lapsus ditha

Upload: era-moetz

Post on 04-Jun-2018

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/13/2019 Lapsus Ditha

    1/39

    1

    BAB 1

    PENDAHULUAN

    Sindroma kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan

    intertisial di dalam ruangan yang terbatas, yaitu di dalam kompartemen osteofasial yang

    tertutup. Tujuan dari terapi sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit fungsi

    neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, biasanya dengan bedah

    dekompresi. Tindakan non operatif tertentu mungkin bisa berhasil, seperti menghilangkan

    selubung eksternal. Jika hal tersebut tidak berhasil maka tindakan operasi dekompresi perlu

    dipertimbangkan. Indikasi mutlak untuk operasi dekompresi sulit untuk ditentukan, tiap

    pasien dan tiap sindrom kompartemen memiliki individualitas yang berpengaruh pada carauntuk menindakinya. Berbeda dengan kompleksitas diagnosis, terapi kompartemen sindrom

    sederhana yaitu fasciotomi kompartemen yang terlibat. Walaupun fasciotomi disepakati

    sebagai terapi yang terbaik, namun beberapa hal, seperti timing, masih diperdebatkan.

    Semua ahli bedah setuju bahwa adanya disfungsi neuromuskular adalah indikasi mutlak

    untuk melakukan fasciotomi (Fette, 2012; Swiontkowski, 2001).

    Lokasi yang dapat mengalami sindrom kompartemen telah ditemukan di : tangan,

    lengan bawah, lengan atas, perut, pantat, dan seluruh ekstremitas bawah. Hampir semuacedera dapat menyebabkan sindrom ini, termasuk cedera akibat olahraga berat. Hal yang

    paling penting dokter didesak untuk selalu waspada ketika berhadapan dengan keluhan

    nyeri pada ekstremitas (Mabvuure et al,2012).

    .

  • 8/13/2019 Lapsus Ditha

    2/39

    2

    BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    DEFINISI

    Sindroma kompartemen merupakan suatu kondisi dimana terjadi penekanan

    terhadap syaraf, pembuluh darah dan otot didalam kompatement osteofasial yang tertutup.

    Hal ini mengawali terjadinya peningkatan tekanan interstisial, kurangnya oksigen dari

    penekanan pembuluh darah, dan diikuti dengan kematian jaringan. Dapat dibagi menjadi

    akut, subakut dan kronik. Sindroma kompartemen akut termasuk dalam kedaruratan medik

    dan biasanya disebabkan karena cedera berat seperti fraktur, trauma jaringan lunak,

    kerusakan pada arteri dan luka bakar. Sedangkan sindroma kompartemen kronik biasanya

    disebabkan oleh aktivitas yang berulang-ulang, disebut juga Chronic Exertional

    Compartment Syndrome (CECS) misalnya pada pelari jarak jauh, pemain sepakbola, dan

    pemain basket (Fette, 2012; Swiontkowski, 2001).

    ANATOMI

    Kompartemen osteofasial merupakan ruangan yang berisi otot, syaraf dan pembuluh darah

    yang dibungkus oleh tulang dan fasia serta otot-otot yang masing-masing dibungkus oleh

    epimisium.

    Secara anatomi, sebagian besar kompartemen terletak dianggota gerak. Berdasarkan

    letaknya, kompartemen terdiri dari beberapa macam, antara lain:

    1. Anggota gerak atas

    Lengan atas : terdapat kompartemen anterior dan posterior

    Lengan bawah : terdapat tiga kompartemen , yaitu flexor superfisial, fleksor

    profundus dan ekstensor

    2. Anggota gerak bawah

    Tungkai atas; terdapat tiga kompartemen, yaitu : anterior, medial dan

    posterior

  • 8/13/2019 Lapsus Ditha

    3/39

    3

    Tungkai bawah : tedapat empat kompartemen, yaitu : kompartemen anterior,

    lateral, posterior superfisial, dan posterior profundus

    Sindrom kompartemen paling sering terjadi pada daerah tungkai bawah (yaitu

    kompartemen anterior, lateral, posterior superfisial dan posterior profundus) serta lenganatas (kompartemen volar dan dorsal).

  • 8/13/2019 Lapsus Ditha

    4/39

  • 8/13/2019 Lapsus Ditha

    5/39

    5

    EPIDEMIOLOGI

    Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh McQueen, ditemukan insidens

    terjadinya sindroma kompartemen akut setiap tahun sekitar 7,3 per 100.000 untuk pria dan

    0,7 per 100.000 untuk wanita. Di Amerika, prevalensi sesungguhnya dari sindroma

    kompartemen belum diketahui. Namun sebuah penelitian menunjukkan angka kejadian

    Chronic Exertional Compartment Syndrome (CECS) sebesar 14% pada individu yang

    mengeluh nyeri tungkai bawah. Laki-laki dan perempuan presentasinya adalah sama dan

    biasanya bilateral meskipun dapat juga unilateral. Chronic Exertional Compartment

    Syndrome (CECS) biasanya terjadi pada atlet yang sehat dan lebih muda dari 40 tahun

    (Mabvuure et al,2012).

  • 8/13/2019 Lapsus Ditha

    6/39

  • 8/13/2019 Lapsus Ditha

    7/39

    7

    Latihan atau obstruksi vena

    Penggunaan otot yang berlebihan

    Penggunaan traksi yang berlebihan

    Gigitan ularSejauh ini penyebab sindroma kompartemen yang paling sering adalah cedera,

    dimana 45 % kasus terjadi akibat fraktur, dan 80% darinya terjadi di anggota gerak bawah.

    Dalam keadaan kronik, gejala juga timbul akibat aktifitas fisik berulang seperti berenang, lari

    ataupun bersepeda sehingga menyebabkan exertional compartment syndrome. Namun hal

    ini bukan merupakan keadaan emergensi (Mabvuure et al,2012.; Swiontkowski, 2001; AAOS,

    2009).

    FAKTOR RESIKO

    Berikut merupakan beberapa pasien yang membutuhkan perhatian khusus :

    1. Pasien dengan fraktur tibial (diaphisis), khususnya laki laki dewasa muda.

    2. Pasien dewasa muda dengan luka berat pada diaphysis lengan bawah atau radius

    distal.

    3. Pasien dengan fraktur metaphysic tibia

    4. Dewasa muda dengan cedera jaringan lunak atau kelainan perdarahan5. Anak anak

    6. Pengguna obat-obatan

    (Mabvuure, 2012)

    PATOGENESIS

    Sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan lokal normal yang

    menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan aliran darah kapiler, dan nekrosisjaringan lokal yang disebabkan hipoksia. Tanpa memperhatikan penyebabnya, peningkatan

    tekanan jaringan menyebabkan obstruksi vena dalam ruang yang tertutup. Peningkatan

    tekanan secara terus menerus menyebabkan tekanan arteriolar intramuskuler bawah

    meninggi. Pada titik ini, tidak ada lagi darah yang akan masuk ke kapiler sehingga

  • 8/13/2019 Lapsus Ditha

    8/39

    8

    menyebabkan kebocoran ke dalam kompartemen, yang diikuti oleh meningkatnya tekanan

    dalam kompartemen. Penekanan terhadap saraf perifer disekitarnya akan menimbulkan

    nyeri hebat. Metsen mempelihatkan bahwa bila terjadi peningkatan intrakompartemen,

    tekanan vena meningkat. Setelah itu, aliran darah melalui kapiler akan berhenti. Dalam

    keadaan ini penghantaran oksigen juga akan terhenti, Sehingga terjadi hipoksia jaringan

    (pale). Jika hal ini terus berlanjut, maka terjadi iskemia otot dan nervus, yang akan

    menyebabkan kerusakan ireversibel komponen tersebut. Terdapat tiga teori yang

    menyebabkan hipoksia pada kompartemen sindrom yaitu, antara lain:

    Spasme arteri akibat peningkatan tekanan kompartemen

    Theori of critical closing pressure.

    Hal ini disebabkam oleh diameter pembuluh darah yang kecil dan tekananmural arteriol yang tinggi. Tekanan transmural secara signifikan berbeda ( tekanan

    arterioltekanan jaringan), ini dibutuhkan untuk memelihara patensi aliran darah. Bila

    tekanan tekanan jaringan meningkat atau tekanan arteriol menurun maka tidak ada

    lagi perbedaan tekanan. Kondisi seperti ini dinamakan dengan tercapainya critical

    closing pressure. Akibat selanjutnya adalah arteriol akan menutup

    Tipisnya dinding vena

    Karena dinding vena itu tipis, maka ketika tekanan jaringan melebihi tekananvena maka ia akan kolaps. Akan tetapi bila kemudian darah mengalir secara kontinyu

    dari kapiler maka, tekanan vena akan meningkat lagi melebihi tekanan jaringan

    sehingga drainase vena terbentuk kembali McQueen dan Court-Brown berpendapat

    bahwa perbedaan tekanan diastolik dan tekanan kompartemen yang kurang dari 30

    mmHg mempunyai korelasi klinis dengan sindrom kompartemen. Patogenesis dari

    sindroma kompartemen kronik telah digambarkan oleh Reneman. Otot dapat

    membesar sekitar 20% selama latihan dan akan menambah peningkatan sementaradalam tekanan intra kompartemen. Kontraksi otot berulang dapat meningkatkan

    tekanan intamuskular pada batas dimana dapat terjadi iskemia berulang. Sindroma

    kompartemen kronik terjadi ketika tekanan antara kontraksi yang terus menerus

    tetap tinggi dan mengganggu aliran darah. Sebagaimana terjadinya kenaikan

  • 8/13/2019 Lapsus Ditha

    9/39

    9

    tekanan, aliran arteri selama relaksasi otot semakin menurun, dan pasien akan

    mengalami kram otot. Kompartemen anterior dan lateral dari tungkai bagian bawah

    biasanya yang kena.

    (Mabvuure et al,2012).

    MANIFESTASI KLINIS

    Gejala klinis yang terjadi pada syndrome kompartemen dikenal dengan 5 P yaitu:

    1. Pain (nyeri)

    Nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena, ketika

    ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling penting. Terutama jika

    munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan klinik (pada anak-anak tampak

    semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya). Otot yang

    tegang pada kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan sering.

    2. Pallor (pucat)

    Diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daereah tersebut.

    3. Pulselessness : berkurang atau hilangnya denyut nadi

    4. Parestesia (rasa kesemutan)

    5. Paralysis

    Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang berlanjut dengan

    hilangnya fungsi bagian yang terkena kompartemen sindrom., Sedangkan pada

    kompartemen syndrome akan timbul beberapa gejala khas, antara lain:

    Nyeri yang timbul saat aktivitas, terutama saat olehraga. Biasanya setelah

    berlari atau beraktivitas selama 20 menit.

    Nyeri bersifat sementara dan akan sembuh setelah beristirahat 15-30 menit.

    Terjadi kelemahan atau atrofi otot.

    Tanda tanda klinis kompartemen sindrom adalah :

    Nyeri pada saat palpasi daerah kompartement yang bengkak.

    Nyeri pada perenggangan pasif pada jari. Tanda ini kemungkinan merupakan tanda

    adanya impending akut kompartement syndrome. Namun tanda ini bukan

  • 8/13/2019 Lapsus Ditha

    10/39

    10

    merupakan tanda specific untuk akut kompartemen sindrom tapi tanda yang

    biasanya muncul pada pembengkakan otot dan iskemia.

    Pembengkakan pada daerah yang terkena

    Pada palpasi, bagian kompartement yang terkena teraba keras dan kulit disekitarnyamengkilat.

    Palpasi denyut nadi selalu menunjukan adanya akut kompartemen sindrom,

    berkurang bila ada cedera dari arter. Pengisian arteri kapiler pada jari terlambat

    namun masih dalam batas normal dan pulsasi perifer masih ada pada keadaan akut.

    Deficit sensoris pada daerah kompartement yang terganggu.

    Kelemahan otot

    (Mabvuure et al,2012 ; Amendola & Twaddle, 2008; Vorvick, 2012).

  • 8/13/2019 Lapsus Ditha

    11/39

    11

    DIAGNOSIS

    Selain melalui gejala dan tanda yang ditimbulkannya, penegakan diagnose

    kompartemen syndrome dilakukan dengan pengukuran tekanan kompartemen.Pengukuran

    intra kompartemen ini diperlukan pada pasien-pasien yang tidak sadar, pasien yang tidak

    kooperatif, seperti anak-anak, pasien yang sulit berkomunikasi dan pasien-pasien dengan

    multiple trauma seperti trauma kepala, medulla spinalis atau traumasaraf perifer.Tekanan

    kompartemen normalnya adalah 0. Pengukuran tekanan intrakompartemen dapat dilakukan

    dengan beberapa cara berikut yaitu :

    1. Needle manometerPengukuran langsung tekanan kompartement interstisial pertama kali

    dilakukan oleh Landerer pada tahun 1884. Awalnya teknik ini digunakan untuk

    mendiagnosis sindrom kompartemen kronis, namun selanjutnya dapat digunakan

    untuk mendiagnosis sindrom kompartemen akut. Teknik Whitesides merupakan

    cara yang paling sederhana, mudah dikerjakan, aman, murah dan dapat diulang-

    ulang namun tidak dapat memonitor secara kontinyu. Mekanisme pengukurannya

    menggunakan sebuah needle ukuran 18 yang disambungkan ke spuit 20cc dengan

    selang yang berisi saline dan udara, dan selang tersebut juga menghubungkan

    dengan manometer mercury standar. Setelah jarum ditusukkan ke dalam

    kompartemen, tekanan udara dalam spuit akan mengangkat meniscus saline-

    udara kemudian tekanannya akan terbaca di manometer mercury. Teknik ini

    merupakan teknik standar yang tersedia diseluruh rumah sakit namun

  • 8/13/2019 Lapsus Ditha

    12/39

    12

    kekurangannya adalah tidak cocok untuk memonitoring tekanan kompartement.

    Kemudian teknik ini dimodifikasi lebih lanjut menjadi the continuous technique.

    Keuntungan dari teknik ini adalah simple dan dapat digunakan untuk terus

    memonitoring pasien dengan sindrom akut kompartemen.

    2. Wick catheterKateter wick terdiri dari sebuah polyethylene tube yang dibuat oleh

    scholander dan colleagues. Awalnya alat ini digunakan untuk mengukur tekanan

    jaringan pada hewan seperti kura-kura, ular, dan ikan dan kemudian dimodifikasi

    untuk penggunaan klinis. Teknik ini merupakan teknik yang pertama untuk

    mengukur tekanan intrakompartemen sebelum adanya teknik continuous

    infusion. Teknik membutuhkan catheter placement sleeve dan sebuah wick

  • 8/13/2019 Lapsus Ditha

    13/39

    13

    catheter yang dihubungkan ke transducer dan recorder. Kateter dan tube

    disambungkan oleh three-way stopcock dan dihubungkan ke transducer. Penting

    untuk diperhatikan, dalam system ini tidak didapatkan adanya gelembung udara

    karena akan mengakibatkan pembacaan yang salah. Setelah system ini terisi,

    ujung kateter harus terisi oleh air. Kemudian selanjutnya dikalibrasi dan

    ditusukkan ke jaringan dengan trocar yang besar. Teknik ini digunakan untuk

    terus memonitoring tekanan intrakompartemen. Kelemahan utama dari teknik ini

    adalah dapat dihambat oleh adanya clot darah.

  • 8/13/2019 Lapsus Ditha

    14/39

    14

    3. Slit catheterTeknik ini membutuhkan kateter slit, jarum, transducer yang dihubungkan ke

    three-way stopcock, dan pressure moniter. Sambungkan komponen komponen

    tersebut dan kateter telah terisi oleh cairan saline steril. Mekanismenya sama

    seperti wick kateter yaitu tidak ada gelembung udara dalam system dan monitor

    harus sudah dikalibrasi oleh ujung dari slit kateter dengan transducer dan setel

    knobnya ke angka nol. Monitornya memiliki alarm, jika telah selesai akan mati

    setelah tekanannya meningkat sesuai kondisi.

  • 8/13/2019 Lapsus Ditha

    15/39

  • 8/13/2019 Lapsus Ditha

    16/39

    16

    4. Stic catheter systemKateter stic adalah alat portable yang memungkinkan untuk mengukur

    tekanan intrakompartemen secara terus-menerus. Pada kateter stic, tindakan

    yang dilakukan adalah memasukkan kateter melalui celah kecil pada kulit ke

    dalam kompartemen otot. Sebelumnya kateter dihubungkan dengan transduser

    tekanan dan akhirnya tekanan intrakompartemen dapat diukur.

  • 8/13/2019 Lapsus Ditha

    17/39

    17

    5. Microcapillary infusionTeknik ini diperkenalkan oleh styf dan korner, yang digunakan untuk

    mendiagnosis sindrom kompartemen kronik. Teknik ini dapat digunakan untuk

    monitoring tekanan kompartemen dalam jangka waktu yang lama dan

    merupakan teknik yang baik.

    6. Arterial transducer measurementDengan peningkatan teknologi yang maju, untuk monitoring pengukuran tekanan

    arterial digunakan simple cateter intravenayang dihubungkan dengan transducer

    merupakan alternative lain untuk pengukuran tekanan kompartemen. Pada teknik

    ini, digunakan kateter ukuran 16 yang terisi saline dan dihubungkan ke monitor,

    secara akurat tekanan kompartemen akan terukur. Secara normal letak cateter

    ada dalam kompartemen dan tekanannya akan terbaca dari monitor arteri yang

    sudah dikalibrasikan dengan pengukuran kompartemen.

    7. Teknik noninvasiveDigunakan untuk pengukuran pada sindrom kompartemen kronis. Alat yang biasa

    digunakan adalah near-infrared spectroscopy yang digunakan untuk mengukur

    perubahan oksigenasi relative pada kompartemen setelah latihan dan banyak

    digunakan untuk monitoring pasien normal yang control.

    (Amendola & Twaddle, 2008)

  • 8/13/2019 Lapsus Ditha

    18/39

    18

    DIAGNOSA BANDING

    Diagnosis yang paling sering membingungkan dan sangat sulit dibedakan dengan

    sindrom kompartemen adalah oklusi arteri dan kerusakan saraf primer, dengan beberapa ciri

    yang sama yang ditemukan pada masing-masingnya. Pada sindrom kompartemen kronik

    didapatkan nyeri yang hilang timbul, dimana nyeri muncul pada saat berolahraga dan

    berkurang pada saat beristirahat. Sindrom kompartemen kronik dibedakan dengan

    claudikasio intermitten yang merupakan nyeri otot atau kelemahan otot pada tungkai bawah

    karena latihan dan berkurang dengan istirahat, biasanya nyeri berhenti 2-5 menit setelah

    beraktivitas. Hal ini disebabkan oleh adanya oklusi atau obstruksi pada arteri bagian

    proksimal, tidak ada peningkatan tekanan kompartemen dalam hal ini. Sedangkan sindrom

    kompartemen kronik adanya kontraksi otot berulang-ulang yang dapat meningkatkan

    tekanan intramuskuler sehingga menyebabkan iskemia kemudian menurunkan aliran darah

    dan otot menjadi kram. Diagnosis banding dari sindrom kompartemen antara lain :

    1. Selulitis

    2. Coelenterate danJellyfish Envenomations

    3. Deep Vein Trombosis dan Thrombophlebitis

    4. Gas Ganggrene

    5. Necrotizing Fasciitis

    6. Peripheral Vascular Injuries

    7. Rhabdomyolis

    (Amendola & Twaddle, 2008)

    PEMERIKSAAN PENUNJANG

    Pada kasus-kasus dengan sindrom kompartemen dapat dilakukan pemeriksaan penunjang,

    antara lain :

    1. Laboratorium

  • 8/13/2019 Lapsus Ditha

    19/39

    19

    Hasil laboratorium biasanya normal dan tidak dibutuhkan untuk mendiagnosis

    kompartemen sindrom, tetapi dapat menyingkirkan diagnosis banding lainnya.

    Complete Metabolic Profile (CMP)

    Hitung sel darah lengkap Kreatinin fosfokinase dan urin myoglobin

    Serum myoglobin

    Toksikologi urin : dapat membantu menentukan penyebab, tetapi tidak

    membantu dalam menentukan terapi pasiennya.

    Urin awal : bila ditemukan myoglobin pada urin, hal ini dapat mengarah ke

    diagnosis rhabdomyolisis.

    Protrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin time (aPTTT)

    2. Imaging

    Rontgen : pada ekstremitas yang terkena.

    USGUSG membantu untuk mengevaluasi aliran arteri dalam memvisualisasi

    Deep Vein Thrombosis (DVT)

    3. Pemeriksaan Lainnya

    Pengukuran tekanan kompartemen

    Pulse oximetry

    Sangat membantu dalam mengidentifikasi hipoperfusi ekstremitas, namun

    tidak cukup sensitif.

  • 8/13/2019 Lapsus Ditha

    20/39

    20

    TATALAKSANA

    Tujuan dari penanganan sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit fungsi

    neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, melalui bedah dekompresi.

    Walaupun fasciotomi disepakati sebagai terapi yang terbaik, namun beberapa hal, seperti

    timing, masih diperdebatkan. Semua ahli bedah setuju bahwa adanya disfungsi

    neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk melakukan fasciotomi. Penanganan

    kompartemen secara umum meliputi:

    1. Terapi Medikal/non bedah

    Pemilihan terapi ini adalah jika diagnosa kompartemen masih dalam bentuk dugaan

    sementara. Berbagai bentuk terapi ini meliputi:

    Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan ketinggian

    kompartemen yang minimal, elevasi dihindari karena dapat menurunkan aliran

    darah dan akan lebih memperberat iskemia

    Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka dan pembalut

    kontriksi dilepas.

    Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat

    perkembangan sindroma kompartemen.

    Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah

    Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakainan manitol dapat

    mengurangi tekanan kompartemen. Manitol mereduksi edema seluler,

    dengan memproduksi kembali energi seluler yang normal dan mereduksi sel

    otot yang nekrosis melalui kemampuan dari radikal bebas.

    (Mabvuure et al,2012)

    2. TerapibedahFasciotomi dilakukan jika tekanan intrakompartemen mencapai > 30 mmHg.

    Tujuan dilakukan tindakan ini adalah menurunkan tekanan dengan memperbaiki

    perfusi otot. Jika tekanannya < 30 mm Hg maka tungkai cukup diobservasi dengan

    cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya. Kalau keadaan tungkai membaik,

  • 8/13/2019 Lapsus Ditha

    21/39

    21

    evaluasi terus dilakukan hingga fase berbahaya terlewati. Akan tetapi jika memburuk

    maka segera lakukan fasciotomi. Keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi

    adalah 6 jam. Terdapat dua teknik dalam fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan

    insisi ganda. Insisi ganda pada tungkai bawah paling sering digunakan karena lebih

    aman dan lebih efektif, sedangkan insisi tunggal membutuhkan diseksi yang lebih

    luas dan resiko kerusakan arteri dan vena peroneal. Fasiotomi di lakukan pada pasien

    berikut :

    Pasien yang normotensif dengan temuan klinis yang positif, yang memiliki

    tekanan intrakompartemen yang lebih besar dari 30 mmHg, dan durasi tekanan

    yang meningkat tidak diketahui atau dianggap lebih dari 8 jam.

    Pasien yang tidak kooperatif atau tidak sadar, dengan tekananintrakompartemen lebih dari 30 mmHg.

    Pasien dengan hipotensif dan tekanan intrakompartemen yang lebih besar dari

    20 mmHg.

    Toleransi jaringan untuk iskemia berkepanjangan bervariasi tergantung pada

    jenis jaringan yang terlibat. Gangguan fungsional akan terjadi pada otot setelah 2-4

    jam iskemia dan kehilangan fungsional ireversibel setelah 4-12 jam. Jaringan sarafmenunjukkan fungsi abnormal setelah 30 menit iskemia, dengan gangguan

    fungsional ireversibel setelah 12-24 jam (Mabvuure et al,2012).

    Berikut beberapa jenis insisi fasciotomi berdasarkan letak kompartemen :

    1. Kompartemen syndrome pada tangan

    Kejadian kompartemen sindrom pada tangan sangat jarang terjadi dandiagnosisnya sangat sulit dibuat. Diagnosisnya berdasarkan trias yaitu : stretch pain,

    paralisis dan weakness muscles. Kejadian ini biasanya disebabkan oleh crush injury

    tetapi dapat juga dihubungkan dengan adanya fraktur tulang carpal. Kompartemen

  • 8/13/2019 Lapsus Ditha

    22/39

    22

    yang biasanya terkena adalah interossei. Fasciotomi, insisi dilakukan biasanya pada

    bagian dorsal secara longitudinal.

    2. Kompartemen sindrom pada lengan

    Kejadian pada lengan juga jarang. Kejadian ini biasanya dihubungkan dengan

    adanya fraktur pada distal radius. Kejadian ini juga dapat terjadi pada infiltrasi cairan

    pda jaringan lunak, greasegun injuries dan infeksi berat yang dihubungkan dengan

    pemakaian obat. Teknik fasciotomi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :

    Henry approach

  • 8/13/2019 Lapsus Ditha

    23/39

    23

    Volar Ulnar approach

  • 8/13/2019 Lapsus Ditha

    24/39

  • 8/13/2019 Lapsus Ditha

    25/39

    25

  • 8/13/2019 Lapsus Ditha

    26/39

    26

    4. Kompartemen sindrom pada paha

    5. Kompartemen sindrom pada telapak kaki

  • 8/13/2019 Lapsus Ditha

    27/39

  • 8/13/2019 Lapsus Ditha

    28/39

    28

    BAB 3

    LAPORAN KASUS

    I. IdentitasNama : Tn. R

    Umur : 19 tahun

    Jenis kelamin : Laki - Laki

    Alamat : Kopang, Lombok Tengah

    Pekerjaan : Mahasiswa

    Status : Belum menikah

    Suku : SasakAgama : Islam

    No. RM : 521633

    Tanggal MRS : 4 September 2013

    Tanggal pemeriksaan : 8 November 2012

    II. AnamnesisKeluhan UtamaNyeri tungkai kanan bawah

    Riwayat Penyakit Sekarang

    Nyeri tungkai kanan bawah dirasakan sejak 2,5 bulan yang lalu. Nyeri ini

    dirasakan sejak pasien mengalami kecelakaan lalu lintas. Setelah kecelakaan pasien

    dibawa ke rumah sakit. Pasien merasakan nyeri pada kaki bila digerakkan dan

    ditekan. Nyeri dirasakan terus menerus dan seperti di tusuk-tusuk. Pasien mengakutidak dapat menggerakkan kaki kanannya setelah kejadian tersebut. Selain itu, pasien

    juga mengeluhkan kakinya bengkak dan berwarna merah kehitaman. Pasien terjatuh

    dari sepeda motor setelah menabrak sebuah pohon karena pasien sedang

    mengendarai sambil memencet handphone. Pasien tidak menggunakan helm, pasien

  • 8/13/2019 Lapsus Ditha

    29/39

  • 8/13/2019 Lapsus Ditha

    30/39

  • 8/13/2019 Lapsus Ditha

    31/39

    31

    b. Massa (-)

    c. Pembesaran kelenjar getah bening: (-)

    Thoraks

    a.

    Inspeksi: bentuk dan ukuran dada normal, gerakan dada simetris, iktuskordis tidak tampak, jejas (-), pelebaran sela iga (-).

    b. Palpasi: gerakan dinding dada simetris, iktus kordis teraba di ICS V linea

    midklavikula sinistra.

    c. Perkusi: sonor pada kedua lapang paru. Batas jantung kanan: parasternal

    kanan ICS II, kiri: midklavikula ICS V. Batas paru hepar: ICS V.

    d. Auskultasi:

    Cor: S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)Pulmo: vesikuler +/+, wheezing -/-, rhonki -/-

    Abdomen

    a. Inspeksi: distensi (-), massa (-), jejas (-).

    b. Auskultasi: bising usus (+) normal, bising aorta (-)

    c. Perkusi: timpani (+) di seluruh lapang abdomen

    d. Palpasi: supel, nyeri tekan (-), hepar-lien tidak teraba

    Ekstremitasa. Akral hangat (+/+)

    b. Edema (-/-)

    Status lokalis:

    a. Look

    Warna kulit disekitar luka berwarna lebih gelap dari kulit sekitar dan terlihat

    kering.

    Vulnus scissum berukuran 20 cm x15cmx 3cm pada anterior cruris dextra,

    perdarahan (+). Kedalaman luka bervariasi, dengan dasar tulang, fasia, dan

    tendon.

  • 8/13/2019 Lapsus Ditha

    32/39

    32

    Vulnus scissum berukuran 10 cm x3cmx 3cm pada posterior cruris dextra,

    perdarahan (+)

    Terlihat os tibia dari luka

    b. Feel

    Nyeri tekan (+), parestesi (+) bagian dari distal luka, paralisis (-), pulsasi dorsalis

    pedis (+)

    c. Move

    Keterbatasan gerak (+)

    IV. ResumePasien laki-laki 19 tahun, mengeluhkan nyeri pada tungkai kanan sejak + 2,5

    bulan yang lalu post KLL bila digerakkan. Pasien juga tidak dapat menggerakkan kaki

    kanannya setelah kejadian tersebut. Kaki pasien bengkak dan berwarna merah

    kehitaman. Setelah kejadian pasien masih ingat kejadian dan menyangkal adanya

    riwayat pingsan. Saat ini, pasien masih mengeluhkan nyeri pada kaki kanan dan tidak

  • 8/13/2019 Lapsus Ditha

    33/39

    33

    mampu menggerakkan jari jari kaki kanannya serta jari kakinya tidak mampu

    merasakan sentuhan. Pasien menyangkal adanya keluhan mual dan muntah. Pasien

    tidak pernah menderita demam selama sakit. Dari pemeriksaan fisik didapatkan KU

    sedang, kesadaran CM, TD: 110/70 mmHg, N: 76 kali/menit, RR: 20 kali/menit, dan T:

    36,8 0C. Kepala-leher dan thoraks dalam batas normal. Dari status lokalis didapatkan:

    Warna kulit disekitar luka berwarna lebih gelap dari kulit sekitar dan terlihat kering,

    Vulnus scissum berukuran 20 cm x15cmx 3cm pada anterior cruris dextra,

    perdarahan (+). Kedalaman luka bervariasi, dengan dasar tulang, fasia, dan tendon.

    Vulnus scissum berukuran 10 cm x3cmx 3cm pada posterior cruris dextra,

    perdarahan (+). Feel : Nyeri tekan (+), parestesi (+) bagian dari distal luka, paralisis (-),

    pulsasi dorsalis pedis (+), Move :Keterbatasan gerak (+)

    V. Diagnosis KerjaKompartemen syndrome post faciotomi dan debridement region cruris dextra

    VI. Usulan Pemeriksaan Penunjang1. DL, LED

    2. Rontgen3. Pengukuran tekanan kompartemen

    VII. Hasil pemeriksaan penunjang Darah lengkap (01/10/13)

    Parameter 01/10/13

    HGB 10,6

    HCT 31,6

    RBC 3,77

    MCV 83,8

    MCH 28,1

  • 8/13/2019 Lapsus Ditha

    34/39

    34

    MCHC 33,5

    WBC 8.78

    PLT 246

    LED 28

    Kimia klinik (10 Oktober 2012)

    Parameter 09/10/2012

    GDS 69

    Kreatinin 0,5

    Ureum 9

    SGOT 10

    SGPT 16

    Total protein 6,4

    Albumin 1,9

    Asam urat 3,6

    LED 28

    Golongan

    darah

    B

    Kultur bakteri

    Sensitive terhadap ; kloramfenikol, kotrimoksazol, dan meropenem,

    Rontgen

    Kesimpulan ; fraktur tibia 1/3 proksimal dextra

  • 8/13/2019 Lapsus Ditha

    35/39

    35

    VIII. Rencana Terapi IVFD RL 20 tetes/menit

    Ketorolac drip

    Ceftriaxon 2x1gr

    Ranitidin 2x1 amp

    Diet tinggi protein

    IX. Diagnosis AkhirKompartemen syndrome post faciotomi dan debridement region cruris dextra e.c

    close fraktur tibia 1/3 proksimal dextra

    X. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam

    Ad functionam : dubia ad bonam

    Ad sanationam : dubia ad bonam

  • 8/13/2019 Lapsus Ditha

    36/39

    36

    BAB 4

    PEMBAHASAN

    Pasien datang dengan keluhan nyeri pada tungkai kanan bawah. Dari anamnesis

    didapatkan bahwa pada awalnya pasien terjatuh dengan menabrak pohon. Selain itu, pasien

    juga mengeluhkan kakinya bengkak dan berwarna merah kehitaman dan sulit digerakkan.

    Hal ini menandakan telah munculnya 3 dari 5 tanda klasik dari sindrom kompartemen yaitu

    pain, paresthesia dan paralysis. Saat masuk rumah sakit pasien langsung menjalani

    fasciotomi.

    Dari pemeriksaan fisik yang dilakukan 2,5 bulan setelah KLL (post fasciotomi dan

    debridement) didapatkan luka post op dan warna kehitaman disekitar kaki kanan pasien.

    Selain itu, juga terdapat nyeri tekan dan parestesi pada kaki kanan. Tungkai bawah pasien

    masih dalam keadaan diperban setelah dilakukannya fasciotomi. Dari anamnesis diperoleh 3

    dari 5 tanda klasik sindrom kompartemen yaitu pain, paresthesia, dan paralysis. Untuk 2

    tanda yang lain (pallor dan pulseness) mungkin dapat diperoleh dari pemeriksaan fisik

    sebelum pasien menjalani fasciotomi, namun pemeriksaan fisik pada pasien ini dilakukan

    setelah pasien menjalani fasciotomi sehingga tidak didapatkan lagi kedua tanda tersebut.

    Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan

    dalam suatu kompartemen sehingga mengakibatkan penekanan terhadap saraf, pembuluh

    darah dan otot didalam kompartemen osteofasial yang tertutup. Kompartemen merupakan

    daerah tertutup yang dibatasi oleh tulang, interosseus membran, dan fascia, yang

    melibatkan jaringan otot, saraf dan pembuluh darah. Secara anatomik, sebagian besar

    kompartemen terletak di anggota gerak. Sindrom kompartemen paling sering terjadi di

    tungkai bawah dan lengan atas. Secara klasik ada 5 P yang terkumpul dalam sindrom

    kompartemen Pain, Paresthesia, Pallor, Paralysis, Pulseness.Untuk penatalaksanaan sindrom kompartemen dapat dilakukan dengan

    menempatkan ekstremitas yang terkena sejajar dengan jantung dan harus segera dilakukan

    fasciotomi untuk mencegah kerusakan jaringan intrakompartemen. Pada pasien ini

    fasciotomi dilakukan segera setelah pasien dirawat di rumah sakit. Penatalaksanan yang

  • 8/13/2019 Lapsus Ditha

    37/39

    37

    dianjurkan pada pasien ini meliputi ketorolac sebagai analgesik untuk mengurangi nyeri yang

    dirasakan oleh pasien. Ceftriaxon sebagai antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi pada

    pasien ini. Pada pasien ini juga diberikan ranitidine untuk mencegah stress ulcer.

  • 8/13/2019 Lapsus Ditha

    38/39

    38

    BAB 5

    PENUTUP

    Sindrom kompartemen adalah sebuah kondisi emergensi yang mengancam anggota

    tubuh dan jiwa yang paling sering terjadi pada daerah tungkai bawah.

    Penyebab sindroma kompartemen yang paling sering adalah cedera, dimana 45%

    kasus terjadi akibat fraktur, dan 80% darinya terjadi di anggota gerak bawah.

    Gejala klinis yang terjadi pada sindrom kompartemen dikenal dengan 5-P yaitu: Pain

    (nyeri) , Pallor (pucat), Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi),

    Parestesia (rasa kesemutan), Paralysis.

    Tujuan dari penanganan sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit fungsineurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, melalui bedah

    dekompresi dan dilakukan jika tekanan intra-kompartemen mencapai >30 mmHg.

    Prognosis ditentukan oleh trauma penyebab. Diagnosis dan pengobatan yang tepat,

    umumnya menberikan hasil yang baik dan diagnosis yang terlambat dapat

    menyababkan kerusakan saraf yang permanen serta malfungsi dari otot yang terlibat.

    Hal yang paling penting bagi seorang dokter adalah untuk selalu waspada ketika

    berhadapan dengan keluhan nyeri pada ekstremitas. Konsekuensi dari terlewatnyapemeriksaan dapat meningkatkan tekanan intra-kompartemen.

  • 8/13/2019 Lapsus Ditha

    39/39

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Fette, Andreas M., 2012 . Special Aspects of Forearm Compartment Syndrome in

    Children, Orthopedic Surgery, Dr Zaid Al-Aubaidi (Ed.), ISBN: 978-953-51-0231-1,

    InTech, Available from: http://www.intechopen.com/books/orthopedic-

    surgery/compartment-syndrome-of-the-forearm-in-children

    2. Swiontkowski, MF., 2001. Manual of orthopaedics 6th edition. Lippincott Williams &

    Wilkins.

    3. Mabvuure, NT. et al., 2012. Acute Compartment Syndrome of the Limbs: Current

    Concepts and Management. The Open Orthopaedics Journal, 2012, 6, (Suppl 3: M7)

    page 535-543. Available at :

    http://benthamscience.com/open/toorthj/articles/V006/SI0503TOORTHJ/535TOORTHJ.pdf.

    4. American Acedemy of Orthopaedic Surgeons. 2009. Compartement Syndrome.

    Diunduh dari:http://orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=a00204

    5. Amendola, A. & Twaddle, B.C., 2008. Compartment syndromes. In: Browner BD,

    Jupiter JB, Levine AM, Trafton PG, Krettek C, eds. Skeletal Trauma. 4th ed.

    Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier chap 13. Available at :

    http://olc.metrohealth.org/SubSpecialties/Trauma/Media/SkeletalTrauma/ch12.pdf .

    6. Vorvick, L.J., 2012. Compartment syndrome. Available at :http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002204/

    7. Undersea and Hyperbaric Medical Society. "Crush Injury, Compartment syndrome,

    and other Acute Traumatic Ischemias". Available at :

    http://www.uhms.org/ResourceLibrary/Indication... (Diunduh bulan Oktober 2011)

    1. Geiderman JM, Katz D. General principles of orthopedic injuries. In: Marx J,

    ed. Rosens Emergency Medicine: Concepts and Clinical Practice. 7th ed.

    Philadelphia, Pa: Mosby Elsevier; 2009:chap 46.

    2. Marshall ST, Browner BD. Emergency care of musculoskeletal injuries. In:

    Townsend CM Jr, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL,eds. Sabiston

    Textbook of Surgery. 19th ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier;

    2012 h 20

    http://www.intechopen.com/books/orthopedic-surgery/compartment-syndrome-of-the-forearm-in-childrenhttp://www.intechopen.com/books/orthopedic-surgery/compartment-syndrome-of-the-forearm-in-childrenhttp://www.intechopen.com/books/orthopedic-surgery/compartment-syndrome-of-the-forearm-in-childrenhttp://benthamscience.com/open/toorthj/articles/V006/SI0503TOORTHJ/535TOORTHJ.pdfhttp://orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=a00204http://orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=a00204http://olc.metrohealth.org/SubSpecialties/Trauma/Media/SkeletalTrauma/ch12.pdfhttp://olc.metrohealth.org/SubSpecialties/Trauma/Media/SkeletalTrauma/ch12.pdfhttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002204/http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002204/http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002204/http://olc.metrohealth.org/SubSpecialties/Trauma/Media/SkeletalTrauma/ch12.pdfhttp://orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=a00204http://benthamscience.com/open/toorthj/articles/V006/SI0503TOORTHJ/535TOORTHJ.pdfhttp://www.intechopen.com/books/orthopedic-surgery/compartment-syndrome-of-the-forearm-in-childrenhttp://www.intechopen.com/books/orthopedic-surgery/compartment-syndrome-of-the-forearm-in-children