mini project bias

41
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Imunisasi telah diakui sebagai upaya pencegahan suatu penyakit infeksi yang paling sempurna dan berdampak pada peningkatan kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, kebutuhan akan vaksin makin meningkat seiring dengan keinginan dunia untuk mencegah berbagai penyakit yang dapat menimbulkan kecacatan dan kematian. Peningkatan kebutuhan vaksin telah ditunjang dengan upaya perbaikan dalam produksi vaksin guna meningkatkan efektifitas dan keamanan. Bulan Imunisasi Anak Sekolah atau disingkat BIAS adalah bentuk kegiatan operasional dari imunisasi lanjutan pada anak sekolah yang dilaksanakan pada bulan tertentu setiap tahunnya dengan sasaran seluruh anak- anak usia Sekolah Dasar (SD) atau sederajat (MI/SDLB) kelas 1, 2, dan 3 di seluruh Indonesia. BIAS dilaksanakan di seluruh Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) negeri dan swasta, Institusi pendidikan setara SD lainnya (Pondok Pesantren, Seminari, SDLB). Tujuan diadakannya BIAS ini tentunya untuk meningkatkan kesehatan masyarakat yang nantinya akan menjadi sumber daya manusia yang berkualitas. Penyakit menular masih merupakan masalah di Indonesia, dengan tersedianya 1

Upload: dwi

Post on 26-Jan-2016

123 views

Category:

Documents


17 download

DESCRIPTION

puskesmas

TRANSCRIPT

Page 1: Mini Project BIAS

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Imunisasi telah diakui sebagai upaya pencegahan suatu penyakit infeksi yang

paling sempurna dan berdampak pada peningkatan kesehatan masyarakat. Oleh

karena itu, kebutuhan akan vaksin makin meningkat seiring dengan keinginan

dunia untuk mencegah berbagai penyakit yang dapat menimbulkan kecacatan dan

kematian. Peningkatan kebutuhan vaksin telah ditunjang dengan upaya perbaikan

dalam produksi vaksin guna meningkatkan efektifitas dan keamanan.

Bulan Imunisasi Anak Sekolah atau disingkat BIAS adalah bentuk

kegiatan operasional dari imunisasi lanjutan pada anak sekolah yang dilaksanakan

pada bulan tertentu setiap tahunnya dengan sasaran seluruh anak-anak usia

Sekolah Dasar (SD) atau sederajat (MI/SDLB) kelas 1, 2, dan 3 di seluruh

Indonesia. BIAS dilaksanakan di seluruh Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah

Ibtidaiyah (MI) negeri dan swasta, Institusi pendidikan setara SD lainnya (Pondok

Pesantren, Seminari, SDLB). Tujuan diadakannya BIAS ini tentunya untuk

meningkatkan kesehatan masyarakat yang nantinya akan menjadi sumber daya

manusia yang berkualitas. Penyakit menular masih merupakan masalah di

Indonesia, dengan tersedianya vaksin yang dapat mencegah penyakit menular

tertentu maka pencegahan berpindahnya penyakit dari satu daerah ke daerah lain

dapat dilakukan secara relative singkat dan program yang dipilih adalah imunisasi.

Imunisasi yang telah diperoleh pada waktu bayi belum cukup untuk

melindungi terhadap penyakit PD3I (Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan

Imunisasi) sampai usia anak sekolah. Hal ini disebabkan karena sejak anak mulai

memasuki usia sekolah dasar terjadi penurunan terhadap tingkat kekebalan yang

diperoleh saat imunisasi ketika bayi. Oleh sebab itu, pemerintah menyelenggara-

kan imunisasi ulangan pada anak usia sekolah dasar atau sederajat (MI/SDLB)

yang pelaksanaannya serentak di Indonesia dengan nama Bulan Imunisasi Anak

Sekolah (BIAS).

1

Page 2: Mini Project BIAS

Penyelenggaraan BIAS ini berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI

nomor 1059/Menkes/SK/IX/2004 dan mengacu pada himbauan UNICEF, WHO

dan UNFPA tahun 1999 untuk mencapai target Eliminasi Tetanus Maternal dan

Neonatal (MNTE) pada tahun 2005 di negara berkembang (insiden dibawah 1 per

1.000 kelahiran hidup dalam satu tahun).

BIAS dilaksanakan dua kali setahun yaitu, bulan September untuk

pemberian imunisasi Campak pada anak kelas satu dan bulan November untuk

pemberian imunisasi DT pada anak kelas satu, TT pada anak kelas dua dan tiga.

Seiring dengan cakupan imunisasi yang tinggi, maka penggunaan vaksin

juga meningkat sehingga reaksi vaksinasi yang tidak diinginkan juga meningkat.

Hal yang penting dalam menghadapi reaksi vaksinasi yang tidak diinginkan ialah:

Apakah kejadian tersebut berhubungan dengan vaksin yang diberikan? Ataukah

bersamaan dengan penyakit lain yang telah diderita sebelum pemberian vaksin

(koinsidensi)? Seringkali hal ini tidak dapat ditentukan dengan tepat sehingga oleh

WHO digolongkan dalam kelompok adverse events following immunisation

(AEFI) atau kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI). Kejadian ikutan pasca

imunisasi (KIPI) adalah suatu kejadian sakit yang terjadi setelah menerima

imunisasi yang diduga disebabkan oleh imunisasi. Untuk mengetahui hubungan

antara pemberian imunisasi dengan KIPI diperlukan pelaporan dan pencatatan

semua reaksi yang tidak diinginkan yang timbul setelah pemberian imunisasi.

Surveilans KIPI sangat membantu program imunisasi, khususnya untuk

memperkuat keyakinan masyarakat akan pentingnya imunisasi sebagai upaya

pencegahan penyakit yang paling efektif.

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah

sebagai berikut:

Bagaimana mengenali KIPI?

Apakah KIPI dapat dicegah dan bagaimana cara pencegahannya?

Bagaimana cara pemantauan pasca imunisasi yang baik?

Bagaimana mengatasi KIPI bila hal tersebut terjadi?

2

Page 3: Mini Project BIAS

1.3. Tujuan penulisan

Untuk memberikan pengetahuan dan informasi mengenai deteksi KIPI, cara

pencegahannya, pemantauan dan pencatatan reaksi dari imunisasi serta strategi

mengatasi bila KIPI telah terjadi

1.4. Manfaat

Dengan penulisan mini project ini diharapkan seluruh masyarakat pada

umumnya dan tenaga kesehatan pada khususnya lebih memahami kepentingan

imunisasi serta KIPI yang mungkin terjadi

3

Page 4: Mini Project BIAS

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Imunisasi

2.1.1. Pengertian

Imunisasi berasal dari kata imun, kebal atau resisten. Imunisasi adalah

suatu tindakan untuk memberikan kekebalan dengan cara memasukkan vaksin ke

dalam tubuh manuasia. Kebal adalah suatu keadaan dimana tubuh mempunyai

daya kemampuan mengadakan pencegahan penyakit dalam rangka menghadapi

serangan kuman tertentu, namun kebal atau resisten terhadap suatu penyakit

belum tentu kebal terhadap penyakit lain.

Vaksin adalah suatu bahan yang berasal dari kuman atau virus yang

menjadi penyebab penyakit, namun telah dilemahkan atau dimatikan, atau diambil

sebagian, atau mungkin tiruan dari kuman penyebab penyakit, yang secara sengaja

dimasukkan ke dalam tubuh seseorang atau kelompok orang dengan tujuan

merangsang timbulnya zat antipenyakit tertentu pada orang-orang tersebut.

2.1.2. Manfaat Imunisasi

Untuk anak: mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit

dan kemungkinan cacat atau kematian.

Untuk keluarga: menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan

bila anak sakit. Mendorong pembentukan keluarga apabila orang tua

yakin bahwa anaknya akan menjalani masa kanak-kanak yang

nyaman.

Untuk negara: memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa

yang kuat dan berakal untuk melanjutkan pembangunan negara.

2.1.3. Reaksi Antigen-Antibodi

4

Page 5: Mini Project BIAS

Prof. Dr. A. H. Markum menjelaskan mengenai proses terjadinya imunitas

seperti di bawah ini :

Dalam bidang imunologi kuman atau racun kuman (toksin) disebut sebagai

antigen. Secara khusus antigen tersebut merupakan bagian protein kuman atau

protein racunnya. Bila antigen untuk pertama kali masuk ke dalam tubuh manusia,

maka sebagai reaksinya tubuh akan membentuk zat anti. Bila antigen itu kuman,

zat anti yang dibuat tubuh disebut antibodi. Zat anti terhadap racun kuman disebut

antitoksin. Berhasil tidaknya tubuh anak memusnahkan antigen atau kuman,

bergantung kepada jumlah zat anti yang dibentuk.

Pada umumnya tubuh anak tidak akan mampu melawan antigen yang kuat.

Antigen yang kuat ialah jenis kuman ganas/virulen. Karena itu anak akan menjadi

sakit bila terjangkit kuman ganas.

Jadi pada dasarnya reaksi pertama tubuh anak untuk membentuk

antibodi/antitoksin terhadap antigen, tidaklah terlalu kuat. Tubuh belum

mempunyai “pengalaman” untuk mengatasinya. Tetapi pada reaksi yang ke-2, ke-

3 dan berikutnya, tubuh anak sudah pandai membuat zat anti. Pembentukannya

pun sangat cepat. Dalam waktu yang singkat setelah antigen atau kuman masuk ke

dalam tubuh, akan dibentuk jumlah zat anti yang cukup tinggi.

Dari uraian tersebut maka hal yang terpenting ialah bahwa dengan

imunisasi anak dapat terhindar dari ancaman penyakit yang ganas tanpa bantuan

pengobatan. Dengan dasar reaksi antigen-antibodi ini tubuh akan memberikan

reaksi perlawanan terhadap benda asing dari luar (kuman, virus, racun dan bahan

kimia) yang mungkin akan merusak tubuh. Akan tetapi setelah beberapa

bulan/tahun jumlah zat anti dalam tubuh akan berkurang karena diubah oleh

tubuh, sehingga imunitas tubuh pun akan menurun. Agar tubuh tetap kebal

diperlukan perangsangan kembali oleh antigen artinya anak tersebut harus

mendapatkan suntikan/imunisasi ulang.

2.1.4 Jenis-jenis imunisasi

5

Page 6: Mini Project BIAS

Imunisasi telah dipersiapkan sedemikian rupa agar tidak menimbulkan efek-efek

yang merugikan. Imunisasi ada 2 macam, yaitu:

a. Imunisasi aktif

Merupakan pemberian suatu bibit penyakit yang telah dilemahakan

(vaksin) agar nantinya sistem imun tubuh berespon spesifik dan

memberikan suatu ingatan terhadap antigen ini, sehingga ketika terpapar

lagi tubuh dapat mengenali dan meresponnya. Contoh imunisasi aktif

adalah imunisasi polio dan campak. Dalam imunisasi aktif, terdapat

beberapa unsur-unsur vaksin, yaitu:

Vaksin, dapat berupa organisme yang secara keseluruhan

dimatikan, eksotoksin yang didetoksifikasi saja, atau endotoksin

yang terikat pada protein pembawa seperti polisakarida, dan vaksin

dapat juga berasal dari ekstrak komponen-komponen organisme

dari suatu antigen. Dasarnya adalah antigen harus merupakan

bagian dari organisme yang dijadikan vaksin.

Pengawet, stabilisator atau antibiotik. Merupakan zat yang

digunakan agar vaksin tetap dalam keadaan lemah atau

menstabilkan antigen dan mencegah tumbuhnya mikroba. Bahan-

bahan yang digunakan seperti air raksa dan antibiotik yang biasa

digunakan

Cairan pelarut dapat berupa air steril atau juga berupa cairan kultur

jaringan yang digunakan sebagai media tumbuh antigen, misalnya

antigen telur, protein serum, dan bahan kultur sel.

Adjuvan, terdiri dari garam alumunium yang berfungsi mening-

katkan sistem imun dari antigen. Ketika antigen terpapar dengan

antibodi tubuh, antigen dapat melakukan perlawanan juga, dalam

hal ini semakin tinggi perlawanan maka semakin tinggi

peningkatan antibodi tubuh.

b. Imunisasi pasif

Merupakan suatu proses meningkatkan kekebalan tubuh dengan cara

pemberian zat imunoglobulin, yaitu zat yang dihasilkan melalui suatu

6

Page 7: Mini Project BIAS

proses infeksi yang dapat berasal dari plasma manusia (kekebalan yang

didapat bayi dari ibu melalui plasenta) atau binatang (bisa ular) yang

digunakan untuk mengatasi mikroba yang sudah masuk dalam tubuh yang

terinfeksi. Contoh imunisasi pasif adalah penyuntikan ATS (Anti Tetanus

Serum) pada orang yang mengalami luka kecelakaan. Contoh lain adalah

yang terdapat pada bayi yang baru lahir dimana bayi tersebut menerima

berbagai jenis antibodi dari ibunya melalui darah plasenta selama masa

kandungan, misalnya antibodi terhadap campak.

2.1.5. Imunisasi di Indonesia

Di Indonesia imunisasi adalah program kesehatan yang diatur oleh

Departemen Kesehatan. Dalam pelaksanaannya selain dilakukan oleh unit

pelayanan kesehatan pemerintah, pelayanan imunisasi juga dilakukan oleh swasta

dan masyarakat dengan prinsip keterpaduan dan kebersamaan antara berbagai

pihak. Pemerintah dan badan dunia seperti WHO maupun para ahli nasional

menetapkan sasaran jumlah penerima imunisasi, kelompok umur serta tata cara

bagaimana memberikan vaksin kepada anak-anak atau kelompok umur penerima

vaksin lainnya. Target jumlah sasaran anak yang harus mendapat imunisasi amat

penting untuk diketahui dan ditetapkan. Kaitannya dengan status herd immunity

atau kekebalan kelompok dalam satu wilayah. Institusi swasta yang turut dalam

memberikan imunisasi harus memberikan laporan tentang jumlah orang yang

mendapat imunisasi. Pelaporan diperlukan untuk mengetahui apakah imunitas

kelompok tercapai atau tidak.

Dalam catatan internasional, pada akhir tahun 1990-an, Indonesia

memiliki reputasi pencapaian program imunisasi yang mengesankan, berkat

sistem pelayanan yang efektif. Namun sejak dimulainya desentralisasi tampak

adanya gambaran penurunan dibeberapa daerah.

Program imunisasi di Indonesia memiliki tujuan menurunkan angka

kejadian penyakit dan angka kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan

imunisasi. Secara spesifik program imunisasi di Indonesia memiliki target

cakupan imunisasi lengkap minimal 80% secara merata pada bayi di seluruh desa

atau kelurahan pada tahun 2010.

7

Page 8: Mini Project BIAS

Sesuai dengan program pemerintah (Departemen Kesehatan) tentang

Program Pengembangan Imunisasi (PPI), maka anak mendapatkan perlindungan

terhadap 4 jenis vaksin penyakit utama, yaitu penyakit TBC, difteri, tetanus, batuk

rejan, poliomyelitis dan campak.

Jenis Vaksin Manfaat Kandungan

BCG Memberikan kekebalan secara aktif terhadap

tuberculosis (TBC). Tuberkulosis (TBC) adalah

suatu penyakit menular langsung yang

disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium

tuberculosis). Penyakit TBC ini dapat

vaksin bentuk beku kering yang

mengandung

mycobacterium

bovis hidup yang sudah

dilemahkan dari strain Paris no

1173.P2 (Vademecum DPT Memberikan kekebalan secara

simultan

terhadap difteri, tetanus dan batuk rejan.

1. Difteri merupakan penyakit infeksi yang

disebabkan olehCorynebacterium

diphtheria. Penyakit ini merangsang saluran

pernafasan terutama terjadi pada balita.

2. Pertusis atau batuk rejan adalah penyakit

infeksi akut yang disebabkan oleh

Bordotella pertusis pada saluran pernafasan.

Penyakit ini merupakan penyakit

Vaksin jerap DPT

(Difteri

Pertusis Tetanus) adalah vaksin

yang terdiri dari toxoid, difteri

dan tetanus yang dimurnikan

serta bakteri pertusis yang telah

diinaktivasi dan teradsorbsi

kedalam 3 mg/ml aluminium

fosfat.

Polio Memberikan kekebalan aktif

terhadap

poliomyelitis.

Poliomielitis adalah penyakit yang disebabkan

oleh virus polio. Telah dikenal 3 jenis virus

polio, yaitu tipe I, II dan III. Virus

Vaksin Oral Polio adalah vaksin

polio trivalent yang terdiri dari

suspense virus poliomyelitis tipe

1,2 dan 3 (strain sabin) yang

sudah dilemahkan.

8

Page 9: Mini Project BIAS

Hepatitis B Memberikan kekebalan aktif terhadap hepaitis

B.Penyakit hepatitis B merupakan penyakit

vaksin virus recombinan yang

telah diinaktivasikan dan bersifat

2.2. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)

2.2.1. Definisi KIPI

Menurut Komite Nasional Pengkajian dan Penaggulangan KIPI (KN PP KIPI),

KIPI adalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa 1 bulan

setelah imunisasi. Pada keadaan tertentu lama pengamatan KIPI dapat mencapai

masa 42 hari (arthritis kronik pasca vaksinasi rubella), atau bahkan 42 hari

(infeksi virus campak vaccine-strain pada pasien imunodefisiensi pasca vaksinasi

campak, dan polio paralitik serta infeksi virus polio vaccine-strain pada resipien

non imunodefisiensi atau resipien imunodefisiensi pasca vaksinasi polio).

Pada umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin dapat merupakan reaksi

simpang (adverse events), atau kejadian lain yang bukan terjadi akibat efek

langsung vaksin. Reaksi simpang vaksin antara lain dapat berupa efek

farmakologi, efek samping (side-effects), interaksi obat, intoleransi, reaksi

idoisinkrasi, dan reaksi alergi yang umumnya secara klinis sulit dibedakan.efek

farmakologi, efek samping, serta reaksi idiosinkrasi umumnya terjadi karena

potensi vaksin sendiri, sedangkan reaksi alergi merupakan kepekaan seseorang

terhadap unsure vaksin dengan latar belakang genetic. Reaksi alergi dapat terjadi

terhadap protein telur (vaksin campak, gondong, influenza, dan demam kuning),

antibiotik, bahan preservatif (neomisin, merkuri), atau unsure lain yang

terkandung dalam vaksin.

Kejadian yang bukan disebabkan efek langsung vaksin dapat terjadi karena

kesalahan teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi serta penyimpanan vaksin,

kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan imunisasi, atau semata-mata kejadian

yang timbul secara kebetulan. Sesuai telaah laporan KIPI oleh Vaccine Safety

Committee, Institute of Medicine (IOM) USA menyatakan bahwa sebagian besar

KIPI terjadi karena kebetulan saja. Kejadian yang memang akibat imunisasi

9

Page 10: Mini Project BIAS

tersering adalah akibat kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan (pragmatic

errors).

2.2.2. Etiologi

Tidak semua kejadian KIPI disebabkan oleh imunisasi karena sebagian besar

ternyata tidak ada hubungannya dengan imunisasi. Oleh karena itu unutk

menentukan KIPI diperlukan keterangan mengenai:

Besar frekuensi kejadian KIPI pada pemberian vaksin tertentu

Sifat kelainan tersebut lokal atau sistemik

Serajat sakit resipien

Apakah penyebab dapat dipastikan, diduga, atau tidak terbukti

Apakah dapat disimpulkan bahwa KIPI berhubungan dengan vaksin,

kesalahan produksi, atau kesalahan prosedur

KN PP KIPI membagi penyebab KIPI menjadi 5 kelompok faktor etiologi

menurut klasifikasi lapangan WHO Western Pacific (1999), yaitu:

1. Kesalahan program/teknik pelaksanaan (programmic errors)

Sebagian kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknik

pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan,

pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin. Kesalahan tersebut dapat

terjadi pada berbagai tingkatan prosedur imunisasi, misalnya:

Dosis antigen (terlalu banyak)

Lokasi dan cara menyuntik

Sterilisasi semprit dan jarum suntik

Jarum bekas pakai

Tindakan aseptik dan antiseptik

Kontaminasi vaksin dan perlatan suntik

Penyimpanan vaksin

Pemakaian sisa vaksin

Jenis dan jumlah pelarut vaksin

10

Page 11: Mini Project BIAS

Tidak memperhatikan petunjuk produsen

Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila

terdapat kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama.

2. Reaksi suntikan

Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik

langsung maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi

suntikan langsung misalnya rasa sakit, bengkak dan kemerahan pada

tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa

takut, pusing, mual, sampai sinkope.

3. Induksi vaksin (reaksi vaksin)

Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat

diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan

secara klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala

klinis hebat seperti reaksi anafilaksis sistemik dengan resiko kematian.

Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam

petunjuk pemakaian tertulis oleh produsen sebagai indikasi kontra,

indikasi khusus, perhatian khusus, atauberbagai tindakan dan perhatian

spesifik lainnya termasuk kemungkinan interaksi obat atau vaksin lain.

Petunjuk ini harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana

imunisasi.

4. Faktor kebetulan (koinsiden)

Seperti telah disebutkan di atas maka kejadian yang timbul ini terjadi

secara kebetulan saja setelah diimunisasi. Indicator faktor kebetulan ini

ditandai dengan ditemukannya kejadian yang sama disaat bersamaan pada

kelompok populasi setempat dengan karakterisitik serupa tetapi tidak

mendapatkan imunisasi.

5. Penyebab tidak diketahui

Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan

kedalam salah satu penyebab maka untuk sementara dimasukkan kedalam

kelompok ini sambil menunggu informasi lebih lanjut. Biasanya denagn

11

Page 12: Mini Project BIAS

kelengkapan informasi tersebut akan dapat ditentukan kelompok penyebab

KIPI.

2.2.3. Gejala Klinis KIPI

Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat dibagi

menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta reaksi lainnya.

Pada umumnya makin cepat KIPI terjadi makin cepat gejalanya.

Tabel 2.2 Reaksi KIPI

Reaksi KIPI Gejala KIPI

Lokal Abses pada tempat suntikan

Limfadenitis

Reaksi lokal lain yang berat, misalnya

selulitis, BCG-itis

SSP Kelumpuhan akut

Ensefalopati

Ensefalitis

Meningitis

Kejang

Lain-lain Reaksi alergi: urtikaria, dermatitis,

edema

Reaksi anafilaksis

Syok anafilaksis

Artralgia

Demam tinggi >38,5°C

Episode hipotensif-hiporesponsif

Osteomielitis

Menangis menjerit yang terus menerus

(3jam)

Sindrom syok septik

12

Page 13: Mini Project BIAS

Mengingat tidak ada satupun jenis vaksin yang aman tanpa efek samping, maka

apabila seorang anak telah mendapatkan imunisasi perlu diobsevasi beberapa saat,

sehingga dipastikan tidak terjadi KIPI (reaksi cepat). Berapa lama observasi

sebenarnya sulit ditentukan, tetapi pada umumnya setelah pemberian setiap jenis

imunisasi harus dilakukan observasi selama 15 menit.untuk menghindarkan

kerancuan maka gejala klinis yang dianggap sebagai KIPI dibatasi dalam jangka

waktu tertentu timbulnya gejala klinis.

Tabel 2.3 Gejala dan Onset KIPI menurut jenis vaksin

Jenis Vaksin Gejala Klinis KIPI Saat timbul KIPI

Toksoid Tetanus (DPT,

DT, TT)

Syok anafilaksis

Neuritis brakhial

Komplikasi akut termasuk kecacatan

dan kematian

4 jam

2-18 hari

tidak tercatat

Pertusis whole cell

(DPwT)

Syok anafilaksis

Ensefalopati

Komplikasi akut termasuk kecacatan

dan kematian

4 jam

72 jam

tidak tercatat

Campak Syok anafilaksis

Ensefalopati

Komplikasi akut termasuk kecacatan

dan kematian

4 jam

5-15 hari

tidak tercatat

Trombositopenia

Klinis campak pada resipien

imunokompromais

Komplikasi akut termasuk kecacatan

dan kematian

7-30 hari

6 bulan

tidak tercatat

Polio hidup (OPV) Polio paralisis

Polio paralisis pada resipien

imunokompromais

Komplikasi akut termasuk kecacatan

30 hari

6 bulan

13

Page 14: Mini Project BIAS

dan kematian

Hepatitis B Syok anafilaksis

Komplikasi akut termasuk kecacatan

dan kematian

4 jam

tidak tercatat

BCG BCG-itis 4-6 minggu

2.2.4. Angka Kejadian KIPI

KIPI yang paling serius terjadi pada anak adalah reaksi anafilaksis. Angka

kejadian reaksi anafilaktoid diperkirakan 2 dalam 100.000 dosis DPT, tetapi yang

benar-benar reaksi anafilaksis hanya 1-3 kasus diantara 1 juta dosis. Anak yang

lebih besar dan orang dewasa lebih banyak mengalami sinkope, segera atau

lambat. Episode hipotonik/hiporesponsif juga tidak jarang terjadi, secara umum

dapat terjadi 4-24 jam setelah imunisasi.

2.2.5. Imunisasi Pada Kelompok Resiko

Untuk mengurangi resiko timbulnya KIPI maka harus diperhatikan apakah

resipien termasuk dalam kelompok resiko. Yang dimaksud dengan kelompok

resiko adalah:

1. Anak yang mendapat reaksi simpang pada imunisasi terdahulu

Hal ini harus segera dilaporkan kepada Pokja KIPI setempat dan KN PP

KIPI dengan menggunakan formulir pelaporan yang telah tersedia untuk

penanganan segera.

2. Bayi berat lahir rendah

Pada dasarnya jadwal imunisasi bayi kurang bulan sama dengan bayi

cukup bulan. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada bayi kurang bulan

adalah:

a) Titer imunitas pasif melalui transmisi maternal lebih rendah dar

pada bayi cukup bulab

b) Apabila berat badan bayi sangat kecil (<1000 gram) imunisasi

ditunda dan diberikan setelah bayi mencapai berat 2000 gram atau

berumur 2 bulan; imunisasi hepatitis B diberikan pada umur 2

bulan atau lebih kecuali bila ibu mengandung HbsAg

14

Page 15: Mini Project BIAS

c) Apabila bayi masih dirawat setelah umur 2 bulan, maka vaksin

polio yang diberikan adalah suntikan IPV bila vaksin tersedia,

sehingga tidak menyebabkan penyebaaran virus polio melaui tinja

3. Pasien imunokompromais

Keadaan imunokompromais dapat terjadi sebagai akibat penyakit dasar

atau sebagai akibat pengobatan imunosupresan (kemoterapi, kortikosteroid

jangka panjang). Jenis vaksin hidup merupakan indikasi kontra untuk

pasien imunokompromais dapat diberikan IVP bila vaksin tersedia.

Imunisasi tetap diberikan pada pengobatan kortikosteroid dosis kecil dan

pemberian dalam waktu pendek. Tetapi imunisasi harus ditunda pada anak

dengan pengobatan kortikosteroid sistemik dosis 2 mg/kg berat badan/hari

atau prednison 20 mg/ kg berat badan/hari selama 14 hari. Imunisasi dapat

diberikan setelah 1 bulan pengobatan kortikosteroid dihentikan atau 3

bulan setelah pemberian kemoterapi selesai.

4. Pada resipien yang mendapatkan human immunoglobulin

Imunisasi virus hidup diberikan setelah 3 bulan pengobatan utnuk

menghindarkan hambatan pembentukan respons imun.

2.2.6. Indikasi Kontra dan Perhatian Khusus Untuk Imunisasi

Pada umumnya tidak terdapat indikasi kontra imunisasi untuk individu sehat

kecuali untuk kelompok resiko. Pada setiap sediaan vaksin selalu terdapat

petunjuk dari produsen yang mencantumkan indikasi kontra serta perhatian

khusus terhadap vaksin. Petunjuk ini harus dibaca oleh setiap pelaksana vaksinasi.

(cfs/pedoman tata laksana medik KIPI bagi petugas kesehatan)

2.2.7. Pencatatan dan Pelaporan

Pada pelaksanaannya, penyebab KIPI tidaklah mudah ditentukan. Untuk

menentukan penyebab KIPI diperlukan keterangan rinci mengenai riwayat

pemberian vaksin terdahulu, adakah ditemukan alternatif penyebab, kerentanan

individu terhadap vaksin, kapan KIPI terjadi (tanggal, hari, jam), bagaimana

gejala yang timbul, berapa lama interval waktu sejak diberi vaksin sampai timbul

15

Page 16: Mini Project BIAS

gejala, apakah dilakukan pemeriksaan fisis serta ditunjang dengan pemeriksaan

laboratorium, serta pengobatan apa yang telah diberikan. Dari data yang tersedia

kemudian diperlukan analisis kasus untuk mengambil kesimpulan. Daftar KIPI

yang harus dilaporkan tertera pada Tabel 3.

Hal-hal yang perlu mendapat perhatian pada pelaporan.

1. Identitas: Nama anak, tanggal dan tahun lahir (umur), jenis kelamin, nama

orang tua, dan alamat.

2. Jenis vaksin yang diberikan, dosis, nomer lot, siapa yang memberikan. Vaksin

sisa disimpan dan diperlakukan seperti vaksin yang masih utuh (perhatikan cold

chain).

3. Nama dokter yang bertanggung jawab

4. Apakah pernah menderita KIPI pada imunisasi terdahulu?

5. Gejala klinis yang timbul dan/atau diagnosis (bila ada); tulis dalam kolom

laporan yang tersedia. Pengobatan yang diberikan dan perjalanan penyakit,

sembuh, dirawat atau meninggal. Sertakan hasil laboratorium yang pernah

dilakukan. Tulis juga apabila terdapat penyakit lain yang menyertainya.

6. Waktu pemberian imunisasi, tanggal, jam.

7. Saat timbulnya gejala KIPI sehingga diketahui berapa lama interval waktu

antara pemberian imunisasi dengan terjadinya KIPI.

8. Apabila dirawat dan sembuh, apakah terdapat gejala sisa?

9. Bagaimana cara menyelesaikan masalah KIPI (kronologis)

10. Adakah tuntutan dari keluarga ?

Tabel 3. KIPI yang harus dilaporkan

KIPI terjadi dalam waktu 48 jam setelah imunisasi (satu gejala atau lebih)

• Anafilaksis

• Syok

• Episod hipotonik hiporesponsif

KIPI terjadi dalam waktu 30 hari setelah imunisasi (satu gejala atau lebih)

• Ensefalopati

• Kejang

• Meningitis aseptik

16

Page 17: Mini Project BIAS

• Trombositopenia

• Lumpuh layu (acute flaccid paralysis)

• Meninggal

• Penyebab lain yang berat termasuk bila anak perlu perawatan

Reaksi KIPI dapat dipantau melalui sistem surveilans yang baik untuk

mendapatkan profil keamanan penggunaan di lapangan. Untuk mengetahui

besarnya masalah KIPI di Indonesia diperlukan pelaporan dan pencatatan kasus

KIPI dan koordinasi antara pengambil keputusan dengan petugas pelaksana di

lapangan, guna menentukan sikap dalam mengatasi kasus KIPI yang terjadi.

Dalam rangka meningkatkan kegiatan diperlukan pelaporan dan pencatatan kasus

KIPI untuk mengkoordinasikan hal tersebut, telah dibentuk Pokja KIPI Depkes

yang terdiri dari klinisi, organisasi profesi (IDAI, POGI), pakar dalam bidang

mikrobiologi, virologi, vaksin, farmakologi, epidemiologi, dan pakar hukum.

Pokja KIPI dalam kegiatannya bekerja sama dengan Subdit Imunisasi Direktorat

Jendral PPM&PLP Departemen Kesehatan. Risiko KIPI selalu ada pada setiap

tindakan imunisasi, oleh karena itu profesi kesehatan yang terkait perlu

memahami KIPI serta penanggulangannya. Pokja KIPI diharapkan juga dapat

dibentuk di daerah Dati I guna menjalin kerjasama antara para pakar terkait,

instansi kesehatan, dan pemerintah daerah setempat.

17

Page 18: Mini Project BIAS

Gambar 1. Alur tatalaksana KIPI

18

Page 19: Mini Project BIAS

BAB III

METODE PENGAMBILAN DATA

3.1. Sumber data

3.1.1. Data Primer

Data primer merupakan data yang didapatkan langsung di lapangan saat

dilakukan suatu kegiatan atau penelitian. Pada kegiatan mini project ini

data primer didapatkan langsung saat melakukan kegiatan di lapangan,

yaitu pada saat pelaksanaan BIAS tanggal 10-16 November 2014. Penulis

berpartisipasi aktif dalam kegiatan BIAS mulai dari persiapan, pe-

laksanaan serta pemantauan pasca imunisasi. Tindak lanjut dilakukan bila

ditemukan KIPI pada saat pelaksaan mini project.

Data primer yang didapatkan berisi fakta mengenai jumlah siswa

yang diimunisasi, cakupan imunisasi, KIPI yang mungkin terjadi dan

penanganannya.

3.1.2. Data Sekunder

Data sekunder didapatkan dari data di Puskesmas Blora berupa profil

UPTD Puskesmas Blora pada bulan Januari 2014.

3.2. Sampel

Sampel pada kegiatan ini siswa SDN Andongrejo kelas 1, 2 dan 3 yang

masing berjumlah 22, 26 dan 26 anak. Kegiatan BIAS di sekolah ini

dilaksanakan pada hari Senin, 10 November 2014.

3.3. Langkah pelaksanaan mini project

Dalam melaksanakan mini project ini dilakukan beberapa persiapan.

Pembentukan tim BIAS dilakukan sebelum jadwal pelaksaan BIAS pada

minggu kedua November 2014. Satu tim berjumlah 3-6 orang bergantung

pada jumlah siswa yang diimunisasi. Ketua tim bertugas mengambil data

awal mengenai jumlah siswa yang akan diimunisasi, serta data mengenai

19

Page 20: Mini Project BIAS

berapa jumlah anak yang tinggal kelas, sakit atau memiliki perhatian khusus

serta memberi informasi kepada pihak sekolah mengenai persiapan yang

harus dilakukan siswa sebelum menjalani imunisasi.

Sebelum berangkat ke SDN Andongrejo disiapkan 3 vial vaksin DT

dan 6 vial vaksin TT, 80 spuit 0,5 cc, kapas dan alkohol, safety box, vaccine

cool box dan obat-obatan KIPI. Suhu vaksin tetap terjaga antara 2-8°C

sebelum diinjeksikan kepada siswa.

Siswa yang pada hari itu sedang sakit (demam) atau tidak masuk tidak

mengikuti BIAS dan disarankan mengikuti imunisasi susulan di Puskesmas

Blora pada hari yang telah ditentukan.

Proses imunisasi dilakukan secara lege artis. Setiap siswa diberikan

paracetamol sesuai dosisnya untuk profilaksis demam dengan anjuran

diminum satu kali. Dilanjutkan dengan observasi selama 40-60 menit untuk

mengamati terjadinya KIPI segera. Bila terjadi KIPI akan dilakukan

penanganan awal, bila diperlukan akan dirujuk ke Puskesmas dan Rumah

Sakit. KIPI yang memenuhi kriteria pelaporan dicatat untuk dilaporkan ke

Dinas Kesehatan Kota.

20

Page 21: Mini Project BIAS

BAB IV

HASIL KEGIATAN

4.1. Profil Puskesmas Blora

4.1.1 Pembentukan UPTD Puskesmas

Dasar pembentukan UPTD Puskesmas adalah Peraturan Daerah Kabupaten Blora

Nomor 7 Tahun 2008 tetang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten

Blora ( Lembaran Daerah Kabupaten Blora Tahun 2008 Nomor : 7, Tambahan

Lembaran Daerah Kabupaten Blora Nomor : 7 ) yang dijabarkan dalam Peraturan

Bupati Blora No. 58 Tahun 2008 tentang penjabaran tugas pokok dan fungsi

Dinas Kesehatan Kabupaten Blora.

4.1.2 Kedudukan, Tupoksi UPTD Puskesmas Blora.

UPTD Pusat Kesehatan Masyarakat mempunyai tugas melaksanakan sebagian

kegiatan teknis operasional dan / atau kegiatan teknis penunjang di bidang

perencanaan kesehatan dasar dan rujukan serta melaksanakan tugas lain yang

diberikan oleh Kepala Dinas Kesehatan sesuai bidang tugasnya.

4.1.3 Susunan Organisasi

Susunan Organisasi UPTD Puskesmas terdiri dari :

a. Kepala UPTD.

b. Sub Bagian Tata Usaha.

c. Jabatan fungsional.

Pegawai UPTD Puskesmas Blora tahun 2014 terdiri dari 47 orang.

4.1.4 Visi dan Misi UPTD Puskesmas Blora

Visi :

” Mewujudkan masyarakat Blora Sehat, dengan memberikan pelayanan kesehatan

secara terpadu, bermutu serta terjangkau kepada seluruh lapisan masyarakat ”.

Misi :

21

Page 22: Mini Project BIAS

Meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap

orang agar terwujud derajat kesehatan yang optimal melalui terciptanya

masyarakat yang hidup dalam :

1. Lingkungan yang sehat dan berperilaku hidup sehat.

2. Memiliki kemampuan menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu.

Meningkatkan kedisiplinan dan tingkat kepatuhan petugas.

4.1.5 Program dan Kegiatan yang Dilaksanakan UPTD Puskesmas Blora.

Program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh UPTD Puskesmas Blora adalah

sebagai berikut :

1. Kegiatan Kesga / KIA

2. Kegiatan KB.

3. Kegiatan Gizi.

4. Kegiatan PL.

5. Kegiatan P2.

6. Kegiatan PKM / Promkes.

7. Kegiatan BP.

8. Kegiatan UKS.

9. Kegiatan Kesgilut.

10.Kegiatan Perkesmas.

11.Kegiatan Kesehatan Jiwa.

12.Kegiatan Kesehatan Mata.

13.Kegiatan Kesehatan PTM.

14.Kegiatan Kesehatan Laboratorium.

15.Kegiatan Imunisasi.

16.Kegiatan Apotik/ Kamar Obat.

17.Kegiatan Tata Usaha.

18.Kegiatan SP3.

22

Page 23: Mini Project BIAS

4.1.6 Data Umum UPTD Puskesmas Blora

a. Keadaan Daerah

Luas Daerah : 56 km²

- Tanah Sawah : 1.490,087 ha

- Tanah Kering : 967,067 ha

- Hutan Negara : -

- Lain-lain : 250,708 ha

Jumlah desa/ kelurahan : 6 desa, 12 kelurahan

Jumlah RW, RT : 95 RW, 376 RT

b. Komunikasi – Transportasi.

Jarak Puskesmas-Kabupaten : 0 km

Dari Desa ke Puskesmas : 5 km

c. Komunikasi Berita.

Jumlah Kantor Pos : 1 buah

Jumlah Pesawat Telepon : 2101 buah

Jumlah Pesawat TV : 8475 buah

Telegram : 1 buah

Jumlah Surat Kabar : 704 buah

Jumlah Pesawat ORARI : 12 buah

d. Keadaan Penduduk.

Jumlah Penduduk : 76.605 jiwa

- Laki-laki : 37.509 jiwa

- Perempuan : 39.096 jiwa

Jumlah KK : 23.112 KK

Distribusi Penduduk menurut golongan Umur :

- 0-1 th : 990 jiwa

- 1-4 th : 3.814 jiwa

- 5-14 th : 11.339 jiwa

- 15-44 th : 38.282 jiwa

- 45-64 th : 16.013 jiwa

- > 65 th : 6.167 jiwa

23

Page 24: Mini Project BIAS

e. Pendidikan penduduk menurut umur 10 th keatas.

Tidak/ belum pernah sekolah : 2.435 jiwa

Tidak/ belum tamat SD : 1.639 jiwa

Tamat SD : 27.605 jiwa

Tamat SLTP : 11.290 jiwa

Tamat SLTA : 18.689 jiwa

Akademi : 1.832 jiwa

Universitas : 5.657 jiwa

f. Sarana Pendidikan.

Jumlah TK/ PAUD : 53 buah

Jumlah SD / MI : 44 buah

Jumlah SLTP : 11 buah

Jumlah SLTA : 11 buah

Jumlah PT : 1 buah

g. Pekerjaan Penduduk.

Tani/ Buruh Tani : 35.932 jiwa

Pensiunan/ PNS/ ABRI : 17.325 jiwa

Pedagang : 6.336 jiwa

Lain-lain : 20.420 jiwa

h. Sosial Ekonomi.

Sarana Perekonomian :

- Jumlah Pasar : 5 buah

- Jumlah toko/warung/kios : 772 buah

- Jumlah KUD : 1 buah

- Jumlah koperasi simpan pinjam : 9 buah

- Jumlah Badan Kredit : 9 buah

- Jumlah Lumbung Desa : 8 buah

Jumlah Industri Rumah Tangga : 91 buah

Jumlah Tempat Tinggal :

- Rumah Sehat : 17.003 buah

- Rumah Tidak Sehat : 4.720 buah

24

Page 25: Mini Project BIAS

i. Sosial Budaya.

Sebagian besar penduduk beragama Islam.

Kebiasaan masyarakat yang merugikan kesehatan :

- BAB ( Buang Air Besar ) di sembarang tempat.

- Kerja Bhakti tiap 1 minggu sekali sulit dilaksanakan.

Kebiasaan masyarakat yang mendukung kesehatan :

- Gotong royong

- Jimpitan

- Selapanan PKK / desa

4.1.7 Sumber Daya Kesehatan

Sumber daya kesehatan yang dimiliki oleh UPTD Puskesmas Blora adalah

sebagai berikut :

N

oJenis Ketenagaan Jumlah

1 Dokter Spesialis 0

2 Dokter Umum 1

3 Dokter Gigi 1

4 Kesmas 0

5 Perawat 9

6 Perawat Gigi 1

7 Bidan 21

8 Gizi 1

9 Farmasi 1

10 Sanitasi 1

11 Analis 2

12 Rekam Medik 1

13 Pekarya 3

14 TU/ Staff 3

Jumlah 45

4.2. Data siswa yang mengikuti BIAS

25

Page 26: Mini Project BIAS

Kelas Jumlah diimunisasi Tidak diimunisasi Keterangan

1 20 2 tidak masuk

2 24 2 tidak masuk

3 25 1 sakit

Jumlah 69 5

4.3. Data siswa yang mengalami KIPI

Setelah pelaksanaan imunisasi dan observasi selama 60 menit, tidak didapatkan

siswa yang mengalami KIPI. Hanya terdapat seorang siswa yang mengeluh pusing

dan tampak pucat yang diperkirakan karena rasa takut akan imunisasi. Anak

tersebut segera membaik dengan pemberian makanan, minuman dan support

mental.

Tiga jam setelah imunisasi, seorang anak mengeluh bahu (regio deltoid)

mengalami pembengkakan dan nyeri. Setelah tim BIAS datang, dilakukan

pemeriksaan fisik, tidak didapatkan gangguan gerak, neurologis maupun vaskuler.

Pada palpasi didapatkan otot yang menegang dan nyeri tekan. Dilakukan kompres

dingin dan pemberian obat analgesik untuk mengurangi nyeri.

BAB V

26

Page 27: Mini Project BIAS

PEMBAHASAN

Program BIAS adalah program yang rutin dilakukan oleh Puskesmas Blora selaku

UPTD Kesehatan di wilayah Kecamatan Blora. Setiap tahun BIAS dilaksanakan

pada bulan Agustus untuk Campak dan pada bulan November untuk DT (kelas I)

dan Td (kelas II dan III). Pelayanan imunisasi di sekolah dikoordinir oleh tim

pembina UKS. Peran guru menjadi sangat strategis dalam memotivasi murid dan

orangtuanya. Ketidak hadiran murid pada saat pelayanan imunisasi akan

merugikan murid itu sendiri dan lingkungannya karena peluang untuk

memperoleh kekebalan melalui imunisasi tidak dimanfaatkan.

Dari sampel yang diambil dari siswa SDN Andongrejo 2, terdapat 5 anak

yang tidak diimunisasi, dengan cakupan imunisasi sebesar 93,2% kurang dari

target 100%. Keempat anak tidak masuk sekolah tanpa alasan yang jelas yang

diketahui oleh wali kelasnya. Sebagai catatan, keempatnya masuk sekolah sehari

sebelumnya. Berbagai asumsi seperti mungkin tidak adanya motivasi dari pihak

orangtua, sudah mendapat vaksin di tempat lain, sakit mendadak, dll.

Satu anak tidak mendapat vaksin karena sedang menderita ISPA.

Pemberian vaksin ditunda hingga kondisi anak pulih sepenuhnya. Penundaan

disebabkan karena pada saat kondisi anak sedang sakit, sistem imun sedang dalam

kondisi yang kurang optimal, sementara vaksin yang akan diberikan adalah jenis

imunisasi pasif yang memerlukan kemampuan sistem imun untuk membentuk

kekebalan terhadap antigen yang diinjeksikan.

Seorang anak mengalami KIPI berupa memar di regio deltoid. Terdapat

dua diagnosis banding yang mungkin, yaitu hematoma atau abses dingin.

Hematoma adalah diagnosis yang paling mungkin, dikarenakan kemungkinan

terpaparnya pembuluh vena terhadap jarum sputi saat melakukan injeksi sangat

mungkin terjadi. Vaksin sudah dihangat sesaat sebelum diinjeksikan, sehingga

diagnosis abses dingin dapat disingkirkan kemudian. Kompres dingin dilakukan

dengan segera untuk menciptakan vasokontriksi pembuluh darah di area injeksi

sehingga tidak memperberat hematoma. Pemberian antianalgesik berupa para-

27

Page 28: Mini Project BIAS

cetamol diberikan untuk mengurangi nyeri. Setelah dua hari tindak lanjut, anak

tersebut tidak mengeluh sakit dan bengkak telah mereda.

Tidak ditemukan kasus KIPI yang membutuhkan pelaporan pada

pelaksanaan BIAS di SDN Andongrejo 2.

28