruen, demam, dan

kesadaran menurun. Selain itu dapat timbul pula infeksi berulang yang terjadi akibat

produksi sputum berlebihan sehingga terbentuk koloni kuman. Pada kondisi kronik ini

imuniti menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit darah.

Komplikasi lain adalah terjadinya kor pulmonal yang ditandai oleh P pulmonal pada EKG

dan hematokrit > 50%, dapat disertai gagal jantung kanan.

2.1.6 Penatalaksanaan PPOK

Adapun tujuan dari penatalaksanaan PPOK ini adalah: (PDPI, 2011)

- Mencegah progresifitas penyakit

- Mengurangi gejala

- Meningkatkan tolenransi latihan

- Mencegah dan mengobati komplikasi

- Mencegah dan mengobati eksaserbasi berulang

- Mencegah dan meminimalkan efek samping obat

- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru

Page 11: mini project

- Meningkatkan kualitas hidup penderita

- Menurunkan angka kematian

Program berhenti merokok sebaiknya dimasukkan sebagai salah satu tujuan selama

tata laksana PPOK.

a) Terapi Farmakologis

1. Bronkodilator

Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan

disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat

diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.

Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat

berefek panjang (long acting) (PDPI, 2011).

Macam-macam bronkodilator: (PDPI, 2011)

a. Golongan antikolinergik

Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai

bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari).

b. Golongan agonis beta-2

Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah

penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat

pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk

nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidka dianjurkan

untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk

mengatasi eksaserbasi berat.

c. Kombinasi antikolinergik dan agonis beta-2

Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi,

karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu

penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.

d. Golongan xantin

Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka

panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer

untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk

mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan

kadar aminofilin darah.

2. Kortikosteroid

Page 12: mini project

Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,

berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau

prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji

kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat >

20% dan minimal 250 mg (PDPI, 2011).

3. Antibiotika

Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan: (PDPI, 2011)

Lini I: Amoksisilin, Makrolid

Lini II: amoksisilin dan asam kluvanat, Sefalosporin, kuinolon, makrolid baru

4. Mukolitik

Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat

perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous.

Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai

pemberian rutin (PDPI, 2011).

b) Terapi non-farmakologis

1. Terapi oksigen

Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan

kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat

penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di

otot maupun organ-organ lainnya. Manfaat oksigen (PDPI, 2011):

- Mengurangi sesak

- Memperbaiki aktiviti

- Mengurangi hipertensi pulmonal

- Mengurangi vasokonstriksi

- Mengurangi hematokrit

- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri

- Meningkatkan kualitas hidup

Indikasi:

Pao2 < 60 mmHg atau Sat O2 < 90%

Pao2 diantara 55-59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan

Pulmonal, Ht > 55% dan tanda-tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru

lain.

2. Nutrisi

Page 13: mini project

Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya

kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia

kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadinya hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi

akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi

paru dan perubahan analisis gas darah.

Malnutrisi dapat dievaluasi dengan: (PDPI, 2011)

- Penurunan berat badan

- Kadar albumin darah

- Antropometri

- Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)

- Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)

3. Rehabilitasi

Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki

kualitas hidup pendita PPOK. Program rehabilitasi terdiri dari 3 komponen yaitu:

(PDPI, 2011)

- Latihan fisik

- Latihan pernapasan dan latihan endurance

- Rehabilitasi psikososial

2.2 Rokok

2.2.1 Definisi rokok

Rokok adalah gulungan tembakau yang dibalut dengan kertas atau daun nipah.

Menurut Alamsyah (2009), rokok umumnya terbagi menjadi tiga kelompok yaitu rokok

putih, rokok kretek dan cerutu. Bahan baku rokok adalah daun tembakau yang dirajang dan

dikeringkan. Cerutu biasanya berbentuk seperti kapal selam dengan ukuran yang lebih

besar dan lebih panjang berbanding rokok putih dan rokok kretek. Cerutu terdiri dari daun

tembakau yang dikeringkan saja tanpa dirajang, digulung menjadi silinder besar lalu

diberikan lem. Gulungan tembakau yang dikeringkan, dirajang, dan dibungkus dengan

kertas rokok dikenali sebagai rokok putih. Apabila ditambah cengkeh atau bahan lainnya

dalam rokok putih ia dikenali sebagai rokok kretek (Khoirudin, 2006).

2.2.2 Definisi merokok dan perokok

Merokok pada dasarnya adalah kegiatan atau aktivitas membakar rokok yang

kemudiannya dihisap dan dihembuskan keluar sehingga orang yang disekitarnya juga bisa

Page 14: mini project

terhisap asap rokok yang dihembuskannya (Kemala, 2008). Menurut Alamsyah (2009),

perokok adalah seseorang yang merokok sekurang-kurangnya satu batang per hari selama

sekurang-kurangnya satu tahun.

2.2.3 Klasifikasi perokok

Perokok pada garis besarnya dibagi menjadi dua yaitu perokok aktif dan perokok

pasif. Perokok aktif adalah orang yang langsung menghisap asap rokok dari rokoknya,

sedangkan perokok pasif adalah orang-orang yang tidak merokok, namun ikut menghisap

asap sampingan selain asap utama yang dihembuskan balik oleh perokok. Dari beberapa

pengamatan dilaporkan bahwa perokok pasif menghisap lebih banyak bahan beracun

daripada seorang perokok aktif (Khoirudin, 2006).

Alamsyah (2009), mengklasifikasikan perokok atas tiga kategori, yaitu:

1. Bukan perokok (non-smoker), seseorang yang belum pernah mencoba merokok sama

sekali.

2. Perokok eksperimental (experimental smokers), seseorang yang telah mencoba merokok

tetapi tidak menjadikannya suatu kebiasaan.

3. Perokok tetap (regular smokers), seseorang yang teratur merokok baik dalam hitungan

mingguan atau dengan intensitas yang lebih tinggi.

Menurut Smet (1994) dalam Kemala (2008) terdapat tiga tipe perokok yang dapat

diklasifikasikan menurut banyaknya rokok dihisap. Tiga tipe perokok tersebut adalah:

1. Perokok berat yang menghisap lebih dari 15 batang rokok sehari

2. Perokok sedang yang menghisap 5 - 14 batang rokok dalam sehari

3. Perokok ringan yang menghisap 1 - 4 batang rokok sehari

Sementara menurut Bustan (1997) dalam Khoirudin (2006), yang dikatakan

perokok ringan adalah perokok yang menghisap 1 - 10 batang rokok sehari, perokok

sedang, 11 - 20 batang sehari, dan perokok berat lebih dari 20 batang rokok sehari. Sitepoe

(2000) dalam Alamsyah (2009), membagikan perokok kepada empat kelompok, yaitu

perokok ringan, sedang, dan berat sama seperti menurut Bustan (1997) dan kelompok

keempat, yaitu perokok yang menghisap rokok dalam-dalam.

2.2.4 Kandungan bahan kimia dalam rokok

Tiap rokok mengandung kurang lebih daripada 4000 elemen, dan hampir 200

diantaranya dinyatakan berbahaya bagi kesehatan. Racun utama pada rokok adalah nikotin,

karbon monoksida, dan tar. Zat-zat kandungan rokok ini adalah yang paling berbahaya

bagi tubuh. Rokok putih mengandung 14 - 15 mg tar dan 5 mg nikotin, sementara rokok

Page 15: mini project

kretek mengandung sekitar 20 mg tar dan 4 - 5 mg nikotin. Hal ini menunjukkan bahwa

kandungan tar dan nikotin pada rokok kretek lebih tinggi daripada rokok putih. Kandungan

tar dan nikotin pada cerutu adalah yang paling tinggi jika dibandingkan dengan rokok

putih dan rokok kretek oleh karena ukurannya yang lebih besar (Khoirudin, 2006).

a) Nikotin

Nikotin merupakan zat yang bisa meracuni saraf, meningkatkan tekanan darah,

menimbulkan penyempitan pembuluh darah perifer, dan menyebabkan ketagihan dan

ketergantungan pada pemakainya. Selain itu, nikotin juga mengganggu sistem saraf

simpatis dengan merangsang pelepasan adrenalin, meningkatkan frekuensi denyut jantung,

tekanan darah dan kebutuhan oksigen jantung, serta menyebabkan gangguan irama

jantung. Nikotin juga mengganggu kerja otak, dan banyak bagian tubuh yang lain. Nikotin

mengaktifkan trombosit dan menyebabkan adhesi trombosit ke dinding pembuluh darah.

Perangsangan reseptor pada pembuluh darah oleh nikotin akan mengakibatkan

peningkatan sistolik dan diastolik, yang selanjutnya akan mempengaruhi kerja jantung.

Penyempitan pembuluh darah perifer akibat nikotin akan meningkatkan risiko terjadinya

ateriosklerosis, selain juga meningkatkan tekanan darah (Khoirudin, 2006).

b) Karbon monoksida (CO)

Gas karbon monoksida (CO) memiliki kecenderungan yang kuat untuk berikatan

dengan hemoglobin dalam eritrosit. Hemoglobin seharusnya berikatan dengan oksigen

untuk didistribusikan ke seluruh tubuh. Karena CO lebih kuat berikatan dengan

hemoglobin daripada oksigen, CO akan bersaing untuk menempati tempat oksigen pada

hemoglobin. Menurut Amalia (2002) dalam Khoirudin (2006), kadar gas CO dalam darah

bukan perokok kurang dari 1%, sementara dalam darah perokok mencapai 4-15%. Gas ini

akan menimbulkan desaturasi haemoglobin dan menurunkan penghantaran oksigen ke

jaringan seluruh tubuh. Karbon monoksida juga mengganggu pelepasan oksigen,

mempercepat aterosklerosis, menurunkan kapasitas latihan fisik, dan meningkatkan

viskositas darah sehingga mempermudah penggumpalan darah (Khoirudin, 2006).

c) Tar

Tar merupakan komponen padat asap rokok yang bersifat karsinogen. Kadar tar

dalam rokok berkisar 24 - 45 mg. Pada saat rokok dihisap, tar masuk ke dalam rongga

mulut dalam bentuk uap padat. Setelah dingin, tar akan menjadi padat dan membentuk

endapan berwarna coklat pada permukaan gigi, saluran pernafasan dan paru. Pengendapan

ini bervariasi antara 3 - 40 mg per batang rokok (Khoirudin, 2006).

Page 16: mini project

2.2.5 Pengaruh asap rokok pada paru

Merokok merupakan faktor risiko utama terjadinya PPOK. Gangguan respirasi dan

penurunan faal paru paling sering terjadi pada perokok. Usia mulai merokok, jumlah

bungkus rokok pertahun, dan perokok aktif mempengaruhi angka kematian. Perokok pasif

dan merokok selama hamil juga merupakan faktor risiko terjadinya PPOK. Di Indonesia,

70% kematian karena penyakit paru kronik dan emfisema adalah akibat penggunaan

tembakau. Lebih daripada setengah juta penduduk Indonesia pada tahun 2001 menderita

penyakit saluran pernafasan yang disebabkan oleh penggunaan tembakau (Supari, 2008).

Secara umum telah diketahui bahwa merokok dapat menyebabkan gangguan

pernafasan. Terdapat beberapa alasan yang mendasari pernyataan ini. Pertama, salah satu

efek dari penggunaan nikotin akan menyebabkan konstriksi bronkiolus terminal paru, yang

meningkatkan resistensi aliran udara ke dalam dan keluar paru. Kedua, efek iritasi asap

rokok menyebabkan peningkatan sekresi cairan ke dalam cabang-cabang bronkus serta

pembengkakan lapisan epitel. Ketiga, nikotin dapat melumpuhkan silia pada permukaan

sel epitel pernapasan yang secara normal terus bergerak untuk memindahkan kelebihan

cairan dan partikel asing dari saluran pernafasan. Akibatnya lebih banyak debris

berakumulasi dalam jalan napas dan kesukaran bernapas menjadi semakin bertambah.

Hasilnya, semua perokok baik berat maupun ringan akan merasakan adanya tahanan

pernafasan dan kualitas hidup berkurang (Guyton, 2006).

Pada beberapa perokok berat yang tidak menderita emfisema, dapat terjadi

bronkitis kronik, obstruksi bronkiol terminalis dan destruksi dinding alveolus. Pada

emfisema berat, sebanyak empat perlima membran saluran pernafasan dapat rusak.

Meskipun hanya melakukan aktivitas ringan, gawat pernafasan bisa terjadi. Pada

kebanyakan pasien PPOK dengan gangguan pernafasan terjadi keterbatasan aktivitas

harian, bahkan ada yang tidak dapat melakukan satu kegiatan pun. Dipercayai merokok

adalah penyebab utamanya (Guyton, 2006).

Terdapat hubungan dose response antara rokok dan PPOK. Lebih banyak batang

rokok yang dihisap setiap hari dan lebih lama kebiasaan merokok tersebut maka risiko

penyakit yang ditimbulkan akan lebih besar. Hubungan dose response tersebut dapat

dilihat dan diukur dengan Index Brinkman (IB), yaitu jumlah konsumsi batang rokok per

hari dikalikan dengan jumlah lamanya merokok dalam tahun (Supari, 2008). Derajat berat

Page 17: mini project

merokok ini dikatakan ringan apabila IB 0 - 200, sedang jika 200 - 600 dan berat apabila

lebih daripada 600. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan jenis perokok

sama ada perokok aktif, perokok pasif atau bekas perokok (Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia, 2003).

Page 18: mini project

BAB III

METODE

Sebelum mengetahui tentang metoda penyuluhan kesehatan, hendaknya diketahui

terlebih dahulu tentang tujuan yang akan dicapai, apakah akan merubah periakal

(knowledge), perirasa (attitude) atau kah perilaku (behaviour). Dengan mengetahui

sasarannya maka dapat dipilih kira-kira metode yang mana paling cocok dari hal hal

tersebut penyuluhan kesehatan pasien PPOK yang cocok adalah antara lain ceramah,

diskusi, bimbingan penyuluhan, tanya jawab, monitor diri sendiri dan ikut menjadi anggota

perkumpulan PPOK. Dengan sendirinya masing-masing cara ada keuntungan dan

kerugiannya, dan metoda satu dan lainnya saling mempengaruhi.

Oleh karena itu metode penyuluhan yang akan dilakukan adalah ceramh, diskusi,

bimbingan penyuluhan , Tanya jawab serta memberikan lefleat dan presentasi sebagai

media penyuluhan

Pelaksaanaan penyuluhan tersebut dilakukan pada:

Hari / Tanggal : Jam kerja Puskesmas Ngasem bulan Juli-Oktober dan Jumat / 16

Oktober 2015

Waktu : 09.00 WIB - selesai

Tempat : Puskesmas Ngasem dan Posyandu Lansia Sendangharjo

Peserta : Pasien PPOK Puskesmas Ngasem dan Lansia Sendangharjo

Penyuluhan dilakukan dengan memperhatikan beberapa prinsip yaitu :

1. Memberikan dukungan dan nasihat yang positif dan menghindari kecemasann.

2. Memberikan informasi secara bertahap, tidak beberapa hal sekaligus.

3. Memuai dengan hal yang sederhana baru kemudian yang kompleks.

4. Mempergunakan alat bantu dengar-pandang (audio visual) slide, dan lefleat

5. Memperbaiki ketaatan pasien dengan memberikan pengobatan sesederhana mungkin.

6. Melakukan motivasi dengan cara memberi penghargaan dan mendiskusikan hasil tes

Laboratorium.

Page 19: mini project

BAB IV

HASIL MINI PROJECT

A. Penyuluhan

Penyuluhan dilakukan secara tatap muka, dihadiri petugas puskesmas, serta

para warga. Penyuluhan dimulai dengan perkenalan dengan pembicara dilanjutkan

penyampaian materi PPOK oleh dokter internsip, kemudian ditutup dengan tanya-

jawab dan diskusi. Selain itu peserta diberi pesan agar materi yang diperoleh

selama penyuluhan dapat disampaikan pada keluarga, serta teman lainnya yang

tidak datang pada waktu penyuluhan, jika ada pertanyaan yang tidak dijawab atau

kurang paham dapat ditanyakan pada petugas kesehatan. Para peserta menunjukkan

minat dan perhatian yang baik akan kegiatan penyuluhan.

B. Monitoring dan Evaluasi

Monitoring dan evaluasi dilakukan dengan pengecekan pemahaman peserta

penyuluhan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seputar materi yang telah

disampaikan. Pertanyaan yang dijawab dengan benar oleh peserta penyuluhan

merupakan bukti keberhasilan bahwa penyuluhan yang telah dilakukan mampu di

terima dan dipahami oleh peserta. Bagi peserta yang menjawab keliru perlu

dibenarkan dan menanyakan adakah yang masih belum dipahami, untuk kemudian

penyuluh memberikan informasi kembali agar peserta dapat memahami dengan

baik dan benar.

C. Hasil Penelitian

Penelitian mengenai hubungan antara derajat merokok dengan prevalensi

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) ini didapatkan hasil sebagai berikut :

Tabel 1. Distribusi pasien PPOK berdasarkan jenis kelamin

JenisKelami

n

PPOK

Jumlah %

Laki-laki 23 76,7%

Page 20: mini project

Perempuan 7 23,3 %

Jumlah 30 100%

Tabel 2. Distribusi pasien PPOK dan berdasarkan umur

Umur

(tahun)

PPOK

Jumlah %

<40 4 13,3

40-49 9 30

50-59 6 20

60-69 7 23,3

≥70 4 13,3

Jumlah 30 100

Tabel 3. Distribusi pasien PPOK berdasarkan jumlah batang rokok yang dihisap

Jumlah Batang

Rokok (Perhari)

PPOK

Jumlah %

≤10 6 20

11-20 11 36,7

≥21 13 43,3

Jumlah 30 100

Tabel 4. Distribusi pasien PPOK berdasarkan lama merokok

LamaMerokok

(Tahun)

PPOK

Jumlah %

≤10 0 0

11-20 5 16,7

≥21 25 83,3

Jumlah 30 100

Page 21: mini project

BAB V

DISKUSI

Penelitian ini menunjukkan distribusi pasien PPOK lebih besar terjadi pada laki-

laki yakni sebesar 76,7% seperti yang tercantum pada tabel 1. Hasil ini sesuai dengan

gambaran penderita penyakit paru oleh karena paparan rokok di Poliklinik Paru RSUP

Sanglah yang mayoritas pasien PPOK adalah laki-laki yakni sebesar 65,7% (Sajinadiyasa,

2010). Pada tabel 2, distribusi pasien PPOK berumur lebih dari 40 tahun memiliki

presentase tertinggi. Hal ini sesuai dengan pedoman diagnosis penyakit PPOK dan

bronkitis kronis yang menyatakan bahwa usia faktor risiko dari penyakit ini adalah usia

lebih dari 40 tahun (PDPI, 2011). Menurut jurnal penelitian Suradi (2007) juga disebutkan

bahwa angka kematian dan angka kesakitan PPOK akan meningkat pada penderita yang

berumur lebih dari 45 tahun.

Tabel 3 dan 4 menyatakan bahwa sebagian besar penderita PPOK adalah perokok

berderajat berat dengan jumlah rokok yang dihisap ≥ 21 batang rokok perhari dan lama

merokok ≥ 21 tahun. Hal ini sesuai dengan pendapat Suradi (2007) bahwa semakin banyak

jumlah batang rokok yang dihisap dan makin lama masa waktu menjadi perokok, maka

semakin besar risiko untuk mengalami PPOK. Rokok memberi kontribusi yang besar pada

angka kesakitan atau angka kematian dan memberikan masalah ketergantungan yang

berhubungan dengan berbagai penyakit termasuk PPOK (Rai, 2008).

Berdasarkan diskusi serta tanya jawab dengan warga pada waktu penyuluhan,

menunjukkan masih banyak warga yang mempunyai kebiasaan merokok. Merokok

merupakan faktor risiko utama terjadinya PPOK. Gangguan respirasi dan penurunan faal

paru paling sering terjadi pada perokok. Usia mulai merokok, jumlah bungkus rokok

pertahun, dan perokok aktif mempengaruhi angka kematian. Perokok pasif dan merokok

selama hamil juga merupakan faktor risiko terjadinya PPOK. Di Indonesia, 70% kematian

karena penyakit paru kronik dan emfisema adalah akibat penggunaan tembakau. Lebih

daripada setengah juta penduduk Indonesia pada tahun 2001 menderita penyakit saluran

pernafasan yang disebabkan oleh penggunaan tembakau (Supari, 2008).

Terdapat hubungan dose response antara rokok dan PPOK. Lebih banyak batang

rokok yang dihisap setiap hari dan lebih lama kebiasaan merokok tersebut maka risiko

Page 22: mini project

penyakit yang ditimbulkan akan lebih besar. Hubungan dose response tersebut dapat

dilihat dan diukur dengan Index Brinkman (IB), yaitu jumlah konsumsi batang rokok per

hari dikalikan dengan jumlah lamanya merokok dalam tahun (Supari, 2008). Derajat berat

merokok ini dikatakan ringan apabila IB 0 - 200, sedang jika 200 - 600 dan berat apabila

lebih daripada 600. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan jenis perokok

ada perokok aktif, perokok pasif atau bekas perokok (PDPI, 2011).

Kejadian PPOK diakibatkan karena warga terutama bapak-bapak dan lansia laki-

laki memiliki kebiasaan merokok baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan

berpengaruh terhadap orang terdekatnya. Pada kebanyakan pasien PPOK dengan gangguan

pernafasan terjadi keterbatasan aktivitas harian, bahkan ada yang tidak dapat melakukan

satu kegiatan pun. Dipercayai merokok adalah penyebab utamanya.

Dari analisis di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kebiasaan merokok

berdampak pada tingginya kejadian PPOK di dusun Klepu.

Page 23: mini project

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa kesakitan penderita PPOK terjadi

pada usia lebih dari 40 tahun, jumlah penderita laki-laki lebih banyak daripada perempuan,

dan perokok berderajat berat dengan jumlah rokok yang dihisap ≥ 21 batang rokok perhari

dan lama merokok ≥ 21 tahun.

B. Saran

1. Bagi Kader

a. Dilakukan penyuluhan rutin oleh para kader agar warga selalu ingat dengan

bahaya merokok dan risikonya

b. Dilakukan penyuluhan mengenai ventilasi yang baik pada rumah agar pertukaran

udara di rumah baik

2. Bagi warga Desa Ngasem terutama bapak-bapak dan lansia laki-laki agar mau

mengurangi bahkan dapat berhenti merokok sehingga terjadi penurunan angka

PPOK

Page 24: mini project

DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, H., 2009. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University

Press.

Arief, M.Tq., 2010. Pengantar Metodologi Penelitian Untuk Ilmu Kesehatan. Surakarta :

UNSPRESS.

Babusyte, A., Kristina, S., Jeroch, J., Lotvall, J. 2007. Pattern of Airway Inflammation and

MMP-12 Expression in Smokers and Ex-Smokers with COPD. Respiratory

Research. 8:81.

Bartal, M., 2005. COPD and Tobacco Smoke. Tobacco Pouch. Monaldi Arch Chest Dis.

63: 4, 213-225.

Depkes (Departemen Kesehatan Republik Indonesia), 2012. Rokok Membunuh Lima Juta

Orang Setiap Tahun (http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/458-

rokokmembunuh- lima-juta-orang-setiap-tahun.html)

Devereux, 2006. ABC of chronic obstructive pulmonary disease. Definition,

epidemiology, and risk factors. BMJ. 332: 1142-4.

Djojodibroto, R., 2009. Respirologi (respiratory medicine). Jakarta : EGC

Fawzani, 2005., Terapi Berhenti Merokok (Studi Kasus 3 Perokok Berat). Yogyakarta :

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada.

GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease), 2007. Executive

summary global strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic

obstructive pulmonary disease update 2007.

Gondodiputro, S., 2007. Bahaya Tembakau dan Bentuk-Bentuk Sediaan Tembakau.

Bandung : FK UNPAD.

Ikawati, Z., 2011. Penyakit Sistem Pernafasan dan Tatalaksana Terapinya. Yogyakarta :

Bursa Ilmu.

IPCRG (International Primary Care Respiratory Group), 2006. Management of Chronic

Obstructive Pulmonary Disease (COPD). Primary Care Respiratory Journal. 15, 48-

57.

Ismir, F., Dianiati, K.S., 2009. Efek Peradangan Sistemik Pada PPOK Terhadap Sistem

Kardiovaskular. Jurnal Respirologi Indonesia. Departemen Pulmonologi FKUI.

Page 25: mini project

Departemen Ilmu Penyakit Jantung dan Kedokteran Vaskular FKUI. RSUP

Persahabatan. Jakarta

Jindal, SK., Anggarwal, SK., 2006. Chaudhry, K., Gupta, D., Chhabra, SK., D’Souza,

GA., A Multicentric Study on Epidemiology of Chronic Obstructive Pulmonary

Disease and its Relationship with Tobacco Smoking and Environmental Tobacco

Smoke Exposure. The Indian Journal of Chest Disease and Allied Sciences. Vol.48.

23-30.

Kasim, E., 2001. Merokok sebagai Faktor Resiko Terjadinya Penyakit Periodontal. Jakarta

: Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

KMKRI (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia), 2008., Pedoman

Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Nomor 1022/MENKES/SK/XI/2008.

Kusuma, A., 2011. Pengaruh Merokok Terhadap Kesehatan Gigi dan Rongga Mulut.

Semarang : Universitas Islam Sultan Agung (http://www.unissula.ac.id)

Mannino, 2006. COPD in never-smoker : Results from the Population-based burden of

Obstructive Lung Disease. Chestnet : Pubmed. 139, 752-763.

Notoadmodjo, S., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi Revisi Cetakan Pertama.

Jakarta : Rineka Cipta.

PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia), 2003. PPOK, Pedoman Praktis diagnosis dan

penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : PDPI.

PDPI, 2011. PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik), Diagnosis dan Penatalaksanaan.

Revisi pertama. Jakarta : PDPI.

Rai, I.B. Ngurah., Sajinadiyasa., 2008. Hubungan Merokok dan Lama Rawat Inap Pasien

Asma Eksaserbasi Akut di RSUP Sanglah Denpasar. Divisi Pulmonologi/SMF Ilmu

Penyakit Dalam : FK UNUD/ RSUP Sanglah Denpasar.

Russel, R., Culpitt, S., Barnes, P., Smith, M., DeMatos, C., Donnelly, L., 2002. Release

and Activity of Matrix Metalloproteinase-9 and Tissue Inhibitor of

Metalloproteinase-1 by Alveolar Macrophages from Patients with Chronic

Obstructive Pulmonary Disease. Am.J.Respir. Cell.Mol.Biol; 26 : 602-609.

Sajinadiyasa, 2010. Prevalensi dan Risiko Merokok Terhadap Penyakit Paru Di Poliklinik

Paru Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar. Jurnal Respirologi Indonesia.

Divisi Pulmonologi/SMF Ilmu Penyakit Dalam : FK UNUD/ RSUP Sanglah

Denpasar.

Page 26: mini project

Savitz, D. Meyer, R. Tanzer, J. Lewin, F., 2006. Public Health implication of smokeless

tobacco use as a harm reduction strategy. American Journal of Public Health. 96 :

1934-1939.

Soegito, 2004., Pengobatan Bronkitis Kronik Eksaserbasi Akut dengan Ciprofloxacin

Dibandingkan dengan Co Amoxiclav. Sumatera Utara : Bagian Ilmu Penyakit Paru –

FK USU

Sopiyudin, D., 2011. Membuat Proposal Penelitian Bidang Kedokteran dan Kesehatan.

Jakarta : Evidence Based Medicine.

Sudoyo et al, 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi Keempat. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Suradi, 2007. Pengaruh Rokok Pada Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) Tinjauan

Patogenesis, Klinis dan Sosial. Pidato Pengukuhan Guru Besar Pulmonologi dan

Ilmu Kedokteran Respirasi. Surakarta : UNS.

Sutoyo, 2009., Bronkitis Kronis dan Lingkaran yang tak Berujung Pangkal (Vicious

Circle). Jurnal Respirologi Indonesia. Jakarta : Departemen Pulmonologi dan Ilmu

Kedokteran Respirasi – RS Persahabatan Jakarta.

Tabrani, R., 2010. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta : Trans Info Media

Teramoto, S., 2007. COPD Phatogenesis from the viewpoint of risk factors. Tokyo :

Internal Medicine.

Thomson, N.C., Livingstone, E., 2004. Asthma and cigarette smoking. Eur Respir J. 24 :

822-33.

Yunus, F., 2003. Manfaat Rehabilitasi Paru dalam Meningkatkan atau Mempertahankan

Kapasitas Fungsional dan Kualitas Hidup Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik di

RSUP Persahabatan. Jurnal Respirologi Indonesia. Departemen Pulmonologi dan

Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI. Jakarta

Yunus, F., 2009. Penatalaksanaan Bronkhitis Kronik. Jurnal Respirologi Indonesia. Jakarta

: Bagian Pulmonologi FKUI – Unit Paru RSUP Persahabatan Jakarta.

Yunus, F., Agustin, H., 2008. Proses Metabolisme pada Penyakit Paru Obstructive Kronik

(PPOK). Jurnal Respirologi Indonesia. Volume 28. Jakarta : Departemen

Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI – SMF Paru – RS Persahabatan

Jakarta.

Page 27: mini project