lapsus litmin

39
BAB I PENDAHULUAN Nyeri dapat digambarkan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang sudah atau berpotensi terjadi, atau dijelaskan berdasarkan kerusakan tersebut. Definisi ini menghindari pengkorelasian nyeri dengan suatu rangsangan (stimulus). Definisi ini juga menekankan bahwa nyeri bersifat subjektif dan merupakan suatu sensasi sekaligus emosi. 1,2,3 Secara patologik nyeri dikelompokkan pada nyeri adaptif atau nyeri akut atau nyeri nosiseptif, dan nyeri maladaptif sebagai nyeri kronik juga disebut sebagai nyeri neuropatik serta nyeri psikologik atau nyeri idiopatik. Nyeri akut atau nosiseptif yang diakibatkan oleh kerusakan jaringan, merupakan salah satu sinyal untuk mempercepat perbaikan dari jaringan yang rusak. Sedangkan nyeri neuropatik disebut sebagai nyeri fungsional merupakan proses sensorik abnormal yang disebut juga sebagai gangguan sistem alarm. Nyeri idiopatik yang tidak berhubungan dengan patologi baik neuropatik maupun nosiseptif dan memunculkan gejala 1

Upload: deden-siswanto

Post on 04-Dec-2015

222 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

laporan kasus

TRANSCRIPT

Page 1: Lapsus Litmin

BAB I

PENDAHULUAN

Nyeri dapat digambarkan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional

yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang sudah atau

berpotensi terjadi, atau dijelaskan berdasarkan kerusakan tersebut. Definisi ini

menghindari pengkorelasian nyeri dengan suatu rangsangan (stimulus). Definisi ini

juga menekankan bahwa nyeri bersifat subjektif dan merupakan suatu sensasi

sekaligus emosi.1,2,3

Secara patologik nyeri dikelompokkan pada nyeri adaptif atau nyeri akut atau

nyeri nosiseptif, dan nyeri maladaptif sebagai nyeri kronik juga disebut sebagai nyeri

neuropatik serta nyeri psikologik atau nyeri idiopatik. Nyeri akut atau nosiseptif yang

diakibatkan oleh kerusakan jaringan, merupakan salah satu sinyal untuk mempercepat

perbaikan dari jaringan yang rusak. Sedangkan nyeri neuropatik disebut sebagai nyeri

fungsional merupakan proses sensorik abnormal yang disebut juga sebagai gangguan

sistem alarm. Nyeri idiopatik yang tidak berhubungan dengan patologi baik

neuropatik maupun nosiseptif dan memunculkan gejala gangguan psikologik

memenuhi somatoform seperti stres, depresi, ansietas dan sebagainya.1,2,3

Klasifikasi dari nyeri kronik digolongkan dalam 3 kategori : nyeri yang

disebabkan oleh penyakit atau kerusakan pada jaringan itu sendiri (nyeri nosiseptif,

seperti osteoarthritis), nyeri yang disebabkan oleh penyakit atau kerusakan sistem

somatosensori (nyeri neuropatik), dan gabungan antara nyeri nosiseptif dan

neuropatik (nyeri gabungan).1,2,3

International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri

neuropatik adalah nyeri yang dihasilkan dari penyakit atau kerusakan dari sistem

saraf perifer atau sentral, dan berasal dari kelainan fungsi sistem nervus. Awalnya,

nyeri neuropatik digunakan hanya untuk menggambarkan nyeri yang berhubungan

dengan neuropatik perifer, dan nyeri sentral pada lesi di sistem saraf pusat yang

1

Page 2: Lapsus Litmin

berhubungan dengan nyeri. Nyeri neurogenik menyangkut semua penyebab, baik

perifer maupun sentral.1,2,3

Nyeri neuropatik yang didefinisikan sebagai nyeri akibat lesi jaringan saraf baik

perifer maupun sentral bisa diakibatkan oleh beberapa penyebab seperti amputasi,

toksis (akibat khemoterapi) metabolik (diabetik neuropati) atau juga infeksi misalnya

herpes zoster pada neuralgia pasca herpes dan lain-lain. Nyeri pada neuropatik bisa

muncul spontan (tanpa stimulus) maupun dengan stimulus atau juga kombinasi.1,2,3

Neuralgia pasca herpes didefinisikan sebagai nyeri yang dirasakan di tempat

penyembuhan ruam, terjadi sekitar 9-15% pasien herpes zoster yang tidak diobati.

Dan pada pasien yang berumur tua memiliki resiko yang lebih tinggi.4

Herpes Zoster dikenal pula sebagai ‘shingles’ dapat menginfeksi sistem saraf

dengan reaktivasi dari virus ini. Infeksi ini menimbulkan erupsi kulit sepanjang

distribusi dermatomal yang terkena. Fenomena nyeri yang timbul dikenal sebagai

neuralgia paska herpetika. Biasanya gangguan sensorik dikarakteristikan sebagai

nyeri radikular dengan rasa terbakar, gatal, dan dapat sangat mengganggu kehidupan

penderitanya.5

Reaktivasi virus ini biasanya terjadi pada orang tua dan penderita dengan

imunitas menurun seperti pada kasus transplantasi organ atau kemoterapi untuk

kanker dan penderita HIV.5

2

Page 3: Lapsus Litmin

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Nyeri post herpetikum (Neuralgia Post Herpetik = NPH / Post Herpetic

Neuralgia = PHN) merupakan nyeri persisten yang muncul setelah ruam Herpes

Zoster telah sembuh (biasanya dalam 1 bulan). Nyeri ini terjadi disepanjang serabut

saraf yang mengikuti pola ruam segmental dari Herpes Zoster.3

Neuralgia ini dikarakteristikan sebagai nyeri seperti terbakar, teriris atau nyeri

disetetik yang bertahan selama berbulan-bulan bahkan dapat sampai tahunan.

Burgoon, 1957, mendefinisikan neuralgia paska herpetika sebagai nyeri yang

menetap setelah fase akut infeksi. Rogers, 1981, mendefinisikan sebagai nyeri yang

menetap satu bulan setelah onset ruam herpes zoster. Tahun 1989, Rowbotham

mendefinisikan sebagai nyeri yang menetap atau berulang setidaknya selama tiga

bulan setelah penyembuhan ruam herpes zoster. Dworkin, 1994, mendefinisikan

neuralgia paska herpetika sebagai nyeri neuropatik yang menetap setelah onset ruam

(atau 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster). Tahun 1999, Browsher

mendefinisikan sebagai nyeri neuropatik yang menetap atau timbul pada daerah

herpes zoster lebih atau sama dengan tiga bulan setelah onset ruam kulit. Dari

berbagai definisi yang paling tersering digunakan adalah definisi menurut Dworkin.

Sesuai dengan definisi sebelumnya maka The International Association for Study of

Pain (IASP) menggolongkan neuralgia post herpetika sebagai nyeri kronik yaitu nyeri

yang timbul setelah penyembuhan usai atau nyeri yang berlangsung lebih dari tiga

bulan tanpa adanya malignitas.6

NPH umumnya didefinisikan sebagai nyeri yang timbul lebih dari 3 bulan

setelah onset (gejala awal) erupsi zoster terjadi. Nyeri umumnya diekspresikan

sebagai sensasi terbakar (burning) atau tertusuk-tusuk (shooting) atau gatal (itching).

Nyeri ini juga dihubungkan dengan gejala yang lebih berat lagi seperti disestesia,

parestesia, hiperstesia, allodinia dan hiperalgesia. Pada pasien dengan NPH, biasanya

3

Page 4: Lapsus Litmin

terjadi perubahan fungsi sensorik pada area yang terkena. Pada satu penelitian,

hampir seluruh penderita memiliki area erupsi yang sangat sensitif terhadap nyeri,

dengan sensasi abnormal terhadap sentuhan ringan, nyeri atau temperature pada area

kulit yang terkena. Nyeri umumnya dipresipitasi oleh gerakan (allodinia mekanik)

atau perubahan suhu (allodinia termal). Sementara pada penelitian lainnya dinyatakan

bahwa derajat defisit sensorik berhubungan dengan beratnya nyeri. Selain itu, pasien

dengan NPH lebih cenderung mengalami perubahan sensorik dibanding penderita

dengan zoster yang sembuh tanpa neuralgia.7

2.2 Epidemiologi

Sebagian besar insidens herpes zoster dan neuralgia paska herpetika didapatkan

data dari Eropa dan Amerika Serikat. Sedangkan belum didapatkan angka insiden di

Asia, Australia dan Amerika Selatan.4

Pada penderita herpes zoster hampir 100 persen pasien mengalami nyeri, dan

10-70 persennya mengalami neuralgia pasca herpetika. Nyeri lebih dari 1 tahun pada

penderita berusia lebih dari 70 tahun dilaporkan mencapai 48%. Anak antara usia 5

dan 9 tahun mengambil 50% dari semua kasus, kebanyakan kasus lain timbul antara

usia 1 dan 4 tahun serta 10 dan 14 tahun. Sekitar 10% diatas usia 15 tahun. Pada

penderita HIV atau dengan leukemia dilaprkan 50-100 kali lebih banyak

dibandingkan dengan kelompok sehat usia sama.4,5

2.3 Etiologi

Virus zoster merupakan salah satu dari delapan virus herpes yang menginfeksi

manusia. Virus ini termasuk dalam famili herpesviridae. Struktur virus terdiri dari

sebuah icosahedral nucleocapsid yang dikelilingi oleh selubung lipid. Di tengahnya

terdapat DNA untai ganda. Virus varicella zoster memiliki diameter sekitar 180-200

nm.4,8

4

Page 5: Lapsus Litmin

Analisis endonuklease terbatas atas DNA virus pasien varicella yang kemudian

menderita herpes zoster membenarkan identitas molekul dua virus yang bertanggung

jawab untuk presentasi klinis yang berbeda ini.8

Gambar 1. Virus Varisella zoster

Setelah infeksi primer, virus ini akan tetap berada di dalam akar saraf sensorik

untuk hidup. Setelah reaktivasi, virus bermigrasi ke saraf sensoris pada kulit,

menyebabkan ruam karakteristik dermatomal yang menyakitkan. Setelah resolusi,

banyak individu terus mengalami nyeri pada distribusi dari ruam (postherpetic

neuralgia).5

2.4 Patogenesis

Gambar 2. Infeksi yang dilakukan oleh virus Varissela zooster

5

Page 6: Lapsus Litmin

A. Herpes Zoster

Patogenesis terjadinya herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi dari

virus varisella zoster yang hidup secara dorman di ganglion setelah paparan

pertama melalui system pernafasan. Imunitas seluler berperan dalam

pencegahan pemunculan klinis berulang virus varicella zoster dengan

mekanisme tidak diketahui. Hilangnya imunitas seluler terhadap virus

dengan bertambahnya usia atau status imunokompromis dihubungkan

dengan reaktivasi klinis. Saat terjadi reaktivasi, virus berjalan di sepanjang

akson menuju ke kulit. Pada kulit terjadi proses peradangan dan telah

mengalami denervasi secara parsial. Di sel-sel epidermal, virus ini

bereplikasi menyebabkan pembengkakan, vakuolisasi dan lisis sel sehingga

hasil dari proses ini terbentuk vesikel yang dikenal dengan nama ’Lipschutz

inclusion body’.4,5

Pada ganglion kornu dorsalis terjadi proses peradangan, nekrosis

hemoragik, dan hilangnya sel-sel saraf. Inflamasi pada saraf perifer dapat

berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan dan dapat

menimbulkan demielinisasi, degenerasi wallerian dan proses sklerosis.

Proses perjalanan virus ini menyebabkan kerusakan pada saraf.5

B. Nyeri

Proses terjadinya nyeri secara umum dapat dibagi menjadi 3 jenis :5

1. Proses stimulasi singkat

Pada jenis I, pukulan, cubitan pada tubuh dan lain sebagainya akan

menyebabkan timbulnya persepsi nyeri. Bila stimulasi yang terjadi tidak

menyebabkan terjadinya lesi, maka rasa nyeri yang terjadi hanya dalam

waktu singkat.

6

Page 7: Lapsus Litmin

2. Proses stimulasi yang berkepanjangan sehingga menyebabkan lesi atau

inflamasi jaringan.

Pada jenis II, adalah jenis nyeri oleh karena terjadinya inflamasi jaringan

atau dikenal sebagai nyeri nosiseptif. Ciri khas dari inflamasi ialah

terjadinya kalor, rubor, dolor dan fungsiolaesa.

3. Proses yang terjadi akibat lesi dari sistem saraf.

Pada Jenis III, dikenal sebagai nyeri neuropatik. Lesi saraf tepi atau

sentral akan mengakibatkan hilangnya fungsi seluruh atau sebagian dari

sistem saraf tersebut. Lesi saraf menyebabkan perubahan fungsi neuron

sensorik yang dalam keadaan normal dipertahankan secara aktif oleh

keseimbangan antara neuron dengan lingkungannya. Gangguan yang

terjadi dapat berupa gangguan keseimbangan neuron sensorik, melalui

perubahan molekuler, sehingga aktivitas sistem saraf aferen menjadi

abnormal yang selanjutnya menyebabkan gangguan nosiseptif sentral

(sensitisasi sentral).

Allodinia adalah nyeri yang disebabkan oleh stimulus normal (secara

normal semestinya tidak menimbulkan nyeri). Impuls yang dijalarkan Aβ

yang biasanya berupa sentuhan halus atau raba normal dirasakan dengan rasa

normal, tetapi pada allodinia diraakan nyeri.5

Nyeri pada neuralgia paska herpetika merupakan nyeri neuropatik

yang diakibatkan dari perlukaan saraf perifer sehingga terjadi perubahan

proses pengolahan sinyal pada sistem saraf pusat. Saraf perifer yang sudah

rusak memiliki ambang aktivasi yang lebih rendah sehingga menunjukkan

respon berlebihan terhadap stimulus. Regenerasi akson setelah perlukaan

menimbulkan percabangan saraf yang juga mengalami perubahan kepekaan.

Aktivitas saraf perifer yang berlebihan tersebut menimbulkan perubahan

berupa hipereksitabilitas kornu dorsalis sehingga pada akhirnya

menimbulkan respon sistem saraf pusat yang berlebihan terhadap semua

rangsang masukan/ sensorik. Perubahan ini berjalan dalam berbagai macam

7

Page 8: Lapsus Litmin

proses sehingga dapat dimengerti bila pendekatan terapeutik neuralgia paska

herpetika memerlukan beberapa macam pendekatan pula.5

2.5 Manifestasi Klinis

Tanda khas dari herpes zooster pada fase prodromal adalah nyeri dan

parasthesia pada daerah dermatom yang terkena. Dworkin membagi neuralgia post

herpetik ke dalam tiga fase:1,9,10

1. Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit. Biasanya

berlangsung < 4 minggu

2. Fase subakut: fase nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi < 4

bulan

3. Neuralgia post herpetik: dimana nyeri menetap > 4 bulan setelah onset lesi

kulit atau 3 bulan setelah penyembuhan lesi herpes zoster.

Pada umumnya penderita dengan herpes zoster berkunjung ke dokter ahli

penyakit kulit oleh karena terdapatnya gelembung-gelembung herpesnya. Keluhan

penderita disertai dengan rasa demam, sakit kepala, mual, lemah tubuh. 48-72 jam

kemudian, setelah gejala prodromal timbul lesi makulopapular eritematosa unilateral

mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat berubah bentuk menjadi lesi vesikular.

Nyeri yang timbul mempunyai intensitas bervariasi dari ringan sampai berat sehingga

sentuhan ringan saja menimbulkan nyeri yang begitu mengganggu penderitanya.

Setelah 3-5 hari dari awal lesi kulit, biasanya lesi akan mulai mengering. Durasi

penyakit biasanya 7-10 hari, tetapi biasanya untuk lesi kulit kembali normal

dibutuhkan waktu sampai berminggu-minggu.1,9,10

Penyakit ini dapat sangat mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang

ditimbulkan diperberat oleh rangsangan pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia

dan hiperalgesia. Nyeri yang dirasakan dapat mengacaukan pekerjaan si penderita,

tidur bahkan sampai mood sehingga nyeri ini dapat mempengaruhi kualitas hidup

jangka pendek maupun jangka panjang pasien. Nyeri dapat dirasakan beberapa hari

atau beberapa minggu sebelum timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang paling sering

8

Page 9: Lapsus Litmin

dilaporkan adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan

rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap

stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi

antara lain dengan stimulus ringan/ normal (allodinia), rasa gata-gatal yang tidak

tertahankan dan nyeri yang terus bertambah dalam menanggapi rangsang yang

berulang.1,9,10

Pada masa gelembung –gelembung herpes menjadi kering, orang sakit mulai

menderita karena nyeri hebat yang yang dirasakan pada daerah kulit yang terkena.

Nyeri hebat itu bersifat neuralgik. Di mana nyeri ini sangat panas dan tajam, sifat

nyeri neuralgik ini menyerupai nyeri neuralgik idiopatik, terutama dalam hal

serangannya yaitu tiap serangan muncul secara tiba – tiba dan tiap serangan terdiri

dari sekelompok serangan – serangan kecil dan besar. Orang sakit dengan keluhan

sakit kepala di belakang atau di atas telinga dan tidak enak badan. Tetapi bila

penderita datang sebelum gelembung – gelembung herpes timbul, untuk meramalkan

bahwa nanti akan muncul herpes adalah sulit sekali. Bedanya dengan neuralgia

trigeminus idiopatik ialah adanya gejala defisit sensorik. Dan fenomena paradoksal

inilah yang menjadi ciri khas dari neuralgia post herpatik, yaitu anestesia pada tempat

– tempat bekas herpes tetapi pada timbulnya serangan neuralgia, justru tempat –

tempat bekas herpes yang anestetik itu yang dirasakan sebagai tempat yang paling

nyeri. Neuralgia post herpatik sering terjadi di wajah dan kepala. Jika terdapat di dahi

dinamakan neuralgia postherpatikum oftalmikum dan yang di daun telinga neuralgia

postherpatikum otikum.1,9,10

Manifestasi klinis klasik yang terjadi pada herpes zoster adalah gejala

prodromal rasa terbakar, gatal dengan derajat ringan sampai sedang pada kulit sesuai

dengan dermatom yang terkena. Biasanya keluhan penderita disertai dengan rasa

demam, sakit kepala, mual, lemah tubuh. 48-72 jam kemudian, setelah gejala

prodromal timbul lesi makulopapular eritematosa unilateral mengikuti dermatom

kulit dan dengan cepat berubah bentuk menjadi lesi vesikular. Nyeri yang timbul

mempunyai intensitas bervariasi dari ringan sampai berat sehingga sentuhan ringan

9

Page 10: Lapsus Litmin

saja menimbulkan nyeri yang begitu mengganggu penderitanya. Setelah 3-5 hari dari

awal lesi kulit, biasanya lesi akan mulai mengering. Durasi penyakit biasanya 7-10

hari, tetapi biasanya untuk lesi kulit kembali normal dibutuhkan waktu sampai

berminggu-minggu. Intensitas dan durasi dari erupsi kulit oleh karena infeksi herpes

zoster dapat dikurangi dengan pemberian acyclovir (5x800mg/hari) atau dengan

famciclovir atau valacyclovir. Manifestasi klinis neuralgia paska herpetika adalah

penyakit yang dapat sangat mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang

ditimbulkan diperberat oleh rangsangan pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia

dan hiperalgesia. Nyeri yang dirasakan dapat mengacaukan pekerjaan si penderita,

tidur bahkan sampai mood sehingga nyeri ini dapat mempengaruhi kualitas hidup

jangka pendek maupun jangka panjang pasien. Nyeri dapat dirasakan beberapa hari

atau beberapa minggu sebelum timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang paling sering

dilaporkan adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan

rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap

stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi

antara lain dengan stimulus ringan/ normal (allodinia), rasa gata-gatal yang tidak

tertahankan dan nyeri yang terus bertambah dalam menanggapi rangsang yang

berulang.1,9,10

2.6 Penatalaksanaan

Secara umum terapi yang dapat kita lakukan terhadap kasus penderita dengan

neuralgia paska herpetika dibagi menjadi dua jenis, yaitu terapi farmakologis dan

terapi non farmakologis.1,11,12

a. Terapi farmakologis:1,11,12

1. Antivirus

Intensitas dan durasi erupsi kutaneus serta nyeri akut pada herpes zoster

yang timbul akibat dari replikasi virus dapat dikurangi dengan pemberian

asiklovir, Valacyclovir, Famciclovir. Asiklovir diberikan dengan dosis

anjuran 5 x 800 mg/hari selama 7 – 10 hari diberikan pada 3 hari pertama

10

Page 11: Lapsus Litmin

sejak lesi muncul.Efek samping yang dapat ditemukan dalam penggunaan

obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala, diare, pusing, lemah,

anoreksia, edema, dan radang tenggorokan. Valasiklovir diberikan dengan

dosis anjuran 1 mg/hari selama 7 hari secara oral. Efek samping yang

dapat ditemukan da;lam penggunaan obat ini adalah mual, muntah, sakit

kepala, dan nyeri perut. Famsiklovir diberikan dengan dosis anjuran 500

mg/hari selama 7 hari selama 7 hari. Efek samping dalam penggunaan

opbat ini adalah mual, muntah, sakit kepala, pusing, nyeri.

2. Analgesik

Terapi sistemik umumnya bersifat simptomatik, untuk nyerinya diberikan

analgetik. Jika diserta infeksi sekunder deberikan antibiotic. Analgesik

non opioid seperti NSAID dan parasetamol mempunyai efek analgesik

perifer maupun sentral walaupun efektifitasnya kecil terhadap nyeri

neuropatik. Sedangkan penggunaan analgesik opioid memberikan

efektifitas lebih baik. Tramadol telah terbukti efektif dalam pengobatan

nyeri neuropatik. Bekerja sebagai agonis mu-opioid yang juga

menghambat reuptake norepinefrin dan serotonin. Pada sebuah penelitian,

jika dosis tramadol dititrasi hingga maksimum 400 mg/hari dibagi dalam

4 dosis. Namun, efek pada sistem saraf pusat dapat menimbulkan

terjadinya amnesia pada orang tua. Hal yang harus diperhatikan bahwa

pemberian opiat kuat lebih baik dikhususkan pada kasus nyeri yang berat

atau refrakter oleh karena efek toleransi dan takifilaksisnya. Dosis yang

digunakan maksimal 60 mg/hari. 1,22. Oxycodone berdasarkan penelitian

menunjukkan efek yang lebih baik dibandingkan plasebo dalam

meredakan nyeri, allodinia, gangguan tidur, dan kecacatan.

3. Anti epilepsi

Mekanisme kerja obat epilepsi ada 3, yakni dengan 1) memodulasi

voltage-gated sodium channel dan kanal kalsium, 2) meningkatkan efek

inhibisi GABA, dan 3) menghambat transmisi glutaminergik yang

11

Page 12: Lapsus Litmin

bersifat eksitatorik. Gabapentin bekerja pada akson terminal dengan

memodulasi masuknya kalsium pada kanal kalsium, sehingga terjadi

hambatan. Karena bekerja secara sentral, gabapentin dapat menyebabkan

kelelahan, konfusi, dan somnolen. Dosis yang dianjurkan sebesar 1800-

3600 mg/d . Karbamazepin, lamotrigine bekerja pada akson terminal

dengan memblokade kanal sodium, sehingga terjadi hambatan. Pregabalin

bekerja menyerupai gabapentin. Onset kerjanya lebih cepat. Seperti

halnya gabapentin, pregabalin bukan merupakan agonis GABA namun

berikatan dengan subunit dari voltage-gated calcium channel, sehingga

mengurangi influks kalsium dan pelepasan neurotransmiter (glutamat,

substance P, dan calcitonin gene-related peptide) pada primary afferent

nerve terminals. Dikatakan pemberian pregabalin mempunyai efektivitas

analgesik baik pada kasus neuralgia paska herpetika, neuropati

diabetikorum dan pasien dengan nyeri CNS oleh karena trauma medulla

spinalis. Didapatkan pula hasil perbaikan dalam hal tidur dan ansietas.

4. Anti depressan

Anti depressan trisiklik menunjukkan peran penting pada kasus neuralgia

paska herpetika. Obat golongan ini mempunyai mekanisme memblok

reuptake (pengambilan kembali) norepinefrin dan serotonin. Obat ini

dapat mengurangi nyeri melalui jalur inhibisi saraf spinal yang terlibat

dalam persepsi nyeri. Pada beberapa uji klinik obat antidepressan trisiklik

amitriptilin, dilaporkan 47-67% pasien mengalami pengurangan nyeri

tingkat sedang hingga sangat baik. Amitriptilin menurunkan reuptake

saraf baik norepinefrin maupun serotonin. dengan pemberian tricyclic

antidepressant seperti amiitriptyline dengan dosis, 25-150 mg/d secara

oral. Obat ini akan lebih efektif bila dikombinasikan dengan phenitiazine.

TCA telah terbukti efektif dalam pengobatan nyeri neuropatik dibanding

SSRI (selective serotonine reuptake inhibitor) seperti fluoxetine,

paroxetine, sertraline, dan citalopram. Alasannya mungkin dikarenakan

12

Page 13: Lapsus Litmin

TCA menghambat reuptake baik serotonin maupun norepinefrin,

sedangkan SSRI hanya menghambat reuptake serotonin. Efek samping

TCA berupa sedasi, konfusi, konstipasi, dan efek kardiovaskular seperti

blok konduksi, takikardi, dan aritmia ventrikel. Obat ini juga dapat

meningkatkan berat badan, menurunkan ambang rangsang kejang, dan

hipotensi ortostatik. Anti depressan yang biasa digunakan untuk kasus

neuralgia pot herpetika adalah amitriptilin, nortriptiline, imipramine,

desipramine dan lainnya.

5. Terapi topikal

Anestesi lokal memodifikasi konduksi aksonal dengan menghambat

voltage-gated sodium channels. Inaktivasi menyebabkan hambatan

terhadap terjadinya impuls ektopik spontan. Obat ini bekerja lebih baik

jika kerusakan pada neuron hanya terjadi sebagian, fungsi nosiseptor tetap

ada, dan adanya jumlah kanal sodium yang berlebih. Mekanisme lainnya

adalah dengan memodifikasi aktivitas NMDA.

Lidokain topikal merupakan obat yang sering diteliti dengan hasil yang

baik dalam mengobati nyeri neuropatik. Sebuah studi menunjukkan efek

yang baik dengan penggunaan lidocaine patch 5% untuk pengobatan

NPH. Obat ini ditempatkan pada daerah simtomatik selama 12 jam dan

dilepas untuk 12 jam kemudian. Obat ini dapat digunakan selama

bertahun-tahun dan dipakai sebagai pilihan terapi tambahan pada pasien

orang tua. Penggunaan krim topikal seperti capsaicin cukup banyak

dilaporkan. Krim capsaicin sampai saat ini adalah satu-satunya obat yang

disetujui FDA untuk neuralgia paska herpetika. Capsaicin berefek pada

neuron sensorik serat C (C-fiber). Telah diketahui bahwa neuron ini

melepaskan neuropeptida inflamatorik seperti substansia P yang

menginisiasi nyeri. Dengan dosis tinggi, capsaicin mendesensitisasi

neuron ini. Tetapi sayangnya capsaicin mempunyai efek sensasi rasa

13

Page 14: Lapsus Litmin

terbakar yang sering tidak bisa ditoleransi pemakainya (1/3 pasien pada

uji klinik ini).

b. Terapi non farmakologis1,11,12

1. Akupunktur

Akupunktur banyak digunakan sebagai terapi untuk menghilangkan nyeri.

Terdapat beberapa penelitian mengenai terapi akupunktur untuk kasus

neuralgia paska herpetika. Namun penelitian-penelitian tersebut masih

menggunakan jumlah kasus tidak terlalu banyak dan terapi tersebut

dikombinasi pula dengan terapi farmakologis.

2. TENS (stimulasi saraf elektris transkutan)

Penggunaan TENS dilaporkan dapat mengurangi nyeri secara parsial

hingga komplit pada beberapa pasien neuralgia paska herpetik. Tetapi

penggunaan TENS-pun dianjurkan hanya sebagai terapi adjuvan/

tambahan disamping terapi farmakologis.

3. Vaksin

Penggunaan vaksin untuk mencegah timbulnya Neuralgia Postherpertika

pada orang lanjut usia yaitu umur 60 tahun keatas dengan dosis 1 ml

diberikan secara sub kutan ternyata efektif. Dari 107 orang yang

menderita neuralgia post herpetika kemudian diberikan vaksin ternyata

dapat mereduksi nyeri yang ditimbulkan hingga 66,5 %.

2.7 Pencegahan

Cara mencegah Nyeri Post Herpetikum ini adalah dengan mencegah

terinfeksinya virus Zoster itu sendiri.13 Pencegahan neuralgia pascaherpetika dapat

diusahakan dengan kombinasi agen antiviral dan usaha agresif mengurangi nyeri akut

pada pasien herpes zoster. Kombinasi ini diharapkan akan mengurangi kerusakan

saraf dan nyeri akut. Terapi antiviral harus dimulai segera setelah diagnosis

ditegakkan, dan lebih baik jika dimulai pada tiga atau empat hari pertama. Terapi

antiviral diharapkan dapat menghentikan replikasi virus, sehingga durasi penyakit

14

Page 15: Lapsus Litmin

akan lebih singkat, dan menurunkan kejadian neuralgia pascaherpetika. Antiviral

yang dapat digunakan adalah asiklovir, valasiklovir, atau famsiklovir. Terapi

analgetika akan mengurangi nyeri yang merupakan faktor risiko utama neuralgia

pascaherpetika.10,14

Telah dikembangkan vaksin pencegahan herpes zoster yang direkomendasikan

oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) bagi mereka yang berusia 60

tahun atau lebih. Dalam penelitian klinis yang melibatkan ribuan lansia berusia 60

tahun atau lebih, vaksin ini mengurangi risiko herpes zoster sebesar 51% dan risiko

neuralgia pascaherpetika sebesar 67%. Efek proteksi vaksin ini dilaporkan dapat

mencapai 6 tahun atau bahkan lebih.9,14 Selain itu, The United States Advisory

Committee on Immunization Practices (ACIP) juga telah merekomendasikan lansia

diatasumur 60 tahun untuk memperoleh vaksin herpes zoster ini sebagai bagian dari

perawatan kesehatan rutin.15 Vaksin Oka-strain hidup baru-baru ini telah disetujui

oleh Food and Drug Administration untuk mencegah Varicella.13,16

2.8 Prognosis

Sindrom nyeri yang timbul pada PNH ini cenderung beresolusi denagn lambat.

Pada pasien-pasien dengan PNH, kebanyakan berespon dengan baik terhadap obat-

obatan analgesik, seperti pada antidepressan trisiklik, namun pada sebagian kasus,

nyeri yang dirasakan semakin memburuk dan tidak berespon terhadap terapi yang

diberikan.17

Umumnya prognosisnya baik, di mana ini bergantung pada tindakan perawatan

sejak dini. pada umumnya pasien dengan neuralgia post herpetika respon terhadap

analgesik seperti antidepressan trisiklik. Jika terdapat pasien dengan nyeri yang

menetap dan lama dan tidak respon terhadap terapi medikasi maka diperlukan

pencarian lanjutan untuk mencari terapi yang sesuai.17

Prognosis ad vitam dikatakan bonam karena neuralgia paska herpetik tidak

menyebabkan kematian. Kerusakan yang terjadi bersifat lokal dan hanya

mengganggu fungsi sensorik. Prognosis ad functionam dikatakan bonam karena

15

Page 16: Lapsus Litmin

setelah terapi didapatkan perbaikan nyata, dan pasien dapat beraktivitas baik seperti

biasa.17

Prognosis ad sanactionam bonam karena walaupun risiko berulangnya HZ

masih mungkin terjadi sebagaimana disebutkan dari literatur, selama pasien

mempunyai daya tahan tubuh baik kemungkinan timbul kembali kecil.17

16

Page 17: Lapsus Litmin

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Bawon

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 73 tahun

Alamat : Air kumbang padang permata, banyuasin

Agama : Islam

Tanggal Pemeriksaan : 22 September 2014

3.2 Anamnesa

Diperoleh secara autoanamnesis pada tanggal 22 September 2014 , pukul 10.30

WIB.

A. Keluhan Utama

Nyeri di luka bekas herpes zoster sejak 1 bulan yang lalu

B. Keluhan Tambahan

Nyeri semakin lama semakin bertambah sehingga menganggu tidur

C. Riwayat Perjalanan Penyakit

Lebih kurang 12 minggu yang lalu os mengeluh kepala pusing disertai badan

teras pegal serta nyeri otot dan tulang, dua hari kemudian timbul bintil berisi

cairan berkelompok yang awalnya di dada kiri kemudian menjalar ke

punggung kiri, pinggir merah, terasa nyeri dan panas seperti terbakar.

Lebih kurang 11 minggu yang lalu os mengaku bintil bertambah banyak

kemudian os berobat ke RSK dr Rivai Abdullah dan dirawat inap selama 15

hari dengan diagnosa herpes zoster.

Lebih kurang 4 minggu yang lalu os mengeluh nyeri seperti disilet-silet di

daerah luka bekas herpes zoster. Nyeri dirasakan sepanjang waktu, namun

intensitas nyeri sering meningkat dengan sentuhan ringan seperti gesekan

17

Page 18: Lapsus Litmin

baju, nyeri mengganggu aktivitas, tidak disertai gatal. Pasien sudah berobat

ke puskesmas dan diberi obat pil bulat kecil berwarna putih, pil lonjong

berwarna putih yang dimunum 3 kali sehari. Namun tetap tidak

menghilangkan nyeri. Riwayat demam disangkal, keluhan lemah dan linu

pada anggota gerak disangkal.

D. Riwayat Penyakit Dahulu

Keluhan seperti ini baru pertama kali dirasakan oleh penderita.

E. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga yang menderita keluhan yang sama

3.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum: Baik

Tanda vital

- Kesadaran : Compos Mentis

- Tekanan Darah : 120/80 mmHg

- Nadi : 89 x/menit

- Suhu : 36,8 0C

- Pernapasan : 23 x/menit

1. Status Generalisata

a. Kepala

- Wajah : mongoloid

- Mata : konjungtiva anemis (-)/(-), sklera ikterik (-)/(-)

- Hidung : sekret (-)/(-)

- Telinga : sekret (-)/(-)

b. Leher

- JVP 5-2 cmH2O

18

Page 19: Lapsus Litmin

- Pembesaran tiroid (-)

- Pembesaran KGB (-)

c. Thorax

- Pulmo

Inspeksi : simetris, interkosta tidak melebar, retraksi tidak ada

Palpasi : vokal fremitus dextra = sinistra

Perkusi : sonor pada semua lapang paru

Auskultasi : vesikuler (+)/(+) normal, wheezing (-)/(-), ronki (-)/(-)

- Cor

Inspeksi : iktus kordis tidak tampak

Palpasi : teraba iktus kordis pada ICS IV linea aksilaris anterior

sinistra

Perkusi

batas atas : ICS II linea mid klavicularis sinistra

batas kanan : ICS IV linea parasternalis dextra

batas kiri : ICS IV-V linea aksilaris anterior sinistra

Auskultasi : S1/S2 normal, gallop (-), murmur (-)

d. Abdomen

- Inspeksi : datar, lemas

- Palpasi : teraba massa (-), nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), hepar

lien tidak teraba

- Perkusi : timpani

- Auskultasi : BU (+) normal

e. Ekstremitas

- Superior : tidak ada kelainan fungsi pergerakan maupun

deformitas

- Inferior : tidak ada kelainan fungsi pergerakan maupun

deformitas

2. Status Dermatologikus

19

Page 20: Lapsus Litmin

Ad Regio : Regio thoracal sinistra posterior et inferior, regio axilaris sinistra

Lesi : Tampak patch hiperpigmentasi, multiple, berbatas tegas, ukuran

plaque, tersebar diskret.

3.4 Resume

Lebih kurang 12 minggu yang lalu os mengeluh kepala pusing disertai badan

teras pegal serta nyeri otot dan tulang, dua hari kemudian timbul bintil berisi cairan

berkelompok yang awalnya di dada kiri kemudian menjalar ke punggung kiri, pinggir

merah, terasa nyeri dan panas seperti terbakar.

Lebih kurang 11 minggu yang lalu os mengaku bintil bertambah banyak

kemudian os berobat ke RSK dr Rivai Abdullah dan dirawat inap selama 15 hari

dengan diagnosa herpes zoster.

Lebih kurang 4 minggu yang lalu os mengeluh nyeri seperti disilet-silet di

daerah luka bekas herpes zoster. Nyeri dirasakan sepanjang waktu, namun intensitas

nyeri sering meningkat dengan sentuhan ringan seperti gesekan baju, nyeri

mengganggu aktivitas, tidak disertai gatal. Pasien sudah berobat ke puskesmas dan

diberi obat pil bulat kecil berwarna putih, pil lonjong berwarna putih yang dimunum

3 kali sehari. Namun tetap tidak menghilangkan nyeri. Riwayat demam disangkal,

keluhan lemah dan linu pada anggota gerak disangkal.

Keluhan seperti ini baru pertama kali dirasakan oleh penderita. Tidak ada

keluarga yang memiliki keluhan yang sama.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan status generalis dalam batas normal. Untuk

pemeriksaan dermatologis didapatkan pada regio thoracal sinistra posterior et inferior

dan regio axilaris sinistra, tampak patch hiperpigmentasi, multiple, berbatas tegas,

ukuran plaque, tersebar diskret.

3.5 Diagnosis banding

20

Page 21: Lapsus Litmin

1. Post Herpetic Neuralgia

2. Miositis

3. Pleuritis

3.6 Diagnosis Kerja

Post Herpetic Neuralgia

3.7 Penatalaksanaan

Melfinal 3x500 mg

Sangobion 3x1

Bcom C 1x1

3.8 Prognosis

Quo ad Vitam : ad bonam

Quo ad fungtionam : ad bonam

Quo ad sanationam : ad bonam

BAB IV

21

Page 22: Lapsus Litmin

PEMBAHASAN

Nyeri Post Herpetikum adalah suatu kondisi nyeri yang dirasakan di bagian

tubuh yang pernah terserang infeksi herpes zoster. Herpes zoster sendiri merupakan

suatu reaktivasi virus Varicella yang berdiam di dalam jaringan saraf.

NPH  dapat  diklasifikasikan  menjadi neuralgia herpetik akut (30 hari setelah

timbulnya ruam pada kulit), neuralgia herpetik subakut (30-120 hari

setelah timbulnya  ruam  pada  kulit)  dan  NPH  (rasa  sakit yang terjadi  setidaknya  

120  hari  setelah  timbulnya  ruam  pada kulit).

Tabel 4.1. Anamnesis secara teori dan kasus.

AnamnesisTeori Kasus

- NPH lebih banyak menyerang lansia dan orang dengan kekebalan tubuh yang rendah

- Sindroma neuralgia pasca-herpes dikenali secara tunggal dengan adanya nyeri setelah seorang menderita herpes zoster, baik dengan maupun tanpa interval bebas nyeri.

- Manifestasi klinis yang sering di jumpai adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik.

- 73 tahun

- Herpes zoster 12 minggu yang lalu

- Pada pasien ditemukan nyeri seperti disilet-silet, intensitas nyeri sering meningkat dengan sentuhan ringan seperti gesekan baju.

Tabel 4.2 Diagnosis Banding

22

Page 23: Lapsus Litmin

Diagnosis Banding

PHN Miositis Pleuritis

- NPH lebih banyak menyerang lansia dan orang dengan kekebalan tubuh yang rendah

- Sindroma neuralgia pasca-herpes dikenali secara tunggal dengan adanya nyeri setelah seorang menderita herpes zoster, baik dengan maupun tanpa interval bebas nyeri.

- Manifestasi klinis yang sering di jumpai adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik.

-

- Radang serabut otot yang merupakan reaksi radang yang disebabkan oleh trauma, atau berubah menjadi radang bernanah bila didahului perlukaan

- Manifestasi klinis yang dijumpai adalah demam dan tanda-tanda radang (merah, bengkak, panas, nyeri dan fungsio lesa),

-

- Radang pleura yang ditandai perubahan proses bernafas yang intensitasnya tergantung pada beratnya proses radang.

- Manifestasi klinis yang ditemukan adalah nyeri pada dada terutama saat bernapas, sesak napas, perasaan ditikam dan batuk.

Tabel 4.3 Penatalaksanaan

23

Page 24: Lapsus Litmin

DAFTAR PUSTAKA

24

Page 25: Lapsus Litmin

1. Rabey M, M. Manip. Post-herpetic Neuralgia: Possible Mechanisms for Pain Relief with Manual Therapy. 2003. London: Science Direct. p180-184.

2. Turk D, Ronald M. Handbook of Pain Assessment. Edisi 2. 2001. London: The Guilford Press.

3. Aminoff M, Francois B, Dick F. Postherpetic Neuralgia; dalam Handbook of Clinical Neurology. Editor: C Peter. Volume 81. Edisi 3. 2006. Canada: Elsevier. p654-674.

4. Meliala L. Neuralgia Pasca Herpes. Nyeri Neuropatik patofisiologi dan penatalaksanaan. Kelompok studi nyeri Perdossi 2001.

5. Martin. Neuralgia Paska Herpetika. Jakarta 2008 available from: http://perdossijaya.org/perdossijaya/index.php?view=article&catid=43%3Apaper&id

6. Dubinsky R, et al. Practice Parameter: Treatment of Postherpetic Neuralgia. 2004. American Academy of Neurology. p959-965.

7. Alvin W. Postherpetic Neuralgia; dalam Medscape Reference. Editor: Robert A. 2012.

8. Mazzoni, P. Pearson, T. Rowland, L. Merritt’s Neurology Handbook. 2nd Edition. Lippincott Williams & Wilkins : 2006.

9. Panlilio L, Paul J, Srinivasa N. Current Management of Postherpetic Neuralgia; dalam The Neurologist. Volume 8. 2002. Baltimore. p339-350.

10. Regina, Lorettha W. Neuralgia Pascaherpetika. Volume 39. 2012. Jakarta. p416-419.

11. Alvin W. Postherpetic Neuralgia Medication; dalam Medscape Reference. Editor: Robert A. 2012.

12. Dworkin R, Kanneth E. Treatment and Prevention of Postherpetic Neuralgia. 2003. New York: Clinical Infectious Disease. p877-882.

13. Roxas M. Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia: Diagnosis and Therapeutic Considerations. Volume 11. 2006. Alternative Medicine Review. p102-111.

14. Gharibo C, Carolyn K. Neuropathic Pain of Postherpetic Neuralgia. 2011. New York: Pain Medicine News. p84-91.

15. Vorvick L. Shingles; dalam Medline Plus. 2012. 16. Department of Neurological Surgery. Postherpetic Neuralgia. 2013. New

York: Columbia Neurosurgery.17. Alvin W. Postherpetic Neuralgia Follow-up; dalam Medscape Reference. Editor:

Robert A. 2012.

25